Tentang 30 Hari Cerita Cinta

28 September 2011

Gantung

Setelah melalui masa hubungan tanpa status yang panjang, akhirnya aku dan Galang resmi berpacaran. Setiap hari aku dibuat bahagia oleh Galang, sama seperti dulu saat pertama kali aku jadian dengan Galang.
Aku punya pacar lagi, cerita baru dengan orang lama judulnya. Untuk saat ini, kita berdua merasa sudah sama-sama siap berpacaran, banyak hal-hal yang dulu belum kesampean kita lakukan berdua, kita coba wujudkan saat ini.
Terkadang kita berdua juga sering mengingat-ingat masa pacaran kita yang dahulu dan menertawakan hal-hal bodo yang telah kita lakukan.
Galang memenuhi janjinya untuk berubah, komunikasi yang aku minta berjalan dengan sangat baik. Sepertinya kedewasaan membuat kami lebih bisa bertahan lama untuk hubungan kali ini. Bagiku Galang segalanya sekarang, perasaanku yang awalnya mungkin penasaran, atau ingin melanjutkan sisa kisah yang lalu ini pun tumbuh menjadi perasaan cinta sebenarnya.
Tapi memasuki bulan keenam hubungan kami, Galang kembali. Iya kembali seperti Galang yang dulu, Galang yang susah dihubungi dan tidak menghubungi aku untuk beberapa waktu, aku menyebutnya pacar menghilang.
Seperti saat ini, sudah hampir sebulan kami tidak bertemu, frekuensi menelpon pun menurun drastic, hanya bbm-bbm singkat setiap harinya. Sampai sore ini handphoneku berdering. "Ah, Galang akhirnya menghubungi," gumamku sebelum mengangkatnya. Ternyata dia mengajakku hunting foto di daerah kota tua. Ada tugas mata kuliah fotografi dan harus menggunakan kamera SLR, kameraku, tepatnya.
Kami pun menjelajahi kota tua. Aku arahkan kamera ke obyek-obyek yang telah ditentukan dalam tugas. Menyenangkan mengerjakan tugasmu sambil pacaran. Kupastikan tugas Galang akan jadi yang terbaik.
Rasanya aku ingin berterima kasih pada dosen Galang yang memberi tugas. Setelah beberapa waktu Galang menghilang dariku, akhirnya kami bertemu dan mengobati rasa rinduku.
Hampir sama seperti dulu, saat aku berpikir Galang sudah kembali ternyata salah. Galang hanya membuatku senang sehari kemudia menghilang berhari-hari, berminggu-minggu dan puncaknya berbulan-bulan. Iya, sudah dua bulan ini aku sulit menghubungi Galang, jangankan bertemu sekedar menelpon saja tidak diangkat dan bbm kadang dibalas, kadang tidak.
Aku kembali ke situasi waktu dulu, aku tak mengerti. Aku yang terlalu cinta dengan Galang sampai bisa terima keadaan ini atau bodoh karena mau mengulang semua ini. Yang aku tau, dulu aku tidak bisa bertahan dalam keadaan ini, apakah saat ini aku bisa? Bisa bertahan saat Galang membuat hubungan ini menjadi gantung…..
To Be Continue

sampai kapan kau gantung cerita cintaku
memberi harapan
hingga mungkin ku tak sanggup lagi
dan meninggalkan dirimu
(Gantung – Melly Gouslaw)



~ ( oleh @nongdamay)


Aku Benci Dia, #1

Semenjak kejadian itu, perlakuanku ke Arya nggak ada yang berubah. Tapi aku lebih mengenalnya. Sekarang aku tahu sifatnya Arya. Tapi tidak membuatku mundur atau bahkan membencinya.

Kejadian itu tidak membuatku jera. Bahkan, beberapa pertengkaran sering diwarnai dengan kekerasan fisik lagi. Entah aku yang tak pernah jera atau Arya yang memang nggak punya hati. Kebiasaannya, setiap habis memukul atau menampar atau nonjok, sampai dia mendengar aku mengerang kesakitan dan pasrah tanpa perlawanan, dia selalu memelukku, meminta maaf dan mengompres semua luka-lukaku. Dan bodohnya lagi, aku selalu memaafkannya. Setelah itu, we're pretending nothing really bad ever happens.

SICK!

Selain kekerasan dalam hubungan yang aku derita, Arya tidak hanya menyiksaku secara lahiriah. Dia juga kadang menyiksaku secara emosional. 

Seperti, di suatu hari yang telah lama aku tunggu-tunggu bersama sahabat-sahabatku. Kami akan melakukan ritual kumpul bareng setelah 2 tahun nggak bertemu langsung dan kumpul dengan formasi lengkap - Aku bersahabat 5 orang cewek dari jaman SMA-. Malam itu aku merencanakan akan menginap di tempat Ajeng. Vania, Raya dan Lia sudah siap dan akan menjemputku, sampai didetik terakhir aku mau berangkat, Arya masih tetap tak mengijinkanku pergi bersama sahabat-sahabatku.

"Kamu kenapa sih, Ya… Mereka kan sahabat-sahabatku. Kenapa mesti nggak ngijinin aku nginep sih? Kamu juga udah kenal mereka kan? Nggak usah khawatir!" aku marah-marah langsung di depan Arya. Karena malam itu rencananya memang aku akan di jemput sahabatku setelah aku pulang kuliah bareng Arya.

