Tentang 30 Hari Cerita Cinta

17 September 2011

Air(LOVE)plane #5

MALAIKA
Langit nama yang bagus. Mungkin karena namanya Langit dia jadi terpicu untuk jadi pramugara. Kira-kira umurnya berapa ya? Apa dia keberatan kalau tau aku masih kuliah sementara dia udah settle dengan kerjaannya? Aku bingung dengan pertemuan ini. Semuanya begitu cepat dan tiba-tiba. Tapi apapun itu kita harus cari tau dengan penilaian kita sendiri. Aku jadi tidak sabar tetapi juga grogi setengah mati.


LANGIT
Malaika..should I call her Mala or Ika? Tapi sepertinya saya akan tetap memanggilnya Malaika. Namanya sangat bagus, sayang kalau disingkat-singkat. Apa dia masih kuliah? Apa dia gak keberatan jalan dengan orang yang lebih tua? Saya pusing memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Lebih baik jalani saja. Hati saya sudah yakin padanya. Hanya dia.




~ (oleh @nuriafazrina)

Lagu Cinta untuk Gita: Simfoni Keempat #4

"Ma, Sammy minta guru gitar yang baru," rajuk Sammy. Saat itu ia berada di dapur, menunggui ibunya yang tengah menyiapkan makan malam.
"Emangnya kenapa dengan Gita?" tanya Bu Jessica sembari mengaduk-aduk sayur di dalam panci. Sudah sebulan ini ia harus memasak sendiri, setelah dua pembantu rumah tangga dalam keluarga itu terpaksa diberhentikan. Keuangan suaminya yang tak menentu membuatnya harus memutar otak untuk menghemat pengeluaran.
"Dia tuh… aneh banget."
"Aneh?" Bu Jessica menatap anaknya untuk sesaat. "Aneh gimana?"
Sammy mengalihkan pandangan pada tiga piring yang tertumpuk rapi. Ia elus-elus piring itu dengan pelan. "Sammy gak cocok."
Bu Jessica menggeleng-gelengkan kepala. Ia kembali mengaduk sayurnya yang belum matang. "Gita itu bukan orang sembarangan. Kata ayahnya, dia udah jadi guru privat dari SMP."
"Kenapa bukan ayahnya aja yang ngajarin Sammy?"
Bu Jessica menghentikan keasikannya memasak. Ia berbalik, menghadap anaknya. "Gak usah manja. Mama udah bilang, Pak Prasetyo ke Jogja untuk jadi dosen tamu. Pokoknya besok kamu tetap belajar sama Gita," katanya dengan tegas. "Nih, kamu bawa piringnya ke meja makan."
Sammy menuruti perintah ibunya. Ia angkat piring itu perlahan-lahan. "Besok Gita gak akan datang," katanya sambil melangkah pergi.
"Maksud kamu?" tanya Bu Jessica.
Sammy berbalik menatap ibunya. Ia mengangkat kedua bahu. "Katanya, Sammy harus belajar mencintai gitar dulu."
Bu Jessica ternganga mendengarnya. "C-cinta…?"
Sammy mengangguk-angguk kecil. Ia lalu berbalik dan melanjutkan langkah meninggalkan dapur.
***
Dari meja belajarnya, Sammy menatap gitar yang teronggok di sudut kamar. Pikirannya sulit terkonsentrasi pada soal-soal Matematika. Makan malam baru saja usai. Makan malam itu terasa pahit di lidahnya. Bukan karena masakan ibunya. Masakan ibunya tak ada masalah, seperti biasa. Lidahnya pahit karena ucapan Gita pagi tadi. Gita menyuruhnya untuk mencintai gitarnya, seperti ia mencintai pasangan hidupnya sendiri. Namun bagaimana caranya? Ia belum pernah memiliki pasangan hidup. Dalam hidupnya, ia bahkan belum pernah memiliki hubungan spesial dengan seorang gadis. Penampilannya yang terlalu biasa—keriting, berkacamata, kutu buku—membuatnya tidak masuk dalam jajaran cowok populer di sekolah. Beberapa gadis justru memberi gelar yang sungguh menarik untuk dirinya: "Cupu."
Lama ia menekuri gitar pemberian ayahnya. Pada malam itu, setelah pembicaraan mengenai pernikahan selesai, ayahnya langsung menghadiahinya sebuah gitar akustik baru berwarna merah. Sammy tak mengerti reaksi apa yang harus ia tunjukkan saat itu. Haruskah ia marah? Atau sedih? Atau justru gembira, karena keinginannya untuk terus kuliah bisa terwujud? Gitar itu terasa seperti borgol yang membelenggu hidupnya.
Ia tutup bukunya, lalu berdiri dan berjalan menuju sudut kamar. Ia angkat gitar itu perlahan. Ia duduk di atas kasur, lalu meletakkan gitar itu dalam pangkuannya. Ia mencoba melakukan latihan penjarian seperti yang diajarkan Gita pagi ini. Namun ujung jemari tangan kirinya masih nyeri.
"Lo cuma benda mati. Gimana caranya gue bisa mencintai lo?" tanyanya lirih. "Lo gak punya rambut. Lo gak punya mata yang bening kayak Gita…" Sesaat ucapannya terhenti. "Eh, kenapa gue mikirin Gita ya?" Ia menghela napas panjang. Ia geleng-gelengkan kepala untuk menghapus bayangan wajah Gita yang sempat terlintas dalam benaknya.
Sammy sadar, ia tak ingin bisa memainkan gitar. Itulah alasan mengapa tiga jam latihan pagi tadi terasa sia-sia. Ia tak memiliki keinginan. Kalau ada hal yang paling ia inginkan saat ini adalah menjadi mahasiswa dengan baju almamater berwarna kuning—Universitas Indonesia. Itu saja. Dan kalau untuk meraih impiannya itu ia harus menikahi Rena, ia siap melakukannya. Ia tak siap melepas impian kecilnya begitu saja.
"Aha! Gue tahu!" pekik Sammy. Gue tahu gimana caranya mencintai gitar ini! pikirnya.
Ia letakkan gitar itu di atas tempat tidur. Hati-hati. Sangat hati-hati. Ia pun berlari meraih telepon seluler di atas meja belajar. Ia tekan sebuah nomor yang baru saja ia dapatkan dari ibunya. Beberapa saat menunggu, sambungan telepon diangkat di seberang.
"Halo," sapa Sammy. "Ehm… Gita?"
***
Pagi keesokan harinya, Gita masuk ke dalam kamar Sammy pukul tujuh lewat lima menit. Sammy menyambut gadis itu dengan senyum lebar di wajahnya.
"Ngapain lu senyum-senyum gitu? Ayo kita mulai!" tanya Gita.
"Sebentar, gue ambil Si Kuning," jawab Sammy.
"Si—apa?"
Sammy mengangkat gitarnya hati-hati. Ia peluk gitar itu dengan erat. "Si Kuning."
"T-tapi, gitar itu kan warnanya merah?"
Sammy tersenyum simpul. "Ini cara gue mencintai gitar gue. Gue kasih nama dengan nama yang bisa memotivasi gue untuk belajar gitar."
Senyum Gita mengembang. "Nah, ini yang gue suka," katanya. "Udah siap latihan hari ini?"
Sammy mengangguk. Keduanya lantas duduk di kursi yang sudah berada dalam posisi berhadap-hadapan di tengah ruangan. Sambil duduk, Sammy berkata, "Terima kasih, lo udah mau dateng hari ini."
"Ini emang udah kerjaan gue. Kan lo sendiri yang bilang," kata Gita. "Sekarang kita mulai dengan penjarian yang gue ajarin kemarin."
Sammy meletakkan gitar dalam pangkuannya dengan hati-hati. Ia memainkan gitarnya seperti yang diajarkan Gita tempo hari. Ujung jemari tangan kirinya masih terasa nyeri. Namun tetap ia paksakan. Niatnya sudah kuat: ia ingin menjadi mahasiswa Universitas Indonesia. Apapun akan ia lakukan untuk mewujudkannya. Apapun.
"Wah… kemajuan lo pesat juga!" seru Gita. Kepuasan tergambar jelas di wajahnya. "Gini dong dari kemarin!"
Wajah Sammy terasa panas karena pujian itu. Ia garuk belakang kepalanya yang tak terasa gatal.
"Kalau gini caranya," kata Gita, "ntar siang juga elo pasti udah bisa main gitar!"
"Serius lo?"
"Enggaklah. Gue bohong," ujar Gita seraya menampakkan deretan putih giginya yang tersusun rapi. "Ayo latihan lagi. Sekarang gue ajarin jurus yang lain."
"Oke. Jurus apa sekarang?"
"Jurus metik gitar sambil ngangkang." Gita terkekeh.
Sammy ikut tertawa. "Nenek lo yang ngangkang!"
"Nenek lo! Enak aja bawa-bawa nenek gue," sungut Gita.
"Lagian, lo ngasih jurus yang enggak-enggak. Pake ngangkang-ngangkang segala."
Gita terkikik geli. "Udah, buruan ulangin sekali. Habis ini gue ajarin teknik lain."
"Oke." Raut wajah Sammy berubah serius. Ia kembali memusatkan konsentrasinya berlatih gitar. One step closer, pikirnya. Satu langkah menuju UI!
***

