Tentang 30 Hari Cerita Cinta

Showing posts with label Senja Bersamamu. Show all posts
Showing posts with label Senja Bersamamu. Show all posts

03 October 2011

Selembar Masa Lalu

Aku masih berkutat di meja kantor. Lembur dan lembur lagi. Dua minggu ini aku selalu pulang di atas pukul delapan malam dan harus sudah di ruangan kerja pada pukul delapan pagi. What a life!

Sebuah berkas mengusik perhatianku. Ada nama Hendro Prabowo di sana. Aku penasaran. Hendro yang mana lagi ini? Kubuka berkasnya dan membaca alamatnya. Jalan Cendana nomor 9B. Dia! Ya Tuhan, dia masih tinggal di sana? Dengan siapa? Orangtuanya sudah wafat. Dia anak tunggal. Kekayaan yang pastinya berlimpah... Hanya dinikmati sendiri. Benarkah?

Aku mencoba melihat database di komputer. Ternyata Hendro termasuk pemain tender yang aktif dan (menurut istilahku) agak brutal dan nekat. Hampir 80% tender dimenangkannya. Semua bernilai triliunan rupiah. Terbesar sebuah tender rahasia yang dilansir senilai seratus triliun. Sebuah mega proyek. Aku sendiri tidak tahu apakah itu. Aksesnya terkunci.

Seorang Hendro yang bertubuh tinggi tegap, berkulit putih, pendiam, dan kurang suka bergaul. Hanya saja anehnya, relasi dia banyak sekali.  Aku sering membaca namanya di media cetak maupun online. Tapi, iya itu tadi, karena dia kurang suka bergaul alias tertutup, dia tuh gak ketahuan tinggalnya di mana. Hanya orang-orang tertentu yang diberi akses itu.

**

Aku tetap melamunkan Hendro hari ini ketika sedang menunggu Rico di McD Kemang. Sore yang macet, pastinya. Hujan, pula. Aku sudah mencoba menghubungi Rico, tetapi BB dan androidnya sama-sama tak aktif.

Saat aku hendak memesan segelas Cola untuk yang ketiga kalinya (yah, aku candu minuman berkarbonasi ini sekarang), kulihat sosok yang baru kupikirkan. Dengan setengah sadar, kukumpulkan keberanian untuk menyapanya. "Pak Hendro?"

Yang disapa menoleh. Dia mengerutkan dahinya dan seketika tampak terkejut. "Tania?"

Giliran aku yang terkejut. Dia ingat! "Ah, iya. Benar, Pak. Saya Tania."
"Sejak kapan kamu kaku dan resmi padaku?" tanyanya dengan pandangan tajam.
"Ya, saya pikir karena..." tenggorokanku seperti tercekat.
"Aku masih seperti dulu, Tania. Sama. Aku adalah Hendro yang dulu."
"Tapi rasanya sekarang berbeda."
"Ini kartu namaku. Hubungi aku di sini. Ini pin BB dan ini akun twitterku," Hendro menuliskan sesuatu di kartu namanya. Rupanya tak sembarangan orang bisa mendapat pin BBnya.

Aku menghela nafas. "Terima kasih, Pak..."
"Hendro. Tetaplah memanggilku begitu, Tania," pintanya sopan tetapi suaranya ditekan tanda tak mau dibantah.
Seseorang di sebelahnya membisikkan sesuatu.
"Oke, Tania. Aku harus pergi. Segera hubungi aku. Kita makan malam, secepatnya. Bye," Hendro mencium pipiku dan segera berlalu.

Aku masih terpana ketika Rico menepuk pundakku. "Heh! Baru juga dicium pengusaha kelas kakap, belum kelas paus," ledeknya sambil mencium keningku. Aku mencibir.

"Kamu tahu siapa dia?" tanyaku penasaran.
"Siapa yang gak tau dia sih, Tania. Pertanyaan bodoh!" Rico menjitak kepalaku. "Seharusnya aku yang bertanya dia itu siapanya kamu?"
"Temannya Aryo, sebenarnya. Aku kenal waktu bertemu dia di Kuta. Sekitar lima belas tahun yang lalu."

Mulut Rico membulat. "Sebuah masa lalu? Kok aku gak diceritain sih?"
"Penting buatmu?" aku balik bertanya.
"Banget. Dia itu incaran semua perempuan, lho."
"Kecuali aku," sergahku.
"Termasuk kamu," ralatnya cuek.
"Ya gaklah!"
"Ya terus kok dia bisa menciummu segitu mesranya?"
"Dari mana kamu bisa menilai itu ciuman mesra?"
"Aku ini lelaki, Tania! Aku tau dan bisa membedakan!" suaranya agak meninggi.
"Kamu cemburu," aku tertawa kecil.
"Ngapain lelaki begituan aku cemburuin. Gak level!"

Aku tertawa. "Hey! Dia itu gay!" bisikku sambil tetap tertawa.
"Gak mungkin ah!" Rico terkejut. Iya, pastinya terkejut. Radar lelakinya tka berfungsi kali ini. Puas rasanya!
"Sorry to say, it is true," aku mengerling."Nanti kuceritakan. Sekarang, apa yang kamu bawa dari galeri. Kanvas titipanku sudah diambil?"
"Yup, sudah. Kamu sudah memesankan aku Big Mac, kan?"

Dan kami menghabiskan senja dengan menikmati rintik hujan dan menyaksikan kemacetan dari balik meja sambil mengunyah kentang goreng.

-----

Special: yang tak pernah memikirkanku.




~ (oleh @Andiana)

28 September 2011

Remang Cahaya

Aku ingat seorang teman kuliahku yang bernama Vanessa. Dia seorang penulis cerpen yang cukup produktif. Karyanya selalu ada hampir di semua majalah remaja. Bahkan satu cerbungnya pernah tembus majalah wanita dewasa. Gila deh!

Kemarin aku mendapat kabar bahwa dia baru menerbitkan novel perdananya. Keren kan? Aku langsung menghubungi Facebook-nya. Dia sangat kaget karena aku dapat menemukan akunnya. Kutulis di dindingnya, "Ya eyalah aku inget, Ness! Orang beken kayak kamu tuh gampang dicari!" Lalu kami membuat janji bertemu di coffee shop favoritnya di kantornya di daerah Sudirman.

