Tentang 30 Hari Cerita Cinta

18 September 2011

Simfoni Kelima #5

Hari yang ditunggu pun tiba. Siang itu Pak Gideon, Bu Jessica, Sammy dan tak ketinggalan Gita, berkumpul di ruang keluarga. Sammy memainkan sebuah lagu dengan gitarnya. "Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki" dari Sheila on 7. Gita mengubah progresi akor lagu itu hanya menjadi G dan C. Hanya dua akor itu yang perlu Sammy mainkan untuk membawakan lagu dari awal hingga selesai. Secara mengejutkan, Sammy mengalami kemajuan yang cukup pesat. Di hari keempat, Sammy telah menguasai beberapa akor dasar. Pagi tadi Gita mengajarkan lagu itu, dan lima jam kemudian Sammy sudah cukup menguasainya. Ia bernyanyi ala kadarnya. Kedua orangtuanya tak menghiraukan suara Sammy yang pas-pasan. Yang terpenting bagi mereka, anaknya kini sudah bisa bermain gitar.
Pak Gideon, Bu Jessica, serta Gita bertepuk tangan ketika Sammy selesai membawakan lagu.
"Papa tahu, kamu pasti bisa," ucap Pak Gideon seraya menepuk-nepuk pundak anaknya.
"Terima kasih Nak Gita, sekarang anak Ibu bisa menarik perhatian calon mertuanya," ujar Bu Jessica terkekeh.
"Iya. Dan usaha kita gak jadi bangkrut," sahut Pak Gideon dengan mata berbinar. Kedua suami-istri itu tertawa-tawa bahagia.
Gita menatap Sammy dengan pandangan penuh tanya. Sammy memalingkan wajahnya, tak sanggup menatap mata Gita.
"Nak Gita, sebelum pulang, kita makan siang dulu ya?" ajak Bu Jessica.
"Iya. Anggaplah ucapan terima kasih kami, karena kamu berhasil mendidik Sammy secepat ini," sambung Pak Gideon.
Gita tersenyum simpul. Ia mengangguk pelan. "S-saya mau beresin gitar saya dulu," katanya sambil menatap gitarnya yang tergeletak di lantai.
"Ya sudah, kita tunggu di meja makan, ya?" tanya Bu Jessica.
"Baik Bu," angguk Gita.
Bu Jessica dan suaminya lantas pergi meninggalkan ruang keluarga. Sambil berjalan, keduanya masih tertawa-tawa kecil.
"Jadi, lo mau merit?" tanya Gita.
Sammy mengangguk lesu. Tatapannya terarah ke lantai keramik.
"Jadi, lo belajar gitar cuma buat narik simpati calon mertua lo?" Gita tersenyum kecut. Ia berlutut dan masukkan gitar akustiknya ke dalam hard case. "Gue pernah denger pernikahan yang dilandasi harta. Tapi cuma di sinetron. Baru kali ini gue ngelihat dengan mata-kepala gue sendiri." Suara Gita terasa dingin.
"Kok elo jadi sewot, sih?" tanya Sammy.
"Si Kuning itu nama siapa? Panggilan kesayangan buat pacar lo, kan?" tembak Gita.
"Gita… elo gak tahu apa-apa tentang keluarga gue. Lo gak tahu apa-apa tentang gue. Lo gak berhak ngasih penilaian apapun terhadap gue dan keluarga gue."
Gita telah selesai membereskan gitarnya. Ia berdiri dan menatap mata Sammy dengan tajam. "Bilangin ke bo-nyok lo, gue gak jadi makan!" ucapnya. Ia lantas berbalik dan berjalan cepat meninggalkan ruangan itu.
Sammy hanya terdiam menatap punggung Gita yang bergerak menjauh. Ketika Gita menghilang di balik dinding, ia baru menyadari, ucapannya mungkin terlalu kasar. Ah, gak usah gue pikirin. Toh dia yang ngata-ngatain gue duluan, bela Sammy dalam hati.
***
Malam harinya, sebuah reuni keluarga kecil-kecilan terjadi di ruang makan rumah Sammy. Pak Leo dan Pak Gideon bercengkerama dengan hangat. Bu Jessica dan Bu Rika, istri Pak Leo, ikut menyemarakkan suasana. Rena sesekali mengeluarkan celotehan yang membuat keempat orang dewasa itu tertawa terbahak-bahak. Topik pembicaraan mereka berkisar antara masa kecil Sammy dan Rena yang menggelikan.
"Waktu itu, Sammy yang ngompol duluan," kata Bu Jessica. "Dia nangis. Rena ikut-ikutan nangis. Eh, habis itu, Rena malah ikutan ngompol."
Semua orang yang ada di ruangan itu tertawa terbahak-bahak. Sammy hanya tersenyum simpul. Ia tak begitu tertarik dengan topik pembicaraan. Ia bahkan tak tertarik dengan acara malam itu. Entah mengapa, sedari tadi wajah Gita berputar-putar di benaknya. Ia meletakkan sendok dan garpu di atas piring. Ia berdiri dan bergerak meninggalkan ruangan itu.
"Mau ke mana Sam?" tanya Bu Jessica.
"Ke toilet," jawab Sammy.
"Jangan lama-lama," kata Pak Gideon.
Sammy hanya mengangguk lemah. Sebenarnya, ia tak ingin ke toilet. Ia hanya butuh waktu untuk sendiri. Entah mengapa ruang makan itu terasa sesak. Ia butuh udara segar.
Ketika melewati ruang keluarga, perhatiannya tertuju pada gitar berwarna merah pemberian ayahnya. Langkahnya terhenti. Ia tatap gitar itu beberapa detik. Ia memutuskan untuk mendekatinya. Ia angkat gitar itu, lalu memainkannya perlahan sambil berdiri. Suaranya lirih menyanyikan lagu Sheila on 7—satu-satunya lagu yang ia kuasai saat itu. Lirik lagu itu terasa merasuk dalam jiwanya. Ia bernyanyi dengan pelan, berusaha agar suaranya tak sampai terdengar ke ruang makan.
Sebuah tepukan di pundak kanannya membuatnya terkejut. Ia berhenti bernyanyi, lalu menoleh.
"Katanya kamu mau ke toilet?" tanya Rena yang sudah berdiri di hadapannya. Gadis itu mengenakan mini dress biru yang melekat pas dengan tubuhnya. Sapuan make-up tipis membuat wajahnya terlihat segar. Anting-anting biru di telinganya terlihat serasi dengan pakaiannya. Dalam balutan busana seperti itu, Rena tampak lebih dewasa dari umurnya yang sebenarnya.
Saking seriusnya menghayati lagu, Sammy sampai tak menyadari kehadiran orang lain di ruangan itu. "Ehm… tiba-tiba aja gak jadi pengen buang air."
Rena mengangguk-angguk kecil. "Dari tadi, aku perhatiin kamu diam aja," katanya. "Kamu lagi ada masalah?" tanyanya kemudian.
Sammy menggelengkan kepala.
"Atau… kamu gak suka dengan kedatanganku?" tanya Rena lagi.
"Eng… enggak, bukan itu. Aku cuma—" Suara Sammy tercekat di tenggorokan. "Entahlah…" katanya seraya menghela napas panjang.
"Kalau ada masalah, kamu bisa cerita ke aku," kata Rena.
Sammy menatap lembut mata Rena. Ada keramahan yang terpancar di sana. "Aku baik-baik aja. Terima kasih," kata Sammy. "Mending sekarang kita balik ke ruang makan. Sebelum nyokap gue mulai panik." Ia mencoba mencairkan suasana.
Rena tersenyum. "Kamu lucu. Kayak dulu…"
Sammy memaksakan sebuah senyum. Wajahnya terasa kaku. Keduanya lantas berjalan menuju meja makan.
"Jadi, kamu suka main musik sekarang, Sam?" tanya Pak Leo, menyambut Sammy yang telah kembali.
"Eng—"
"Suara Sammy bagus, Pi," kata Rena. "Tadi Rena sempet dengerin. Main gitarnya juga lumayan."
Sammy menatap Rena yang tersenyum ke arahnya. Ia tak bisa berkata-kata.
"Oh ya? Wah, kalian bakal cocok kalau begitu," kata Pak Leo.
"Sammy ini dari dulu kerjaannya nge-band terus, Pak Leo," kata Pak Gideon.
"Oh ya? Jadi kamu nge-band juga?" tanya Pak Leo dengan mata berbinar.
Pak Gideon mengangguk mantap. "Saya sampai capek ngingetin dia untuk fokus ke sekolah. Tapi sekarang kan dia sudah lulus. Jadi, saya dukung saja kegiatan dia. Siapa tahu dia berhasil di musik."
Sammy hanya terdiam mendengar bualan ayahnya.
"Kalau kamu mau, kamu bisa bantuin Rena di produksi albumnya. Kebetulan dia lagi butuh gitaris," kata Pak Leo. "Itu juga kalau kamu mau."
"Wah, Sammy pasti senang sekali," kata Bu Jessica. "Apalagi bisa bikin album sama Rena. Iya kan, Sam?"
Sammy tersenyum kecut, lalu mengangguk pelan. "I-iya…"
"Bagus, bagus. Kalau begitu, bulan depan Bapak tunggu kamu di studio. Kebetulan Bapak sendiri yang jadi produsernya." Pak Leo tersenyum bangga. "Gimana?"
Sammy menelan ludah. Rasanya sungguh pahit. Merasa tak punya pilihan lain, ia pun mengangguk lemah. Sekali lagi, ayahnya menempatkannya dalam posisi sulit. Entah apa yang akan terjadi nanti. Ia baru menguasai satu lagu, dan minggu depan ia sudah membuat janji dengan seorang produser musik untuk membantu pembuatan sebuah album. Gue jadi penasaran, kesialan apa lagi yang bakal gue dapetin nanti? tanya Sammy dalam hati. Ia pun melanjutkan sisa makanannya tanpa nafsu.
***