(Bersambung)



~ (oleh @garirakaisambu)

Starcraft Fever


"107,7 Youngsters FM radio, the adorable youngers, ada Lova lagi disini," kau memberikan kesempatan lagu penutup Ahjumma selesai, lalu berbicara lagi. "Seperti yang sudah Lova bilang tadi siang di After School, malam ini Lova tidak sendirian...."

"Ya, ada Sophie disini..." Sophie yang berbicara. "Karena ini pertama kalinya Love Potion disiarkan oleh dua orang, maka format acaranya juga berubah, spesial hari ini!"

"Bagi para youngers yang penasaran seperti apa format acaranya, stay tune terus di 107,7 Youngsters FM radio, the adorable youngers selama 60 menit kedepan bersama Lova dan Sophie di Love Potion," kau memutar satu single dari Bosson berjudul One in A Million, salah satu lagu favoritmu dan Henry.

Sometimes love can hit you everyday
Sometimes you can fall for everyone you see
But only one can really make me stay
A sign from the sky
said to me

"Va, makasih ya?" kata Sophie untuk kesekian kalinya hari ini. Sebagai tanda terima kasihnya ia membawakan makanan ringan banyak sekali untukmu. Kau dan Sophie memang sama-sama hobby makan. Kalau sedang tidak siaran, kau dan Sophie sering keluar bersama di mall atau sekedar menyusuri pinggir jalan mengeksplorasi kuliner. Herannya badan kalian tetap kecil seperti penderita cacingan.

"Iya, nggak apa-apa kali Phie," balasmu dengan sama ramahnya. "Udah kelar urusannya?"

"Sudah, kok." Sophie membuka sebungkus chips dan mulai menyunyah. "Makan, Ra." tawarnya. Ia menyodorkan chipsnya namun kau tolak.

"Aku nggak bisa siaran sambil makan, nanti nggak konsen. Itu beli makanan kok banyak banget sih, kayak mau pindahan?"

Sophie tertawa, "Yah, aku pikir kau akan makan bersamaku," Sophie mencomot segenggam chips dan memakannya sekaligus. "aku lapar sekali, seharian tadi sibuk mengurus visa dan blablabla, ribet banget."

Kau tertawa mendengarnya. Sophie, cewek bule yang menghabiskan hampir separuh hidupnya di negara asal ibunya, dan bahkan lebih fasih berbahasa Indonesia dari kebanyakan anak remaja sok-Inggris, mengeluhkan betapa ribetnya tinggal disini. Sedangkan banyak anak Indonesia terobsesi tinggal di luar negeri dengan alasan klasik, mengejar pendidikan yang lebih baik. Sungguh bertolak belakang dengan bule gila satu ini, yang rela melepas segala fasilitas di Jerman demi tinggal disini meskipun urusannya ribet. Dunia yang kau kenal terasa terbalik di hadapan Sophie yang sekarang sedang mengunyah chips bungkus kedua.

"107,7 Youngsters FM radio, the adorable youngers, ada Sophie dan Lova disini," sapa Sophie saat kau sudah memutarkan jingle radio kalian. "Kalau ada yang baru nyalain radio dan heran kenapa ada Sophie disini, itu karena hari ini adalah edisi spesial..."

"Hari ini Sophie akan membantu Lova membuat sandiwara radio kecil-kecilan yang sumbernya adalah kenangan cinta kiriman dari salah satu youngers," kau membaca scriptmu. "Cerita ini kiriman dari Ryan." Kau terdiam, merasa familiar dengan nama ini.

"Dear Lova dan Sophie, namaku Ryan. Aku seorang mahasiswa tingkat akhir di salah satu PTS. Langsung aja ya, ini salah satu pengalaman cintaku yang agak unik dan lucu," Sophie yang membaca. "Aku orang yang maniak game. Aku bisa menghabiskan waktuku berjam-jam di depan komputer demi main game online. Game favoritku adalah starcraft."

Kau teringat sesuatu. "Oh, iya. Lova inget. Ini Ryan yang tadi siang SMS di After School ya? Hai Ryan, semoga kamu mendengarkan ini ya, surat kamu sedang kita bacakan nih," Sophie memberikan scriptnya padamu, dia sudah menandai bagian-bagiannya. Kau membaca lanjutannya. "Nah, aku punya sahabat dekat, namanya Fandi, dia juga penggemar starcraft. Kita cocok banget dalam segala hal, mungkin karena kita punya kesamaan hobby. Masalahnya mulai muncul waktu penerimaan mahasiswa baru. Waktu itu ada salah satu maba yang menarik perhatianku. Anaknya nggak begitu tinggi, kalau senyum manis banget apalagi lesung pipinya.

"Wah, Ryan. Itu kan Sophie banget.." goda Sophie. Ia kemudian melanjutkan membaca. "Namanya sebut aja Risma. Dia sejurusan sama Fandi, namun masih satu fakultas sama aku. Sejak saat itu aku jadi sering main-main ke tempatnya Fandi, berharap bisa ketemu sama Risma."

Sophie mengoperkan kertasnya padamu. Giliranmu membaca. "Akhirnya, pucuk dicinta ulam pun tiba. Suatu ketika Risma lewat didepan aku dan Fandi. Aku pun nggak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku pun segera cari informasi tentang dia, cara yang paling aman adalah nanya ke Fandi. Belum sempat tanya, dia sudah ngomong duluan sama aku."

"Yan, lihat deh, itu cewek gebetanku,"

"Hah? Itu gebetanku, kataku pada Fandi,"

"Kemudian kita berdua saling diam. Akhirnya kita memutuskan untuk bersaing secara sehat untuk mendapatkan Risma. Caranya? Dengan tanding starcraft tentunya." Giliranmu membaca. Kau dan Sophie saling mengoper kertas. Terutama bila ada dialog disela-sela ceritanya. Karena ini bertema sandiwara kecil-kecilan, cerita itu harus selesai dibacakan sekali tempo. Tidak terpotong oleh single atau commercial break.

"Akhirnya setelah hampir dua minggu kami bertanding starcraft ternyata akulah pemenangnya. Dan Fandi pun berjanji untuk membantuku mendekati Risma."


"Singkat cerita, dua minggu kemudian Fandi telepon aku. Katanya dia ada berita penting yang ada hubungannya sama Risma. Jadi, aku bela-belain kerumahnya walaupun sudah jam 10 malam."

"Sampai disana dengan santainya Fandi ngasih aku foto-fotonya Risma. Tapi disitu Risma nggak sendirian, dia foto dengan seorang cowok. Awalnya aku nggak curiga orang itu siapa, tapi kemudian Fandi bilang itu pacarnya Risma."

