Tentang 30 Hari Cerita Cinta

25 September 2011

Elang Pulang

“Iya, aku hamil dan ini bukan anak kamu” akhirnya aku memberanikan diri membalas BBM Elang.

“Siapa yang menghamili kamu Sinar? Apa yang terjadi” Elang membalas BBMku.

Aku menangis makin jadi, aku membiarkan BBM Elang tetap tak terjawab. Aku memukul perutku, kenapa harus Bayang?! Kenapa anak ini harus anak Bayang?! Aku terisak mengatakan kalimat tersebut sambil terus memukul perutku.

--

Jakarta, 6 Juli 2011

Jam 12 siang, kuliahku selesai, aku memutuskan untuk duduk-duduk sebentar di bangku depan kelasku. Aku tidak berani melihat isi BBM Elang, aku membuka SMS dari Bayang.

-SMS-

“Sinar, aku mau bicara sama kamu”

Bayang sedari tadi meneleponku namun tidak satupun aku jawab, SMS inipun tidak aku balas. Aku masih belum tau apa yang harus aku katakan, baik ke Elang, Bayang atau Ricardo. Aku masih belum tau apa yang harus aku lakukan dengan bayi yang sekarang hidup di rahimku. Apa yang harus aku katakan kepada Ibuku? Aku menangis di dalam hati. Tetiba di depan pandanganku yang mengadap ke lantai aku melihat sepasang sepatu berwarna putih dengan tinggi hak kira-kira 7 senti. Aku mengangkat wajahku, melihat pemilik sepatu tersebut.

“Sinar, aku mau bicara sama kamu” ternyata Dini.

Aku mengajak Dini ke sudut kampusku yang lumayan sepi dan jarang ada yang lewat. Aku memandang wanita ini, ada yang salah di raut wajahnya, dia tidak seceria biasanya.

“Aku dapat kabar dari mas Elang, kamu hamil? Benar, Sinar?” dia membuka pembicaraan.

Aku mengangguk. “Ya, Tuhaan..” dia menutup mulutnya dan mulai mengeluarkan air mata.

“Bayi itu anak tunanganku?” Dini melanjutkan ucapannya, kali ini dengan mata berkaca-kaca.

Aku terkaget mendengar pertanyaannya kali ini, ah, tentu saja dia berfikir anak Radit, karena yang dia tau selama ini aku berhubungan dengan Radit.

“Bukan, ini bukan bayi Radit. Ini bayiku” aku menjawabnya dengan nada tegas dan menatap matanya yang makin berkaca-kaca.

Dia menjatuhkan tubuhnya, posisinya sekarang jongkok sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya, terisak menahan tangis yang tidak terbendung. Aku tidak bisa mengatakan bayi ini milik Bayang sekarang, sampai aku siap aku akan terus mengatakan ini bayiku.

--

Aku berjalan setelah turun dari bus menuju rumahku, di tengah jalan langkahku terhenti oleh bayangan tinggi yang berada di depanku, Radit. Dia langsung memegang pundakku dan memelukku. Mengelus rambutku dengan terisak dia mengeluarkan suara, “Sinar, itu bayiku? Yang ada di rahimmu saat ini adalah pasti bayiku” ucapnya. Ah, ternyata Dini telah memberi tahu Radit. Aku terdiam dalam pelukannya.

Dari pandangku aku melihat mobil Ricardo, dia menepi, no..no...jangan sekarang Ricardo, Ricardo tidak boleh melihat ini.

Terlambat, Ricardo keluar dari mobilnya, berlari ke arahku, sontak aku melepaskan pelukan Radit, Radit menyadari kehadiran Ricardo yang seketika langsung menarik baju dan memukulnya dengan keras.

Radit terjatuh, “Mau ngapain lagi lo? Gak puas kemarin lo udah nyakitin Sinar?” ucap Ricardo sambil menari Radit berdiri.

“Gue udah bilang, jangan sampe gue liat muka lo lagi, lo malah berani dateng ke mari nganterin nyawa lo” Ricardo menghajar Radit kembali, wajah, perut, entah setan apa yang merasuki Ricardo kali ini, dia terlihat begitu kuat, hingga tiap pukulan yang mengenai Radit membuat Radit tidak sempat mengelak apalagi melawan.

“Do! CUKUP! Berhenti!” ucapku dengan nada kencang dan terisak.

“Hentikan, Do..” aku mencoba memisahkan mereka, aku menghampiri Radit yang dibuat tidak berdaya oleh pukulan-pukulan Ricardo. Aku lihat bibirnya mengeluarkan darah, mata kanannya memerah. Kali ini Radit berdiri, menyuruhku menyingkir. Membuang darah yang ada di dalam mulutnya.

“Jadi gini cara lo? Nyerang orang dengan tiba-tiba pas orang itu belum siap?” Radit memberikan tendangan ke perut Ricardo, Ricardo terjatuh, lalu langsung berdiri lagi.

“Lo tau? Sekarang Sinar hamil! Dan itu anak gue. Lo masih mau jauhin gue dari Sinar?” ucapan Radit ke Ricardo membuat Ricardo langsung melihatku dengan raut wajah tidak percaya, dan Radit langsung menghajar wajah Ricardo disaat aku tau kali ini Ricardo pasti sedang bingung dan tidak percaya dengan kalimat yang baru saja Radit katakan.

Kali ini gantian Ricardo yang menjadi bual-bualan Radit, aku berlari kearah mereka memisahkan mereka, dan..

BUUK!

Pipiku terasa panas, penglihatanku menjadi samar, atu hantaman keras mengenai wajahku, . Pukulan Radit mengenai wajahku saat aku mencoba melindungi Ricardo dari pukulannya. Aku merasakan hangat darah mengalir dari pinggir bibir sebelah kiriku. Sakit. Penglihatanku makin buyar. Pukulannya keras sekali.

“Nar, Sinar” Ricardo memegang pundakku.

Radit terlihat panik dan mencoba memegang tubuhku, namun Ricardo menepis tangannya. Ricardo meninggalkanku terduduk dipinggir jalan dan kembali menghajar Radit.

“BANGSAT LO!” teriak Ricardo sambil memukuli Radit, pandanganku makin samar, dan gelap kembali menutup penglihatanku.

--

Aku membuka mataku, langit-langit ini, bukan langit-langit kamarku, bau obat, tanganku hangat, seseorang menggenggam tangan kananku di sisi tempat tidur.

“Nar, lo sadar, Nar?” suara Ricardo terdengar, ah sepertinya aku disebuah klinik. Ruangan kecil berwarna putih dengan lampu yang terang dan bau obat.

“Dok, temen saya sudah sadar, Dok” teriak Ricardo, pandanganku masih sedikit samar, kepalaku sakit sekali.

Seseorang memasuki ruangan tempatku berada, memeriksa denyut nadiku, dadaku, perutku, luka-luka di wajahku. Memberikan aku suntikan.

“Keadaannya sudah stabil, luka-lukanya hanya dibagian luar, bayinya tidak apa-apa. Tapi jangan sampai kejadian seperti ini, kandungan adek ini lemah sekali, jika sampai dia kena shock lagi bisa-bisa keguguran, kandungannya masih sangat muda” ucap pria paruh baya yang baru saja memeriksa kondisiku kepada Ricardo.

“Iya, Dok. Saya akan jagain dia dengan nyawa saya” Ricardo menjawab ucapan pria tadi.

