Tentang 30 Hari Cerita Cinta

23 September 2011

Time Flies, I Hope Memories Do

Sehari dua puluh empat jam.

Dikurangi tidur enam jam saja cukup, sisanya delapan belas jam.

Efektifnya waktu berfikirku hanya 1/2 dikali delapan belas jam, yaitu sembilan jam. Sisanya? Sibuk ngusir kamu dari teras benakku. Hampir tiap kali, aku harus menghimpun konsentrasi untuk benar-benar berkonsentrasi. Tidak pake embel-embel mikirin situ, yang mungkin udah gak pernah lagi mikirin sini.

"We hire people for attitude, we train people for skill"

Aku gak pernah lupa kalimat itu. Manusia dibedakan dari reaksinya. Reaksi atau tindakan yang keluar pada saat dia menerima aksi. Bisa kegembiraan, bisa kesedihan. Bisa emosi positif, bisa emosi negatif. Bisa sesuatu yang membangun, bisa sesuatu yang menghancurkan. Yang paling menakjubkan adalah kedua kutub, bagaimana manusia menerima pujian dan juga tekanan.

Harusnya aku hancur, berkeping-keping. Ketika satu poros yang tak kelihatan dicabut begitu saja. Ketika gravitasi tidak lagi berlaku. Harusnya aku nihil. Tapi tidak….anehnya aku tidak.

Aku bertahan saat kau tiada. Aku bernafas dan membuktikan sendiri, "Dia tidak mau aku menemui tanda titik sebelum waktunya. Dia masih ingin menjadikanku sesuatu untuk kehidupan orang lain. Aku rupanya masih berarti. Walau mungkin tidak untukmu…tidak sama sekali."



                                                                                                *****


I've send you apologies, more than once. Maybe it's not enough. There's no feedback from you. Not even a word. And time flies…then I wonder…

Apa yang kita lalui bersama, apa yang pernah kau perbuat padaku dan untukku, apa yang pernah kita perdebatkan. Bagaimana kau jarang mengucap I lOVE YOU, tapi diam-diam jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat ketika mendengarnya. Bagaimana aku ingin tahu tentang dia, tapi hanya diam-diam menebak dalam keheningan. Bagaimana kau selalu membuatku cemburu dan tidak pernah menunjukkan kau cemburu di depanku.


Kau sungguh aneh,
kau berbeda.


Ada masa-masa dimana aku merindukan text message darimu di pagi hari. Telepon yang sesekali mengganggu fokusku. Atau sekedar email makanan dan minuman yang ada di depanmu. Bisa juga emailmu yang berisi "no email for me today?".

Ada saat-saat dimana aku melihat kamu sebagai tujuanku bangun pagi. Bahkan di saat akhir pekan. Atau karnamu aku pulang larut malam, melewatkan kesenangan dengan teman-temanku, melupakan sejenak anak-anak anjing yang rindu bermain denganku di rumah.

Ada malam-malam dimana aku memimpikanmu. Semakin sering akhir-akhir ini, tentang kencan-kencan kita, tentang perbincangan dan perdebatan yang tak pernah ada, tentang perasaanmu padaku. Yang semakin memudar bayangan-bayangannya dengan bertambahnya hari.

Ada waktu dimana aku mencintaimu, aku yang tidak pernah mau mengorbankan aku untuk orang lain.

Ada waktu, ya...pernah ada. Dan mungkin, ini saatku aku mulai membiasakan dan memberanikan diri tuk berkata,

 I once loved you……..


~ (oleh @mistybusy)

Tentang Moan

Beban fikiran Fany sedikit hilang, baginya hariini terlalu ribet untuk dilewati. Beberapa curhatnya ke Moan melalui kontak BBM sepertinya tak cukup untuk meluapkan kekesalannya. Entah kenapa Fany ingin menghajar seseorang untuk menghilangkan amarahnya yang menggebu.
                Beberapa saat yang lalu, Indra mengirimnya pesan. Ia berterima kasih atas hari ini, terimakasih telah jujur, dan…. tentunya bonus tonjokkan dari Sam untuk Indra adalah hal yang belum diketahui Fany sama sekali. Bahkan ancaman Sam kepada sahabat Fany sendiri, Moan. Tak ada yang Fany tahu soal itu, terlalu banyak hal yang disembunyikan Sam dan Moan dari Fany. Fany menyadari itu semua, hanya saja kurang nyaman baginya untuk menuduh kepada Moan.
                *-*-*

                Moan hanya menyendiri di kamar. Ancaman dari Sam tadi siang sepertinya membuat Moan tak kunjung berhenti galau. Apalagi kalau bukan karena Irfan, yang sebenarnya merupakan mantan dari Moan sendiri, hanya saja suatu kejadian membuat Moan terpaksa menghentikan hubungan mereka.
                Irfan merupakan seorang dancer, dalam aliran balet. Tentunya bagi laki-laki kegiatan tersebut merupakan sesuatu yang ngeh, untuk digeluti. Namun berbeda dengan Irfan, tubuhnya tinggi kurus, lentur, dan tentunya wajahnya tak menggambarkan sekali bahwa ia seorang penari balet.
                Tentu hal ini bertolak belakang dengan Sue gien min atau biasa dipanggil Moan . Senior karate, sabuk hitam di sekolahnya. Bebrapa bulan lagi akan masuk "dan 2". Moan merupakan gadis yang ramping, namun atletis, dan tentu saja keturunan tiong hoa . Beberapa cowok juga naksir dengannya. Siapa yang bisa menolak gadis sepertinya. Belum lagi ia keturunan Chineese, dan kulitnya putih bersih. Hanya saja Moan terbilang apa adanya, suka bercanda masalah cinta. Sehingga beberapa anak laki-laki sedikit berfikir untuk 'menjalin' hubungan dengannya. Kalaupun ada yang nekat ingin jadian, harus terima resiko pacaran beberapa jam dengannya.
"ahh, pacaran serius kayak gitu kayak udah pasti dibawa kawin aja"
                Kata-kata tersebut sering terdengar dari mulut moan ketika beberapa orang sedang curhat seputar cinta dengannya. Hal itu dianggap sepele oleh moan, namun siapa sangka seorang Balerina akhirnya mengalihkan dunianya?
                Moan tak pernah cerita asal mula rajutan cinta itu bermula. Moan hanya menyebutkan bahwa Irfan merupakan pria idamannya, Moan tak peduli bahkan jika dunia mereka berdua sangat bertolak belakang. Namun dengan beberapa Curhatan moan pada Fany, Fany tau bahwa Moan mencintai Irfan dengan tulus. Irfan bukan orang yang spesial, namun kesederhanaan dan kejujurannya sudah cukup untuk mengalihkan dunia seorang master karate seperti Moan.
                Kisah cinta mereka tak berjalan lama, hanya 2 bulan. Namun sisa-sisa cinta mereka masih meninggalkan barang-barang yang seakan menjadikan cinta mereka tak akan pupus walaupun sudah tak yakin akan cinta yang akan selalu bersatu. Namun barang itu sengaja di titipkan ke Fany,beberapa hasil Photobox dengan beberapa pose so sweet pasangan muda sekarang, boneka teddy bear pink, sweater jingga, bahkan tarian yang dibuat Irfan untuk moan pun yang disimpan berupa keping dvd kini berpindah tangan kepada Fany.
                Moan janji akan mengambilnya suatu hari nanti, ia hanya butuh waktu. Bagi Moan sudah terlalu lewat untuknya mengistimewakan cinta. Menomor 100kan cinta lebih baik daripada menjadi hidup sebagai pengemis cinta.
                Namun Fany tau, ada banyak rasa cinta yang disimpan moan untuk Irfan. Hal ini terbukti oleh beberapa curhatan Moan yang masih disimpan oleh Fany. Fany tak anggap hal itu sebagai kemunafikan cinta. Moan hanya berusaha konsisten tentang prinsipnya.
                Dan tentu, orang kalem seperti irfan, mungkin tak akan berdaya dengan geng Sam dkk. Hanya sekumpulan anak-anak nakal yang suka tawuran. Bagi Moan maupun Fany Sam merupakan anak ter-kalem dalam geng itu. Namun yang paling kalem saja sudah seperti ini, kalau panggil anak buah bisa bonyok yang diserang.
                Sehingga rasa cinta itu bahkan sampai merelakan keselamatan sahabat sebangku Moan sendiri. Mungkin enteng bagi Sam mengancam Moan untuk hal itu, namun rasa cinta moan sepertinya tak membiarkan hal itu akan terjadi.
*-*-*
                "bzzzzzt" sebuah pesan masuk ke handphone Moan. Mood Moan tak mengizinkan dirinya untuk mengangkat pesan tersebut. Di dalam pikirannya sekarang hanya Irfan.
                "bzzzt" untuk kedua kalinya ada pesan masuk ke handphone Moan masih dengan mood yang sama, handphone tersebut kemudian menjadi seperti tak bertuan. Tak beranjak dari tempat asal.
                "bzzzt" kaliini sepertinya Moan cukup penasaran dan akhirnya membuka handphonenya.