Kami menghabiskan waktu sekitar dua jam dan aku mendapat buku pertamanya berserta sebuah kalimat, "Jangan membayangkan apa yang tak seharusnya kau bayangkan." Agak membingungkan. Tapi aku diam saja dan memutuskan menyimpan segala pertanyaanku sampai ke atas kasurku nanti.

**

Baru membaca sampai halaman 20, aku mulai menebak-nebak apa yang sedang Nessa pikirkan ketika membuat kisah ini. Begitu lugas, apa adanya, terkesan agresif, dan seperti nyata. Wow, beginikah gaya penulisan dia? Keren juga. Tapi aku teringat tulisannya di samping halaman daftar isi.

Apakah tulisan ini... Aku tak berani menduganya, tetapi jelas semua yang tertulis di sini membuatku penasaran. Aku mengirimkan BBM padanya. Terkirim tetapi tak dibalas. Aku semakin geregetan. Kuhabiskan malam itu dengan ratusan kata yang membuat kepalaku semakin berdenyut...

**

Aku memaksa Nessa untuk menyisakan waktu sore ini, seminggu setelah aku membaca novelnya. Ia selalu menghindar. Aku yakin dia tahu apa yang akan kubicarakan. Aku tak peduli. Maka aku ada di sini. 

Vanessa datang dengan wajah berat. Kulihat dia membawa seorang anak kecil. Cantik. Wajahnya mirip Ness... Sa? Aku menelan ludah. Dengan kikuk, aku mempersilakan keduanya untuk duduk. "Hai, Manis. Siapa namamu?" tanyaku mengacak rambutnya yang tergerai.
"Caca," jawabnya malu-malu. Aku tersenyum dan mengalihkan tatapanku pada Nessa. 
"Aku tak perlu menjawab apa pun, kan?" tanyanya sinis. Aku menghela nafas berat sekali.
"Terserah padamu. Apakah aku harus menyimpulkan isi novelmu dengan seorang anak kecil?" tanyaku lugas.

Vanessa Mengepalkan jemari tangannya. Seperti cemas, gugup, bingung, dan takut. Nafasnya memburu perlahan. Matanya mulai berair. Sementara Caca asyik bermain pasir dan boneka Barbienya. Aku menunggu.

Setelah hening sepuluh menit, "Tulisan itu hasil menyepiku. Di penjara, lima tahun yang lalu. Ya, aku membunuh pacarku. Papanya Caca. Alasan klise, dia tak mau bertanggung jawab." Nessa mencibir pahit. Getir dalam suaranya.

"Aku tak pernah bertemu keluarganya lagi setelah itu. Mereka tak mau tahu juga bagaimana keadaan Caca. Aku pun tak peduli. Biar saja Caca seperti sekarang, tenang bersamaku. Toh aku tak minta makan pada mereka," Nessa mendengus kesal.

"Sekarang?" tanyaku nyaris tanpa ekspresi.
"Aku sedang ikut kursus membuat kue. Selain tetap menjadi kontributor," jawabnya santai.
"Kenapa aku gak tau ya?" gumamku tak yakin.
Vanessa mendengarnya. "Kejadiannya di Perth."
Bibirku membulat. Baiklah.

"Ada satu cerita tentang seorang pria..." suaraku menggantung.
Vanessa tersenyum tipis. "Itu Rico."
"Ah, ya! Tentu saja. Bagaimana aku bisa tak mengetahuinya?" aku mendadak kikuk.

Vanessa dan Rico pernah berpacaran. Meski hanya setahun, tetapi menjadi pasangan paling heboh di kampusnya Rico. Ah, kisah mereka dulu bak di negeri dongeng. Aku sampai iri.

"Kudengar sekarang kamu dekat dengannya ya, Tan?" tanya Nessa mengejutkanku.
"Hm, biasa aja sih. Kenapa?" aku berusaha bersikap wajar.
"Ya gak papa juga. Dia masih seperti dulu. Hangat dan penuh perhatian. Sayang kalau pria sebaik dia dianggurin," Nessa tergelak.

Caca mendekati Vanessa dengan manja. "Mommy, i am hungry. Can we go to Burger King now?"
"Walah, makanannya Burger King? Jangan sering-sering, ah!" aku terkejut.
"Hahaha, gak kok. Sebulan sekali aja," Nessa mencium kening Caca dan mengajakku untuk bergabung makan dengan mereka. Aku mengangguk.

Sore yang hangat. Melihat Caca memakan burgernya sampai belepotan itu menyenangkan. Tawa Nessa yang lepas seolah tak pernah menyiratkan duka dan luka yang sangat dalam itu. Aku mencoba masuk ke dalam dunia masa lalunya. Kupejamkan mata sejenak.

Aku seperti hanyut dalam pusaran hitam yang berputar cepat dan menyedot segala kebusukan tanpa ampun. Mendadak nafasku sesak. Sekuat tenaga kubuka mataku dan menemukan taman surgawi di hadapanku. Caca menyuapi Nessa penuh kasih. Anak yang baik.

Tak terasa aku menangis. Kini, aku merasa lemah. Aku yang mendadak ketakutan. Aku tak mungkin sekuat Nessa bila aku ada di posisinya. Tetiba aku menggigil. "Tante kenapa?" tanya Caca menyadarkanku. Aku terhenyak.
"Hm? Apa, Sayang?"
"Ah, Tante! Jangan melamun dong! Itu burgernya masih utuh. Kalau gak mau, biar Caca kasih buat pengemis aja," gerutunya menohok dadaku.
"Caca!" tegur Nessa sambil melotot.
"Gak papa, Nes. Aku yang salah. Caca anak yang cerdas. Kamu beruntung memiliki permata sebaik dia. Jaga dan lindungi dia sebaik kamu menjaga dirimu sendiri."

Vanessa mengangguk mantap. Satu lagi lembaran hidup yang kubaca dan kunikmati prosesnya.

-----
Special: Vira, si Lajang Cantik ;)




~ (oleh @Andiana)

27 September 2011

Kesempatan Kedua

Rani mendekatiku dengan ragu. Aku sedang sibuk dengan tumpukan berkas yang harus dikirim segera melalui kurir sore ini. Sudah berapa kali aku salah membuat invoice. Sinting! Kepalaku pecah konsentrasi. Butuh kopi. Aku memanggil Paijo dan meminta kopi hitam. Lalu kulihat Rani.