Arya menghembuskan nafas, berusaha tenang, "Justru karena aku kenal mereka, Sari… aku tau mereka suka ngapain."

Aku melotot, melihat ke arah Arya yang sotoynya nggak ketulungan ini. Udah sok kenal banget aja dia. "Emang ngapain?"

"Palingan juga dugem, pulang malem…ya kan? Nggak ah! Aku nggak mau kamu ngikut-ngikutin mereka!"

"Astaga, Arya… ya nggaklah.. palingan juga kita semua cuma ngobrol doang di cafe."

"Sambil minum kan?"

Aku berusaha mencerna kata-kata Arya yang barusan, selama 2 tahun ini jadi dia belum benar-benar mengenalku. "Aku nggak akan minum. Janji! Jadi boleh yah aku nginep? Pleaseee… " aku sudah diburu waktu. Mereka udah di jalan untuk menjemputku, dan aku masih disini, di dalam mobil Arya, di depan rumah, belum packing.

"NGGAK! Sekali nggak tetep nggak yah… Awas kamu keluar! Udah deh! Masuk rumah sana!" bentaknya.

Ngga ada lagi yang bisa aku lakukan, selain menuruti perintah Arya. Turun dari mobil dan masuk rumah. Aku menelepon teman-temanku yang saat itu sudah dekat ke rumah untuk menjemputku.

"Jeng, gua gak ikut yah… duh, gua nggak enak badan nih. sorry banget in a last minute gini." aku sengaja menyerak-nyerakkan suaraku, aku sengaja bohong ke mereka supaya mereka nggak marah dan malah membenci Arya.

Ajeng dan yang lain kecewa, mereka justru mau membatalkan rencana ini dan malah pengen nginep di rumahku. Aku ingin sekali bertemu mereka, pengen kabur tanpa bilang Arya. Tapi ketakutanku akan Arya lebih besar dari keberanianku mengendap-endap ruang tengah mengambil kunci pintu dan melompati pagar rumah dan ketauan orang tuaku. DAMN!

"Jadi lo nggak ikut kita nginep karena Arya ngelarang lo?" Vania sudah marah-marah ditelepon begitu barusan aku bbm alasanku sesungguhnya. Cuma ke Vania aku bisa jujur dan menceritakan semuanya.

Aku hanya diam, kaget, karena Vania langsung menelepon.

"Dia pikir kita ini cewek kayak apa sih? Emang kita bandel? Emang kita mau ngejerumusin lo? Sar, kita ini udah temenan lebih dari 8 taun… Masa kita tega?"

Aku menangis, sedih, "Van.. bukan salah Arya semua kok. gua juga salah, gua ngga bisa ngeyakinin dia. Yaudah, besok siang aja yah kita ketemunya.. Van? Please…"

"Nnggak deh, besok siang anak-anak udah pada balik ke kota masing-masing. Sama gue juga males… Urusin aja deh sana cowo lo yang posesif itu!" Vania marah sekali, dia menolak ajakan meeting-ku.

Great! udah punya cowok sedikit sakit jiwa, sekarang aku ditinggal sahabat-sahabatku.

What a wonderfull world, God! teriak batinku.

--




~ (oleh @_citz)

Bagaimana Mencintaiku #8

Aku begitu terobsesi dengan Joseph, berusaha mencari tahu semua informasi tentang dia. Kapan dia berulang tahun, hobinya, alamat rumahnya, segala sesuatu yang menyangkut diri Joseph. Di mana dia tinggal, kapan dia ulang tahun dan apa hobinya, makanan kesukaannya, pokoknya segala sesuatu tentang Joseph. Dengan bantuan teman-teman, aku bisa mendapatkan semuanya dengan cepat dan akurat. 
Aku mulai menjadi penguntit yang handal, kebodohanku yang lainnya.
Saat dia ulang tahun, hanya selisih 6 hari dari ulang tahunku, aku menyiapkan kado untuknya tapi tidak pernah aku berikan. Terlalu malu dan takut ditertawakan.
Sampai satu peristiwa datang, dan menghempasku begitu rupa. Aku
dipanggil oleh pemimpin rohaniku di Gereja. Ternyata ada laporan yang
kurang baik tentang aku.

-- 




~ (oleh @siahaanastrid )

Remang Cahaya

Aku ingat seorang teman kuliahku yang bernama Vanessa. Dia seorang penulis cerpen yang cukup produktif. Karyanya selalu ada hampir di semua majalah remaja. Bahkan satu cerbungnya pernah tembus majalah wanita dewasa. Gila deh!

Kemarin aku mendapat kabar bahwa dia baru menerbitkan novel perdananya. Keren kan? Aku langsung menghubungi Facebook-nya. Dia sangat kaget karena aku dapat menemukan akunnya. Kutulis di dindingnya, "Ya eyalah aku inget, Ness! Orang beken kayak kamu tuh gampang dicari!" Lalu kami membuat janji bertemu di coffee shop favoritnya di kantornya di daerah Sudirman.

Kami menghabiskan waktu sekitar dua jam dan aku mendapat buku pertamanya berserta sebuah kalimat, "Jangan membayangkan apa yang tak seharusnya kau bayangkan." Agak membingungkan. Tapi aku diam saja dan memutuskan menyimpan segala pertanyaanku sampai ke atas kasurku nanti.