"Mereka sudah jadian sekitar satu bulan ini. Rasanya waktu mendengar berita itu duniaku mau runtuh. Kemudian Fandi mengeluarkan laptopnya dan memberikan padaku,"

"Sudahlah, bro. Ayo main starcraft aja. Aku mau membalas kekalahanku kemarin,"

"Akhirnya malam itu aku dan Fandi main game starcraft. Hasilnya? Aku kalah. Hahaha, ternyata kecintaan kami pada gadis itu tidak sebesar cinta kami pada starcraft. Thanks, Lova dan Sophie sudah bacakan ceritaku."

"Ya! Selesai.." teriak Sophie kegirangan saat kau menuntaskan membacamu. "Kita puter single dulu ya, youngers, setelah ini ada kejutan lagi dari kami berdua."

Kau berdiri dari kursimu, melakukan gerakan stretching ringan, Sophie mengikuti gerakanmu. Kau begitu lelah hari ini, selain harus siaran dua kali sehari, kau juga belajar hal yang baru hari ini.

"Gimana tadi siaran bareng kak Renata?" Tanya Sophie sambil meneguk air mineralnya. Kau menggeleng pelan, lalu ikut minum. "Kata temen-temen kamu diomelin gara-gara telat? Ah, maaf ya. Salahku kasih tahu kamunya mendadak."

"Nggak apa-apa kali Phie, lagipula dia marahnya cuma sesaat kok," kau mencomot sebungkus chips yang Sophie bawa dan memakannya. "Ini sudah aku anggap permintaan maaf,"

"Hahaha," Sophie tertawa sambil menyeka sudut matanya yang berair. "Ambil aja semua, nggak ada artinya semua itu dibanding persahabatan kita,"

"Tapi buatku chips ini lebih penting," katamu sambil mengunyah banyak-banyak. "Soalnya aku kelaparan."

"Hahaha, iya, makan aja semua."

"Beneran ikhlas?" kau menyodorkan sebungkus chips yang tinggal setengah. Sophie tergoda juga, ia mengambil segenggam dan memakannya sekaligus. Kalian tertawa bersama, that's what friends are for…

"Eh, ngomong-ngomong, habis ini kita mau ngapain? Kamu bilang kita ada program khusus?" tanyamu disela-sela kunyahan.

"Hah? Aku kira kamu udah siapin formatnya?"

"Nah? Kan nggak ada bos besar Andra…"

"Yaudah deh, buka line telepon aja beres kan?" Kalian tertawa lagi. Sophie membuka sebungkus chips lagi. Hari ini kalian pesta chips berdua. Seperti selayaknya sahabat.

You're one in a million
You're once in a lifetime
You made me discover one of the stars above us


~ (oleh @nadhiasunhee)

Milikmu Selalu

Galang benar-benar membuatku menjadi special, banyak hal-hal yang mengejutkan dia berikan kepadaku. Pernah suatu hari dia tidak bisa datang kursus karena ada urusan basket, malam harinya Galang muncul di depan di rumahku sambil membawa boneka kecil, dia bilang ini gantinya karena tadi sore aku ngga bisa ketemu dia.  Wow, itu manis sekali buatku.
Kegiatan kursus seminggu dua kali menjadi hal yang aku tunggu-tunggu  karena itu waktunya kami bertemu secara rutin. Setiap malam Galang tidak pernah lupa menelponku dan mengirim voice note di pagi harinya.
Sebulan pertama bersama sangat menyenangkan bersama Galang, bulan kedua masih menyenangkan sampai di bulan ketiga, Galang sudah semakin sibuk dengan kegiatan sekolahnya. Waktu bertemu kita benar-benar hanya di tempat kursus, malam harinya Galang lebih sering hanya mengirim bbm atau voice note saya. Aktifitas menelpon sudah mulai berkurang karena Galang sampai di rumah malam dan langsung tidur.
Aku tidak meributkan perubahan-perubahan ini, aku mencoba mengerti kesibukkan Galang. Aku coba tetap memberikan senyum termanis untuk Galang setiap bertemu ditempat kursus, menjawab bbm dan voice note nya dengan kata-kata manis. Aku mencoba mendamaikan hatiku dengan keadaan ini.
Terkadang aku terjebak dalam pemikiran aku sendiri, aku berpikir Galang sengaja menjauh dari aku atau ini cara Galang biar aku minta putus. Tapi aku coba terus  berpikir positif terhadap Galang.
Pernah aku menanyakan perubahan ini kepada Galang, "Galang, kamu berubah deh. Aku ngerasa kamu jauh dari aku"
Saat itu jawabannya "Tasya sayang, aku ngga berubah kok. Hanya saja aku lagi fokus ke pertandingan basket. Aku selalu ada untuk kamu kok Tasya. Ngga ngejauh sayang."
Itu jawaban Galang dan aku tidak ingin memperpanjangnya. Ya sudahlah, aku coba mengerti,memahami keadaan ini.Masih ada keyakinan bahwa keadaan ini pasti akan segera berakhir dan Galang akan kembali seperti dulu lagi.
To Be Continue

Jika sesaat engkau merasa
Jenuh meraja di dalam dada
Tidakkan sayang aku menjauh
Ku akan menunggu kembali hadirmu di sisiku
(Milikmu Selalu – Andien)



~ (oleh @nongdamay)

Deo Volente, #5

KESALAHAN terbesar Penginapan Kaganga, pikir Ralawa, adalah gayung jingga berbentuk hati di kamar mandinya. Setiap kali masuk kamar mandi, dia tidak bisa menghindar untuk tidak mengingat perempuan terakhir yang gagal dia nikahi—yang kemudian menghidupkan kembali semua mantan kekasihnya yang juga gagal dia nikahi. Di kamar mandi Hanawa, mantan kekasih terakhirnya itu, ada gayung yang sama dengan di kamar mandi Penginapan Kaganga.

Dengan gagangnya yang pendek, gayung jingga itu punya kemampuan magis untuk menimba peristiwa-peristiwa dari perigi masa silam. Di hadapan gayung itu, tidak ada sumur yang terlalu dalam untuk kenangan. Kenangan seperti permukaan air yang selalu menyentuh bibir sumur, selalu siap ditimba kemudian membasahi pikiran Ralawa. Kenangan selalu punya cara yang misterius untuk memperbaharui diri.

Ralawa berpikir, dia sudah mengamankan seluruh kenangan ke dalam kotak terkunci dan hilang entah di mana. Dia seringkali membayangkan hidup seperti kecelakaan pesawat. Kenangan-kenangan buruk adalah rekaman di kotak hitam yang jatuh ke dasar laut dan tak pernah ditemukan lagi. Rupanya tidak demikian adanya. Ke manapun Ralawa pergi dia selalu dihadang tembok yang bisa mempertebal dan memperkokoh diri. Kenangan adalah tembok yang tumbuh.

Nyancaya pernah menjelaskan kepada Ralawa bahwa Orang Bugis hidup berjalan menuju masa lalu dan memunggungi masa depan mereka. Dalam kehidupan sehari-hari Orang Bugis, konsep ruang dan waktu terjelaskan lewat pengggunaan kata yang sama tetapi maknanya bertolak belakang.

Kata riolo, misalnya, berarti 'di depan' jika digunakan untuk menjelaskan ruang. Namun kata tersebut berarti 'dulu' atau 'masa lalu' jika digunakan dalam konsep waktu. Begitu pula dengan 'ribunri', ketika merujuk pada konsep waktu, kata itu berarti 'nanti' atau 'masa depan', tetapi ketika menjadi keterangan tempat, kata itu berarti 'di belakang'.

Nyancaya memperoleh penjelasan itu dari Kaganga. Begitulah Kaganga. Jika meminta sesuatu kepada anak-anaknya, dia tidak akan menyampaikan maksudnya secara langsung.

"Jangan terlalu banyak memberi kesempatan tubuhmu tumbuh menjadi sarang kenangan buruk. Orang Bugis itu berhadap-hadapan dengan masa lalunya sepanjang hidup."

