Tentang 30 Hari Cerita Cinta

Showing posts with label Salahku Sahabatku. Show all posts
Showing posts with label Salahku Sahabatku. Show all posts

22 September 2011

Salahku Sahabatku: #6

Expectation : Kamu menatapku dalam-dalam lalu mengatakan, "You look beautiful." Reality : Kamu menatapku sambil tersenyum mengejek lalu mengatakan, "Ciyee, sekarang dandan terus nih ya."

Kalau aku boleh besar kepala, sebenarnya keduanya intinya kamu mau bilang aku kelihatan cantik. Tapi pada kenyataannya kamu sudah tidak ada dalam kapasitas untuk mengatakan hal seperti itu kepadaku. Kita sedang berada di masa kegamangan waktu itu. Masa di mana kita saling mempertanyakan tentang perasaan kita masing-masing. Apakah kita sama-sama hijau, ataukah sama-sama merah? Pada akhirnya aku tahu, pada saat itu kita sama-sama kuning lalu kita berbalik menjadi merah tanpa sempat ada hijau.

***
Sore itu mungkin sebuah tanda bahwa pada akhirnya kamu akan pergi. Seperti biasa ketika kamu dan teman-teman kamu tampil di acara musik kampus aku tak pernah melewatkan penampilanmu. Kamu selalu meminta pendapatku tentang penampilanmu. Tapi entah sore itu karena kesibukanku atau karena kamu yang sudah mengabur, sore itu kamu sama sekali tidak mencariku. Sore itu kamu menatap mata yang lain ketika menyanyikan lagu yang bahkan lagu favoritku.

Hapuslah cinta antara kita berdua
Karena kau sudah ada yang punya
Biarlah diriku memendam rasa ini
Jauh di lubuk hatiku

Lalu aku memilih pergi dan seolah tak melihat kalian berdua.

***
Pernah suatu hari aku menanyakan padamu, "Kamu suka sama dia?"

"Nggaklah, aku nggak mungkin suka sama dia. She comforts me tapi ya nggaklah!" jawabmu waktu itu.

Dalam hati aku bersyukur mendengar jawabanmu. Tapi mungkin doa dia lebih banyak daripada doaku, maka Tuhan memberikan apa yang dia mau, yaitu kamu.




- (oleh @prdnk)

19 September 2011

Salahku Sahabatku: #5

"Kamu nggak akan pernah merasa kehilangan kalau kamu nggak pernah merasa memiliki."

Begitu ujar salah satu sahabatku. Waktu itu aku merasa tidak terima dengan statement temanku ini. Aku tidak pernah merasa memiliki kamu, sama sekali tidak pernah. Tapi detik ini, ketika waktu telah mulai menyembuhkan sakit yang kamu buat, aku rasa aku baru bisa mengakuinya. Ya, dulu aku sempat merasa memiliki kamu, atau mungkin kita merasa saling memiliki.

Ratusan hari aku telah habiskan hanya untuk menerka perasaanmu kepadaku. Puluhan Sabtu malam pernah kita habiskan bersama. Puluhan Sabtu malam itu juga aku mempertanyakan, "Apa yang sebenarnya ada di antara kita?". Dan puluhan Sabtu malam itu juga aku tak pernah mendapatkan satu clue untuk jawaban dari pertanyaanku itu.

***
Suatu hari di awal perkenalan kita.

"Kamu itu tipeku banget, asyik diajak ngobrol, bisa di bawa kemana aja, pasti nyambung sama teman-temanku," katamu waktu itu ketika kita sedang menyantap sate bersama.

Aku tetap asyik dengan sateku, nggak mau ambil pusing dengan joke seperti itu.

"Tapi sayang, kamu sudah punya pacar. Gimana kalau kamu putusin aja pacar kamu yang di mana itu," lanjutmu ketika mengetahui aku tak meresponmu.

"Enak aja. Susah-susah jaga hubungan dua tahun cuma buat diputusin gara-gara kamu? You wish!" kataku menanggapi candaanmu.

Iya, aku waktu itu menganggap kamu bercanda dan sepertinya memang begitu. Dan iya juga, waktu aku memang punya pacar. Hubungan jarak jauh. Dia di Australia dan aku di sini. Dan waktu itu, aku masih belum merasakan ada getaran apapun di antara kita.

Dan ketika perasaan itu ada, aku selalu mempertanyakan, "Kalau aku tidak punya pacar waktu itu apakah kamu akan menjadikanku perempuanmu?"

***
Lalu di suatu hari ketika kamu telah bersama perempuanmu dan aku masih sakit hati karena kamu.

"Kamu sih dari dulu nolak aku, makanya aku sekarang memilih sama perempuan yang mau menerima aku."

***

Apakah itu pertanda darimu? Apakah itu hanyalah hal tak berarti bagimu yang aku anggap sebagai pertanda? Entahlah. Tapi, bukankah takdir kini telah mengarahkan kita pada jalan masing-masing. Lalu yang aku lakukan kali ini tinggalah mengenangmu. Membuka catatan lama lalu mengatakan pada dunia. Bahwa kamu pernah ada.