Aku masih sangat pusing, penglihatanku mulai jelas, aku menengok ke arah Ricardo, dia menangis sambil menggenggam tanganku. Dia tidak mengatakan apa-apa, aku melihat wajahnya yang memar tadi diberi perban, sisi bibirnya masih terlihat jelas bekas luka pukulan Radit.

Aku menyentuh wajahnya. Menghapus air mata yang keluar dari sudut mata kirinya.

“Do, jangan nangis” ucapku sambil memberikan senyum dan berusaha untuk ikut menangis.

“Nar, maafin gue Nar.. maafin gue gak bisa jagain lo” Ricardo membuka mulutnya, menahan tangis yang tidak bisa dia sembunyikan di depanku.

Aku bangun dari posisi tidurku, Ricardo segera membantuku duduk di atas tempat tidurku.

“Gue yang seharusnya minta maaf ke elo, gue udah ngecewain lo, gue yang gak bisa jaga diri, gak bisa jaga hati. Liat, sekarang elo yang babak belur” ucapku.

Ricardo langsung memeluknya. Aku merasakan jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari milikku, dia tersisak memelukku dengan erat.

“Ini balesan Tuhan atas perbuatan yang gue bikin sendiri, Do. Tuhan marah sama gue, Dia benci gue” ucapku di dalam pelukannya.

Ricardo melepas pelukannya dengan perlahan, memegang bahuku, menatapku dengan erat.

“Sinar, God can do anything. Only one thing that He can’t do; Stop loving you. Therefore I’m here. Dia ngirim gue ada di sisi lo untuk buktiin bahwa Dia sayang sama lo” ucapnya memecahkan tangisku. Aku menangis di dalam peluknya. Di dalam ruangan kecil berwarna putih dan berbau obat ini aku merasa hangat di dalam peluknya.

--

Ricardo membersihkan lukaku, aku menutupinya dengan make up. Aku dan Ricardo sepakat untuk menyembunyikan hal ini dari Ibuku untuk sementara waktu hingga aku mendapatkan solusinya, setelah aku bisa mengatakan kepada Bayang bahwa aku mengandung anaknya.

Ricardo telah aku ceritakan semuanya, tentang Bayang, kenyataan siapa Bayang sebenarnya Aku tau dia geram tiap kali aku menyebut nama Bayang, namun dia menutupinya.

Kami memutuskan untuk pulang, jam 9 malam. Ricardo mengantarku pulang. Saat membuka pagar rumahku dia terdiam sejenak, aku mengintip apa yang dia lihat hingga dia terdiam seperti itu.

Seorang lelaki yang sedang ditemani Ibuku mengobrol, di sampingnya ada sebuah tas besar yang biasa dipakai untuk berpergian jauh. Elang. Dia sekarang berada lima meter di depanku, di sampingnya Ibuku.

“Nah itu Sinar, kamu kemana aja, Nak.. ditelepon kok mati hpnya. Ini temen kamu udah nunggu 3 jam” ucap Ibuku saat melihatku di depan pagar bersama Ricardo.

Elang melihat Ricardo menggenggam tanganku, berdiri dan menghampiri kami. Aku melepaskan genggaman tanganku dari Ricardo.

“Do, itu kenapa muka kamu luka-luka gitu?” tanya Ibuku ke Ricardo saat kami memasuki teras.

“Biasa tante, anak laki” ucap Ricardo sambil sedikit tertawa.

“Kamu ini yah, masih aja brantem-berantem udah gede juga, sampe luka-luka gitu mukanya” Ibuku melanjutkan ucapannya.

“Bu, Do, bisa tinggalin aku dan Elang sebentar?” ucapku memotong ucapan Ibuku kepadanya dan Ricardo.

Ricardo tersenyum dan mengajak Ibuku masuk ke dalam rumah, menutup pintu rumahku, membiarkan aku dan Elang tersisa di teras.

Aku duduk di bangku sebelah tempat Elang tadi duduk bersama Ibuku, Elang menghampiriku. Dia tidak duduk, dia bersimpuh di depan dudukku, menatap mataku dengan erat, kedua tangannya menggenggam kedua tanganku.

“Benar semua yang dikatakan Dini?” ucapnya seolah aku sudah mengetahui apa yang sedang dia bahas.

“Kapan kamu sampai di Jakarta? Kenapa tiba-tiba?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya.

“Tadi siang Dini menelponku sambil menangis dan menceritakan semuanya. Aku langsung memesan tiket dan langsung terbang ke Jakarta, ke rumah kamu karena kamu tidak bisa dihubungi. Nunggu kamu, agar aku bisa tau apa yang terjadi sebenarnya dari mulut kamu sendiri. Selain itu memang hari ini aku sudah cuti untuk menghadiri pernikahan Dini besok. Sinar, apa semuanya benar? Anak yang ada di rahimmu adalah anak Radit tunangan sepupuku?” tanyanya sekali lagi.

Aku menggelengkan kepalaku, menunduk dan mulai terisak.

“Sinar, jawab aku, apa yang terjadi sebenarnya? Benar selama ini kamu membohongi aku dan berhubungan dengan pria lain saat aku jauh dari kamu?” Elang terus bertanya.

Aku masih menunduk dan menangis.

“Maafin aku, Lang.. maafin aku..” hanya kata maaf yang bisa kukeluarkan dari mulutku.

Elang mulai melemahkan genggaman tangannya, dia melepas kedua tanganku, dia berdiri lalu membalikkan badannya. Memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Aku menatap punggungnya dan kemudian kembali menundukkan kepalaku.

Elang mengambil tasnya dan menghampiriku, dia memelukku dan mencium keningku cukup lama, lalu dia beranjak meninggalkanku, “Ini bukan anak Radit” ucapku menghentikan langkahnya, dia membalikkan badan dan menatapku.

“Ini bukan milik Radit, ini milik aku, bukan Radit ayahnya” lanjutku.

Elang menatapku dengan matanya yang mulai berkaca-kaca, dia menutup kedua matanya sebentar, lalu kembali melanjutkan langkahnya, aku melihat punggungnya, dia membuka pintu pagar rumahku dan menutupnya kembali. “Ini bukan milik Radit” ucapku pelan dan mulai menangis lagi.

“Sulit ku kira kehilangannya, sakit terasa memikirkannya. Hancur warasku kau tlah berlalu, tinggalkan aku begitu, rapuh hidupku, remuk jantungku. Semua salahku tak jaga dirimu, untuk hatiku sungguh ku tak sanggup, semua terjadi seperti mimpi, mimpi burukku kehilanganmu. Karena kamu nyawaku, karena kamu nafasku, karena kamu jantungku, karena kamu.. rapuh hidupku, remuk jantungku..”

-Geisha Remuk Jantungku-

Ricardo keluar dari rumahku, menghampiriku lalu memelukku, “Ibu di mana, Do?” tanyaku lirih.

“Ibu lo udah di kamarnya, aman. Dia kayaknya udah tidur. Gue denger semuanya, maafin, Nar. Tadi gue nguping” ucap Ricardo.

Aku masih menangis di dalam peluknya. Dia tidak mengatakan apa-apa, membiarkan aku menangis melepas penat atas apa yang baru saja terjadi hari ini.

--

Jakarta, 7 Juli 2011

Hari ini seharusnya hari pernikahan Radit. Apa aku harus datang? Tidak, sepertinya aku tidak perlu datang. Aku menggelengkan kepalaku.

