Tentang 30 Hari Cerita Cinta

26 September 2011

#10 Bertemu Puteri Marry

Sebentar lagi aku akan tiba di tempat Puteri Marry. Entah mengapa ada perasaan ragu dan takut ketika aku semakin dekat dengan tujuanku. Apakah Puteri Marry sudi menemuiku? Aku hanyalah orang asing dari Negeri Selatan, pasti akan sangat aneh baginya jika tiba-tiba ada seorang laki-laki yang entah berasal dari mana datang untuk menyatakan cintanya. Sejujurnya, aku pun merasa aneh dengan ini semua, aku hanya melihat sosok Puteri Marry melalui bola kristal dan sekejap saja aku jatuh cinta padanya.
 
"Berapa lama lagi kita akan sampai, Fantasy?"
"Tidak lama lagi, Tuan"
 
Perjalanan kali ini adalah sebuah perjalanan besar dalam hidupku. Aku benar-benar melakukan sebuah petualangan hanya demi menemui seorang puteri yang bahkan aku tidak tahu siapa dia. Aku hanya mengikuti kata hatiku seperti saran dari orang-orang yang kutemui selama perjalanan ini. Semoga ini bukanlah kegilaan belaka.
 
"Fantasy, sebelum kita tiba di tempat Puteri Marry.. aku ingin kita menemui seseorang terlebih dahulu"
"Siapa yang hendak kau temui, Tuan?"
"Evelyn.. aku ingin menyampaikan pesan dari prajurit yang kita temui di lembah naga itu"
"Ah, benar. Prajurit itu menitipkan pesan padamu"
"Ya, karena itu aku harus memenuhi permintaan terakhirnya.. menyampaikan perasaannya pada wanita itu"
 
Baiklah, kali ini aku harus menyampaikan perasaan cinta seorang prajurit kepada wanita yang dicintainya. Setelah itu, baru aku temui Puteri Marry dan menyatakan perasaanku.
 
Tak lama kemudian, aku sampai di desa tempat wanita bernama Evelyn itu tinggal. Aku baru ingat jika prajurit itu berkata bahwa Evelyn sudah menikah.. Hmm, sepertinya akan ada sedikit masalah saat aku menemui Evelyn nanti.
 
Aku pun bertanya-tanya ke penduduk desa mengenai keberadaan Evelyn. Seseorang berkata jika dia tinggal di ujung jalan desa ini, maka aku pun segera menuju tempat Evelyn. Sesampainya di ujung jalan, aku melihat sebuah gubuk kecil, di depannya ada dua orang anak kecil sedang bermain. Ternyata benar saja, ini adalah tempat tinggal Evelyn.
 
"Permisi, apakah di sini ada yang bernama Evelyn?"
"Tunggu sebentar," jawab seorang wanita dari dalam gubuk.
Lalu wanita itu keluar dari dalam gubuknya, dia memakai tongkat untuk berjalan, badannya sangat kurus dan rambutnya memutih.
 
"Apakah di sini ada yang bernama Evelyn, bu?" tanyaku.
"Ya, Tuan. Aku Evelyn"
 
Baiklah, ini tidak seperti yang aku perkirakan.. Yang aku bayangkan, Evelyn adalah seorang gadis cantik yang sangat anggun.
 
"Maksud kedatanganku ke sini adalah untuk menyampaikan pesan dari seorang prajurit"
"Prajurit? Siapa namanya?"
 
Astaga, aku baru ingat jika aku tidak sempat menanyakan nama prajurit itu.
 
"Maaf, aku tidak tahu siapa namanya.. Tapi aku ingat ciri-cirinya, dia berbadan tidak terlalu besar, berkulit coklat dan rambut yang keriting, dia juga memiliki tanda di pipinya"
"Itu, Mario," tiba-tiba wanita itu tampak terkejut.. "Apa yang terjadi padanya?"
"Dia sudah meninggal saat bertarung melawan naga di lembah naga.. Dia kesana untuk mengambil bunga Rose sebagai bukti cintanya padamu"
"Apa? Dia mencintaiku? Tidak mungkin, Tuan"
"Itu benar, dia mencintaimu.. dan aku datang kesini untuk menyampaikan pesan terakhirnya bahwa dia sangat mencintaimu"
 
Evelyn terdiam, dia seolah-olah tidak percaya jika Mario telah meninggal dan yang paling membuatnya terkejut adalah bahwa ternyata Mario mencintainya. Kemudian Evelyn mengajakku masuk ke rumahnya, ia menceritakan padaku tentang Mario. Dari cerita Evelyn aku jadi tahu bahwa sebenarnya Evelyn juga sangat mencintai Mario, hanya saja kondisi fisiknya yang cacat membuat Evelyn merasa malu untuk jatuh cinta pada Mario yang merupakan seorang prajurit gagah berani yang menjadi idaman setiap wanita di desa ini. Benar-benar sangat disayangkan, ternyata mereka berdua adalah orang yang jatuh cinta diam-diam, hingga akhirnya tak satupun dari mereka yang mengetahui jika sebenarnya mereka saling mencintai. Setelah mendengar cerita dari Evelyn, aku pun berpamitan.
 
"Kau hendak kemana, Tuan?" tanya Evelyn
"Aku mau menemui Puteri Marry, aku ingin menyatakan perasaanku"
"Apakah kamu tidak tahu, Tuan? Puteri Marry telah memiliki seorang kekasih dan mereka saling mencintai"
 
Aku benar-benar terkejut mendengar perkataan Evelyn, benarkah puteri yang kucintai itu telah memiliki kekasih? Lalu, apakah semua perjalananku ini sia-sia? Haruskah aku merebut puteri Marry dari kekasihnya?
 
"Benarkah seperti itu, Evelyn?"
"Itu benar, Tuan"
"Hmm.. Aku akan tetap menemui Puteri Marry, karena bagaimanapun juga aku harus menyampaikan perasaanku"
"Sepertinya tekadmu sudah kuat, Tuan. Semoga berhasil"
"Ya."
 
Aku pun melanjutkan perjalananku ke tempat puteri Marry.
 
*
 
Akhirnya setelah semua perjalanan panjang itu, aku sampai di tempat Puteri Marry. Ya, inilah taman bunga yang sering kulihat melalui bola kristalku. Di manakah puteri Marry berada? Mengapa taman bunga ini begitu sepi?
 