Nyancaya tidak paham maksud ayahnya. Kadangkala Nyancaya menganggap ayahnya suka merumit-rumitkan sesuatu. Namun di kala lain, dia menganggap ayahnya guru yang sungguh cerdas, mampu melihat bahwa setiap orang punya akal yang bisa digunakan untuk berpikir. Tidak bijak langsung meminta seorang anak semata menghafal sesuatu.

"Sekolah adalah ladang tempat biji-biji kenangan buruk banyak ditebarkan," kata Kaganga kepada Nyancaya.

Nyancaya tahu  maksud ayahnya ketika mendengar dari balik biliknya Kaganga bicara kepada istrinya.

"Jangan sampai ada seorangpun dari keluarga kita yang makan atau memberi makan dari hasil menjual tanah. Tanah itu tidak untuk diperjualbelikan. Tidak seorangpun manusia di muka bumi ini yang pandai membuat tanah. Tanah itu berbeda dengan meja. Manusia bisa membuat meja, tetapi tanah tidak."

"Tetapi kita akan memberi makan apa tamu-tamu yang datang di pesta pernikahan Nyancaya nanti?"

"Kita harus menyediakan makanan banyak jika kita mengatakan pernikahan sebagai pesta. Pernikahan bukan pesta. Kita beri makan dengan apa yang kita punya. Jangan mengikuti kebiasaan buruk orang lain menjadikan pernikahan anak mereka sebagai pesta untuk mengumumkan berapa jumlah hutang mereka. Kita tidak boleh berhutang sepeserpun karena pernikahan Nyancaya. Menjual tanah berarti berhutang kepada anak-cucu kita dan orang lain. Juga Tuhan. Itu hutang besar yang tidak akan mampu kita bayar bahkan dengan nyawa dan tubuh kita."

Nanrajaca tidak sepenuhnya paham maksud suaminya. Dia tidak paham kenapa orang tidak boleh menjual tanah. Dia tunduk sambil memainkan jari-jarinya. Dari kamarnya, Nyancaya mendengar pembicaraan itu.

"Dadaku dan jari-jarimu itu juga terbuat dari tanah. Kita tidak akan menjual sepotong tubuh kita ini untuk memberi makan tamu-tamu. Sekarang yang lebih penting adalah kamu bujuk Nyancaya agar dia mau menikah dengan Mampatada. Kita harus memberi tahu anak-anak bahwa keluarga adalah sekolah. Menikah itu bukan sekadar mendaftar menjadi siswa sebuah sekolah. Lebih dari itu, menikah adalah membangun sekolah."

*

NYANCAYA menikah dengan Mampatada di usianya yang masih sangat belia. Enambelas tahun. Mampatada empat tahun lebih tua. Pada usia enambelas, seorang gadis sudah cukup matang untuk menikah, menurut Kaganga. Dia menikahi Nanracaja ketika perempuan itu  masih berusia empatbelas tahun. Dua tahun lebih muda dibanding usia Nyancaya ketika dilamar Mampatada. Ralawa tidak pernah membayangkan dirinya menikahi perempuan berusia belasan tahun, seperti nenek atau ibunya ketika menikah. Perempuan-perempuan zaman Ralawa, di usia seperti itu, apalagi mereka yang lahir dan tinggal di kota bahkan belum mampu mengurusi celana dalamnya sendiri.  

Kaganga tidak ingin menolak ketika seorang temannya datang melamar anaknya. Bagi Kaganga, pernikahan adalah anugerah. Seharusnya tidak dipersulit dan ditunda ketika sudah datang. Dia selalu mengenang masa-masa pelariannya. Penyebab utama Kaganga meninggalkan lingkungan istana adalah pernikahan.

Sebelum menikah dengan Nanracaja, Kaganga pernah menikah dengan dua perempuan. Istri pertama Kaganga adalah sepupunya sendiri. Pernikahan mereka harus mengikuti begitu banyak aturan kerajaan. Kaganga tidak suka. Tidak cukup setahun setelah menikah, mereka bercerai.

Pernikahan kedua Kaganga jauh lebih rumit. Istri keduanya juga seorang perempuan dari kalangan istana. Dia menikahi salah seorang putri dari kerajaan tetangga. Lima tahun setelah menikah, istrinya tidak juga hamil. Kaganga mendengar keluarga istrinya menggunjingkannya sebagai pria lemah. Dia amat benci hal tersebut. Dia bersepakat dengan istri keduanya bercerai demi menghindari konflik yang lebih parah antara dua keluarga besar mereka. Pernikahan selalu berarti pernikahan dua keluarga, begitu juga dengan perceraian berarti perceraian dua keluarga. Itulah yang terjadi dengan keluarga Kaganga dan keluarga mantan istrinya.

Kaganga dan Nanracaja saling jatuh cinta. Nanracaja adalah anak budak di keluarga Kaganga. Cinta mereka ditentang seluruh keluarga. Itulah yang menyebabkan Kaganga dan Nanracaja memutuskan pergi meninggalkan kerajaan, sebelum keluarganya bertindak nekat mengusir atau membunuh Nanracaja. Pelarian itu juga berarti bahwa Kaganga dengan sendirinya menanggalkan gelar kebangsawanannya. Oleh keluarganya, Kaganga bahkan sudah dianggap tidak lebih sebagai seorang budak juga.

Seorang dari kalangan istana yang menikahi budak dianggap telah mencemari darah keluarga. Hal itu sebuah aib besar bagi keluarga Kaganga. Pihak keluarga sepakat memutuskan menghapus nama Kaganga dari silsilah.

"Kamu tidak akan pernah menemukan nama Kaganga di silsilah manapun, kecuali di silsilah keluarga kita. Kakekmu itu seperti orang pertama di bumi. Dia memulai sebuah keluarga baru. Dia seperti tidak lahir dari rahim manapun di dunia," kata Nyancaya dalam suratnya kepada Ralawa suatu waktu.

Kaganga menerima hukuman Dipaoppangi Tanah. Dia dianggap hilang tertanam di balik tanah, sudah dikubur. Kaganga telah ditelan bumi. Ralawa pernah berniat mencari asal-usul kakeknya, namun dia tidak menemukan satupun petunjuk untuk itu. Dia barangkali bisa menemukannya jika serius mencarinya, tetapi dia berpikir untuk apa melakukannya. Dia bahkan tidak mampu menemukan di mana ayahnya berada setelah pergi meninggalkan rumah.

Setahun setelah tinggal di Ammessangeng, anak pertama Kaganga lahir, Ngkapaba. Meskipun tidak ada keluarga yang telah dia tinggalkan tahu, dia senang telah membuktikan, minimal kepada dirinya sendiri, bahwa dia bukanlah pria lemah yang tidak mampu membuat istrinya hamil seperti anggapan banyak orang.

Sejak pelariannya dari rumah, Kaganga bersumpah ingin menghapuskan kebangsawanan dari muka bumi—setidaknya membersihkannya dari anak-cucunya. Dia menganggap bahwa salah satu biang ketidakadilan di muka bumi ini adalah gelar-gelar kebangsawanan. 

Kebenciannya kepada kebangsawanan dan ketidaktegaannya menolaklah yang menyebabkan Kaganga langsung menerima lamaran untuk anaknya. Mampatada juga keturunan budak. Ayahnya berhasil membeli dirinya sendiri sehingga Mampatada tidak perlu ikut menjadi budak.

"Bangsa terbaik di dunia ini lahir dari rahim budak."

Begitu selalu kata Kaganga kepada kedua anaknya, Ngkapaba dan Nyancaya.

*
BUTUH waktu setahun setelah menikah, sebelum akhirnya Nyancaya bersedia tidur dengan Mampatada dan menikmati malam pertama mereka. Setiap kali menceritakan kisah pernikahan Nyancaya kepada Ralawa, Nanracaja selalu membandingkannya dengan kisah pernikahan Sawerigading dengan We Cudai dalam epos besar bangsa Bugis, I Lagaligo. Ralawa senang meminta Nanracaja mengulang kisah Sawerigading dan We Cudai agar dia bisa mendengar kembali kisah ibu-bapaknya. Tetapi selalu ada yang tidak diketahui Ralawa perihal ibunya. Selalu.