Aku melihat hpku, ada BBM dari Elang.

“Siap-siap, jam 5 sore aku jemput kamu, kita kepernikahan Dini” isi BBM Elang.

Aku tidak menjawabnya, tidak, aku tidak boleh ke pernikahan mereka. Aku tidak mau. Setelah apa yang aku lakukan terhadap hubungan mereka, aku tidak pantas berada di sana.

Aku ingin pergi kesuatu tempat sendirian. Kulihat jam di hpku, masih jam 9 pagi. Aku merapikan diri, aku ingin menulis ditempat yang tenang, sudah lama aku tidak melakukan hobi menulisku belakangan ini, dengan perasaan seperti ini sepertinya menulis akan menjadi sebuah pelarian yang tepat untuk menuangkan isi hatiku.

--

Aku membuka pintu pagarku, dan kulihat di depanku sebuah mobil sedan hitam milik Bayang parkir di sana. Pemilik mobil itu keluar dari mobilnya, membuka kacamata hitam yang dia kenakan, Bayang.

Dia menghampiriku, memegang tangan kananku.

“Aku mau bicara sama kamu, ijinkan aku mengungkapkan apa yang aku rasakan” ucapnya.


Bersambung...


Oleh: @ekaotto di http://ekaotto.tumblr.com

Bukan Kamu, Tapi Aku

Sudah hampir setahun ini aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Febrian.Sejauh ini aku dan Febri masih bisa menjaga hubungan ini. Walaupun terkadang rasa kangen pun dapat berefek tidak baik, jadi rasa kangen ingin bertemu tetapi tak bisa yang ada akhirnya kami bertengkar. Tapi pertengkaran-pertengaran kecil itu menjadi bumbu untuk hubungan kami.
Namun, ada kalanya juga aku merasa bosan menjalani hubungan jarak jauh. "Punya pacar kok rasanya seperti tidak punya pacar" itu kata-kata yang sering aku ucapkan langsung ke Febrian saat jenuh dengan keadaan ini melanda.
Febrian tidak marah dengan kalimat itu, dia malah berusaha menjadikan itu lelucon. "Ya udah ngga apa jenuh sama keadaan, asal jangan jenuh sama aku ya" .
Febrian tak pernah bosan mengucapkan kalimat "Aku sayang kamu, Percaya ya sama aku" , selalu dia titipkan sayang dan kepercayaannya kepadaku.
***
Siang itu setelah pulang kuliah, sebuah sms masuk ke dalam handphone ku. Berisikan sebuah pesan pendek "Hi, Tasya"
Berulang kali aku baca sms itu untuk menebak siapa yang mengirim sms ini. Rasa penasaran membuatku membalas sms itu " ini siapa ya"
Tidak lama datanglah sms balasan, kali ini lebih panjang "Tasya, aku kira kamu udah ganti nomor tapi ternyata belum, aku juga ngga bbm kamu karena aku berpikir kamu ganti pin-nya. Ini aku Galang, apakabar Tasya?"
Hah, Galang yang sudah hampir 2 tahun menghilang dari hidupku muncul kembali. Ada rasa rindu yang muncul dari sela-sela hatiku ini.Aku kembali membalas sms Galang dan kami melanjutkan obrolan kami melalui BBM dan itu terus berlanjut hingga malam.
Hari-hari berikutnya aku dan Galang mulai berkomunikasi secara rutin, aku jadi menunggu Galang menghubungiku, lalu bagaimana dengan Febrian. Febri ngga tahu kalau Galang kembali menghubungiku dan kami berkomunikasi.
Dari obrolan kami, Galang tahu kalau aku sudah masih bersama  Febri dan aku sedang melalui hubungan jarak jauh. Setelah sebulan kami kembali berkomunikasi, Galang bilang ke aku " Kita ketemuan yuks, aku kangen sama kamu" , Rasanya saat itu aku ingin langsung membalas "iya" tapi aku tahan. Aku masih punya Febrian walaupun hubungan aku dan Febri semakin hari tampak semakin membosankan.
Entahlah apakah memang ada yang salah dengan hubunganku dengan Febrian, apa jarak telah memudarkan rasaku kepada Febrian sehingga kami jadi mudah bertengkar akhir-akhir ini sehingga kehadiran Galang seolah member warna baru, atau kehadiran Galang yang membuat aku merasa hubunganku dengan Febrian ada masalah.
Febrian sudah titipkan kepercayaan , selama ini Febri juga selalu meminta aku untuk percaya pada dia dan dia memenuhi janji itu. Febri benar-benar hanya fokus pada kuliahnya, tidak pernah aku mendengar berita yang aneh-aneh tentang Febri.
Tapi aku? Aku yang dia titipkan sayang dan kepercayaan malah menjalin komunikasi dengan mantanku, dengan Galang.
***
Malam ini aku dan Febrian rebut besar, hanya hal kecil sebagai pemicuhnya tapi berakhir dengan aku tutup telpon dan tidak mengangkat saat Febrian menelponku kembali. Aku melewati malam itu dengan tangis dan menelpon dengan Galang, entah pikiran dari mana aku ini. Saat bertengkar dengan pacar, aku malah menelpon mantan pacar.
Galang memberikan ketenangan dan kenyamanan malam itu, aku berhasil menghentikan tangisku. Tidak hanya itu, Galang juga kembali menumbuhkan rasa itu dihati aku.
Handphone aku yang satu berbunyi, menandakan ada sms yang masuk. Dari Febri yang sudah putus asa menelpon aku "Tasya, kamu kenapa jadi ngamuk-ngamuk?ya udah aku minta maaf ya sayang, kamu jangan marah. Kalau kamu belum mau komunikasi sama aku mala mini, aku telpon kamu lagi besok ya. Selamat tidur sayang, aku sayang kamu dan percaya sama aku ya"
Membaca sms Febri yang panjang itu, air mata kembali jatuh, Galang kembali menanyakan di ujung telpon kenapa aku kembali menangis. Aku tidak sanggup membalas sms dari Febrian, bukan…bukan karena aku marah padanya tapi karena aku sudah melakukan kesalahan dengan kembali berkomunikasi dengan Galang.
"Febrian, aku selalu percaya sama kamu karena memang bukan kamu yang mengkhianati tetapi aku yang mengkhianati kamu" kataku dalam hati sambil melanjutkan telpon bersama Galang.
To Be Continue

Aku memang manusia paling berdosa
Khianati rasa demi keinginan semu
Lebih baik jangan mencintaiku aku dan segala hatiku
Karena takkan pernah kau temui, cinta sejati
(Tapi bukan Aku- Keris Patih)



~ (oleh @nongdamay)