Aku pun memutuskan untuk beristirahat sejenak di taman bunga ini, perjalanan panjang cukup membuat badanku begitu lelah. Udara angin yang sejuk semilir membuatku merasa nyaman, hingga tanpa sadar, aku tertidur di taman bunga. Hingga tiba-tiba ada suara seorang wanita membangunkanku..
 
"Tuan? Tuan Ksatria?" suara wanita membangunkanku.
 
Aku membuka mata dan sangat terkejut.. Puteri Marry berada tepat di hadapanku.
 
"Ah.. iya, maafkan aku" Jawabku dengan gugup
"Maaf untuk apa, Auan?"
"Eng.. Maaf karena aku tertidur di sini"
"Tidak apa-apa, Tuan.. Aku membangunkanmu karena aku takut kamu masuk angin.. Di sini anginnya cukup kencang"
"Ah, terima kasih, Tuan Puteri.... Ngg.. Mmm."
"Marry.. Namaku Marry"
"Ah, iya, Puteri Marry.. Namaku Aira"
"Apakah Tuan Aira sedang dalam perjalanan? Karena jika kuperhatikan, Tuan tidak berasal dari daerah sini"
"I..iya, aku dalam perjalanan"
 
Ingin sekali aku berkata jika aku sedang dalam perjalanan menemuimu, tapi pasti Puteri Marry akan menganggap aku laki-laki aneh jika menjawab seperti itu. Ah, puteri Marry benar-benar sangat memesona, aku curiga jangan-jangan dia juga salah satu buatan Dewa Flora, karena aku rasa Puteri Marry jauh lebih indah dari bunga Rose. Baiklah, mungkin aku berlebihan tapi seandainya Dewa yang menciptakan Puteri Marry, pastilah ia diberi banyak pesona dan kecantikan oleh Aphrodite sang Dewi Kecantikan dan Dyonisus pasti memberi banyak nektar untuk membuatnya menjadi sangat manis.
 
"Tuan? Tuan Ksatria? Mengapa kamu terdiam?"
"Ah, tidak apa-apa, Tuan Puteri.. Aku hanya.. hanya..."
"Hanya apa?"
"Hanya.. Hanya.. Kaget saja"
"Kaget kenapa?"
"Karena akhirnya aku bertemu denganmu"
"Maksudmu?"
"Eng.. Mmm.."
 
Ah sial, aku benar-benar menjadi orang bodoh di depan Puteri Marry. Jika terus begini, apakah aku akan sanggup menyatakan perasaanku? Aku benar-benar tidak yakin. Semoga Tuhan memberikan keberanian padaku kali ini saja.
 
 
"Smile at a stranger. See what happens." -Patti LuPone- 





~ (oleh @wira_panda)

Lebih Baik Menepi

Aku bertemu lagi dengan Rico di Senayan. Dia sedang berolah raga sore. Lagi-lagi sendirian. "Rico!" panggilku dari tempat parkir mobilku. Dia melambaikan tangannya dan memintaku mendekatinya.

Aku menghampirinya dan memeluknya erat. "Ih, mau aja deh kamu meluk aku yang keringetan gini?" ledek Rico.
"Lah, aku juga baru selesai lari tiga putaran kok," jawabku rada sewot.
"Ahahaha, iya deh! Mau diet? Udah kurus gitu!" Rico mendelik.
"Jelek deh!" aku melempar handuk kecilku tepat ke wajahnya.
"Udah ah! Laper. Makan yuk? Tapi jangan bilang di Plasenta atau di Sensi atau di fX deh. Ngemper aja yuk? di Blok M?"
"Yuk deh! Kamu naik apa tadi ke sini?"
"Dianterin adikku. Kebetulan ada kamu, jadi aku bisa nebeng pulang," ujarnya kalem. Aku mencibir.
"Maumu! Yuk ah!"

**

Kami menikmati gultik di Bulungan. Nikmat. Dengan cerita dan tawa Rico, aku merasa lebih nyaman hari ini. Ah ya, aku lupa bilang kalau tadi siang Aldo meneleponku. Ya, bahwa dia hanya cocok denganku di ranjang. Tidak lebih. Aku mengerti. Tak perlu menangis. Hanya merasa terhina. Itu saja. Kupejamkan mataku dan mengingat bagaimana aku bisa jatuh ke dalam pelukan Aldo. Tanpa cinta. Bodohnya aku!

"Tania?" Rico mengagetkanku.
"Hm?"
"Kebiasaan jelek banget deh! Ngelamun mulu! Siapa yang kamu pikirin? Aku atau Aldo?" tanya Rico dengan mulut penuh.
Aku mencibir sebal. "Idih! Gak dua-duanya!"
"Atau si Faisal? Katanya dia udah nyatain cinta ya sama kamu? Hayoooo, gak bilang-bilang ya?" Rico mendekatkan wajahnya padaku. Aku terkejut.
"Wa! Aduh! Bilang apa? Heh, emang ketemu Faisal di mana?"
"Gak ketemu tuh. Gak bilang apa-apa pula. Aku kan banyak mata-mata di mana pun. Taulah kalau ada gosip yang menerpamu. Ahahaha..."

Aku manyun. Hm, masalah Aldo dan gosip tentang Faisal membuatku sumpek. "Rico, aku mau ke Blok M Square. Malam ini katanya ada Endah N Rhesa manggung. Temenin yuk?"
"Ogah. Aku gak suka ke mall. Kamu tau itu. Sakit kepala ngeliat keramaian para hedonis itu. Kalo mau, kita ke Little Baghdad Kemang. Ber-shisa ria. Belum pernah, kan?"
"Ogah juga. Mending kita nonton film deh."
"Ogah! Ya udah, kita gak sepakat. Pulang masing-masing deh! Pusing! Aku gak mau bertengkar," suara Rico agak meninggi.

Aku mendelik tersinggung. "Ya udah dong gak usah bentak aku kayak gitu!" aku mengelap mulutku dengan tergesa dan menghabiskan minumku. Kemudian aku menuju kasir dan membayar makanan. Setelah selesai, "Hei Coki! Aku udah bayar makananmu! Aku pulang!" kuteriakkan nama panggilan Rico khusus dariku. Rico tak bergeming dan tak menoleh.