Gadis berusia 23 tahun itu tampak pucat. Aku mengangkat alisku dan mencoba tersenyum. "Rani?"
"Mbak Tania, sore ini setelah pulang kerja ada waktu gak?"
"Waduh, aku gak tau ini selesai jam berapa, Ran. Ada apa nih?"
"Kutunggu deh. Gak papa," desak Rani. Aku mencari sesuatu di bola matanya. 
"Nginep di tempatku yuk? Mau? Kita makan malam dulu di Bulungan. Gimana? Kostanmu jauh kan, ya?"
"Iya, Mbak. Di Pluit. Beneran gak apa-apa nih kalau aku nginep?" mata Rani mengerjap lucu.
"Oke, kuselesaikan dulu kerjaan ini ya? Nanti tunggulah aku di Coffee Bean. Kamu boleh pesan duluan. Aku sepertinya agak lama, ya?"

Rani mengangguk dan berlalu ke mejanya. Badannya ringkih. Kutahu dia baru saja sakit dan absen dua minggu. Aku kembali larut dengna pekerjaanku.

**
Ketika makan malam dengan menu ayam bakar, Rani mulai menggumam. "Rani, bagaimana kabar Ibumu di Pekalongan?"
"Alhamdulillah baik, Mbak," jawabnya sumringah.
"Masih aktif membatik?"
"Sudah mulai jarang. Sekarang Ibu yang ngatur penjualannya. Alhamdulillah sudah mulai sering dapat order dari Taiwan dan Meksiko, Mbak."
"Wuih, keren dong! Syukurlah kalau begitu. Semoga tambah sukses dan bisa menjadi barometer industri rumah tangga yang mendunia. Ngiri deh!"
"Aduh, Mbak bisa aja deh. Terlalu berlebihan ah!" Rani salah tingkah.

Aku tertawa. Rani ini cantik dengan model jilbabnya yang unik. Nada suaranya yang pelan membuat orang yang baru pertama mengenalnya seperti harus memakai alat bantu dengar. Oh, itu terlalu berlebihan ya? Baiklah, gak kok. Tapi memang cantik. Kenapa masih.. "Kapan mau ngenalin pacarmu ke aku?" tanyaku menggodanya yang membuatnya malah tersedak.

"Uhuk! Aduh... Uhuk! Euh, belum ada kok. Ehm, beneran!" jawabnya gugup. Agak lama hening, kemudian Rani berbisik, "Ada sih, Mbak, yang membuatku suka saat ini."
"Wow! Siapa? Orang mana? Kerja di mana?" tanyaku kalap.
"Mbak!" cubitnya di pinggangku.
"Aw! Eh, maaf. Masa segitu aja kamu malu? Oke, kita cerita di tempatku aja yuk? Udah selesai kan makannya? Beli kacang kulit dan pizza dulu ya buat ngemil sambil rumpi?"

Kami beranjak dari tempat makan malam. Sepanjang jalan, tanpa rencana, aku menceritakan tentang masa laluku yang pernah menjalin kasih dengan seorang duda. Entah mengapa aku alirkan cerita itu pada Rani. Kulihat wajah Rani menegang. Kuurungkan niat melanjutkannya. 

**

Di kamar, aku dan Rani sudah mandi dan memakai daster. Kami saling mentertawakan. "Ahahaha, ternyata Mbak begini aslinya?"
"Hyah, kamu sendiri ternyata gitu?"
"Yah, sudahlah. Mari kita menggalau," Rani merebahkan diri di kasur.
Aku bengong. Galau? Sejak kapan Rani akrab dengan kata itu?

Dan dimulailah cerita itu...

Rani ternyata sedang menjalin hubungan dengan seorang pria yang usianya 10 tahun lebih tua darinya. Duda beranak dua. Bekerja di perusahan BUMN dan memiliki tiga usaha waralaba. Mantan istrinya meninggal. Mereka bertemu tiga tahun lalu pada resepsi sepupunya Rani.

Oh ya, nama pria itu Burhan. Orangtua Rani tidak setuju karena sudah menjodohkan Rani dengan sepupunya sendiri. Dan ternyata, Burhan pernah berpacaran dengan tantenya Rani ketika masih SMA. Pernah menghamilinya pula. Itu yang menyebabkan orangtua Rani menlak mentah-mentah.

"Tapi kan setiap orang pasti berubah, Mbak. Aku percaya Mas Burhan sudah berubah. Dia kan punya dua anak perempuan, Mbak," Rani membela Burhan dengan emosi. Aku menghela nafas dan tersenyum tipis.

"Sudah cukup kan dia mendapat hukumannya? Istrinya meninggal, anak pertamanya tuna netra, dan anak keduanya mengidap kelainan jantung. Itu kan berat, Mbak," Rani mulai terisak.

"Aku mencintainya, Mbak. Juga masa lalu dan anak-anaknya. Aku ingin mendampingi dia, Mbak," ujarnya dengan nada ditekan. Berusaha meyakinkanku.

Kugigit pizza vegetarian favoritku. Kucoba mencerna setiap kalimat Rani. Harapannya, ketakutannya, kebahagiaannya, kekuatannya, dan doanya. Kulihat matanya yang berkilat marah pada dirinya sendiri. Ia merasa lemah dan bingung. Ia menatapku penuh harap.

"Kamu mau aku gimana, Ran?" tanyaku bingung.
"Bantu aku meyakinkan Ibu, Mbak."
"What? Eh! Aduh, Ran! Kok gitu?" aku gelagapan.
"Mbak, aku gak tau harus bicara pada siapa lagi. AKu gak tau harus minta tolong pada siapa lagi. Aku gak tau..."
"Stop! Stop!" aku memotong kalimatnya. "Sabar, Rani. Segala sesuatu akan berjalan dengan sendirinya. Melalui jalan yang telah ditentukan Tuhan. Rencana Tuhan selalu lebih indah."
"Aku tahu itu, Mbak," sergahnya tak sabar.
"Rani," aku meraih tangannya. "Tetaplah perjuangkan apa yang sudah kamu yakini. Minta padanya juga untuk melakukan hal yang sama. Yakinkan dia bahwa kamu serius. Ingat, dia tak semata mencari istri. Ia pasti lebih mencari seorang ibu yang dapat memberi pelukan terhangat pada kedua putrinya."