**

Baru membaca sampai halaman 20, aku mulai menebak-nebak apa yang sedang Nessa pikirkan ketika membuat kisah ini. Begitu lugas, apa adanya, terkesan agresif, dan seperti nyata. Wow, beginikah gaya penulisan dia? Keren juga. Tapi aku teringat tulisannya di samping halaman daftar isi.

Apakah tulisan ini... Aku tak berani menduganya, tetapi jelas semua yang tertulis di sini membuatku penasaran. Aku mengirimkan BBM padanya. Terkirim tetapi tak dibalas. Aku semakin geregetan. Kuhabiskan malam itu dengan ratusan kata yang membuat kepalaku semakin berdenyut...

**

Aku memaksa Nessa untuk menyisakan waktu sore ini, seminggu setelah aku membaca novelnya. Ia selalu menghindar. Aku yakin dia tahu apa yang akan kubicarakan. Aku tak peduli. Maka aku ada di sini. 

Vanessa datang dengan wajah berat. Kulihat dia membawa seorang anak kecil. Cantik. Wajahnya mirip Ness... Sa? Aku menelan ludah. Dengan kikuk, aku mempersilakan keduanya untuk duduk. "Hai, Manis. Siapa namamu?" tanyaku mengacak rambutnya yang tergerai.
"Caca," jawabnya malu-malu. Aku tersenyum dan mengalihkan tatapanku pada Nessa. 
"Aku tak perlu menjawab apa pun, kan?" tanyanya sinis. Aku menghela nafas berat sekali.
"Terserah padamu. Apakah aku harus menyimpulkan isi novelmu dengan seorang anak kecil?" tanyaku lugas.

Vanessa Mengepalkan jemari tangannya. Seperti cemas, gugup, bingung, dan takut. Nafasnya memburu perlahan. Matanya mulai berair. Sementara Caca asyik bermain pasir dan boneka Barbienya. Aku menunggu.

Setelah hening sepuluh menit, "Tulisan itu hasil menyepiku. Di penjara, lima tahun yang lalu. Ya, aku membunuh pacarku. Papanya Caca. Alasan klise, dia tak mau bertanggung jawab." Nessa mencibir pahit. Getir dalam suaranya.

"Aku tak pernah bertemu keluarganya lagi setelah itu. Mereka tak mau tahu juga bagaimana keadaan Caca. Aku pun tak peduli. Biar saja Caca seperti sekarang, tenang bersamaku. Toh aku tak minta makan pada mereka," Nessa mendengus kesal.

"Sekarang?" tanyaku nyaris tanpa ekspresi.
"Aku sedang ikut kursus membuat kue. Selain tetap menjadi kontributor," jawabnya santai.
"Kenapa aku gak tau ya?" gumamku tak yakin.
Vanessa mendengarnya. "Kejadiannya di Perth."
Bibirku membulat. Baiklah.

"Ada satu cerita tentang seorang pria..." suaraku menggantung.
Vanessa tersenyum tipis. "Itu Rico."
"Ah, ya! Tentu saja. Bagaimana aku bisa tak mengetahuinya?" aku mendadak kikuk.

Vanessa dan Rico pernah berpacaran. Meski hanya setahun, tetapi menjadi pasangan paling heboh di kampusnya Rico. Ah, kisah mereka dulu bak di negeri dongeng. Aku sampai iri.

"Kudengar sekarang kamu dekat dengannya ya, Tan?" tanya Nessa mengejutkanku.
"Hm, biasa aja sih. Kenapa?" aku berusaha bersikap wajar.
"Ya gak papa juga. Dia masih seperti dulu. Hangat dan penuh perhatian. Sayang kalau pria sebaik dia dianggurin," Nessa tergelak.

Caca mendekati Vanessa dengan manja. "Mommy, i am hungry. Can we go to Burger King now?"
"Walah, makanannya Burger King? Jangan sering-sering, ah!" aku terkejut.
"Hahaha, gak kok. Sebulan sekali aja," Nessa mencium kening Caca dan mengajakku untuk bergabung makan dengan mereka. Aku mengangguk.

Sore yang hangat. Melihat Caca memakan burgernya sampai belepotan itu menyenangkan. Tawa Nessa yang lepas seolah tak pernah menyiratkan duka dan luka yang sangat dalam itu. Aku mencoba masuk ke dalam dunia masa lalunya. Kupejamkan mata sejenak.

Aku seperti hanyut dalam pusaran hitam yang berputar cepat dan menyedot segala kebusukan tanpa ampun. Mendadak nafasku sesak. Sekuat tenaga kubuka mataku dan menemukan taman surgawi di hadapanku. Caca menyuapi Nessa penuh kasih. Anak yang baik.

Tak terasa aku menangis. Kini, aku merasa lemah. Aku yang mendadak ketakutan. Aku tak mungkin sekuat Nessa bila aku ada di posisinya. Tetiba aku menggigil. "Tante kenapa?" tanya Caca menyadarkanku. Aku terhenyak.
"Hm? Apa, Sayang?"
"Ah, Tante! Jangan melamun dong! Itu burgernya masih utuh. Kalau gak mau, biar Caca kasih buat pengemis aja," gerutunya menohok dadaku.
"Caca!" tegur Nessa sambil melotot.
"Gak papa, Nes. Aku yang salah. Caca anak yang cerdas. Kamu beruntung memiliki permata sebaik dia. Jaga dan lindungi dia sebaik kamu menjaga dirimu sendiri."

