“Kenapa sih, dari tadi kamu
kelihatannya gelisah gitu makannya?” tanya Elang selagi kita makan.
“Hah? Eh, hmmm.. gak apa-apa”
jawab ku sambil tersenyum dengan sedikit dipaksakan.
“Beberapa jam lagi aku kembali ke
kotaku, belum tau kapan bisa datang ke mari lagi. Tapi aku janji secepatnya aku
pasti ke mari untuk ketemu kamu.. Nar..Sinar..” Elang menghentikan ucapannya,
sadar aku tidak begitu mendengarkan apa yang sedang dia utarakan.
“Apa? Ya.. iya, kamu harus cepat
balik lagi kemari, jangan lama-lama di sananya..” jawabku dengan sangat
canggung.
“Kamu kenapa sih? Dari tadi kayak
gak fokus dan gak nyaman ada di sini, ada yang salah sama makanannya?”
“Aku harus balik lagi ke kampus,
buku yang aku perluin buat ujian senin depan tadi ketinggalan di kelas”
“Coba telepon Ricardo, minta
tolong dia, mungkin dia masih di kampus”
“Hmmm..gak, dia sudah balik tadi.
Eh, maksudnya tadi aku ketemu dia pas sebelum ketemu kamu, katanya dia sudah
mau balik” duuuh..kenapa gue jadi bohong gini sih sama Elang.
“Ya sudah, makannya selesaikan
dulu, nanti aku antar ke kampus kamu lagi”
“Gak usah, aku sendiri aja”
jawabku cepat.
“Loh, kamu gak ikut nganter aku
ke bandara?”
“Kayanya kali ini gak bisa,
Sayang.. aku harus buru-buru ke kampus lagi, kalau kamu nganterin aku lagi,
nanti kamu keburu-buru banget jalan ke bandaranya, ngerinya bukunya gak ada,
aku harus cari-cari dulu siapa yang nemu, belum kalau nanti macet. Kamu
langsung aja dari sini, aku gak apa kok sendiri”
Elang tersenyum, dan
menyelesaikan kunyahan makanan yang sedang berada di mulutnya.
“Iya, kalau begitu mau kamu, aku
gak maksa” jawabnya sebentar lalu melanjutkan makannya.
Siang ini rasanya beda, kenapa
pikiranku jadi pecah begini. Gak biasanya aku bohong sama Elang untuk hal gak
penting gini. Terlebih lagi ini jam-jam terakhir aku bisa melihat dia sebelum
dia kembali ke Medan. Aduh..aku kenapa sih. Aku memukul-mukul kepalaku dengan
kesal.
--
“Yuk, biar
pak Ilham nganter kamu, aku naik taxi aja” ucap Elang setelah membayar bill
makanan.
“Eeh, gak
usah. Kamu nih! Ih. Aku sendiri aja, kamu pergi sama pak Ilham. Kampusku deket,
lari 10 menit juga sampai” tolakku.
“Oke,
kayaknya hari ini kamu lagi sibuk banget. Kamu hati-hati ya. Aku bakal kangen
kamu banget” ucapnya sambil merangkulku,
“Aku juga,
kamu baik-baik ya di sana. Kabarin aku kalau sudah sampai” aku menggenggam
tangannya.
Akupun ikut
menunggu pak Ilham datang ke lobby dan memeluk Elang untuk terakhir kalinya di
hari ini sebelum dia masuk ke mobil.
Mobil Elang
menjauh dan aku langsung berlari kembali ke arah kampusku. Kulihat jam di hpku,
damn! Jam 4. Itu orang masih ada di sana gak ya? Aku mesti buru-buru, mana dia
gak ngabarin masih nungguin apa gimana.
--
Masih
sangat ngos-ngosan saat aku tiba di depan mobil sedan hitam yang dua hari lalu
menyerempetku, mobilnya masih ada, jadi dia masih di sini. Mataku masih melihat
sekeliling tempat parkir restoran tersebut, dan pandanganku berhenti di sebuah
mobil sedan berwarna putih yang sangat familiar sekali. Hah? Di dalam ada
Radit, duh.. ada-ada aja sih. Ini ngapain sih si Bayang masih aja di sini, aku
sudah dua jam telat, kenapa dia gak pulang aja sih.