Mata Rani mulai berkaca. Sedetik kemudian tumpahlah telaga bening itu. AKu memeluknya erat. Membiarkan dia menangis hingga terlelap. Perlahan, kubantu dia tidur dengan nyaman. Kuselimuti gadis manis itu. 

Aku keluar kamar dengan perlahan dan menuju kamarku sendiri. Aku menghela nafas. Tuhan, tolong bantu Rani.

------

Special: Kiki, rikues soal duda yang menjadi sebuah flash fiction. Gak papa ya? Atau kudu pembahasan ilmiah? *halah*


~ (oleh @Andiana)

26 September 2011

Lebih Baik Menepi

Aku bertemu lagi dengan Rico di Senayan. Dia sedang berolah raga sore. Lagi-lagi sendirian. "Rico!" panggilku dari tempat parkir mobilku. Dia melambaikan tangannya dan memintaku mendekatinya.

Aku menghampirinya dan memeluknya erat. "Ih, mau aja deh kamu meluk aku yang keringetan gini?" ledek Rico.
"Lah, aku juga baru selesai lari tiga putaran kok," jawabku rada sewot.
"Ahahaha, iya deh! Mau diet? Udah kurus gitu!" Rico mendelik.
"Jelek deh!" aku melempar handuk kecilku tepat ke wajahnya.
"Udah ah! Laper. Makan yuk? Tapi jangan bilang di Plasenta atau di Sensi atau di fX deh. Ngemper aja yuk? di Blok M?"
"Yuk deh! Kamu naik apa tadi ke sini?"
"Dianterin adikku. Kebetulan ada kamu, jadi aku bisa nebeng pulang," ujarnya kalem. Aku mencibir.
"Maumu! Yuk ah!"

**

Kami menikmati gultik di Bulungan. Nikmat. Dengan cerita dan tawa Rico, aku merasa lebih nyaman hari ini. Ah ya, aku lupa bilang kalau tadi siang Aldo meneleponku. Ya, bahwa dia hanya cocok denganku di ranjang. Tidak lebih. Aku mengerti. Tak perlu menangis. Hanya merasa terhina. Itu saja. Kupejamkan mataku dan mengingat bagaimana aku bisa jatuh ke dalam pelukan Aldo. Tanpa cinta. Bodohnya aku!

"Tania?" Rico mengagetkanku.
"Hm?"
"Kebiasaan jelek banget deh! Ngelamun mulu! Siapa yang kamu pikirin? Aku atau Aldo?" tanya Rico dengan mulut penuh.
Aku mencibir sebal. "Idih! Gak dua-duanya!"
"Atau si Faisal? Katanya dia udah nyatain cinta ya sama kamu? Hayoooo, gak bilang-bilang ya?" Rico mendekatkan wajahnya padaku. Aku terkejut.
"Wa! Aduh! Bilang apa? Heh, emang ketemu Faisal di mana?"
"Gak ketemu tuh. Gak bilang apa-apa pula. Aku kan banyak mata-mata di mana pun. Taulah kalau ada gosip yang menerpamu. Ahahaha..."

Aku manyun. Hm, masalah Aldo dan gosip tentang Faisal membuatku sumpek. "Rico, aku mau ke Blok M Square. Malam ini katanya ada Endah N Rhesa manggung. Temenin yuk?"
"Ogah. Aku gak suka ke mall. Kamu tau itu. Sakit kepala ngeliat keramaian para hedonis itu. Kalo mau, kita ke Little Baghdad Kemang. Ber-shisa ria. Belum pernah, kan?"
"Ogah juga. Mending kita nonton film deh."
"Ogah! Ya udah, kita gak sepakat. Pulang masing-masing deh! Pusing! Aku gak mau bertengkar," suara Rico agak meninggi.

Aku mendelik tersinggung. "Ya udah dong gak usah bentak aku kayak gitu!" aku mengelap mulutku dengan tergesa dan menghabiskan minumku. Kemudian aku menuju kasir dan membayar makanan. Setelah selesai, "Hei Coki! Aku udah bayar makananmu! Aku pulang!" kuteriakkan nama panggilan Rico khusus dariku. Rico tak bergeming dan tak menoleh.

**

Sudah seminggu aku tak mendengar kabar Rico. Kenapa aku khawatir ya? Ah, cowok macam dia sih gak perlu dipikirin. Udah gede! Udah bisa ngehamilin cewek kok! Aku ngedumel dalam hati sambil mempercepat langkah menuju Sarinah. Tetiba langkahku terhenti. Seseorang mencekal tanganku dan aku nyaris jatuh karena limbung. Aku hendak melawan dengan menendangnya tetapi kulihat wajah Rico yang tegang sebagai jawabannya.

Aku memicingkan mata. "Coki? Rico? Heh!" Dan kemudian Rico memelukku erat hingga semua yang ada di lantai dasar Sarinah memandang kami aneh sambil berbisik. Rico semakin mengeratkan pelukannya jika aku berontak.
"What's going on? You hurt me!" 

Rico mengendurkan pelukannya dan segera menyeretku dengan kasar. Aku protes pun tak akan membuatnya berhenti. Entah berapa kali aku nyaris tersandung.

Kami sampai di restoran bakmi favoritku. Aku kebingungan. Dia hanya menyuruhku duduk. Kemudian dia memesan makanan dan minuman kesukaanku. Juga pangsit goreng. Jadi ingat ketika kami pertama makan malam di sini.

Aku memandang Rico semakin bingung. Lalu kudengar dia berbicara. "Tania, maaf bicara dan kelakuanku yang kemarin itu. Aku sungguh menyesal. Aku emosi. Aku hanya gak suka ke mall. Gak suka keramaian. Aku memang rada kesel sama orang yang suka ngajak aku ke mall. Gak ada kerjaan lain ya? Buang uang kayak gitu. Nyarinya setengah mampus, dihabiskan kurang dari tiga jam."

Aku hanya diam. Gak ngerti arahnya mau ke mana percakapan ini.

"Tania, aku mau lebih sering menghabiskan waktu bersamamu. Ngapain aja. Pokoknya bareng sama kamu. Tapi dengan satu syarat, jangan ke mall. Aku gak suka keramaian seperti itu."

Aku semakin pusing. Aku menggeleng tak mengerti.

"Kamu gak perlu mengerti sekarang. Aku memang tak seromantis Faisal, tapi aku yakin bisa lebih membahagiakanmu ketimbang dia, apalagi dibanding si bangsat Aldo," ujarnya penuh emosi.