Vanessa mengangguk mantap. Satu lagi lembaran hidup yang kubaca dan kunikmati prosesnya.

-----
Special: Vira, si Lajang Cantik ;)




~ (oleh @Andiana)

Jadi Saja

Setahun sudah aku dan Galang kembali dekat dan tanpa status apa pun, kami saling memberi perhatian tetapi saat ada yang bertanya Galang itu siapa ke aku atau sebaliknya, tak ada yang bisa menjawabnya.
Bukan Galang yang jahat dengan keadaan ini, Galang sudah berusaha beberapa kali untuk mengajak aku berkomitmen "apa lagi sih Sya? Masih belum berani berkomitmen?" itu yang selalu Galang tanyaan setiap pernyataan cintanya aku jawab dengan "aku belum bisa Galang".
Galang bertahan menunggu aku menjawab itu, tetapi ada kalahnya Galang jenuh dengan keadaan ini dan perlahan menjauh dari aku dan aku tidak pernah rela jika Galang begitu. Iya, aku yang egois, aku tidak mau berkomitmen tapi aku tidak pernah rela Galang pergi dari aku.
Sampai suatu hari, mungkin Galang sudah benar-benar jenuh dengan hubungan tanpa status kita ini. Sampai akhirnya dia mengatakan suatu hal yang cukup mengagetkan aku " Tasya, aku sayang kamu, aku cinta kamu, aku mau melanjutkan cinta cinta kita. Kamu itu jadi cewe aneh ya, dimana-mana cewe cari status yang jelas kalau dekat dengan cowo, kamu dikasih kejelasan status malah nolak terus"
Aku kaget dan terdiam mendengar Galang berbicara seperti itu dan kalimat selanjutnya " Tasya, bukan aku ngga sayang sama kamu ya Sya, tapi aku ngga bisa kayak gini terus sama kamu. Sekarang terserah kamu aja, kita resmikan kedekatan kita ini dalam status pacaran atau …." Galang berhenti sejenak, mencoba meredam emosinya, menarik nafas dan melanjutkan kalimatnya "atau aku dan kamu ngga usah ketemu lagi ya, kita jalan masing-masing aja."
***
Malam ini aku merenungi semua kata-kata Galang, benar semua yang dikatakan Galang tadi. Aku egois dengan Galang, dengan hubungan ini.
Aku ambil telpon dan menelpon Galang, "Galang, aku sudah siap berkomitmen"
To Be continue

Mungkin saja aku yang salah mengerti
Mungkin hanya aku yang banyak berharap
Namun sungguh tak ada cinta yang lain
Ternyata ingin kupilh
Jadi saja
(Jadi Saja –Kahitna)






~ ( oleh @nongdamay)

What a Teenage Wants


Kau setengah berlari menyusuri outlet-outlet brand terkenal hingga menemukan coffe shop itu. Kau segera masuk setelah menjawab sapaan ramah waitressnya. Kau mengedarkan pandangan berkeliling, kemudian melihatnya duduk di salah satu sudut ruangan dengan Frappucino Blended Beverage dan Roasted Tomato & Mozzarella Panini di mejanya. Seleranya masih se-American yang kau ingat. Dia sedang membaca majalah sambil melipat kakinya.

"Freya?" sapamu pada gadis yang lima tahun dibawahmu. Ia menyingkirkan majalahnya sekilas untuk melihatmu.

"Lara Eonni...." sapanya ramah. Ia berdiri dan memelukmu. Nah, sekarang gayanya jadi agak ke-Korea-Korea-an saat menyapamu dengan panggilan tersebut. Agak heran juga mengingat gadis ini besar dalam lingkungan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Korea. Bahkan Chinatown sekalipun. Tiba-tiba kau teringat Jodhy dan Bimo yang menamai acara mereka Ahjumma (red: bibi). Duo itu memang penggemar serial drama Korea dan lagu-lagu Korea yang selalu mereka putarkan saat sedang siaran. Apa di Los Angeles sekarang sedang demam Korea juga, sehingga sepupu high classmu satu ini jadi terbawa gayanya?

"Sudah lama?" tanyamu singkat. Kau duduk disebelahnya dan melirik CéCi yang tadi dia baca. Majalah ini berbahasa Mandarin dengan cover sepuluh pria berwajah imut berjejer (delapan orang duduk berimpitan sedangkan dua yang lain berdiri). Majalah China? Kau menggeleng, apalagi ini? Sepupumu yang satu ini usianya baru menginjak tujuh belas tahun dan ia orang terlabil yang paling enggan kau temui.

"Yah, about a quarter hour." Jawabnya manis. Ia memakai dress pendek, sekitar pertengahan paha, sepatu boot, dan bando berhias pita merah muda. Sangat imut, dan not so American. Sangat bukan Freya yang kau temui empat bulan lalu.

"How's you flight?" tanyamu setelah mengucapkan terima kasih pada waitress yang membawakan hot chocolate pesananmu.

"YA! Eonni," bentaknya padamu, "Cheongmal..."

"Apa?" balasmu dingin. "Kalau tidak bisa berbahasa Korea yang benar jangan setengah-setengah. Kau hanya akan merusak arti sebenarnya." Kau menyeruput hot chocolatemu sambil meliriknya. Ekspresi wajahnya berubah sendu.

