Tentang 30 Hari Cerita Cinta

Showing posts with label Little Magdalena. Show all posts
Showing posts with label Little Magdalena. Show all posts

27 September 2011

#5: I Love You Both


Temanku yang hobinya membuat kalimat-kalimat bijak pernah mengatakan, jangan jatuh cinta dalam keadaan hati yang masih terluka. Jauh lebih baik jika kau memberi waktu dan kesempatan pada hati untuk benar-benar pulih, kemudian kembali bersih seperti sediakala tanpa dibayang-bayangi masa lalu yang menyakitkan itu. Setelah hatimu dirasa siap, yakinlah bahwa kamu akan menemukan penghuni hati yang baru, pemilik masa depan yang lebih baik lagi. Kalimat penting itu harusnya bisa kurenungi dan kumengerti lebih dahulu. Sayang saat itu aku belum bisa.

Aku pernah mengalami ini, hanya selang sebulan setelah putus aku langsung jatuh cinta pada dua perempuan dalam waktu yang bersamaan. Tak perlu kuceritakan siapa namanya karena itu tidak penting. Yang perlu kalian tahu adalah keduanya cantik, baik, seksi, pintar, istimewa, pokoknya memenuhi standar ideal orang-orang kebanyakan untuk dijadikan sosok seorang pacar.

Aku pernah mengatakan ini. Jatuh cinta yang tiba di waktu yang tepat akan membuatmu didatangi inspirasi yang bertubi-tubi. Kalau kamu anak band, jatuh cinta akan membuatmu menghasilkan lagu-lagu yang manis dan indah. Kalau kamu penulis, jatuh cinta akan memberimu kekuatan lebih untuk menuliskan kisah-kisah romantis yang seakan tanpa cela. Aku sendiri memang suka menulis, tapi tak pernah menyebut diriku penulis. Yang kulakukan hanya menulis cerita-cerita pendek di blog. Target pembacaku? Entah. Rasanya tak terlalu banyak orang menyukai tulisanku yang apa adanya dan jarang sekali mengikuti kaidah penulisan yang benar itu. Cerita-cerita yang kutulis bukan yang bergenre sastra romantis dan bisa membuat perempuan meleleh. Rangkaian kata yang meluncur dari otakku kemudian menggerakkan jari-jari di atas keyboard itu seringkali mengalir cepat, berjejal, minim basa-basi, nyaris tanpa filter, bahkan kadang terkesan terburu-terburu untuk cepat mencapai tujuannya. Beberapa orang mengatakan gaya menulisku sederhana, nyaman diikuti dan tidak membuat kening berkerut. Namun beberapa orang yang lain dengan kejamnya mengatakan tulisanku seperti sampah, tak jelas apa maunya, tak jelas apa yang disampaikan, dan lebih cocok untuk dibaca orang-orang yang tak mau susah payah menggunakan otaknya untuk berpikir. Mendengar dua masukan sangat berlawanan itu aku hanya mengangguk dan berterimakasih. Juga terus belajar akan tulisanku ke depannya makin bagus dan enak dibaca.

Sekarang kita kembali ke dua perempuan tadi.
Mereka berdua adalah pembaca setia tulisan-tulisanku. Mereka bilang aku keren dan gaya bertutur tulisanku telah membuat mereka jatuh cinta. Mereka bilang kalimat-kalimat sederhanaku adalah ungkapan hati yang jujur dan jarang bisa dilakukan penulis-penulis kebanyakan. Singkat cerita dan seiring berjalannya waktu, aku makin dekat dengan mereka berdua. Keakraban yang tadinya hanya di comment box kini berlanjut ke Yahoo Messenger, Google Talk, SMS, bahkan telepon. Isinya? Hanya obrolan-obrolan tak tentu arah, curhat colongan, flirting-flirting, sesekali bahkan dirty jokes. Aku lantas berpikir begini, jika aku seorang personil band bisa jadi mereka adalah dua groupies paling militan yang bisa dimanfaatkan. Tak perlu kujelaskan lagi kan apa yang kumaksud dengan 'dimanfaatkan'?  Pikiranku yang lebih gila lagi lalu berkata seperti ini. Bagaimana kalau aku menjadikan salah satu dari mereka sebagai pacar? Mumpung aku baru putus, masih jomblo dan hatiku sedang butuh penghuni baru. Tapi yang mana? Siapa? Dua-duanya? Kita tak akan tahu kalau hanya berpikir dan tidak mencobanya. Jadi, mari kita coba!

Bermodal pemikiran itu akhirnya kuputuskan untuk mendekati mereka dengan lebih intensif. Mengajak salah satunya makan malam, kemudian mengajak yang lainnya nonton di esok malamnya. Tentu saja jadwalnya bergantian. Tidak mungkin aku mengajak mereka berdua sekaligus dalam semalam. Selain karena faktor isi dompet yang terbatas, menurutku hanya orang kurang waras tapi kepedean yang mengajak dua targetnya sekaligus dalam semalam.

