Tentang 30 Hari Cerita Cinta

Showing posts with label Secret Past. Show all posts
Showing posts with label Secret Past. Show all posts

01 October 2011

#6 Rage of The Beast




            Dia menemukan dirinya basah kuyup oleh guyuran hujan yang ditumpahkan dari langit tanpa kenal ampun. Beberapa kali langit terlihat berkilat terang oleh kilas cahaya halilintar yang menyambar disertai dengan bunyi ledakan yang memekakkan telinga. Selama beberapa lama dia mencoba memahami apa yang terjadi dengan dirinya. Kemudian dia samar-samar mulai mengenali jalanan gelap tempatnya berada sekarang.
Oh tidak... Tidak lagi...
Pandangannya kabur karena kacamatanya telah basah oleh air, tetapi dia masih dapat melihat cukup jelas saat perlahan-lahan mengangkat kedua tangannya. Darah kecoklatan itu masih melekat kuat membungkus tangannya.

Ariyo terbangun secara kasar dari tempat tidurnya. Meskipun AC kamarnya saat ini sudah terpasang pada suhu delapan belas derajat celcius, tetapi entah mengapa saat ini udara di sekitarnya terasa panas dan menyesakkan. Dia harus mengeluarkan usaha ekstra untuk kembali mengatur napasnya secara normal. Tangannya perlahan menyeka butir-butir keringat sebesar biji jagung di dahinya.
Mimpi itu datang kembali.
Ariyo perlahan-lahan tersenyum. Senyuman kepasrahan.
Seberapa jauh pun kau mencoba berlari, kau tetap tidak akan bisa terlepas dari dosa masa lalu...
 

            Lagi-lagi, seperti biasanya, Adiana menemukan dirinya terlambat pada jam kuliah pertama. Setengah berlari dia menyusuri koridor yang menuju ke Ruang Kuliah Anatomi. Meskipun hari ini masih pagi, tetapi sudah terdapat titik-titik keringat di dahinya. Tetapi tidak ada waktu bahkan untuk menyekanya. Tiba-tiba, entah kakinya sendiri atau memang terdapat benda asing di sana, kakinya terasa terantuk sesuatu dan dia merasakan adanya sentakan hebat yang mendorongnya ke depan.
Adiana tahu dia akan terjatuh. Tetapi tidak ada rasa takut dalam dirinya karena akan ada yang menjaganya.
            BUK!
            Gadis itu tersungkur di atas lantai dengan cukup keras. Untuk beberapa saat waktu terasa berhenti baginya. Dia mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Tidak ada seorang pun di sana. Dia berdiri sambil menepuk-nepuk tubuhnya. Matanya melirik pasrah ke beberapa noda cokelat yang melekat di pakaiannya.
            Dia masih dapat bersyukur bahwa dia tidak terluka. Setidaknya tidak di tubuhnya.
            Adiana lupa. Penjaga yang diharapkannya sudah pergi.

