~ (oleh @monstreza)
27 September 2011
#5: I Love You Both
~ (oleh @monstreza)
20 September 2011
#4: The Special One
~ (oleh @monstreza)
17 September 2011
The Past
~ (oleh @monstreza)
14 September 2011
Little Magdalena: Fallen Angel
Aku selalu menyukai permainan sulap.
Saat masih SD, sepulang sekolah di lapangan dekat rumah biasanya ada penjual obat yang menggelar dagangannya di lapangan dekat rumah. Sulap yang ditampilkan biasanya macam-macam. Dari permainan kecepatan tangan ringan seperti menghilangkan rokok dan bola pingpong dari tangan, sampai yang agak ekstrim dan menjurus ke debus amatir macam mengiris leher dengan pisau atau menyilet-nyilet lidah. Semua pertunjukan itu terasa sangat menarik buatku. Setelah pertunjukan selesai, biasanya si pemain sulap akan menawarkan obat, - barang dagangan yang sesungguhnya. Kadang obat kuat, - yang seringnya tidak terdaftar di Departemen Kesehatan, minyak ajaib untuk 1001 penyakit, - itu yang dikatakan penjualnya, kadang juga obat-obat kecantikan yang diklaim bisa menyembuhkan bopeng-bopeng bekas luka di wajah, jerawat, flek-flek hitam, sekaligus berkhasiat pemutih instan. Terdengar luar biasa? Tapi aku tetap tidak percaya dan tidak tertarik sedikitpun. Aku dan anak-anak lain seusiaku yang ikut menonton hanya menikmati pertunjukan sulapnya. Membeli obat adalah urusan penonton dewasa. Bapak-bapak, ibu-ibu, kadang juga anak-anak muda dan perempuan-perempuan yang beranjak ABG dan mulai kecentilan.
*
"Barusan kamu main sulap atau debus?"
"....."
"Itu kenapa kelelawar bisa keluar dari mulut kamu?"
"...."
"Kamu pikir dengan mainan seperti ini kamu bisa jadi juara?"
"...."
"Lain kali jangan main yang norak kayak gini."
"...."
"Saya ulang. Lain kali pilih permainan yang lebih cerdas. Panggung ini perlu atraksi yang lebih keren."
"...."
Baik. Sekarang akan kuceritakan pelaku percakapan di atas.
Si penanya adalah Deddy Courbuzier, lawan bicaranya adalah salah satu peserta The Master, - ajang pencarian bakat magician yang pernah diadakan RCTI. Malam itu Master Deddy, - itu julukannya, sangat gusar dengan aksi berbahaya yang dilakukan kontestan berambut gondrong dan brewokan itu. Begini aksinya, peserta yang tak-pernah-mau-bicara-barang-sedikitpun ini berdiri di atas papan berpaku, lalu menjatuhkan diri di atasnya. Sebenarnya cuma itu, tapi gayanya didramatisir sedemikian rupa hingga penonton benar-benar menghela nafas dan sedikit tercengang. Ditambah dengan iringan musik horor dari studio membuat pertunjukannya setingkat lebih spektakuler. Dan ini puncaknya, setelah bangkit dari papan berpaku itu, si peserta yang masih-tak-mau-bicara-barang-sedikitpun ini berdiri mendekat ke penonton, memasang ekspresi seram, lalu membuka mulutnya, dan entah darimana datangnya tiba-tiba muncul seekor kelelawar. Tepatnya anak kelelawar, atau 'kampret' kalau dalam bahasa Jawa. Yeah! Kampret! Itu juga kalimat yang kuteriakkan saat kontestan bernama Limbad ini menunduk hormat lalu meninggalkan panggung.
*
"Cuma seperti itu?" tanya Indi.
"....."
"Lalu bagaimana aku memilih nama cupcake kalau ceritanya cuma seperti itu?"
"...."
"Ah, masih cerita pertama. Semoga yang berikutnya jauh lebih baik."
"....."
"Cesa?"
"...."
"Jangan nyebelin ah," kata Indi sambil menampar pipiku pelan. "Kamu mau ikut-ikutan tak mau bicara seperti peserta.. Siapa tadi namanya? Limbung?"
"...."
PLAK!
Kali ini tamparannya satu tingkat lebih keras. Bukan dengan tangan, tapi dengan sebuah buku kecil yang ada di atas meja.
PLAK! PLAK!