Sampai akhirnya malam itu, usai makan malam sendirian di sebuah rumah makan padang, aku melakukan hal gila yang sangat tidak pantas untuk dicontoh. Penembakan massal via SMS. Nah! Terdengar seperti apa aku sekarang? Kepedean tapi pengecut, atau pengecut yang kepedean? Silakan kalian simpulkan sendiri. Dengan sedikit berpikir, aku menuliskan sebaris kalimat di handphone, membacanya sekali lagi, kemudian tanpa ragu mengirimnya ke nomor mereka. Tapi apa yang terjadi selanjutnya? Hampir setengah jam, pesan balasan yang kutunggu-tunggu itu tak juga masuk. Dua-duanya tak memberikan balasan. Perasaanku mulai tidak enak. Hatiku mulai tidak tenang. Kalau saja aku tahu, tak jauh dari sini, ada dua perempuan cantik sedang duduk semeja di sebuah kedai kopi. Perempuan pertama memesan hot chocolate, dan perempuan satunya memilih ice lemon tea. Keduanya tampak stress dan serius menatap layar laptop masing-masing dengan beberapa lembar kertas yang berserakan di atas meja mereka. Tak lama kemudian handphone mereka bergetar. Ada pesan masuk dalam waktu hampir bersamaan. Mereka membaca pesan itu sekilas, saling tatap sebentar, kemudian mendekatkan handphone mereka, lantas bersama-sama membaca ulang kalimat yang mungkin merupakan sajak cinta paling ngawur yang pernah ditulis sejak awal bumi diciptakan.

Biru
Cinta datang membunuhku
Aku jatuh cinta dan sudi bangkit lagi
Ijinkan aku menjadi penghuni hatimu

"Orang nggak waras," kata perempuan pertama.
"Lagi mabuk kayaknya," sahut perempuan kedua.

Benar, dua perempuan cantik itu adalah mereka. Sebuah kenyataan yang baru kuketahui bahwa mereka ternyata teman satu kantor. Pesan yang kukirim malam itu tak pernah mereka balas. Sejak itu pula mereka menjauh dariku. Mereka tak lagi muncul di comment box cerpen-cerpen yang kutulis. Teleponku pun tak pernah lagi mereka angkat. Tapi setidaknya aku masih bersyukur, bahwa malam itu aku berada di rumah makan padang, bukan di kedai kopi itu bersama mereka. Coba pikirkan ini, jika lelaki-patah hati-yang-jatuh cinta- membabi buta itu menyedihkan, kalian juga harus membayangkan, apa jadinya kalau lelaki-patah hati-yang-jatuh cinta- membabi buta itu masih harus disiram hot chocolate dan ice lemon tea oleh dua perempuan cantik yang sama-sama menolak cintanya?

*

"What the hell!" Ujar Indi sambil menahan tawa. "Itu beneran terjadi?
"Nggak." Aku menggeleng. "Mana bisa aku membagi hati untuk dua orang sekaligus. Aku menulis cerita itu kira-kira tiga bulan yang lalu. Awalnya malah ada tiga perempuan, judul cerpennya Tiga Cinta. Tapi terus kuubah lagi agar masih cukup masuk akal."
"Oke. Aku sudah menulis ini tadi." Indi kembali menyodorkan secarik kertas penuh tulisan kepadaku. Aku membacanya baik-baik. Kali ini resep es krim. Yang pertama kali setelah tiga menu cupcake.

I Love You Both

Ingredients
2 cups 2% milk
2 cups heavy cream
1 cup sugar
1/2 teaspoon salt
1 teaspoon vanilla extract
1 teaspoon peppermint extract
3 drops green food coloring (optional)
1 cup miniature semisweet chocolate chips

Directions
In a large bowl, stir together the milk, cream, sugar, salt, vanilla extract and peppermint extract until the sugar has dissolved. Color to your liking with the green food coloring.  Pour  the mixture into an ice cream maker, and freeze according to the manufacturer's instructions. After about 10 minutes into the freezing, add the chocolate chips. After the ice cream has thickened, about 30 minutes later, spoon into a container, and freeze for 2 hours.

***



~ (oleh @monstreza)

20 September 2011

#4: The Special One

 "Kenapa kamu suka sekali dengan masa lalu?" tanya Indi sambil mencomot kripik jagung yang baru saja kubeli dari toko sebelah. Kami berdua sekarang terpaksa duduk di teras toko. Tidak mungkin tetap bertahan di dalam toko sementara mati listrik membuat hawa dua kali lebih gerah. Mendekati musim hujan seperti ini memang cuaca terasa serba salah. Sebentar panas sebentar dingin, sebentar terang benderang, lalu tak lama kemudian hujan.
"Tak hanya masa lalu," jawabku. "Aku bahkan pernah menulis cerita tentang penemuan mesin waktu di masa depan. Cerita tentang perjalanan lintas waktu bagiku selalu menarik. Tentang dunia paralel, kesalahan-kesalahan bodoh di masa SMA, kekonyolan di masa kanak-kanak. Aku suka dengan cerita-cerita seperti itu."
"Kamu nggak akan bisa maju kalau terus terpaku di masa lalu, Cesa." Ujar Indi sambil tersenyum. "Aku pernah bercerita kan? Kenapa kaca spion dibuat lebih kecil dari kaca depan? Karena masa lalu memang nggak sepenting masa depan."
"Itu cuma cerita yang kutulis, Indi. Fiksi. Bukan kejadian nyata."
"Kamu sendiri yang pernah bilang, fiksi adalah anak kandung realitas kan?"
"Yeps. Tapi cerita kali ini benar-benar fiksi," ujarku. "Kamu masih mau mendengarnya kan?"
"Silakan. Pasti kudengarkan sampai selesai."
Aku mengangguk. Ingatanku langsung meluncur ke salah satu yang kutulis beberapa bulan silam itu. Tentang sebuah penemuan menakjubkan di masa depan. Saat mesin waktu bukan hanya sekadar khayalan.

