Tentang 30 Hari Cerita Cinta

13 September 2011

Sherry dan Sang Detektif: Impian Mommy

Sherry memasukkan beberapa lembar kaos dan celana panjang ke dalam
koper. Sebuah brosur tergeletak di meja riasnya; kepulauan tropis di
Asia Tenggara. Visa, paspor, kartu kredit dan surat-surat penting ia
masukkan ke tas kecil kesayangannya, pemberian Mommy saat mengunjungi
neneknya di Kalimantan.
Sebuah ketukan mengejutkannya. Ia menyembunyikan brosur pemberian Dad-nya.
"Yeah, come in.." Sherry pura-pura meneruskan tugasnya.
"Dear, are you ready? The taxi is here.." seorang wanita cantik
memasuki kamarnya.
"Yes, Mom." sebuah senyum mengembang di wajah Sherry. Mommy tak akan
tahu, sebuah rencana telah dia siapkan.
×OoO×
"I dont wanna be a model, Mom! Berapa kali harus aku bilang? Aku tak
ingin jadi model. Titik!" Sherry menghempaskan tubuhnya ke sofa. Di
sampingnya, Ronald, Daddy-nya menggelengkan kepala sambil tetap
berkutat pada laptopnya. Sherry tampak terlalu lelah berdebat dengan
sang Mommy. Tugas sekolahnya sudah cukup banyak menyita tenaganya.
"Sherry, you're cute, beautiful, sweet, and the most important, you
have talent. You can be a star." seru Irine, sang Mommy sambil terus
mengaduk sup ayam kesukaan Daddy-nya, untuk makan malam.
"Dad, help me, please." Sherry menggenggam erat tangan Daddy-nya,
menatapnya penuh harap.
"Kau tahu bagaimana ibumu, sayang." Ronald menatap putrinya sedih.
Irene terlalu kuat untuk ditentang keinginannya. Lengan kekarnya
membelai rambut Sherry yang keemasan.
Sherry melangkah masuk ke kamarnya dengan kesal. Ia pun membanting
pintu kamarnya. Ronald menggelengkan kepala, lalu kembali ke
laptopnya.
"Sherry, you messed up!" Robert, kakak Sherry, berteriak kesal dari kamarnya.
"You shut up!!"
Irene tersenyum sambil mencicipi sup ayamnya.
"Hm, perfect..." ujarnya.
xOoOx
"Pokoknya, Mom sudah memutuskan masa depanmu sebagai model, dear. Cant
you imagine, sang ibu adalah designer dari gaun-gaun indah yang
dipakai anaknya di catwalk?" Irine membuka percakapan pada dinner
malam itu.
"Yeah, Sherry, kau akan tampak sangat cantik." Robert meledeknya.
Irene tersenyum menatap Robert.
"But, I dont wanna, Mom. Please..." Sherry meletakkan pisau dan
garpunya. Selera makannya benar-benar hilang.
Ronald berdehem keras.
"Irene, ini waktunya dinner. Tak ada yang berbicara di meja makanku."
mata tajamnya menyapu pandang ke arah keluarga kecilnya.
Suasana kembali tenang.
xOoOx
"Dear, ada audisi di Paris akhir pekan ini. Mommy telah menyiapkan
tiket untuk kita." kata-kata Irene membuat penatnya berlipat. Ia
benar-benar bosan dengan tuntutan sang Mommy. Ia melangkah gontai
menuju kamarnya. Ada tugas yang harus ia selesaikan.
"Dear, persiapkan saja pakaian casual-mu. Mom telah menyiapkan pakaian
untuk audisi. Tak perlu bawa banyak." Irene masih meneriakinya dari
bawah.
"Yeah...." Sherry terlalu lelah berdebat. Lagipula, seberapa seringpun
ia mendebat, ia tak ditanggapi juga.
Ia melemparkan tas ke atas ranjangnya. Tubuhnya pun ia hempaskan. Ia
memejamkan mata. Penat dengan impian sang Mommy. Lama ia berfikir cara
untuk lari dari hal konyol ini.
Ia menolehkan kepalanya ke arah tas yang isinya telah berhamburan.
Sebuah brosur wisata menyembul dari sebuah buku Sastra. Sebuah ide
muncul di kepalanya.
'Aku harus bilang pada Daddy. Ia pasti setuju.'
Ia menekan tombol dial pada handphone-nya. Tersambung.
"Ada apa, dear?" suara berat Ronald membuatnya terduduk.
"Dad, izinkan aku, please..." Sherry menceritakan rencananya.
Ronald menghela nafas berat.
"Kau perempuan, sayang." ia merajuk.
"But, aku sudah besar, Dad. Aku bisa menjaga diri. Dad, please.. Aku
hanya ingin lari dari Mom. Mungkin, ia akan sadar jika aku pergi?"
Sherry terus berusaha membujuk.
"Okay, just four days. Jangan lebih. Sekolahmu tak boleh ditinggal
terlalu lama." Ronald menyerah.
"Yeay! Thanks, Daddy, I love you so much."
Sherry membaringkan tubuhnya sambil terus tersenyum.
'Sorry, Mom, I hope you'll understand.' ujarnya dalam hati.


- (oleh @uswah_hasan - www.uswahscorner.blogspot.com)

No comments:

Post a Comment