- (oleh @prdnk)

16 September 2011

Salahku Sahabatku: Dilema

Memilih itu bukan pekerjaan mudah asal kamu tahu. Apalagi memilih satu dari beberapa pilihan yang sama sekali tak ada garansinya. Memilih untuk tetap tinggal atau pergi. Sekian lama aku tinggal tapi kamu sama sekali tak pernah peduli. Tapi selangkah saja aku mundur, kamu mencegahku. Atau setidaknya aku yang merasa kamu mencegahku.

***
"Kamu berubah," katamu disuatu hari ketika kamu pulang berkencan dengan perempuanmu lalu kamu datang ke kedai kopi langgananku.

"Berubah apanya?" tanyamu waktu itu.

"Semuanya. Kamu sekarang nggak lagi nyari aku waktu kamu ada apa-apa. Kalau kamu ada apa-apa, sekarang aku jadi orang terakhir yang tahu. Nggak cuma itu, penampilanmu juga," paparmu.

"Aku nggak berubah," aku tetap pada pendirianku. Aku memang merasa tak berubah, hanya aku merasa sudah bukan saatnya aku menganggu kamu dengan perempuanmu.

"Tuh kan, kamu berubah. Kamu jutek sama aku," jawabmu lagi.

"Aku nggak berubah. Aku tetep aku yang dulu kok," kataku dengan air muka yang sedikit lebih lunak, aku lelah dengan perdebatan seperti ini yang tak akan berakhir bahkan hingga kedai kopi itu tutup.

"Nah gitu dong," katamu sambil menangkupkan tanganmu dikedua pipiku.

Aku masih setengah tercengang. Jika ruangan itu tidak remang mungkin mukaku yang memerah sudah dapat kamu lihat. Aku tersipu. Kamu, masih semanis dahulu.

"Yaudah sekarang pesenin aku minum kaya biasa ya," perintahmu kemudian.

***
Aku kemudian bertanya, masih pantaskah aku menunggu kamu? Sedangkan sementara aku menunggu, aku juga harus menutupi rasa sakit yang kamu torehkan. Tetapi jika aku pergi, aku takut kamu mencariku dan ketika kamu mencariku aku sudah tak ada. Aku takut bila kamu tiba-tiba sadar bahwa aku ada di saat aku telah pergi. Aku takut menyesal.




- (oleh @prdnk - http://darkblueandgrey.blogspot.com / http://prdnkprdnk.blogspot.com)

15 September 2011

Salahku Sahabatku : Mengenangmu

Sore itu suasana kampus sudah sepi, aku duduk di salah satu bangku kantin sendirian. Menunggumu untuk mengantarku pulang. Tak lama kamu datang.


"Aku bete," katamu begitu datang.

Aku terdiam dan hanya menyodorkan teh botol yang sengaja aku beli untukmu. Kamu menerimanya lalu mengacak pelan rambutku sebelum akhirnya duduk di hadapanku.

"Kenapa?" tanyaku dengan muka polos.

"Nggak pa-pa."

Aku mengganti topik lalu kita berbicara hingga langit berubah jingga, hingga salah satu penjaga kantin menanyakan botol teh yang kita minum karena akan segera tutup. Dan kita hanya tertawa karena baru saja terlempar dari lorong waktu. Time-warp. Fenomena yang selalu menghampiri kita ketika kita bersama, tidak hanya hari itu.

Aku telah lupa banyak detail tentang kamu. Tapi aku masih ingat kata-katamu yang waktu itu bagai pupuk yang menyuburkan perasaanku kepadamu. Yang makin menancapkan akar-akar perasaanku semakin dalam hingga susah dicabut. Yang bahkan hingga hari ini, mungkin, masih mengakar di sini, di hatiku. Yang bahkan hingga hari ini jika akar itu mencuat tumbuh lagi harus segera aku tebas.

"Katakanlah di depan semua orang aku bisa pura-pura tertawa, pura-pura senang. Tapi di depanmu nggak. Di depanmu aku bisa benar-benar tertawa, cuma dengan ketemu kamu aku bisa ketawa."

Waktu itu aku hanya menanggapi, "Dipikir aku badut ancol gratisan apa?" sambil mencubitmu. Tapi seandainya kamu tahu, kata-katamu itu tidak pernah aku lupakan hingga hari ini. Bahkan aku masih mau menjadi seseorang yang bisa membuatmu kembali tertawa ketika kamu jatuh, ketika kamu sedih dan ketika kamu butuh.

Kita memang pernah berada pada satu titik dimana aku dan kamu merupakan sebuah kita. Kita yang entah pada waktu itu berada pada tataran yang mana, kekasih, tanpa status atau sahabat. Aku tak pernah berani mencari tahu. Karena aku terlalu takut. Takut jika semua tak sesuai harapanku. Jika kita hanya ada dalam imajiku saja, jika kamu tidak pernah menyebut aku dan kamu sebagai kita.