            "Jadi kalau menurut gue lebih baik kalau kita semua membagi tema penelitiannya berdasarkan insidensi penyakit yang terjadi di masing-masing Rumah Sakit." ujar Matahari sambil menatap teman-temannya satu persatu.
            Ketiga temannya mengangguk-angguk tanda setuju, tetapi Matahari merasa ada yang kurang. Tepat di seberangnya Adiana sedang melihat ke arahnya, tetapi sinar matanya menunjukkan bahwa pikirannya sedang berada di tempat lain.
            "Ana? Loe dengerin gue atau nggak, sih?" tanya Matahari sedikit kesal.
            Adiana tersentak. Di hadapannya keempat temannya sedang memandangnya dengan tatapan bertanya-tanya.
            "Ah, sorry... Iya, gue juga setuju kok dengan loe semua." jawab Adiana dengan nada tidak yakin.
            "Ana, ada apa sebenarnya? Sedari tadi gue lihat loe sama sekali tidak fokus ke riset kita. Apa yang loe pikirkan?" tanya Ima penasaran.
            "Ah, tidak kok... Tidak apa-apa..." Adiana terdiam sejenak. "Gue cuma sedikit lelah. Itu saja. Tadi malam gue sedikit terlalu larut tidurnya."
            "Tumben? Biasanya loe yang paling cepat tidur di antara kita semua." komentar Ima.
            "Well... Mungkin saja kalau dia bukan menggunakan waktunya untuk tidur dan justru telepon-teleponan sama cowok." ujar Yenny sambil tersenyum nakal.
            "Hoo... Benarkah? Dengan Adit?" tanya Ima sambil tertawa kecil.
            Yenny mengangkat bahu. "Yah, gue rasa itu salah satu keuntungan berada dalam satu tempat kos dan memiliki dinding tipis. Atau justru kesialan ya?" kali Yenny tidak dapat menahan tawanya.
            Adiana hanya menjawabnya dengan senyuman malu.
            "Oh iya, ngomong-ngomong soal cowok... Gue jadi ingat sesuatu. Tadi gue sempat bertemu Ariyo di Kafetaria, meskipun tidak menyapa sih, seperti biasa. Jadi? Ada apa dengan kalian berdua?" tanya Yenny ringan tanpa sungkan-sungkan.
            Adiana terbatuk kecil. Seperti ada yang menusuk hatinya dan terasa sangat menyakitkan. Keempat temannya sekali lagi memandangnya, tetapi kali ini pandangan mereka penuh penilaian dan jelas-jelas sangat menuntut jawaban darinya. Dia tidak habis pikir darimana teman-temannya tahu mengenai apa yang terjadi antara dirinya dengan Ariyo. Tetapi apapun itu, Adiana tahu dia tidak bisa kabur dari ini.
            "Well... Semuanya tidak berjalan dengan baik. Itu saja. Gue sih sebenarnya mengharapkan kita berdua bisa tetap dekat atau setidaknya membicarakannya terlebih dahulu, tetapi tampaknya memang sulit untuk..."
            Adiana berhenti saat menyadari ada yang aneh dari tatapan teman-temannya. Kening mereka semua berkerut dan raut wajah mereka justru terlihat semakin bertambah bingung setelah penjelasannya.
Ada apa ini? Kenapa mereka...
            "Ehm... Ana, jujur saja gue tidak mengerti... Maksud gue tadi adalah soal ada hubungan apa antara loe dan Ariyo. Karena jujur saja, seminggu lalu itu kita semua cukup kaget melihat loe bisa jalan berdua dengan Ariyo. Dan loe belum pernah cerita apapun soal itu kan." kata Yenny berhati-hati.
Adiana merasa ingin memukul kepalanya sendiri—atau setidaknya bersembunyi dari tempat itu.
            Bodohnya gue! Tentu saja bukan itu pertanyaannya, Adiana! Bagaimana mungkin mereka tahu tentang masalah gue dan Ryo? Jangankan itu, gue bahkan tidak pernah menceritakan ini pada siapa pun kalau kami berdua cukup dekat satu sama lain.
"Ngg... Jadi maksud loe, loe dan Ariyo dekat satu sama lain....? Atau...?" tanya Ima hati-hati.
            Adiana merasa harus mengerahkan seluruh kemampuan bahasanya untuk menanggapi pertanyaan ini, sekaligus mencoba untuk tidak berbicara terlalu terbuka.
            "Mmm... Maksud gue adalah memang iya gue dan Ryo akhir-akhir ini sempat beberapa kali berinteraksi lebih daripada yang dulu-dulu. Yah, gue cuma berpikir, masa sih gue tidak mengenal teman seangkatan gue sendiri. Hanya saja... Yah, kalian semua juga tahu kan tentang Ryo dan sikapnya. Ternyata memang tidak mudah berteman dengan dia." Adiana memaksakan tersenyum.
            "Ooohh... Jadi kalian berdua memang berteman, ya? Wah, gue harus mengakui kalau gue sama sekali tidak menyangka loe bisa berteman dengan Ariyo. Loe mungkin cewek pertama, Na, yang gue tahu bisa mendekati cowok dingin itu." kata Ima masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya.
            "Ah, ini tidak seaneh kelihatannya kok. Ryo juga tidak seburuk yang kalian duga!" Adiana sedikit berteriak saat mengatakannya. "Maksud gue, dia masih bisa diajak mengobrol hal-hal yang menarik kalau mau." Adiana buru-buru menambahkan saat melihat teman-temannya sedikit terkejut medengar teriakannya.
            "Hoo... Benar kalian hanya berteman? Lalu bagaimana dengan kencan kalian seminggu yang lalu itu?" tanya Yenny menggoda Adiana.
            "Itu... Itu sama sekali bukan kencan! Waktu itu gue memang sudah ada rencana pergi ke Grand Indonesia, dan kebetulan Ryo juga ingin kesana, jadi ya gue sekalian bareng sama dia. Hanya itu saja. Biasa saja, kan? Gue dan Ryo tidak lebih dari teman biasa. Benar, deh, Percayalah." Adiana terlihat salah tingkah.
            "Iya, iya, tenang Ana... Kita percaya kok. Tidak perlu panik begitu, dong." ujar Yenny mengangka tangannya seraya tertawa.
            "Tapi gue sedikit kecewa sama loe lho, Na, karena loe sama sekali pernah cerita soal hubungan loe sama Ariyo ke kita semua." ujar Ima pura-pura kesal.
            "Ah... Soalnya menurut gue tidak ada yang istimewa.dari itu semua. Maksud gue... Wajar saja kan kalau gue berteman dengan anak angkatan kita sendiri. Sama saja seperti gue berteman dengan loe semua. Jadi ya... Begitulah." Adiana mengangkat bahu seraya tersenyum.
            "Tapi kalian berdua sekarang sudah tidak berteman lagi, kan?"
            Adiana menoleh ke pemilik pertanyaan tersebut, diikuti oleh teman-temannya yang lain. Matahari sedang menatapnya tajam.     
"A... Apa maksud loe, Tar?" tanya Adiana sedikit gugup.