"I'm not...," Ia menunduk, memilin ujung roknya. "I'm just trying to get your attention, eonni."

Nah! Sudah kauduga. Empat bulan lalu saat ia mengunjungimu, ia berdandan ala punk. Kuteks hitam, rambut di highlight, pakaian serba hitam dan jaket kulit, namun sikapnya sangat manja pada ibumu. Kau memang tidak dekat dengannya, namun entah kenapa justru ia sering sekali menghubungimu, baik lewat email messenger, SMS, bahkan kadang meneleponmu hanya untuk mengabarimu hal-hal yang menurutmu kurang penting.

"What for?" potongmu kaku. Kau memang bukan orang yang pandai berakting, mungkin bisa dengan bantuan script setiap kali kalian siaran radio, namun tidak untuk kehidupan nyata. Terutama dihadapan Freya, yang entah kenapa, kurang kau sukai kehadirannya.

"Nee, i admire you the most, eonni,"

Oke! Ini mulai tidak rasional bagimu. "You must be drinking a lot."

"I've been stop drinking since 3 months ago," jawabnya datar. Kau agak kaget mendengarnya. Sepupumu yang pecandu alkohol sejak usia 12 tahun hingga pernah masuk rehabilitasi, bisa berhenti minum alkohol juga? Kau penasaaran juga apa yang membuatnya begitu.

Tanpa banyak bicara lagi, kau menghabiskan hot chocolatemu lalu mengeluarkan kunci mobil dari dalam tas. "Ayo,"

"Kemana?" tanyanya heran. Ia mungkin tidak menyangka seseorang seperti kamu yang selalu dingin padanya mau mengajaknya pergi.

"Rumah. Kamu nggak capek setelah 12 jam di pesawat?" tanyamu ketus. Wajahnya berubah cerah, lalu memungut kopernya dibawah dan mengikutimu. "Sempat-sempatnya bawa koper ke mall,"

"Haha, mall ini kan ada hotelnya, kalau kak Lara nggak mau jemput aku bisa nginep di hotelnya aja,"

"Silly!"

"YA! Stop bullying me!"

"I'm not. Just saying the truth! Kamu bisa naik taksi dari bandara, kenapa nggak bisa naik taksi ke rumah?" tukasmu judes. Ia mengkerut mendengar omelanmu.

"Kamu kenapa sih, sekarang kok jadi jahat gini?" protesnya manja. Kau membuka automatic lock mobilmu kemudian menyuruhnya menaruh tas di bagasi. Kau duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin.

"Aku sibuk. Aku nggak ada waktu buat mendengarkan rengekanmu," kau bersungut-sungut mengingat 1,5 jam yang lalu kau hampir saja selesai siaran dengan Renata ketika Freya meneleponmu, merengek-rengek minta dijemput di salah satu mall. Beberapa hari sebelumnya dia memang memberitahumu kalau ingin pulang ke Indonesia, tapi sehari sebelum kepulangannya dia tidak memberi kabar sama sekali. Dan kau pun mungkin sudah melupakannya kalau saja dia tidak minta dijemput. Benar-benar menyusahkanmu saja!

"Kau masih bekerja di radio itu?" tanya Freya sambil membuka-buka laci dashboardmu. Kau membanting lacimu hingga menutup dan mengagetkannya. Kau tidak suka tangannya yang iseng membongkar-bongkar isi mobilmu.

"Ya, memangnya kenapa?"

"Aish," dia menghela nafas panjang lalu menyandarkan punggungnya di kursi. "Aku heran kenapa mereka masih mempekerjakanmu disana, padahal kau orang yang menyebalkan,"

"Tapi tadi kau bilang kalau kamu mengagumiku," ejekmu sinis. Freya gelagapan mendengarnya.

"Andwae..." jawabnya. "Aku tadi nggak ngomong gitu kok. Oh iya," teringat sesuatu, dia membuka tas jinjingnya dan membongkar-bongkar. "Majalah CéCi aku mana?"

"Mana aku tahu? Memangnya aku mengurusi barang-barangmu?"

"Laraaaa.... ayo kembali kesana, majalah aku ketinggalan..."

"Nggak bisa," kau menginjak pedal rem dengan frustasi. Dengan kondisi jalanan yang macet begini dia memintamu kembali ke mall tadi?

"Laraaaaa....." dia berteriak-teriak sambil merengek. Kau semakin frustasi dibuatnya. Kau akhirnya meminggirkan mobilmu dan membuka pintu.

"Ambil sendiri kalau kamu mau. Aku nggak bisa, aku sibuk."

"Lara..." suaranya memelan dan matanya berkaca-kaca.

"Apa pentingnya sih majalah itu? kau bahkan tidak bisa membacanya."

"Tapi ada SuJu-nya..."

"Beli aja lagi."

"Nggak bisa, itu edisi khusus. Aku harus pesan dulu  buat beli itu."

"Kalau kamu lebih sayang sama majalah itu, sana ambil." Kau mendorongnya keluar mobil. "Aku nggak mau menimbulkan kemacetan gara-gara berhenti terlalu lama."