**

Sudah seminggu aku tak mendengar kabar Rico. Kenapa aku khawatir ya? Ah, cowok macam dia sih gak perlu dipikirin. Udah gede! Udah bisa ngehamilin cewek kok! Aku ngedumel dalam hati sambil mempercepat langkah menuju Sarinah. Tetiba langkahku terhenti. Seseorang mencekal tanganku dan aku nyaris jatuh karena limbung. Aku hendak melawan dengan menendangnya tetapi kulihat wajah Rico yang tegang sebagai jawabannya.

Aku memicingkan mata. "Coki? Rico? Heh!" Dan kemudian Rico memelukku erat hingga semua yang ada di lantai dasar Sarinah memandang kami aneh sambil berbisik. Rico semakin mengeratkan pelukannya jika aku berontak.
"What's going on? You hurt me!" 

Rico mengendurkan pelukannya dan segera menyeretku dengan kasar. Aku protes pun tak akan membuatnya berhenti. Entah berapa kali aku nyaris tersandung.

Kami sampai di restoran bakmi favoritku. Aku kebingungan. Dia hanya menyuruhku duduk. Kemudian dia memesan makanan dan minuman kesukaanku. Juga pangsit goreng. Jadi ingat ketika kami pertama makan malam di sini.

Aku memandang Rico semakin bingung. Lalu kudengar dia berbicara. "Tania, maaf bicara dan kelakuanku yang kemarin itu. Aku sungguh menyesal. Aku emosi. Aku hanya gak suka ke mall. Gak suka keramaian. Aku memang rada kesel sama orang yang suka ngajak aku ke mall. Gak ada kerjaan lain ya? Buang uang kayak gitu. Nyarinya setengah mampus, dihabiskan kurang dari tiga jam."

Aku hanya diam. Gak ngerti arahnya mau ke mana percakapan ini.

"Tania, aku mau lebih sering menghabiskan waktu bersamamu. Ngapain aja. Pokoknya bareng sama kamu. Tapi dengan satu syarat, jangan ke mall. Aku gak suka keramaian seperti itu."

Aku semakin pusing. Aku menggeleng tak mengerti.

"Kamu gak perlu mengerti sekarang. Aku memang tak seromantis Faisal, tapi aku yakin bisa lebih membahagiakanmu ketimbang dia, apalagi dibanding si bangsat Aldo," ujarnya penuh emosi.

Aku mencoba tersenyum. Sekarang aku paham. Rico yang urakan ini hatinya selembut bayi. Sensitif. Kusuapkan sebutir bakso padanya dan berkata, "Terima kasih, Ciko. Let it flows. Aku masih ingin sendiri, sebenarnya."

Rico tersenyum tipis. Aku yang meringis.

-----

Special: Kamu, yang membuatku 'terpaksa' menulis kisah fiktif ini demi sebuah kata "maaf" 


~ (oleh @Andiana)

#13 Bogor Kami Pulaangg!!

"i'm homeeee..", teriakku pada di beranda rumah. Aku sudah terlalu rindu pada hamparan kebun lily ku.

Perjalanan pulang kami dari Yogya menuju Jakarta pagi tadi terkesan sangat tergesa. Pasalnya tumben banget Nalen pulang memilih naik pesawat. Usut punya usut ternyata dia harus segera menyiapkan dokumen-dokumen yang harus dibawanya besok saat tugas ke daerah Timur Indonesia --yang jujur saja sampai saat ini pun aku ga tahu daerah tujuan tugasnya kali ini.

Bogor sore hari.
Ini waktuku bercengkrama dengan hamparan kebun lily ku. Mulai sekarang tidak perlu merasa khawatir lagi kalau harus meninggalkan rumah untuk waktu yang agak lama. Ya, selama seminggu ini ada Ahmad yang menjaga rumah kami. Ahmad adalah seorang karyawan Jemari sekaligus orang kepercayaan Nalen. Selama kami tinggal ke Yogya, sudah menjadi tugas Ahmad untuk membersihkan rumah dan menyiram kebunku setiap sore, yang tugasnya sudah ku ambil alih hari ini

Sesiangan tadi begitu sampai aku hanya melihat Nalen berbincang sebentar dengan Ahmad lalu keduanya pamit pergi ke Jerami. Nalen sih bawa tas laptopnya, kalau begini biasa ia akan pulang larut malam. Hanya itu yang bisa ku ingat dari kejadian tadi siang, karena setelah membongkar tas ransel bawaan kami yang dari Yogya kemarin aku langsung tertidur pulas. Entah kenapa belakangan aku memang gampang sekali lelah, mau nya tidur terus atau memang dasar aku nya malas mungkin ya hehe..

Tak banyak yang bisa ku ceritakan tentang hari ini karena yang tersisa dari liburanku kemarin ada dua : Separuh kenangan masa laluku yang sepi tanpa mereka dan Nalen yang bersungguh-sungguh menyenangkan hatiku selama disana. Sepertinya memang Nalen tak akan memberiku kesempatan sedetikpun untuk termenung-menung bersedih. Bersyukur sekali aku memiliki sosoknya di sampingku. Selalu di sampingku lebih tepatnya.

Seminggu, dua minggu atau bahkan sebulan ke depan aku akan tinggal sendirian di rumah ini. Suamiku Nalen akan pergi bertugas ke Timur Indonesia. Selain daerah tujuannya aku belum tahu ternyata aku juga belum tahu berapa lama ia akan bertugas disana. Aku di ajak sih sebenarnya tapi karena ku pikir aku masih banyak tanggungan tulisan dan pesanan kain batik untuk pernikahan anak sahabatnya Papi di Jakarta jadi ada baiknya aku tetap tinggal di Bogor dan menyelesaikan segala kewajibanku.

Untung saja kemarin di Yogya aku sempat ke Pasar Beringharjo belanja kain, lilin dan pewarna batik. Karena ternyata pesanan batiknya tidak hanya untuk kedua mempelai tetapi dua pasang orang tua mereka pun juga tak kalah minta di buatkan. Nanti akan ku buatkan dengan corak yang berbeda, yang jelas tak akan membuang corak khas Solo andalanku.