*

Kemang, Maret  2011

 "Kelak akan ada penemuan luar biasa," ucapku pada perempuan cantik yang duduk di sampingku. Malam itu lalu lintas depan Circle K Kemang Raya masih ramai, kendaraan berlalu lalang dari dua arah. Macet dan semrawut.  Motor, mobil pribadi, Kopaja hingga bajaj yang knalpotnya mengepulkan asap pekat. Para pejalan kaki di atas trotoar terlihat gelisah dan terburu-buru. Samar-samar tercium wangi sate Padang yang dibakar di atas tungku, juga aroma nasi goreng dari gerobak yang mangkal tak jauh dari sana. Perempuan di sampingku tersenyum, kemudian membuka kaleng minuman dingin di tangannya.
"Namanya mesin waktu," lanjutku tanpa mengalihkan pandangan dari kedua mata beningnya. "Dengan itu kamu bisa melakukan sesuatu yang selama ini hanya menjadi khayalan bagi banyak orang."
"Melihat masa depan?" tanyanya.
"Bukan," aku menggeleng. "Mesin waktu tak diciptakan untuk itu. Bahkan di masa depan nanti, orang-orang pintar, - para ilmuwan jenius itu tetap akan membiarkan masa depan menjadi misteri. Agar hidup tetap berjalan seru dengan segala misterinya. Agar manusia tak bertindak semaunya setelah melihat masa depan mereka yang indah, juga agar mereka yang bermasa depan buruk tidak dihantui ketakutan yang sia-sia."
"Bukankah dengan melihatnya, mereka yang masa depannya buruk atau suram bisa menata diri lebih baik agar masa depan itu jadi lebih indah?"
"Mungkin saja," jawabku sambil tersenyum. "Tapi kalau seperti itu apa serunya hidup? Bayangkan saja kalau kamu bisa pergi ke masa depan, lalu bertemu dengan pasangan hidupmu, anak-anakmu, atau jika terjadi sesuatu yang buruk, bisa saja kamu mendapati kenyataan bahwa di jaman itu kamu sudah mati dan hanya tinggal nama. Mungkin saat itu namamu sudah dijadikan nama jalan, nama gedung, nama pasar, atau nama bangunan apa saja. Pasti hidupmu takkan berjalan seperti sekarang bukan?"
"Aku tak berani membayangkan itu."
"Mesin waktu diciptakan untuk memperbaiki kesalahan," lanjutku makin antusias. "Bisa untuk mengobati rindu, untuk bertemu kembali dengan orang-orang yang pernah kamu cintai namun tak mungkin lagi kamu temui, untuk meminta maaf pada orang yang telah kamu lukai namun belum sempat kamu meminta maaf , masih banyak lagi kegunaannya. Yang jelas mesin waktu hanya bisa berjalan mundur, bukan maju ke masa depan." Pungkasku panjang lebar.
"Kelak itu akan dijual bebas?" tanyanya.
"Sayang sekali tidak," aku menggeleng tegas. "Mesin waktu hanya disediakan terbatas. Akan tertulis di peraturan internasional, satu negara hanya boleh memiliki satu unit mesin waktu. Untuk bisa memakainya orang harus membayar cukup mahal. Namun bagiku itu wajar. Bukankah kesempatan memperbaiki kesalahan adalah hal yang tak ternilai harganya?"
"Tapi kalau aku hidup di jamanmu, aku tetap tak akan mau kembali ke masa lalu. Rasanya aku tak akan butuh mesin waktu."
"Kenapa?"
"Bagiku masa lalu hanya untuk dikenang, atau untuk dijadikan pelajaran." Jawabnya. "Masa depanlah yang jauh lebih penting. Kalau tadi kamu bilang hidup tak akan seru saat kita bisa melihat masa depan, bagiku hidup tak akan bisa maju kalau kita terus larut menyesali masa lalu yang menyedihkan."
Kali ini giliranku yang terdiam. Sebenarnya aku masih ingin membantah  dan meyakinkan dia bahwa mesin waktu untuk kembali ke masa lalu adalah penemuan yang sangat berguna. Namun waktuku mampir ke jaman ini hanya tersisa beberapa menit lagi. Setelah ini aku sudah harus kembali ke jaman di mana aku tinggal. Jaman di mana aku sudah menjadi seorang sutradara terkenal dan hidup bahagia bersama seorang istri yang sangat kucintai, dan dikaruniai seorang anak laki-laki tampan yang nakal bukan main, tapi mewarisi sifat teguh dan pantang menyerah dari ayahnya.
"Lalu?" tanyanya. "Untuk apa kamu datang ke sini?"
"Tentu saja untuk..", aku menghela nafas. Perempuan cantik di depanku kembali tersenyum, dan aku semakin salah tingkah melihatnya. Jantungku mulai berdegup lebih kencang, pikiranku mendadak kacau. Setengah mati aku berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk mengatakan tujuan sebenarnya aku datang ke jaman ini.
                "Kamu," ujarnya setengah berbisik. "Laki-laki dari masa depan, untuk apa kamu datang ke sini?"
"Untuk meyakinkanmu," jawabku cepat. "Ini memang baru pertama kali kita bertemu. Tapi kamu harus percaya, kita akan bertemu lagi suatu hari nanti."
"Aku tidak mengerti."
"Kita..  akan bertemu.. lagi," ucapku terbata. "Mungkin.. saat itu kamu tak akan mengenaliku. Karena yang kamu lihat sekarang ini.. hanya tubuh pinjaman." Lanjutku. Sebisa mungkin aku berusaha agar kalimat absurd itu tidak terdengar mengada-ada. "Kita.. akan bertemu lagi, di waktu dan tempat yang takkan pernah kamu duga sebelumnya. Dan kuharap kamu yakin, di masa depan nanti kita akan menjadi..."
Kalimat itu belum selesai kuucapkan. Namun seberkas cahaya putih kebiruan sudah kembali datang menerpaku. Cahaya yang sama dengan yang membawaku ke sini beberapa menit yang lalu. Earphone di telinga kiriku berbunyi bip..bip..bip pelan, kemudian suara merdu seorang perempuan terdengar dari sana.
"Maaf, waktu anda telah habis. Terima kasih telah menggunakan jasa mesin waktu."

