Tentang 30 Hari Cerita Cinta

09 October 2011

#27: Broken Glass (pt 2)

"Ini mungkin terdengar berlebihan, but, there's a possibility he's your Mr.Right, Dita," Ares melanjutkan. "Dua tahun menunggu, kamu berpikir perasaannya akan terkikis. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya – tumbuh semakin besar dan kuat. Apalagi begitu melihat kesakitan kamu saat itu, aku yakin hal pertama yang muncul dalam pikirannya adalah melindungi kamu. And he offers you something: happiness."
Jeda sejenak; Ares beranjak dari kursinya untuk membuat segelas susu cokelat yang baru. setelah pemaparan panjangnya tadi, pikiran dan hatiku terbuka. Tapi, juga ada sesuatu yang ganjil terasa. Bukan, ini bukan hanya tentang Adrian. Ini tentang psikolog yang baru bicara tadi dan kembali dengan menyodorkan segelas susu cokelat padaku.
"Ar..." kepalaku tercondong ke arahnya "... kamu... kenapa bisa sepeka itu? I mean, you've changed. You suddenly care to someone else's feeling."
Dia sempat bergeming, sebelum kemudian tertawa sambil menggaruk kepalanya.
Salah tingkah. "Well, have I? Kalau kamu pikir begitu, well, aku berhasil. I mean, someone has just unlocked my heart."
"Someone?" Mataku memicing semakin curiga. "Eris?"
"Ah!" Ares tergelak semakin keras dan aku sempat melihat pipinya bersemu. Dia memalingkan wajah ke samping, terbatuk-batuk kecil, sebelum kembali menatapku. "Kurang lebih."
"KALIAN KENCAN, KAN?!" todongku tanpa basa-basi. Dia hanya menjawab dengan sebuah senyuman yang berarti ya. "Arghh!!! Kalian jahat! My boys from past are dating and leaving me alooooooone!!!*"
"Woo, tunggu, tunggu," potong Ares cepat. "Kita, maksudku aku dan ex massive crush kamu itu, justru berharap dengan ini bisa membuat kamu lebih mudah untuk maju dan mendapatkan seseoarang yang lebih pantas. Tapi, ya,ternyata kamu melangkah selam—AW!"
Aku menyentil lengannya. "Kenapa kamu yakin Yudika berpikir seperti itu? Karena dia pacaran sama Momo, huh?"
"Hei, meski aku dan dia nggak punya hubungan yang baik, tapi kita memutuskan hal yang terbaik untuk kamu. Dia termotivasi dariku untuk merespon orang yang lebih peduli dengannya, sementara aku melepas kamu karena tidak bisa mencintai kamu sepenuhnya." Ares mengambil jeda dan menatapku lebih serius.
"Tapi, kita punya satu tujuan: to see you happy with the right person."
Kepalaku tertunduk. Semua yang terjadi di antara kami berputar dan aku seolah-olah menjadi porosnya. I met them, I feel for them, then I separated. Tapi, mereka malah belajar dari perjuanganku dan akhirnya  menemukan seseorang yang tepat.
"Seharusnya, ini jauh lebih mudah untuk kamu, Dita. tapi, ya, aku tahu hati seorang wanita itu mudah pecah seperti gelas," paparnya. "Dan kamu tidak bisa menggunakan gelas yang sudah retak, nanti airnya merembes. Kamu butuh gelas baru untuk menampung air itu. You need a new heart for your love."
Mata kami beradu dan Ares memberiku satu tatapan akhir yang semakin membuatku yakin dengan keputusanku.
"Uh, ini kotak apa?" Ares beranjak dari kursi dapur dan mengambil sebuah kotak yang terletak di atas TV. Aku hanya bisa menelan ludah saat dia membukanya. "Wow, wait, ini foto-foto kamu, ya? Hadiah ulang tahun?"
"Umh, menurut kamu?" Aku memalingkan wajah saat dia menaruh kotak itu di atas meja dan membongkarnya. Ares terkekeh dan senyuman gelinya mengembang.
"Apanya yang lucu?"
Kepalanya mengangguk beberapa kali. "Adrian, huh?! Seriously, Dita, don't let this guy go away from your life."
"Who—" Bola mataku berputar. "Terserah."
"Iya, iya, aku maklum kamu terlalu gengsi untuk mengakuinya," goda Ares sambil menata kembali foto-foto itu ke dalam kotak. "But, I can see you will come to him. Filling his empty heart."
"Kamu..."
Kami saling bertatapan, sebelum tertawa lepas. Mengawali hubungan kami yang baru sebagai teman. Iya, akhirnya aku memanggil Ares sebagai seorang teman.

***

~ (oleherlinberlin13)

Chemistry: 16

You should marry him part 3


L E A H


Ibu tidak setuju dengan hubunganku. Hubungan kasih antara aku dan Adrian. Bukan tidak setuju. Belum setuju.
"Aku akan ikut kemanapun kamu pergi." Begitu kataku pada Adrian pagi itu.
"Will you do that?"
Aku mengangguk. Aku yakin.
"Aku gak terburu-buru. Kita pasti bisa melewati ini semua. Dan mendapatkan restu ibumu."
Senyum. Dan genggaman tanganmu. Aku akan merindukannya. Akan sangat merindukannya.


A D R I A N


Leah pergi. Bukan untuk meninggalkanku. Dia ingin mengejar mimpinya. Melanjutkan kuliah. Travelling.
"Cuma setahun atau dua tahun ini kok, sayang. Boleh kan?" Begitu pintanya padaku. Aku tak bisa menolak. Akan kuikuti kemauannya selama dia bahagia.
"Iya. Pergilah." Aku menguatkan pelukanku. "Aku takkan melarangmu. Nikmati waktumu. Beri aku waktu untuk menjemputmu. Waktu untuk ibumu dan restu dari beliau." Kurasakan baju di bagian bahuku basah. Leah-ku menangis. Aku memeluknya semakin erat.


"Lakukan satu hal untukku. Mau?"
"Apa itu?"
"Tetaplah disitu. Jangan jauh-jauh dariku." Leah-ku meminta sesuatu yang mustahil.
"Aku takkan kemana-mana. Kamu tahu dimana mencari aku. Di hatimu." Kukecup keningnya. Dia suka sekali. Lalu, punggungnya menjauh. Tapi aku tahu takkan pernah lama. Dia takkan pernah jauh dariku. Dia akan selalu untukku.


"Tunggu aku disitu, Leah. Genggam hatiku erat-erat." Kutitipkan pesan lewat angin yang bertiup lewat.




~ (oleh @WangiMS)