Kesendirianku di rumah akan di mulai dengan besok setelah aku mengantar Nalen ke Bandara Soekarno - Hatta. Oh ada baiknya aku akan membuat jadwal kesendirian di rumah menjadi mundur, aku akan mengunjungi Papi dan bermalam di sana barang semalam atau dua malam. Aku sudah sangat merindukannya, apalagi tadi Papi menyempatkan diri menelfonku memastikan aku sudah sampai Bogor dengan selamat. Hal-hal kecil tanda perhatiannya yang seringkali membuatku ingin segera menemuinya untuk sekedar memeluk barang lima menit sebelum akhirnya kita berdua akan tenggelam bersama tawa di dapur rumah. Nanti aku akan minta ijin, Nalen pasti tidak akan keberatan kalau aku bermalam di rumah Papi untuk beberapa hari.

Baiklah sepertinya aku akan membuat sedikit masakan di dapur. Biarpun sudah makan di luar terkadang Nalen akan tetap menanyakan jatah makan malamnya. Selamat berakhir pekan!

-Raina Kalea Nara-


oleh : @ukakuiki



Aku datang Morotai..
"Mas Nalen mau minum apa atau mau makan sekalian??", Kata ahmad setibanya kami berdua sampai di Jerami.
"Wah biasa aja deh mad, kopi item gulanya dikit aja, makan gak usah deh aku gak lama-lama kok, kasian Naya dirumah sendirian lagipula aku besok berangkat ke Morotai", sahutku.
"Din, kopi dua ya satu buat Pak Nalen satu lagi buat saya", kata Ahmad kepada didin, salah satu karyawan Jerami
Ahmad orang bogor asli, dia adalah orang yang kuserahkan keuangan Jerami. Ahmad masih saudaranya temanku kuliah dulu. Ia lulusan SMK jurusan akuntansi, tetapi pengalaman kerjanya sudah cukup banyak. Anaknya baik, pintar, rajin juga jujur. Aku mempercayakan Jerami kepadanya, jika aku dan naya sedang tidak sempat kesana.
"Gimana kemarin Mad waktu aku ke Yogya? Rame Jerami?", Tanyaku kepada Ahmad.
"Rame mas, kayaknya orang bogor udah mulai banyak yang tahu tempat ini", Jawabnya kembali.
"Oh gitu, baguslah. Oiya mad kemaren Naya beliin oleh-oleh kaos Dagadu buat kamu tuh, tapi aku lupa bawa. Besok aja ambil kerumah ya",
"Wah oke mas besok saya ambil, makasih banyak ya", sahut Ahmad.
"Bukan Cuma kamu aja sih yang dikasih naya, anak-anak Jerami semua dikasih. Kamu sekalian aja bawain ya, sama Bakpia masing-masing 1dus",
"Siap Mas, beres saya kasihin ke anak-anak", Jawab Ahmad.
"Mas nalen mau kemana tadi?", tanya Ahmad kepadaku
"Ke Morotai Mad", Jawabku.
"Morotai Maluku mas?", Tanya Ahmad kembali
Belum sempat aku jawab pertanyaan Ahmad, teleponku bordering. Ternayata Naya.
"Halo Nay, kenapa telepon? Kangen ya?hehehe.", Candaku ke Naya.
"Ihh.. Geer!! Kamu pulangnya jangan malam-malam Len belom packing, besok belom lagi kalo kamu bangunnya siang, kan pesawatnya siang besok?", Cerocos naya. (Bener-bener Naya berarti ini yang telepon, bawelnya gak ngebuang.. haha)
"Siap sayang, ini abis segelas juga pulang. Aku mau nitip-nitip ke Ahmad dulu, soalnya kayaknya lama nih aku disana", Jawabku,
"Kamu emang mau kemana sih Len, dari kemarin gak bilang-bilang mau kemananya?huhh", Kata Naya sedikit ngambek-ngambek manja.
"Udah deh nanti aja aku kasih tauin di rumah, ini juga bentar lagi balik. Hihihi", Goda aku kembali.
"Ihhh nyebelin banget sih kamu Len. Awas gak aku bukain pintu!!", Jawab Naya.
"Yaudah aku tidur Jerami, week", Jawabku tak mau kalah.
"Hihihi, gak kok sayang, udah dong cepet pulang! Besok kan aku udah ditinggal lagi", Kata Naya.
"Iya sayang ini pulang deh", Sahutku.
"Oke", jawab naya.
"Daghh", Kataku sembari menutup telepon.
Akhirnya setelah berbicara dengan Naya lewat telepon tadi aku kembali melanjutkan obrolan dengan Ahmad.
"Oiya mas, td Morotai Maluku Utara?", Sambung Ahmad kembali.
"Iya Mad, disana dibawahnya Filipina", Jawabku.
"Waduh jauh amat ya mas?", Lanjut Ahmad.
"Iya mad, perjalanan kesananya itu katanya sih lumayan ekstrem. Aku harus ke sophihie dulu ibukota Maluku Utara, baru dari sana naik kapal lagi. Gak ada sinyal lagi. Hehe.", Sahutku.
"Emang ada apa mas kesana?", Tanya Ahmad lagi.
"Ini kan Morotai lagi mau ngadain Sail Morotai, nah aku sama temanku diminta sama Kemenbudpar untuk mencari tahu seluk beluk Morotai yang masih belum terekspos oleh masyarakat luas, baik itu dari sisi kesenian, budaya masyarakat dan sejarahnya.", Jawabku singkat.
"Wah mantab banget yam as, jalan-jalan. Pasti tempatnya bagus banget tuh mas". Sahut Ahmad.
"Iya mad aku udah coba browsing tentang Morotai, Cuma decak kagum yang bisa aku lakukan. Bagus banget itu pantai-pantai disana.",
"Sukseslah mas, oiya mas sebenernya aku ada rencana untuk Jerami kedepannya", Ucap Ahmad.
"Apa tuh Mad?", Tanyaku singkat.
Sesaat setelah aku bertanya kepada Ahmad, aku teringat akan janjiku yang segera pulang kepada Naya.
"Begini mas aku punya usul gimana jika disatu atau dua malam, Jerami mengadakan live musicStandard aja sih gak usah band, akustikan juga bagus. Kebetulan aku punya kenalan yang orang yang bersedia ngisi.", Kata Ahmad.
"Ehmm.. Gini deh Mad, gimana kalau kamu bicarakan sama Naya. Sekarang aku harus pulang nih, belum packing trus Naya juga nunggu dirumah. Tapi pada intinya sih alku setuju sama saran kamu, nanti obrolin lagi deh ya sama Naya, karena nanti selama aku pergi Naya mau sering-sering kesini katanya." Jawabku.
"Oh gitu, oke deh nanti saya coba bicara sama Mbak naya ya Mas",
"Yaudah ya Mad aku pulang sekarang udah jam 9, titip Jerami sama naya ya Mad pas aku pergi", Ujarku.
"Sip deh ma sati-ati ya", Balas Ahmad singkat.
Setelah berpamitan dengan seluruh awak Jerami (aku lebih suka menyebut awak pada anak-anak yang bekerja di Jerami) aku segera bergegas menaiki motor kesayanganku dan kembali kerumah. Aku sering sebenarnya bepergian dan bahkan dalam jangka waktu yang lama, baik itu dengan Naya ataupun tanpa Naya, tapi kenapa kali ini aku sedikit khawatir ya? Bukan mengkhawatirkan apa-apa sebenarnya, tapi lebih kearah perasaan bersalah. Ahh mungkin semua karena aku dan Naya benar-benar tengah bahagia akan rumah kami dan tiba-tiba aku harus meninggalkannya sendiri, tetapimudah-mudahan tidak akan ada apa-apa.
Sepanjang perjalanan aku berdialog dengan diriku sendiri, tak terasa tikungan demi tikungan aku lalui hingga akhirnya tiba juga dirumah.
"Nay.. Nay..",
"Udah tidur belum?? Aku diluar nih, bukain pintu dong!", Ucapku.
Lama tidak ada suara. Akhirnya aku buka saja menggunakan kunci duplikat yang selalu aku selipkan didompetku. Teryata Naya sudah kepulasan disofa, haduuhh.. kebiasaan deh ni orang. Aku sengaja tidak membangunkannya dan memindahkannya ke kamar. Hal yang pertama aku lakukan saat itu adalahpacking dan aku menyiapkan pakaian dan perlengkapan untuk 2 minggu.
Tak terasa hampir sejam aku packing dan Naya benar-benar tidak tebangung sedetik pun, Naya benar-benar lelah rupanya. Selesai packing aku langsung menuju ruang makan, aku lihat masakan dibawah tudung saji. Rupanya Naya masak tumis kangkung dengan terong balado, tanpa ragu aku santap makanan itu.. hehe. (tadi kan di Jerami gak jadi makan)
"Nay.. Nay.. bangun yok kita pindah ke kamar.", Aku membangunkan Naya yang selimutan di sofa ruang TV.
"Eh kamu Len, baru dating?", Sahutnya dengan mata yang masih sipit karena baru saja terbangun.
"Gak kok sayang, aku udah dari tadi sampe. Aku udah packing udah makan masakan kamu yang lezat. Hehehe", Jawabku.
"kok gak bangunin aku?", Kata Naya.
"Ahh apanya yang gak bangunin, kamu aku bangunin gak bangun-bangun. Dasar Kebo.. hihihi", Seketika itu juga aku angkat Naya dari sofa ke kamar tidur.
"Wahh asikkk bisa terbang.. hehehe.", Canda naya.
Sampai disini dulu ya sudah malam, aku dan Naya mau istirahat. Hehehe, Sampai bertemu di Morotai! =)
Nalendra Jaleswara
Bogor, 22.403 WIB