Aku mencoba tersenyum. Sekarang aku paham. Rico yang urakan ini hatinya selembut bayi. Sensitif. Kusuapkan sebutir bakso padanya dan berkata, "Terima kasih, Ciko. Let it flows. Aku masih ingin sendiri, sebenarnya."

Rico tersenyum tipis. Aku yang meringis.

-----

Special: Kamu, yang membuatku 'terpaksa' menulis kisah fiktif ini demi sebuah kata "maaf" 


~ (oleh @Andiana)

23 September 2011

Dokter Cintaku

Namanya Faisal. Usianya baru 35 tahun. Belum menikah. Lulusan terbaik Kedokteran universitas ternama di Jakarta. Hobi utama: panjat tebing. Hobi sampingan: mak comblang. Iya, entah sudah berapa pasang yang berhasil menikah karena jasanya. Jadilah panggilan dia: Cupid. Halah!

Aku mengenalnya ketika menjadi tetanggaku di Bogor. Dia pindahan dari Semarang. Logat Jawanya medok sekali. Tetapi dia sangat baik dan ramah. Yang terpenting adalah, masakan ibunya enak sekali! Wow, untuk ukuranku yang doyan makan enak, hasil dari dapur Tante Ningrum itu level sepuluh alias top markotop. Hanya bisa disaingi oleh Mamaku. Hehehe...

Aku mengingatnya sebagai orang sok sibuk. Soalnya, dia tuh banyak banget kegiatannya. Waktu SMP, dia ikut Pramuka, klub musik, aktif taekwondo, dan anggota Karang Taruna di lingkungan tempat tinggal kami. 

Saat SMA, Faisal aktif di OSIS sebagai Wakil Ketua, Pramuka, anggota panjat tebing dan sering mendaki gunung, mulai punya grub band, dan menjabat sebagai Humas di Karang Taruna.

Pertanyaannya adalah: Pacarannya kapan ya mas bro? Dan Faisal selalu tertawa lepas bila mendengar pertanyaan itu. "Pacaran sih bisa kapan aja. Yang penting kan kualitas waktu ketemunya, bukan berapa lamanya waktu ketemu. Kusut ya? Biarin deh."
"Sok ngartis banget dah!" protesku ketika sedang mempersiapkan acara tujuhbelasan di lapangan voli, lima tahun silam.
"Biariiiiinnnn.... Nape? Bolehnye sirik deh luuuu," Faisal menjawil daguku. "Jadi pacar gue aja yuk, Tan?" matanya mengerling genit. Aku mencibir.

**

Sekarang aku sedang duduk di ruang tamu rumah orangtuanya. Bersama para ibu pengajian mengadakan doa selamatan bagi Mia, adik Faisal yang sedang hamil tujuh bulan. Aku datang mewakili keluargaku karena rumahku yang sekarang sudah pindah ke Bekasi. Ketika mendengar kabar dia 'dilangkahi' adiknya, kuledek dia habis-habisan, "Wakakaka, si Cupid ketinggalan kereta!"

Ketika aku melayangkan pandangan ke luar rumah, kulihat Faisal memberi kode padaku untuk keluar. Aku kebingungan. AKu berada di tengah ibu-ibu yang sedang kasak kusuk menjelang pengajian. Sulit rasanya untuk mencari celah. Faisal menunjuk jendela besar di belakangku dan aku melotot. Mulutku mengucapkan kata 'gak mungkin' dan dibalasnya 'coba dulu!' dengan mimik memaksa. Kugaruk kepalaku yang tak gatal.

Akhirnya, dengan memakai topeng 'tebal muka' dan nyengir cuek pada beberapa ibu di dekatku, kulompati jendela berdinding rendah dan mendarat sempurna di halaman samping. Nyaris menabrak pohon kaktus. Gak banget, kan?

Aku langsung mendekati Faisal dan protes, "Lima senti lagi muka gue kecium kaktus dan lu harus tanggung jawab!"
Faisal tergelak. "Ya deh, kita ngebakso sekarang yuk? Di pangkalannya Mang Engkis."
"Wow, dia masih jualan? Rasanya gak berubah kan?"
"Ayo," Faisal menggandeng tanganku menjauh dari rumahnya.

Sambil mengunyah bakso, Faisal mulai mengoceh tentang kebutuhan ruang prakteknya. "Gue mau pindah ah. Gak hoki kayaknya di tempat sekarang. Lu ada ide gak di mana gituh?"
"Ya lu maunya di mana? Lu kan spesialis kebidanan, rasanya di mana aja juga oke."
"Di hati lu aja deh," selorohnya cuek.
Aku nyaris tersedak. "Heh? Hati gue? Sempit!"
"Iya gue tau! Dah ada si Aldo kan? Lu gak bakalan awet sama dia. Kalo gak gue comblangin, temen-temen gue gak ada yang langgeng ampe nikah," ujarnya sok tahu.
"Blagu lu!"
"Emang."
"Sombong!"
"Biarin!"
Kuambil sebutir baksonya dan dengan cuek kumakan.
"Lu ambil bakso gue berarti mau ya sama gue?" tanyanya terlalu pede.
Kutinju pipinya. "Makasih!"
"Kita liat aja nanti, Tan. Lu bakalan kangen sama gue. Soalnya gue mau ke Paris dua tahun. Ngapain? Cari cewek buat jadi calon bini gue!"
"Lu bego ya? Jauh-jauh ke Paris cuman buat nyari calon bini? Bukan nyari bini?" aku sok meralat kalimatnya.
"Ih, suka-suka gue dong! Kok situ yang protes? Gak suka ya gue cari cewek? Cemburu ya?" Faisal tertawa.
"Idih!" aku kehabisan kata-kata melawannya.

Ping! Hm, Aldo. Aku melirik Faisal. Dia malah memanasiku dengan berkata, "Bilang aja lu lagi sama gue. Penasaran sama reaksinya." Anehnya aku menurut saja. Sepuluh menit tak ada jawaban. Faisal tersenyum penuh kemenangan.
"Laki-laki emang gitu, Tan. Taruhan sama gue, dia lagi selingkuh!"