Delapan #9

Pernah juga suatu siang, aku dan Milan bertemu di kantin sekolah. Ketika itu hari Jum'at, dan jadwal pemulangan siswa PKL memang lebih cepat dari biasanya. Namun aku pribadi, suka berlama-lama di sekolah. Ada magnet besar yang selalu menarikku dan membuat aku sangat betah di sekolah. Sangat aman dan nyaman. Lalu di hari itu aku berada di sekolah hingga senja tiba. Niatku adalah ingin melihat Milan melakukan ekskul mingguannya. Sepak bola.
Lama ku tunggu Milan keluar dari kelasnya. Sebenarnya aku tidak benar-benar seperti menunggunya di depan pintu kelas. Aku hanya melihatnya dari jauh. Batang hidungnya tak kunjung tampak. Sempat ingin menyerah saja, namun aku selalu membujuk diri, "Lima menit lagi, Nggi.. Sabar.." Sampai akhirnya lima menit yang ku lalui berada pada lima menit ke delapan. Sudah sebegitu lama aku menunggu, laparku terasa. Perut sudah berteriak meminta sesuap nasi. Langsung saja tanpa pikir lagi aku ke kantin membeli dua bungkus roti sisir kecil dan satu kaleng minuman kesukaanku, juga Milan. Fruit Tea Fusion.
Aku membayar belanjaanku pada ibu kantin yang biasa kami panggil 'Tante'. Keluarlah uang yang nominalnya paling kecil aku miliki saat itu, lima puluh ribu. Aku letakkan uang itu dengan lemah diatas meja kantin, "Ini Tante" Dalam selang waktu nol koma sekian detik, seseorang juga meletakkan benda yang sama, "Ada tukar uang lima puluh, Tante?", katanya. Aku benar terkejut mendengar suara familiar itu. Sontak roti yang sedang ku pegang terjatuh. Rotinya mengenai gelas plastik yang posisinya di depan Tante. Gelas itu berisi sedotan warna-warni untuk minuman. Dan tentu saja sedotan-sedotannya terserak ke lantai. Semuanya. Aku tidak sadar jika kejadian demi kejadian itu dilihat tidak hanya oleh Tante tapi juga oleh 3 orang adik kelasku dan ada seorang guru disana. Guru Kimia yang killer itu.
"Ha gerogi tu Anggi", kata Milan secara tetiba. Tanpa bisa aku kontrol, ku rasakan pipi bersemu. Terasa panas. Padahal sekuat tenaga aku mencoba untuk tetap 'cool'.
"Ciyeeeeeeee Anggi, kenapa sama Milan? Ada apa?", kata guru Kimiaku menimpali. Sekarang entah semerah apa pipiku kelihatannya.
"Ciyeeeeeeee kak Anggiiii!!!", ejek adik-adik kelasku. Ya Tuhan.. Kenapa aku ceroboh? Kenapa harus di depan mereka? Aku tarik napas dan keluarkan perlahan sekali. Aku hanya tersenyum pada mereka semua lalu barulah memberanikan diri untuk melihat Milan yang berdiri di sisi kananku. Aku mengeluarkan lidah (gaya melet) seolah mengejeknya. Aku pikir ia akan membalas mengejekku. Namun yang dilakukannya adalah menaikkan sebelah alis mata, tersenyum setipis mungkin dan memandangku lewat samping wajahnya. He's face is really adorable. Hari itu, 8 Mei 2009.

 
~ (oleh @captaindaa)

Chemistry: 10

Him or Him Part 2

F E R D I
"Seriusan elo harus milih antara Adrian ato James!" Ferdi mencercaku di tengah malam sahabat kita. 

L E A H

Apa-apaan sih Ferdi, ini kan malam sahabat. Malam dimana kita berdua curhat sampe mampus. Bukannya Malam Halo-Leah-Seharusnya-Kamu-Udah-Gak-Jomblo-Lagi. Makasih yah Ferdi Sukmo, you've ruined my night. 

A D R I A N
Kalau gak gara - gara Ferdi, aku gak bakal deh terpaksa sepedaan hari Minggu. Pagi buta. Bukan gak rela, tapi bangun pagi di hari Minggu tuh hina banget. Mendingan juga molor. Udah 3 kali puteran muterin nih jalan darmo tapi gak ada tanda-tanda Leah bakalan dateng. Payah!
"Adrian? Kamu sepedaan juga? Sendirian aja? Barengan aku aja."
Aku cuma menganga saja. Lalu berkata dengan cool nya, "Eemmm, aku mau muter 1 lap lagi deh. Ntar aku samperin kamu." Dan itu dia senyum maha dahsyat milik Leah. Tiba-tiba aku dipenuhi kebahagiaan. Jadi aku menghabiskan 1 lap dalam 2 menit saja. Luar biasa yah kekuatan cinta itu!
Selama 2 jam berikutnya di Minggu pagi itu, Leah kept wow-ing me. Dia mencuri hatiku. Senyum lebarnya. Cara dia tertawa. Cara dia bercerita tentang harinya. Binar matanya seperti menyimpan berjuta makna. Ekspresif sekali.
"Berapa siih nomer hape kamu?" Aku memberanikan diri bertanya. Leah menyebutkan beberapa nomor. Aku pura-pura mengetiknya. Yang Leah tidak tahu, aku sudah punya nomor teleponnya. 

L E A H
"Adrian minta nomer hapeku loh Kak." Pamerku pada Kak Lila. Sepulangku bersepeda pagi di hari Minggu itu. Aku meliriik Kak Lila. Lalu, kami berdua tertawa.
"Taruhan, 5 menit lagi dia bakal sms kamu, dek."
"Taruhan, dia gak berani sms aku. Kalopun sms, paling cepet 2 minggu lagi." Kami berdua tertawa terpingkal - pingkal.
Hingga 3 minggu kemudian. "Eehm, dia sms aku kak setelah 3 minggu. Berarti, Kak Lila musti ngebayarin sepatu Charles & Keith yang aku mau." Dan lagi-lagi kami berdua terpingkal - pingkal.
Adrian boleh jadi pintar dalam pekerjaan, tapi soal perempuan, dia adalah pemain baru. Kalau dalam dunia sepakbola, dia masih masuk dalam team U-20.

 
~ (oleh @WangiMS)

Dari Sam, dengan Cinta

"Sam datang ke rumah gue !"
"ngapain dia ?"
"ngaku ke ortu gue ada tugas kelompok, gila gak ?"
"lah bilang aja ke ortu lo dia Cuma ngaku-ngaku"
"gak bisa, gue diancemin mau di lamar kalo gue gak nemanin dia belajar"
"anjrit lo percaya ?"
"ihh moan lo gak tau rasanya jadi gue"
"yaudah sist gue ngantuk, good luck ya!"
"eh moan !!!"
                Telfon kemudian terputus, Fanny semakin risau. Sam datang ke rumahnya dengan pakaian sopan, dan tak mencerminkan berandalan kelas seperti biasa. Sebelumnya Sam memencet bel rumah Fany, kemudian disambut hangat oleh ibu Fanny.
*-*-*
"tingtoong" bel rumah berbunyi
"iya siapa ya " ibu Fany membukakan pintu untuk Sam yang ditunggu diluar
"saya Sam tante, janji ada kerja kelompok sama Fany"
"oh silahkan masuk, Fany lagi dikamarnya nanti tante panggilin ?"
"iya silahkan tante, saya nunggu disini aja ya"

                Sebelumnya seperti biasa Sam sempat mengancam Fany agar menemaninya belajar. Fany yang polos akhirnya dengan sangat terpaksa belajar dengan Sam dengan alasan kerja kelompok.
*-*-*-*
               

"weh cowok sial ngapain lo ngaku ke nyokap gue kayagitu, pake ngancem gue lagi" lirih Fany sambil menahan suaranya agar tak terdengar oleh Ibunya
"gapapa cantik, ajarin gue yang ini dong" dengan wajah menggodanya
"Anjrit gausah kegombalan gue panggilin bokap gue nih"
"panggil aja, gue udah bawa mahar emas 200 gram dalam tas gue, lo panggil gue lamar"
"eh sialan udah mana sini gue kerjain"