Kau menutup pintu dan menjalankan mobilmu lagi. Freya tidak terlihat seperti akan mengejar mobilmu. Lagipula kau juga ingin memberinya pelajaran padanya. Belum apa-apa dia sudah menyusahkanmu, bagaimana satu minggu ke depan? Kau tidak habis pikir dengannya. Kau heran bagaimana tante dan om-mu membesarkan iblis kecil seperti dia?


_____
"Kok balik lagi? Sudah selesai jemput tuan putrinya?" tanya Ramon. Malam ini ia siaran berdua dengan Andra yang baru saja sembuh.

"Aku tinggal di pinggir jalan. Nyebelin sih,"

"Kalau nyasar gimana Va?" tanya Iben.

"Nggak mungkin, Ben. Dia nggak sebodoh itu. Dia memang tinggal di LA tapi dia pengalaman tinggal disini kok," katamu, lebih kepada diri sendiri. Freya yang kau kenal adalah remaja bandel yang suka kebebasan, tidak mungkin ia tersesat di kota yang tidak lebih ramai dari LA ini.

"Ya terserah sih Ra, cuma feeling gue kok anak itu  kayak lagi ada masalah." Kata Iben pelan. Kau tersentak mendengarnya. Iben belum pernah bertemu Freya secara kangsung, namun bisa semudah itu menebak kepribadiannya.

"Tahu darimana?" tanyamu penasaran. Sekedar ingin membuktikan kalau apa yang Iben katakan murni opini pribadi.

"Pasti ada alasan dibalik kebandelan setiap remaja. Kalau dia memang tidak ada masalah, dia pun tidak ada alasan untuk membuat masalah."

Kau terdiam mendengar statemen mengejutkan Iben. Kata-katanya terasa menusuk hatimu, bukan karena ia sedang membicarakan Freya, namun karena kau merasa kata-kata itu juga ditujukan untukmu. Dibesarkan orang tua tunggal sejak usia 15 tahun karena komplikasi diabetes mengakibatkan Tuhan meminta ayahmu untuk berada disisi-Nya. Ditambah ketidakharmonisan dengan ibu sehubungan penentuan masa depanmu. Keengganan berkuliah pada jurusan yang tidak kau sukai, yang berujung ketidakhadiranmu pada acara wisuda. Hal paling buruk apa lagi yang bisa kau lakukan untuk menunjukkan ketidakberdayaanmu pada hidup yang berusaha kau ingkari?

"Ra, kok diem?" tanya Ramon sambil mengguncangkan bahumu. Kau tersadar, kemudian menggelengkan kepala. Sudah jam tujuh malam, hari ini Jodhy sedang ada urusan, jadi ia memintamu untuk switch menggantikannya di Ahjumma bersama Bimo, sementara ia dan Sophie akan membawakan Love Potionmu.

"Eh, enggak kok," kau bersiap-siap menggantikan Ramon dan Iben bersama Bimo yang sedang mengubek-ubek koleksi lagu Korea di database radio kalian. Kau dan Bimo siaran gila-gilaan disini. Karena ini acara Bimo, jadi ia membalas dendam padamu karena kemarin tidak bisa membanyol dengan bebas di Love Potion. Untungnya hari ini kau sempat membuka twitter salah satu fanbase Korea dan membaca tweet-tweet lucu berhubungan dengan dunia K-Pop.

Pukul sembilan kurang sepuluh menit kau dan Bimo bersiap menutup acara, ketika handphonemu berbunyi. Sejak kejadian Andra itu kau memang tidak pernah mematikan handphone lagi selama siaran. Begitu melihat peneleponnya, kau mendadak tidak bersemangat mengangkatnya.

"Siapa Ra?"

"Bukan siapa-sia.." belum sempat kau menyelesaikan kalimatmu, Bimo langsung menyambar handphonemu dan mengangkatnya.

"Halo, ini dengan Bimo, tante, Lara nya masih di kamar mandi, ada yang bisa saya bantu sampaikan?" sapanya ramah pada ibumu. Kau mendengus kesal padanya. Bisa-bisanya ia mencampuri urusan pribadimu. "Anak bule yang rambutnya cokelat? Nggak ada tante, dari tadi Lara sendirian disini. Owh gitu.. iya nanti saya sampaikan ke Lara. Sama-sama tante."

Bimo menutup teleponnya dan mengembalikan handphonemu. "Adikmu Freya Stevans nggak pulang-pulang, dicariin ibumu tuh,"

Kau terkejut mendengarnya. Freya belum pulang? Kau melirik arlojimu, hampir empat jam sejak terakhir kali kau menurunkannya di pinggir jalan. Astaga, anak ini memang ingin cari masalah denganmu, pikirmu geram.

Segera setelah kalian selesai siaran, kau tancap gas kembali ke tempat kau meninggalkan Freya. Tidak ada siapa-siapa disana. Iseng kau melirik jok belakang lewat spion tengah. Kau begitu kaget dengan apa yang kau lihat dan menginjak pedal rem sekuat tenaga. Tas jinjing Freya ada disana! Bagaimana bisa dia pulang kalau tidak membawa uang? Bodoh, Lara! Makimu pada diri sendiri. Kau mengambil tas itu dan mengecek isinya. Ada handphone, dompet, visa, paspor, semuanya lengkap. Ditambah gaya berpakaian Freya tadi yang seperti artis Korea, mau tidak mau kau jadi mengkhawatirkannya juga.