(Bersambung)


~ (oleh @garirakaisambu)

13 Juni 2011

"Selamat malam" ucap seorang wanita berpakaian suster, tinggi, berambut pendek, putih dan cantik menyapa kami semua yang ada di dalam ruangan tempat Ricardo dirawat.
"Selamat malam, Sus. Mau ngecek pacar saya ya, kondisi dia sekarang gimana? Kapan dia boleh pulang" Alyssa mengeluarkan lagi suara manjanya. Aku masih diam, tidak mau berkomentar apa-apa. Bagaimana mungkin tunangan Radit yang jadi susternya Ricardo, terlalu banyak kebetulan.
"Ah, nggak, mbak. Saya kemari bukan untuk memeriksa. Benar ini ruangan Tuan Ricardo?" jawab suster itu.
"Iya, sus. Saya Ricardo" Ricardo pun menjawab dengan santai sambil memakan buah yang baru saja Alyssa potong.
"Mas Ricardo, eh, saya panggil 'mas' gak apa kan ya?"
"Ada apa, sus? Bisa kami bantu?" jawab Alyssa ketus dan aku mencoba untuk menahan tawa melihat tingkahnya itu.
"Ngga, mbak. Saya mau ketemu sahabatnya mas Ricardo yang namanya Sinar" jawab suster yang adalah tunangan Radit itu. Nyari gue? Hah? Sontak aku langsung melihat ke suster tersebut saat mendengar namaku tersebut.
"Oooo, Sinar. Tuh yang di sono. Ada apaan, Sus?" jawab Ricardo sambil menunjuk ke arahku. Aku masih diam dan menunjukkan raut wajah kebingungan.
"Sinar?"  suster tersebut berjalan menghampiriku, dan mengulurkan tangan.
Aku menyambut tangannya, "Iya, saya Sinar. Hmmm.. ada apa ya, Sus?" tanyaku.
Perempuan cantik itu tersenyum, matanya jernih dan alisnya yang tebal rapi, mengingatkanku dengan raut wajah seseorang.
"Aku Dini, sepupunya mas Elang. Senang akhirnya bisa ketemu perempuan yang selalu dia bicarakan setiap hari" ucapnya.
Aku makin diam, hp yang aku pegang terlepas dari genggaman tanganku, badanku serasa tak bertulang, lemas. Dia masih mengulurkan tangan.
"Sinar? Kamu gak apa-apa?" dia menunduk dan mengambilkan hpku yang terjatuh, memberikannya kepadaku, lalu tersenyum kembali.
Aku menyambut tangannya, dia menggenggam tanganku dengan erat, senyumnya ceria, matanya berbinar menatapku. Ah mata dan alis itu, familiar.. iya, mata dan alis Elang mirip dengan miliknya.
"Sinar" jawabku datar saat tanganku menempel di tangannya.
"Wah, ini sodaranya Elang cowok lo, Nar" Ricardo ikut tersenyum dan melambaikan tangan ke Dini.
Dini menghampiri Ricardo dan Alyssa, memperkenalkan dirinya. Wanita ini yang aku sakiti? Wanita seceria ini? Dini memberi saran kesehatan untuk Ricardo kepada Alyssa, mereka bertiga berbincang tanpa menyadari aku membisu di sudut yang sama sejak satu jam yang lalu, memikirkan ini itu, apa saja yang telah aku lakukan dengan Radit, dan... dia adalah sepupu Elang.
"Sinar, malam ini aku jaga malam, pulangnya nanti jam 7 pagi, kamu jaga di sini juga? Kapan-kapan aku mau ngobrol sama kamu" ucap Dini menghampiriku.
"Iya, Din" jawabku lemah.
"Aku boleh minta pin BB kamu? Jadi kalau nanti mau janjian gampang"
"Hah? Hmmm.. iya, boleh" aku menyebutkan pin BB ku dan dia menambahkan aku sebagai teman. Teman? Aku masih tidak habis pikir kenapa ceritanya menjadi seperti ini.
"Aku balik kerja dulu, ya. Terima kasih mas Ricardo sudah dibolehin ruangannya jadi berisik tadi. Mbak Alyssa, dijaga baik-baik ya masnya, biar gak pingsan lagi. Sinar, sampai jumpa ya. Senang bertemu dengan kalian" Dini mengucapkan pamit kepada kami semua. Aku memberikan senyum sebisaku.
Aku ke toilet dan menyalakan rokok di dalamnya, aku menghisap rokokku dengan cepat, tidak terasa sudah rokok ketiga dan aku belum juga tau harus bagaimana nanti jika Elang atau Dini sampai tau tentang aku dan Radit.
"Sinar.. Sinar.." suara Alyssa mengetuk pintu toilet, aku membersihkan air mata yang tadi sempat keluar sedikit dari mataku, lalu membuka pintu toilet.
"Aku mau pulang, maaf ngerepotin kamu, harus nginep dan jagain Ricardo. Besok aku harus ke Singapore pemotretan. Tolong jaga baik-baik PACAR SAYA" ucap Alyssa berpamitan dengan menekankan kata PACAR diakhir kalimatnya.
"Iya, santai" jawabku singkat dan keluar dari toilet, menghampiri kursi yang ada di dekat tempat tidur Ricardo.
Mereka berdua berpelukan, cium dan akhirnya Alyssa pergi. Seharusnya malam ini aku ingin mengenang masa-masa SMPku bersama Ricardo, namun setelah pertemuan dengan Dini tadi aku benar-benar terdiam dan kehilangan banyak kata.
"Tidur lo" gue di kursi aja.
"Beneran, Nar lo mau nginep? Gue bisa kok sendirian" ucap Ricardo.
"Bener bisa sendirian?" tanyaku serius.
"Iya, kalau emang gak mau nemenin sih, ya pulang juga gak apa-apa" aku tau tawaran Ricardo kali ini hanya sebuah becandaan, tapi kali ini aku benar-benar butuh sendiri. Aku ambil tas dan bungkusan yang tadi ibuku titipkan untuk Ricardo.
"Oke, lo baik-baik di sini, kalau ada perlu apa-apa lo pencet tombol ini, nanti suster datang. Gue balik" aku menunjukkan ke Ricardo bagaimana cara memanggil suster dengan tombol yang berada di samping tempat tidurnya, lalu memeluk dia sekenanya, dan berjalan menuju pintu keluar.
"Nar, oi.. gue becanda kali, Nar.. tu anak kenapa dah?" ucapRicardo saat aku meninggalkannya, namun aku tidak menghiraukan dia sama sekali, aku terus berjalan, berjalan dengan terburu-buru untuk meninggalkan RS ini.