Kesialan menimpa Fany lagi. Ayah dan ibunya ada acara dan harus pergi keluar, jadilah hanya Fany dan Sam di rumah. Fany tentunya tak usah khawatir tetangganya sering protes jika Fany memutar Tape cukup keras. Itu berarti suaranya bisa terdengar keras jika teriak.
                Entah 'lucky' nya Sam atau kenapa sampai diberi kesempatan untuk mereka berdua. Tentunya musibah besar bagi Fany. Niat Fany tak lain adalah mengusir Sam dari rumahnya setelah mobil kedua orangtuanya sudah pergi keluar dari garasi. Itu artinya, Fany yang berkuasa di rumah. Rencananya untuk mengusir Sam tak bisa ia bendung lagi.
"Eh kampret, keluar lo!"
"gakmau cantik"
"kalo gue gakmau"
"gue teriak"
"teriak aja"
                Seketika Fany terdiam, hanya tak tau harus berbuat apa. Mungkin ia tak tega jika sampai Sam dipukuli oleh tetangganya. Sedangkan Sam sudah bilang ke orangtua Fany untuk belajar bersama. Bukan pacaran apalagi sampai macam-macam dengan Fany. Fany sendiri masih merasa tak tenang dengan kehadiran Sam di rumahnya.
                Tak berapa lama kemudian sam berdiri, kemudian mendekati Fany, mendekat, dan semakin mendekat. Fany yang saat itu ketakutan tak bisa berteriak, apa yang akan dilakukan Sam dengannya?. Langkah demi langkah Sam semakin dekat, Pundak Fany akhirnya menyentuh dinding. Keringat dingin mulai mengalir di wajah Fany.
                Tangan Sam kemudian disandarkan ke tembok, menatap wajah Fany tajam. Berapa wanita yang mungkin akan bilang hal ini so sweet ? bagi Fany di tatap oleh sam dengan posisi seperti ini sudah kelewatan. Bibir Sam mendekat ke wajah Fany. Fany tak pasrah, tangannya perlahan terangkat, ingin menampar Sam.
                Tangan Sam menangkal tangan Fany. Sam merogoh Kantongnya dan mengeluarkan dompetnya. 2 lembar tiket keluar dari dompetnya. Fany hany terdiam heran, ia bingung apa yang akan dilakukan sam untuknya.
"ini ada 2 tiket, terserah lo mau film yang mana besok malam gue tunggu di Depan bioskop"
"kalo gue gak mau ?"
"Gue cium lo !"
"PLAAAAAK        ! " satu tamparan melayang ke pipi Sam
"Mainan lo gak lucu!!"
"hehe sorry cantik, just kidding"
"gak lucu!"
"jangan ngambek dong cantik, Foto lo sama Indra ada sama gue loh "
"eh…."

To Be Continued..

Special Thx for Kak Jhonny,Kak Manil, Kak Uju, Kak Yuli, Kak Heri, Kak Eni


(oleh @iimamf)

#9: Pulang

Masih di panti...

"Bunda, kenalin ini pacar Sera. Namanya Jazzy." Sengaja aku memberi penekanan di kata 'pacar'. Dan Jazzy pun langsung bangkit dari dudukannya.

"Bukan bunda, kami teman biasa kok." Elaknya.

"Memang pacar bukan teman? Teman justru artinya lebih dari sekedar pacar." Bunda dan Jazzy kini saling berjabat tangan. Dan Jazzy pun hanya tersenyum malu mendengar jawaban bunda Rose.

"Jazzy ini bunda Rose, pemilik yayasan ini. Ibu asuhku. Dia melebih ibu kandungku sendiri." Aku memeluk bunda Rose rapat. Aku memang ingin memeluknya sejak tadi pagi. Bunda Rose pun langsung masuk ke dalam setelahnya, karena dia masih harus menidurkan anak-anak.

Saat ini aku dan Jazzy duduk saling berhadapan dalam kebisuan. Aku tau dia pasti kaget. Jelas saja dia bingung harus mengatakan apa, maka aku pun berinisiatif untuk mencairkan suasana.

"Hey." Aku memanggil Jazzy dan dia pun menatap padaku. Wajahnya memikirkan sesuatu.

"Apa tidak mau mengatakan apa pun? Pasti sedang merasa kekenyangan untuk bicara ya. Kamu pasti ketularan aku deh." Aku mencoba meledeknya dan dia bereaksi dengan memberiku senyum yang dipaksakan.

"Jangan kasihan padaku. Aku bukan anak yatim piatu seperti adik-adikku yang lain di sini.  Ayahku yang menitipkanku di sini. Dia tidak suka padaku. Ketika usiaku 8 tahun ibuku pergi dan ayahku bilang kalau dia benci lama-lama menatapku. Kasihan ya dia, bahkan tidak bisa menyadari kecantikanku. Hahaha."

"Di bagian mana yang lucu? Kenapa kamu ketawa?" Jazzy menanggapi dingin. Aku gagal total.

"Di bagian cantiknya tau, kamu tau sendiri kan kalo aku cantik banget." Aku menyandarkan tubuku ke sandaran sofa. Dan membuang napas panjang.

"Ibuku pergi dari rumah belasan tahun lalu. Dan semenjak itu aku tinggal di sini. Walau pun begitu aku tidak pernah kekurangan apa pun karena ayahku cukup kaya untuk menjadi donatur tetap di yayasan ini. Karena itu aku bisa kuliah dan punya barang-barang bermerek. Dia selalu memberikan semua barang yang aku butuhkan bahkan yang tidak aku inginkan. Tidak pernah perlu merasa repot untuk sekedar bertanya apa yang aku inginkan. Semua yang aku punya, adalah keinginannya. Tapi kebanyakan bukan kebutuhanku."

"Bisa kamu bayangkan itu, memiliki hal yang bahkan tidak pernah kamu ingin miliki. Aku harus lebih banyak bersyukur untuk tidak mengeluhkan banyak hal dalam hidupku. Aku bawa kamu kesini untuk jujur pada diriku sendiri hari ini. Untuk menjadi seseorang yang mampu menerima kenyataan bukan sebagai mimpi buruk. Terimakasih ya sudah mau mampir, sekarang kamu boleh pulang tapi nggak boleh mutusin aku ya. Aku kan anak panti, aku harus kamu jaga lebih baik lagi mulai hari ini." Jelasku.

Jazzy mengarahkan pandangannya padaku. Bangkit dan beranjak ke kursiku. Menatapku lekat-lekat, entah apa yang dia cari. Aku hanya menatapnya dalam diam hingga kemudian beberapa menit pun berlalu dan aku tidak tahan untuk ditatap lebih lama lagi, aku bisa tiba-tiba menciumnya kalau begini.

"Jazzy, sudah ya liatin akunya. Kenapa sih?"

"Sedang mengingat sesuatu dan sekarang sudah selesai. Aku bisa pulang kan?" Jazzy pun bangkit dan aku menganggukkan kepalaku.