~ (oleh @sthirapradipta)

Delapan #10

Seperti biasa di pagi-pagi sebelumnya, aku bisa dikatakan sebagai siswi tercepat sampai di sekolah. Ini semua karena ayahku adalah tipe manusia disiplin yang punya pendirian bahwa lebih baik menunggu satu jam dari pada terlambat satu menit. Jadi dari jadwal masuk sekolah yang sebenarnya adalah 6.45 pagi, maka 6.10 aku sudah duduk dalam kelas. Malah kadang pukul 6 teng, aku yang membuka pagar terlebih dahulu barulah bapak yang biasa membuka pagar datang.

Hari itu Senin. Rutinitas Senin pagi sampai saat ini belum pernah ditinggalkan PKL. Upacara bendera. "Kalau upacara bendera yang tinggal berdiri sebentar saja ananda sekalian tidak mau ikut atau malas-malasan, bagaimana bisa ananda hidup saat Belanda dan Jepang menjajah negara ini?" Begitu lah pertanyaan Kepala Sekolah saat diamanahkan menjadi pembina upacara setahun lalu, yang bahkan aku masih ingat betul raut mukanya ketika menyampaikan.


Dini datang dan langsung menghambur ke tempatku duduk dengan sebelumnya meletakkan tas terlebih dahulu di kelasnya. Aku sedang duduk di pelataran pinggir lapangan basket sambil membaca sebuah novel. Masih novel yang sama ketika Milan meminjam remot AC waktu itu. Bacaanku terhenti saat mendengar suara nyaring Dini.


"Woi! Sendirian aja? Milan mana?"

"Mungkin masih dijalan Din. Ngga tau juga"
"Hmmmmmmmmmmm gituuu"
"Emang di kelas ngga ada gitu, Din?"
"Seingat otak dan penglihatan saya, alis matanya sama sekali tak berkibar-kibar di kelas, Nona Anggi"
"Sok puitis sekali anda, Nona Andini"
"Apa bedanya dengan anda barusan?"

Lama aku dan Dini bercerita sampai-sampai aku lupa untuk meneruskan novel tadi. Dini katakan kalau Milan itu sangat lucu. Lawak, tepatnya. Milan pernah selebrasi di kelasnya dengan menari mengelilingi bangku dan meja yang ada. Aku ingin sekali melihat itu. Milan pernah marah dengan muka serius tapi logatnya seperti main-main. Urat lehernya kelihatan. Matanya membesar. Tangannya memukul-mukul meja. Aku juga ingin melihat Milan melakukan itu. Sedang asyiknya kami berdua tertawa terbahak-bahak, tetiba saja suara objek yang sedang kami ceritakan terdengar.. Sejurus kemudian aku terdiam. Pipiku memerah. Sisa tawa Dini masih ada, menggantung di udara.