Aku pun
berjalan masuk ke restoran bebek bakar yang lokasinya hanya tiga puluh meter
dari kampusku. Mana nih si Bayang, kok gak ada. Pandanganku berhenti ke meja
yang berada di sudut kanan restoran, pria yang kemarin ada di kamarku, dia
bersama wanita berambut pendek, tinggi jenjang dan manis, tunangannya. Mereka
terlihat baik-baik saja, tertawa dan saling berpegangan tangan. Euuw..
“Ah,
akhirnya datang juga non” suara itu mengagetkanku dengan sebuah sentuhan di
bahu dari belakang. Bayang!
“Eh, iya,
maaf telat. Tadi ada perlu dulu. Kenapa lo gak balik aja sih? Yakin banget
kalau gue bakal dateng?”
Dia
tersenyum dan mengarahkan aku untuk ikut mengarah ke kursi yang berada tepat di
sebelah meja Radit dan tunangannya. Dia menarikkan bangku untukku. Shit! Kenapa
harus duduk di sini sih. Radit melihatku dan Bayang, tidak menyapa, namun aku
yakin di dalam kepalanya penuh dengan pertanyaan.
“Aku yakin
kok kamu datang, nih buktinya sekarang kamu di sini” Bayang berkata sambil
memberikan buku menu yang ada di dekatnya kepadaku.
“Gue gak
makan, masih kenyang. Lo aja, gue temenin” ucapku.
“Gak bisa,
satu, karena aku gak biasa makan sambil ditontonin orang semeja. Dua, karena
kamu terlambat dua jam lebih, jadi kamu gak boleh ngecewain aku lagi dengan
ngebiarin hal yang pertama harus terjadi” jawab Bayang.
“Bawel lo
ya, dibilang gue gak makan. Gue minum aja, lagian gue gak bisa lama-lama. Gue
harus cepetan balik ke rumah”
“Oke,
minum. Mbak..” Bayang memanggil pelayan yang sedang melewati meja kami.
Sesekali aku melihat reaksi Radit di meja sebelah, reaksinya berubah, tidak
sama dengan saat pertama kali aku melihat dia saat masuk restoran ini, ah..dan
dia melepaskan pegangan tangannya dari sang tunangan.
“Kamu minum
apa?” tanya Bayang.
“Air
mineral”
“Air
mineral dua, Mbak. Terima kasih”
“Lah, lo
gak makan? Ini dari tadi nungguin juga gak mesen apa-apa?”
“Nggak, kan
memang mau makan siangnya sama kamu, kamunya gak makan. Ya udah..”
“Idih..makan
tinggal makan. Masa lo dari tadi di sini udah dua jam lebih Cuma mesen air
mineral dua biji sih?”
“Dua botol”
ucapnya mengkoreksi bahasaku.
“Iya, dua
botol maksudnya”
“Gak apa,
toh air mineralnya juga beli, dan kayanya di restoran ini gak ada larangan
minimal harus makan apa, dan gak boleh nunggu orang berapa lama” jawabnya cuek.
"Mbak, minta tisu?" ucapku ke pelayang saat mengantarkan makanan.
"Buat apa tisu?" tanya bayang.
"Lo gak liat muka gue keringetan gini ?"
"Duh..segitu pengen ketemu aku ya? sampai buru-buru gitu?"
"Haa?"
--
Dia banyak
bertanya tentang aku, aku mejawab seadanya. Hingga kami memutuskan memesan
kentang goreng untuk menemani obrolan kami. Tidak terasa sudah satu jam, Raditpun sudah pergi meninggalkan restoran
ini bersama tunangannya.
Ternyata
Bayang baru saja selesai kuliah di Aussie, dia di Jakarta sejak tahun lalu, dan
saat ini dia bekerja sebagai arsitek di daerah Jakarta selatan, tidak jauh dari
kampusku. Pantas.
Bayang
mengantarku pulang, lagi-lagi di dalam mobil dia tidak banyak bicara, sama
persis saat pertama kali dia mengantarkan aku ke mall saat pertama kali ketemu.