                Pesan panjang dari Fany, 3x PING!!!
"ASTAGA!!!!!!!!" Moan kemudian terkejut dengan pesan yang didapatnya dari Fany.

To Be Continued…

Special Thx For Ria Rizky J


(oleh @iimamf)

Izinkan Aku Sekali Saja Menatap Matanya

Dan sekarang, semua semakin tak terkendali oleh sel-sel yang berkembang secara abnormal itu. Aku benar-benar sulit menerima pelajaran di sekolah. Aku harus bolak-balik ke kamar mandi hanya untuk membersihkan darah yang berserak tanpa kuperintah. Mungkin, memang pendarahan di paru-paruku semakin hebat. Kadang itu membuat dadaku seakan dililit. Seakan oksigen menolak mentah-mentah untuk bertandang ke paru-paruku.
Aku tak lagi berani mengetahui, atau bahkan sekedar memeriksa sejauh mana kankerku berkembang dan meluas. Aku tak sanggup. Memandang berapa kali jarum panjang arlojiku bergerak melewati angka duabelas pun mataku kelu. Setegar apapun aku menguat, ada kala aku merasa sebagai gadis yang lemah. Yang tertatih, seperti ikan yang kesulitan meraih laut setelah terhempas ke tepian pantai yang gersang.
***
Aku masih saja terpaku memandang idolaku di layar televisi. Terpampang namanya akan mengisi di suatu acara di televisi swasta, dekat-dekat ini. Sudah lama aku mencintai mereka, namun; tak sedetik pun aku sempat menatap mata mereka. Mama selalu melarangku, dengan alasan takut aku tak kuat mengikuti sepanjang acara. Apalagi, band idolaku ini adalah band yang bisa dikatakan dengan setarik suara bisa mengguncang gairah penonton untuk melompat-lompat. Tapi percayalah, aku tak selemah yang beliau kira.
Terkadang, aku iri ketika hampir semuanya berteriak 'aku merindukanmu!', sedangkan aku hanya bisa menderu, 'boleh aku menatapmu?'
"Vin, itu acaranya di mana?" Aku terkejut. Ternyata mama sudah berada di belakangku.
"Di Jakarta, ma."
"Kok kamu diam aja?"
Aku menoleh padanya, "Maksud mama?"
Mama tersenyum penuh arti, "Jarak Depok ke Jakarta deket, kan?"
"Hmm... Iya, dekat." Aku masih saja tak paham kata-kata mama.
"Nggak pengen ketemu mereka, nih?" Mama mendelik.
"Memangnya aku boleh? Tapi kata mama...?"
"Mama ngerti kamu, kok. Dulu mama juga seorang yang memiliki idola. Ambil bagianmu, besok."
"Mama... Mama serius?" Aku sungguh tergagap.
Mama mengerlingkan mata kanannya.
"Makasih, mamaaa..." Aku mendekapnya erat-erat.
"Ssttt... Simpan air mata kamu ketika ketemu mereka nanti. Hihi..."
Aku tersipu malu.
Keesokan harinya, sungguh aku tak sabar menerjang pagi. Aku akan bertemu idolaku bersama fans-fans di daerahku.
Dan, bagaimana aku tergagap saat menyapanya, bagaimana wajahku saat itu? Entah. Aku meneriakkan namanya, lalu ia menoleh. Benar-benar menatap padaku. Itu saat-saat bagaimana jantungku memacu deras. Sederas air mataku ketika aku memeluk erat dirinya.
Ia menatap lurus ke bola mataku. Dapat kurasakan halus tangannya menyentuh lenganku. Suaranya tertuju padaku. Kau tahu rasanya diajak bicara oleh seorang yang kukagumi sejak 3 tahun silam? Sulit diterjemahkan ke dalam kata-kata. Bahkan mungkin, rasa ini belum ternama.
Dan aku akhirnya diizinkan memeluk dan memberikan hadiah kecil untuk seorang gadis kecil nan jelita. Ia bukan personel dari band idolaku, tapi aku mencintainya sejak aku menatapnya dalam foto. Mungkin kalimat 'tak kenal maka tak sayang' masih melekat di pikiran yang lain. Tapi entah, pertama kali melihat dan mengetahui dirinya di dunia maya, aku menyayanginya. Dan, sekarang aku benar-benar menatapnya. Jika boleh meminta, aku ingin dunia berputar dengan kejadian ini saja. Agar aku bisa lebih lama merasakan hadir di dekapnya.
Tuhan, terima kasih telah mengizinkanku menatap mata mereka, yang kucinta...
***
"Gimana tadi?"
"What an amazing day, mom! Makasih, mama..." Aku memeluknya erat-erat.
"Iya, sayang."
Aku lemas tiba-tiba. Mungkin lelah.
"Vina!!" Mama berteriak ketika aku mulai kehilangan keseimbangan, juga pancaran cahaya di mataku meredup perlahan. Semua gelap.
Aku tak tau berapa lama aku tak sadarkan diri. Ketika aku bangun, aku sudah terbaring bersama mama.
"Sayang?"
"Mama, maaf. Vina mungkin nggak seharusnya maksain diri, tadi."
Mama menggeleng, ada sunggingan senyum kecil di sudut pipinya, "kamu nggak salah, sayang. Bagi mama, kamu memang pantas menemui yang kamu cinta. Mama juga dulu punya idola, kok. Mama ngerti yang kamu rasa. Gini-gini mama gaul, lho. Hihihi..."
Aku tau, mama hanya mencairkan suasana meski sebenarnya ia khawatir.
"Sekarang kamu istirahat, ya."
Mama beranjak mengayun daun pintu, lalu hilang dari pandangan.
Mengapa aku berbeda dari kawan-kawanku? Tanpa bisa kupungkiri, jiwaku berteriak demikian.
Aku tidaklah lemah! Terkadang kata-kata itu berkelebat sekilas di benakku.
Aku tak bisa diam mematung seperti ini saja! Terlalu bersahabat dengan sakit-sakit yang datang. Aku ingin sakit ini tak dirasa, meski aku memilikinya.
Aku ingin bernyanyi lagi!


~ (oleh @LandinaAmsayna)

Aku Mampu

Delapan bulan sudah berlalu sejak malam itu, malam dimana aku memutuskan Galang. Kami tetap bertahan di kelas yang sama di tempat kursus, tidak ada yang mau pindah hari kursus lebih dahulu. Keadaan sudah mulai mencair, sudah mulai ada komunikasi tetapi tidak ada yang pernah mau membahas tentang kejadian putus itu.
Aku masih sayang Galang,itu jelas! Aku berharap mempertanyakan kembali keputusan aku, itu juga jelas. Tapi Galang tidak pernah melakukan itu semua. Aku pun tetap mempertahankan gengsi aku.
Aku terus menenggelamkan diri dalam kegiatan sekolah, belum ada yang bisa menggantikan Galang. Tetapi waktu juga yang membantuku untuk move on dan berani membuka hati untuk yang lain.
Febrian, ya…teman satu sekolahku. Aku tidak pernah tau kapan kita dekat. Yang aku tau pembawaan Febrian yang tenang bisa membuat aku nyaman, senang dan aku jatuh cinta padanya.
Sebulan sebelum aku berulang tahun, aku resmi berpacaran dengan Febrian. Ternyata menyenangkan punya pacar yang satu sekolah. Aku bisa berangkat dan pulang bersama, saat istirahat tiba kita bisa makan bersama. Banyak hal-hal baru dan menyenangkan aku dapatkan dan aku lewati bersama dengan Febrian.
Febrian juga sangat percaya kepadaku, dia tahu kalau di tempat kursus aku sekelas dengan Galang, mantan pacarku. Aku pernah bilang kepadanya "Feb, kalau kamu keberatan aku ketemu sama mantan aku, aku bisa kok pindah hari kursusunya" demi Febrian aku mau melakukan apa saja, dia yang memberikan semangat baru di hidupku.
Tetapi jawaban Febrian " Ngga usah kayak gitu Tasya, aku percaya kok sama kamu. Kalau kamu bisa jaga kepercayaan dan hubungan kita". Kepercayaan Febrian aku jaga baik-baik.