Nyancaya meninggalkan Kampiri dengan harapan Mampatada mau menceraikannya. Tengah malam, beberapa jam setelah dia menikah dengan Mampatada, dia berjalan kaki sejauh limabelas kilometer ke ibukota kecamatan. Di sana dia menunggu bus yang akan menuju ke Makassar.

Selama setahun, Nyancaya bekerja sebagai pembantu di Makassar, di sebuah keluarga Tionghoa. Dengan tekun dan tidak pernah mengeluh, dia mengerjakan dengan baik semua pekerjaan rumah yang diperintahkan majikannya. Dia bekerja di sebuah keluarga yang baru memiliki seorang bayi. Selain memasak, membersihkan rumah, dan mengurusi anak majikannya, Nyancaya juga sesekali harus menggantikan majikannya menjaga toko.

Majikannya baik hati. Sangat baik hati. Nyancaya sering mendengar cerita-cerita mengenai kekejaman Orang Tionghoa dari teman-temannya sesama pembantu. Tetapi keluarga yang dia tempati bekerja memiliki sifat yang bertolak belakang dengan semua cerita yang pernah dia dengar. Majikannya tidak banyak bicara.

Salah satu hal yang disukai Nyancaya di rumah majikannya adalah perpustakaan kecilnya. Majikannya seorang kutu buku. Dia utamanya senang sekali membaca buku-buku puisi. Separuh koleski perpustakaan keluarga majikannya adalah buku-buku puisi. Nyancaya diperbolehkan meminjam buku-buku dari perpustakaan itu untuk dia baca ketika tidak ada pekerjaan. Nyancaya senang sekali bisa mengisi waktu-waktu rehat kerjanya dengan membaca buku-buku puisi milik majikannya.

Nyancaya hanya tamat Sekolah Menengah Ekonomi Pertama, sekolah lanjutan pertama. Dia tidak bisa melanjutkan sekolahnya ke tingkat lebih tinggi karena pernikahan dengan Mampatada. Meskipun begitu, Nyancaya senang sekali membaca buku-buku puisi. Dia tidak paham apa maksud kebanyakan puisi yang dia baca. Dia menyukai ketidakpahamannya sendiri. Dia merasa dibebaskan untuk menciptakan makna sendiri. Dia seperti diberi kemerdekaan menemukan hal-hal yang dia inginkan dari baris-baris puisi.

Istri majikannya juga seorang yang baik hati, meskipun sering tiba-tiba rewel ketika datang bulan. Nyancaya memahami kondisi semacam itu sebab dia juga perempuan. Suasana hatinya kadangkala juga tiba-tiba menjadi tidak karuan ketika menerima tamu bulannya.

Pada bulan keempat dia bekerja di keluarga itu, istri majikannya meninggal. Selama dua minggu dia terkapar di rumah sakit. Dia tidak pernah tahu penyakit apa yang menyebabkan istri majikannya meninggal. Nyancaya hanya tahu bahwa sejak perempuan itu masuk rumah sakit dialah yang sepenuhnya harus merawat anak majikannya.

Pada suatu malam di akhir tahun, beberapa malam sebelum peryaan tahun baru, bulan keduabelas Nyancaya bekerja, majikannya tiba-tiba saja melamar. Dia menginginkan Nyancaya menjadi istrinya. Nyancaya kaget. Dia tidak pernah membayangkan sebelumnya hal semacam itu akan menimpa dirinya. Dia tidak pernah menceritakan kepada majikannya bahwa dia sudah menikah.

Nyancaya tidak pernah menduga majikannya akan jatuh cinta kepadanya. Sesungguhnya, diam-diam Nyancaya menyimpan perasaan yang sama. Dia seringkali membayangkan lelaki yang menikahinya adalah majikannya sehingga dia tidak perlu lari dari rumah. 

Nyancaya tidak ingin menyakiti hati majikannya yang baik hati, yang diam-diam dia puja. Dia juga tidak tega menambah sakit hati ayahnya. Dia menangis di depan majikannya malam itu. Majikannya mengulang permintaannya sekali lagi. Diam tidak mampu menjawab. Entah apa yang mendorong Nyancaya untuk mencondongkan badannya ke depan dan memeluk majikannya. Dia meletakkan dagunya yang basah di bahu kiri majikannya.

"Besok saya mau pulang ke kampung," kata Nyancaya sambil tetap melingkarkan dua lengannya di tubuh majikannya.

"Untuk apa? Meminta izin ayahmu? Bagaimana kalau saya sekalian ikut dan mengatakan niatku kepada ayahmu?" tanya majikannya sambil melonggarkan rengkuhan Nyancaya agar dia bisa memegang kedua pipinya.

Lelaki itu mencium kening Nyancaya beberapa lama. Nyancaya tidak punya kekuatan menolaknya. Dia membiarkan majikannya mencium kening kemudian bibirnya.

"Tidak. Biarlah saya sendiri," kata Nyancaya sambil menghapus airmatanya.

Malam itu Nyancaya tidur di ranjang majikannya. Mereka berpelukan sampai pagi. Dia tidak bisa memejamkan mata karena terus memikirkan Mampatada di sela dengkuran halus majikannya dan anaknya.

"Bisakah kamu menunda kepulanganmu?" tanya majikannya ketika bangun.

Nyancaya diam saja dan bergegas ke kamarnya mengepak barang-barangnya. Nyancaya ke terminal diantar majikannya. Di mobil menuju terminal, Nyancaya tidak pernah bicara sekatapun.

"Maaf…"

Hanya kata itu yang diucapkan Nyancaya ketika tiba di terminal. Nyancaya mencium tangan majikannya sesaat sebelum berpisah. Itulah hari terakhir dia bertemu dengan majikannya. Bersama semua gajinya selama bekerja dan oleh-oleh dari majikannya, Nyancaya pulang kampung.

Ketika tiba di Kampiri, dia mendapati Mampatada, suaminya, sedang berbincang dengan Kaganga di beranda. Kedua lelaki itu tidak pernah bertanya kenapa Nyancaya akhirnya mau pulang. Tidak seorangpun tahu, kecuali dirinya, kenapa dia akhirnya memutuskan pulang dan menerima dirinya sebagai istri Mampatada, lelaki yang sabar menunggunya di rumah. Tidak ada yang tahu perasaan seperti apa yang dia bawa pulang dari Makassar.

(bersambung)


~ (oleh @hurufkecil)

NIKOLAS #3

Namanya Nikolas.
Mahluk indah pertama yang tertangkap oleh mataku sewaktu masuk di kelas bimbel di tempat tante Ola.
Peserta di kelas bimbel kami hanya berjumlah 20 orang, namun tidak semuanya saling kenal, bahkan saling menyapa pun tidak. Terkadang hanya beberapa orang yang terlihat menyapa atau sekedar meminjam pensil atau penghapus. Tapi hanya sebatas itu, selanjutnya masing-masing dari kami pun tenggelam dalam padatnya jadwal bimbel ini. Maklum, paket belajar yang kami ikuti adalah paket campuran, IPA-IPS, jadi setiap peserta harus memiliki ekstra konsentrasi di kelas.
Awalnya aku pun begitu, sampai tiba-tiba Nikolas mulai mencuri perhatianku.
Rasa penasaranku pada Nikolas sampai-sampai membuatku mencari datanya di buku administrasi. Iseng-iseng aku mencari tahu, dari sekolah mana, kelahiran tahun berapa, sampai Universitas yang menjadi target dia nanti.
"Pat, namanya Nikolas. Tadi aku ngintip di buku absent kelas. Terus...tau ngga? Aku ketemu buku administrasi juga.. Hahaha.. Iseng banget banget ya aku..?"
Sebagai keponakan pastinya aku punya akses lebih untuk bisa membuka data siswa di tempat bimbel ini. Aku tersenyum nakal.
"Hah? Kamu tuh yang bener aja Yol. Sampe liat bukunya admin segala? Tapi ngomong-ngomong dapet data apa aja?" Patty menyeringai lebar.
"Halah, kamu tuh Pat..gayanya...kamu penasaran juga kan? Huu..., bibirku sedikit maju meledek Patty"
"Lha wong cowo pinter dan baik hati begitu, siapa yang ngga penasaran?"
"Pat, dia cuma meminjamkan kamu penghapus, apanya yang baik hati?"
"E..e..eeh, sebuah penghapus juga bermakna loh Yol, kalo yang minjemin itu Nikolas"
"Halah Pat..."
Pembicaraan pertama aku dan Patty di kamar tentang Nikolas. 
Nikolas menguasai hampir semua mata pelajaran dan selalu menjadi yang terbaik di kelas. Satu hal, kecuali bahasa Inggris.
Aku tersenyum mengenang kejadian di depan papan nilai.
"Ok Class, keep the good work. I can't wait for the next exam. All of you can see the score on the board. Have a good day all. Bye"