--

Aku tidak tau harus kemana, sudah pukul setengah dua belas malam. Kuhelakan nafas panjang, aku sampai ke taman yang tadi. Kulihat hpku, hanya ada BBM dari Elang, kubiarkan tetap tak terbaca, aku masih belum tau harus jawab 'kesan-kesan' ku atas pertemuan dengan sepupu yang dulu dia banggakan, karena berani mengambil resiko untuk memperjuangkan cintanya. Pindah agama untuk lelaki yang dia cintai, dan lelaki itu adalah simpananku, dan akupun simpanannya.
Aku menangis di taman yang mulai sepi itu, aku bingung harus kemana, jika aku pulang ibu akan bertanya kenapa aku meninggalkan Ricardo, mau ke rumah Febri satu-satunya teman perempuanku juga tidak mungkin, orang tuanya teman dekat Ibuku, apa yang akan dikatakan mereka jika jam segini aku kebingungan mau tidur di mana. Kembali ke RS? Tidak, nyaliku sedang ciut, aku takut, takut dan gemetar tiap kali Dini menatap mataku. Aku juga tidak bisa membiarkan Ricardo melihat keadaanku seperti ini.
-SMS-
"Selamat tidur, Sinar" SMS dari Bayang.
Bayang? Apa aku harus meminta bantuan dari dia? Hampir jam dua belas malam, dan aku masih belum tau akan tidur di mana malam ini, aku harus bergerak dari sini, taman mulai dingin dan makin sepi. Kuputuskan untuk membalas SMS Bayang. Duh, SMS gak ya. Gak, gue gak boleh ragu, gue gak mungkin ketemu Radit sekarang. Bayang.
"Bisa jemput gue sekarang di Taman Sudirman sekarang? Gue butuuh tempat nginep untuk malam ini" isi SMSku ke Bayang. Duh.. dia mau gak ya. Hhhhh..ngapain sih aku SMS dia, mending tadi minta Radit aja.  Sudah 10 menit smsku gak dibalas Bayang. Nyesel tadi SMS dia.
"Oke, aku sudah di jalan, kamu sendirian di taman?" SMS Bayang.
"Iya, di bangku dekat air mancur" balasku.

Jakarta, 13 Juni 2011

Tidak sampai lima belas menit setelah SMS darinya, Bayang sampai. Dia tersenyum dan memberikan jaket kepadaku, mengambil tasku dan membawakannya.
"Ayo, sudah malam, dingin di sini, pakai jaketnya" aku menuruti ucapannya, kupakai jaket yang dia berikan tadi, tangan kanannya menggandengku dan tangan kirinya membawa tasku.
Dia tidak bertanya sedang apa aku semalam itu di taman sendirian, air mataku, mata sembabku, tidak dia tanyakan sama sekali, lagi-lagi dia diam saat menyetir. Kami masuk ke sebuah apartement di kawasan Jakarta Selatan. Sudah sangat sepi sekali, kutengok hpku ternyata sudah jam satu malam. Aku memberi kabar kepada Ricardo, bahwa aku sedang sendiri dan menginap di hotel, nanti pagi-pagi sekali aku akan ke RS, dan  jangan sampai ada yang tau, kalau malam ini aku tidak menginap di RS. Ricardo tidak membaca BBMku, mungkin dia sudah tidur.
Sepanjang turun dari mobil, di dalam lift, Bayang tetap menggandeng tanganku. Malam ini dia hanya mengenakan kaos merah dan celana pendek berwarna cokelat muda.
"Sudah makan kamu?" tanyanya saat di dalam lift.
"Sudah" jawabku bohong.
Dia tersenyum. Lift behenti dan terbuka di lantai 22. Kami berjalan di lorong apartement yang sepi. Aku tidak pernah bertanya di mana dia tinggal, ternyata di sini.
--
Bayang membuka salah satu kamar, aku mengikutinya, sesampainya di dalam, dia menyalakan lampu dan mengarahkan aku untuk ke salah satu kamar yang ada di dalam apartementnya, dia meletakkan tasku. Aku masih diam, dia mengambilkan handuk dan masuk ke kamar mandi. Kembali menghampiriku, ternyata handuk itu dia bahasi dengan air hangat.
"Jangan nangis lagi, bersihin badannya pakai anduk ini, ganti baju, nanti aku ambilkan bajuku" dia memberikan anduk tersebut dan meninggalkan kamar. Aku menuruti ucapannya, membuka bajuku dan mengelap badanku dengan handuk basah yang dia berikan, belum selesai aku mengelap badanku, suara pintu terbuka, Bayang masuk. Sontak aku kaget dan menutupi bagian tubuhku.
"Pakai kaos ini, besar, jadi bisa buat daster" dia masuk ke dalam kamar dengan keadaan aku setengah telanjang, menaruh kaos yang dia bawa di atas tempat tidur lalu keluar kamar dan menutup pintu kamar kembali.
Sebenarnya aku bawa baju, tapi entah kenapa aku ingin sekali memakai kaos yang biasanya Bayang pakai. Ku kenakan kaos yang tadi dia berikan, badannya besar, kaos ini benar-benar tenggelam di badanku.
Aku lapar..makanan dari ibu ini masih bisa di makan, tapi dingin. Mau diangetin dulu, aku menatap pintu kamar, mempertimbangkan untuk keluar kamar atau tidak. Mana bisa tidur aku kalau lapar begini? Kuhelakan nafas panjang. Aku harus makan, ku ambil bungkusan berisi makanan dari Ibu untuk Ricardo tadi. Dengan pelan-pelan aku membuka pintu kamar, sudah gelap, sepertinya Bayang sudah tidur. Aku mencari di mana letak dapur, tidak begitu sulit, karena apartement ini tidak begitu besar. Aku memindahkan makanan yang ada di kotak makan ke tempat yang bisa dimasukkan ke microwave. 10 menit. Aku duduk menunggu makanan selesai dihangatkan.
Aku haus, lalu aku membuka lemari es besar yang ada di dekat pintu masuk dapur. Yah, isinya gini banget, sayur, susu, telor, gak ada yang bisa dicemil, aku mengambil minum dan saat kututup pintu lemari es, aku kaget dan hampir membuat gelas yang kupegang terjatuh, namun tanganku keburu ditangkap oleh sosok yang mengagetkanku. Bayang.
"Gue laper, gue bawa makanan sendiri kok. Cuma numpang ngangetin, nanti piring yang gue pake gue cuci sen..." ucapku kepada Bayang terpotong karena dia tetiba mencium bibirku, aku terdiam dan gelas yang kami pegang bersama terjatuh, dia tidak memperdulikannya. Hangat, hangat sekali dadaku saat berada di dekatnya, dia memeluk tubuhku dengan tubuh besarnya, erat sekali.
"Teeeeeeeeeeeeettt......!" aku terkejut dengan bunyi microwave, aku melepaskan pelukannya, dan mengambil lap untuk mengambil makananku. Meletakkannya di atas meja, lalu aku duduk. Bayang pun ikut duduk, dia di depanku.
"Makan.." aku menawarinya, dia hanya tersenyum.
Aku makan dan sambil sesekali melihatnya, diapun sedang melihatku, sesekali tersenyum. Tidak bicara satu patah pun. Dia mengambilkanku minum, lalu kembali duduk.
Aku mau mencuci piringku, tapi bayang langsung menyuruhku membiarkannya saja. Lagi-lagi wajah ini, wajah diamnya yang hanya tersenyum tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Dia menggendongku, membawaku ke kamar tadi, ini kamar tamu, jelas bukan kamar dia, karena isinya kosong. Meletakkan ku di atas tempat tidur, aku seperti terhipnotis oleh tatapannya. Dan perasaan ini, hangat di dalam dada ini, belum pernah aku rasakan sehebat ini sebelumnya.
Pandangan mataku tidak bisa lepas dari matanya yang hangat, juga senyumnya yang selalu menggetarkan hatiku. Malam ini terasa begitu indah, sudah lama aku tidak merasakan nafsu dan rasa hangat di dalam dada sdatang ecara bersamaan, aku sangat menikmati malam ini.
--
Aku merebahkan kepalaku di dadanya yang bidang, dia tertidur, wajahnya sangat sempurna, kulitnya yang tidak putih membuat dia terlihat sangat sexy, badannya harum, bahkan saat tertidur seperti ini. Aku mengambil hpku, ku foto wajahnya tanpa blitz agar dia tidak terbangun. Aku terus memandangi wajahnya, sesekalii tersenyum mengingat bagaimana kami bertemu pertama kali. Bayang Samuderana.
"Been up all night staring at you, wondering what's on your mind. But I've been this way with so many before, but this feels like the first time. You want the sunrise, go back to bed, I want to make you laugh. Mess up my bed with me, kick off the covers I'm waiting. Every word you say I think I should write down, I dont want to forget come daylight. Happy to lay here, just happy to be here. I'm happy to know you."
-Schuyler Fisk and Joshua Radin Paperweight-