Tapi..
“Kriiuuuk...”
suara kecil terdengar dikeheningan percakapan kami dari perutnya.
“Kan,
kelaperan kan lo, gue bilang juga apa. Makan. Pake belaguan gak mau makan
segala” ledekku.
“Eh, maaf,
perutku bunyi depan kamu, gak sopan Maaf’ ucapnya dengan sedikit nada malu.
“Santai
aja, mau makan gak lo? Deket rumah gue ada rumah makan kecil, tapi enak, gak
ada alasan deh. Makan!”
Dia tersenyum
dan melihatku, “Iya, makan. Laper banget ternyata dari tadi Cuma minum air
mineral doang.. hahaha”
Dan akupun
ikut tertawa.
Kami sampai
di rumah makan depan komplek perumahanku, rumah makan kecil, tau deh orang kayak
dia pernah makan di tempat kaya gini apa nggak. Ini rumah makan tempat aku dan
Ricardo makan saat rumah kami sama-sama tidak ada makanan yang bisa saling
dibagi saat kelaperan banget.
“Tuh,
lauknya pilih aja, bilang mbaknya nanti diambilin” ucapku ke Bayang yang masih
melihat isi rumah makan ini dengan tatapan meragukan.
“Hmmm, kamu
makan apa?” dia balik bertanya.
“Bu, biasa
yah” ucapku ke Ibu warteg. Iya, kami di warteg!
“Mbak
Sinar, tumben gak sama mas Ricardo. Ini temannya mau makan apa?” jawab Ibu
warteg yang biasanya menemukan aku berdua Ricardo tiap kemari.
“Makan apa
lo? Itu ditanya juga”
“Aku samain
sama pesanan kamu deh”
“Bu, biasa,
2 yah bu. Yang buat mas yang ini nasinya dibanyakin, seporsinya Ricardo” ucapku
ke Ibu warteg.
Hihihihi,
sepertinya ini kali pertama Bayang makan di tempat seperti ini. Aku tersenyum
melihat dia sibuk mengibas-ngibaskan dasi yang dia kenakan. Ibu warteg
memberikan makanan kami. Nasi putih, sayur daun singkong dan ikan tongkol
pedas.
“Selamat
makan...” ucapke ke Bayang yang masih melihat piringnya.
“Iya,
selamat makan” ucap Bayang.
Suasana
mulai berubah, dia mulai terbiasa dengan suhu rumah makan kecil ini, dia tidak
mengibas-ngibaskan dasinya lagi, keringat mengalir dari dahi sampai ke pipinya,
aku tersenyum dan mengambil tisu yang baru saja ku beli dari dalam tasku, ku lap keringat tersebut dan
dia menatapku dengan senyuman yang membuat lesung pipinya terlihat. Akupun ikut
tersenyum.
Kami
mengobrol lagi dengan lebih santai, dan tidak terasa sudah jam tujuh malam
lewat. Bayang pun pulang menaiki mobilnya, aku melambaikan tangan ke arah kaca
mobil yang dia buka, senyumnya....
Ah,
menyenangkan hari ini.
--
Aku
berjalan menuju rumahku, rumahku gelap, belum ada lampu yang dinyalakan. Ibuku
hari ini tidak pulang, karenan nenekku sakit dan dia memutuskan untuk menjenguk
serta menginap di rumah nenekku.
Ku buka
pintu pagar, dan.. tetiba ada bayangan pria tinggi di depanku, pantulan dari
sosok yang berada di belakangku. Akupun menengok ke belakang untuk memastikan
siapa dia.
“Radit?”
ucapku pelan.
“Ngapain
kamu ke sini, jam segini, Dit?” kali ini nada bicaraku sedikit lebih marah
namun tetap pelan.
Radit
menghiraukan ucapanku, menggengam tanganku dan menariknya masuk ke dalam pagar
berwarna hitam tinggi yang melindungi rumahku dari pandangan luar. Pagar
rumahku cukup tinggi, untuk dapat dilihat dari luar. Apa yang kami lakukan di
dalam rumah tidak akan terlihat jika dari luar.