            "Iya... Tadi loe sempat mengatakan bahwa tidak mudah berteman dengan dia. Gue menebak dari situ bahwa pertemanan kalian tidak berjalan dengan baik? Berarti kalian tidak berteman lagi, kan?"
            Adiana berusaha meyakinkan dirinya salah, tetapi—entah mengapa—dia dapat merasakan ada sesuatu yang tidak baik di balik pertanyaan sahabatnya tersebut. Seolah-olah dia memang mengharapkan jawaban "iya" dari Adiana.
            "Oh... Well... Yah, mungkin bisa dikatakan seperti itu." jawab Adiana singkat.
            Matahari mendengus. "Yah, gue rasa memang itu yang terbaik. Untuk apa loe menghabiskan waktu loe bersama cowok jahat seperti itu. Dia memang tidak pantas untuk bisa berteman dengan siapa pun." Matahari menyeringai penuh kepuasan.
            Adiana menatap heran ke arah Matahari. "Tar, kenapa sih loe harus bicara seperti itu? Tolong, jangan terlalu memojokkan Ryo. Seperti yang gue bilang, dia juga tidak seburuk itu.
            "Tidak seburuk itu?! Loe masih ingat kan apa yang sudah dia lakukan ke gue? Apa menurut loe perbuatan yang dia lakukan itu bukan sesuatu yang keterlaluan? Dia tidak bersikapnya layaknya seorang cowok baik-baik!" ujar Matahari geram.
            "Tar, loe menilai dia hanya dari kesan pertama. Gue mengakui bahwa itu memang bukan sikap yang menyenangkan, apalagi untuk loe. Tapi gue rasa itu hanya salah paham atau Ryo memiliki alasannya sendiri."
Adiana terdiam sejenak mengingat saat laki-laki itu menolongnya dari pelecehan di dekat tempat kos-nya, mengantarkannya pulang, menemaninya membeli hadiah, dan banyak lagi peristiwa yang berkelebat di pikirannya.
"Ryo memang bukan tipe cowok yang akan selalu bersikap ksatria kepada cewek. Justru dia adalah cowok paling sinis, menyebalkan, dan dingin yang pernah gue kenal. Tapi..." Adiana tidak dapat menahan diri untuk tersenyum tipis. "Seandainya loe memberikan waktu untuk mengenalnya, loe akan bisa melihat bahwa dia memiliki banyak sisi baik."
"Hah! Memberikan waktu? Jangankan mengenalnya, bahkan untuk menyapanya pun gue malas."
"Well... Kalau begitu loe tidak akan pernah melihat kebaikan dia." komentar Adiana sedikit dingin.
Matahari menatap Adiana dengan sinis. "Hmm... Lalu kalau memang Ariyo sebaik itu, kenapa loe menghentikan pertemanan loe dengan dia?"
Adiana merasa ada yang meninju perutnya. Mulutnya terlihat bergerak-gerak, tetapi tidak ada satu pun kata yang keluar. Seperti dia membutuhkan segala kekuatannya untuk dapat berbicara.
"Well, itu... Yah... Ada sedikit masalah. Tidak begitu penting. Biasa kan yang namanya berteman kalau ada masalah." Adiana berusaha mengelak. "Lagipula, bukan berarti gue tidak berteman lagi dengan Ryo, hanya sedikit setback... Tidak akan nyaman rasanya kalau bermusuhan dengan teman seangkatan sendiri, kan."
             Matahari tertawa kecil dengan dingin. "Oh ya? Bukannya memang itu yang diinginkan oleh Adit? Apa loe sengaja menentang permintaan cowok loe itu?"
            Adiana menahan napas seraya membelalakkan kedua matanya. Raut wajahnya benar-benar menunjukkan bahwa dia baru saja menerima kejutan yang sangat tidak terduga.
            "Ehm... Sorry... Tapi ada apa ini sebenarnya? Kenapa kalian berdua?" tanya Yenny dengan wajah khawatir.
            "Tari, bagaimana loe bisa tahu soal itu?" tanya Adiana dengan nada dingin.
            Matahari terlihat sedikit menarik dirinya. "Well... Itu tidak penting bukan? Yang penting sekarang adalah loe..."
            "Loe sama sekali tidak punya hak untuk melakukan itu!" Adiana berteriak secara tiba-tiba, mengejutkan ketiga temannya. "Ini adalah masalah pribadi gue, kenapa loe harus ikut campur?!"
            "Gue tidak ikut campur apapun. Gue hanya menceritakan apa yang gue lihat tepat di depan mata gue. Kenyataannya benar kan loe pergi berdua dengan Ariyo?!" balas Matahari tidak kalah berteriak.
            "Kalaupun itu benar, untuk apa loe cerita-cerita ke Adit? Gue bisa bercerita kepadanya sendiri. Karena loe harus cerita macam-macam, dia juga jadi berpikir macam-macam, dan membuat masalah yang tidak perlu."
            "Cerita macam-macam, hah?" Matahari mendengus sinis. "Sudah gue bilang, gue hanya bercerita apa adanya ke cowok loe itu. Apa yang terjadi setelah itu, bagaimana gue bisa tahu?!"
            "Hei, hei... Kalian berdua, tenanglah..." seru Yenny seraya menahan Matahari yang setengah menyorongkan tubuh ke arah Adiana.
            "Apapun itu, kita bisa bicarakan secara baik-baik..." kata Ima sambil meletakkan tangan di bahu Adiana.
            "Lagipula pada akhirnya loe sendiri yang menentukan pilihan, kan?" kata Matahari sinis.
            Adiana mengerutkan dahi. "Apa maksud loe?"
            "Maksud gue seperti apa yang gue katakan. Meskipun Adit mungkin memang yang menyuruh loe melakukan itu semua, tetapi pada akhirnya semua terserah kepada loe, kan? Kalau memang loe tidak berhubungan lagi dengan Ariyo..." Matahari berhenti dan tersenyum dingin. "Artinya loe yang memutuskan seperti itu. Lalu kenapa loe sekarang marah-marah?"
            Adiana berdiri secara tiba-tiba dengan kasar, menyentakkan tangan Ima hingga gadis itu sedikit terpental ke belakang. Selama sesaat, Ima ingin mengatakan sesuatu kepada Adiana, tetapi seketika dirinya terasa membeku saat melihat wajah gadis tersebut. Seingat Ima, Adiana belum pernah memunculkan ekspresi seperti ini. Dia selalu menjadi gadis yang paling pemalu dan lembut di antara mereka berempat. Seorang gadis yang selalu berusaha tersenyum dalam keadaan apapun. Tetapi kali ini di wajahnya terlukis ekspresi penuh kemarahan yang dapat menggetarkan siapapun yang melihatnya.
            Tanpa mengatakan apapun, Adiana memasukkan barang-barang miliknya ke dalam tasnya kemudian menariknya ke atas bahu.
"Sorry... Gue duluan." ujar Adiana singkat sambil melangkah meninggalkan kelompok itu. Dia sama sekali tidak menoleh ke belakang lagi.
"Tari... Sebenarnya ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Ima dan Yenny hampir serempak.
Matahari tidak menjawab. Dia terus memandangi Adiana yang melangkah semakin jauh dengan tatapan dingin.