"Bye Ms. Carla"

Ms. Carla, guru bimbel mata pelajaran bahasa Inggris pun meninggalkan ruangan. Kami semua langsung mengikutinya menuju pintu keluar dan bergegas menuju papan nilai di lantai 2.

"Wah Pat, kamu nilainya 99 loh. Hebat!"
Aku menepuk bahu Patty. Nilai ujian Patty untuk kuis bahasa Inggris ternyata yang tertinggi.
Patty memang pandai dalam bahasa Inggris. Tidak heran, papanya orang Jerman asli yang menetap di Solo sampai sekarang. Percakapan di rumah yang selalu menggunakan bahasa Inggris membuat kemampuan Patty baik oral dan written tidak perlu diragukan lagi. Dari semua pelajaran, bahasa Inggris nya memang paling menonjol. Sepertinya itu satu-satunya keahlian dia dari Tuhan. Aku tersenyum.

"Nilaimu tuh cuma kalah satu score dari aku Yol.. jangan berlebihan deh..."
"Hahaha.. tapi kan tetap saja Patty, you're the best!"
"Oh..of course dear..of course.. You have to bite my score for the next. Ok!" Dengan gaya nya yang pura-pura sombong.
"I will!" aku mengangkat dagu dan memberikan senyuman menggoda. Dan kami pun tertawa.
"Yol, aku ke toilet dulu ya, ini sudah ngga tahan.."
"Iya, cepet sana. Aku tunggu di sini ya.."
Patty pun bergegas pergi.

"Wah, kamu hebat ya, dapat score 98. Selamat ya."
Tiba-tiba aku dengan cepat memalingkan wajah pada laki-laki yang sekarang sedang berdiri tepat di sebelah kananku. Dia tidak begitu tinggi, mungkin sedikit lebih tinggi beberapa senti dariku, sehingga aku bisa melihat jelas setiap sudut dari wajahnya. Rambut pendeknya yang ikal terlihat sempurna berpadu dengan bola mata yang berwarna coklat tua dan kulit yang terlihat seperti biskuit coklat, sangat manis. Aku tertawa kecil dalam hati. Kok seperti biskuit ya?
Sentuhan kacamata di wajahnya membuat dia tampil sempurna.
"Terima kasih ya. ...
Nilaimu juga bagus. Nih, nilainya 85." Jariku menunjuk tepat di angka 85 di sebelah nama Nikolas Budiman.
Aku hanya bisa menatapnya dan dalam hitungan detik ketiga, cring! Aku tersenyum, dan sedikit terlambat baru kusadari bahwa senyumku terlalu lebar dan menggantung.
"Nik, udah yuk pulang, gw mau basket nih, nanti kesorean lagi.."

Pembicaraan kami terhenti karena tiba-tiba Tasya hadir.
Tasya adalah teman akrab Nikolas selama di kelas. Teman seperti apa, aku juga sebenarnya tidak mengetahui dengan jelas. Mereka terlihat sangat akrab. Pagi-pagi selalu datang bersama, bahkan telat pun bersama. Pulang bimbel pun mereka bersama. Terkadang mereka saling bergantian membawa kendaraan.
Oiya, selain pergaulan anak Jakarta yang menurutku sangat berani, aku juga kagum dengan mereka. Mereka hebat sekali, masih muda sudah bisa mendapat kepercayaan dari orang tua untuk bisa membawa mobil ke sekolah, bimbel atau sekedar nongkrong tadi, sedangkan aku dan teman-temanku di sekolah, paling kami cuma membawa motor atau sepeda seperti kendaraan sehari-hari. Orang tua aku dan Patty di Solo tidak mempercayakan kami untuk membawa mobil.
"Duluan ya.." ucap Nikolas dengan pelan
"Iya" aku menganggukkan kepala dan bahu Nikolas pun perlahan menghilang menyusul Tasya.

Aku sungguh tidak percaya, Nikolas menyapaku.
Ya, Nikolas.
Inilah moment pertama kali aku dengan Nikolas yang menjadi awal 'rencana pendekatan' yang aku dan Patty rancang..
____
Sore ini indah sekali rasanya. Aku berdiri menatap langit.
Hmm.. 16.45 menuju pukul 17.15 selalu menjadi waktu terbaik menurutku untuk menatap langit sore. Sangat teduh. Angin berhembus dengan lembut, rasanya nikmat sekali. Patty sedang tertidur. Sepertinya dia lelah sekali setelah seharian tadi kami ujian 3 mata pelajaran sekaligus. Kuis yang melelahkan.
Aku baru saja terbangun dari tidur siangku dan sekarang sedang menikmati sore dengan segelas teh manis hangat.
Jakarta membuatku tersenyum.
Apa jadinya ya kalau aku menolak tawaran ayah untuk datang ke Jakarta kala itu? Mungkin aku tidak akan bertemu Nikolas.
Aku teringat kejadian kala itu.
"Sudahlah, kamu ikuti saja saran tante Ola. Daripada di daerah seperti, lagi pula tempat bimbel yang bagus kan tempatnya memang di Jakarta."
"Di sini juga banyak kok ayah.. Kenapa harus ke Jakarta?"
"Sudah. Pergi saja ikut tante Ola. Lagipula bimbel nya kan gratis. Kamu juga bisa punya teman baru dan lihat kota besar itu seperti apa."
"Tapi nanti aku tinggal di mana ayah?"
"Di rumah tante dong"
Haduh...aku mulai mulas. Aku belum pernah ke kota Jakarta. Seperti apa itu Jakarta.. Seumur-umur aku tidak pernah keluar dari Solo ini. Mataku menatap lidah mertua yang merekah itu di balik kaca jendela. Apakah mengerikan? Banyak kejahatan? Perkosaan? Yang seperti di televisi itu loh... Haduh..
Oh...tidak! Aku menepuk jidatku segera. Yol! Sadar, waras hei waras!
Senyum kecil pun membuatku tersipu.

"Lalu, kapan berangkat?" tanyaku
"Besok saja, lagipula kamu juga ngga ada kegiatan kan sekarang? Lebih cepat ya lebih baik"
Persiapan yang bahkan tidak bisa dikatakan sebagai persiapan mungkin, karena pembicaraan dengan ayah yang dilakukan malam ini langsung dilanjutkan dengan kepergianku lusanya menuju Jakarta.
Tidak ada gambaran, tidak ada cita-cita.
Namun sekarang?
Tidak terasa 1 bulan sudah aku di Jakarta. Rasanya sudah seperti 1 tahun. Setiap hari belajar, setiap hari kuis di kelas. Sedikit menjemukan awalnya, namun sekarang ada Nikolas yang mulai mencuri perhatianku.