“Siapa dia?
Siapa yang tadi bersama kamu di restoran? Siapa dia, Nar?” nada bicara Radit
sedikit tinggi sambil memegang kedua tanganku, wajahnya hanya sepuluh senti
dari wajahku, aku bisa menghirup amarah yang keluar dari seluruh lubang yang
ada di wajahnya.
“Apa sih
kamu, dateng-dateng langsung marah-marah gini? Gimana coba kalau sekarang ada
Ibuku di dalam?” ucapku sambil melepaskan genggaman dia dengan paksa.
Akupun
meninggalkan dia, dan membuka pintu masuk rumahku. Dia terdiam tidak mengejarku
atau berkata apa-apa, memandangku dengan penuh amarah dan kesal.
“Masuk.
Ibuku lagi gak ada di rumah. Rumah ini kosong seperti kemarin” ucapku ke dia
sebelum memasuki rumah.
Lalu diapun
melangkahkan kaki, aku duduk di sofa hitam tua yang berada di ruang tamu, dia
masih berdiri. Belum berkata apa-apa, memandangku dengan kesal. Sepuluh menit
kami saling terdiam, sepertinya dia tau apa yang sedang terjadi, aku menemukan
lelaki baru. Terlihat jelas ketakutan dari raut wajahnya. Aku menghelakan nafas
panjang, berdiri dan menghampirinya.
“Kamu
kenapa sayang? Muka kamu serem banget sih” aku mencoba menenangkan emosinya
dengan mengelus rambutnya sambil tersenyum. Ku kecup bibirnya dengan sedikit
gigitan, agar dia terpancing untuk membalasnya. Namun sia-sia, dia
meninggalkanku dan duduk di tempat aku duduk sebelumnya. Aku mengikutinya,
duduk di sebelahnya.
“Dia teman
baru, aku juga baru kenal sama dia dua hari yang lalu, gak sengaja. Kamu mau
tau apa lagi tentang dia? Aku gak ada apa-apa sama dia” aku menjawab pertanyaan
yang radit pertanyakan saat kami di luar.
“Bener gak
ada apa-apa? Aku sudah berbagi kamu dengan pacar kamu yang sialan itu, aku gak
mau kamu bagi-bagi lagi ke laki-laki lain!” ucap Radit dengan tatapan serius
kepadaku.
“Kamu
bilang apa? Sialan? Kamu jangan kurang ajar ya, nyebut Elang sialan. Heh! Yang
sialan itu kita, bukan Elang! Trus apa maksud kamu dengan ‘bagi-bagi’ ke
laki-laki lain? Kamu fikir aku perempuan macam apa? Aku tau betulkan alasan
kenapa aku masih berhubungan sama kamu?! Taukan kenapa? Bukan semata-mata
karena sex!” jawabku dengan emosi.
“Sinar,
Sinar.. maafin aku. Aku tadi benar-benar cemburu liat kamu berdua sama dia,
iya, aku minta maaf tadi sampai ngomong gitu. Maafin aku. Kamu jangan emosi
gini” kali ini dia yang melemahkan nada suaranya.
--
Aku kesal,
dengan ucapannya, dia tau jelas, kami masih berhubungan diam-diam seperti ini
karena apa. Dulu saat aku belum resmi pacaran dengan Elang dan dia putus dengan
tunangannya saat itu kami dekat, dia baik, bilang kalau agama bukan segalanya,
masih bisa dibicarakan, “dijalani saja dulu”. Dia bikin aku jatuh cinta dengan
segala perlakuannya. Tapi disaat hati aku mulai sangat bergantung dengannya,
dia mulai meributkan soal agama jika hubungan kami ingin diresmikan, dan tidak
lama setelah itu dia malah balikan dengan tunangan yang tadinya sudah putus.
Aku ditinggal dengan segala sakit hati dan harapan. Elang yang datang saat itu
mengobati sakit hatiku ke Radit. Aku gak rela Radit nyebut Elang sialan.