Adiana baru saja akan mencapai gerbang keluar yang berada di dekat lapangan basket, saat sebuah suara memanggil namanya dan menghentikannya. Dia mengatur napasnya sejenak sebelum membalikkan badan.
Matahari berdiri sekitar dua meter di hadapannya.
"Ana, apa yang sebenarnya loe harapkan? Sebuah keadaan utopis? Dimana loe bisa mendapatkan semuanya dan semua orang senang? Dunia tidak berjalan seperti itu, Ana. Loe harus memilih salah satu di antara mereka berdua dan mengorbankan yang lain. Gue hanya ingin membantu loe menyadari hal itu."
Adiana sempat tersentak. Dia ingat seseorang yang juga pernah mengatakannya. Tetapi kemudian dia berhasil menguasai dirinya kembali dan menatap sinis.
"Tari, gue bukan anak kecil lagi. Gue tidak butuh diberi tahu apa yang seharusnya gue lakukan. Jadi terima kasih untuk perhatian loe, tapi lebih baik kita mengurus urusan kita masing-masing." Adiana mengatakannya sambil beranjak pergi dari tempat itu.
"Jadi apa yang akan loe lakukan sekarang? Ingin mencoba berhubungan lagi dengan Ariyo? Ingin mencoba mengatakan pada Adit bahwa kalian hanya teman biasa dan tidak apa-apa? Ingin mencoba mendapatkan keduanya?"
Adiana tidak menoleh dan hanya berkata singkat. "Sekali lagi... Ini bukan urusan loe."
Setelah mengatakan itu, gadis tersebut melangkah pergi meninggalkan Matahari yang masih berdiri mematung di situ.
 

Ariyo mengangkat tangan dan melihat ke arah arlojinya. Pukul 18.30. Laki-laki itu meletakkan tas ranselnya di atas salah satu sofa cokelat di teras luar Perpustakaan FKUI dan menghempaskan badan di sebelahnya. Pada saat hari sudah gelap seperti ini, ini adalah satu-satunya tempat dia dapat mendapatkan sofa empuk bagi tubuhnya. Saat dia mengedarkan pandangan ke sekitarnya, dilihatnya tidak ada seorang pun di tempat itu selain dirinya. Bahkan tidak juga di lapangan basket yang berada di depan Perpustakaan.
Sedikit mengherankan karena sangatlah jarang area FKUI menjadi sesepi ini. Walaupun memang sudah tidak ada lagi kegiatan resmi yang dilakukan pada jam-jam seperti ini, tetapi biasanya tetap ada beberapa orang yang masih tetap tinggal, berkutat dengan urusannya masing-masing. Tidak seperti biasanya, tetapi dia toh tidak berniat memikirkannya lebih lanjut.
Ariyo tidak mengira bahwa diskusi kelompok praktikumnya dengan dokter pembimbing mereka akan berlangsung hingga selarut ini. Sebenarnya dia sudah selesai sekitar lima belas menit yang lalu, tetapi dia tidak berniat untuk segera pulang. Pada hari biasa seperti ini, lalu lintas di Jakarta dapat dipastikan akan seperti neraka. Apalagi bila dia tidak dapat melewati Jalan Sudirman karena peraturan Three in One. Dia memilih hingga peraturan tersebut berakhir sekitar setengah jam lagi karena dia merasa tidak memiliki cukup tenaga—dan kemauan—setelah melalui diskusi yang sulit tadi.
Ditambah dia memang tidak pernah datang ke kampus dengan energi penuh.
Ariyo menyandarkan tubuhnya sambil menghela napas. Pandangan matanya menunjukkan bahwa pikirannya berkelana jauh.
Mimpi-mimpi itu masih juga datang tiap malam di setiap tidurnya. Bukanlah sesuatu yang luar biasa baginya sebenarnya. Dia toh sudah memiliki mimpi tersebut selama yang tidak mampu lagi dia ingat. Baginya mimpi tersebut sudah menjadi bagian dari hidupnya. Tidak setiap bagian dalam hidup itu manis, tetapi apapun itulah yang harus kita terima. Dan dia menerimanya.
Tetapi sudah beberapa lama ini mimpi-mimpi tersebut tidak hadir kembali kepadanya. Dia tidak lagi terbangun dini hari dengan jantung berdebar-debar, napas memburu, dan keringat yang bertetesan. Dan dia dapat bangun pagi dan memulai aktivitas dengan kekuatan penuh. Dia sempat berpikir bahwa mimpi-mimpi tersebut sudah meninggalkannya. Hingga beberapa hari terakhir ini mimpi tersebut kembali menghantuinya.
Sejak gadis itu sudah tidak bersamanya.
            Ariyo sekali lagi melihat arlojinya.
            Baiklah. Sepuluh menit lagi Three in One selesai. Saatnya pulang...
            Ariyo baru hendak beranjak berdiri saat lift di dekat Perpustakaan tersebut berdenting. Secara refleks dia melihat ke arah tersebut dan memperhatikan orang-orang yang keluar dari lift tersebut. Ternyata memang masih ada orang di FKUI malam ini. Dia merasa tidak ingin bertemu dengan siapapun karena itu dia tetap duduk di sofa itu. Menunggu hingga semuanya sepi kembali.
            Lampu bohlam di depan teras Perpustakaan sudah lama rusak, sehingga tempat itu saat ini terlihat gelap. Cukup gelap untuk menyembunyikan keberadaanya secara utuh. Tepat seperti apa yang diharapkannya.