~ (oleh @kakakPur)

The Past

"Sampai sekarang aku masih menyukai permainan sulap," ujarku pada Indi yang sedang mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuk tangan kirinya. Buku kecil yang tadi dipakai untuk menamparku itu masih di tangan kanannya. "Kalau pekerjaanku sedang luang, aku mengunjungi blog-blog yang membongkar rahasia para pesulap," lanjutku dengan tatapan was-was. Kuatir kalau ceritaku dianggap ngaco, kemudian buku itu kembali mendarat di pipiku. "Dan kalau memungkinkan, aku akan mencoba memainkannya."
"Apa maksudnya kalau memungkinkan?"
"Hanya sulap-sulap ringan yang tak butuh peralatan macam-macam," jelasku. "Tidak mungkin aku memainkan sulap-sulap panggung seperti mengiris tubuh dengan gergaji mesin, mengeluarkan perempuan cantik dari kotak, kebal dilindas stoom, merebus diri dalam tandon air mendidih, atau atraksi-atraksi besar lainnya. Aku lebih suka permainan kartu, koin, korek api, atau benda-benda kecil yang hilang dan muncul kembali dalam sekejap mata."
"Contohnya?"

Tanganku merogoh saku celana, kemudian mengeluarkan sekotak kartu dari dalamnya. "Aku punya satu permainan. Kali ini kita akan menyapa masa lalu."
"Tidak. Aku tidak mau diramal." Indi menggeleng, dua kali. "Masa lalu biar tetap jadi masa lalu. Itu sama sekali tidak penting. Masa depan biar tetap jadi misteri."
"Indiii... Lagian siapa yang mau ngeramaaal?" bantahku gemas. "Ini bukan kartu ramal. Cuma permainan untuk mengetahui siapa kamu di kehidupan sebelumnya. Idenya datang dari permainan Rolet Rusia. Pernah dengar kan?"
"Hanya ada satu peluru dalam pistol berpeluru enam?"
"Ya. Tantangannya adalah kita harus menghindari satu yang paling berbahaya. Seperti juga permainan empat gelas kertas yang dipasang terbalik dan salah satunya berisi pisau. Atau empat kaleng terbuka dan salah satunya berisi ular berbisa."
"Apa hubungannya dengan yang akan kamu mainkan?"
"Prinsipnya kurang lebih sama. Tapi yang ini kebalikannya."
"Aku masih nggak paham."
"Kamu nggak akan paham kalau ini nggak dimainkan, Indi. Kita coba saja mulai permainanya. Oke?"

Indi mengangguk ragu, lalu meletakkan buku kecil dan penanya agak jauh di ujung meja, kemudian melipat kedua tangannya dan mulai memperhatikan kartu-kartu di tanganku dengan lebih serius. Aku tersenyum kecil dan mulai mengocok kartu. Empat kartu kuambil secara acak lalu kubagi berjajar. Setumpuk kartu yang tersisa kugeser ke ujung meja sebelah kanan, di sebelah buku kecil dan pena milik Indi.

"Bisa kupinjam ini?" tanyaku sambil menunjuk buku dan pena itu.
Masih sedikit ragu Indi mengangguk mengiyakan. Aku cepat meraih buku itu, membuka halaman terakhirnya, menuliskan beberapa baris kalimat, lalu menutupnya dan meletakkan buku itu kembali di tempat semula. "Nanti di akhir permainan kamu boleh baca apa yang sudah kutulis di situ."
"Okay."
"Sekarang perhatikan kartu-kartu ini." Jelasku sambil menatap mata Indi dengan serius. "Ada empat gambar minuman. Espresso, cappuccino, hot chocolate, orange juice. Kamu boleh pilih, lalu tunjuk dua kartu. Jangan disentuh. Tunjuk aja."
"Kenapa nggak boleh disentuh?"
"Bukan muhrimnya, takut jinnya ngamuk, lalu dia nggak mau nunjukin masa lalu."
"Okay!" ujar Indi bersemangat. Tangannya langsung menunjuk dua kartu. Satu kartu bergambar orange juice dan satu lagi yang bergambar cappuccino.
"Yakin?" tanyaku.
"Sangat yakin."
"Nggak mau diubah lagi?"
"Yap."
"Bener?"
"Iyaaa..."

Aku menyingkirkan dua kartu pilihannya ke sisi meja sebelah kiri. Tersisa dua kartu. Gambar espresso dan hot chocolate. "Sekarang kamu pilih salah satu."
"Ditunjuk tanpa disentuh juga?"
"Ya." Aku mengangguk. "Tunjuk satu kartu. Lalu tunggu perintah selanjutnya."

Ragu-ragu telunjuk Indi mengarah ke kartu bergambar hot chocolate. Pilihan yang sebenarnya sudah bisa kutebak sejak awal, karena memang itulah minuman favoritnya. Ingatanku lalu melayang pada dua tahun yang lalu saat kami baru saling kenal. Pada suatu sore yang hujan di sebuah kedai kopi tak terlalu ramai. Aku baru saja menyelesaikan deadline artikel untuk sebuah majalah saat kulihat  sosok asing Indi dengan langkah terburu-buru membuka pintu dan mengambil duduk tak jauh dari mejaku. Aku memperhatikannya beberapa saat, lalu tanpa banyak kesulitan memberanikan diri mendekatinya, dan akhirnya kami berkenalan sore itu juga. Kami mengobrol dan membahas tentang banyak hal. Indi lalu bercerita kepadaku. Hujan, hot chocolate, kangen dan Coldplay memang paduan yang mematikan, katanya sambil menyeruput minumannya. Aku mengangguk-angguk, sambil menghayati Warning Sign yang mengalun pelan di kafe.

"Okay." Suara Indi membuyarkan lamunan sesaatku. Telunjuknya berhenti tepat di atas kartu bergambar hot chocolate. "Jadi kartu ini milikku sekarang?"
"Sebentar. Kamu yakin dengan pilihan ini?"
"Sangat yakin."
"Nggak mau diubah?"
"Engg.. Ganti deh." Indi menggeleng sambil menatapku lucu. Telunjuknya berpindah ke kartu bergambar espresso.
"Yakin? Nggak mau ganti lagi?"
"Eh. Nggak jadi deh." Ralatnya lagi sambil tertawa. Telunjuknya kembali berpindah ke kartu bergambar hot  chocolate.
"Yakin? Nggak mau gant.."
"Udah. Buruan. Sebelum aku jadi labil lagi."
"Baik. Sekarang kamu boleh buka bukunya, lihat apa yang tadi kutulis di lembar terakhir."

Indi meraih buku di atas meja, lalu membukanya perlahan seakan yang dihadapinya adalah kotak pandora berisi hal yang mengerikan. Tapi tak lama kemudian tawanya langsung pecah. "Bagaimana kamu bisa tahu?" tanyanya tergelak. Buku itu diletakkannya terbuka di atas meja. Ada sebaris tulisan tanganku di sana;

Silakan diminum coklatnya.

"Tunggu dulu." Jelasku. "Inti permainannya bukan ini. Tadi sudah kukatakan kalau ini tentang siapa kamu di kehidupan sebelumnya kan?"
"Ya. Bagaimana tentang itu?"

Aku tersenyum, lalu membalik kartu yang tersisa, kartu bergambar hot chocolate yang jadi pilihan Indi. Ada kertas putih yang sebelumnya  sudah kutempel di sana dengan double tape. Tertera di atas kertas itu dengan font berukuran kecil;
I don't know how you feel about it, but you were female in your last earthly incarnation.You were born somewhere in the territory of modern West Australia around the year 400. Your profession was that of a jeweler or watch-maker.

Your brief psychological profile in your past life:
Inquisitive, inventive, you liked to get to the very bottom of things and to rummage in books. Talent for drama, natural born actor.

The lesson that your last past life brought to your present incarnation:
There is an invisible connection between the material and the spiritual world. Your lesson is to search, find and use this magical bridge.

Do you remember now?