Kami berjalan dalam diam sampai ke luar dari teras rumah. Aku berjalan mengantar Jazzy sampai ke mobilnya, walau dia bilang dia bisa jalan sendiri. Tak ada yang kami bicarakan soal kejadian tadi. Beberapa kali Jazzy menatap kelangit, kurasa dia sedang mencoba mencairkan suasana hatinya sendiri dan aku mengerti dengan baik. Aku lah yang seharusnya lebih tegang darinya, bagaimana jika setelah kepergiannya ini dia tak lagi pernah muncul di hadapanku. 

Jazzy pun pulang. Malam itu dia pulang tanpa mengucapkan sepatah kata perpisahan pun. Aku tidak tau apa yang ada di pikirannya melihat ini semua. Tapi aku tau pria baik sepertinya, akan mengerti jauh lebih baik- bahkan melebihi aku. 
***



~ (oleh @falafu)

#8: Rumah

Pukul 7 malam, di taman kampus...

Aku beralih menjadi gadis pemurung hari ini. Bahkan jelas tertidur di dalam kelas. Jazzy pun masih saja memakluminya. Si pria baik hati itu, semakin baik hati saja setiap harinya. Aku bahkan begitu jarang menatap matanya, aku tak punya keberanian menatap mata siapa pun. Aku menyerah berusaha tersenyum, suasana hati yang sedih menenggelamkan keceriaanku tiba-tiba. Aku dan Jazzy berjalan dalam satu garis hari ini. Berkali dia mencoba menoleh padaku tapi aku begitu jarang menoleh balik padanya. Aku, hanya tidak ingin dia melihat wajah masamku ini terlalu sering.

"Sera jangan diam saja. Jangan ikut-ikutan menjadi pendiam sepertiku." Jazzy tiba-tiba meraih telapak tangan kananku dan menggenggamnya erat, dia melakukannya dengan tetap menatap ke depan. Seolah itu bukan lah hal yang diluar kebiasaan. Aku bahkan sampai sulit berkedip melihatnya. Dia menggandengku, bahkan ketika kami sedang tidak perlu menyebrang jalan. Bagaiman hal semanis ini, bisa dia lakukan dengan teramat mudah. Aku mencoba untuk menganggapnya hal yang biasa sembari tersenyum kecil menatap tanganku sendiri.

"Aku, hanya sedang tidak selera mengatakan apa pun. Tiba-tiba saja kenyang bicara." Aku mengatakannya sambil terus melangkah.

"Kalau begitu, beri waktu untuk pikiran mencernanya dengan baik. Kau pun akan lapar kembali untuk bicara."

***
Ini di dalam mobil Jazzy...

Aku menerawang ke langit, beberapa bintang enggan benderang seterang biasanya. Atau ini hanya karena mataku bengkak saja. Jazzy mencoba memasangkan sabuk pengaman untukku. Dia semakin manis saja hari ini. Walau pun biasanya dia selalu memasangkannya, aku memang tidak suka menggunakan sabuk pengaman. Tapi dulu Jazzy lebih memilih repot memasangkannya dari pada kami kena tilang. Entah sekarang dia masih memasangkannya karena tilang itu, atau karena peduli dengan keselamatanku.

"Jazzy, bisa temenin aku nggak ke suatu tempat?" Pintaku ketika dia menghidupkan mobilnya.

"Sure. Tapi sebelum jam 10 aku harus sudah pulang ke rumah." Jawabnya.

"Sebelum jam itu, kamu pasti sudah tertidur pulas di rumah. Aku janji."

20 menit kemudian...

Aku tiba disebuah jalan. Aku biasa berhenti di jalan ini. Jazzy hanya menurunkanku di sini setiap harinya dan itu karena permintaanku. Tapi kali ini aku memintanya ikut turun. Sekarang kami berjalan bersama di tepi terotoar. Jazzy mengamati sekeliling kompleks perumahan ini. Seperti biasa dia memilih diam dari pada menekanku dengan pertanyaan. Dan sampailah kami di pintu pagar ruma yang sederhana ini. Tepat di balik gerbangnya terpampang papan nama bertuliskan:

"PANTI ASUHAN ROSEMARRY"

Jazzy menghentikan langkahnya di depan papan itu, tapi aku kemudian menarik tangannya untuk melangkah masuk ke dalam.

"Ayo, kita kan udah pacaran 6 bulan lebih. Masa kamu nggak pernah main ke rumahku." Jazzy hanya menatapku dan menurut.

Aku membuka pintu dan mengucapkan salam. Masih terus menggandeng Jazzy aku mengajaknya masuk ke dalam ruang tamu. Adik-adikku yang jumlahnya lebih dari 25 orang mengerebung di sekelilingnya. Wajah Jazzy pun memucat, tapi aku begitu menikmatinya. Aku ingin dia belajar menikmatinya. Beberapa anak bahkan sudah nangkring di pangkuan Jazzy. Anak-anak di sini memang selalu haus kasih sayang, apa lagi kepada orang baru yang mereka temui dan mereka anggap pembawa rizky bagi mereka. Aku hanya tertawa memperhatikan tingkah mereka.

"Hei anak-anak, ini kan sudah waktunya tidur. Jangan ganggu temannya kak Sera. Ayo masuk ke kamar masing-masing." Ibu asuhku keluar, namanya bunda Rose. Menyuruh anak-anak untuk masuk ke dalam. Aku datang di belakangnya membawa 2 cangkir teh hangat untuk Jazzy dan diriku sendiri. 

bersambung...


~ (oleh @falafu)

Selamat Tinggal, Cinta...