            Aditya bergegas menuruni tangga yang menuju ke Lobi Utama FKUI. Dia baru saja menyerahkan makalah praktikum kelompoknya kepada dokter pembimbing mereka di Departemen Faal dan sekarang pikirannya tertuju kepada Adiana yang berniat disambanginya di Ruang Senat FKUI. Seharusnya saat ini rapat Senat yang diikuti gadis itu sudah selesai dan mereka dapat pulang bersama ke tempat kos.
            Dia berbelok menuju ke arah lapangan basket. Dilihatnya area di sekitar lapangan basket tersebut masih cukup ramai oleh para mahasiswa/mahasiswi, meskipun tidak ada yang sedang berlatih basket saat ini. Dia berjalan semakin cepat melintasi lapangan basket tersebut, dan berada tepat di tengah-tengahnya, saat ada yang memanggilnya dari belakang.
            Aditya baru menoleh sekilas saat sebuah hantaman keras menghujam telak ke wajahnya. Seketika rasa sakit yang menyengat mendera kepalanya. Laki-laki itu terhuyung ke samping. Susah payah dia berusaha mempertahankan keseimbangannya. Dia tidak melihat apa yang terjadi. Tetapi dia tidak sempat untuk memikirkannya lebih lanjut karena sebuah hantaman keras kembali mendarat di samping rahangnya.
            Kali ini dia tidak dapat mencegah dirinya terjatuh dengan keras ke atas lapangan basket. Permukaan lapangan yang keras itu serasa meremukkan tulang punggungnya. Rasa pusing yang teramat sangat membuat pandangannya kabur sesaat sebelum memunculkan bayangan hitam besar yang menutupi lapang pandangnya. Sesosok wajah yang dikenalnya samar-samar tergambar di retinanya.
             Ariyo?!
            Ariyo menjepit tubuh Aditya dengan lututnya dan terus melayangkan tinjunya tanpa ampun ke arah wajah laki-laki itu. Ekspresi wajahnya menunjukkan kegarangan yang teramat mengerikan. Saat ini Ariyo terlihat bagaikan hewan buas yang sedang mencabik-cabik mangsanya.
            Aditya sebenarnya bertubuh sedikit lebih besar dibandingkan dengan Ariyo dan seharusnya dia dapat lebih memberikan perlawanan, tetapi dua pukulan awal yang dilancarkan oleh Ariyo tampaknya efektif untuk melumpuhkannya. Ditambah dengan tekanan lutut di atas ulu hatinya yang semakin menusuknya dengan tajam. Dia hanya dapat mengangkat tangannya berusaha melindungi wajahnya sebisa mungkin dari pukulan demi pukulan Ariyo. Usaha yang tidak begitu berhasil. Makin lama mulutnya semakin terasa asin. Rasa asin darah.
            Mulai terdengar keriuhan di sekitar kedua laki-laki tersebut. Orang-orang yang kebanyakan para mahasiswa/mahasiswi Kedokteran terlihat berlarian ke arah mereka. Suara-suara teriakan dan makian terdengar silih berganti. Keadaan yang tidak begitu berbeda dengan saat adanya tawuran. Kacau.
            Beberapa orang mencoba melerai dan menghentikan Ariyo, tetapi laki-laki itu seperti kesetanan dan berhasil meneruskan menghajar Aditya. Perkelahian—atau mungkin pembantaian—tersebut baru benar-benar berakhir saat beberapa orang laki-laki dari angkatan Ariyo berhasil menariknya menjauhi Aditya, meninggalkan laki-laki tersebut terkapar tidak berdaya di atas lapangan dengan wajah bersimbah darah.
            "Ariyo, berhenti! Tenanglah! Tenang!" teman-teman prianya saling berteriak mencoba menenangkan Ariyo yang masih menggeliat-geliat mencoba melepaskan diri dari cengkeraman teman-teman seangkatannya.
            "HENTIKAN!!!"
            Semua orang menoleh ke arah teriakan tersebut. Adiana terlihat berlari diikuti dengan beberapa teman perempuannya mengekor di belakangnya. Dia menerobos kerumunan di lapangan itu dan langsung menghampiri tubuh Aditya.
            Adiana menahan napasnya saat melihat keadaan laki-laki tersebut. Luka menganga di beberapa tempat di wajahnya. Darah mengalir dari kedua lubang hidungnya dan tiap sudut bibirnya. Perasaan ngeri tergambar jelas di wajah gadis itu.
            "Adit! Adit?! Ada apa ini? Apa yang terjadi?" teriaknya sambil memeluk tubuh laki-laki itu. Yang ditanya tidak menjawab apapun. Tidak bisa lebih tepatnya. Yang dapat dilakukannya hanya membuang ludah bercampur darah ke atas lapangan.
Adiana mengalihkan pandangan ke arah Ariyo. "Ryo, apa yang loe lakukan?! Kenapa loe melakukan hal ini?" ekspresi wajah gadis itu menunjukkan kemarahan yang bercampur dengan ketakutan yang mendalam.
Ariyo sudah berhenti mencoba melepaskan diri dari teman-temannya dan membiarkan kedua tangannya dipegangi dengan erat. Dia tidak berkata sepatah kata pun. Dia hanya berdiri diam sambil terus menatap dingin ke arah Aditya. Tatapannya seperti dia sungguh-sungguh ingin membunuh laki-laki itu.
Adiana berdiri dan menghampiri Ariyo dengan tubuh bergetar. "Ryo! Jawab pertanyaan gue! Ada apa ini?! Kenapa loe melakukan ini?!"
Masih tidak ada suara.
"Ryo! Jangan diam saja! Jawab!" Adiana semakin mendekati Ariyo. Jaraknya sekarang tidak ada lima puluh senti di hadapan laki-laki itu.
Ariyo mengalihkan tatapannya kepada Adiana. Dia mengangkat alisnya. Wajah gadis itu terlihat tidak kalah garangnya dengan dirinya tadi. Tetapi ada yang berbeda. Kedua mata gadis itu mengalirkan air mata yang terlihat berkilau bening. Seketika serasa ada sesuatu yang menyedot segala emosinya. Kebuasaan yang terpancar dari wajahnya lenyap.
Ariyo memalingkan pandangan dari wajah gadis itu. Dia tidak mampu melihat eskpresi wajah gadis itu.
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ariyo.
"Ryo! Ada apa ini!"
Laki-laki itu masih tidak menjawab Adiana. Dan gadis itu mengulang pertanyaannya dengan sekali lagi didahului oleh tamparan di tempat yang sama. Pipi kanan Ariyo terlihat berwarna merah. Jelas sekali itu menyakitkan. Tetapi laki-laki tersebut sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun. Dia bahkan tidak mengeluarkan suara apapun. Dia terus memalingkan wajahnya ke samping. Seolah-olah dia memang menyediakan dirinya untuk kembali ditampar.
Adiana sudah mengangkat tangannya dan jelas akan melakukan tamparannya yang ketiga, bila teman-teman perempuannya dari Senat tidak menahan dirinya.
"Ana, sudahlah! Ayo Ana, tenanglah..." ujar teman-temannya seraya menariknya menjauhi Ariyo
Gadis itu tidak melawan tarikan teman-temannya. Dia terus menatap Ariyo dengan penuh amarah. Air mata yang menghiasi kedua matanya terlihat semakin deras mengalir. Gadis itu tidak berkata apapun lagi dan berlutut di samping Aditya. Dia mencoba membantunya berdiri dengan bantuan dari teman-temannya yang lain. Sedikit terhuyung karena berat badan laki-laki tersebut, tetapi akhirnya dia mulai memapah Aditya menjauhi tempat itu.
Setelah beberapa meter, Adiana tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia menarik napas dan menoleh ke belakang.
Adiana menatap Ariyo lekat-lekat selama beberapa saat. Tatapannya menunjukkan perasaannya yang terluka. "Setelah gue mengatakan akan berhenti berhubungan dengan loe, gue selalu mempertanyakan keputusan gue itu. Detik demi detik, gue selalu menganggap bahwa gue sudah melakukan kesalahan yang besar. Gue bahkan merasa kehilangan karena menurut gue, loe adalah seseorang yang sangat baik."
Gadis itu menghapus air matanya dengan sebelah tangan.
"Tetapi apa yang gue lihat hari ini... Apa yang dapat loe lakukan..." Adiana menatap Ariyo penuh kebencian. "Tampaknya gue salah."
Gadis itu membalikkan badannya dan kembali berjalan pergi.
Ariyo menunduk melihat bekas-bekas percikan darah di atas lapangan. Kemudian dia mengangkat wajahnya dan menatap punggung Adiana yang semakin menjauh. Kerumunan di sekitarnya masih memunculkan suara-suara ribut, sesekali namanya terdengar diucapkan dengan keras. Tetapi dia tidak mempedulikannya.
Memang tidak perlu. Semua keriuhan yang ada di sekitarnya, baginya di dalam pikirannya, hanyalah keheningan kosong belaka. Bagaikan berdiri seorang diri di tengah-tengah lapangan luas tanpa batas.
Tangannya terangkat dan menyentuh sekejap bagian pipinya yang masih tampak merah.
Dia tidak perlu mengerti...
Ariyo menghela napas dan tersenyum.
Senyuman getir.