Sepanjang perjalanan kau tidak lupa memantau siaran Love potion yang dibawakan Sophie dan Jodhy. Agak aneh mendengar Love potion yang harusnya sendu dan mellow kini hadir dengan backsound yang agak ceria. Jodhy dan Sophie sedang membacakan satu cerita kiriman pilihanmu, tepat sebelum kau pergi mencari Freya. Menurutmu, kisah itu sedang mewakili perasaanmu sekarang.

Kau kembali ke mall tempat tadi Freya menunggumu. Menurut waitressnya ia tidak kembali kesana, kau hanya membawa majalahnya yang tadi ketinggalan. Ia tidak kesana, tentu saja, ia kan tidak punya uang untuk naik taksi. Kau berkeliling-keliling sepanjang jalan mencarinya, hingga kau menemukannya sekitar 6 kilometer dari tempat kau menurunkannya tadi.

"Frey," panggilmu. Kau membuka jendela mobil dan memintanya masuk, namun anehnya ia tidak bergeming. "Sudah malam Frey, ayo pulang."

"Buat apa? Kamu tidak mengharapkan kedatanganmu, iya kan?" katanya dengan suara parau seperti habis menangis. Kau tertegun mendengarnya, kata-katanya telak sekali menusukmu.

"Frey, please. Kalaupun aku nggak suka sama kedatanganmu ke Indonesia, tapi ibuku nyariin kamu tuh," mohonmu sambil terus menyetir dengan jendela terbuka, hingga membuat AC mobilmu tidak berfungsi maksimal.

"Aku nggak butuh ibumu, Lara. Aku butuh kamu. Kalau cuma figur ibu aku nggak perlu jauh-jauh cari ke Indonesia." Potongnya tak kalah dingin.

"Lantas?"

"Aku kesini cari kamu. Karena aku nggak tahu lagi harus bicara sama siapa lagi," kata Freya dingin. Sayup-sayup kau bisa mendengar suara centil Sophie membacakan cerita.

Kalau mereka mengatakan tidak bisa saling mencintai lagi itu masih bisa aku terima.Cinta itu bisa datang dan pergi sesukanya kan, Sophie?

"Orang tuaku bercerai hari ini, Ra. Sebetulnya aku sudah tidak peduli lagi apakah mereka saling mencintai atau tidak, toh mereka tidak pernah menunjukkan sikap seperti peduli dengan keadaanku," Freya memandangmu nanar. Air matanya menetes satu persatu. "Yang aku sesalkan, kenapa mereka memberikan aku kehidupan kalau pada akhirnya mereka menyia-nyiakan keberadaanku?"

Aku hanya tidak bisa menerima mengapa mereka dulu terlalu cepat mengambil keputusan karena perasaan cinta yang sesaat.. Kami para remaja mungkin sudah menyusahkan para orang dewasa dengan kelabilan emosi kami. Kami tahu, tapi tidakkah kita bisa saling berbagi tentang kecemasan yang sama dengan tanpa penghakiman sepihak? Terima kasih Sophie dan Bimo sudah membacakan ceritaku. Tertanda, Intan.


~ (oleh @nadhiasunhee)

#16: Second Chance (pt. 2)

"Bagus, kan?"
Helen menunjukkan cincin tunangannya yang tersemat di jari manisnya. Kami sedang mengobrol via Skype setelah Helen mengabariku tentang kedatangan Jared ke Bandung tiga hari yang lalu untuk berjenalan dengan keluarganya.
Aku mendesah iri sambil bertopang dagu. "Jadi, kapan kalian nikah?"
"Emh, sekitar lima atau enam bulan lagi. Kita lagi nunggu keluarga Jared dari Richmond." Wajahnya berubah menjadi pucat. "Aku tegang banget, Dit. I mean, I'm 23 and I'm going to be Jared's wife..."
"Wish I were there to company you, darl," hiburku meski iri begitu menyadari hubungannya dengan Jared bisa bertahan sampai LIMA TAHUN. "Setelah menikah, kamu ikut Jared ke Amerika?"
Kepalanya terangguk. "Sayang juga sih ngelepas pekerjaan di restoran Nerv. Tapi, aku juga nggak bisa seegois itu minta Jared buat tinggal di sini. Aku selalu inget kata nyokap, Dit, istri harus mengikuti suaminya."
"Aaaah, Helen!!!" pekikku terharu. "Virtual hug!!!"
"Hug!!!" sahutnya dengan mata berkaca-kaca. "By the way, kamu di sana gimana? Ketemu Ares nggak? Dia kerja di New York Times, kan?"
HAAAAAAAAAHHH!!!
"Aku baru aja ketemu dia tadi siang, tapi..." bibirku mengulum sejenak.
"Len, apa cowok suka jadi 'dingin' kalau ketemu mantannya?
I mean, Ares emang cuek, tapi, tadi itu nggak biasa. Kayak ada batas di antara kita."
Dahinya mengerut. "Mungkin dia kaget aja kali, Dit! Terus, kalian ngobrol?"
"Dikit, dan dia malah ngasih nomor telepon karena tadi buru-buru mau lunch," keluhku sebal sambil memutar bola mata. "Jadi jurnalis di tempat dengan nama besar seperti itu pasti bikin dia sibuk."
"Atau..." Helen mengambil jeda sejenak. "Dita, kamu masih nyimpen perasaan sama Ares?"
Aku langsung memicingkan mata padanya. "Kamu bilang apa tadi?"
"Eh, nggak. Nggak jadi," sahutnya cepat. "Aku mau pergi dulu, ya? Jaga diri baik-baik. Cerita aja kalau ada masalah. Take care, bye!"
"Kamu juga, Len! Salam buat semuanya, bye!"
Aku langsung mematikan notebook dan duduk di samping jendela apartemen New York – a city that never sleeps. Sudah pukul 11 malam, tapi lampu-lampu dari gedung dan kendaraan di jalan protokol malah menyala semakin terang.
Aku menekuk kaki ke atas dan memeluknya erat untuk menghangatkan tubuh dari cuaca yang semakin dingin.