"Deneee! PR Kimia udah selesai? Tolong bantu plis plis plis"

"Milaaan! Minta bantu sama master Kimia aja nih plis plis plis"
"Master Kimia? Siapa?"
"Siapa lageeee. Anggita Syifa Prameswari Farera Ibda dooooonggg"
Pipiku bertambah panas. Alis mata Milan naik sebelah dan mulutnya sedikit menganga, menatapku sekilas seolah tak percaya. Ia lalu tertawa memperlihatkan behel-behelnya. Tawa Milan barusan seperti menghipnotis bibirku untuk membalasnya.

"Bentar ya Nggi. Kita kasih pertolongan pertama dulu nih si ganteng satu. Ntar cerita lagi deh"


Mereka berdua berlalu. Aku balik badan, dan tertawa sendiri sampai sepertinya mataku tampak tinggal segaris. Aku senang sekali. Pagi-pagi sudah bertemu 'mood booster'. Bayangkan nilai berapa yang aku dapat di ulangan harian Kimia setelah upacara nanti. Belum selesai aku mengimajinasikannya, suara cempreng Dini terdengar lagi, "Tangkap Nggi!" Bersamaan dengan melempar sebelah sepatu Milan. Sebagai respon yang sangat mendadak, aku terima sepatu yang sempat mengenai perutku. Sedikit sakit.


"Astaga Diiin. Apaalah ini.. Ambil lagi sepatunya sana"

"Ambil sendiri kalau emang ngaku laki-laki hayoo"
"Mohon ini Din.. Serius.."
"Bhahahahahahak! Sama Anggi aja ngga berani"

Dengan muka setengah terpaksa setengah kesenangan, Milan melompat-lompat dengan kaki kanan diangkat. Iya, dia melompat dengan hanya sebelah kaki untuk mengambil pasangan sepatunya padaku. Aku berikan sepatu itu lalu Milan mengucap kalimat terimakasih. Hatiku melompat-lompat seperti dia barusan. Hari itu, 18 Mei 2009.



~ (oleh @captaindaa)

Rekam Imaji #12

Jogja, Januari
Bumi Amezta
"Pelangi masih berada di Jogja." Suara langit datar terdengar, tanpa amarah.
"..."
"Bukannya gwe masrahin dia ke elo Mi...tapi gwe juga nggak mau memaksakan dia. Dia nggak ngijinin gwe
bilang ke lo, jadi jangan muncul tiba-tiba...dan satu hal Mi, jangan lo muncul di hadapan dia sebelum lo bener-bener punya nyali!" Lanjutnya tegas.


Aku bersandar pada tembok kayu dari bangunan bergaya lama. Di pintu berkaca yang dibingkai kayu tergantung tanda 'CLOSE', tiraipun masih menutupinya. Ku lirik jam tangan, waktu menunjukkan pukul 7. Aku masih harus menunggu hingga jam 10 untuk bisa mengunjungi toko antik ini. Beberapa waktu lalu saat mengunjungi toko ini aku menemukan jam pasir berwarna pelangi. 

"Kamu mengingatkan saya kepada seorang perempuan muda yang beberapa waktu lalu suka
datang ke tempat ini."

Aku kembali teringat dengan kata-kata wanita tua pemilik toko. Kemudian terbayang wajah Pelangi. Wanita tua itu berbicara seolah memberiku sedikit petunjuk mengenai Pelangi, mengenai rasanya...hemm, tapi bisa
saja itu perempuan lain. Andaikan saja itu Pelangi, aku juga tidak bermaksud menunggunya di sini. Tidak munafik aku merindukannya dan ingin segera bertemu, menyampaikan rasa dan menunjukkan nyali. Tapi kalau saja tidak ku ingat ucapan Langit...

Nyali dan rasa sudah seperti letupan, masih harus ditambahi oleh rindu yang seolah memaksaku untuk menarik sosok Pelangi dan merebahkannya di sisiku. Tapi ku rasa belum saatnya, aku tidak ingin menciptakan rindu di
antara resahnya. Rasanya bodoh kalau aku terus mengganggunya, mengiriminya pesan berulang kali, menelponnya...aku sudah bukan lagi remaja labil yang bisa memaksakan rasaku sendiri.

Ku jauhkan diri dari toko antik tersebut. Berjalan ditemani kata entah. Menyusuri jalan-jalan yang ramai oleh kedatangan para turis lokal seperti aku salah satunya, maupun internasional. Aku tidak terlalu mengenal
Jogja, tapi aku tahu Pelangi tergila-gila dengan kota ini. Pernah dulu ia menceritakan dengan antusias apa yang membuatnya tertarik dengan kota berhawa panas ini.

"Aku pingin tua nanti hidup di Jogja."
"Kenapa?"
"Jogja tuh indah...di mana budaya dan modernisasi saling membatasi. Menjadi tua...lalu memiliki rumah
mungil dengan hamparan ilalang." Kemudian Pelangi memandangku dengan mata bulatnya di antara kilat senja yang masuk melalui jendela. "Tua bersama pria yang aku cintai, maukah?"

Saat itu aku merasa kamu tengah melamarku masuk ke dalam dunia impianmu. Menawarkan sebuah impian yang dapat dibina berdua dengan aku dan kamu, lalu nantinya akan ada keluarga baru di antara kita. Membayangkannya membuatku malu hingga akhirnya aku menganggapnya guyon, impian anak-anak kecil
yang belum tahu susahnya hidup. Impian naif dari seorang gadis kecil polos..
.
Langkahku terhenti pada penjual gula-gula kapas yang menjadi primadona di antara bocah-bocah. Haha...Jogja ini rasanya berisi jejak Pelangi! Tawaku dalam hati.

"Dasar anak kecil, itu tuh, makanan bocah-bocah tau!" Seruku lagi-lagi menggoda Pelangi yang tengah
asyik menikmati gula-gula kapas berwarna pink.

"Sirik, berisik! Udah tua emang nggak boleh makan-makanan anak muda!" Balasnya dengan bibir yang
mecucu.

"Kebiasaan makan kayak gitu bikin gigi lo ompong, kayak keponakan gwe."
"Nih liat!" Pelangi membuka mulutnya, memperlihatkan deretan gigi rapih tanpa bolong. "Gigi sehat!
Rajin gosok gigi!"