*

                "Kalau aku jadi perempuan dalam cerita itu, aku juga tak akan mau kembali ke masa lalu." Ujar Indi. "Aku setuju dengan yang Sheila On 7 bilang, yang sudah biarlah sudah."
                "Kalau urusan mantan pacar sih, iya. Yang sudah biarlah sudah. Lagian masa lalu yang kumaksud juga nggak selalu berarti mantan pacar kan?" tanyaku. "Bisa saja itu keteledoran yang mengakibatkan pekerjaan kacau balau, keterlambatan sekian menit yang membuat kita melewatkan sebuah kejadian penting, atau kesalahan-kesalahan kecil yang membuat orang yang kita sayangi bersedih, atau bahkan menangis. Aku pernah tak sengaja dan khilaf mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas dan agak kasar pada adikku. Saat mendengar itu, yang menangis tak hanya adikku, tapi juga Ibuku. Padahal mereka adalah orang-orang spesial yang seharusnya tak boleh kubiarkan bersedih, apalagi menangis. Kalau mengingat-ingatnya, aku ingin sekali bisa kembali ke masa itu lalu berusaha lebih menjaga emosi agar kata-kata yang kurang pantas itu tak pernah ada."
                "Sudahlah, Cesa." Kata Indi pelan sambil menatapku sejuk. "Kamu sudah minta maaf kan? Aku yakin mereka pasti mengerti. Dan aku yakin kamu sudah berjanji untuk lebih berhati-hati tiap berbicara dengan orang-orang yang kamu sayang." Sambungnya. Tangan Indi lalu menyodorkan secarik kertas kepadaku. Ada gambar wajah sedang tersenyum, gelas berisi bongkah-bongkah es, beberapa helai daun mint, dan tentu saja sebuah cupcake di sebelah gelas itu.
                "Kali ini cupcake dengan topping mint?" tanyaku.
                "Mint dan coklat. Karakter rasanya manis, namun masih ada sedikit pahit coklat. Lembut dan dingin, cocok dinikmati siang hari atau malam yang gerah seperti ini."
                "Namanya?"
                "The Special One," jawab Indi sambil tersenyum.

Racikan cupcakenya cukup membuatku penasaran. Dan lagi-lagi Indi memilih nama yang kurang tepat bahkan cenderung aneh, pikirku. Tapi kali ini aku memilih tetap diam.

***




~ (oleh @monstreza)

17 September 2011

The Past

"Sampai sekarang aku masih menyukai permainan sulap," ujarku pada Indi yang sedang mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuk tangan kirinya. Buku kecil yang tadi dipakai untuk menamparku itu masih di tangan kanannya. "Kalau pekerjaanku sedang luang, aku mengunjungi blog-blog yang membongkar rahasia para pesulap," lanjutku dengan tatapan was-was. Kuatir kalau ceritaku dianggap ngaco, kemudian buku itu kembali mendarat di pipiku. "Dan kalau memungkinkan, aku akan mencoba memainkannya."
"Apa maksudnya kalau memungkinkan?"
"Hanya sulap-sulap ringan yang tak butuh peralatan macam-macam," jelasku. "Tidak mungkin aku memainkan sulap-sulap panggung seperti mengiris tubuh dengan gergaji mesin, mengeluarkan perempuan cantik dari kotak, kebal dilindas stoom, merebus diri dalam tandon air mendidih, atau atraksi-atraksi besar lainnya. Aku lebih suka permainan kartu, koin, korek api, atau benda-benda kecil yang hilang dan muncul kembali dalam sekejap mata."
"Contohnya?"

Tanganku merogoh saku celana, kemudian mengeluarkan sekotak kartu dari dalamnya. "Aku punya satu permainan. Kali ini kita akan menyapa masa lalu."
"Tidak. Aku tidak mau diramal." Indi menggeleng, dua kali. "Masa lalu biar tetap jadi masa lalu. Itu sama sekali tidak penting. Masa depan biar tetap jadi misteri."
"Indiii... Lagian siapa yang mau ngeramaaal?" bantahku gemas. "Ini bukan kartu ramal. Cuma permainan untuk mengetahui siapa kamu di kehidupan sebelumnya. Idenya datang dari permainan Rolet Rusia. Pernah dengar kan?"
"Hanya ada satu peluru dalam pistol berpeluru enam?"
"Ya. Tantangannya adalah kita harus menghindari satu yang paling berbahaya. Seperti juga permainan empat gelas kertas yang dipasang terbalik dan salah satunya berisi pisau. Atau empat kaleng terbuka dan salah satunya berisi ular berbisa."
"Apa hubungannya dengan yang akan kamu mainkan?"
"Prinsipnya kurang lebih sama. Tapi yang ini kebalikannya."
"Aku masih nggak paham."
"Kamu nggak akan paham kalau ini nggak dimainkan, Indi. Kita coba saja mulai permainanya. Oke?"