Dia membuka matanya lalu menangkap mataku yang sedang melihatnya sedari tadi, diapun memelukku dengan lengan kanannya, menaruh kepalaku di atas dadanya yang bidang. Lalu akupun  tertidur dengan penuh senyum dalam pelukannya.
--
Aku terbangun dengan perasaan asing, di mana ini? Ah.. di apartement Bayang, aku masih tidak mengenakan baju, Bayang sudah tidak ada di tempat tidur. Kukenakan bajuku, lalu ke luar kamar, tidak ada siapa-siapa. Apartement ini kosong, aku kembali ke dalam kamar tadi dan duduk di atas tempat tidur, mengambil hp ku yang berada di atas meja di samping tempat tidur, melihat hasil foto Bayang yang kuambil dengan diam-diam tadi malam dengan tersenyum. Mengecek BBM dan pesan yang masuk. Ada dari Elang, Ricardo, Radit dan SMS, biasanya hanya Bayang yang mengirimkan aku SMS.
"Maaf, kamu aku tinggal sendiri. Aku harus kerja. Kamu kalau mau sarapan pesan saja, ada nomer teleponnya di meja telepon di ruang TV. Jangan lupa mandi, bawa saja kunci apartementnya, aku ada duplikatnya dan jangan nangis lagi" SMS dari Bayang.
Aku tersenyum membacanya. Namun senyumku sontak terhenti saat melihat jam yang tergantung di dinding kamar ini. Hah? Jam 10? Aku harus ke RS. Nanti bisa ketauan kalau aku gak jaga Ricardo. Ada BBM masuk lagi.
"Nar, gue gak tau elo kenapa semalem. Gue juga gak paham kenapa gue harus bohong bilang lo di sini, padahal gue kagak tau lo sekarang ada di mana. BBM gue dari semalem gak dibaca" BBM dari Ricardo.
"Sorry, Do.  Gue ketiduran semalam. Ini baru liat hp. Gue juga bangun kesiangan. Baru mau ke sana, lo BBM" jawabku.
"Gak usah kemari, Nar. Ada bokap sama adek gue di sini, tadi pas mereka dateng nanyain lo, gue bilang baru aja 10 menit yang lalu pulang. Ngertikan maksud gue?"
"Iya"
"Iya apaan? Lo balik sekarang. Biar kagak ketauan ngibulnya kita. Tapi lo utang satu penjelasan ke gue tentang apa yang terjadi semalem, kemana lo semalem dan di mana lo sekarang"
"Gue balik sekarang. Nanti aja bahasnya pas lo sembuh" ku matikan hpku, agar tidak ada yang bisa menghubungiku.
Aku bersiap-siap kembali ke rumah. Di sepanjang perjalanan aku banyak menghelakan nafas menelaah satu-satu kejadian yang belum lama ini terjadi. Bayang? Apakah akan menjadi cerita baru? Atau hanya sekedar masalah baru?
--
Sesampainya di rumah, seperti biasa jam segini rumahku kosong, Ibuku kerja. Hari ini aku benar-benar tidak bisa ke kampus. Seharusnya ada 3 mata kuliah, tapi aku tidak mau ke mana-mana sekarang. Aku butuh sendiri.
Bayang Samuderana.. Hhhhh..
Aku melanjutkan tidurku yang masih sangat kurang semalam.
--
"Nar, Sinar.." seseorang mengoyang-goyangkan tanganku.
Kulihat jendela kamarku, di luar sudah gelap. Kulihat sosok yang membangunkanku, Ibu. Ah sudah malam rupanya, Ibu sudah pulang dari kantor.
"Capek ya kamu pulang kuliah? Makan dulu yuk, sudah jam 8 malam, kalau gak dibangunin nanti kamu bablas tidur sampai besok gak makan" ucap Ibuku.
"Iya, bu. Sebentar lagi Sinar ke depan, Ibu sudah makan? Makan duluan aja kalau belum" lanjutku.
"Gak, kita makan bareng-bareng, itu Ricardo sudah nungguin di meja makan"
"Hah? Diakan di RS"
"Kan sudah 3 hari, sakitnya bukan sakit berat, jadinya bisa pulang kapan aja. Ini ibu memang masak buat dia, dan emang sudah lama aja gak makan bareng dia, ayo atuh buru" ajak Ibuku dengan menarik tanganku.
Akupun beranjak dari tempat tidur, keluar kamar dan benar ada Ricardo di sana.
"Buseet..anak perawan tidurnye udah kaya orang mati" ledek Ricardo saat melihatku keluar kamar.
"Keluar RS kapan lo?" tanyaku ke dia.
"Heh, pada makan dulu. Ayo nasi sama lauknya diambil, masa mesti Ibu yang ngambilin" ucap Ibuku memotong percakapan kami.
Lalu kami makan sambil bercerita hal-hal ringan yang membuat tertawa, tentang kondisi Ricardo, kuliah kami, sampai ke masalah sinetron yang biasa kami tonton bertiga sewaktu dulu.
--
Aku dan Ricardo duduk di teras, kami belum memabahas masalah penting sedari tadi hanya tertawa. Lelah tertawa kami sama-sama diam, hanya konsentrasi pada rokok masing-masing. Ibu sudah tidur sepertinya, jadi aman untukku merokok di rumah di jam segini.
"Nar, kemaren lo kenapa?" tanya Ricardo.
"Gak apa-apa" jawabku sambil tersenyum.
"Trus lo tidur di mana kemaren?"
"Hotel"
"Cailah, ni anak hobi bener buang-buang duit. Nar, maapin gue ya, kemarin kan gue bilang gue bisa sendiri di RS itu Cuma becanda"
"Gak usah minta maaf, lo gak salah kok. Ngapain minta maaf"
"Bener nih lo gak marah? Tapi lo bae-bae aja kan, Nar?"
"Baek" jawabku singkat.
Kami mengobrol hingga jam 11 malam, lalu dia pamit pulang. Aku kembali ke kamarku. Sedari siang aku mematikan hp, aku mengecek pesan-pesan yang masuk.
-BBM-
"Kamu kemana aja sih? Dari kemarin gak ada kabar? Aku telepon juga gak aktif terus" BBM dari Elang.
"Iya, lagi suntuk. Jadi lagi bener-bener pengin sendiri" jawabku.
"Pengin sendiri? Kenapa? Kamu baik-baik aja"
"Nggak, aku gak apa-apa. Aku boleh istirahat sekarang? Kepalaku sakit"
"Iya, baiklah. Kamu istirahat, jangan capek-capek ya. Selamat tidur, sayang" sifat Elang yang tidak mungkin tega aku marah kepadanya, dia sangat pengalah dan mengerti aku. 
"Terima kasih. Selamat tidur" jawabku.

Tidak ada kabar dari Bayang seharian ini setelah kejadian semalam, aku benar-benar ingin mendengar suaranya. Tiap kali aku memikirkan dia, pasti ada senyum tercipta di wajahku. SMS Bayang gak ya? Duh. Aku malu. Aku orang yang baru saja dia kenal, tidur dengannya, dan sekarang setelahnya dia gak ngasih kabar apa-apa. Bayang, ah seharusnya aku tidak perlu memikirkannya, ini hanya one night stand, seharusnya dari tadi aku sadar, kami melakukan sex tanpa status apa-apa dan setelahnya tidak ada kabar. Laki-laki!
--
Jakarta, 14 Juni 2011