~ (oleh @Satrio_MD)

20 September 2011

#5 A Decision for A Choice




            Pada saat jam makan siang, Kafetaria FKUI selalu dipenuhi oleh para pengunjung yang kelaparan. Bukan hanya para mahasiswa/mahasiswi yang makan di tempat itu, tetapi juga para dosen, dokter, dan praktisi kesehatan lainnya yang bekerja di FKUI atau di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di sebelahnya.. Rasa bintang lima dengan harga kaki lima adalah suatu rahasia umum yang dibutuhkan oleh sebuah tempat makan untuk laris dipenuhi pengunjung dan Kafetaria itu memenuhi syarat tersebut.

Ariyo berdiri di depan counter Kafetaria FKUI sambil membawa nampan berisi sepiring nasi dengan bistik sapi dan segelas es kelapa muda. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan untuk mencari meja yang kosong. Tidak beberapa lama kemudian dia melihat ada pengunjung yang baru saja beranjak pergi. Posisinya berada di sudut terdalam dari Kafetaria tersebut. Sesuai dengan keinginannya. Dengan sedikit terburu-buru dia berjalan ke meja tersebut. Sebagian kecil es di dalam gelasnya jatuh ke dalam nampan, tetapi dia tidak memiliki pilihan lain. Sedikit saja terlambat, akan ada orang lain yang menempatinya.
Dia baru setengah jalan menikmati makanannya saat sebuah tepukan keras mendarat di bahunya dan membuatnya tersedak.
"What the f..." Dia mendongak dan melihat wajah Erlangga dan Aldian yang sedang membawa nampan berisi makanan di hadapannya.
"Gue keselek, bodoh!" seru Ariyo sambil menenggak minumannya.
            "Sorry... Bercanda sedikit." Erlangga tertawa kecil. "Lagian tiba-tiba menghilang begitu saja, tahu-tahu sudah makan di sini."
            "Gue kira loe akan makan bersama Lena dan Aldi biasanya juga sudah menghilang bersama Ima."
            Erlangga dan Aldian mengambil tempat di hadapan Ariyo yang sudah kosong. "Lena sudah ada janji bersama teman-temannya, kalau Aldi..."
            "Ima tidak tahu kemana, tapi tadi dia meninggalkan pesan supaya gue menjemputnya di Gramedia Matraman..." Aldian melihat arloji tangannya. "Sekitar sejam lagi."
            Ariyo dan Erlangga mendengus bersamaan. Aldian memang tidak pernah bisa melawan segala perintah pacarnya itu.
            Mereka bertiga menikmati hidangan masing-masing sambil mengobrol satu sama lain. Ariyo baru saja menyelesaikan piringnya, saat Aldian tiba-tiba menanyakan sesuatu kepadanya.
            "Jadi? Loe pergi kemana saja bersama Adiana?"
            Erlangga terbatuk. Dia menatap sahabatnya tersebut dengan terkejut, tetapi kemudian segera menyadarinya.
            "Ima?"
            Aldian mengangkat bahunya. "Memang siapa lagi?"
             "We've been bestfriend for about five years and you still don't tell us this..." Erlangga menggelengkan-gelengkan kepalanya. "Jadi? Ada apa dengan loe dan Adiana?"
"Well..." Ariyo mencoba mengatur kata-katanya. "Tidak ada apa-apa. Just like that..."
Erlangga memukul sahabatnya itu. "Yeah right... Nothing... Tapi loe dan dia kencan berdua." tatapan mata Erlangga penuh penilaian.
"Itu bukan kencan." Ariyo memberikan tekanan pada nada suaranya. "Gue cuma menemani dia membeli kado untuk ulang tahun nyokapnya, itu saja. Biasa saja."
"Dari semua cowok yang ada, dia memilih loe untuk menemaninya. Gue rasa itu sudah cukup menjelaskan. Ayolah, ceritakan saja apa adanya. Ini gue sama Aldi, Yo. Loe santai saja."
Untuk sesaat Ariyo tampak hendak berkelit dan mengalihkan pembicaraan. Tetapi melihat sinar mata dari kedua sahabatnya, dia tahu bahwa dia tidak akan bisa melarikan diri kali ini.
Ariyo menghela napasnya. "Loe berdua ingin tahu apa lagi? Memang tidak ada yang perlu diceritakan. Baiklah, gue mengakui, gue dan Adiana mungkin memang sedikit lebih dekat akhir-akhir ini, tapi tidak ada apa-apa di antara kami berdua. Kami hanya teman biasa."
"Dan menurut loe dia juga berpikir seperti itu?" tanya Aldian.
Ariyo terdiam sejenak. "Sepertinya begitu."
"Sepertinya? Loe tidak yakin, ya?"
Ariyo berdecak sinis. "Dengar, gue bukan cenayang yang bisa membaca pikiran orang. Bagaimana bisa gue tahu apa yang dia pikirkan? Dan lagipula... Gue tidak peduli dengan apa yang dia pikirkan." jawab Ariyo dingin.
Erlangga tertawa sinis. "Masih juga belum berubah."
"Memangnya apa yang harus dirubah? Gue rasa gue baik saja-saja." nada suara Ariyo mulai meninggi.
"Sudah, sudah... Cukup sampai di situ." Aldian menengahi.
Selama beberapa lama tidak ada yang berbicara di antara mereka bertiga, hingga Erlangga angkat suara. "Sampai kapan loe akan terus begini, Yo? Kejadian itu memang buruk, tetapi itu sudah terjadi. Yang sudah terjadi, terjadilah. You should forget the past and think about the future..."
"Easy for you to say that... Bukan loe yang melakukannya." tukas Ariyo dengan nada marah. "Lagipula, berapa kali harus gue bilang dari dulu kalau gue tidak membutuhkan pendapat dari loe berdua!"
Erlangga mendengus. "Masalahnya, terlihat jelas kalau loe tidak bisa berpikir jernih."
Ariyo menatap sahabatnya tersebut dengan dingin.
Erlangga menggelengkan kepalanya. "Gue rasa "orang itu" juga akan kecewa kalau melihat loe seperti ini."
Ariyo berdiri dengan marah. Tanpa berkata apa-apa dia segera beranjak pergi dari tempat itu. Hampir menabrak seorang mahasiswi di pintu masuk Kafetaria. Gadis tersebut berteriak marah kepadanya, tetapi dia mengacuhkannya dan terus berjalan. Erlangga dan Aldian memperhatikan semua kejadian tersebut.
Aldian bersiul pelan. "Fuuuhh... Lagi-lagi loe berdua berantem soal masalah ini."
"Yah... Mungkin memang harus ada memukul kepalanya agar dia mengerti." ujar Erlangga seraya menghabiskan teh botolnya.
"Give him a break, Ga... Dia masih belum bisa melupakan kejadian itu. Ryo masih butuh waktu untuk berkompromi dengannya. Dosa itu terlalu berat baginya untuk dia tanggung."