Indi mengangguk ragu, lalu meletakkan buku kecil dan penanya agak jauh di ujung meja, kemudian melipat kedua tangannya dan mulai memperhatikan kartu-kartu di tanganku dengan lebih serius. Aku tersenyum kecil dan mulai mengocok kartu. Empat kartu kuambil secara acak lalu kubagi berjajar. Setumpuk kartu yang tersisa kugeser ke ujung meja sebelah kanan, di sebelah buku kecil dan pena milik Indi.

"Bisa kupinjam ini?" tanyaku sambil menunjuk buku dan pena itu.
Masih sedikit ragu Indi mengangguk mengiyakan. Aku cepat meraih buku itu, membuka halaman terakhirnya, menuliskan beberapa baris kalimat, lalu menutupnya dan meletakkan buku itu kembali di tempat semula. "Nanti di akhir permainan kamu boleh baca apa yang sudah kutulis di situ."
"Okay."
"Sekarang perhatikan kartu-kartu ini." Jelasku sambil menatap mata Indi dengan serius. "Ada empat gambar minuman. Espresso, cappuccino, hot chocolate, orange juice. Kamu boleh pilih, lalu tunjuk dua kartu. Jangan disentuh. Tunjuk aja."
"Kenapa nggak boleh disentuh?"
"Bukan muhrimnya, takut jinnya ngamuk, lalu dia nggak mau nunjukin masa lalu."
"Okay!" ujar Indi bersemangat. Tangannya langsung menunjuk dua kartu. Satu kartu bergambar orange juice dan satu lagi yang bergambar cappuccino.
"Yakin?" tanyaku.
"Sangat yakin."
"Nggak mau diubah lagi?"
"Yap."
"Bener?"
"Iyaaa..."

Aku menyingkirkan dua kartu pilihannya ke sisi meja sebelah kiri. Tersisa dua kartu. Gambar espresso dan hot chocolate. "Sekarang kamu pilih salah satu."
"Ditunjuk tanpa disentuh juga?"
"Ya." Aku mengangguk. "Tunjuk satu kartu. Lalu tunggu perintah selanjutnya."

Ragu-ragu telunjuk Indi mengarah ke kartu bergambar hot chocolate. Pilihan yang sebenarnya sudah bisa kutebak sejak awal, karena memang itulah minuman favoritnya. Ingatanku lalu melayang pada dua tahun yang lalu saat kami baru saling kenal. Pada suatu sore yang hujan di sebuah kedai kopi tak terlalu ramai. Aku baru saja menyelesaikan deadline artikel untuk sebuah majalah saat kulihat  sosok asing Indi dengan langkah terburu-buru membuka pintu dan mengambil duduk tak jauh dari mejaku. Aku memperhatikannya beberapa saat, lalu tanpa banyak kesulitan memberanikan diri mendekatinya, dan akhirnya kami berkenalan sore itu juga. Kami mengobrol dan membahas tentang banyak hal. Indi lalu bercerita kepadaku. Hujan, hot chocolate, kangen dan Coldplay memang paduan yang mematikan, katanya sambil menyeruput minumannya. Aku mengangguk-angguk, sambil menghayati Warning Sign yang mengalun pelan di kafe.

"Okay." Suara Indi membuyarkan lamunan sesaatku. Telunjuknya berhenti tepat di atas kartu bergambar hot chocolate. "Jadi kartu ini milikku sekarang?"
"Sebentar. Kamu yakin dengan pilihan ini?"
"Sangat yakin."
"Nggak mau diubah?"
"Engg.. Ganti deh." Indi menggeleng sambil menatapku lucu. Telunjuknya berpindah ke kartu bergambar espresso.
"Yakin? Nggak mau ganti lagi?"
"Eh. Nggak jadi deh." Ralatnya lagi sambil tertawa. Telunjuknya kembali berpindah ke kartu bergambar hot  chocolate.
"Yakin? Nggak mau gant.."
"Udah. Buruan. Sebelum aku jadi labil lagi."
"Baik. Sekarang kamu boleh buka bukunya, lihat apa yang tadi kutulis di lembar terakhir."

Indi meraih buku di atas meja, lalu membukanya perlahan seakan yang dihadapinya adalah kotak pandora berisi hal yang mengerikan. Tapi tak lama kemudian tawanya langsung pecah. "Bagaimana kamu bisa tahu?" tanyanya tergelak. Buku itu diletakkannya terbuka di atas meja. Ada sebaris tulisan tanganku di sana;

Silakan diminum coklatnya.

"Tunggu dulu." Jelasku. "Inti permainannya bukan ini. Tadi sudah kukatakan kalau ini tentang siapa kamu di kehidupan sebelumnya kan?"
"Ya. Bagaimana tentang itu?"