Bayangan Ares kembali muncul dalam pikiranku. Sebagai jurnalis, tentu saja dia berpenampilan lebih rapi dari yang kuingat dua tahun lalu. Namun, sorot matanya tidak pernah berubah – selalu membuatku meleleh. Hangat. Manis.
Menggetarkan.

Aku menarik nafas panjang. Dalam situasi seperti ini, aku tiba-tiba teringat Yudika. Kami tidak bicara lagi sejak insiden open mic di Strabucks. Sampai dua bulan yang lalu, dia mengirim sebuah postcard sebagai kejutan.
Ternyata, dia dan Tomomi menjadi relawan di Afrika selama saru tahun. Senang dan bangga, meski itu menjadi satu-satunya kabar yang kuterima darinya.

Namun, bukan itu yang mengingatkanku pada Yudika sekarang. Tapi, tentang posisinya sebelum insiden open mic.
Sekarang, aku tahu betul bagaimana perasaannya.
Aku menunggu sebuah kesempatan kedua.


*Instead of holding you, I was holding out
*I should've let you in, but I let you down
*You were the first to give, I was the first to ask
*Now I'm in second place to get a second chance
(Second Chance – Faber Drive)


***


Adrian mengajakku jalan-jalan pagi ini ke Central Park, Manhattan. Dia baru mengambil cuti sebagai hadiah dari atasannya berkat interview denganku dan kerja kerasnya di musim panas tahun lalu. Woo, jadi dia akan menemaniku sebagi guide di kota ini!
"Why don't you call him, Dita?" tanyanya tanpa basa-basi setelah menceritakan pertemuanku dengan Ares kemarin siang. "Siapa tahu dia emang lagi sibuk kemarin dan kaget lihat kamu tiba-tiba muncul di sana."
Kepalaku menggeleng. "Tapi—"
"Kamu mau dia dipecat?" todongnya langsung.
"Ng-NGGAK! Jangan...," sahutku semakin frustasi. Adrian kemudian mengacungkan jempol dan kelingkingnya, lalu menggerakannya ke arah telinga. Tanda aku harus segera menghubungi Ares.
Meski ragu dan gugup, aku meraih ponsel dan mencari nomor Ares yang baru kusimpan tadi malam. Jari-jariku hampir beku dan mati rasa ketika menekan tombol call. Sementara Adrian yang duduk di sampingku terus memberi tatapan penuh semangat.
Aku mendesah kesal. Voice mail. "Ares, ini Dita. Kalau kamu terima pesan ini, please call me back. Thanks in advance."
Bola mata Adrian berputar. "Sesibuk itu, ya?"
"HAH!" Sekarang, aku benar-benar kesal karena Ares tidak peduli. Maksudku, untuk apa dia memberiku kemeja itu? Kupikir, itu semacam 'kode' untuk bertemu atau membicarakan hubungan kami lebih lanjut. Tapi, nyatanya—Ponselku bergetar. Aku mengeluh karena Ares membalasnya hanya dengan sebuah pesan. PESAN! Dia memberiku alamat apartemennya dan mengundangku untuk datang akhir pekan ini.
"It seems like you're expecting more than a message," gumam Adrian.
"AKU KAN NYURUH DIA TELEPON, AD! TE-LE-PON!" hardikku keras dan menarik perhatian beberapa orang yang sedang jalan-jalan di sekitar kolam. Aku buru-buru menundukkan kepala dan Adrian pura-pura tidak mendengar. "Aku tahu dia jadi super sibuk dengan profesinya di sebuah tempat yang punya nama sebesar itu!"
Tiba-tiba, Adrian menepuk pundakku. Matanya memberi sorot curiga.
"You're expecting he gives you, no... YOU BOTH, a second chance!"
"Ad—"
Tangannya terlipat di dada. "Come on, Dita! kalian berpisah baik-baik, kalian sudah memenuhi janji untuk menjadi orang yang sukses. Setelah itu... apa? Bukannya kalian juga saling mendukung untuk terus maju?"
Sial, dia menangkapku basah. "I'm just curious to know his life now."
"Dita, look at me—"
"NO!" Aku menepis tangannya. Adrian pasti akan mengirimku sebuah sugesti untuk pertahanan diri. Dia sebenarnya jurnalis atau ahli hipnotos, sih?
Tapi..., tidak. Aku benar-benar ingin tahu Ares dan kehidupannya tanpaku seperti apa. "Maaf."
Kedua tangannya terangkat – tanda menyerah. "Fine, do what you want. But, as a note, aku nggak akan berhenti untuk mengingatkan kamu, Dita."
Dan yang terakhir, lebih terdengar seperti ancaman.


***




~ (oleh @erlinberlin13)