Saat Elang
harus pergi ke Medan pertama kali, dan Radit tau mengenai itu, Radit meminta
maaf atas perlakuannya meninggalkanku begitu saja dan kembali ke tunangannya
saat rasaku ke dia sangat dalam. Dia bilang dia mau jagain aku selama Elang gak
di Jakarta, dia bilang dia mau jadi sahabatku. Namun karena dari awal kami
saling menyukai satu sama lain, hubungan kami tidak layak disebut hubungan
‘persahabatan’. Radit meniduriku saat kami sama-sama mabuk.
Kejadian
itu sekitar empat bulan lalu, bulan ke enam Elang berada di Medan. Aku
kesepian, butuh teman yang lebih dari sekedar teman, kami mulai sering jalan
bareng dan menghabiskan waktu lebih banyak berduaan entah di hotel, rumahku
atau kostan dia.
Sampai
akhirnya terjadilah kejadian itu, kejadian pertama yang akhirnya membuat kami
saling ketergantungan sex satu sama lain. Kami berdua mabuk, Radit membawaku ke
hotel lalu semuanya terjadi untuk pertama kalinya. Dia bilang, akupun orang
pertama yang dia tiduri. Aku menangis di pagi harinya, dia berjanji tidak akan
meninggalkanku. Dia akan terus berada di sampingku hingga Elang kembali ke
Jakarta untuk menetap. Begitulah yang terjadi di antara kami. Hubungan rahasia
dengan penuh nafsu di dalamnya. Hubungan untuk jiwa yang kesepian.
--
“Sayang..kamu ngertikan kenapa
aku marah kaya tadi? Aku cemburu. Aku gak rela liat kamu bisa ketawa dengan
orang lain..” Radit melanjutkan ucapnya.
“Sepertinya hubungan kita harus
segera dihentikan” ucapku dengan nada serius tanpa berani menatap matanya.
“Maksud kamu? Gak, kamu ingatkan
janji kita dulu? Aku akan terus di samping kamu, sampai dia balik lagi di sini,
nemenin kamu nunggu dia. Kamu yang minta itukan? Aku gak mau ngelanggar
ucapanku sendiri. Nggak Sinar, gak akan” Radit menjawab sambil memegang bahuku,
sekarang posisi dia ada di depanku.
Aku melepaskan pegangannya,
menghelakan nafas panjang dan melempar tubuhku ke belakang agar bersandar ke
sofa. Diam.
“Sinar... aku janji, aku gak akan
kaya tadi lagi, aku gak akan cemburu-cemburu lagi, maafin aku ya” ucapnya lagi
sambil membenarkan rambutku yang tidak beraturan, mengecup keningku, hidung dan
bibirku. Aku diam, dia terus menciumi seluruh wajahku, membuka bajuku,
merebahkan tubuhku di atas sofa yang tadi sama-sama kami duduki, aku masih saja
hanya diam.
Terjadi lagi hal yang selalu kami
lakukan saat hanya ada aku, Radit dan nafsu di dalam satu ruangan. Malam ini
tidak sedikitpun aku menikmati apa yang kami lakukan, aku menatap langit-langit
ruang tamuku dengan tatapan kosong, ada sedikit air mata keluar dari mata
kananku. Radit tidak memperdulikan reaksiku, dia tidak menyadari kehampaanku
malam itu, dia hanya menikmati tubuhku, tidak memperdulikan jiwaku, apa yang
aku rasakan saat ini, saat tubuh besarnya berada di atas tubuhku tanpa sehelai
baju.
--
“Sinar.. lo di rumahkan? Nar..”
Suara Ricardo dari luar sambil mengetuk-ketukan kunci pagarku, tidak suara
pagar terbuka, dia masuk!.
Radit sedang di kamar mandi di
dalam kamarku, aku masih di atas sofa, hanya mengenakan baju tanpa bra dan tanpa
bawahan apapun. Segera ku ambil sekotak tisu, ku lap air mataku, ku bersihkan
semua noda yang ada di sofa, segera kuberi tahu Radit untuk tidak bersuara dan
diam di dalam kamarku, ku sembunyikan semua benda milik Radit yang tercecer di
ruang tamu, ku kenakan celana dan merapikan rambutku, aku membuka pintu dan
keluar menemui Ricardo.