Aku tersenyum, lalu membalik kartu yang tersisa, kartu bergambar hot chocolate yang jadi pilihan Indi. Ada kertas putih yang sebelumnya  sudah kutempel di sana dengan double tape. Tertera di atas kertas itu dengan font berukuran kecil;
I don't know how you feel about it, but you were female in your last earthly incarnation.You were born somewhere in the territory of modern West Australia around the year 400. Your profession was that of a jeweler or watch-maker.

Your brief psychological profile in your past life:
Inquisitive, inventive, you liked to get to the very bottom of things and to rummage in books. Talent for drama, natural born actor.

The lesson that your last past life brought to your present incarnation:
There is an invisible connection between the material and the spiritual world. Your lesson is to search, find and use this magical bridge.

Do you remember now?


Indi kembali tertawa. "Ini bisa dipercaya? Jadi di kehidupan yang lalu aku adalah..."
"Cuma past life analysis hasil copy paste dari internet. Mana aku tahu?" 
"I Love You More," ujar Indi sambil tersenyum.
"What?"
"Maksudku nama untuk cupcake berikutnya," Indi buru-buru meralat. "Cupcake dengan topping butiran coklat, taburan serbuk cinnamon.."
"Sebentar," tahanku. "Bukannya cerita kedua belum aku mulai?"
"Permainan sulap barusan sudah cukup menginspirasiku, Cesa." ucap Indi masih dengan senyum yang entah kenapa tiba-tiba membuat jantungku berdebar sedikit lebih kencang dari biasanya. "Ceritamu berikutnya bisa disimpan untuk nama  cupcake ketiga," lanjutnya kemudian.
"Tapi.. I Love You More?" aku menggeleng-nggeleng.  "Oh Tuhan.. Sepertinya bukan nama yang cocok."
"Tidak," tegas Indi yakin. "Aku yakin ini nama yang bagus. I Love You More, pasti akan jadi paduan yang tepat kalau dinikmati bersama dengan.."
"Hujan, hot  chocolate dan Coldplay?" potongku.

KLIK!

"Oh, shit!" ucapku refleks. Sekitarku mendadak gelap gulita. Kudengar Indi juga tersentak kaget dan tangannya menyenggol tumpukan kartu di meja hingga jatuh berserakan di lantai.
"Pemadaman." Katanya setengah berbisik. "Rupanya PLN sedang bercanda. Semoga tidak lama."

***


~ (oleh @monstreza)

14 September 2011

Little Magdalena: Fallen Angel

Aku selalu menyukai permainan sulap.

Saat masih SD, sepulang sekolah di lapangan dekat rumah biasanya ada penjual obat yang menggelar dagangannya di lapangan dekat rumah. Sulap yang ditampilkan biasanya macam-macam. Dari permainan kecepatan tangan ringan seperti menghilangkan rokok dan bola pingpong dari tangan, sampai yang agak ekstrim dan menjurus ke debus amatir macam mengiris leher dengan pisau atau menyilet-nyilet lidah. Semua pertunjukan itu terasa sangat menarik buatku. Setelah pertunjukan selesai, biasanya si pemain sulap akan menawarkan obat, - barang dagangan yang sesungguhnya. Kadang obat kuat, - yang seringnya tidak terdaftar di Departemen Kesehatan, minyak ajaib untuk 1001 penyakit, - itu yang dikatakan penjualnya, kadang juga obat-obat kecantikan yang diklaim bisa menyembuhkan bopeng-bopeng bekas luka di wajah, jerawat, flek-flek hitam, sekaligus berkhasiat pemutih instan. Terdengar luar biasa? Tapi aku tetap tidak percaya dan tidak tertarik sedikitpun. Aku dan anak-anak lain seusiaku yang ikut menonton hanya menikmati pertunjukan sulapnya. Membeli obat adalah urusan penonton dewasa. Bapak-bapak, ibu-ibu, kadang juga anak-anak muda dan perempuan-perempuan yang beranjak ABG dan mulai kecentilan.

 

 

*

 

"Barusan kamu main sulap atau debus?"

"....."

"Itu kenapa kelelawar bisa keluar dari mulut kamu?"

"...."

"Kamu pikir dengan mainan seperti ini kamu bisa jadi juara?"

"...."

"Lain kali jangan main yang norak kayak gini."

"...."

"Saya ulang. Lain kali pilih permainan yang lebih cerdas. Panggung ini perlu atraksi yang lebih keren."

"...."

 

Baik. Sekarang akan kuceritakan pelaku percakapan di atas.

Si penanya adalah Deddy Courbuzier, lawan bicaranya adalah salah satu peserta The Master, - ajang pencarian bakat magician yang pernah diadakan RCTI. Malam itu Master Deddy, - itu julukannya, sangat gusar dengan aksi berbahaya yang dilakukan kontestan berambut gondrong dan brewokan itu. Begini aksinya, peserta yang tak-pernah-mau-bicara-barang-sedikitpun ini berdiri di atas papan berpaku, lalu menjatuhkan diri di atasnya. Sebenarnya cuma itu, tapi gayanya didramatisir sedemikian rupa hingga penonton benar-benar menghela nafas dan sedikit tercengang. Ditambah dengan iringan musik horor dari studio membuat pertunjukannya setingkat lebih spektakuler. Dan ini puncaknya, setelah bangkit dari papan berpaku itu, si peserta yang masih-tak-mau-bicara-barang-sedikitpun ini berdiri mendekat ke penonton, memasang ekspresi seram, lalu membuka mulutnya, dan entah darimana datangnya tiba-tiba muncul seekor kelelawar. Tepatnya anak kelelawar, atau 'kampret' kalau dalam bahasa Jawa. Yeah! Kampret! Itu juga kalimat yang kuteriakkan saat kontestan bernama Limbad ini  menunduk hormat lalu meninggalkan panggung.