"Siang Sinar, ini Dini" BBM masuk dari Dini, tunangan selingkuhanku sekaligus sepupu dari Elang pacarku.
"Hay, Din" jawabku.
"Nanti ke kampus?" aku rencananya mau ke sana sebelum kerja, mau ketemu tunanganku. Kamu kuliah jam berapa?" tanyanya di BBM.
Hah? Dia mau ke kampus ketemu Radit dan dia mengajak aku bergabung? No way!
"Aku kuliah jam 10, Din, tapi abis itu sudah ada janji mau jalan sama temen nyari buku" aku menolak ajakannya secara halus.
"Yah, sayang banget, aku masuk kerja jam 5 sore, aku janjian sama pacarku jam 2 siang, habis cari buku kamu mau gak ke kampus lagi? Please.. aku mau ngobrol-ngobrol sama kamu" Dini masih berusaha merayuku.
Tidak, aku masih belum siap bertemu dengannya, baiknya aku "iya-kan" saja sekarang, lalu aku batalkan nanti.
"Hmmm..jam 2 yah? Liat nanti deh, nanti dikabarin lagi" ucapku.
"Asik, mudah-mudahan kita bertemu yah" Dini menutup percakapan.
--
Kuliah sudah berakhir, jam 12 siang, dua jam lagi Dini ada di sini, aku harus pergi sekarang. Ucapku dalam hati sambil membereskan buku-bukuku ke dalam tas. Hari ini Ricardo masih belum masuk kuliah, tante Ina masih menyuruhnya istirahat, aku pulang naik bus deh.
Aku berjalan ke luar kampus, ada Radit di depan ruang senat bersama teman-temannya. Dia melihatku tanpa reaksi apa-apa, aku melaluinya tanpa reaksi apa-apa juga. Aku berjalan sekitar 10 meter ketempat biasa aku menunggu bus.
"SINAAAAR..." terdengar suara teriakan seorang wanita yang baru saja memberhentikan mobilnya. Dia membuka kaca mobil dan melambaikan tangannya, dia mengenakan kaca mata hitam, hmmm..siapa ya? Aku tidak mengenalinya. Dia membuka pintu dan turun dari mobil, aku masih terdiam di tempatku. Dia membuka kacamatanya, dan ternyata Dini. What?!
Dini menghampiriku sambil sedikit berlari.
"Hhhhh..hampir aja aku gak ngeliat kamu" ucap Dini sambil memegang tangan kananku.
"Din? Katanya mau dateng jam 2" tanyaku.
"Iya, aku sengaja datang jam segini, mau nganterin kamu beli buku, sekalian sama pacarku juga mau beli buku. Dia ada di kampus sekarang. Yuk, ke dia dulu" Dini mengajakku kembali ke kampus.
Aku harus gimana? Diam? Radit? Aku harus memberi tahu Radit! Ini gak boleh terjadi.
Dini menarik tanganku, mengeluarkan hpnya dan menelepon seseorang.
"Sayang, aku sudah di kampus kamu, ketemu di depan pintu masuk ya. Cepet.." ucap Dini ke seseorang yang dia telepon. Radit. Itu pasti yang dia telepon Radit.
Apa yang harus aku lakukan?

Bersambung....


~ (Oleh: @ekaotto)

I Think I'm in Love #6

Sekedar memandanginya dari  jauh saja, sudah membuat hatiku bahagia. Bisa tahu namanya dan dekat dengannya sudah membuat pipiku merah. Mengobrol dengannya, buat aku sesak saking bahagia. Tahu dia punya rasa yang sama, ohh Tuhan, aku tak bisa berkata-kata lagi.

Dia benar-benar sudah single, dia menyukaiku, akupun demikian. Namun terkadang, orang-orang disekitarmu tak perduli dengan apa yang kau rasakan, mereka hanya percaya pada apa yang mereka dengar dan mereka lihat. Padahal, belum tentu yang kita dengar itu selalu benar, dan apa yang kita lihat begitu adanya, ada kalanya yang terselubung itulah yang benar. Hehehe. Aku hanya meyakinkan diriku sendiri, tak ada yang bisa meyakinkanku saat ini, benar-benar kacau.

Berasa jadi selebriti ditengah-tengah orang ini. Lihat saja, mereka melihatku sedemikian rupa, seolah-olah aku tengah melakukan tindakan kriminal yang begitu kejam. Sebegitu populernyakah sang senior ini ? sampai berita sekecil upil tentangnya langsung tersebar, dan ini bukan berita baik untuk kepopuleran.

Tiba-tiba semua orang membenciku, bahkan orang terdekatku sekalipun, heran. Mereka semua telah memvonis aku telah merebut si senior itu dari kekasihnya. Sungguh diatas kesungguhan, aku tak bermodalkan apa-apa tuk menarik perhatiannya. Mereka benar-benar tak peka, merasakan apa yang tengah kurasakan, aku hanya membela hatiku, hati tak pernah bohong.

Hal ini benar-benar membuatku terpukul. Tak tahu ingin menyalahkan siapa. Akupun tak tahu aku benar-benar bersalah atau tidak.  Dikucilkan, sangat tidak berharap seperti ini, untuk sesuatu kesalahan yang tak kulakukan.
Sesampai di rumah. Aku membuka pintu kamarku, membuang tubuhku ke kasur gabusku, kasur empukku, dengan gaya tengkurap aku menutup kepalaku dengan bantal. Hiks..hiks..hiks, tak lama suara tangisanku pun keluar-walau samar terdengar karena tertutupi bantal- bersamaan dengan keluarnya air mataku. Gaya ini benar-benar mirip di sinetron. Tapi sumpah, gaya menangis seperti ini membawa rasa tersendiri.

Yaa, aku tengah bersedih, aku tengah menangis. Baru saja aku mengalami patah hati, aku benar-benar luka disini (hati.red). Hampir 60 menit aku membiarkan air mataku berjatuhan, memaki-maki sendiri, bicara sendiri, dan hal konyol lainnya.

Tissue.. tissue, tissue.

Kubiarkan saja tissue yang berisi 500 sheet yang baru saja ku beli itu habis. Kasur gabusku jadi bersepreykan tissue.

Aku pernah bertanya pada seseorang, "apakah air mata itu isinya hanya kesedihan ?" dia tidak menjawab iya atau tidak, tapi dia menjawab  "air mata itu keluar bersama dengan kesedihan sehingga yang tertinggal nantinya adalah rasa bahagia.

Jadi, jangan malu untuk menangis. Aku menangis bukan karena aku cengeng.  Menangis itu sangat diperlukan, jika kau ingin bahagia, buanglah sedihmu, keluarkan air matamu. Menangislah, karena itu memang perlu.

60 menit berlalu, aku menuju ke sudut kamarku. Mataku terasa perih, hidungku mampet, pipiku terasa panas. Sepertinya ini tanda-tanda perginya kesedihan itu. Semacam efek samping. Aku berhenti terpaku didepan sebuah lukisan. Sebuah lukisan gadis jelek, matanya sipit, hidungnya mekar, bibirnya manyun. Tak sedap dipandang !.

Aku mendekatkan wajahku kearah lukisan itu, hendak memperhatikannya dengan seksama. Tiba-tiba aku terlonjak kaget, gadis yang ada dilukisan itu ikut bergerak mendekat kepadaku. Sepertinya dia juga penasaran ingin melihatku. Ya ampun .. !!!!. itu cerminku !.

Ya, lukisan yang kumaksud adalah diriku, aku bahkan lupa kalau aku menaruh cermin dibagian sudut kamarku. Hahahah, aku pun mulai tertawa terbahak-bahak.
Ternyata terlalu lama, terlalu banyak membuang kesedihan itu juga tak baik yah ?. biarkanlah kesedihan sedikit bersemayam di hatimu, agar nantinya dengan adanya kesedihan kau akan lebih mengenal dan merasakan apa itu kebahagiaan.

Sambil melototi wajahku dicermin aku berkata pada diriku yang lain, yang berada dicermin itu.

"Hei gadis manis, berhentilah menangis, itu hanya akan membuat matamu menjadi semakin sipit, hidungmu semakin mekar, dan bibirmu bertambah manyun. Tersenyumlah, karena kesedihan itu juga adalah bahagia yang tertunda"


~ (Oleh: @dhaniramadhan)

Balada Kepincut Tawa

Cowok baik mau nemenin ceweknya belanja.Cowok terbaik nggak pingsan waktu liat struknya.

Sekali, dua kali, tiga kali, lama-lama mata gue berubah wujud jadi wiper mobil. Bolak-balik menelusuri barisan 140 karakter di timeline Twitter gue. Satu akun jadi target operasi, @comicaLife sang terdakwa.

72 jam berlalu sejak gue nerima kertas dari Davi, klik search user name dan follow akun yang ditulis di secarik kertas penuh energi kosmis berjudul JODI alias JOdoh DIcari. Yak, jodoh sekarang udah satu spesies sama koruptor. Makin berliku jalan buat ketemunya, harus dipancing dulu biar keluar dari sarangnya (lah, kok mirip sama singa di Taman Safari ya?).

Twit tentang cowok baik dan cowok terbaik itu bikin spekulasi warung kopi muncul di otak gue. Apa dear comical boy udah status siaga satu? Dengan satpamwati di sampingnya? Atau dia masih berkelana mereguk asmara? Bujangan, bujangan, bu jangan dikawinin dulu anaknyaaa!! *Ayah Rhoma mode on*

Ehm, sori. Kurang gula darah bikin halusinasi pagi hari. Waktunya minum obat, sepiring lontong sayur porsi jumbo. Hati boleh kepincut, perut jangan ikut mengkerut.