“Do..” aku menyapanya yang sudah
duduk di bangku teras rumahku, ku rapatkan pintu rumahku, seolah memberi kode
bahwa ‘kita mengobrol di teras saja’.
“Bah.. lama amat lo buka pintu,
abis ngapain?” tanya Ricardo.
“Tidur, sori lama. Kenapa, Do?”
tanyaku lagi.
“Gak apa-apa, mampir aja,
beuh..hari ini kelakuan Alyssa bener-bener bikin gerang, belum ada sebulan
jalan sama ni cewek, perasaan pegel amat hati gue” Ricardo ternyata datang
kemari ingin curhat, duh..saat yang tidak tepat.
“Do, lo pasti akan baik-baik aja”
ku potong cerita dia dengan kalimat tadi sambil memeluknya.
“Nar, kenapa lo? Lo nangis?”
tanyanya sambil mengelus rambutku.
“Gak sekarang ya, Do. lo balik
dulu, besok kita cerita-cerita. Sekarang gue lagi mau sendiri dulu. Maafin
banget hari ini gue gak bisa dengerin curhatan lo” ku lepaskan pelukanku dan
menyuruhnya untuk meninggalkanku.
“Nar, lo kenapa? Oke, gak hari
ini. Sekarang lo lagi pingin sendiri. Oke..sekarang lo istirahat ya. Jangan
begadang, pintu rumah di kunci” lanjut Ricardo sambil mengecup keningku.
“Iya, Do. Makasih..”
“Jangan nangis, kalau ada
apa-apa kabarin gue. Gue balik yah”
Ricardo berpamitan, berjalan keluar pagar dan aku kembali masuk ke rumah, masuk
ke kamarku.
Ku lihat Radit masih mengenakan
handuk, berdiri di dekat jendela, ah..dia mengintip.
“Kenapa kamu pelukan sama dia?”
tanyanya saat melihat aku melihat aku di pintu masuk.
“Gak sekarang, Dit. Please..
jangan mulai lagi. Kamu taukan, dia sahabatku dari kecil” aku menjawab dengan
nada pelan, aku pun duduk di atas tempat tidur, tanpa sedikitpun menatapnya.
“Oke, gak sekarang, artinya kita
akan bahas masalah persahabatan kamu dan dia yang menurut aku berlebihan. Kecup
kening? Persahabatan macam apa itu?” Radit terus berbicara, dan aku hanya
menyalakan rokok mendiami dia.
"Close enough to start a war, all that I have is on the floor.
God only knows what we're fighting for, all that I say, you always say more. I can't keep up with your turning tables, under your thumb, I can't breathe. So I won't let you close enough to hurt me.
No, I won't ask you, you to just desert me.
I can't give you what you think you gave me.
It's time to say goodbye to turning tables, to turning tables.
-Adele Turning Table-
Belakangan ini setiap ketemu
Radit pasti kita meributkan hal-hal itu saja, agama, cemburu, cemburu dan
cemburu. Aku muak dengan semuanya, kepalaku sakit tiap kali Radit menaikan nada
suaranya menanyaiku ini dan itu. Persahabatan macam apa? Hubungan macam apa?
Pacar macam apa? Isi kepalaku penuh.
Radit memakai
bajunya dan menghampiriku, memeluk, menciumku sekali lagi sebelum berpamitan
pulang. Aku hanya tersenyum, tidak mengantarnya keluar, tidak peduli apakah
nanti di luar akan ada orang yang melihatnya ke luar dari rumahku atau tidak.
Aku penat!
--
Setelah mandi,
aku mengambil hp, sepuluh miss called dari Elang, BBM dari Elang dan Ricardo
dan satu SMS dari Bayang. Ku jawab satu persatu BBM yang masuk. Ku baca ulang
isi SMS dari Bayang.
“Selamat
istirahat, Sinar. Terima kasih untuk hari ini. You’ve made my day, non.”