Indi kembali tertawa. "Ini bisa dipercaya? Jadi di kehidupan yang lalu aku adalah..."
"Cuma past life analysis hasil copy paste dari internet. Mana aku tahu?" 
"I Love You More," ujar Indi sambil tersenyum.
"What?"
"Maksudku nama untuk cupcake berikutnya," Indi buru-buru meralat. "Cupcake dengan topping butiran coklat, taburan serbuk cinnamon.."
"Sebentar," tahanku. "Bukannya cerita kedua belum aku mulai?"
"Permainan sulap barusan sudah cukup menginspirasiku, Cesa." ucap Indi masih dengan senyum yang entah kenapa tiba-tiba membuat jantungku berdebar sedikit lebih kencang dari biasanya. "Ceritamu berikutnya bisa disimpan untuk nama  cupcake ketiga," lanjutnya kemudian.
"Tapi.. I Love You More?" aku menggeleng-nggeleng.  "Oh Tuhan.. Sepertinya bukan nama yang cocok."
"Tidak," tegas Indi yakin. "Aku yakin ini nama yang bagus. I Love You More, pasti akan jadi paduan yang tepat kalau dinikmati bersama dengan.."
"Hujan, hot  chocolate dan Coldplay?" potongku.

KLIK!

"Oh, shit!" ucapku refleks. Sekitarku mendadak gelap gulita. Kudengar Indi juga tersentak kaget dan tangannya menyenggol tumpukan kartu di meja hingga jatuh berserakan di lantai.
"Pemadaman." Katanya setengah berbisik. "Rupanya PLN sedang bercanda. Semoga tidak lama."

***


~ (oleh @monstreza)

Bidadari Kuning

Aku ingat pagi itu, pagi gelap dengan langit yang menangis. Pagi itu, adalah pagi terakhirku bersama ibuku, satu-satunya orang tua yang kukenal dan kumiliki. Saat itu umurku 21 tahun, dan baru empat hari dinyatakan lulus dari diploma tiga. Aku tidak pernah percaya hari itu terjadi, bahkan sampai saat ini. Hari dimana aku menemukan sendiri ibu terbujur kaku di tempat tidurnya.
Aku masih ingat, kulit ibu terasa kering ketika kupegang. Tidak ada lagi desahan napas yang biasa ia keluarkan jika kesal kepadaku. Tidak ada lagi denyut yang bergetar di dadanya jika aku memeluk tubuh mungilnya. Tidak ada lagi kehangatan yang biasanya kurasa jika aku menangis di pundaknya. Tidak ada. Semuanya terasa sunyi, dingin dan kelam.

Ibu meninggal dalam tidur, dan langsung dimakamkan ke perut bumi siang itu juga. Aku tidak mampu mengadakan tahlilan untuk ibu terlalu lama. Bahkan uang tabungan ibu nyaris habis hanya untuk urusan pemakamannya. Keadaanku saat itu benar-benar sulit, sendirian tanpa sanak keluarga.

Ibu tidak pernah menceritakan tentang ayah kandungku. Jikalau aku bertanya pun, ia selalu mengalihkan pertanyaanku dengan dongeng. Ketika aku beranjak remaja aku sempat marah karena ibu tidak pernah cerita tentang ayah, dan ia menangapi kemarahanku dengan tersenyum dan berkata,

"Suatu saat kamu pasti akan tahu semuanya, April. Tapi tidak sekarang. Semua itu ada waktunya."

Apakah ini waktunya? Setelah lima tahun kematian ibu, pria yang berdiri di hadapanku tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai ayahku? Kenapa ia baru muncul setelah lebih dari 26 tahun aku hidup?
Aku menatap pria yang mengaku ayahku itu dengan tatapan menyelidik. Ia tiba-tiba terbatuk-batuk sambil menepuk-nepuk dadanya seperti sedang terserang bronchitis parah, atau hanya pencitraan kepadaku,anaknya, bahwa ia sedang sakit-sakitan, entahlah.
Otto membantu pria itu agar duduk di salah satu kursi malas dan menanyakan apakah pria itu baik-baik saja. Setelah mendapatkan jawaban "tidak apa-apa", Otto berpaling kepadaku,
"Mau minum apa Pril?"
Aku berusaha tersenyum dan menggeleng pelan. "Tidak usah repot-repot. Saya mau pulang, badan saya tiba-tiba tidak enak."
Aku langsung berbalik dan berusaha secepat mungkin meninggalkan rumah itu. Ketika tanganku mau menyentuh gagang pintu untuk membukanya, Otto mendahuluiku dan mencegah pintu itu terbuka.
"April, tolong..." Desis Otto.
Aku menunduk dan menggeleng pelan. "Maaf."
Otto seperti memahami perasaanku, dan membiarkanku keluar dari rumah itu. Aku berusaha secepat mungkin keluar dari kompleks rumah mewah itu dengan langkah lebar. Entah di langkah keberapa, pertahananku pecah. Air mataku seperti air bendungan yang bocor, mengalir deras.
***
"Ibu, seperti apakah bidadari itu?"
Wajah ibu selalu bersinar-sinar ketika menceritakan dongeng kepadaku. Aku kecil selalu berimajinasi bahwa ibuku ini sebenarnya adalah peri dongeng yang bertugas setiap malam untuk menceritakan dongeng ke anak-anak di kampungku ini, bukan seorang buruh tani yang mati-matian mencari nafkah untuk pendidikan dan hidup anaknya.
"Bidadari itu wanita cantik, sayang." Ucapnya sambil membelai lembut rambutku. "Baju yang ia kenakan kuning gading. Dan jika berjalan, semua makhluk yang melihatnya akan terpana dengan kecantikannya. Ia punya sayap. Sayap itu membuatnya terbang kemanapun ia mau di penjuru kerajaan langit."
"Seperti ibu apakah cantiknya?"
Ibuku tertawa. "Seperti kamu cantiknya."
"Aku bidadari juga dong, bu?"
Ibu membelai lagi rambutku. "Kamu akan selalu menjadi bidadari ibu, nak."
"Lalu apa yang terjadi dengan bidadari itu bu?"
"Bidadari itu jatuh cinta. Ia jatuh cinta kepada Angin. Seorang pria tampan dari bumi yang bertugas membawa pesan dari kerajaan bumi ke kerajaan langit."
Aku mulai membayangkan dongeng ibu dalam imajiku.
"Tapi bidadari tidak tahu jika sebenarnya Angin itu sebenarnya bukanlah seseorang yang baik."
"Jadi angin membohongi sang bidadari?"
"Iya nak. Bidadari terbujuk rayu Angin untuk mau jalan-jalan ke kerajaan bumi. Bidadari tidak tahu, jika begitu ia menapakkan kakinya di bumi, maka hilanglah hak dia sebagai penghuni kerjaan langit."
"Bidadarinya akhirnya turun ke bumi?"
"Iya. Dia turun ke bumi ketika diajak oleh Angin, yang saat itu sedang bertugas mengantarkan persembahan dari raja bumi ke raja langit. Tapi ketika sampai bumi, blasss.... Sayap sang bidadari hilang."
"Yaaaa.... Jadi tidak bisa terbang lagi dong?"
"Benar nak. Dan ketika tahu sang bidadari tidak bisa terbang lagi, Angin meninggalkan dia sendirian di bumi."
"Angin jahat."
"Sudah, sekarang waktunya tidur. Besok malam, ibu ceritakan kelanjutan ceritanya."
"Ibu..."
"Ya, sayang."
"Apakah angin itu seperti ayah yang meninggalkan kita?"
Ibu tak menjawab apa-apa. Ia menarik selimutku dan mencium keningku. "Selamat tidur, besok jangan telat bangun."
Aku tidak pernah mendapatkan jawaban yang pasti dari ibu. Ibu pun tak meninggalkan informasi apapun tentang ayahku. Dan apakah aku harus percaya dengan pria yang kutemui barusan di rumah itu? Dan kenapa Otto, pria yang mengirimiku lagu dan headphone berserta puisi indah, ada disana? Siapakah dia sebenarnya?
***


~ (oleh @tantehijau)