Sengaja gue dateng ke kantor pagi-pagi buta dan skip sarapan demi koneksi internet cepat kilat dan ngelanjutin investigasi (ucapin dengan intonasi berwibawa ya) satu makhluk bernama Euforiano. Mumpung belum ada morning meeting, tumpukan tugas artikel yang harus gue tulis, dan tusukan maut deadline yang bikin bulu idung rontok.

Don't get me wrong, I love my job so much. Siapa sih yang bakal nolak dibayar buat icip-icip makanan trus lo curhat tentang apa yang barusan lo nikmatin? Padahal gue bukan Robert David Chaniago, yang jago masak macem-macem or punya menu andalan dashyat macem balado ala Francaise itu. Cuman ternyata kalo cinta udah dateng ketok-ketok hati dan kepala, dia suka berkonspirasi sama mood seenaknya. Bikin kita males sama hal yang penting dan rajin sama hal yang sebenernya dikerjainnya sambil merem aja.

Cinta, menerbitkan semangat membara gue ngalahin ayam jago Ibu Kos bangun pagi. Salahin aja gue, bikin dia bakal jadi ayam galau semingguan ini. Syukur-syukur nggak mogok makan atau minum Cap Tikus dioplos Topi Miring saking depresinya. 

GUBRAK!!

Tiba-tiba gue terjengkang ala Stephen Chow, gara-gara muter-muter labil di kursi kerja kubikel gue. Sakitnya lumayan, tapi nggak disangka malah bikin gue kena sengatan listrik atas nama "putus urat malu". Saatnya gue masuk gigi satu dan jalan maju.
Gue buka timeline Euforiano sekali lagi dan mencari twit ambigu itu. Reply pun gue ketik : Cowok ter-terbaik itu yang kebal senjata, santet n berani menghadang debt collector kartu kredit si cewek. SEND TWEET.

Damn. Twit gue barusan kenapa berasa janggal ya? Garing? Horor? Provokatif? Atau malah kedengerannya curcol? Semoga aja dia nggak ngira gue ini pemilik agen penyalur debt collector, dikelilingi om-om berkumis baplang, bertato, dan demen ngancem-ngancem. Argh, argh, argh!

Harap-harap cemas gue nunggu mention dari comical boy satu itu. Tanpa gue sadarin, tau-tau sebuah tepukan keras di pundak dan aroma White Musk yang gue sangat kenal merasuk seketika. "Hei! Semangat 45 bener nih yang udah ketemu calon belahan jidat, eh belahan jiwa, maksudnya!" Melanie muncul sambil cekikikan godain gue, si korban cacing kegalauan (Tul, cacing sekarang udah nggak kepanasan, tapi malah galau gara-gara kebanyakan dengerin lagu Afgan).

Sobat gue ini juga kerja di gedung yang sama, dengan profesi yang hampir mirip. Kita berdua sama-sama jurnalis, beda media, tapi masih satu grup. Melanie berposisi sebagai redaktur cinta dan psikologi di sebuah majalah wanita terkemuka. Suatu pengakuan nyata atas bakatnya yang penuh pahala, membantu manusia-manusia sarat problem dan aneh bin ajaib macem gue.

Ke-gep lagi kasmaran nggak jelas juntrungannya, otomatis gue berlagak balik ke karakter asli yang cengengesan. Sialnya, yang tergambar di muka malah nyengir kuda di musim kawin. You can't hide that thing called love, my friend. Nggak ada pilihan lain, mulut Melanie harus dibungkam dengan sereal coklat dan susu stroberi favoritnya. Berbarengan dengan niat gue menyeret Melanie buat sesi ngemil-pagi-padahal-udah-sarapan-sebakul, sebuah bunyi tanda notification Twitter terdengar dari smart phone gue. Kebeneran nih!

Lima menit kemudian, gue dan Melanie udah duduk manis di open pantry kantor tercinta. Gue nahan nggak buru-buru buka aplikasi Twitter dan ngintip siapa yang mention gue barusan. "Cepetan buka, Ri. Keburu ntar ilang di tikungan," Melanie dorong-dorong gue, bikin kita lengkap keliatan kaya abege labil nunggu balesan SMS dari kakak kelas.

Klik. comicaLife @nonahahahihi kalo si cewek juga bisa ikut hadepin debt collector, mantili dan lasmini boleh minggir :)

Laaaah!! Mas Adam Sandler doyan Saur Sepuh???? Bumi gonjang-ganjing ini namanya! Nais, Gan! Gue kedip-kedip nggak percaya, twit geje gue dibales juga sama Euforiano. Cowok satu ini emang menyimpan sejuta misteri, semacem sama Laut Kidul. Ckckckck..

"Cieee.. Suitwiwww, yang dibales twitnya. Eh, lo udah cek followers list? Kali aja dia follow lo balik," ujar Melanie ikut hepi dengan perkembangan taktik sihirnya. Jreng!

Bener juga ramalan Mama Amora, comical boy itu udah follow gue. "Makanya, Ri. Dia pake jurus Saur Sepuh buat meng-KO lo. Soalnya dia tau dari bio, kalo lo suka sama yang berbau jadul. Nice try. Umpan lo disamber tuh, Non," Melanie mulai ngeluarin jurusnya membaca sikon yang gue hadepin. Satu twit balesan dan sejuta teori kita keluarin pagi itu. Sampai akhirnya, setelah satu jam kita mulai tenggelam dengan kesibukan kerja yang bikin waktu seakan cuma segenggam pasir yang cepet banget jatuh dan hilang.

Malem pun dateng dan waktunya bercengkrama sebelum tidur. Balik lagi ke taktik sihir supaya cepet menghasilkan gol indah. "Jadi, gimana lagi nih, Mel? What should I do next?" tanya gue penasaran. Melanie berpikir sejenak sambil memeluk teddy bear biru gede pemberian Davi. "Sori ya, Mel. Gue kelepasan ngetwit joke buat twit pertama ke dia. Padahal, lo bilang gue harus nahan dulu nggak ngelucu depan dia," sesal gue yang baru keinget larangan Melanie tentang jadi penonton dulu.

"Nggak masalah, Ri. Kan kalian belum bener-bener ketemuan. Namanya juga kasih umpan, harus yang tokcer dong biar dimakan dengan sukses," ujar Melanie. Fiuuuh.. lega juga denger kata-kata Melanie barusan.

"Tapiiii... sekarang lo mulai agak serius ya. Lo coba DM (alias direct message) dia. Puji penampilan dia di WooHoo waktu itu. Buka juga blognya dia dan di dalem DM itu bilang kalo you like his witty jokes. Minta izin buat pake beberapa joke dia buat kepentingan artikel lo," saran Melanie berturut-turut. Wow! Edan bener solusi Ibu Peri ini. Back to basic, pake alesan pekerjaan buat deketin cowok. Sekali lagi, asyik!

Jari-jari gue mulai lincah mengetik DM buat sang target. Sambil mengingat hasil korek-korek gue hari ini di blog Euforiano, isinya simpel dan minimal, tapi efek ngocok perutnya maksimal abis! Termasuk juga joke-joke yang gue denger di WooHoo waktu itu, bikin makin melayang pengen cepet ketemu dengan si jenius ini.

Setelah beberapa kali ber-DM ria, jadilah kita mengatur kopi darat (jiahhh.. MIRC banget ini bahasanya, berasa Ramli Raja Chatting punya gebetan namanya Putri, hehehehe). Atas nama profesionalisme berbau udang di balik saos Padang, gue bakal masuk ke medan perang sesungguhnya. Jumat depan, jam 8 malam. Tempatnya? Dengan baik hati, dia biarin gue yang nentuin daaaaan of course I pick Perky Park! Bener-bener mau aja cowok ini digiring ke kandang singa, auuummm!!

Tidur gue lelap nyenyak, dan bahkan nyamuk-nyamuk terkutuk pun nggak berhasil mengganggu gue malem itu. Melanie janji bakal nerangin lengkap rencana Friday Night Strike itu besok malem sementara dia mau bikin lengkap dengan diagramnya (jadi inget rencana penyerangannya Kevin buat maling-maling edan di Home Alone hehehehe).

Euforiano, gue bakal hirup euforia dari kelakar istimewa lo nanti. Kita liat aja, apa percikan api itu ada? Seperti selang aspal gas tiga kilo yang mudah tersulut, you'll bring a new heat to my life. Siapin karung goni basah, kali aja korsletnya bikin kebakaran massal di rumah susun terdekat. *bunyiin sirene*

Cinta. Lo bikin gue (makin) aneh, but I like it. Cihuiii!