Aku koma.
Entah berapa kali jarum panjang berdentang melewati angka duabelas selama aku tertidur begitu pulas.
Dan aku merasa, berada di dunia lain. Dunia yang putih. Bahkan antara dinding dengan dasar dunia ini tidak bisa kubedakan. Tapi aku nyaman di sini. Entah mengapa.
Tunggu, aku harus menatap yang kucinta dulu. Sebelum aku benar-benar tak lagi bisa menatap mereka langsung.
Aku perlahan membuka mataku, di ruang yang serba putih juga. Banyak peralatan rumah sakit mengitariku.
"Vina! Kamu sudah bangun, sayang?" Mama, matanya sembab menggenggam erat tanganku.
Aku hanya tersenyum. Tanganku membalas genggamannya.
Aku menggerakkan kepalaku ke arah kiri. Ada papa! Ada papa di sini! Papa bersamaku!
"Papa..." Aku lirih menatapnya.
"Iya, sayang? Maafin papa ninggalin kamu selama ini."
"Papa nggak salah..." Aku mulai kehilangan nafasku.
Ada sudut air mata di sana.
"Revand... Aku bakalan terus cinta kamu."
"Aku juga, sayang." Revand yang bisa dikatakan begitu jarang menangis, kini ia menangis.
"Guys..."
"Iya, Vina..." Viva yang terdekat denganku. Di belakangnya ada Jennifer, Azizah, dan Deo.
"Makasih udah jadi teman terbaikku selama ini."
"Kakak! Ayo main lagi. Ayo ngajarin Reno lagi." Mata Reno masih terlihat sembab.
"Hihi... Mulai sekarang, kamu yang rajin ya, sayang..." Aku mengusap kepalanya yang masih kecil.
"Papa... Mama..." Aku menarik kedua tangan mereka. Lalu mempersatukannya, seperti sediakala yang selalu kudambakan terjadi lagi, "Vina pengen, kalian ngebesarin Reno bersama-sama. Vina pengen kalian bersatu lagi. Walaupun hanya sementara, Vina pengen ngeliat." Aku sudah mulai tak tahan mengeluarkan suara lagi.
Papa mengangguk pasti, "Iya, Vina. Nih. Kamu liat, papa sama mama bakalan jagain Reno bareng-bareng."
Aku dapat melihat tangan papa menggenggam erat tangan mama. Aku benar-benar rindu saat-saat seperti ini, ketika aku masih belia. Sungguh, jika aku boleh meminta, aku ingin melihat semua ini lebih lama lagi. Tapi Tuhan berkehendak lain. Ragaku harus dilumpuhkan total oleh sang kanker.
Inilah... Inilah saatku harus benar-benar melepas kalian, yang kucinta.
"Aku cinta kalian semua." Hanya itu sepenggal kata terakhirku. Lalu aku perlahan memejamkan mataku lagi.
Hilang. Ragaku hilang untuk membelai mereka.
Oh ya! Ada satu lagi yang belum sempat kuberikan kepada mereka.
Semua terheran mendengar sebuah perekam suara memutar suaranya sendiri. Tidak, tidak sendiri. Akulah yang memutarnya, untuk kalian. Itu adalah sonata terakhir yang dapat kuciptakan.
"Itu suara kak Vina! Kakak bangun! Aku tau kakak cuma pura-pura tidur. Kakak, ayo bangun!" Terlihat Reno mengguncang-guncang tubuhku sebisanya. "Mama, kenapa kakak nggak bangun-bangun?"
Mama hanya menangis di hadapanku.
Reno, kakak akan selalu berada di sampingmu. Menemani kamu main, menemani kamu belajar, meski kakak nggak lagi bisa kamu lihat.
Mama, terima kasih telah menjagaku seutuhnya. Menjadi ibu sekaligus ayah yang baik untukku.
Papa, maaf aku tak sempat besar bersamamu.
Sahabat-sahabatku, terima kasih tetap setia bersamaku. Bagaimanapun aku. Aku akan tetap bersama-sama kalian, dalam hati.
Dan Revand, terima kasih telah menanam cinta abadi dalam hati.
"Ini sonata kenangan darinya..." Revand menangis.
Ya, meski aku tak lagi bisa menyanyi untuk kalian, setidaknya aku sempat menciptakannya untuk kalian.
"Vina ngga boleh pergi." Deo menjerit perlahan.
Aku ingin tak ada air mata lagi mengiringi kepergianku. Aku sudah bahagia di sini. Aku tak lagi merasakan sakit-sakitku.
Aku bebas!
Dan aku berjanji, akan tetap hidup dalam hati kalian. Meski paru-paruku tak akan bernafas untuk ragaku lagi.
Inilah saatnya aku harus melepaskan kalian secara abadi. Berjanjilah, memagari cinta yang pernah kita semai bersama, lalu tumbuh menjadi kelopak-kelopak keabadian.
Tuhan, terima kasih telah mengirim berjuta cinta-cinta yang hebat. Yang tegar mengokohkan cintanya.
Aku; akan tetap mencintai kalian, sebagai yang kubisa...


~ (oleh @LandinaAmsayna)

#13: Farewell (pt. 1)

            All those days gone forever
            Wonder if we're going to ever
            See all our younglife friends that we made again
            Have we all lost connections?
            The life pulls in all direction
            Memories bring us back to where we've been...
            (Younglife – Anberlin)