Erlangga mengibaskan tangannya. "Kita semua memiliki dosa kita masing-masing. Dan masing-masing dari kita harus menanggungnya. Tapi bukan berarti kita harus terikat olehnya. Kita semua mencari penebusan dari dosa kita, tapi penebusan bukan berarti kita bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Kenyataan yang buruk tidak akan pernah hilang. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah melangkah maju untuk memastikan kita tidak akan pernah lagi melakukan hal yang sama."
Aldian mengangguk-angguk membenarkan perkataan sahabatnya tersebut. "Menurut loe, dia akan bisa melakukan semua itu?"
Erlangga menerawang jauh. "Well... Lebih tepat bila dikatakan dia harus. Kalau tidak, dia akan terus menderita seumur hidupnya."
Mereka berdua tidak berkata-kata lagi setelah itu dan tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

Bangunan FKUI tidak menempati lahan di Salemba sendirian. Di sekitarnya terdapat banyak bangunan fakultas-fakultas lain dari Universitas Indonesia, seperti Fakultas Kedokteran Gigi, Program Pasca Sarjana, Program Ekstensi, dan beberapa bangunan lain lagi yang di luar fungsi pendidikan. Di salah satu bangunan tersebut terdapat sebuah kafe yang lebih sering digunakan sebagai tempat makan oleh orang-orang di luar Fakultas Kedokteran, meskipun ada juga sebagian kecil yang memilih makan di tempat tersebut.
 Adiana sudah menunggu di 7 Cafe selama hampir setengah jam. Dia sudah menghabiskan satu gelas jus Mangga, tetapi orang yang ditunggunya belum datang juga. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Meskipun begitu, dia tahu dia harus tetap menunggu di sana karena orang tersebut yang menyuruhnya menunggu di sini. Dan seterlambat apapun, orang itu selalu menepati janjinya.
Saat Adiana mengedarkan pandangan ke sekitar kafe, dia dapat melihat bahwa Kafe tersebut tidak terlalu ramai. Hanya ada 1-2 meja yang terisi selain mejanya. Tidak terlalu mengherankan karena memang saat ini sudah sedikit melewati jam makan siang. Adiana sebenarnya merasa lapar, tetapi dia harus sabar menunggu untuk bisa mengisi perutnya karena orang tersebut tidak suka bila ada yang mendahului makan di saat mereka sudah berjanji untuk makan bersama. Setidaknya jus mangga tadi sedikit membantu untuk mengganjal perutnya.
 Pintu 7 Cafe terbuka. Seketika Adiana menoleh ke sana. Sepasang laki-laki dan perempuan melewati pintu tersebut dan menempati sebuah meja di ujung ruangan. Adiana menghela napas. Setelah berpikir beberapa saat, dia meraih Blackberry-nya dan menekan beberapa nomor. Dia baru akan menekan tombol dial saat Aditya Hermawan memasuki kafe tersebut.
"Sorry, aku terlambat. Tadi masih banyak harus kukerjakan bersama kelompok diskusiku." kata Aditya seraya menarik kursi di depan Adiana.
"Ah, tidak apa-apa kok. Aku juga belum lama di sini."
"Kalau begitu ayo kita pesan makanan. Aku sudah lapar sekali." tukas Aditya seraya tangannya mengangkat memanggil pelayan kafe tersebut.
Sembari menunggu makanan, mereka berdua mengobrol selayaknya pasangan yang baik. Sesekali suara tawa menghiasi obrolan mereka. Tidak beberapa lama kemudian, seorang pelayan wanita datang membawakan pesanan mereka. Spagehtti Carbonara dan Jus Melon untuk Aditya, sedangkan untuk Adiana, Oyakodon dan sebotol air mineral. Meskipun menyukai jus, tetapi untuk makanan Adiana tidak pernah berubah, air mineral adalah pasangan terbaik menurutnya.
Keduanya mulai melahap makanan mereka sambil meneruskan mengobrol. Mereka berdua sudah menghabiskan sekitar tiga perempat porsi makanan mereka, saat Aditya berkata sesuatu kepada Adiana. 
"Sebenarnya ada yang mau aku bicarakan sama kamu hari ini sekalian makan siang."
Adiana menatap laki-laki itu dengan penasaran. "Membicarakan apa?"
Aditya menyedot jus melonnya sebelum menjawab. "Bukan apa-apa... Aku cuma minta supaya kamu dan Ryo tidak saling berhubungan lagi."
Adiana tersedak mendengarnya. Dia segera meminum beberapa teguk air mineralnya, sebelum merespon kata-kata Aditya.
"A... Apa maksud kamu?"
"Maksud aku tepat seperti yang aku katakan. Aku tidak mau kamu bertemu, berbicara, atau apapun dengan dia."
"Ta... Tapi... Memangnya kenapa... Maksud aku..." Adiana berusaha semampunya untuk merangkai kalimatnya. "Kenapa Ryo harus ada sangkut pautnya dengan kita?"
Aditya menatap gadis itu dengan sinis. "Bukannya sudah jelas? Aku juga sama dengan semua cowok di dunia ini. Tidak akan ada cowok yang suka bila ceweknya dekat dengan laki-laki lain."
"Ah, tapi... Aku dan Ryo tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya sebatas teman biasa, itu saja."
"Oh ya? Kamu tidak memberitahu aku kalau kamu mau pergi berdua bersama Ryo ke Grand Indonesia. Kalau aku tidak menelepon kamu waktu itu, mungkin kalian berdua tidak akan pulang-pulang, ya."
"Tidak... Bukan begitu... Aku..." Adiana merasa seperti kehabisan kata-kata.
"Dan sewaktu di rumah kamu, bukannya kamu juga sudah mengaku salah dan bilang kepadaku bahwa kamu tidak akan berbuat seperti itu lagi? Aku waktu itu kamu tidak serius mengatakannya?" Aditya menatap tajam ke arah Adiana.
"I... Iya, tentu saja aku serius. Tapi maksudku bukan seperti in..." kata Adiana panik.
"Aku justru membantumu untuk mempermudahnya kan?" potong Aditya.
Adiana merasa lemas. "Tapi bagaimana aku bisa melakukan itu? Kita semua kan satu angkatan. Masa kamu berharap aku sama sekali tidak menyapanya kalau bertemu di jalan? Itu tidak mungkin, Adit. Bagaimana caranya?"
"Ya, tepat sekali seperti itu harapan aku. Masalah bagaimana caranya, bukannya seingat aku juga sebelumnya kalian berdua tidak pernah saling bertegur sapa? Anggap saja ini mengembalikan ke keadaan sebelumnya saat semuanya sesuai pada tempatnya."
Adiana merasa kehabisan kata-kata.
"Tapi aku akan memberi kamu satu kesempatan terakhir untuk berbicara dengan Ryo. Kamu jelaskan saja pada dia apa adanya, bahwa aku tidak suka kalau dia masih mendekati kamu. Beres kan? Kalau dia memang seorang cowok seharusnya dia bisa mengerti itu." kata Aditya seraya memasukkan suapan terakhir makanan ke dalam mulutnya.
Adiana merasa banyak sekali yang ingin dia ucapkan, tetapi serasa ada yang mengelem mulutnya rapat-rapat. Dia hanya dapat tertunduk lemas di kursinya, memikirkan apa yang harus dilakukannya kepada Ariyo.

