Tentang 30 Hari Cerita Cinta

13 September 2011

Senja Bersamamu: Air Mata

Aku masih ingat saat kamu meminta waktuku untuk bertemu melalui DM di twitter. Ingin curhat, katamu. Pada detik berikutnya, aku membalas dengan satu kata: ya.

Aku memintamu datang pada hari Rabu ke sebuah tempat, yang menurutku nyaman untuk berbicara sesuatu yang bersifat rahasia, sebelum Ashar. Kamu mengatakan bahwa hari itu tak bisa karena harus mengantar Ibu ke dokter. Akhirnya kita sepakat pada hari Kamis, waktu dan tempat yang sama.

Tibalah hari Kamis. Aku sudah datang lebih dahulu dan memesan segelas Iced Lemon Tea untuk menemaniku sambil membaca The Alchemist yang baru sampai halaman 50. Waktu di jam dinding cafe berhenti di angka 4 lebih 30. Kamu terlambat sejam. Aku mencoba memaklumi kondisi lalu lintas ibu kota. Sepertinya kamu menganggap enteng atau malah takut membelah lautan kendaraan di daerah segitiga emas itu?

Akhirnya kamu datang dengan wajah kelelahan. "Yak, stop! Gak usah ngeluh. Pasti macet banget, kan?" Aku tertawa kecil.
"Gitu deh!" bibirmu mencibir. Kamu segera memesan segelas jus alpukat kesukaanmu dengan tambahan taburan kacang almond.
"Kapan pulang ke Solo?" tanyaku membuka percakapan.
"Besok pagi," jawabmu singkat.
"Siap?" tanyaku sambil memotong roti bakar keju cokelat yang sudah dingin.

Kamu menatapku lekat dan mulai menangis. Aku menelan ludah. Kebiasaanmu seperti itu, meledakkan emosi dahulu untuk kemudian tenang bercerita.

Aku menunggu. Suaramu yang tercekat, sesekali tertawa miris, kemudian meremas tanganku, dan akhirnya menghabiskan sisa lima belas menit dengan menangis tanpa henti. "Maaf," kata pertamamu tetap dalam pelukanku.

Kulepaskan pelukanku dan menatapnya erat. "Sudah lebih baik? Lega?"
"Hm, ya. Lumayan. Makasih. Uhmph... Ya, makasih," ujarmu sambil menyeka air mata yang belum berhenti menetes.
"Berani untuk bilang pada Papamu nanti malam?"
"Siap!"
"Bagus! Good girl! Kamu harus berani bilang pada Papamu bahwa keputusanmu untuk mengambil S2 ke Jepang telah sesuai dengan keinginannya, bukan? Aku heran, kenapa tiba-tiba Papa ingin kamu di Jakarta saja, sih?"
"Mana kutahu?" kamu malah balik bertanya. Kami menutup senja itu dengan dua cangkir Black Coffee.

Dan aku menutup kisah senja ini dengan sebuah pesan di BBM. Dari Aryo, kakak Marcella.
"Ella tewas di kamar mandi. Kamu bisa menebak siapa pembunuhnya, kan?"

Om Bachtiar, Papa tiri Marcella. Kau pikir siapa lagi?

-----
Special: Ledi. I miss you, sista!




- (oleh @andiana - http://romansapena.wordpress.com)

No comments:

Post a Comment