Aku menelan ludah. Kemudian kubaca status Aldo di Facebook. "Tak peduli sedang bersama siapa pun kamu saat ini. Kutahu, kita tak akan pernah selamanya." Dan kulihat ia mengganti "In relationship" menjadi "It's Complicated". Aku menelan ludah. Faisal yang sedang menghabiskan sepiring siomay memperhatikanku dengan cueknya.

"Dugaanku gak meleset kan? Nih, makan!" Faisal menyodorkan sepotong tahu. Tanpa berpikir panjang, kumakan tahu itu dan memanggil tukang siomay.
"Bang, satu dong! Jangan pakai pare dan kol, ya!" Faisal mengacak rambutku dan meneruskan makannya.

Aku gamang. Kusamber status Facebook-nya atau diam saja. "Diemin aja, Tan. Orang kayak dia kalau ditanggapi malah makin jadi. Dia lupa betapa ruginya dia melepaskanmu," ujarnya dengan santai.

Aku menutup wajahku dan menahan sesak yang menyelimuti dada. 

--------

Special: Taufik, dokter cab.. dengan tingkat percaya diri tinggi :D




~ (oleh @Andiana)

22 September 2011

Sepi Sendiri

Aku baru selesai membereskan pakaianku dan melihat ke dalam koper yang penuh. Aku siap untuk berlibur. Sendirian. Tak lama. Hanya seminggu dan itu pun ke Bandung. Gak jauh, kan? Kalau mau ke Raja Ampat sih bisa saja, tapi jauh dan aku malas sendirian ke sana. Kalau disandera sama penduduk asli sana, gimana? *mulai lebay*

Aku mendadak memutuskan untuk berangkat sendiri baru saja kemarin siang setelah makan nasi Padang. Aku merasa harus pergi sejenak. Melupakan rutinitas. Maka aku membeli beberapa nomor baru untuk ponsel Androidku, BB, dan iPad. Alasannya sederhana: aku sedang tak ingin dicari dan kalau ada yang darurat, aku masih tetap bisa berkomunikasi. Ribet ya?

Kubuka kulkas. Hm, masih ada eskrim Mocca setengah liter. Kulirik jam dinding. 11.45. Malam hari. Bagus gak sih? Sebodo ah! Akhirnya kubawa eskrim itu ke kamar dan duduk bersandar pada tempat tidur. Kunyalakan DVD player dan memilih. Horor? Drama? Thriller? Komedi? AKu memutuskan untuk menonton Smurf The Movie.

**
Stasiun Kereta Api Bandung. Aku bergegas menuju hotel. Setelah membereskan koper, aku mandi dan istirahat sejenak. Rebahan sambil mendengarkan iPod. Serasa di surga.

Sore hari aku memutuskan ke kawasan Braga. Sendirian, tentu saja. Bangunan tua yang berderetan, suram, sepi, dan membuatku semakin merasa berat. Tapi aku sedang tak ingin ke mall yang ramai. Akhirnya aku hanya mengambil beberapa foto untuk menyalurkan hobi fotografiku. Setelah selesai, aku kembali ke hotel. Mandi dan nonton TV.

Menjelang tengah malam kucoba cek milis, twitter, facebook, dan surel. Oke, tak ada berita istimewa. Baiklah, kucoba untuk merebahkan tubuhku yang rasanya pegal-pegal ini. Besok pagi, kujadwalkan ke kebun teh di Ciwidey. Atau ke Kawah Putihnya saja ya? Semoga tidak hujan.

**

Aku memutuskan ke Ciwidey dengan nekat. Sudah sering ke sana, tapi selau dengan rombongan, tahunya sampai. Sekarang, tak tahu arah mesti ke mana, tak bisa berbahasa Sunda, dan pikiran masih kosong, kutanyakan pada pegawai di bagian informasi. "Punten ya Teteh, kalau saya mau ke Ciwidey gimana caranya ya?"

Si teteh di front desk menjawab dengan sangat jelas dan panjang. Aku yang nyengir mengiyakan. Sebelum rutenya lenyap dari kepalaku, kutuliskan di BB dan segera pergi mencari sarapan.

Setelah perjuangan tiga jam akibat nyasar *gitu deh*, akhirnya aku sampai di depan pintu masuk Kawah Putih. Aku terpaku sejenak. Ingat Aldo. Kami pernah ke sini. Ketika itu, sebenarnya hendak ke Tangkuban Perahu. Tetapi Aldo malah memutuskan ke Kawah Putih. Kebayang kan jauhnya perjalanan memutar?

Oke, kembali ke diriku sendiri. Apa sebenarnya yang hendak kucari di sini? Mengapa aku merasa begitu penat? Untuk apa aku pergi sendiri? Aku tetap tak menemukan jawabannya. Kusesap bandrek untuk menghangatkan badanku yang menggigil. Salah. Aku hanya memakai T-Shirt tipis dan lupa membawa jaket. Aku merindukan dekapan Aldo. Aku menggigit bibirku. 

Jam makan siang. Aku benar-benar tak selera makan. Setelah tadi mengambil beberapa foto pemandangan di kebun teh dan Kawah Putih, kuputuskan makan nasi liwet. Kupaksakan makan atau aku akan masuk angin.

Kembali ke kota. Aku kembali tanpa rencana. Aku duduk di sebuah restoran cepat saji di Dago. Rasanya aku ingin memastikan bahwa aku sedang bermimpi. Tapi membentur meja meyakinkanku tidka dalamkeadaan tertidur. Sakitnya dengkul tidak seberapa ketimbang melihat sepasang kekasih (mungkin) sedang berciuman di meja nomor lima belas. Itu Aldo.

Selera makanku hilang. Aku bergegas kembali ke hotel. Membenamkan kepalaku ke bantal dan menangis sejadi-jadinya. Hingga lelah dan tertidur.

Ketika bangun, sudah jam makan malam. Aku menelepon dan memesan menu khusus hari ini. Kuhabiskan semua. Hingga eskrim setengah liter. Sendirian. Aku merasa konyol dan bodoh.

Well, ini baru hari kedua di Bandung. Masih ada lima hari lagi. Besok mungkin aku akan ke Lembang. Atau ke Cimahi. Atau diam saja di kamar? Kuharap ada seseorang yang bisa menemaniku malam ini. Tetiba aku memikirkan Haris.

Rasanya malam ini akan berlalu dengan berat...

-----------
Special: Seseorang yang pernah menjanjikanku Tour de Paris Van Java. Entah sekarang ada di mana. Semoga kau bahagia.