Aditya membanting tasnya dengan keras ke dinding ke atas meja belajar kayunya. Raut wajahnya tampak menunjukkan kemarahan yang teramat sangat. Dia masih merasa sangat terganggu dengan apa yang dikatakan Erlangga siang ini di Kafetaria FKUI. Laki-laki itu membuka kemeja kotak-kotak merahnya dan mencampakkannya begitu saja di lantai. Dengan masih mengenakan kaos dalam dan celana jeans, dia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Pandangannya menerawang ke arah langit-langit.
Forget the past? Ariyo mendengus sinis. Memberikan saran memang terasa lebih mudah bila tidak mengalaminya sendiri. Do me a favor... Try to put your feet in someone else's shoes, then see if you can walk with it!
Semakin lama dia memikirkannya, semakin besar amarah yang berkumpul di hatinya. Sambil mengerang keras dia berkali-kali meninju dinding di samping tempat tidurnya, hingga buku-buku jarinya mulai mengeluarkan darah. Pembuluh-pembuluh darah di wajahnya dipenuhi oleh darah hingga wajahnya terlihat memerah. Dengan terengah-engah dia menurunkan tangannya ke samping tubuhnya. Tidak ada sedikit pun rasa sakit yang dirasakannya.
Dia baru saja mulai mengatur napasnya, saat cordless phone  hitam miliknya berdering nyaring. Dengan malas dia mengangkat cordless phone  tersebut dan menerimanya sambil duduk di atas kursi meja komputernya.
"Halo?"
"Halo... Ryo, ini gue..."
Ariyo mengerutkan dahinya. "Adia? Ada masalah penting apa?"
"Eh, darimana loe tahu kalau gue menelepon untuk masalah penting?"
"Well... Pertama-tama, ini adalah telepon dari loe yang pertama. Biasanya kita berbicara melalui blackberry messenger. Jadi kalau loe berbuat di luar kebiasaan, itu memberi tahu gue kalau ada sesuatu yang penting."
"Oh i... Iya ya... Loe sedang apa sekarang, Yo? Lagi sibuk di rumah?"
"Sibuk di rumah? Kegiatan gue tidak sebanyak itu sampai gue harus sesibuk itu. Tidak sedang apa-apa."
"Oh, ya... Baguslah... Semoga gue tidak menganggu, ya..."
Ariyo dapat menangkap ada yang salah dari nada suara gadis tersebut. "Adia, ada apa? Loe tidak terdengar seperti biasanya."
"Emm... Sebelumnya, sekali lagi terima kasih ya Ryo, loe sudah menemani gue membeli kado ulang tahun untuk Ibu. Ibu senang sekali menerima hadiah itu. Pilihan kado yang bagus."
"Well, glad you're Mom like it... Tapi gue rasa loe tidak menelepon cuma untuk memberi tahu itu, kan?"
"Tidak..." suara Adiana menghilang sejenak. "Ngg... Ryo, apa loe ingat waktu itu ada yang menelepon gue di Grand Indonesia sebelum kita pulang? Yang kita sempat berpisah selama beberapa menit?"
Mana mungkin gue melupakan ekspresi wajah loe waktu itu.
"Ya, gue ingat. Dan setelah itu sampai perjalanan pulang loe bersikap aneh sekali. Sebenarnya siapa yang menelepon waktu itu?" tanya Ariyo.
"Eh... Emm... Itu... Aditya." jawab Adiana denga suara bergetar.
Entah mengapa Ariyo tidak merasa begitu terkejut mendengar jawaban Adiana tersebut. "Oh, begitu... Lalu apa hubungannya dengan loe menelepon sekarang?"
"Sebenarnya..."
Adiana menceritakan semuanya yang terjadi. Dari mulai Aditya yang memarahinya di telepon dan menyuruhnya untuk segera pulang, lalu bagaimana setelah itu Aditya datang tepat setelah Ariyo meninggalkan rumah Adiana dan menekannya habis-habisan di rumahnya sendiri. Selama Adiana menceritakan semua itu, tidak ada satupun komentar yang keluar dari mulut Ariyo. Laki-laki itu hanya diam mendengarkan.
Hingga akhirnya sampai pada waktu dimana Adiana tidak terdengar berbicara lagi. Barulah Ariyo angkat bicara.
"Jadi... Loe menelepon gue untuk menceritakan semua itu?"
"Well... Ya dan tidak..." Adiana terdengar gugup saat mengatakannya. "Salah satunya memang itu, tapi masih ada alasan lain..."
"Alasan apa?"
"Ngg... Sebenarnya... Adit tidak suka kalau kita dekat seperti ini. Jadi..." Adiana menelan ludah sebelum mengatakannya. "Dia meminta supaya kita tidak berhubungan lagi."
Lama tidak ada reaksi atau jawaban dari sisi Ariyo. Hingga Adiana kembali mulai berbicara.
"Ryo... Katakan sesuatu, jangan diam saja. Jadi kita harus bagaimana?" tuntut Adiana.
"Dan apa jawaban loe atas itu?" tanya Ariyo.
"Gue... Gue tidak tahu, Yo. Menurut loe bagaimana gue harus menjawabnya?"
Ariyo berdecak. "Salah satu kebiasaan buruk loe adalah di saat loe dihadapkan pada sebuah pilihan, loe selalu tidak bisa memberikan keputusan sendiri. Loe selalu melarikan diri dan hanya mengikuti orang lain. Kenapa loe harus selalu meminta saran orang lain untuk menyelesaikannya?"
Adiana mengabaikan kesinisan Ariyo. "Karena gue harus meminta pendapat loe, Ryo. Ini kan bukan cuma menyangkut gue, tapi juga loe."
"Gue? Apa hubungannya dengan gue? Ini masalah antara loe berdua. Gue tidak mau terlibat di dalamnya."
Adiana tidak percaya Ariyo bisa mengatakan hal tersebut. "Bagaimana loe bisa berbicara seperti itu? Sedikit banyak loe termasuk ke dalam semua ini. Yang dipermasalahkan oleh Adit bukan hanya gue seorang, tapi kita berdua. Jadi loe juga harus memikirkannya."
Ariyo terdiam selama beberapa lama, sebelum akhirnya menjawab. "Ya sudah... Kalau begitu berarti sebaiknya mulai sekarang kita tidak terlalu dekat lagi."
Adiana merasa seperti tersambar petir mendengarnya. "A... Apa? Jadi loe baik-baik saja dengan hal ini? Loe akan setuju begitu saja?"
"Memangnya kenapa? Gue tidak mau sampai harus terjebak di tengah-tengah hubungan orang lain. Kalau memang cowok loe itu maunya seperti itu, ya sudah. Terserah saja."
Adiana setengah berteriak. "Bagaimana loe bisa semudah itu mengatakannya?! Loe itu salah satu teman dekat gue, Ryo! Apa buat loe semua ini tidak ada artinya?! Apa buat loe gue bukan teman yang penting buat ada?!"
Ariyo menghela napas. "Adia... Jadi sebenarnya loe itu maunya bagaimana? Loe minta gue menjawab dan itu jawaban gue. Kenapa sekarang loe jadi marah-marah?"
"Ya, karena..." Adiana sedikit kebingungan menjawabnya. "Karena loe sepertinya sama sekali tidak menganggap penting pertemanan kita. Gue tidak mau kehilangan seorang teman dekat gara-gara hal ini. Apa bagi loe gue bukan teman yang penting buat loe?"
"Dan loe mau kehilangan cowok loe itu?" tanya Ariyo singkat.
"Ah, itu..."
Lama tidak tedengar suara apapun dari Adiana. Gadis itu berusaha sekuat mungkin untuk menyusun kalimat di dalam pikirannya, tetapi seperti ada yang menghambat aliran saraf di otaknya hingga yang ada hanyalah kekosongan dalam pikirannya.
Ya Tuhan... Kumohon berikan aku kata-kata. Apa saja!
Ariyo berkata dingin. "Sikap diam loe sudah menjawab semuanya. Loe sebenarnya sudah membuat pilihan. Loe hanya berharap ada orang yang mengatakan pada loe, bahwa itu bukan pilihan yang benar."
"Seandainya... Ini hanya seandainya... Pilihan itu terjadi... Menurut loe itu pilihan yang benar?" tanya Adiana pelan.
"Apa yang gue pikirkan tidaklah penting. Pada kenyataannya, benar atau salah bukanlah permasalahan yang utama, yang penting adalah pilihan itu sendiri. Loe memilih dan loe terima apapun hasilnya."
"Meskipun itu artinya kita tidak bisa saling berteman lagi?"
Suara Adiana tiba-tiba terdengar sangat dingin. Bahkan Ariyo pun dapat merasakannya. Laki-laki itu terdiam sesaat karena terkejut. Ini pertama kalinya dia mendengar suara gadis itu menjadi seperti ini.
"Well... Tidak ada utopia di dunia ini. Loe tidak bisa melakukan sesuatu, kemudian berharap bahwa itu akan membuat semua orang senang. Setiap pilihan yang kita ambil akan selalu menyenangkan satu pihak dan mengecewakan pihak yang lain."
"Dan loe termasuk ke pihak yang mana?"
"Gue? Gue tidak termasuk ke dalam keduanya. Menurut gue adalah suatu hal yang wajar kalau sampai masalah ini terjadi. Gue hanya menempatkan diri secara obyektif. You just do what you gotta do..."
"Berarti memang loe sama sekali tidak menganggap bahwa kehadiran gue penting buat loe..." suara Adiana menyiratkan kekecewaan yang amat mendalam.
Tiba-tiba Ariyo merasa ada perasaan bersalah di hatinya. "Bukan begitu, Adia... Hanya saja..."
"Sudah cukup! Loe tidak perlu bicara apa-apa lagi!" teriak Adiana marah. "Gue kecewa sama loe, Yo. Sama sikap loe, pemikiran loe, semuanya! Jujur saja gue senang karena gue kira selama ini gue memiliki seorang teman dekat yang bisa gue ajak berbagi dan menghabiskan waktu bersama. Waktu Adit meminta gue untuk tidak lagi berhubungan sama loe, gue berpikir bahwa pertemanan kita cukup berharga untuk dipertahankan." Adiana tertawa miris. "Tapi ternyata cuma gue yang berpikiran seperti itu."
Ariyo dapat mendengar suara Adiana mulai bergetar dan terdengar sedikit sengau.
"Adia, gue tidak bermaksud..."
"Gue benar-benar bodoh, ya... Tenggelam dalam pemikiran gue sendiri, tanpa sadar bahwa semuanya cuma harapan kosong belaka..."
"Adia, dengarkan gue..."
"Tidak, Ryo! Loe yang dengarkan gue!" perintah Adiana sambil berteriak.
Kali ini Ariyo jelas mendengar Adiana berbicara sambil menangis. Nada suaranya dipenuhi dengan kekecewaan dan kemarahan. Tiba-tiba Adiana merasa tidak mampu berbicara lebih banyak lagi, sehingga hanya-hanya tiga kata singkat yang keluar dari mulutnya.
"Ryo...  Selamat tinggal..."
"Adia..."
TUT... TUT... TUT....
Hanya nada telepon terputus yang terakhir didengar oleh Ariyo.


~ (oleh @Satrio_MD)