 

*

 

"Cuma seperti itu?" tanya Indi.

"....."

"Lalu bagaimana aku memilih nama cupcake kalau ceritanya cuma seperti itu?"

"...."

"Ah, masih cerita pertama. Semoga yang berikutnya jauh lebih baik."

"....."

"Cesa?"

"...."

"Jangan nyebelin ah," kata Indi sambil menampar pipiku pelan. "Kamu mau ikut-ikutan tak mau bicara seperti peserta.. Siapa tadi namanya? Limbung?"

"...."

 

PLAK!

Kali ini tamparannya satu tingkat lebih keras. Bukan dengan tangan, tapi dengan sebuah buku kecil yang ada di atas meja.

 

PLAK! PLAK!

Tamparan ketiga dan keempat. Satu tingkat lebih keras lagi. Masih dengan buku kecil itu. Tapi aku tetap bergeming dan memasang tampang datar.

 

"Terserah kamu deh," kata Indi merajuk. Tangannya merobek satu halaman kertas dari buku kecil itu. Dari sudut mataku kulihat Indi mulai sibuk menulis.

 

PLAK!

Tamparan kesekian. Aku tetap bergeming, tapi setengah mati menahan tawa. Tangan Indi lalu menyodorkan kertas berisi beberapa baris tulisan itu kepadaku. "Sudah. Jangan bertindak konyol lagi," katanya. "Semoga nama dan resep ini cocok. Jangan dikomentari," tambahnya.

 

Aku mengangguk, lalu mulai membaca tulisan di atas kertas itu;

 

Fallen Angel

• 1 1/4 cups all purpose flour
• 1 1/2 cups sugar
• 12 egg whites from large eggs ( enough for 1 1/2 cups)
• 1 1/2 teaspoon cream of tartar
• 1/4 teaspoon salt
• 1 1/2 teaspoons vanilla extract
 

Preheat oven to 350 degrees.  Line cupcake pans with paper liners.

Place egg whites in a large mixing bowl and beat at high speed until egg whites are frothy, approximately 1 minute.

Add cream of tartar, salt and vanilla to egg whites.  Mix at high speed until egg whites are almost stiff, approximately 4 minutes.

Add 1 cup of sugar gradually while mixing on low speed.  Scrape bowl.

Mix flour and remaining 1/2 cup sugar together and spoon 1/4 of mixture over egg whites, folding gently between each addition.

Pour batter into cupcake liners until they are 2/3 full.  Bake for 20 to 25 minutes or until tops are golden brown and cracks are very dry.

Cool cupcakes completely before removing from pan.

 

***




--
(oleh @monstreza)

13 September 2011

Little Magdalena: Prolog

"Kenapa kamu tak buka toko ini 24 jam?" tanyaku sambil membuka kaleng root beer dingin yang baru saja disodorkan Indi. Pandanganku kemudian menyapu sekeliling ruangan yang masih berbau cat. Tembok coklat dengan hiasan beberapa pigura bergambar poster film bergaya avant garde, jam dinding antik dengan angka-angka romawi dan burung hantu lucu bertengger di puncaknya, kursi-kursi kayu yang dipasang terbalik di atas meja, papan tulis kosong di balik mesin kasir, etalase kaca yang juga masih kosong dan belum ada lampunya, jendela kaca bergambar cupcake dan ice cream cone, dan sebuah papan tergeletak di lantai bermotif kotak catur hitam putih. Tertulis di papan berwarna hijau tua itu dengan cat putih dan huruf-huruf artistik: Little Magdalena Ice Cream and Cupcakes

"Itu namanya?" tanyaku sambil menunjuk papan itu.

"Iya." Jawab Indi.

"Seperti judul opera sabun."

"Whatever.Aku sudah memikirkan nama itu berbulan-bulan. Magdalena berarti cupcake dalam bahasa Spanyol."

"Kenapa tidak membuka kedai kopi saja?" aku kembali bertanya sambil menyeruput minuman di tanganku."Kedai kopi selalu jadi tempat romantis bagi banyak orang," lanjutku kemudian."Ada yang menyebutnya tempat menunggu, tempat bertemu kembali, tempat selingkuh, tempat sepasang kekasih yang mau balikan, dan banyak lagi," aku terus mengoceh."Kau ingat-ingat saja, ada berapa film atau buku yang selalu menjadikan kedai kopi sebagai salah satu setting adegan romantis?"

"Sangat banyak," jawab Indi sambil tersenyum. "Aku juga suka menonton film-film seperti itu. Tapi di daerah ini sudah ada kedai kopi. Lagipula aku lebih tertarik dengan cupcake. Aku membaca banyak buku tentang itu. Cara membuat cupcake, takaran-takaran yang tepat untuk membuat krimnya, rahasia di balik topping-topping cantik dan menggoda itu. Ada banyak lagi. Cupcake tak boleh hanya terlihat indah, cantik, dan menyenangkan dari luar, tapi juga harus lembut dan manis di dalamnya. Seperti itu seharusnya kita jadi manusia bukan?" "Oh. Jadi itu makna filosofisnya? Boleh juga."