Kemudian ia beranjak meninggalkanku. Rasanya menggodanya tak hanya cukup sekali atau dua kali. Jadi
ku sejajari langkahnya, lalu merebut gula-gula kapasnya. Membuatnya merengek seperti bayi, melihat wajah lucunya saat mecucu.


Wajah Pelangi, aku memiliki banyak wajah Pelangi yang ku abadikan dengan kameraku. Mencetaknya berlembar-lembar, menempelnya di dinding tiap kali aku agak lima singgah di suatu tempat. Kalau tidak, ku simpan beberapa di dompet, telepon genggam hingga lap top. Memandangnya saat hati tak tenang, lalu aku akan terkekeh sendiri. 

Eh, suara perutku meronta! Hemm..tanpa sadar kakiku melangkah ke kafe dulu tempat kami bertemu. Saat Langit memperkenalkan Pelangi sebagai calon istrinya. Saat itu aku berusaha untuk tidak gugup, berusaha untuk menahan rasa, jangan sampai tiba-tiba aku mendekapnya erat. Akupun memilih tempat duduk yang sama, mereka-reka penampilan Pelangi saat itu. Dress kaos panjang yang dibalut dengan blazer hitam.
Rambutnya semakin panjang dan bergelombang, warnanya agak coklat, ketika disibakkan Pelangi memamerkan deretan anting-anting di telinga kirinya. Pelangi hanya sesekali meneguk es coklat di hadapannya, minuman yang kerap menemaninya...iya, es coklat, tidak berubah!
"Permisi." Seorang pelayan sudah siap meletakkan pesananku di atas meja. Sepertinya beberapa saat ia memperhatikanku yang sejak tadi tersenyum sendiri. "Ah, nanti tolong bawakan bir dingin juga, terima kasih."
"Baik mas. Botol besar atau kecil?"
"Kecil."
Ku lahap dengan cepat makanan yang tersaji. Kemudian menyalakan korek dan membakar tembakau. Dulu Pelangi suka sekali minta dibuatkan kepulan asap bulat, dia memang kekanakan...Haha...lagi-lagi aku terkekeh sendiri.
"Ini mas, birnya...". Pelayan tadi meletakkan sebotol bir di atas meja. "Hemm, sepertinya sedang jatuh cinta ya mas?" Tanyanya sambil tersenyum sembari mengangkat piring-piring kotor dari atas meja.
Aku tak menjawab, hanya membalasnya dengan tawa pelan, pastinya ia sudah tahu jawabannya.
Ku sandarkan tubuh pada punggung sofa, meneguk bir dingin, memejamkan mata. Kembali terbayang Pelangi..tepatnya Pelangi dan aku. Hamparan ilalang...
Liar adalah kamu yang ku cumbu dengan napas menderu semalam, desah napasmu yang ku jamah semalam suntuk, ketika letupan rindu menemui titik temu. Tak perlu lagi akasara bahkan kata, menyentuhmu dengan rupa dan aroma...tembakau, rindu, resah meruah…
Tak perlu menakuti malam yang kemudian akan menjadi pagi, siang lalu sore, dan nantinya akan kembali malam. Kita sudah punya satu tempat untuk mengadu, memiliki rasa untuk diadu dengan rindu, memilin bilur-bilur ketika bibir saling adu, bersentuh kulit dengan ujung jarimu berpeluh…
Sayang…liar adalah kamu yang membuatku rindu dijamah, dikecup, diusap, dijelajah…
Liar adalah kamu ketika menjelajah tubuhku tanpa merayu terlebih dahulu, ketika degup jantungku seperti mengaduh, ketika semalam tanpa memejam, Pelangi tertidur di sampingku, tubuhnya membelakangiku sehingga aku hanya bisa melihat punggungnya yang terbuka, hanya ditutupi beberapa helai rambut. Aku baru tahu ia memiliki dua tahi lalat di bahu kirinya, dan yang satu di sekitar rusuk. Ku sentuh perlahan, tidak ingin
membangunkannya. Kemudian aku tersadar, baru saja ku sentuh Pelangi...tidak, bukan hanya ku sentuh! Aku mengecupnya, tidak hanya di bibir. Menyentuhnya, tidak hanya sebatas kulit dan jari beradu, tapi kulit kami saling sentuh..saling menjelajah...
Aku menikmatinya...saat jemari Pelangi menjalar, desahnya di telingaku. Menyentuhnya dengan melupakan Pelangi yang saat itu merupakan calon istri dari sahabatku, aku menghabisi sisa gadis dalam diri Pelangi. 
Haaaahhh...ku hela napas panjang. Ku lirik jam tangan. Pukul 9.30. Ah, sebentar lagi...aku akan kembali ke toko antik. Rasanya sambil jalan aku akan sampai di sana sekitar jam 10.
"Permisi...". Ku buka pintu, lonceng berbunyi. Ku intip, masih sangat sepi.
"Selamat pagi...". Sapa wanita yang dulu berbincang denganku, pemilik toko kalau aku tak salah tebak. "Sepertinya anda pernah ke sini."
Aku mengangguk, "anda pernah menceritakan seorang perempuan yang memandang jam pasir yang sama denganku."
"Ah!" Ia menjentikan jarinya. "Ya...wah, baru saja ia keluar dari sini, sekitar beberapa menit lalu."
Aku cukup kaget mendengarnya. "Oh, ya...".
Selalu saja wanita tua ini tersenyum penuh arti, "panggil aku bunda, wanita muda itu juga biasa memanggilku begitu." Aku mengangguk.
"Silahkan melihat-lihat, mungkin anda bisa menemukan sesuatu yang menarik, seperti yang ditemukan wanita muda tadi."