***

Hari ini ulang tahun aku, suasanan ulang tahun yang berbeda karena ada orang terkasih yang berbeda juga tahun ini. Febrian memberikan sebuah kado cantik untukku dan kartu ucapan yang manis.
Keesok harinya, jadwal aku kursus. Teman-teman sekelasku ingat kalau aku kemaren ulang tahun, ya…karena ada sesuatu di kelas tahun lalu. Semua memberiku selamat kecuali Galang, biarlah itu hak Galang.
Istirahat tiba dan kembali Galang memberikan kejutan untukku yang sama seperti tahun lalu. Sebuah cake telah dia siapkan, teman-teman sekelas pun terus menggoda aku. Aku tiup lilin-lilin itu, Galang mengulurkan tangannya dan mendaratkan ciuman di kening aku "Selamat Ulang Tahun Tasya".
Aku terdiam, aku kaget dengan kejutan ini, aku kaget karena Galang mendaratkan ciuman dikeningku.  Belum aku kembali sadar dengan keadaan ini, Galang sudah sibuk membagi-bagi kue ulang tahun untuk teman sekelas.
"Ini Tasya, buat kamu" sambil menyodorkan sepotong kue di piring kertas.
"Eh, ngga usah Galang. Buat temen-temen aja" aku mencoba menolaknya
Terbesit rona kecewa , segera aku bilang "ok, aku ambil. Aku bawa pulang aja ya"
Sebuah senyuman terukir di wajahnya, senyuman manis yang sedikitnya menyakiti aku kembali, tetapi aku kembali terdasar dan teringat Febrian dan kepercayaan yang dia titipkan kepadaku.
***
Pulang kursus hari ini, Febrian yang menjemput aku. Di lihatnya sebuah kue di tanganku "kue siapa itu sya?"
"Kamu mau?" tanpa menjawab pertanyaan Febrian , aku sodorkan kue kepada dia.
Kue itu diterima dan dimakan oleh Febrian, ditengah-tengah dia makan aku beranikan diri untuk mengatakan yang sebenarnya "Feb, itu kue dari Galang". Keadaan hening, Febrian berhenti memakan kue itu.
"Kok bisa sya?" tanya Febrian kemudian
"Tapi kamu jangan marah sama aku, aku juga ngga ngerti Feb. Tadi Galang tahu-tahu udah bawa cake terus ngerayain ulang tahun di kelas. Aku udah nolak kuenya kok" Aku coba memberikan penjelasan ke Febrian.
Febrian tidak menjawab lagi, dia diam sampai akhirny sampai di depan rumahku.
"Kamu marah ya Feb?" tanya aku kepadanya
"Ngga sya, cuman kaget aja. Kok dia masih begitu ke kamu ya. Aku ngga mungkin marah sama kamu, aku kan percaya sama kamu. Udah kamu turun aja, aku langsung pulang ya" jawab Febrian meyakinkan aku bahwa dia tidak marah. Sebuah kecupan mendarat di kening sebelum aku turun dari mobil. Iya di kening , di tempat yang sama dengan kecupan Galang.
***
Malam harinya aku mencoba merenunginya, aku tidak bisa membohongi diri kalau aku senang dengan apa yang telah Galang lakukan ke aku tadi. Kejutannya, kecupannya. Tapi… aku punya Febrian sekarang, orang yang sayang sama aku, seseorang yang telah membuatku bisa membuka hati dan seseorang yang berjanji akan terus menjaga hatiku.
Febrian sudah memberikan yang terbaik untuk aku, aku juga harus begitu ke Febri. Malam ini sudha aku putuskan, sebentar lagi term ini akan selesai. Aku akan pindah, tidak hanya pindah hari kursus tetapi pindah ke cabang lain dari tempat kursus ini.
Aku bisa, aku mampu untuk itu semua karena sudah ada Febrian disamping aku.
To Be Continue
Semenjak ada dirimu
Dunia terasa indahnya
Semenjak kau ada di sini
Ku mampu melupakannya
(Semenjak Ada Dirimu- Andity)


~ (oleh @nongdamay )

Dokter Cintaku

Namanya Faisal. Usianya baru 35 tahun. Belum menikah. Lulusan terbaik Kedokteran universitas ternama di Jakarta. Hobi utama: panjat tebing. Hobi sampingan: mak comblang. Iya, entah sudah berapa pasang yang berhasil menikah karena jasanya. Jadilah panggilan dia: Cupid. Halah!

Aku mengenalnya ketika menjadi tetanggaku di Bogor. Dia pindahan dari Semarang. Logat Jawanya medok sekali. Tetapi dia sangat baik dan ramah. Yang terpenting adalah, masakan ibunya enak sekali! Wow, untuk ukuranku yang doyan makan enak, hasil dari dapur Tante Ningrum itu level sepuluh alias top markotop. Hanya bisa disaingi oleh Mamaku. Hehehe...

Aku mengingatnya sebagai orang sok sibuk. Soalnya, dia tuh banyak banget kegiatannya. Waktu SMP, dia ikut Pramuka, klub musik, aktif taekwondo, dan anggota Karang Taruna di lingkungan tempat tinggal kami. 

Saat SMA, Faisal aktif di OSIS sebagai Wakil Ketua, Pramuka, anggota panjat tebing dan sering mendaki gunung, mulai punya grub band, dan menjabat sebagai Humas di Karang Taruna.

Pertanyaannya adalah: Pacarannya kapan ya mas bro? Dan Faisal selalu tertawa lepas bila mendengar pertanyaan itu. "Pacaran sih bisa kapan aja. Yang penting kan kualitas waktu ketemunya, bukan berapa lamanya waktu ketemu. Kusut ya? Biarin deh."
"Sok ngartis banget dah!" protesku ketika sedang mempersiapkan acara tujuhbelasan di lapangan voli, lima tahun silam.
"Biariiiiinnnn.... Nape? Bolehnye sirik deh luuuu," Faisal menjawil daguku. "Jadi pacar gue aja yuk, Tan?" matanya mengerling genit. Aku mencibir.

**

Sekarang aku sedang duduk di ruang tamu rumah orangtuanya. Bersama para ibu pengajian mengadakan doa selamatan bagi Mia, adik Faisal yang sedang hamil tujuh bulan. Aku datang mewakili keluargaku karena rumahku yang sekarang sudah pindah ke Bekasi. Ketika mendengar kabar dia 'dilangkahi' adiknya, kuledek dia habis-habisan, "Wakakaka, si Cupid ketinggalan kereta!"

Ketika aku melayangkan pandangan ke luar rumah, kulihat Faisal memberi kode padaku untuk keluar. Aku kebingungan. AKu berada di tengah ibu-ibu yang sedang kasak kusuk menjelang pengajian. Sulit rasanya untuk mencari celah. Faisal menunjuk jendela besar di belakangku dan aku melotot. Mulutku mengucapkan kata 'gak mungkin' dan dibalasnya 'coba dulu!' dengan mimik memaksa. Kugaruk kepalaku yang tak gatal.

Akhirnya, dengan memakai topeng 'tebal muka' dan nyengir cuek pada beberapa ibu di dekatku, kulompati jendela berdinding rendah dan mendarat sempurna di halaman samping. Nyaris menabrak pohon kaktus. Gak banget, kan?

Aku langsung mendekati Faisal dan protes, "Lima senti lagi muka gue kecium kaktus dan lu harus tanggung jawab!"
Faisal tergelak. "Ya deh, kita ngebakso sekarang yuk? Di pangkalannya Mang Engkis."
"Wow, dia masih jualan? Rasanya gak berubah kan?"
"Ayo," Faisal menggandeng tanganku menjauh dari rumahnya.

Sambil mengunyah bakso, Faisal mulai mengoceh tentang kebutuhan ruang prakteknya. "Gue mau pindah ah. Gak hoki kayaknya di tempat sekarang. Lu ada ide gak di mana gituh?"
"Ya lu maunya di mana? Lu kan spesialis kebidanan, rasanya di mana aja juga oke."
"Di hati lu aja deh," selorohnya cuek.
Aku nyaris tersedak. "Heh? Hati gue? Sempit!"
"Iya gue tau! Dah ada si Aldo kan? Lu gak bakalan awet sama dia. Kalo gak gue comblangin, temen-temen gue gak ada yang langgeng ampe nikah," ujarnya sok tahu.
"Blagu lu!"
"Emang."
"Sombong!"
"Biarin!"
Kuambil sebutir baksonya dan dengan cuek kumakan.
"Lu ambil bakso gue berarti mau ya sama gue?" tanyanya terlalu pede.
Kutinju pipinya. "Makasih!"
"Kita liat aja nanti, Tan. Lu bakalan kangen sama gue. Soalnya gue mau ke Paris dua tahun. Ngapain? Cari cewek buat jadi calon bini gue!"
"Lu bego ya? Jauh-jauh ke Paris cuman buat nyari calon bini? Bukan nyari bini?" aku sok meralat kalimatnya.
"Ih, suka-suka gue dong! Kok situ yang protes? Gak suka ya gue cari cewek? Cemburu ya?" Faisal tertawa.
"Idih!" aku kehabisan kata-kata melawannya.

Ping! Hm, Aldo. Aku melirik Faisal. Dia malah memanasiku dengan berkata, "Bilang aja lu lagi sama gue. Penasaran sama reaksinya." Anehnya aku menurut saja. Sepuluh menit tak ada jawaban. Faisal tersenyum penuh kemenangan.
"Laki-laki emang gitu, Tan. Taruhan sama gue, dia lagi selingkuh!"