~ (oleh @andiana)

21 September 2011

Sesuatu yang Hilang

Aldo meneleponku dari Surabaya. Aku juga baru tahu. Dia sudah lima hari di sana. Kupikir masih di Makassar. Something's wrong. Kenapa Aldo berubah? Dia hanya berkata dengan nada terburu-buru, "Sayang, aku lagi ada di Surabaya. Baaru lima hari sih. Mungkin pulang ke Jakartanya lusa, ya? Dah, Sayang."

Begitu saja. Kuhempaskan tubuhku ke sofa di gerai donat favoritku ini. Segelas Iced Green Tea lumayanlah menenangkan hatiku yang tak karuan. Ponselku berbunyi. "Iya, Haris. Ada apa? Oh bisa, kok. Ke sini aja. Masih dua jam lagi menuju sore kok. Aku udah kelar rapat. Oke, di tempat biasa. Bye."

Haris datang sambil menenteng ransel bututnya. Dengan jaket lusuh dan rambut gondrongnya, mengingatkanku pada seseorang. Siapa ya? "Hai, Tania!" sapanya hangat dan langsung duduk di hadapanku.
"Hai, Ris! Macet ya?"
"Sempet kejebak tadi di Radio Dalam. Tapi motorku selalu bisa menembusnya dong! Hm, pesen kopi dulu ah!" Haris berdiri lagi dan berjalan menuju kasir. Tak lama ia kembali lagi.

"Jadi, apa ceritamu sore ini, Ris?" tanyaku setelah selesai mengunyah donat stroberiku.
"Aku butuh bantuanmu. Kamu pasti tahu maksudku," ujarnya salah tingkah.
Aku mendesah berat. "Kasusmu belum selesai?"
"Belum. Pengacara yang katanya pengalaman itu tak bisa memberi kepuasan dalam melacak kasusku. Aku mulai kehabisan dana. Aku minta kamu mencarikanku pengacara pengganti."
"Aku paham. Nanti kucoba hubungi Ryan. Kamu tahu dia kan?"
"Oh, yang barusan memenangkan kasus pemerkosaan itu ya? Gila banget tuh orang. Bisa aja gitu nemu celah sempit yang sepertinya mustahil untuk mengunci lawan. Keren! Kamu kenal dia di mana?" mata Haris berbinar.
"Dia teman kecilku. Teman bermain sejak sama-sama masih suka ngompol! Ahahaha... Jadi aku udah tau bagaimana dia. Cerdas luar biasa. Aku aja masih terkagum-kagum sampai sekarang. Nah, selain itu, ada lagi yang mau kauceritakan?"

Haris tetiba terdiam. "Aku kangen Angel."
Aku menggigit bibir dan meraih tangan Haris. "Aku juga."
"Tapi kamu tau kan kalau aku..."
"Sangat mencintainya?"
"Begitulah. Meski ya memang tak akan pernah bisa terwujud. Bukan karena dia sudah tak ada, tapi..."
"Aku mengerti perasaanmu. Tapi itu bukan berarti menghalalkanmu berbuat yang di luar batas, Ris. Aku tak bisa memaafkan kelakuanmu itu."
"Maaf. Aku benar-benar emosi dan kalut. Siapa sih yang gak kecewa gadis pilihan hati yang sangat dicintai memilih pria lain untuk menikah?"
Dengan cara mabuk, ngeganja, had three days non stop party for sex with lot of girls , dan judi? Hello, Haris!" aku melotot. Setengah berbisik kudekatkan wajahku padanya, "Dan inget dong kamu nyaris ngebunuh orang. Plis deh, Ris!"
"I know. Tapi rasanya msih berat. Apalagi mengetahui paling akhir ketika dia meninggal."

Kami berdua terdiam cukup lama. Tenggelam dalam kenangan masing-masing. Aku masih ingat bagaimana dulu Haris mendonorkan darahnya untuk Angel ketika tengah malam gadis itu drop. Padahal Haris sedang berada di Cirebon.

Aku juga masih ingat ketika Haris membopong Angel yang pingsan ketika acara arisan komunitas fotografer diadakan di Puncak Pass. Angel yang tak tahan udara dingin memaksakan diri hadir karena mengetahui Joshua akan datang. Nyatanya Joshua tak pernah datang...

Angel merupakan gadis yang mampu membuat Haris berubah. Meski hanya sementara. Ketika kepergian Angel yang mendadak membuat hancur dunianya, Haris menyalahkan dirinya sendiri karena tak berani berterus terang pada Angel dan merasa menjadi seorang pengecut.

"Tania..." panggilnya memecah lamunanku.
"Ya?"
"Kemarin aku ke makam Angel. Aku bersumpah di sana. Aku akan berubah. Demi diriku sendiri. Demi cintaku. Setelah kasus ini selesai, aku akan menetap di Sleman. Jogja lebih cocok untukku."
"God bless you, Ris. Aku berdoa yang terbaik untukmu. Jika itu bisa membuatmu lebih nyaman dan tenang, go ahead."
"Terima kasih, Tania. Sorry ya aku gak bisa lama-lama. Dari sini masih harus ke Tebet. Aku tunggu kabar darimu soal pengacara itu ya?"
"Oke, Ris. Hati-hati di jalan. Gak usah ngelamun. Nanti kukabarin lagi kalau aku berhasil menghubungi Ryan."
"Bye, Tania," Haris mencium pipi kanan kiriku.
"Bye, Haris," balasku.

Aku menatap punggung Haris yang menjauh. Hm, kita memang tak pernah tahu bagaimana cinta bisa membuat kita jatuh dan merasa sakit. Sama seperti rasa aneh dan menyebalkan yang kurasa saat ini pada Aldo. Duh!


-----

Special: Bhaga, yang selalu penuh semangat untuk berbagi :)




~ (oleh @andiana)

20 September 2011

Penuh Pesona

Gadis itu tampak sumringah memasuki lokasi reuni di ballroom hotel mewah ini. Dengan rambut yang lurus tergerai rapi sebahu dan berponi, dia sungguh cantik. Memakai gaun dengan motif print retro membuatnya menjadi pusat perhatian.

"Hai Tania!" sapanya centil. Aku menoleh. Dengan mulut belepotan kue tart, aku membalasnya.
"Uhm, hai! Halo, Maria!" kami saling berpelukan dan mencium pipi kanan kiri. 
"Cantiknya kamu!" ujar Maria memandangi bajuku.
"Ah, hanya blouse biasa kok. Emangnya kamu tuh, seperti bidadari?" pujiku tulus. Maria tertawa kecil.