"Eh...panggil saya Bumi."
Bunda terkekeh menatapku, ia mengangguk lalu memberi isyarat agar aku mengikutinya. "Ku tunjukkan padamu tempat aku menyimpan barang-barang baru."
Tak berapa lama kami berdiri di depan meja di mana di atasnya terdapat beberapa kotak kayu tua dengan ukiran batik. Banyak sekali perhiasan antik. "Silahkan melihat-lihat, saya tinggalkan sebentar."
"Ah, tunggu...apa yang perempuan itu temukan?"
Bunda menatapku, "Sepasang...sebuah petunjuk, arah dan...". Bunda meletakkan kedua tapak tangannya di pipiku. "Keikhlasan...".
Setelah itu bunda meninggalkanku. Mataku menyusuri benda-benda di atas meja. Hemm...aku tidak ahli dalam hal perhiasan, tidak terlalu suka juga memakainya. Paling hanya sepasang anting hitam kecil di  kedua telingaku, jam tangan dan beberapa gelang yang ku beli di sekitar Malioboro. Dalam tumpukan perhiasan ku temukan sebuah kotak kecil yang juga terbuat dari kayu. Ku buka, di dalamnya terdapat sepasang cincin dari kayu berwarna coklat tua, masing-masing terdapat satu buah mata.
Tanpa pikir panjang ku ambil kotak dan kedua cincin tersebut, menemui bunda yang tengah menyusun  barang-barang di etalase.
"Saya tertarik dengan ini." Ku letakkan kotak di atas kaca etalase.
Bunda mengamati kotak tersebut, dia membuka kotaknya, lalu memperhatikan kedua cincin. Seperti biasa, beliau tersenyum penuh arti, seolah ia tahu akan sesuatu tapi enggan berkata.
"Hemm...yakin?"
Aku mengangguk mantap.
"Bumi...ini adalah cincin sepasang. Cincin yang nantinya akan kau sematkan di jari manis wanita  yang benar-benar kau cintai...".
"Aku tahu...".
Bunda mengisyaratkanku untuk diam, mendengarkannya sampai selesai. "Ketika kedua cincin sudah tersemat, tak ada jalan untuk kembali...maka pikirkanlah sebaik mungkin sebelum kau memberikannya."
Wajah bunda terlihat sangat serius. Aku mulai curiga, barang antik milik orang-orang Jawa biasanya menyimpan banyak rahasia, atau...sebut saja yang terburuk, kutukan! Bodoh, aku tahu...tapi bukankah mistis dan hal-hal semacam itu akan selalu lekat dengan rakyat Indonesia, mau seberapa kerasnya invasi Barat?
Tak lama bunda tersenyum, "cincin ini akan membawamu padanya."




~ (oleh @NadiaAgustina)

Sebuah Kata Hati


"Moaaan !!!!!!!!!"
"apa nyet, lo ganggu gue tidur aja"
"Si Sam ngajak gue nonton, terus pake ngancem pake foto gue yang sama Indra lagi"
"Waduh ??"
"dia dapat dimana coba?"
"mana gue tau, tanya Indra lahh"
"ihh moan lo semenjak gue punya masalah serius sama Sam jadi gini ya? Gak habis pikir gue"
"ahh gue bukannya orangnya emang cuek Fan ?"
"ya tapi gak gini juga kali"
"yahh terserah lo deh"
                Semenjak, kejadian saat hujan tersebut, makin lama hubungan Fany dengan Moan semakin memburuk. Entah apakah pengaruh dari Sam ataukah sikap Sam yang seperti itu membuat Moan semakin tak nyaman bergaul dengan Fany ?. Fany merasa ada yang disembunyikan darinya, hanya saja Fany tak berani menanyakannya pada Moan.
                Besok malam Fany bahkan harus meladeni Sam dengan permintaan konyolnya menemaninya nonton di bioskop. Fany dengan berat hati akhirnya menerima ajakannya. Tampaknya ada yang direncanakan Sam untuknya. Ingin meminta bantuan Moan, tapi Fany sedikit risih dengan sikap Moan tadi. Harus sendiri? Ya? Siapa takut? Akan banyak orang di Bioskop nanti.
Kelas XII ipa 2 ~ 7:15
"Moan sorry yang semalam ya, gue gak maksud buat lo marah"
"gapapa kok salah gue juga udah terlalu overdosis gak peduli sama lo"
"iya salah gue juga yang kelewat emosi"
"okedeh saling maafan aja ya kita"
"sip"
"gimana rencana lo ngedate sama Sam" kata moan sambil melirikkan matanya pada kumpulan anak cowok di luar, nampak Sam ada diantaranya
"Ihh moan gue bukan mau ngedate"
"lahh secara malam minggu gini nonton berduaan gitu kalo bukan ngedate ngapain coba ?"
"yah terserah lo deh gimana yang jelas, gue minta bantuan lo soal itu"
"bantuan apa ?"
"ikutan ya ntar malem, plissss"
"mana gue bisa Fan kan gue mesti temenin nyokap gue berobat, gue udah bilang kan minggu lalu"
"oh iya, gimana dong nihh"
"good luck ya nyet"
                Percakapan tersebut segera berakhir dengan datangnya guru ke kelas mereka. Sepanjang pelajaran Fany semakin tak tenang dengan sikap Sam. Gosip pun mulai berhembus, semenjak itu Sam dan Fany lebih sering pulang dan pergi bersama. Tentu saja dengan posisi Sam yang tak selalu berdampingan dengan Fany. Kicauan celetukan Sam pun tak lagi terdengar. Hanya saja musibah lagi bagi Fany jika sikap Sam seperti ini. Sepertinya serba salah apapun yang dilakukan Sam pada Fany.

                Fany kira janji Sam berubah tak sedrastis ini. Cukup drastis sampai-sampai masalah baru muncul. Jalinan persahabatannya dengan Moan pun beberapa kali bermasalah. Fany tak mungkin meminta sam kembali seperti dulu. Menaruh permen karet di kursi fany, kelabang di laci Fany, Ngerjain Fany sampai kegeeran, dan sampai hampir menghilangkan Fany gara-gara terpeleset. Ada sedikit rindu dalam suasana itu, hanya saja siapa yang ingin menyalahkan Sam atas kemauannya untuk berubah. Fany tak bisa menolak, itu sudah janji Sam untuknya.
                Masalah lain kemudian tiba ketika Fany sedikit demi sedikit mulai ada 'rasa' pada Sam. Apakah ini misi Sam? Atau bahkan ada maksud lain?. Namun ada kalimat lain dalam hati kecil Fany yang lebih tepat menggambarkan ini semua.
"Aku rindu Sam yang dulu"

To Be Continued…

Special Thx for Theresia Jayani GBU


(oleh @iimamf)