-sambunglagiesokhari-




~ (oleh @retro_neko)

Kebo dan Anak Presiden #6

Sudah bisa ditebak, rencana Roby tak berhasil. Hampir saja dia babak belur dipukuli oleh Mas Bob kalau saja Keisya tak cepat datang. Jantungku sendiri sudah hampir copot melihat tubuh Roby diangkat begitu mudahnya. Padahal secara fisik, tinggi Roby berada diatas rata-rata cowok.
"Mas Bob, udah jangan berantem," Keisya mencoba melerai. Herannya, raut wajah yang tadi mengeras langsung melunak saat Keisya datang. Seperti dihipnotis, gorilla itu melepas cengkramannya. Roby terbatuk-batuk, memgangi lehernya yang sakit.
"Saya tunggu di mobil, Non." Mas Bob berbalik menuju mobil Keisya yang tidak jauh dari tempat kami sekarang. Keisya menatapku tajam. Aku menghela napas, bersiap mendapatkan amarah dari Keisya.
"Kamu gila apa ya?!" teriak Keisya padaku. Aku hanya bisa meringis. Di sebelahku Roby tampak kepayahan mengatur napasnya. Dimas dan Niko memeganginya agar dia tak jatuh. Ku beri kunci mobilku kepada Niko agar dia bisa membawa Roby kesana. Aku harus menyelesaikan masalahku dengan Keisya.
"Aku nggak gila. Ini semua idenya Dimas. Tapi malah Roby yang hampir jadi korban," aku berusaha membela diri. Bibir Keisya mengerucut, wajahnya sama sekali tak senang.
"Nggak lucu Keenan. Tadi Mas Bob bisa saja memukul temanmu sampai babak belur. Aku nggak yakin bisa bikin Mas Bob berhenti kalau dia sudah marah." Keisya benar-benar tampak gusar. Ada ekspresi ketakutan tergambar di wajahnya.
Ku pandangi lekat wajah itu. Baru kusadari ternyata wajahnya 10 kali lebih imut-imut saat sedang marah seperti ini. Bibirnya yang mengerut, pipinya yang menggembung dan alisnya yang bertaut dengan matanya yang menyipit. Ingin rasanya ku cubit pipinya. Tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat.
"Promise me this is not going to happen anymore," ujarnya seraya berlalu dari hadapanku. Aku cuma bisa menatap dirinya. Tanpa sadar aku mengikuti langkah kaki dan ayunan tubuhnya. Dear God. I think I really am in love.




~ (oleh @farahpai)

Annica #6

#6

Hi.
It's a short simple word but it's how love starts.

- Annica -


Edrick: hai...pagi. uda di kntor?
Annica: haii…ngga nih, lg di jln. Mau ke cabang
Edrick: ohh…ngga nyetir kan?
Annica: ngga, sm supir kntor
Edrick: sangkainnn… :p
Annica: ngga ahh, malesss mau nyetir, capeeee..macet pula x_x di kntor?
Edrick: iya nih di kntor..hmm..bole tau no.telp km ga?
Annica: kntornya dmn emang?
Edrick: di daerah grogol sana
Annica: ohh..kntor apaan emangnya?
Edrick: ahh..bkn kntor lha,cm bantu bokap aja,usaha kcl2an. Dkt sama toko David
Annica: ohh..dkt toh? David buka tmpt makan kan ya?
Edrick: iya,pnh mkn sana?
Annica: blm prnh nih,pgn sih,tp blm smpet mau main2 ksna :D
Edrick: nti mlm mau? Aku jmput
Annica: hmm…liat nti dehh,abisnya ga tau mau balik jam brp nih,ada meeting jg x_x
Edrick: sbk bngt,bagian apa emangnya?
Annica: ahh..sok sibuk doang kali :D bagian finance
Edrick: wuihh..pinter nih klo bagian finance sih, bnyk duitnya
Annica: iya duit org
Edrick: yg penting duit :p
Annica: hahahhaaa… *rofl*
Edrick: km lahir taon brp sih?
Annica: taon ini umur 26. km?
Edrick: hohhh…sama dong
Annica: lhooo..sama? sangkain seumur david
Edrick: ngga,david lbh tua :D
Annica: I see…
Edrick: jd no telpnya brp nih?
Annica: nomor telp gue?
Edrick: bkn tetangga
Annica *rofl*

Edrick itu anaknya santai, rame, dan bawel.
Seenggaknya itu yang bisa aku simpulkan dari beberapa hari ini mengobrol lewat bbm dengannya.
Dan dia amat sangat semangat dan niat bbm setiap hari.

Edrick: km lg flu?
Annica: iya nih..
Edrick: uda mnm obat?
Annica: blm,smlem minumnya soalnya klo mnm skrg jd ngantuk ga bs krja.
Edrick: gmn mau smbuh klo ga mnm obt. Aku anterin obt ya?
Annica: obat apaan? Ga usah deh, nti pulang tdr jg bsk uda smbuh.plng krg tdr doang kok
Edrick: ya tetep msti mnm obt lha. Aku beliin ya,aku anterin,ok?
Annica: ga usah, beneran, makasihhh…di rmh ada obt kok
Edrick: yakin?
Annica: iya yakin kok
Edrick: ya udah,klo ngga sembuh jg nti mnm obt dari aku ya
Annica: iyaaa…

"Lho lu kerja Ann?"
Aku menatap Ricky yang berdiri di pintu ruanganku sambil membawa secangkir kopi panas di tangannya.
Aku hanya menganggukkan kepalaku dengan tissue di tangan yang menutupi setengah mukaku.
"Gue pikir lu istirahat di rumah. Kenapa ngga tidur aja di rumah?"
"Still have so much works here, lagian gue masih sanggup berdiri. Kalo di rumah aja malah pening ngga ada kerjaan"
"But you need to take a rest"
"Iya, nanti deh, sebentar lagi gue balik"
"Ya udah, kalo mau balik jangan nyetir ya, telpon gue aja"
"Iya"
Ricky keluar dari ruanganku, berjalan menuju ruangannya. Dan aku masih dengan tissue menutupi hidung dan setumpuk kertas untuk diperiksa.

Edrick: gimana pileknya?

Aku menatap blackberryku, ada bbm masuk lagi, dari Edrick tentunya.
Ternyata dia bener-bener niat ya, padahal aku sering lama membalasnya.

Annica: masih pilek
Edrick: di kntor?
Annica: iya, di kntor nih *sigh*
Edrick: knp ga pulang aja, emang konsen?
Annica: yaaa…dikonsen2in dehh…gmn dong, kerjaan bnyk
Edrick: ckckckck…bnr2 kryawan teladan. Bagusss… :p
Annica: *not interested*
Edrick: hahahahhaa…wanna have a dinner with me tonight?
Annica: ngga bisa kyknya, pening banget kepala. Next time ya?
Edrick: yauda, km istirahat aja deh. Laen kali baru aku tagih, hehehe
Annica: okehhhh…siaaappp! *grin*


~ (@luilliciousmey)

Sedia Payung Sebelum Hujan #4




"Sedia payung sebelum hujan: melakukan antisipasi terhadap sesuatu sebelum sesuatu tersebut menjadi masalah."


Sedari kecil, aku memang tidak pernah menyukai hujan, terutama hujan besar dengan rangkaian petir didalamnya, sekalipun itu hanyalah gerimis. Entah apa penyebabnya, aku sendiri pun tidak menemukannya. Aku tidak suka becek, tanah menjadi lembek, udara dingin karena hujan. Seringkali aku mengumpat pada hujan, jika agenda acara yang telah kususun rapi terpaksa hancur berantakan atau ditunda gegara ulahnya. Hujan tidak suka melihatku bahagia, begitu prasangkaku. Jadi, jangan heran, jika musim penghujan datang, aku adalah orang yang paling berduka cita karenanya. Ini sudah 12 hari sejak Tahun Baru, namun masih saja hujan turun setiap hari dan hampir disetiap waktu.
            Adalah lelaki bernama Ananda Lelaki Hujan alias Ojan sebagai orang pertama yang memprovokasiku untuk menyukai hujan. Pria ini bertubuh agak gempal dengan tinggi 175cm, kulit sawo matang, dan memiliki sedikit jambang di wajahnya. Garis mukanya begitu tegas. Ia tidak begitu tampan, namun bisa dibilang good looking. Berbanding terbalik denganku, Ojan sangat menyukai hujan. Ia pernah bercerita padaku, waktu kecilnya kerapkali hujan-hujanan setiap kali hujan datang, dan kerapkali pula dimarahi ibunya gara-gara itu. Namun, Ojan tidak pernah jera. Ia malah semakin menyukai dan bahkan tergila-gila dengan hujan. Keluarganya hampir menganggap ia "sakit jiwa" karena setiap kali hujan turun, pada saat itu, Ojan akan berlari keluar, tertawa-tawa, kemudian melompat dan menari-nari seperti orang kerasukan. Ojan sempat dibawa ke psikiater, psikiater bilang Ojan tidak mengidap penyakit jiwa apapun, ia dinyatakan benar-benar sehat. Semenjak itu, keluarganya pasrah, lama-lama malah terbiasa dengan kelakuan Ojan yang 'ajaib' itu.