- (oleh @prdnk - http://darkblueandgrey.blogspot.com / http://prdnkprdnk.blogspot.com)

14 September 2011

Salahku, Sahabatku: Ceritamu

Perjumpaan kita terjadi tanpa sebuah rencana, begitu juga perpisahan kita. Bukan seperti perpisahan yang biasanya, perpisahan ini hanya aku yang merasakan. Dan merindukanmu, hanya bisa aku lakukan diam-diam.

“Missing you is just too much
Why don’t you just figure it out
You’re fading and I’m still waiting” – Berlin (The Trees and The Wild)

Malam itu, lewat pukul 9 malam kamu mengirimiku pesan, “Aku ke rumahmu sekarang.” Yang tak kunjung aku balas. Lalu sekita dua puluh menit kemudian kamu meneleponku dan mengatakan telah berada di depan rumahku. Aku bergegas menjemputmu di depan lalu menggiringmu ke teras, tempat favorit kita biasa menghabiskan malam sampai aku mengantuk, lalu kamu pulang. Aku menjemputmu dengan wajah ceriaku seperti biasa, dan sejujurnya aku senang dengan kedatanganmu malam itu, meskipun aku juga sadar bahwa kedatanganmu itu tidak akan memberikan kabar bahagia untukku. Bahagia memang untukmu, tapi bahagia yang tak bisa kamu bagi denganku.

Tepat seperti dugaanku, kabar yang kamu bawa langsung membuat hujan badai dalam hatiku. Yang tak bisa aku sampaikan saat itu juga, yang harus aku sembunyikan dari kedua mataku. Sisa malam itu aku hanya mendengarkan ceritamu, hingga kamu lelah bercerita. Dayaku untuk menanggapi ceritamu telah habis saat kalimat pertama kamu ucapkan, “Aku barusan jalan sama dia.”

Dia, perempuan yang telah menggantikan posisiku. Perempuan yang kemudian–kini–menjadi perempuanmu

Lalu apa yang bisa aku lakukan setelah hari itu? Aku berusaha menghindar darimu, dari dia. Tak sanggup rasanya jika aku harus mendengar berita kalian officially ‘jadian’. Aku mundur perlahan dari orbit kehidupan kalian, sampai Sabtu malam setelahnya. Seperti biasa Sabtu malam kita tetap ada, tapi Sabtu malam itu berisi segudang ceritamu dengan dia yang kamu ulang tanpa bosan. Bukan bahasan tentang berapa jumlah bintang yang muncul malam itu, bukan tebakan-tebakan garing, bukan ejekan-ejekan kreatif kita, bukan bahasan random seperti yang biasa kita munculkan; hanya kamu dan dia. Aku mulai mencium gelagatmu.
Kamu. Jatuh. Cinta.


- (oleh @prdnk - http://darkblueandgrey.blogspot.com / http://prdnkprdnk.blogspot.com)

13 September 2011

Salahku, Sahabatku: Tentang Kamu

"Jatuh cintalah kepada dia yang siap menangkapnya."
               Kalimat itu sering dengar, rasanya memang kalimat itu sangat tepat. Terutama ditujukan kepada mereka yang hatinya rapuh, seperti AKU.
                Pertemuan pertama kita waktu itu tak pernah aku bayangkan menjadi sebuah awal dari semua ini. Mencintaimu menjadi hal yang harus kupendam hingga saat ini, ketika nasib telah mengarahkan kita ke jalan masing-masing. Menyesakkan memang, tapi bukankah lebih baik seperti ini. Aku memang tak pernah mengejarmu, apalagi mengaku kepadamu. Aku penganut paham laki-laki yang harus memperjuangkan perempuan. Maka dulu, aku tak ingin mengejarmu, aku hanya menunggumu. Menunggu dengan kesetiaan, entah kesetiaan kepada apa, kepada siapa. Kepada kamu atau kepada perasaanku kepadamu. Bodoh.
                Aku mencintaimu diam-diam dan sakit karenamu diam-diam selama hampir dua tahun. Waktu yang cukup lama untuk menunggu, menunggu hingga kamu tersadar. Mungkin cukup singkat bagi sebagian orang. Tapi bagiku lama. Lama sekali. Dengan keadaan kamu yang selalu berada di dekatku dan.. kamu tak menyadari keberadaanku hingga saat ini.
                Kamu yang bersamaku hampir di setiap Sabtu malam di saat pasangan lain berkencan. Kamu yang membagi semua masalahmu kepadaku dan kamu yang selalu menjadi pundak untukku menyandarkan beban. Aku yang selalu menyediakan waktu untukmu sesibuk apapun diriku, dan aku yang mengabaikan hati lain yang berusaha mendekat.
                Maka di sinilah aku akan membuat pengakuanku, pengakuan bahwa kamulah orang yang pertama kali membuatku menunggu dalam sebuah ketidakpastian. Dan membuatku tersadar bahwa aku tidak seharusnya selalu memilih sendiri, aku butuh pendamping–yang seperti kamu.


- (oleh @prdnk - http://darkblueandgrey.blogspot.com / http://prdnkprdnk.blogspot.com)