Tamparan ketiga dan keempat. Satu tingkat lebih keras lagi. Masih dengan buku kecil itu. Tapi aku tetap bergeming dan memasang tampang datar.
"Terserah kamu deh," kata Indi merajuk. Tangannya merobek satu halaman kertas dari buku kecil itu. Dari sudut mataku kulihat Indi mulai sibuk menulis.
PLAK!
Tamparan kesekian. Aku tetap bergeming, tapi setengah mati menahan tawa. Tangan Indi lalu menyodorkan kertas berisi beberapa baris tulisan itu kepadaku. "Sudah. Jangan bertindak konyol lagi," katanya. "Semoga nama dan resep ini cocok. Jangan dikomentari," tambahnya.
Aku mengangguk, lalu mulai membaca tulisan di atas kertas itu;
Fallen Angel
• 1 1/4 cups all purpose flour
• 1 1/2 cups sugar
• 12 egg whites from large eggs ( enough for 1 1/2 cups)
• 1 1/2 teaspoon cream of tartar
• 1/4 teaspoon salt
• 1 1/2 teaspoons vanilla extract
Preheat oven to 350 degrees. Line cupcake pans with paper liners.
Place egg whites in a large mixing bowl and beat at high speed until egg whites are frothy, approximately 1 minute.
Add cream of tartar, salt and vanilla to egg whites. Mix at high speed until egg whites are almost stiff, approximately 4 minutes.
Add 1 cup of sugar gradually while mixing on low speed. Scrape bowl.
Mix flour and remaining 1/2 cup sugar together and spoon 1/4 of mixture over egg whites, folding gently between each addition.
Pour batter into cupcake liners until they are 2/3 full. Bake for 20 to 25 minutes or until tops are golden brown and cracks are very dry.
Cool cupcakes completely before removing from pan.
***
--
(oleh @monstreza)
13 September 2011
Little Magdalena: Prolog
"Itu namanya?" tanyaku sambil menunjuk papan itu.
"Iya." Jawab Indi.
"Seperti judul opera sabun."
"Whatever.Aku sudah memikirkan nama itu berbulan-bulan. Magdalena berarti cupcake dalam bahasa Spanyol."
"Kenapa tidak membuka kedai kopi saja?" aku kembali bertanya sambil menyeruput minuman di tanganku."Kedai kopi selalu jadi tempat romantis bagi banyak orang," lanjutku kemudian."Ada yang menyebutnya tempat menunggu, tempat bertemu kembali, tempat selingkuh, tempat sepasang kekasih yang mau balikan, dan banyak lagi," aku terus mengoceh."Kau ingat-ingat saja, ada berapa film atau buku yang selalu menjadikan kedai kopi sebagai salah satu setting adegan romantis?"
"Sangat banyak," jawab Indi sambil tersenyum. "Aku juga suka menonton film-film seperti itu. Tapi di daerah ini sudah ada kedai kopi. Lagipula aku lebih tertarik dengan cupcake. Aku membaca banyak buku tentang itu. Cara membuat cupcake, takaran-takaran yang tepat untuk membuat krimnya, rahasia di balik topping-topping cantik dan menggoda itu. Ada banyak lagi. Cupcake tak boleh hanya terlihat indah, cantik, dan menyenangkan dari luar, tapi juga harus lembut dan manis di dalamnya. Seperti itu seharusnya kita jadi manusia bukan?" "Oh. Jadi itu makna filosofisnya? Boleh juga."
"Kurang lebih demikian."
Aku mengangguk tanda paham. "Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi. Kenapa tempat ini tidak coba kamu buka 24 jam?"
"Cesa," Indi menatapku sambil menahan senyum. "Mana ada toko cupcake buka 24 jam? Orang-orang mungkin hanya akan datang di pagi hari, beberapa mungkin saat jam makan siang atau sore hari sepulang kantor. Sisanya mungkin akan datang pada malam hari. Tapi tak sampai jam sepuluh malam mungkin mereka sudah pulang. Tak akan sampai larut malam, apalagi begadang di sini."
"Ah sayang sekali. Padahal 24 itu angka penting."
"Maksud kamu?"
"24 itu angka penting," ulangku. "Pernah kubaca di buku. 24 adalah awal yang baik. Ada banyak pasangan memutuskan menikah di usia 24, ada juga orang-orang yang memulai babak baru kehidupan mereka setelah terpuruk di usia 24.."