Aku tidak
membalas SMS Bayang, namun tersenyum saat membacanya kembali. Perasaan seperti
ini yang aku rindukan, perasaan yang muncul saat pertama kali Elang dan Radit
mendekatiku, saat kami belum berhubungan, muncul lagi, namun kali ini dengan
orang asing yang baru saja ku kenal bernama Bayang.
--
Jakarta, 11 Juni 2011
“Kemarin malem
gue liat mobil senior kita yang dulu deket sama lo keluar komplek rumah lo, pas
gue makan di warung si Ibu” isi bbm dari Ricardo semalam, yang baru sempat aku
baca saat bangun tidur.
“Pagi” balasan
BBM ku ke pesan tadi untuk Ricardo tanpa sedikitpun komentar tentang apa yang
dia lihat kemarin.
Hari ini aku
gak ada kuliah, aku pun belum memutuskan untuk mandi jam berapa, aku merokok di
teras sambil meminum segelas kopi hitam. Pagi yang cerah, dan tetiba lamunanku
terbuyar karena bunyi bel. Siapa pagi-pagi gini ke rumah? Perasaan Ibu bilang
beliau baru mau pulang sore nanti. Kubuka pintu pagarku dan wangi ini... ini
parfumnya...
“Pagi, Non..”
BAYANG! Pagi-pagi gini? Dan dari mana dia tau rumahku? Aduh, tadi Ricardo
bilang setengah jam lagi dia mau ke rumahku.
“Ngapain kamu
kemari?” tanyaku sambil membereskan rambutku sekenanya.
“Ciyee..manggilnya
‘kamu’” jawabnya dengan tersenyum dan meledek.
Duh..ngapain
gue manggil kamu ke dia? Sinar begooooooo!
“Eh, iya,
ngapain lo kemari? Dan tau dari mana lo ini rumah gue?” tanyaku kembali.
“Aku tau rumah
kamu dari Ibu warung tempat kemarin kita makan, lalu aku kemari untuk ngasih
ini” dia memberikan sebuah kotak berwarna pink ke arahku.
“Apaan nih?”
“Buka aja”
ucapnya sambil berjalan melaluiku, dia masuk ke teras rumahku dan langsung
duduk tanpa dipersilahkan di bangku teras yang tadi kujadikan tempat melamun.
“Siapa yang
ngizinin lo masuk dan duduk?”
Dia berdiri,
“Jadi gak boleh masuk dan duduk? Meski Cuma di teras? Oiya, orang rumah kamu
pada kemana? Kok sepi gini?”
“Gue cuma
berdua sama Ibu gue di sini, dan beliau sekarang lagi gak ada. Eh! Jangan
macem-macem lo! Gue bisa karate!” ucapku ke padanya dengan mimik muka serius,
akupun duduk di bangku satu lagi yang ada di teras.
“Sekarang aku
boleh duduk kaya kamu gitu atau kita ngobrol dengan aku berdiri seperti ini?”
dia tidak menghiraukan ucapanku sebelumnya.
“Duduk aja”
jawabku singkat.
“Kamu minum
kopi hitam? Udah sarapan emangnya?” ucap Bayang saat melihat secangkir kopi
hitam di atas meja.
“Hmmm” aku
menjawabnya singkat sambil membuka kotak yang tadi dia berikan.
Sebuah tisu?
Isi kotak ini sebungkus tisu yang dengan merk yang biasa aku pakai.
“Apaan nih?
Ngasih tisu, pake dikotakin segala?” tanyaku sambil menunjukan isi kotak
tersebut dengan mimik wajah bingung.
“Kamu belum
mandi ya? Beleknya tuh” dia malah mengomentari tampangku yang masih berantakan.
Langsung aku membalikan badan dan memeriksa apa yang baru saja dia ucapkan, ku
buka tisu yang baru saja ku dapat darinya, ku lap seluruh mukaku. Damn! Gue
lupa kalau gue belum mandi atau cuci muka sama sekali. Ini cowok sinting
ngapain coba jam segini ke rumah gue!
“Nar...Sinaaaaar...”
suara Ricardo di balik pagar rumahku, dan lagi-lagi terdengar suara bel sepagi
ini.
Duh.
Bersambung....
No comments:
Post a Comment