"CANTIIIK!!!"
Aku, Lisa, dan Hye-jin menatap bayangan kami di cermin dengan gaun untuk farewell party malam ini. Mata kami bergerak mengamati, saling mengagumi bagimana gaun-gaun ini bisa sangat bisa sangat pas seolah-olah diciptakan hanya untuk kami.
Oh ya, Tuan Ryjeka meluluskan semua laporan terakhir kami – dari para mahasiswa asing. Di akhir pertemuan, beliau mengumumkan kalau kami akan dijemput dua bus yang akan mengantarkan kami ke rumahnya. Bintang tamu masih dirahasiakan.
"Setelah itu, lusa kita ke bandara." Mata Lisa yang hitam melirik koper-koper kami di sisi tempat tidur. "It's bittersweet."
Kemudian, Hye-jin menggenggam tanganku dan Lisa. "Senang bisa mengenal kalian sebagai teman di sini selama satu tahun."
"Hei, come on, pestanya belum dimulai! Jangan nangis dulu!" hiburku sambil merangkul pundak mereka.
Bus datang pukul setengah delapan malam; laki-laki dan perempuan dipisah. Entah apa maksudnya, padahal nanti kami akan berbaur juga di rumah Tuan Ryjeka. Selama di perjalanan, kami semua berusaha untuk terlihat senang dengan banyak bercanda atau menyanyi. Melupakan bahwa ini adalah hari terakhir kami bersama seorang dosen favorit seperti Tuan Ryjeka.
Rumahnya terletak di samping sebuah bukit kecil. Menurut Hye-jin, tempat ini bisa sangat romantis saat sore datang, tapi berbeda dengan Lisa yang langsung bergidik ngeri melihat hutan pinus di sana. Terlepas dari itu semua, kami dibuat kagum mengetahui sebesar apa Tuan Ryjeka menggelar pesta ini. Sepuluh meter menuju gerbang rumah, ada lampion-lampion kecil yang menerangi jalan setapak. Ini sangat membantu kami.
Hmm, rumah Tuan Ryjeka tidak sebesar yang aku pikir. Klasik bergaya Prancis, khas dengan cerobong asapnya. Halamannya yang membuat tempat ini besar – sangat luas! Mungkin bisa menampung 20 mobil di sini. Kami berjalan ke sebuah gang kecil yang mengantar kami ke halaman belakangnya yang tidak kalah luas.
"Dia bisa bikin lapangan bola kalau mau," gumam Yosef, mahasiswa dari Dubai.
Ada panggung kecil di tengah taman – Tuan Ryjeka berdiri di sana dengan kemeja putih, jas hitam, dan jins biru dongker. Semi formal. Di belakangnya, ada instrumen-instrumen musik seperti gitar, bass, piano, dan drum. Di setiap sudut taman, ada stand makanan dan minuman, juga deretan kursi untuk duduk. Mungkin konsepnya adalah garden farewell party, atau hill farewell party? Karena, view di belakangnya adalah perbukitan Appalachian!
Satu yang kuharapkan: tidak ada acara dansa.
Tuan Ryjeka mengetuj-ngetuk mic-nya. "Sudah berkumpul semua?"
Kami berkumpul di depan panggung. Sorot matanya yang hangat membuat kami merasa nyaman. "Satu tahun adalah waktu yang sangat sebentar bagiku untuk mengenal kalian semua. Rasanya, aku seperti dikirimi dunia dalam bentuk yang lebih kecil. Aku sangat senang bisa berbagi pengalaman dengan kalian semua.
"Ada beberapa mahasiswa yang datang dari negara-negara yang aku sendiri sangat kagumi kebudayaannya." Tuan Ryjeka turun dari panggung dan menemui para mahasiswa itu. "Kagiso yang sering memberiku frikkadel*, Arkadi dengan les Bahasa Rusia-nya, bol'shoe spasibo*." Kemudian, tanpa diduga, Tuan Ryjeka menghampiriku, Hye-jin, dan Lisa. "Ah, dan ini dia Charlie's Angels-ku! Atau, perlu kusebut Ryjeka's Angels? Gadis-gadis dari belahan dunia timur dengan keramahan dan keceriannya yang memancar kuat; Lisa, Hye-jin, dan Dita."
Tepuk tangan bergemuruh, sementara kami bertiga tersipu malu.
"Berat rasanya untuk melepaskan kalian semua yang sudah aku anggap sebagai teman. Sayang sekali, universitas hanya memberikan waktu sampai pukul 12 malam untuk pesta ini," sesal Tuan Ryjeka yang disambut berbagai keluhan. "Tapi, itu bukan berarti kita tidak bisa menikmati pestanya! Sebagai pembuka, bisakah aku meminta relawan untuk bermain piano, bass, dan juga gitar?"
Tanpa hitungan menit, tiga orang mahasiswa langsung naik ke atas panggung dan menempati instrumen-instrumen itu. "Oh ya, kita juga punya teman-teman dari jurusan Jurnalis yang akan meliput pesta ini. Bisakah salah satu di antara kalian bermain drum untukku? Eh, Adrian Choi?"
Sontak, selurih perhatian para mahasiswi tertuju padanya. Adrian muncul dari belakang dengan blazer hitam, kemeja biru, dan juga jins yang agak belel. Tapi keren.
"Hmm, aku sudah berlatih dengan putraku untuk membawakan lagu ini." Tuan Ryjeka tersenyum geli. "Pink, Get the Party Started."
"WOOO!!!"
Dalam satu detik, pesta langsung meriah oleh koor, tepuk tangan, suara-suara sumbang, dan tawa keras. Perfomance dosen ini patut diacungi jempol karena beliau sanggup meng-cover lagu ini menjadi rock di awal 90-an. Kami juga sangat kompak menyanyikan bagian ini;
I'm coming up so you better get the party started!
Ketika Tuan Ryjeka selesai menyanyikan lagu ini, kontan kami semua berteriak, "WE WANT MORE, WE WANT MORE!!!"
"Cukup, cukup. Sekarang, mari beri kesempatan untuk juara karaoke kita!" Tuan Ryjeka memberikan mic-nya pada Alberto, mahasiswa dari Spanyol. Suaranya memang bagus, kami bahkan menjulukinya sebagai Alberto Iglesias.
"Gracias," katanya malu-malu. "Tapi, aku bingung harus nyanyiin lagu apa. Any suggest?"
"Anberlin!!!" seru si pemain piano.                                                           
Alberto mengangguk. "Younglife."
***
Setelah lima lagu, Tuan Ryjeka meminta sound operator untuk memutar lagu-lagu yang lebih santai, tapi tetap ala pesta. Bintang tamu akan bermain pukul 10 malam, tapi yang membuatku sebal adalah... ternyata acara dansanya ada. Setengah jam sebelum bintang tamu.
"Adrian tadi keren banget!" puji Hye-jin sambil menyesal cocktail-nya. Kami ditinggal pergi Lisa yang terpesona oleh Alberto, jadi sekarang dia sedang berada di entah dimana. "Ternyata, rumor dia jago ngegebuk drum itu bener banget!"
Pandanganku menyapu ke seluruh mahasiswa yang ada di taman. "Emang kamu seriusan suka sama Adrian?"
Matanya memicing curiga. "Kenapa kamu tiba-tiba nanya gitu?"
"Umh, penasaran?" sahutku ragu. "Just answer, Hye-jin! Kamu yang paling sering ngomongin dia!"
Tiba-tiba, sebuah senyuman penuh misteri melengkung di wajahnya. Dia menarikku ke deretan kursi yang lumayan sepi dan kami duduk di baris paling belakang. I sense something called surprise.
"Aku punya rahasia," bisiknya, "and I'm gonna reveal it for you."
Keningku mengerut curiga. "Rahasia apa?"
"Ini tentang kenapa aku sering banget ngomongin Adrian," katanya dengan seringai yang membuatku makin penasaran. Aku mulai menduga-duga. Apa sebenarnya dia adalah pacar Adrian?
"Aku dan Adrian," dia melanjutkan, "adalah saudara tiri."
"HEH?!" Aku cepat-cepat menutup mulut dan berusaha untuk tenang dalam menanggapinya. Aku tahu marga Hye-jin adalah Choi, tapi di kampus ada sekitar 17 orang Korea dengan marga ini dan mereka tidak datang dari satu keluarga! Lalu... BAGAIMANA BISA HYE-JIN MENYEMBUNYIKANNYA DARIKU?!!
Hye-jin terkikik melihatku terperangah. "Maaf ya aku merahasiakannya cukup lama. Tapi, ini juga demi Adrian. Dengan kepopulerannya itu, aku khawatir dia malah didekati cewek-cewek nggak jelas dan aku juga nggak mau diperalat nantinya. I admire him as my brother. Aku mau dia merasa nyaman dengan kuliahnya."
Kepalaku terangguk paham. Penjelasan yang masuk akal, jadi bisa kuterima. "Tunggu, apa di Korea kalian bener-bener nggak ketemu?"
Bahunya mengedik. "Kami cuma ketemu pas di rumah appa karena Adrian lebih senang travelling sendiri ke berbagai seminar berbau jurnalis."
"Trims, Hye-jin. Nggak tahu kenapa pengakuan kamu membuat aku lega luar biasa," kataku, dengan perasaan ganjil.
"Tapi, ini belum semuanya, Dita. Masih ada yang mau Adrian sampaikan," timpalnya dengan alis naik-turun. Oke, aku pikir itu artinya Adrian sendiri yang akan mengatakannya padaku.
Tidak lama kemudian, Tuan Ryjeka naik ke atas panggung. Kami diminta berkumpul, tapi aku lebih memilih duduk dan menunggu du kursi. Siapa tahu ini tentang acara dansa.
"Maaf harus mengganggu acara kalian, tapi arlojiku sudah menunjukan pukul sembilan lewat 25 menit," katanya sambil menunjuk arloji. "Ya, aku tahu ini bukan acara pernikahan, tapi ternyata di antara kalian ada yang ingin menunjukkan bakat dansanya."
Beberapa mahasiswa mengeluh kesal, sebagian lagi tersenyum dan mulai berbisik-bisik. Aku memutuskan untuk pergi mengendap-endap lewat gang kecil menuju halaman depan. Sesekali melirik ke belakang, takut-takut ada yang mengikuti. Di teras ternyata ada beberapa mahasiswa yang, oke... aku tidak bisa sebutkan sedang apa, dan aku cuek dengan terus berjalan sampai keluar gerbang.
"Hei, love goddess, where are you going?"
Kakiku langsung membeku di tempat. Adrian muncul dari balik gerbang dan menghampiriku. "Cewek jalan sendiri di tempat kayak gini bahaya, lho! Ingat cerita-cerita seram di Athens?"
Bisa-bisanya dia menakutiku! "A-Aku cuma mau cari udara segar."
Tapi, Adrian ternyata punya ingatan yang baik. "Kamu nggak suka dansa, kan? That was the way you met your ex; ran away from a wedding party and met at the shoreline."
Aku menatapnya tajam. "Ad!"
Dia tidak peduli dan malah meraih tanganku. "Kamu belum pernah lihat Sungai Hocking, kan?"
***

*frikkadel: makanan khas Afrika
* bol'shoe spasibo: terima kasih banyak dalam Bahasa Rusia


~ (oleh @erlinberlin / @artemistics)