13 Januari 2009
Ini kali ketiga, Ojan mengajakku ke kedai ini. Sebuah kedai kopi kecil yang letaknya di sebuah gang di Jalan Alkateri (ABC). Kedai kopi ini sudah ada sejak puluhan tahun lamanya. Struktur bangunannya masih kuno, begitupun dengan peralatan yang ada di kedai ini. Ini tempat favorit Ojan, selain tenang, racikan kopinya pun begitu enak. Ya, kuakui racikan kopinya luar biasa enak, bahkan kopi di kafe ternama pun tak mampu menyaingi kelezatan kopi ini. Entah mantra atau jampi apa yang peramunya pakai.
Kami duduk berhadapan. Secangkir kopi. Beberapa makanan ringan seperti pisang goreng dan ketan bakar. Seperti biasa, menemani kami berbincang hingga lupa waktu. Langit begitu mendung, hawa dingin menusuk sampai ke tulang. Namun, ada kehangatan yang menyelimutiku, entah darimana asalnya. Lalu, mulai gerimis..
"Gerimis, Ri" ujarnya pelan. Tidak seperti teman-temanku yang biasanya memanggilku dengan "Yara" atau "Tia", Ojan memanggilku "Tari". Begitu kutanya alasannya memanggilku "Tari", ia hanya menjawab dengan singkat: "Aku anti-mainstream orangnya", satu cubitan melayang di lengannya setelah kudengar jawabannya yang nyeleneh itu.
"Kadang aku suka ngebayangin loh, kalau aja kamu masih se-excited itu dengan hujan seperti yang pernah kamu ceritain, terus misalnya pas lagi bareng aku, hujan turun dan kamu lari-lari sambil nari-nari hujan-hujanan di jalan. Sumpah, aku bakalan pura-pura nggak kenal sama kamu!" candaku.
Ojan tertawa. "Aku masih tergila-gila sama hujan. hanya saja sekarang cara menyampaikannya aja yang berbeda dan lebih waras. Hahaha. Entah ada magnet apa antara aku dengan fenomena alam yang satu ini. Mungkin karena namaku ada unsur "hujan"nya kali ya?"
"Iya, sampe-sampe bikin ibu kamu nyesel ngasih nama kamu Hujan! hahahaha!" ledekku .
"Siapa suruh? Hehe. Salah satu kejadian yang bisa bikin ibu nerima kelakuanku yang ajaib itu ya gara-gara dia ingat kalau selagi melahirkanku, eh tiba-tiba di musim kemarau ada hujan turun, mungkin aku dan fenomena alam yang satu ini sudah terinterkoneksi sedari lahir. Hahhaha."
            "Aku nggak pernah suka kalau hujan turun.." ujarku sinis.
            "Jangan gitu dong, kalau kamu nggak suka hujan, berarti kamu juga nggak suka sama aku. Namaku kan hujan juga.. Seperti yang pernah aku bilang sama kamu, sebelum kenal aku kamu boleh nggak suka sama hujan, tapi setelah kenal sama aku, kamu harus jadi suka hujan! gimanapun caranya aku bakalan bikin kamu suka sama hujan!"
            "Hahaha. Gila! Kamu dan aliran sesatmu hujanisme itu harus berusaha keras, aku ini orangnya keras kepala loh!" ujarku meremehkan.
            "Hujan lama kelamaan akan melapukkan batu menjadi tanah, begitu juga dengan kamu, Tari" ujarnya pelan. "Ini pertemuan kita yang ketiga, di tempat yang sama dengan cuaca yang sama pula. Sedikitnya aku akan membuat kamu terbiasa dan nyaman dengan cuaca seperti ini, sampai bisa nantinya menikmati sendiri."
            Ojan benar. Kehadirannya memang sedikit membantu aku untuk agak menyukai hujan. Entah mengapa ada rasa aman dan nyaman saat aku dan dia bersama menikmati hujan. Walaupun terkadang waktu menikmati hujan hanya kami habiskan dalam diam. Tapi, kami tahu, kami saling berbicara dalam rasa-yang-entah-apa-itu-namanya.
            "Ini bawa ya, kemana-mana.." ujar Ojan sambil menyerahkan payung lipat berwarna biru muda. "Kalau aku nggak ada, hujan sedang turun dan kamu sedang berteduh, pakai ini ya untuk melanjutkan perjalanan. Anggap aja sebagai pengganti aku, buat nemenin kamu, menghadapi hujan" lanjutnya lagi.
            "Wohoo, makasi yah, Jan. Kita baru kenal tapi kamu udah baik banget sama aku, ngasih aku payung segala!" ujarku sambil menerima payung darinya dan memasukkan payung itu ke dalam tasku.
            "Kita udah kenal lama, Tari. Hujan ada karena panas mentari membuat suhu bumi naik dan mengirimkan uap-uap air berkumpul menjadi satu di awan, hingga kemudian turunlah hujan." ujarnya menatapku dengan dalam.
            "Ini sih judulnya sedia payung sebelum hujan dalam arti sebenarnya. Bukan peribahasa!" Candaku.
            "Haha, iya bisa jadi. Diartikan dari peribahasa juga boleh, kamu harus berhati-hati dalam mengambil sikap dan keputusan agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. OK!"
            "Ciyee, bijak bener sik! Gini nih, kalau lagi hujan, mendadak bijak. Yah, baguslah daripada lari-lari keluar!" ledekku.
            "Sial!hahahaaha.." tawa Ojan begitu lepas. Gigi kelincinya terlihat begitu jelas dan menjadikan mimic mukanya lucu sekali. Aku menikmati pemandangan yang ada di hadapanku ini.
            "Lagian ngotot banget sih pengen bikin aku suka sama hujan! Sampe ngasih payung segala.. di rumah juga payung banyak!" Ujarku.
            "Di rumah payung banyak, tapi yang dari aku kan Cuma satu. Lagipula, siapa tahu abis suka sama hujan kamu juga jadi bisa suka sama aku, hahahaha" ujarnya sambil tertawa.
            Satu cubitan keras melayang di lengannya yang berisi dan agak kekar. Ojan meringis kesakitan.


31 Agustus 2011
           
Tiara Mentari (01:43)
            Your sun? you mean, your little sister? Well, in fact you're the one who called me "sun"
            SEND.

            Ya, kuputuskan untuk membalas lagi pesannya. Entah apa yang akan terjadi pada menit-menit berikutnya. Yang jelas akan kupastikan, segala pertanyaanku tentangnya akan terjawab sekarang agar segala penasaran bisa segera hilang.

5 menit kemudian..
            Masih belum ada balasan. Mungkin saja dia ketiduran atau memang tidak ingin membahasnya. Ada rasa sesal karena telah memenuhi egoku untuk membalas pesannya tersebut dan mulai memancingnya ke arah pembicaraan yang aku inginkan. Kuputuskan untuk tidur saja dan melupakan semuanya.

BIPP! BIPP!
            Sudah setengah mengantuk  mataku terpejam. Namun mendadak, kantukku hilang begitu mendengar bunyi pesan masuk tepat setelah aku memutuskan untuk melupakan semua dan pergi tidur.

Ternyata memang dari dia.
            Raining Man (01:48)
            Not a little sis, I guess. But that's why I hope you always being my only one sun. because you're the girl who gave me sweet and lovely memories, you always have a place in my heart..

            Tertegun aku membaca balasan pesannya. Setidaknya aku sedikit tahu bahwa aku ternyata memiliki arti di dalam kehidupannya. Bahkan hingga saat ini. Lalu, mengapa pada saat itu ia memutuskan untuk pergi? Meninggalkanku sendiri. Dia memberiku payung untuk berlindung ketika hujan turun. Namun, hatiku tidak dapat kupayungi dari seorang Ananda Lelaki Hujan. Hatiku terlanjur ke"hujan"an. Basah kuyup.



~ (oleh @naminadini)