"Sebentar," potong Indi. "Aku juga pernah membaca itu. Tapi bukannya life begins at 30?"
"Ah. Itu kan bisa-bisanya mereka yang belum ngapa-ngapain sampai umur 30."
"Hmm.."
"Dan kamu juga pasti tahu," lanjutku makin antusias. "Ada banyak orang terkenal yang sedang dalam masa keemasan, namun sayangnya mereka meninggal di usia 24."
"Oh ya? Aku baru dengar cerita seperti itu."
"Kurt Cobain, Jimmy Hendrix, Janis Joplin, Amy Winehouse.." Jelasku. "Sepertinya masih ada beberapa orang lagi. Publik menamakan mereka Club 24."
"Ngarang!" Ketus Indi. "Itu Club 27!"
"Ya ya ya. Club 27," aku mengangguk. "Kamu bisa buka toko ini 27 jam."
"Cesa!" cetus Indi sebal. Nada bicaranya mulai merajuk. "Seriuslah sedikit. Kali ini aku benar-benar perlu bantuan kamu."
"Oh. Oke. Jadi kita akan serius mulai sekarang."
"Toko ini baru akan resmi dibuka bulan depan," Indi mulai menjelaskan. "Aku punya beberapa menu utama yang belum ada namanya. Kamu bisa bantu? Biasanya kamu pintar untuk urusan seperti ini. Di laptopmu ada banyak kalimat keren untuk judul cerpen kan? Daripada kalimat-kalimat itu cuma mentok jadi judul, padahal cerpennya nggak selesai-selesai, bagaimana kalau itu dijadikan nama beberapa menu di sini? "
"Nggak mungkin," aku menggeleng. "Mana bisa cupcake diberi nama 'Kita Pernah Saling Jatuh Cinta dan Bersikap Seolah Tak Ada Apa-apa', atau 'Kugenggam Tangannya di Transjakarta', atau 'Cinta Kita Menyala Saat Bandung Gelap Gulita' ? Sangat aneh." Tukasku. "Aku hanya bisa membuat judul cerpen, bukan nama kue. Aku tak pintar memilih nama, apalagi nama kue."
"Aku lebih tak pintar lagi."
"Kalau itu aku sudah tahu," ujarku sambil tersenyum. "Little Magdalena itu sudah cukup membuktikan. Nama toko kue ini terdengar lebih seperti judul opera sabun Meksiko. Tapi bolehlah usahanya."
"Cesa. Please."
"Begini saja," lanjutku. "Kuceritakan beberapa kisah yang sedang kusiapkan untuk buku pertamaku. Di akhir tiap cerita, kamu bisa tentukan sendiri, tarik kesimpulan atau makna filosofis dari tiap cerita, lalu kamu pikirkan sendiri nama yang tepat buat satu menu."
"Susah."
"Kalau nggak dicoba ya memang susah."
"Aku nggak pintar mengarang cerita." Ujar Indi. "Kamu sajalah yang menentukan."
"Dicoba dong. Dibikin gampang." "Nggak semua hal bisa dibikin gampang." "Kalau bisa dibikin gampang, kenapa dipersulit?"
"Gampang dan ngegampangin itu beda."
"Lah! Yang nyuruhngegampangin siapa?"
"Oke. Oke." Indi akhirnya mengalah. "Kali ini aku yang mengikuti permainan kamu. Tiap akhir satu cerita, akan kutarik kesimpulan, makna filosofisatau apapun itu, lalu kutentukan sendiri nama untuk menunya. Begitu permainannya bukan?"
"Benar." Jawabku sambil tersenyum dan menyikut lengannya pelan."Ternyata kamu tidak berubah."
"Apanya tidak berubah?"
"Hampir setahun kita nggak ketemu.." jawabku."Kamu tetap pintar dan..."
"Dan apa?" tanya Indi.
"Cantik."
Kali ini dia tidak bertanya lagi, tidak juga berkomentar apa-apa. Tapi cubitannya langsung mendarat di lenganku bertubi-tubi. Akhir adzan Isya sayup-sayup terdengar dari speaker masjid yang letaknya tak jauh dari sini. Di dalam kepalaku mulai tergambar cerita pertama. Yang nantinya akan menjadi inspirasi Indi untuk nama salah satu menu di toko yang akan dibukanya mulai bulan depan ini.
***
---Oleh: monstreza