Aku menelan ludah. Kemudian kubaca status Aldo di Facebook. "Tak peduli sedang bersama siapa pun kamu saat ini. Kutahu, kita tak akan pernah selamanya." Dan kulihat ia mengganti "In relationship" menjadi "It's Complicated". Aku menelan ludah. Faisal yang sedang menghabiskan sepiring siomay memperhatikanku dengan cueknya.

"Dugaanku gak meleset kan? Nih, makan!" Faisal menyodorkan sepotong tahu. Tanpa berpikir panjang, kumakan tahu itu dan memanggil tukang siomay.
"Bang, satu dong! Jangan pakai pare dan kol, ya!" Faisal mengacak rambutku dan meneruskan makannya.

Aku gamang. Kusamber status Facebook-nya atau diam saja. "Diemin aja, Tan. Orang kayak dia kalau ditanggapi malah makin jadi. Dia lupa betapa ruginya dia melepaskanmu," ujarnya dengan santai.

Aku menutup wajahku dan menahan sesak yang menyelimuti dada. 

--------

Special: Taufik, dokter cab.. dengan tingkat percaya diri tinggi :D




~ (oleh @Andiana)

Rekam Imaji #10

Hilang. Aku hilang kabar dari Langit dan Pelangi. Keduanya
tidak bisa dihubungi, bahkan lajur waktu benar-benar menjadi beku.  Dalam kepalaku masih terngiang wajah Langit
yang tengah murka padaku, sebelumnya ia tak pernah semarah itu kepadaku. Kini,
lebam dimataku menjadi bukti betapa aku sudah menyakiti dua orang yang
terpenting dalam hidupku.
"Jangan lagi memancing
rasa kalau kamu sendiri tidak punya nyali!"
Kali ini aku benar-benar habis. Kehilangan sahabat sekaligus
perempuan yang aku sadar betul seberapa rasa yang ku tanam untuknya, hingga
kini sudah tumbuh menajdi begitu rindang. Yang aku tahu memang tidak akan ada
pernikahan, entah siapa melepas siapa. Maaf saja tak akan pernah cukup untuk
keduanya.
Tanpa kulihat nama di layar, telepon genggam ku angat,
"hallo?"
"Bumi...".
Aku terdiam, mengenal, sangat mengenal suara di seberang
sana. Jantungku berdegup sedikit lebih kencang.

Desember 2010
Menemani perempuan belanja sama sekali bukan keahlianku.
Berkeliling membandingkan harga ini dan itu, mencari warna ini dan itu,
seharusnya sebelum berbelanja dipertimbangkan dulu mau pilih yang mana,
kebutuhannya. Sayangnya sepertinya banyak perempuan yang spontan dalam hal
berbelanja. Lihat ini mau ini tapi bandingkan dulu dengan toko sebelah, beda
harga seribu jadi masalah. Cih!
"Gwe ke toko buku aja deh! Lo muter-muter aja sendiri, cape
gwe!" Kataku ketus pada adik perempuanku yang sedang masanya menjadi centil.
"Iya, sana! Gwe masih pilih-pilih nih!" Jawabnya tak kalah
ketus tanpa menoleh ke arahku. Pandangannya lebih disibukkan memilah di atas
tumpukan T-shirt yang semuanya terlihat sama di mataku. Berwarna cerah seperti
Barbie, di sebelahnya berderet pakaian mini. Tidak habis pikir kalau sampai
melihat si bungsu ini memakainya...
Setidaknya berada di dalam toko buku membuatku lebih santai,
lebih tenang. Berbagai buku keluaran terbaru berderet. Mulai dari penulis
senior sampai pendatang baru dengan novel remaja kesukaan adikku.
Saat itu mataku tertarik pada etalase yang memajang sebuah
buku dengan cover bernuansa senja, dengan pemandangan padang ilalang yang
dibuat sedikit buram. Rekam Imaji, begitulah judul yang tertera di covernya.
Hmm...rasanya familiar betul dengan kata-kata itu. Mataku kemudian mencari-cari
nama si penulis. Pelangi Sekar Sahari. Sesaat aku terdiam. Lama tak ku dengar
nama itu, jarang mungkin. Padahal Februari dulu hingga beberapa bulan lalu
namanya selalu berkeliaran di kepala, terutama ketika kubuka lajur waktu,
tempatnya asyik meracau.

"Sebuku aksara rindu
untuk pria imaji di dalam lajur waktu tanpa temu...
Sesapan resah yang menumpuk dalam
coretan waktu yang semakin kelabu.
Rindu, yang berakar pada namamu...
Tanpa perlu mengusikmu, ku susun tiap
rekah rasa di antara lajur waktu yang menggelisah...
Seakan temu selalu sebatas pada
rindu,
Pada rayu yang sesekali menggelayut,
namun mengusik, memaksa untuk sedikitnya ikut larut...
Untukmu, sebuku rindu ku ciptakan
rekam imaji tentangmu...
Yang hadirnya bagai kotak pandora,
dengan sengaja ku nikmati kutukan yang menusuk entah sampai kapan.
Batasan-batasan yang ku diamkan, tak
perlu sengaja ku beri kamu kata, cukup remah yang sekali waktu mungkin bisa kau
temukan...
Sesekali intiplah rekam ini, tak
perlu kasihani...cukup tadahkan sebelah tanganmu,
Setidaknya nanti ku tahu, sedikitnya
kamu tahu,
Sebuku ini adalah jejak imaji
tentangmu..."

Membaca sinopsis di bagian belakang buku malah membuatku tak
tahan menyunggingkan senyum. Akhirnya kamu membukukan deretan aksaramu yang
sering kali ku temukan tumpah meruah dalam wajur waktu. Membuatku enggan memalingkan
mata dan terkadang sedikit bermain dengannya, entah apa kamu menyadari
itu...menyadari kadang aku mengusikmu...
Selanjutnya aku menemukan diriku tenggelam dalam kubangan
aksara seorang Pelangi. Membacanya seperti menggerakkan jarum jam yang telah
lama terhenti, hingga tanpa sadar memori Februari terulang lagi.
Pelangi...melantunkan rindu melalui aksara tanpa nama apakah
tidak terlalu ambigu? Sudah berapa pria yang mengenalmu tertipu dengann racauan
rindumu yang menyayat layaknya pisau tajam yang baru saja kau asah.
Kamu tahu? Bibit tanaman yang ku tanam dulu serasa disirami
dengan setangkup senja dan seliter embun...
Suara telepon genggamku berbunyi menyadarkanku dari memori
lalu. Di atasnya nama seorang sahabat berkedip-kedip. "Hey!" Sapaku dengan
sumringah.
"I'm in love!" Itulah kata pertama dari sahabatku di
seberang sana. Aku terkekeh, sepertinya pembicaraan ini akan lama. Mengingat ia
hampir tak pernah bercerita mengenai perempuan sejak bertahun lamanya.
Langit nama sahabatku sejak SMA. Kami memiliki banyak
persamaan, rasanya sampai selera perempuan sekalipun. Ia tengah bercerita
mengenai seorang perempuan di tempat kerjanya. Perempuan keras kepala yang
sering kali berbeda pendapat dengannya. Berbeda dengan perempuan lainnya yang
sering kali menurutinya dan bersikap centil seperti makhluk penggoda.
Ya...berbeda denganku, Langit lebih kaku kalau soal perempuan.

"Lo ribut sama dia hampr tiap hari tapi lo bilang ke gwe lo
jatuh cinta? Hahaha...". Aku terbahak mendengar cerita Langit. Membayangkan perempuan
keras kepala macam apa yang sudah berani mengusik ketenangannya. "Perempuan
macam apa yang bisa mengusik kekerenan seorang Langit?! Hahaha...". Tawaku
lagi.
"Shit Mi! I can't stop thinking of her!"
"Oke..oke...then?"
"Ya, gwe Cuma mau bilang kita lagi menjalani hubungan yang
serius."
"Shit!" Giliranku memaki. "Jadi lo telpon gwe Cuma buat
pamer? Shit lo man!" Makiku tapi dengan nada canda. Karna jujur saja aku turut
senang.
"Yeah...gwe udah ngelamar dia."
"Woh! 5 bulan dan lo udah berani ngelamar dia?!" Tanyaku
sungguh tak percaya.
"Yap. Orang tuanya udah fine ko...Orang tua gwe juga."
"Selamat man! Gila! Emang gwe dari dulu udah yakin kalo lo
duluan yang bakal di jajah perempuan! Wahahahaha...". Langit-pun ikut tertawa.
"Gwe mau minta tolong."
"Apa aja buat lo."
"Be my wedding photographer."
"Ngit...lo kan tahu gwe paling ogah disuruh moto nikahan
gitu."
"Gwe ngerti..tapi gwe kan sahabat lo, gwe tahu kemampuan lo.
Gwe Cuma bisa percaya sama lo. Lagian lo backpakeran mulu, travelling ke
mana-mana..ni bisa jadi ajang reuni lah...".
Beberapa menit aku diam, memikirkan tawaran Langit.
Hah....desahku, "oke...di mana kita ketemu?"
"Jogja. Gwe ada kerjaan di sana awal Januari, sekalian gwe
kanalin lo sama calon istri gwe. Tapi inget...".
"What?"
"Jangan jatuh cinta lagi sama pilihan gwe."
"Hahahaha...sial! Gwe bukan lagi remaja labil Ngit!"
"Good then..". Langit terkekeh, "kita ketemu di sana."
"Good then..". Langit terkekeh, "kita ketemu di sana."