"Kurang lebih demikian."

Aku mengangguk tanda paham. "Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi. Kenapa tempat ini tidak coba kamu buka 24 jam?"

"Cesa," Indi menatapku sambil menahan senyum. "Mana ada toko cupcake buka 24 jam? Orang-orang mungkin hanya akan datang di pagi hari, beberapa mungkin saat jam makan siang atau sore hari sepulang kantor. Sisanya mungkin akan datang pada malam hari. Tapi tak sampai jam sepuluh malam mungkin mereka sudah pulang. Tak akan sampai larut malam, apalagi begadang di sini."

"Ah sayang sekali. Padahal 24 itu angka penting."

"Maksud kamu?"

"24 itu angka penting," ulangku. "Pernah kubaca di buku. 24 adalah awal yang baik. Ada banyak pasangan memutuskan menikah di usia 24, ada juga orang-orang yang memulai babak baru kehidupan mereka setelah terpuruk di usia 24.."

"Sebentar," potong Indi. "Aku juga pernah membaca itu. Tapi bukannya life begins at 30?"

"Ah. Itu kan bisa-bisanya mereka yang belum ngapa-ngapain sampai umur 30."

"Hmm.."

"Dan kamu juga pasti tahu," lanjutku makin antusias. "Ada banyak orang terkenal yang sedang dalam masa keemasan, namun sayangnya mereka meninggal di usia 24."

"Oh ya? Aku baru dengar cerita seperti itu."

"Kurt Cobain, Jimmy Hendrix, Janis Joplin, Amy Winehouse.." Jelasku. "Sepertinya masih ada beberapa orang lagi. Publik menamakan mereka Club 24."

"Ngarang!" Ketus Indi. "Itu Club 27!"

"Ya ya ya. Club 27," aku mengangguk. "Kamu bisa buka toko ini 27 jam."

"Cesa!" cetus Indi sebal. Nada bicaranya mulai merajuk. "Seriuslah sedikit. Kali ini aku benar-benar perlu bantuan kamu."

"Oh. Oke. Jadi kita akan serius mulai sekarang."

"Toko ini baru akan resmi dibuka bulan depan," Indi mulai menjelaskan. "Aku punya beberapa menu utama yang belum ada namanya. Kamu bisa bantu? Biasanya kamu pintar untuk urusan seperti ini. Di laptopmu ada banyak kalimat keren untuk judul cerpen kan? Daripada kalimat-kalimat itu cuma mentok jadi judul, padahal cerpennya nggak selesai-selesai, bagaimana kalau itu dijadikan nama beberapa menu di sini? "

"Nggak mungkin," aku menggeleng. "Mana bisa cupcake diberi nama 'Kita Pernah Saling Jatuh Cinta dan Bersikap Seolah Tak Ada Apa-apa', atau 'Kugenggam Tangannya di Transjakarta', atau 'Cinta Kita Menyala Saat Bandung Gelap Gulita' ? Sangat aneh." Tukasku. "Aku hanya bisa membuat judul cerpen, bukan nama kue. Aku tak pintar memilih nama, apalagi nama kue."

"Aku lebih tak pintar lagi."

"Kalau itu aku sudah tahu," ujarku sambil tersenyum. "Little Magdalena itu sudah cukup membuktikan. Nama toko kue ini terdengar lebih seperti judul opera sabun Meksiko. Tapi bolehlah usahanya."

"Cesa. Please."

"Begini saja," lanjutku. "Kuceritakan beberapa kisah yang sedang kusiapkan untuk buku pertamaku. Di akhir tiap cerita, kamu bisa tentukan sendiri, tarik kesimpulan atau makna filosofis dari tiap cerita, lalu kamu pikirkan sendiri nama yang tepat buat satu menu."

"Susah."

"Kalau nggak dicoba ya memang susah."

"Aku nggak pintar mengarang cerita." Ujar Indi. "Kamu sajalah yang menentukan."

"Dicoba dong. Dibikin gampang." "Nggak semua hal bisa dibikin gampang." "Kalau bisa dibikin gampang, kenapa dipersulit?"

"Gampang dan ngegampangin itu beda."

"Lah! Yang nyuruhngegampangin siapa?"

"Oke. Oke." Indi akhirnya mengalah. "Kali ini aku yang mengikuti permainan kamu. Tiap akhir satu cerita, akan kutarik kesimpulan, makna filosofisatau apapun itu, lalu kutentukan sendiri nama untuk menunya. Begitu permainannya bukan?"

"Benar." Jawabku sambil tersenyum dan menyikut lengannya pelan."Ternyata kamu tidak berubah."

"Apanya tidak berubah?"

"Hampir setahun kita nggak ketemu.." jawabku."Kamu tetap pintar dan..."

"Dan apa?" tanya Indi.

"Cantik."

Kali ini dia tidak bertanya lagi, tidak juga berkomentar apa-apa. Tapi cubitannya langsung mendarat di lenganku bertubi-tubi. Akhir adzan Isya sayup-sayup terdengar dari speaker masjid yang letaknya tak jauh dari sini. Di dalam kepalaku mulai tergambar cerita pertama. Yang nantinya akan menjadi inspirasi Indi untuk nama salah satu menu di toko yang akan dibukanya mulai bulan depan ini.


***



---Oleh: