Tentang 30 Hari Cerita Cinta

30 September 2011

#16 Tanah Surga di Utara Indonesia




 Tanah Surga di Ujung Utara Indonesia
Pertama kali aku menginjakan kaki di Pelabuhan MS Lastori, Daruba Morotai sinyal-lah yang aku cek terlebih dahulu, kepergianku kali ini benar-benar berbeda dari biasanya. Rasanya aku ingin selalu mendapat kabar dari si centil (Naya) dan memberikan kabar tentang diriku padanya, sesuatu yang jarang sekali terpikirkan olehku sebelumnya. Aku benar-benar heran sama diriku sekarang ini, seolah-olah aku seperti anak muda yang pertama kali harus berpisah dengan kekasihnya. Mungkin semua karena biasanya Naya sering ikut setiap aku bepergian yang cukup lama, tapi sudahlah aku harus professional dalam bekerja dan aku harus menerima resiko itu. Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, sudah keinginanku sedari dulu mengerjakan sesuatu untuk bangsa dan tanah airku dan sekaranglah kesempatanku untuk mewujudkan itu. Berawal dari Tony teman kerjaku yang sekarang juga berangkat bersamaku mengabarkan pekerjaan ini kepadaku minggu lalu, sebuah pekerjaan dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata yang menugaskan kami mengorek sebanyak-banyaknya seluruh aspek budaya, sejarah, kesenian masyarakat Kepulauan Morotai. Semua terkait rencana pemerintah mempersiapkan promosi Sail Morotai 2011dan aku sangat antusias untuk itu, mengapa? Karena berarti pekerjaanku disini jalan jalan dan menjelajah. hehehe.(Padahal emang itu kerjaanku selama ini).
"Hallo Sayang, aku udah di Morotai nih. Sumpah di tempat bagus banget Nay", Kataku kepada Naya melalui telepon.
"Wah Sayanggggg. Iya hadeuhh iriii. Hihihihi. Tapi gak deh aku lebih seneng ngurus rumah sama Jerami, ih kok aku juga jadi seneng ya lama-lama di Jerami. Tapi kita sewaktu-waktu harus ke Morotai lagi ya len.", Cerocos Naya seperti biasanya.
"Iya siap komandan. Hehehe. Eh kamu jadi ikutan seneng ke Jerami? Baguslah, jadi Jerami ada yang ngontrol selain Ahmad. Nay maaf ya aku harus pergi ditengah-tengah kebahagaiaan kita ngurus rumah. Hehehe."
"Gak apa-apa sayang, kalo kamu gak pergi nanti kita makan apa. Hihihihi", Sahut Naya ringan.
"Ih dia malah bercanda, huhh",
"Iya sayang kan emang kerjaan kamu, aku akan selalu mendukung dan tidak akan pernah keberatan. Lagian Cuma dua minggu ini, iya kan?", Tanya Naya.
"Hmm.. mudah-mudahan, hehehe. Yaudah nanti aku kabarin lagi ya, gak enak telepon ditengah-tengah orang banyak gini. Mungkin besok-besok bakalan susah sinyal nih soalnya aku bakalan masuk-masuk ke pedalaman. Hehehe.", Ucapku kembali.
"Oke sayang, semangat ya, ati-ati! Jangan lupa sering-sering minum vitamin dan kalo bisa minta suntik malaria di Rumah Sakit disana ya Len. Muuuahhhh", Sahut Naya.
"Oke sayang terima kasih buat support dan kebawelannya. Hihihihi.. Muuuaaaahhh.", Jawabku.
"Daghhhh.. Oiya salam buat Leo ya Len, tanyai rambutnya udah lurus belum?hehehe"
"Oke nanti aku sampein ke Leo. Daghhh"
Tetapi aku berpesan bagi semuanya yang punya uang sedikit lebih cobalah berwisata ketempat ini (Morotai), aku jamin kalian akan melihat surga yang nyata. Morotai benar-benar sebuah untaian mutiara di wilayah paling Utara Nusantara ini. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah Utara, Laut Halmahera di sebelah Timur, Selat Morotai di sebelah Selatan dan Laut Sulawesi di sebelah Barat Morotai membentang dengan  luas 474,94 kilometer persegi atau secara prosentase hanya 10% luas tetangga terdekatnya, Kabupaten Maluku Utara. Morotai memiliki segalanya untuk menjadi surge dunia pariwisata alamnya yang eksotis, laut dan wisata baharinya yang luar biasa, kebudayaan lokalnya yang luhur serta masa lalunya yang banyak menceritakan kepingan-kepingan Perang Dunia II. Decak kagumku tak henti-hentinya melihat lautnya yang bening dan langitnya yang memancarkan warna warni memesona.

"MOROTAIIIIII", Seketika aku berteriak lepas yang pastinya membuat bukan hanya kawanku tetapi orang lain disekitarku melonjak kaget. Hahahaha.

"Astaga.. kenapa kau Len??", Tanya Leo dengan muka yang heran.
Leo adalah temanku yang aku kenal dari 2 tahun lalu ketika kita sama-sama melakukan riset sejarah mengenai petani tembakau di Temanggung. Alexio Junior Baobalabuana nama aslinya, ia berasal dari Maumere Nusa Tenggara Timur namun sekarang ini ia tinggal bersama anak dan istrinya di Bandung. Leo tinggal di Bandung karena dahulu ia kuliah di jurusan sejarah Universitas Padjajaran dan kebetulan mendapatkan jodoh mojang Bandung.

"Hahahaha.Gak apa-apa Le, aku Cuma heran aja apa yang lagi dirasain Tuhan ya waktu buat nih tempat, benar-benar bikin mangap", Ujarku.

"Ah kau ini benar-benar gokil Len, masa kau teriak ditengah-tengah orang banyak gini.. hahaha", Sahut Leo sembari terkekeh.

"Kita kemana nih Le, dijemput kan ya sama orang sini?", Tanyaku.

"Ia katanya ada orang dari Pemda sini yang bakalan nemenin kita muter-muter untuk dua minggu kedepannya, tapi aku juga gak tau orangnya yang mana. Aku cuma dikasih nomor teleponnya doang, namanya tau siapa. hahaha", Sahut Leo.

"Yaudah Telepon deh Le, biar kita bisa istirahat. Eh ini kita jadwal ke Hotel dulu kan?", Tanyaku.

"Iya aku mintanya gitu len ke meraka, trus kita ketemu merekanya besok aja pagi-pagi", Jawab Leo.

"Okelah", Kataku singkat.

"Oiya tadi dapet salam dari Naya le, kata dia rambutmu udah lurus belum? Hahaha"

"Ah sial Naya, suruh dia rebondingin rambutku baru bisa lurus. Hahaha", Candanya.

Perjalanan ke Morotai yang melelahkan langsung tergantikan dengan pemandangan yang tervisualkan oleh mata disini. Ada beberapa alternative untuk mencapai "surga" ini, tetapi perjalanan yang kami tempuh merupakan jalur yang tercepat dan termudah yang bisa dicapai dari Jakarta. Kemarin lusa aku dan Leo flight dari Jakarta menuju Manado, mengapa Manado? Karena hanya dari Ternate dan Manadolah yang memiliki trayek penerbangan menuju Bandar Gamar Malamo di Galela, dari Galela kita harus menempuh perjalanan darat ke Tobelo, Halmahera Utara, dan mengapa ke Tobelo? Karena dari Tobelolah kita bisa menuju Morotai lewat laut. Sebenarnya dari Ternate menuju Tobelo bisa ditempuh melalui jalan darat saja, akan tetapi waktu yang diperlukan sekitar 5 jam, dan kami tidak memiliki cukup waktu untuk itu walaupun sebenarnya aku dan Leo lebih menyukai jika jalur itu yang bisa kami pilih. Hehehe. Penerbangan peswat dari Manado ke Galela hanya ada pada hari selasa, kamis dan sabtu, dengan begini jadilah kemarin kami singgah di Manado satu malam menunggu penerbangan esok hari. Pesawat yang digunakan adalah pesawat kecil jenis Dornier 328 berkapasitas 30an orang, setelah tiba di Galela kami menempuh perjalanan darat ke Tobelo untuk kemudian menaiki speed ojek yang berkapasitas 10 orang. Sebenarnya tersedia juga kapal ferry untuk menyebrang ke Morotai namun jadwalnya hanya seminggu sekali dan pasti memakan waktu yang cukup lama, sedangkan menggunakan Speed ojek kita tidak akan terbentur oleh jadwal karena pemberangkatan tersedia setiap waktu hanya saja memang jauh lebih mahal jika kita menggunakan ferry. Bisa dibayangkan bukan betapa jauh dan melelahkannya perjalanan kami, tapi seperti yang sudah aku katakana sebelumnya bahwa semuanya sirna dengan apa yang kita lihat disini.

"Len, itu tuh orangnya, Namanya John. Ayok kita samperin", Kata Leo membuyarkan lamunanku.

"Oh itu, kok mirip ma kamu Le, hahaha", Sahutku sambil bercanda.

"Hahahaha. Sial kau Len, tapi iya juga sih ya", Jawab Leo sembari bercanda juga.
Tetapi benar-benar mirip wajah antara temanku Leo dan John ini. Hahaha.
Oke mungkin sampai sini dulu deh ya cerita singkatku tentang Morotai, besok-besok aku akan ceritakan kembali sedikit tentang apa yang akan aku jumpai disini. =)
Tanah Surga di Utara Indonesia
Nalendra Jaleswara




~ (oleh @sthirapradipta)

#9 I am a Next-level Phobic

Sejak kejadian republik curcol, apa yang terjadi antara gue dan Ian makin ngalir dengan natural. We both like two open books. Apapun yang kita pikirin dan rasain, gampang banget dishare satu sama lainnya. Gue tahu semua bab dalam hidup Ian.

Dibesarkan dalam lingkungan single parent, sejak Mamanya meninggal dunia setelah melahirkan adik laki-laki Ian yang berbeda 3 tahun di bawahnya. Ian si anak tengah, tumbuh jadi anak yang menggantikan peran Mama. Jago urusan rumah tangga, pembawaan ceria, dan tenang menghadapi setiap konflik yang datang. Papa dan Kak John (kakak Ian yang kini sudah berusia 32 tahun), sejak dulu bekerja keras menopang ekonomi keluarga. Kebayang aja, Ian bercelemek dan menggoyang-goyangkan wajan memasak makan malam keluarga. Meet the Domestic God himself!

Kehadiran Mawar yang nyaris nggak terganti sebagai cewek terdekat dalam hidup Ian, didukung juga sama karakter Ambu, ibu Mawar yang begitu dihormati Ian sebagai pengganti Mamanya. Mawar yang awalnya seperti adik perempuan yang begitu manja, lama kelamaan menguasai isi hati Ian saat mereka beranjak remaja. Hingga satu menit yang lalu, Ian menyinggung Mawar yang sekarang menjalin hubungan dengan Kris, teman SMA Ian yang sekarang menetap di Inggris dan sekampus dengan Mayang, ada rindu terbersit dari nada suaranya.

Tantangan besar buat naklukin satu paket cowok yang ada di sisi seberang cerminan diri gue sendiri. Bayang-bayang mantan bukan seekor kecoa yang bisa ilang dengan satu tepokan maut dari sandal jepit. Membuat Ian melupakan Mawar bakal bikin kepala gue botak seketika dan Shampo Metal pun belom tentu bisa numbuhin balik. Mendorongnya mengikhlaskan Mawar sebagai satu titik di garis kehidupannya, mungkin bisa jadi pilihan yang lebih bijak. Peluang berhasilnya ?

Tak ada hil yang mustahal.

Kata-kata khas dari alm. Timbul, punggawa Srimulat favorit gue sepanjang masa. Sebuah keyakinan yang gue bawa sejak gue bisa pake otak gue dengan bener. Jadi alasan kenapa gue bikin kaos bertuliskan itu, yang sekarang gue pake buat nyemangatin diri hari ini. Yup, today is THE DAY. Tepat sebulan sejak pertemuan gue dan Ian di Perky Park. 30 hari kita masing-masing tahu bahwa Ria Jenaka dan Euforiano Semesta hidup di dimensi yang sama.

Resmi pula minggu lalu, atasan gue jadiin hal yang selama ini gue karang sebagai alasan semu biar bisa ketemu Ian beneran jadi nyata. Now, I have my own column. 8 hari setelah pertemuan pertama gue dan Ian, partikel tentang jajanan anak SD masuk ke proses pembuatan. Kita berdua berburu jajanan sambil jalan-jalan dari satu SD ke SD lainnya. Satu hari agendanya makan, makan, dan makan. Lucunya, Ian mutusin nggak bawa mobilnya dan ngajak gue naik sepeda lipet. Jadilah kita dua makhluk berkeringet, kelaperan, pecicilan, pokoknya nggak kalah rusuh sama bocah-bocah nakal berseragam putih-merah. Sebagai penutup, Ian ngajak gue ke salah satu toko milik temen kecilnya yang ternyata ngejual berbagai cemilan jadul, dengan merk-merk favorit gue masa kecil dulu. Referensi jempolan untuk artikel yang dibuat dari hati, tsaaaah!

Hasilnya? Artikel gue mengalir natural bagai anak kecil ceriwis bercerita. Rubrik tambahan yang pada peluncuran uji coba, mendapat sambutan bagus dari clickers. Seminggu sekali gue harus nyetor satu cerita perjalanan kuliner yang dikemas dengan penuh humor, boleh ditemenin sama orang-orang pilihan gue. Syaratnya, pendamping gue itu harus orang yang bisa bikin cerita makin menarik buat diikuti. Finally, I get the chances to explore my creative/wacky ideas.

Siapa yang harus gue kasih ucapan terima kasih? Ya, cowok beruntung yang hari ini gue janjiin bakal gue traktir makan sampai melotot kekenyangan. Dia yang menerbitkan pelangi di langit hidup gue akhir-akhir ini. Hari ini gue pengen tahu, berapa fakta baru lagi tentang Ian yang bisa kasih kejutan di memori gue?

Yan, gue udah di OISHII nih. Where r u?

Gue kirim BBM ke Ian secepat kilat. Rakusaurus, dino garang yang hidup di dalem perut gue udah meronta-ronta super liar. Ian pun belum tampak secuil batang pun (nggak cuma batang hidung maksudnya). Sementara, aroma ramen dan udon yang menggoda sibuk bersliweran di depan indera penciuman gue. Tuh kan, bentar lagi gue perlu manggil mobil sedot iler buat ngilangin bukti-bukti ke-mupeng-an gue ke hidangan tamu-tamu di meja sebelah.

TRING!

Ada pesan baru masuk ke BBM gue. Kali ini sebuah foto. Gue bertopang dagu sambil melihat mangkok ramen di meja sebelah dengan ekspresi, "Pak, kasian Pak. Dari pagi belum makan." Diperbuas dengan sebuah judul, "Menunggu : Ternyata Melaparkan". Pengirimnya sekarang udah berdiri di depan gue sambil nyengir jahil. "Makanya Ri, gendong selalu blek kerupuk. Biar kalo kelaperan pas nunggu, lo bisa sambil kriuk-kriuk. Garingnya ada bentuknya. Bulet, putih, bolong-bolong," celetuk Ian asal-asalan. Gue bales dengan sama ngaconya, "Sekalian, Yan. Gue bawa juga tali rafia. Bikin balap makan kerupuk, kriuk-kriuk itu asyiknya rame-rame. Pemenang dapet cium mesra plus sapuan kumis baplang dari Pak Kades!"

Haduh. Laper malah bikin kita berdua garingnya diabisin sendiri. Nggak dibagi sama si kerupuk. Sabar ya, puk.

OISHII ini salah satu tempat makan yang lagi hip karena menu ramen dan udon yang pas dengan lidah orang Indonesia. Belum lagi ada keistimewaan, bisa dibikin pedes sesuka hati. Bukan pake cabe bubuk, tapi ramuan sambal cabe rawit merah yang dimasukin langsung ke kuahnya. Biasanya, kalo gue lagi pusing berat pasti pergi ke sini. Tendangan kuah cabe bisa ngelancarin otak, itu teori ala dokter Puyeng bin Mumet. And it works.

Pengecualian pada hari ini, gue nggak lagi pusing sama masalah. Well, mungkin pusing sama perasaan di hati gue, ya. Semakin gue deket sama Ian, semakin gue kenal sama hal-hal di hidupnya, ada perasaan takut tiba-tiba tumbuh. Takut nggak nemuin Ian yang bahagia di deket gue. Takut ngeliat Ian tiba-tiba mellow lagi kalo main hati salah strategi. Takut kalo di antara semua yang seems too good to be true, satu kejadian bisa mengubahnya 180 derajat. Darn! I become a next-level-phobic.

Kita berdua sebenernya udah jadi diri kita sendiri saat berhadapan satu sama lain. Masalahnya, apa satu bulan itu cukup buat naik ke level selanjutnya? Atau kenyamanan di posisi kita sekarang udah cukup baman? Yah, paling nggak meminimalkan konflik berbau asmara dan resiko patah hati, deh. Man, I should have that risk-counter software like Ben Stiller's character had on Along Came Polly movie. Apa perasaan bisa dihitung probabilitasnya bak bursa taruhan William Hill? Voor setengah, menang di atas kertas, empat berbanding satu? Ah, ini seperti memprediksi kapan Indonesia masuk Piala Dunia sepakbola, buram!

 "Ri! Mau pesen apa? Kok malah bengong?" sahut Ian membuyarkan pikiran gue yang malah window shopping kemana-mana. "Udah, gue makan apa aja pesenan lo, Yan. Hari ini berhubung gue yang traktir, you can choose whatever you like. Gue kan omnivora, semua juga ditelen," ujar gue cepat. "Your wish is my command, Sugar Momma!" seru Ian dengan muka berseri-seri seperti anak kecil yang baru dibeliin Anak Mas dan Coklat Jago.

Tidak sampai 10 menit, gue dan Ian sudah mulai menikmati makanan dan minuman kita masing-masing. Ian pun bercerita tentang apa yang terjadi pada hidupnya beberapa hari terakhir ini. Ternyata ada penerbit yang menawarkannya untuk menulis novel komedi dan temen-temen stand up comedy­-nya pun mengajaknya keliling beberapa kota untuk mencari fresh comedian talent sebagai penggerak komunitas komtung alias komedi tunggal di kota-kota tersebut.

"Gue lagi ngebut di jalan tol, nih. Rasanya mulussss!" seru Ian mengungkapkan kegembiraan akan kejutan-kejutan manis di hidupnya saat ini. "Sekalian, Yan. Mampir ke Indah Perkasa, trus elus-elus tegel keramik di sana. Pas mulusnya," celetuk gue sambil nyebut salah satu toko bangunan di deket kos. "Siaul lo, Ri! Diem-diem jadi sales-nya Koh Ahin buat jualin ubin?" tanggap Ian ke omongan asal gue. Gue cekikikan, nyadar kalo obrolan kita berdua udah ngelantur dari Sabang sampai Merauke. Sarap kronis!

Sambil nikmatin dessert es serut dengan sirup merah, hidangan  khas Jepang di musim panas, topik pembicaraan mendadak jadi serius. "Ri, lo fobia sama kebaya nggak?" tanya Ian dengan tatapan menyelidik. Nah lho, mau disuruh apaan lagi nih gue. "Nggak sih, asal pas kondean kepala gue jangan dikupas aja sama periasnya. Nyasaknya yang manusiawi," jawab gue mantap. Sempet terlintas di otak gue, jangan-jangan gue mau diajak stand up sambil pake kostum mbok jamu model Juminten-nya Lika Liku Laki-laki gitu. Gokil bener.

Ian pun melanjutkan, "Bulan depan, sepupu gue mau nikah. Gue kebagian jadi pager bagus. Gue sih mau-mau aja, cuma ternyata buat pasangan pager ayu-nya gue harus cari sendiri. Gue kepikiran lo aja yang temenin gue. Gimana? Bisa, Ri?"

ASTAGAULARNAGAPANJANGNYABUKANKEPALANG!

Lengkap sudah fobia next-level gue. Takut ngelangkah "lebih dari temen", ini malah muncul berpasangan di tempat yang justru bikin kita jadi sorotan, pesta kawinan keluarga. Perfecto. I am totally doomed. Siap-siap denger dua kata paling menyebalkan di dunia, "Kapan kawin?"

But, I have no other choice. Gue tersenyum sambil mengiyakan. Padahal ada tetes keringet segede biji duren nangkring di ujung dahi gue, mirip seperti di komik-komik Jepang.

Mendadak, Ian seperti bisa baca kekhawatiran gue. Tangannya yang kokoh, memegang tangan gue, sambil berkata penuh keyakinan, "Lo boleh kok bagi grogi lo ke gue. We'll find a way to get through that day. Nggak usah peduliin kalo ada keluarga gue yang iseng nanya-nanya. Anggep aja itu pertanda mereka welcome sama lo. Justru gue ajak lo karena lo pasti bisa bikin suasana asyik, seboring apapun acaranya nanti."

"Lo yakin nggak takut gue bakal ngerebut mike dan mulai ngebor sambil nyanyi lagu Inul di panggung?" tanya gue iseng. "Nggak, Neng. Ntar Abang ikut naik juga jadi Satria Bergitar. Ter-la-lu!" sahut Ian sambil tertawa. "Kalo perlu, kita duet aja, jadi Benyamin S sama Ida Royani. Eh ujan gerimis aje, ikan teri diasinin..." sambung Ian sambil mulai berdendang lucu.

"Oya, Ri. Gue lupa mau kasih lo ini," Ian menyodorkan sebuah tas kain. Gue merogoh isinya. Ternyata beberapa foto yang diambil saat kita berpetualang jalan-jajan waktu itu. Ian mengeditnya dan menaruhnya di dalam frame berukuran 4R serta 6R. Ada foto gue menikmati permen kapas sambil tertawa, foto Ian main gamewatch di abang tukang mainan dengan muka (sok) serius, dan foto kita berdua bermain ayunan di salah satu sekolah yang kita datengin. Untuk foto yang terakhir, Ian meminta salah satu temannya memotret. Kebetulan kita bertemu di SD itu dimana temen Ian yang bernama Rudi, sedang menjemput keponakannya pulang sekolah.

"Simpen ya, Ri. Biar lo nggak takut  lagi," ucap Ian sambil mengedipkan mata. Gue tersentak. Apa Ian tahu keparnoan gue sekarang ini? "Takut?" tanya gue hati-hati. "Iya, biar lo nggak takut lagi sama tikus-tikus nakal di kos. Kan sekarang udah ada pengusir yang lebih mantep dari ikan asin beracun," jawabnya sambil tertawa berderai. Ah, rupanya Ian nggak sadar. Baru aja dia sempet bikin jantung gue berhenti berdetak.

Sejenak, fobia gue mulai terkikis oleh kehangatan dan support Ian. Cinta platonis, cinta diam-diam, cinta bertepuk sebelah tangan, gue mau mulai nggak peduliin dan stop menerka-nerka "masuk ke mana hubungan gue dan Ian saat ini".

We're happy together and it's all that matters.

Oke, besok harus mulai belajar pake high heels. Nggak mungkin gue pake sneakers Converse merah andalan di balik lilitan kain itu. Pelatnas jalan jinjit dibuka besok!




-sambunglagiesokhari-




~ (oleh @retro_neko)

#18: Greatest Sin

Ketakutan adalah hal pertama yang menyergapku begitu sampai di apartemen Ares.
Ini secara harfiah. Aku baru menyadari apartemennya yang terletak di kawasan 5th Ave ini adalah tempat dimana Fi ona dibunuh. The most shockingly thing: Ares tinggal di ruangan nomor 1456 – tempat dimana ibu Fiona tinggal dan tewas, lalu di salah satu koridornya... Fiona tewas terbunuh.
Glek.
Aku sempat berhenti dan mengawasi tempat kejadiannya. Hawa di sini memang berbeda – tengkukku langsung menegang. Pintu dengan nomor 1456 tidak jauh dari tempatku berdiri, aku ingin cepat berjalan ke sana— Handle pintu berputar; aku refleks bersembunyi di balik dinding. Seorang wanita muda berambut pirang kecokelatan keluar dengan tas besar di tangannya. Dia tersenyum pada Ares yang berdiri di depan pintu dan melambaikan tangan sebelum pergi ke dalam lift. Dahiku mengerut penasaran.
Tanpa membuang waktu, aku keluar dari tempat persembunyian dan kepala Ares menoleh padaku. Senyumnya seperti peluru yang menembus lututku.
"You know what? Belokan tadi..." Tangannya menunjuk ke belakang. "Itu tempat aku sembunyi sebelum Fiona—"
Aku mendesis ketakutan. "Boleh aku masuk sekarang?"
Ares mempersilakanku masuk. Untuk ukuran sebuah apartemen, ini terlalu mewah untuk Ares. Hampir dua kali lipat lebih luas dari apartemenku, tapi... tetap, Ares yang minimalis. Emh, dan hawa di sini tidak sehoror di luar tadi.
"Ares..." aku mengekornya ke ruang santai "...if I'm not mistaken, ini tempat pembunuhan itu, kan?"
"Iya, ini apartemen ibu Fiona dulu," sahutnya sambil mematikan oven dan mengeluarkan seloyang lasagna dari sana. "Dua tahun sejak pembunuhan itu, nggak ada yang bersedia nyewa tempat ini. Baru satu tahun yang lalu, ada dua-tiga orang yang nyoba, tapi nggak bertahan lama. Sampai akhirnya, aku datang dan pemilik apartemen ini menawarkan harga yang sangat miring untukku."
Aku melongo tidak percaya. Ares bertahan di sini selama dua tahun! "Hebat." 
"Not really. Selama lima bulan pertama, aku juga sempat merasakan kehororan itu. Bahkan dua kali lipat dari penyewa-penyewa sebelumnya. Mulai dari suara tangisan, derap langkah kaki misterius, benda jatuh—"
"AREEEES!!!"
"Oke, maaf, maaf!" Ares terkekeh melihatku ketakutan. Kemudian, dia menaruh lasagna tadi di atas meja. "Seharusnya, aku nggak nakut-nakutin orang yang lagi ulang tahun hari ini."
Mataku mengerjap. Ares ingat. DIA INGAT ULANG TAHUNKU!
"Kamu ulang tahun, kan hari ini?" tanyanya lagi sambil memotong lasagna sebagai pengganti kue. "Emh, maaf kalau aku terkesan dingin di New York Times tempo hari. *I was shocked, really. I thought you wouldn't wanna meet me*."
Dugaan Adrian benar. "It's okay, Ar dan, ya, hari ini ulang tahunku yang ke-23."
"Hronia polla!" serunya yang membuatku bingung. "Oh, that means 'a wish to live many years' in Greek. Aku baru tahu kalau orang-orang Yunani jarang mengatakan happy birthday. Arty told me."
"Tapi... aku kan bukan orang Yunani."
Kami tergelak dan suasana mulai mencair. Seketika itu juga, aku lupa tujuanku ke sini adalah untuk interview. Aku terlalu larut dengan memori-memori itu. Aku sangat merindukannya, lebih dari yang pernah kuduga selama ini.
.
"Kemeja itu mengundang kontroversi," ujar Ares yang sekarang duduk di sampingku. "Karena, aku sering memakainya sekitar tiga bulan pertama saat bekerja. Jadi, begitu teman-teman jurnalisku lihat kamu yang pakai kemeja itu..."
Aku nyaris tersedak mendengarnya. "Mereka nyangka macem-macem?"
"Sort of dan aku tidak bisa berbohong karena gaya kemeja seperti itu sudah jarang ditemukan zaman sekarang. Rumor mulai berkembang." Ares menyeringai.
"Di sisi lain, ternyata rumor itu malah menyelamatkanku. Karena gagal mewawancarai kamu, aku sempat kena teguran. Tapi, begitu editor in chief mendengar rumor kemejaku, dia malah menawarkan sebuah kesempatan."
"Apa yang dia tawarkan?"
"Sebenarnya, aku merasa keberatan untuk menerima tawaran itu dan takut kalau kamu akan menolaknya juga," Ares meringis, lalu menatapku hati-hati. "Dia ingin aku menulis artikel tentang... kita. Bagaimana kita bisa saling mengenal. Kamu tahu sendiri, kan, dunia jurnalis sangat mengekang kepalsuan. Sementara aku juga nggak bisa mengumbar privasi hubungan kita dulu."
Tentu saja itu akan menekan Ares karena dia sangat menjunjung tinggi privasi. Namun, di sisi lain, aku juga bertanggung jawab untuk menyelamatkan pekerjaannya.
Mataku terpejam sejenak. "Kita berada di dunia yang sama, Ar. Menulis fiksi dan non-fiksi pada dasarnya harus mempunyai pegangan dulu. I write a semi-fantasy fiction novel and you write an article – both of us need to have the main point. Aku pikir, untuk artikel ini, kita harus punya  satu pegangan supaya nggak meleber ke mana-mana. Our love life or my passion to write that you'll want to write?!"
Senyumnya merekah dan membuat pipiku memanas. Tenang, Dita, tenang. "Hmm, I got the point. Mungkin aku bisa menceritakan garis besar hubungan kita dan setelah itu masuk ke bagian di mana kamu mendapat ide untuk menulis Athena's Diary. Umh, kamu nanti bisa, kan, kirim email tentang inspirasi yang membuat kamu terdorong untuk nulis novel itu?"
Kepalaku mengangguk mantap. "Deadline-nya kapan?"
"Lusa. Jadi, aku mohon, secepatnya."
Selanjutnya, kami menikmati lasagna dalam diam sampai habis. Telingaku menangkap rintik air hujan yang mengetuk-ngetuk jendela. Kepanikanku muncul begitu hujan turun semakin deras.
"Kenapa?" tanya Ares dengan mata tertuju ke luar. "Hujan? Kamu bawa payung, nggak?"
Mampus! "Ng-Nggak. Biar aku minta jemput aja..."
"Biar aku yang anterin kamu pulang, 'kay?" potongnya cepat. "Tapi, kita tunggu sampai hujannya reda dulu. Well, mau kopi?"
Kami pindah ke dapur untuk meracik kopi. Ares menceritakan pertemuannya dengan Eris, gadis berambut pirang yang kulihat keluar dari apartemen tadi, yang ternyata adalah sahabat Fiona. Semua bungkus kopi yang berada di konter dapur adalah pemberian dari Eris yang mempunyai coffee shop yang dibangun atas 'wasiat' Fiona sebelum tewas.
"It reminds me with your season's circle theory," ujar Ares sambil mengaduk kopinya. "Sebagai tambahan, mungkin kita juga tidak akan pernah menduga dengan siapa kita membuat lingkaran itu."
Pelan-pelan, tanganku menuangkan latte syrup ke dalam kopi hitam. "By the way, Ar, kenapa kamu mutusin buat ngasih undangan itu ke Adrian?"
"Nah!" Ares lagi-lagi meringis. "Itu benar-benar di luar dugaanku. Waktu dia bilang kalau kalian berteman, aku bukan hanya sekedar kaget, tapi... dari sorot matanya..."
Aku menelan ludah – baru ingat kalau Ares juga psikolog. 
Salah satu alisnya terangkat dan menatapku penuh selidik. "Kalian pernah kencan?"
"NGGAK, nggak! Kita..." Kepalaku menggeleng cepat. Aku jadi semakin gelisah karena Ares masih menatapku lekat-lekat. "Adrian itu... orang yang membantuku untuk bangkit setelah kita... putus."
"Ah, cukup jelas!" Dia menyesap kopinya. "Pantas kamu terlihat semakin baik setelah itu."
Bibirku mengerucut. Kamu salah, Ar! "Kamu sendiri gimana?"
"Memang sulit untuk bangkit sendirian, tapi aku sudah pernah ada dalam posisi itu. I let myself busy with college and jobs. So far... it helps me," jawabnya, meski agak ragu. Kami tidak bicara lagi, lalu menikmati kopi sampai habis.
Kepala Ares melongok ke arah jendela untuk memastikan hujan sudah cukup reda. Lalu, dia mengambil kunci mobilnya di atas Mister Coffee. "Ayo! Nanti keburu deras lagi!"
Aku mendesah dan turun dari kursi. Secepat ini?
"Hei!" Tangan Ares tiba-tiba mengacak-acak rambutku. "Kamu baru roll rambut, ya?"
Cepat-cepat, tanganku mengangkat tudung jaket – menutupi kepala. "Umh, emang kenapa?"
"Hmm, kenapa aku juga hari ini cukuran, ya?" gumamnya.
Aku hanya tersenyum samar, lalu berjalan menuju pintu. Namun, saat tanganku baru terulur ke handle, tangan Ares meraihnya lebih cepat, menarikku ke belakang, dan mendorongku ke dinding.
Hatiku membuncah – seperti ada kembang api yang tersulut di sana dan meluncur ke atas saat Ares mencium bibirku. Dekapannya semakin erat, meski dia mengakhirinya tak lama kemudian. Nafas kami memburu seperti dua ekor naga di tengah keremangan malam dan derasnya hujan. Dahinya menempel pada dahiku – khas Ares yang paling kusukai.
Dia mencium rahangku dan berbisik, "Happy birthday, sweetheart."
Dan aku tidak bisa menahan diri untuk membalas ciumannya.


*Was there over before, before it ever began
*Your kiss, your calls, your crutch
*Like the devil's got your hand
*This was over before, before it ever began
*Your lips, your lies, your lust
*Like the devils in your hands
(The Feel Good Drag – Anberlin)


***


~ (oleh @erlinberlin13)