~ (oleh @NadiaAgustina)

Secret Admirer

"Minggu lalu bunga chryssant. Tepat dua bulan berturut-turut selalu ada kiriman bunga di depan rumahku. Ya ampun, Bimo, lebih baik dia nunjukin mukanya langsung deh, daripada dia ngirim bunga nggak jelas gitu," Bimo menirukan ekspresi centil Sophie saat membaca surat kiriman itu. Malam ini kau ditemani Bimo siaran Love Potion, dan kalian sedang membacakan satu surat secara bergantian seperti saat kau dengan Sophie. "Nah, kalau mukanya serem kayak Hulk trus ada codetnya apa kamu masih mau nerima dia, Put?"

Kau ngakak mendengar komentar Bimo. "Aku nggak suka kalau caranya kayak gini. Kesannya kayak dia nggak gentle gitu. Lebih baik dia ngomong aja terus terang, tujuannya apa ngirim-ngirim bunga kerumah kayak gitu."

"Tujuannya jelas dong, Put, dia pengen ngedeketin kamu tapi malu, soalnya mukanya ada panu-nya," potong Bimo. Kau menjitak kepalanya dengan scriptmu. Rusaklah sudah image mellow yang sengaja kau bangun malam ini karena Bimo.

"Bimo... ini bukan Ahjumma!" potongmu pura-pura kesal, padahal kau setengah mati menahan tawa. "Ngelucu sekali lagi kamu saya keluarkan dari team Love Potion!"

"Ampuuun ibu suri..." Bimo menerima kertas scriptmu yang sudah kau tandai dan mulai membaca kelanjutannya, sementara kau melepas headphonemu dan tertawa ngakak dibawah meja. "Nah, seminggu ini aku sengaja bangun lebih pagi dan berdiri di depan pintu rumah. Penasaran banget deh pokoknya. Tapi ternyata dia nggak datang. Begitupun besoknya, sampai tiga hari berturut-turut."

" Aku jadi heran, apa selama tiga hari ini dia sengaja nggak kirim bunga. Apa dia tahu kalau aku sengaja menunggu dia di depan rumah?" kau merebut kertas dari Bimo dan membaca bagianmu. "Padahal selama ini aku tidak melihat orang-orang mencurigakan yang lewat di depan rumah. Paling hanya loper koran, penjual sayur, dan dia nggak datang. Sama sekali."

"Mungkin dia bingung mau kasih bunga apa lagi. Bunga Citra Lestari? Mahal banget.. bayarnya perjam pula.." Kau menyodok rusuk Bimo sambil mengangsurkan script. Dia tak henti-hentinya membanyol disaat seperti ini.

"Kemudian, hari ke empat, aku tidak mendapat kiriman bunga. Melainkan hanya sepucuk surat. Dia bilang aku tidak perlu menunggunya karena dia bukan orang yang layak untuk ditunggu."

Kau merebut scriptmu kembali. "Berarti selama ini dia tahu dong kalau aku sengaja nungguin dia? Aku jadi makin nggak tenang nih, Va. Walaupun mungkin niatnya nggak begitu, tapi aku ngerasa diteror."

"Teror ayam apa teror asin?"

"Bim, serious please..." Rajukmu dengan wajah memelas. Tidak satupun dari kata-katamu yang tidak dipotongnya dengan banyolan. Kau menolak mengoperkan scriptmu dan melanjutkan membaca. "Tapi Va, bukan aku namanya kalau bisa semudah itu menyerah. Aku berusaha cari tahu pada siapapun. Siapapun yang kiranya ada di tempat kejadian dan menemukan orang yang mencurigai. Aku tanya tetangga sebelah rumah yang hobby jogging setiap pagi, aku tanya anak kecil loper koran, aku cari tahu dari semua orang. Hari itu memang aku tidak mendapatkan hasil apa-apa."

"Tepat hari ketiga pencarian, aku akhirnya mendapat titik terang, dan aku memutuskan untuk menulisnya ke youngsters." Bimo tampak tertarik membaca dan ia lupa sesaat akan banyolannya. "Makanya, aku butuh bantuan kalian, Lova dan Bimo. Aku tahu dia orang yang selama ini aku kenal baik. Aku tahu dia suka mendengarkan siaran Lova. Aku tahu saaat ini dia mungkin sedang mendengarkan siaran kalian. Makanya, aku harap orang itu bersedia mmenelepon line-nya Youngsters atau kalian berdua yang akan menelepon dia."

Kau membaca scriptmu. Ada postscript nomor telepon dan nama terang si secret admirer klien kalian Putri. Wah, belum pernah dalam edisi Love Potion kalian bersandiwara (sebetulnya ini nyata) menjadi detektif yang membongkar permasalahan cinta. Well, kadang kau merasa, seiring dengan absennya Andra dan bala bantuan dari penyiar-penyiar lain, Love potion menjadi lebih bervariatif.

"Wah, Putri. Kamu yakin sekali?" tanyamu. "Kalau bukan dia bagaimana?" Namun Bimo membungkam mulutmu, menahanmu menganalisis lebih jauh.

"Oke, Putri. Detektif cinta Bimo dan Lova akan membantumu memecahkan misteri penggemar rahasia ini. Untuk yang merasa jadi secret admirernya Putri, kami beri waktu sampai lagu yang kami puter habis. Kay?" Bimo memainkan tiga lagu dari playlist kalian ditambah commercial break dan jingle radio. Kau membanting headphonemu kesal.

"Kenapa?" bentakmu pada Bimo. Ia yang sedang menyeruput secangkir cappucino-nya sampai berjengit kaget.

"Kaget, aku. Kalau tumpah gimana?"

"Bodo amat," sergahmu cuek. "Nah, sekarang aku tanya, kamu kenapa mau coba? Kalau orangnya bukan dia gimana? Kan namanya menuduh?"

"Urusan si Putri deh, Ra. Kita kan Cuma ngejalanin tugas." Balas Bimo santai. Kau tidak suka mendengarnya. Bagaimana kalau ternyata orang yang dimaksud tidak menelepon mereka dan kalian terpaksa harus meneleponnya? Dan bagaimana kalau salah orang? Apa hal tersebut tidak mempengaruhi citra radio kalian? Mendadak kau stres memikirkan itu semua.

"Tapi, Bim.." belum selesai kau bicara, telepon di studio berdering. Kau dan Bimo saling pandang kemudian kalian memutuskan Bimo yang mengangkatnya.

"Youngsters?" sapa Bimo.

"The adorable youngers," jawab sebuah suara. Suara perempuan. Padahal kau dan Bimo masih memutarkan single kedua setelah commercial break. Kau dan Bimo saling pandang.

"Hai, dengan siapa ini?" sapamu ramah.

"Ini Sinta." Jawab gadis itu. Kau dan Bimo hendak menanyakan hal yang sama ketika gadis itu berbicara lagi. "Aku tahu siapa yang dimaksud Putri. Aku cuma mau kasih penjelasan ke Lova dan Bimo."

"Eh, oke, Sinta. Tapi kita lagi off air nih, bisa nunggu sampai kita on air?" kata Bimo. Gadis itu tidak menjawab. Kau dan Bimo saling pandang kebingungan. Penggemar rahasianya Putri nggak mungkin cewek kan?

Kau memotong single kalian dengan jingle radio lalu menyalakan mic mu. "107,7 Youngsters FM radio, the adorable youngers masih dengan Lova dan Bimo di Love Potion. Waktu Lova dan Bimo untuk menemani youngers semua tinggal sekitar tiga puluh menit lagi nih. Bersama Lova dan Bimo sekarang sudah ada seorang penelepon.."

"Ya, ada Sinta disini," kata Bimo memperkenalkan gadis penelepon kalian. "Silahkan cerita, Sinta."

Gadis itu terdiam. Kau merasa seperti mengulang hari kedua Love Potion. Tidak, kau menggeleng, meyakinkan dirimu sendiri. Ini bukan déjà vu, katamu berulang-ulang dalam hati. Hingga kemudian kau dan Bimo mendengarnya menghela nafas panjang, seperti, entahlah, siap memulai ceritanya.

"Penggemar rahasia Putri itu Satria. Dia satu kampus sama aku. Kenapa aku yang cerita, karena aku merasa aku juga terlibat secara tidak langsung. Satria dan aku senior Putri. Dia sering cerita padaku bahwa dia ingin sekali mengungkapkan perasaannya pada Putri namun tidak punya perasaan. Lalu aku menyarankannya untuk mengirimi Putri bunga, aku juga yang membuatkannya daftar bunga setiap harinya untuk dia kirimkan. Aku tahu kedengarannya aku teman yang baik, tapi bukan. Aku ingin Putri merasa terganggu dan berbalik membencinya. Aku ingin menjatuhkan namanya didepan Putri, aku tidak ingin Putri tahu tentang perasaannya, karena aku mencintai Satria."

Kau dan Bimo saling pandang. Yah, hal-hal yang tidak terduga memang bisa saja terjadi dalam kehidupan manusia. Tapi ini di Love Potion, hampir semua kenangan cinta yang dialami pada pendengar cenderung 'tidak biasa'.

"Yah, siapa bisa mengukur dalamnya samudera," kata Bimo bijak. "Lanjutkan, Sin."

"Suatu malam, Satria sedang membeli bunga seperti biasa untuk dia kirimkan pada Putri besok paginya. Namun aku meneleponnya, memintanya datang kerumahku mendadak. Padahal saat itu tidak ada sesuatu yang penting, aku hanya sedang menggodanya. Namun dia menanggapinya dengan serius. Dia memacu motornya dengan kecepatan tinggi, dan dia..." Sinta terisak. Kau dan Bimo menelan ludah hampir bersamaan. Perasaanmu tidak enak, entah kenapa kau seperti bisa menduga itu bukan sesuatu yang baik.
"Satria kecelakaan, dia gegar otak dan koma sampai hari ini. Bunga tulipnya juga dibawakan oleh penolongnya ke rumah sakit. Baru dua hari kemudian aku menyadari kalau di sela-sela bunganya ada surat. Biasanya dia tidak pernah menyelipkan surat di setiap bunga yang dia kirimkan. Aku merasa kalau Satria punya firasat bahwa itu adalah bunga terakhir yang dia kirimkan. Kemudian besoknya aku mengantarkan suratnya. Mungkin dia curiga kenapa selama seminggu ini dia tidak dapat kiriman bunga. Aku tahu, lama kelamaan dia akan mengetahui aksi kami. Sekarang terserah Putri."

Kau menunduk memandang scriptmu yang sudah lecek karena dioper-oper. Kau membaca nama dan nomor telepon yang tertera di surat Putri. Bukan nama dan nomor telepon Satria. Bagaimana Putri juga mengetahui kalau orang ini yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya?


~ (oleh @nadhiasunhee)

Maaf, Sari

"Kok diem? Jawab dong…"
Wildan sepertinya ga tau berapa banyak keberanian dan harga diri yang sedang kupertaruhkan disini. Karena pertanyaan-pertanyaan mudah tidak pernah menjadi benar-benar mudah ketika dipertanyakan pada cowok yang menciptakan perlombaan kura-kura dan kancil di dalam kepala seorang cewek hanya dengan kehadirannya. Di kepalaku.
Mungkin kalau pertanyaan "Mau nonton Captain America dengan aku ga?" ditujukan pada Wening, aku tidak merasa mempertaruhkan apa-apa kecuali isi dompetku. Tapi Wildan… dia terlihat kaget dan salah tingkah saat pertanyaan itu keluar dari mulutku. Lalu kemudian diam dan menunduk, bersikap tidak seperti biasanya. Membuatku merasa bersalah dan bodoh karena telah menanyakan hal itu.
Dan mungkin saat aku pulang nanti, aku akan mengunci seluruh pintu dan jendela rumah agar Aans, si pencetus ide "Ajak-Dia-Nonton-Aja-Haps", tidak bisa masuk ke rumah. Dendamku membara pada Aans yang tidak menyapu di hari minggu itu.
"Sari…"
Wildan akhirnya mengakhiri siksaannya padaku. Dia mulai mengangkat wajahnya dan menatapku dengan tatapan serius, "Maaf, aku ga bisa… Maaf, Sari…"
Aku tertawa. Hanya itu yang bisa aku pikirkan untuk memperbaiki situasi aneh dan harga diriku yang terluka karena penolakan Wildan, yang jujur tidak aku sangka ini, "Halah, wajah kamu segitu seriusnya, Wil… Ga apa-apa kooookkkkk… Ga usah minta maaf… Kata Wening itu film rame, tapi dia udah nonton sama pacarnya jadi ya… Aku ajak kamu…"
Wildan tersenyum kaku, "Aku ada kelas… Duluan ya…"
Aku mengangguk. Tersenyum.
Wildan menepuk pundakku, mengingatkan aku akan kejadian di kamar mandi beberapa bulan yang lalu, "Maaf, Sari..." lalu dia berjalan menjauh dariku. 
Di dalam kepalaku, perlombaan dihentikan karena cuaca mendung. Awan-awan hitam tidak memperbolehkan kura-kura dan kancil berlomba karena hujan badai akan datang. Dan kemungkinan bisa terjadi banjir, yang mengalir sampai ke mataku yang sudah mulai berkaca-kaca.


***




~ (oleh @melillynda)

#11 Sekeping Luka

"Bu.. Mas Nalen dimana ya?" tanyaku pada ibu mertuaku yang asyik dengan mesin jahitnya.
Yogyakarta pukul 15.16 wib


Aku baru saja terbangun dari tidur siangku. Hari yang sangat melelahkan, tadi pagi-pagi sekali aku sudah menemani ibu ke pasar lalu asyik di dapur sampai siang padahal semalam aku tidur dini hari. Alhasil sehabis dzuhur aku menyusul Nalen tidur lalu baru saja terbangun mendapati sisi separuh ranjangku kosong.

"Mas mu keluar ga tau kemana cuma ko sepertinya tadi habis terima telfon terus buru-buru pergi ya?! Atau paling janjian sama temen-temennya", jelas ibu panjang lebar.

"Oh iya mungkin ya bu.. Ah Mas Nalen kalau pulang ke Yogya kan memang hobby nya ngilang sendiri bu.. Keasyikan sama temen-temennya hehe..", kataku agak sedikit mengeluh karena memang seringkali di tinggal pergi suaminya.

"haha yo biar mumpung dia sempet pulang ke Yogya. Kamu mandi-mandi sana biar seger.", bela ibu.

"iya ini juga mau mandi Bu..",

Tak lama setelah mandi aku pamit pada ibu, "Keluar jalan-jalan sebentar bu cari angin hehe..", kira-kira tadi begitu pamitku.

Aku naik becak jalan-jalan menuju seputaran Yogya lalu berhenti di daerah Timoho. Kakiku lanjut berjalan menuju satu rumah bangunan kuno di ujung jalan. Rumah Ayahku. Rumah yang menyimpan sekeping luka. Aku berhenti di depan pagar, agak lama aku memandangi bangunan yang sama sekali tak berubah. Masa kecilku habis di sini, kisah tentang keluarga kecil yang bahagiapun habis berhenti di sini.

Ku edarkan pandanganku masuk ke halaman rumah, ku dapati rumput-rumput liar tumbuh menutupi jejak yang pernah tertapak di sana. Tiba-tiba pintu rumah terbuka, sosok yang tak asing bagiku. Ya, itu mbok Sayem yang merawatku dari kecil. Papi mempercayakan rumah ini pada mbok Sayem ketika akhirnya kita hijrah ke Jakarta. Mbok Sayem sebenarnya masih termasuk kerabat jauh dengan keluargaku, beliau seorang abdi dalem keraton Solo mengingat Papi memang asli keturunan ningrat.

"Mbak Nayaaa??", teriak mbok Sayem kaget sekaligus membuatku juga jadi kaget. Mbok langsung buru-buru membukakan pintu pagar untukku. Kami berpelukan cukup lama untuk melepas rindu. Tak ada yang begitu banyak berubah dari mbok Sayem, badannya masih tetap gemuk dan senyumnya masih saja hangat.

Sampai hampir magrib kami berbincang kesana kemari untuk saling bertukar kabar. Secangkir teh panas dan gethuk buatan mbok Sayem menemani perbincangan kami di ruang makan sore itu. Mbok Sayem membujukku untuk bermalam di rumah kami. Aku hanya tersenyum tanpa menjawab karena jujur saja akj bahkan ingin menangis saat langkah demi langkah memasuki setiap ruangan yang bagiku terasa dingin.

Mbok Sayem mengajakku menunaikan ibadah sholat magrib. Usai sholat mbok Sayem bergegas menyiapkan kamar untukku dan makan malam alakadarnya sementara aku beranjak dari satu ruang ke ruang lainnya. Mengenang. Ya, yang ku kerjakan adalah mengenang. Sesuatu yang sangat sulit untuk ku lupakan.

Melupakan hari dimana terakhir ibuku tak berhenti menangis sambil menciumiku. Mengajakku ikut dengannya tapi kakiku tak mau bergegas mengikuti langkahnya.
Ku pandangi foto-foto kecilku dalam bingkai-bingkai yang terlihat tua. Ada gambar mereka di dalamnya, memelukku.

Aku masih ingat teriakan-teriakan pertengkaran mereka. Hanya saja ketika itu aku masih terlalu kecil untuk memahami keadaan mereka. Mami, yang seharusnya bertanggung jawab atas semua ini menurutku ketika itu. Mami pergi dengan laki-laki lain, itu saja yang ku tahu. Dan yang ku ingat sejak itu rumah terasa sepi, seperti kehilangab mataharinya rumahku berubah menjadi dingin. Papi seringkali ku dapati termenung melamun. Dia terpukul. Satu-satunya alasan untuk dia tetap bertahan hanyalah aku, itu yang seringkalj ia sampaikan.

Tanpa sadar air mataku menetes lalu berubah mengalir. Ku rebahkan tubuhku di kasur milik kedua orangtuaku. Di sini aku sering tertawa bersama mereka. Aku terus menangis. Aku merindukan mereka. Rindu seada-adanya. Sayang yang mamk tahu rasa benciku terhadapnya lebih besar dari rinduku, seandainya dia tahu bahwa dia salah.

"Hey sayang..", suara lembut yang tak asing bagiku. Kedua tangannya merengkuh wajahku, perlahan mengusap air mataku yang masih saja berunjuk rasa.

"hey sShh..", suami Nalen mencoba menenangkanku. Menuntunku pelan ke dalam pelukkannya. Nalen duduk di tepi kasur sedang aku masih saja berisik dengan suara tangisku yang mulai lirih.

"Tahu ga aku bingung nyariin kamu lho.. Sampai malem begini belum pulang. Aku di marahin ibu nay gara-gara sering main sendiri klo di yogya hehe..", oceh Nalen mencoba mencairkan suasana.

Aku baru sadar bahwa ini sudah larut. Entah berapa lama waktu yang ku habiskan untuk meratapi masa lalu. Nalen mengusap-usap punggungku agar aku berhenti menangis. Aku meneguk segelas air putih yang disodorkan Nalen. Aku masih diam sambil menatap Nalen yang tersenyum. Tangisku sudah berhenti tapi aku masih ingin kembali memeluknya. Memeluk suamiku di rumah ini seperti mengembalikan kehangatan rumahku yang telah lama hilang.

"Jangan sedih lagi yaa..", ucap Nalen mengecup kepalaku sambil memainkan ujung-ujung rambutku. "Kita mau di sini atau pulang sayang? Aku gpp lho kalau harus nemenin kamu nginep di sini. Lagian ini udah hampir jam sembilan malem.", tanya Nalen mengajakku berbincang.

"Aku mau pulang tapi nanti.", jawabku masih meletakkan kepalaku di dadanya.

"Okay.. Tapi kita makan dulu yuk.. Mbok Sayem udah nyiapin lho Nay masa ga di makan.", bujuk Nalen.

"gendong..", bisikku manja.

"hahaha dasar.. Ga mau ah berat.."

"yaudah aku ga mau makan.", ancamku cemberut.

"curaang mainnya anceman..", gerutu Nalen lalu menyiapkan punggungnya.

"hehehe..", aku terkekeh menang.

Malam itu kami kembali pulang tengah malam. Ada perasaan sedih yang berkecambuk di hatiku. Beruntung aku punya Nalen yang selalu bisa menghiburku.
"Besok jalan-jalan yuk..", bisik Nalen sebelum aku benar-benar terlelap.

"Asiik kita mau kemana?", tanyaku antusias.

"Tamasya kemana aja..", jawab Nalen membetulkan letak selimutku.

"Nay? Sayang? yee udah tidur dia hihi cepet banget molornya.. night sayang..", bisik Nalen mengakhiri malam.

-Naya-



~ (Oleh @ukakuiki)

#5 Mendung

             "Tak selamanya mendung itu kelabu, nyatanya hari ini kulihat begitu ceria.." - Kidung

31 Agustus 2011
Raining Man (01:48)
Not a little sis, I guess. But that's why I hope you always being my only one sun. because you're the girl who gave me sweet and lovely memories, you always have a place in my heart..

Tiara Mentari (01:48)
You gave me memories too.. For all the things that we ever had together, i thank to you, Rain..
SEND.

Entahlah, di luar ini benar ataupun salah. Aku hanya membiarkan apa yang ada dihatiku ini mengalir seadanya. Aku tidak ingin lagi menyimpan semuanya sendirian, dia berhak tahu, oh tidak, dia wajib tahu tentang apa yang selama ini kurasakan semenjak keputusannya untuk melepaskan aku.

BIPP! BIPP!

Raining Man (01:49)  
Nope. I'm the one who should thank to you, Sun. You always gave me that huge smile and laugh.
Just like your display picture on bbm right now.. :)

Tiara Mentari (01:50)  
Well, no need to say thanks, Rain. It is such a pleasure to see the person i (was) love feel happy.
It makes me feel happy too.
SEND.

10 Februari 2009
Sore itu suasana kampus begitu lengang. Kampusku yang terletak di wilayah pusat kota ini biasanya ramai, dipadati mahasiswa dan mahasiswi dengan sejumlah kegiatan mereka. Hanya ada beberapa orang lalu lalang, dan teman-teman satu unitku. Hari Selasa adalah hari wajib latihan basket. Bisa dibilang unit kegiatan basket rutin latihan seminggu 2 kali, apalagi jika menjelang pertandingan seperti LIBAMA.
Lapangan basket yang letaknya tak jauh dari kampusku ini ramai seperti biasanya. Selain dipakai oleh mahasiswa yang terdaftar di kampusku, sarana olahraga kami memang disewakan untuk publik/umum. Seringkali jika kami latihan, usainya akan ada pertandingan dadakan dengan tim lain yang kebetulan sedang main basket juga pada hari itu
Ternyata yang sudah banyak datang adalah tim putra. Entah kemana rekan-rekan satu timku, begini nih kalau sudah kebiasaan ngaret. Ya, tim putri memang terkenal ngaret, kecuali aku loh ya! Di pinggir lapangan duduk sosok seseorang yang aku kenal, kuhampiri sosok itu..
"SAM!! Ngapain kamu disini?" ujarku.
Yang disapa menoleh kaget. "Wih, aku kira siapa! Cempreng amat suaranya!Hahaha" ledeknya.
 Ya begitulah, Sam. Sepertinya kalau belum meledekku sehari saja bisa sakit dia.
Semenjak nonton bareng basket dan pertemuan dengan Ojan itu, kami memang tidak pernah lagi berkomunikasi secara intens dan belum pernah bertemu lagi. Ya, sesekali SMSan itu pun frekuensinya jarang. Malah, semenjak hari itu, aku lebih intens dan sering bertemu dengan Ojan. Hampir seminggu sekali aku dan Ojan bertemu. Ojan kerja di Jakarta dan seminggu sekali pasti pulang ke Bandung dan sekalian menemui aku. Sam malah hilang kabarnya, entah kemana. Untung saja, aku tidak berharap banyak dari kali terakhir pertemuanku dengan Sam. Sudah kuduga begini jadinya.
"Sial, mulai deh ngajakkin perang! Aku tuh datang dengan damai, eh kamu malah gak santai" ujarku nyolot. Sam kemudian menggigit lenganku, gerakannya begitu cepat sehingga aku tidak sempat menghindar. Gigitannya cukup keras.
"Aaaaaaawww!!" teriakku. Gigitan Sam membuatku kesakitan dan agak limbung. Melihat posisi tubuhku yang mulai tidak seimbang, Sam menopang dan mendekap badanku.
"Ka.. kamu gapapa?" tanya Sam. Sepertinya ia panik melihatku mendadak 'lemas' seperti ini.
"Apanya yang nggak apa-apa? Digigit macan yah mana bisa nggak apa-apa!" jawabku dengan suara lirih. Tangan kananku sibuk memijat lengan kiri yang digigit Sam.
"Kampret! Masih aja ledekkin lagi kayak gini juga!"
"Yee, lagian kamu maen gigit aja! Saraf motorikku nggak siap tahu! Lemes deh nih jadinya" rengekku.
"Iya sorry, Non! Abis kamu nyolot sih, kan udah aku bilang kalau kamu nyolot tuh gemesin banget mukanya, jadi aja tadi reflek gigit!" Sam menjelaskan sambil menatapku dengan wajahnya yang innocent. Tuhan, gimana aku bisa marah kalau yang gigit aku tampannya nggak santai kayak begini, makhluk dihadapanku ini. Linu yang kurasa perlahan memudar.
"Geblek! Refleknya gigit! Ogah aku deket-deket kamu lagi, bisa-bisa nanti aku habis dimangsa.. Aku kan gemesin orangnya! Hahaha" 
Sam mendekap erat tubuhku hingga sesak. Baru ketika ku memohon ampun, ia melepaskan dekapan tangannya dariku.
"Udah lama nggak ada kabar berita, sekalinya ketemu aku malah disiksa!" rutukku.
Sam tertawa. "Haha, kamu sih, datang-datang nyolot! Kamu tuh yang nggak ada kabar beritanya!"
"Apaan sih, aku nggak ada kabar berita apa-apa kok, masih di Bandung aja, nggak kemana-mana. Belum ada kegiatan baru pula, rutinitas yang sama, apa yang harus diceritakan?" jawabku.
"Jiee, jadi ceritanya, sering jalan sama sobatku udah jadi rutinitas yang sama nih ya sekarang.."
DEG! Aku pikir, Sam tidak tahu apa-apa mengenai kedekatanku dengan Ojan. Lagipula aku menganggap kedekatan kami adalah hal biasa, jadi tidak perlu diceritakan ke siapa-siapa. Apa jangan-jangan ada yang tidak beres? Atau ada hal buruk yang tidak aku ketahui? Duh, aku nih ya, jadi orang suudzonan aja.. Aku sibuk merutuki diriku sendiri.
"Ojan cerita apa aja?" tanyaku.
"Oo jadi bener nih jalan sama Ojan? Jiee.. Padahal aku cuma ngomong asal doang loh! Hahhaha" Sam tertawa puas sekali. Sementara, tampangku udah kayak udang rebus, merah karena malu. Ini orang lama-lama minta disambit pake botol bir kayaknya, begitu yang terlintas di otakku.
"Ck, udah ah, ga temen lagi deh kita.." rutukku
"Deuhh, gitu aja marah, Non! Hahahaha. Lucu banget sih mukanya. Gigit lagi nih!"
Aku balas memandang judes kearah Sam. Kali ini dia beneran nyebelin dan ketampanannya sama sekali nggak menolong.
"Duh, ampun deh Non.. Iya maap.. Udah ya jangan liatin aku kayak gitu dong! Jutek bener.."
"Bodo.." ujarku ketus dan singkat.
"Hahahhaaha. Iya ampun Nona Cantik.. Ojan cuma bilang dia sering ketemu kamu, itu aja kok.."
"Beneran cuma itu aja?"
"Ya nggak itu aja sih, sisanya rahasia pria lah.. hehhehe"
"Cih, sok asik, sok-sok rahasiaan segala.."
"Hhehehe, sisanya biar Ojan yang bilang sendiri sama kamu ya, Non.. Nggak etis kalau aku yang bilang.." ujar Sam sambil tersenyum penuh arti. Arti yang tidak bisa kutebak.
"Terus kamu ada kabar berita apa?" tanyaku pada Sam.
"Apa ya.. Aku baru dari Samarinda. Bulan depan terbang lagi ke Makassar. Ya begini aja nasib kuli tambang, dari pulau ke pulau hidupnya. Masih untung deh ke kota yang ada sinyalnya. Seminggu sebelum pulang aku sempat ke kota terpencil banget dan nggak ada sinyal sama sekali. Nggak betah!"
"Terus kamu lagi libur disini? Atau ada kerjaan juga? Tumben hari kerja ada di Bandung"
"Kan mau maen basket sama kamu, Non. Udah lama nggak man to woman, yuk! Yang kalah traktir sepuasnya yaa!"
Sam menarikku ke tengah lapangan. Ia sama sekali tidak benar-benar menjawab pertanyaanku dan mengalihkan perhatianku dengan mengajakkku main basket bersama. Seolah sangat mengenalnya, aku rasa Sam tidak ingin menjawab pertanyaannku. Entah mengapa.
           
05 Maret 2009, Bandung.
Aku suka suasana perpustakaan di kampus. Tenang dan nyaman. Tempat yang paling cocok untuk menghabiskan waktu sendirian. Aku suka berada ditengah-tengah tumpukan buku, membacanya satu persatu hingga seringnya lupa waktu. Biasanya petugas perpustakaan akan menegurku jika sudah waktunya perpustakaan tutup. Selain itu, disini juga ada wi-fi, membuatku betah mengerjakan tugas disini daripada di rumah.
            Sudah seminggu lebih aku tidak login situs facebook. Kesibukan mengerjakan tugas jadi alasan utamanya, selain itu tentu saja jadwal jalan-jalanku dengan Ojan. Seperti hari ini, sepulang dari perpustakaan aku akan bertemu dengannya. Kebetulan saja ia sedang melakukan perjalanan dinas ke Bandung. Sembari menunggu kabar darinya, kuputuskan untuk browsing dan cek e-mail, menggunakan fasilitas wi-fi di perpustakaan ini.
News Feed
Samudera Wijaya is in a relationship.
           
            Berita pertama yang tertera di news feed page,  halaman depan dari akun facebook kepunyaanku. WHAT?! Sam in a relationship?! Selama ini dia tidak bercerita apa-apa. Oke, aku memang bukan sahabat karibnya, tapi selama ini dia selalu cerita kepadaku mengenai kehidupannya, dari mulai dia putus, jadian, putus lagi, ttm-an bahkan sempat dia sedikit bercerita tentang alasannya pindah agama. Kini aku tahu dia jadian lagi dari… facebook?! Damn, am I not that important as a friend to you, Sam? Aku sama sekali tidak cemburu, aku hanya kesal karena mengetahui kabar bahagianya dari sebuah situs pertemanan. Kuputuskan untuk meneleponnya saja, aku anti menyimpan kekesalan lama-lama apalagi sampai ngomongin orang di belakangnya.
            "Halo, Non. Tumben nelepon, ada apa nih? Kangen aku ya?" sapa suara baritone di ujung sana.
            "Cih, ngapain kangen sama pacar orang! Ogah!" rutukku.
            "He? Aku nggak ngerti sama omongan kamu.." ujar Sam. Entahlah dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang aku bicarakan atau hanya mau mengelak dari topic pembicaraan. Aku rasa Sam tidak senaif dan sebodoh itu untuk tidak bisa mencerna kata-kataku.
            "Udah deh, ngaku aja. Aku barusan liat di facebook, kamu baru jadian! Aku nelepon Cuma mau bilang : selamat ya, Sam, akhirnya ada juga cewek yang mau sama kamu, hehe."
            "Oh itu, makasih ya, Non.." dari nada suaranya ia sama sekali tidak terdengar excited. Aneh, biasanya kan orang baru jadian tuh masih excited dengan hubungan barunya dan tidak henti untuk menceritakan pasangannya itu. Lagipula, ini bukan Sam yang biasanya aku kenal.
            "Aku kesel sama kamu tauk! Masa aku tahu kabar gembira ini dari facebook?! Come on, Sam.. am I not that important to you as a friend at least? Why did you trust facebook much more than me? Gitu deh saking senengnya lupa sama temen, eh itupun kalo aku dianggap temen sih sama kamu!" cerocosku tanpa basa-basi.
            "Hehehe, udah marah-marahnya? Curang ya, marah-marah lewat telepon, kalau kamu ada di hadapan aku sekarang, udah kugigit lagi tau nggak! Bodo amat, pingsan, pingsan aja deh aku biarin!"
            "Idih kamu jadi orang jahat aja. Nggak boleh gitu tau, dosa!! Hehe. Btw, siapakah gadis yang kurang beruntung itu? Anak mana? Cerita dong!!"
            "Sial.. ada deh, yang jelas gadis itu beruntung banget, datang di waktu yang tepat. Eh udah dulu ya, dipanggil bosku nih"
KLIK. Tanpa basa-basi telepon ditutup. Aku merasa ada yang ganjal pada diri Sam, biasanya dia tidak pernah berkeberatan untuk terbuka tentang dirinya sendiri terhadapku, tapi aku merasa Sam sedang membangun benteng. Sudahlah, teman yang baik tetap harus berbahagia mendengar teman baiknya sedang berbahagia sekalipun ia melupakanmu, bukan begitu kan?
05 Maret 2009, Jakarta.
           
            Sam menutup teleponnya. Perasaannya campur aduk. Terlebih lagi rasa menyesal semakin berkecamuk sehabis mendengar suara Tiara. Ia merasa keputusan yang bodoh untuk merelakan begitu saja Tiara tanpa memperjuangkannya terlebih dahulu, dengan alasan atas nama persahabatannya dengan Ojan. Ia tahu betul bagaimana sahabatnya itu menyukai Tiara. Ia juga tahu betul bagaimana hatinya menjadi 'hidup' kembali setelah mengenal Tiara lebih dekat. Belum pernah ia merasa semenyesal dan sebodoh ini.
            Lagu Everything milik Michael Buble kembali mengalun dari handphonenya. Tanda ada telepon masuk. Tertulis dilayar handphonenya:
            Starla calling…
            Dengan enggan ia angkat telepon itu..
            "Halo.."
            "Halo sayang, lagi apa?" ujar suara lembut seorang perempuan.
Sam semakin penat. Handphonenya ia matikan. Sudah ia siapkan berbagai alasan untuk Starla nantinya. Sam butuh untuk menyendiri.  Berdamai dengan hatinya sendiri.


~ (oleh @naminadini)