Kami menikmati malam bersama teman-teman lama. Tak terasa sudah menjelang tengah malam dan kami juga sudah berpindah tempat ke ruangan karaoke. Telah habis empat jam dan itu masih kurang. "Tania, besok sore kita ngopi yuk? Aku punya bisnis nih. Potensinya bagus. Udah uji coba, lho!" rayu Maria kenes. Aku tersenyum tipis.
"Boleh. di mana? After office hour? di Kemang yuk?"
"Ogah ah! Kalau kejebak banjir gimana?"
"Yah elah! Belum apa-apa udah takut duluan? Ya udah, kalo gitu di fX aja ya? Aku ada meeting di sana sampai sekitar pukul tiga deh. Gimana?"
"Baiklah!"

**

Aku sudah menghabiskan tiga cangkir hot chocolate with hazelnut and peppermint. Kebiasaan buruk ketika dikejar tenggat materi seminar. Hey, itu permintaanku pada baristanya. Jangan kalian cari, tak akan ketemu. Hehehe... BBM yang kukirim untuk Maria entah nyangkut di mana. Ponselnya tak diangkat. Tiba-tiba pada mention tab twitterku tertulis: "@tania23 sorry ya cintah, aku tadi abis meni pedi plus lulur. hihihi... aku udah deket Ratu Plaza nih!" Ya ampun, sempat ya nyalon dulu?

Dan ketika Maria berjalan mendekatiku dengan anggunnya, aku menelan ludah. "Maria, kalau aku laki-laki, sudah jatuh cinta kali ya?" aku terkekeh.
"Ah Tania! Bisa aja deh kamu! Hm, cokelat favoritmu itu? Ah, aku mau kopi aja. Cappucinno seperti biasa." Maria mendaratkan pantatnya dengan anggun. Hm, aku terlalu berlebihan ya? Tapi memang dia itu seperti putri dari khayangan sih!

"Apa sih ngeliatin aja?" tanya Maria bingung. "Bajuku norak ya? Atau make up sekarang terlalu pucat? Rambutku keliatan kusut ya?"
Aku tertawa. "Haduh, Maria! Santai aja. Gak kok. Everything is perfect, dear. Beneran! Aku hanya selalu merasa takjub melihatmu. Padahal baru dua bulan ya kita gak ketemu?"
"Iya ya?"
"Nah, sekarang bisnis apa sih yang mau kamu tawarin ke aku?"
"Nutrisi herbal."
Aku mulai memasang radar.
"Hey, aku tau apa yang ada dalam pikiranmu! Ini bukan herbal yang itu!"
"Lagian kalau yang itu juga sudah kujalani dan berhasil kok."
"Nah, ini hasil racikan keluargaku sendiri. Eyang putri dan budhe di Semarang yang punya resepnya. Sudah berjalan lima tahun dan pemasaran sudah ke luar negeri, lho! Aku mau ngajak kamu."
"Sebagai? Jangan bilang sebagai tenaga pemasaran deh!"
"Ahahahaha..." Maria tertawa. Antingnya bergoyang dan bahunya berguncang. Hm, bahkan saat tertawa pun Maria terlihat cantik. Walah!

"Aku tak akan mengajakmu sebagai tenaga penjualan di lapangan. Tapi sebagai tim suksesku."
"Kamu mau ikut pilkada di mana, Mar?" ledekku.
"Bukan pilkada, tapi pilpres!" jawab Maria dengan mimik sok serius. Kemudian kami tertawa lepas hingga yang berada di dekat kami langsung mendelik sebal. Ups!

"Lantas, aku harus bantu apa nih? Kapan mulainya?"
"Pertanyaanku sekarang adalah, kamu kerja full time saat ini? Berapa gajimu?" tanya Maria sambil menyeruput kopinya.
"Wait! Nantangin nih? Ehm, sebentar. Mas!" aku memanggil pelayan dan meminta Zuppa Zoup untuk dua orang. "Apa yang kamu harapkan dariku, Maria?"
"Dedikasimu tentu aja! Aku sudah mempelajari sepak terjangmu di dunia periklanan. Dan ya, aku suka semangatmu."
"Dasar stalker!" gerutuku pelan. Maria tersenyum kecil.
"Ini bisnis. Kamu tau sendiri dong gimana kerasnya persaingan? Etapi aku memang suka dengan gaya kerjamu. Pasti cocok dengan lingkungan kerjaku. Ayolah!"
"Tak bisakah kau beri aku waktu berpikir? Sebulan? Dua bulan?
"Wow, Tania! Itu terlalu lama! Aku gak mau! Seminggu aja ya? Kirim CV dan permintaan gajimu."

Aku menghela nafas dan menggeleng geli. "Wah, susah nolak kalo kayak gini. Tapi aku benar-benar butuh waktu ya untuk berpikir. Kerjaanku sedang overload nih!"
"Kutunggu deh! Karirmu akan bagus di sini. Percaya deh!" Maria mengerling centil. 
"Beuh, menggoda banget sih!" aku menjawil dagunya.
"Hehehe. Udah ah! Sekarang ceritakan padaku tentang Aldo. Apa kabar kekasihmu itu?"
"Ah, dia. Baik. Sedang berada di Makassar," jawabku nyaris tak terdengar.
"Hm? Pasar?" ulang Maria.
Aku tergelak. "Makassar, Cantik! Biasalah."

Maria memandangku penuh selidik. "Ada yang mau kauceritakan padaku, Tania?"
Aku menelan ludah. Gamang. Aku mengaduk gelas kosongku tanpa suara. Kemudian Maria menggeser duduknya persis di sebelahku. Aroma parfum J.Lo memenuhi panca penciumanku.

"Aku di sini, untukmu. Kalau kamu ingin cerita, aku siap mendengarkan. Kalau tidak, menangislah."

Tanpa komando lagi, aku mulai menangis di pelukan Maria dengan bayangan Aldo yang memenuhi kepalaku. Aku menghabiskan senja itu dengan membasahi baju Maria. Ada yang tak bisa kuselesaikan sendiri, ternyata.


------

Special: Damay, wanita Minang yang memesonaku ;)



~ (oleh @andiana)