Tentang 30 Hari Cerita Cinta

13 October 2011

Chemistry: 18 (the End)

How's life? (Epilog part 2 : The End)

L E A H

Perutku  sudah semakin membesar. Membulat. Aku sendiri yakin bahwa  tak bakalan bisa berjalan jauh. Berbalut long coat selutut dan sepatu boot, kuputuskan untuk berjalan menyusuri trotoar kota Hamburg. Musim gugur. Tapi, cuaca sudah tak menentu. Tak baik bagi kandunganku yang telah menginjak bulan kedelapan.

Pagi ini, jalanan lengang. Tak banyak orang melintasi trotoar sepagi ini. Tapi, buatku ini adalah rutinitas pagi hari. Jalan – jalan pagi. Kuarahkan  sepasang kakiku ke arah taman di tengah kota. Setelah membidik sudut taman yang rindang, aku duduk. Mengelus perutku dua kali. Sembari menunggu.

Menunggu dia. Dia yang dulu. Decitan suara rem sepeda. Sosok jangkung mendekatinya.

"Apa kabar, gadis cantik?" Aku mendongak. Tersenyum. "Hey, long time no see."

Dan pelukan rindu sepasang teman lama. Erat.

J A M E S

Aku ada janji temu dengan kawan lama. Terlampau lama tak bertemu dengannya. dan dia masih saja cantik. Memukauku. Beruntunglah Adrian, lelaki, yang menikahinya, dan membuatnya hamil serta berjalan dengan susah payah seperti itu.

Mungkin memang begini takdirnya. Paling tidak aku sempat membuatnya tersenyum bahagia. Meski hanya sekedar menjadi teman.

"Apa kabar, gadis cantik?" Aku mendongak. Tersenyum. "Hey, long time no see."

Kupelak erat Leah. Leah-ku.


~ (oleh @WangiMS)

#30: Epilog (pt 2) #Tamat

Adrian H. Choi tidak memberiku kabar selama tiga bulan terakhir.
Well, di tiga bulan pertama, hubungan kami baik-baik saja. Dia sering mengabariku lewat email dan meneleponku di akhir pekan. Bahkan, satu minggu sebelum aku pulang ke Indonesia, dia sengaja datang ke New York untuk menemaniku.
Tapi, setelah itu...
"AW—Oke! Tenang!" Adrian menahan tanganku yang semakin membabi buta memukuli pundaknya dengan buket bunga. "Nanti buketnya rusak—"
"KAMU LEBIH PEDULI SAMA BUKETNYA?"
"Sst!" Adrian menempelkan telunjuknya pada bibirku. "Tenang, please?"
Kami memilih tempat yang agak jauh dari taman. Kami berdiri di tepi padang rumput luas yang menyuguhkan pemandangan kota Bandung di bawah dan pegunungan dengan siluet jingga keunguan dari matahari sore. Namun, semilir angin Januari yang menerpa kulitku tetap dingin.
Adrian mendesah, lalu melepaskan jas putihnya, dan memakaikannya pada bahuku yang telanjang. "Kamu mau aku cerita dari mana?"
"Kamu sebenernya kuliah di mana, sih?" Todongku langsung tanpa basa-basi. "Setiap kali ditanya pasti nggak pernah direspon!"
Dia tersenyum, kemudian mengeluarkan sebuah kartu dari dompet dan menyodorkannya padaku. Kukira, itu kartu—EH? Kartu Tanda Mahasiswa.
UNIVERSITAS INDONESIA! Jurusan JURNALISTIK. Kepalaku menoleh padanya.
"A-Ad?"
"Salah satu rektor universitas membaca artikel interview aku dengan kamu dan mencari informasi tentangku," paparnya santai. "Pendekatannya memang lama, tapi dengan tawaran beasiswa dan pekerjaan yang menjanjikan, aku nggak bisa nolak. And there's a BIG chance for me to meet you in the same country."
YA AMPUUUN! "Jadi, selama tiga bulan ini sebenarnya kita berada di PULAU YANG SAMA?!" Aku hanya melongo saat Adrian menganggukan kepalanya. Kembali,
aku memukul pundaknya dengan buket bunga. "JAHAAAAT!!! Dan... orang tuaku..."
"Nah, aku sempet ketemu ayah kamu di pertemuan orang tua para penulis. Ingat?" Kepalaku terangguk. Ayah diundang penerbit novelku ke Depok dua bulan yang lalu untuk pertemuan itu. "Waktu tahu ada ayah kamu, aku langsung kenalan dan bilang kalau aku... pacar kamu."
Tanganku terlipat di dada. "Kamu sinting."
"Hei, tapi ayah kamu menyambut dengan baik! Dia melayani interview-ku, makan siang bersama, dan... sebenarnya ayah kamu yang merencanakan pertemuan ini." Seringainya muncul. "You have such a great parents and cute sister."
Aku meringis kesal. "Hah, dan nggak ada yang ngasih tahu aku!"
"I save you the last for the best," katanya dengan tatapan yang dalam yang membekukan. "Aku serius dengan hubungan ini, Dita. Selama kuliah, aku belajar tentang Indonesia. Besar kemungkinan, setelah kuliah, aku akan benar-benar bekerja di sini. Aku juga akan mengajukan permintaan naturalisasi."
Mataku menyipit – apa dia sedang mabuk? "For what sake?"
"For you, what else? Aku sudah lelah menghadapi drama-drama itu lagi di Amerika." Tangannya mengelus rambutku. "Begitu menginjakkan kaki di tempat kelahiran kamu, I suddenly know why you always bring a peace for me."
Kepalaku menggeleng tidak percaya. "Aku nggak tahu harus bilang kamu nekat atau gila."
Adrian terkekeh; telapak tangannya menangkup wajahku. "\*I will do everything for you as long as you keep staying by my side. We're gonna chase our dreams here. Together."
Air mataku meleleh. Di kota ini, Bandung – kota di mana aku dilahirkan, Adrian datang dan mengorbankan semunya untuk mewujudkan keinginanku untuk menghabiskan sisa hidup kami di sini. Apa lagi yang bisa kuharapkan selain hidup bahagia bersamanya?
Kemudian, Adrian mendekapku erat. Sebuah dekapan yang kembali menghantarkan kehangatan dan kenyamanan yang sudah lama aku rindukan. Cukup, Dita, cukup dengan semua drama itu! Adrian memang bukan pangeran berkuda putih. Dia lebih dari itu!
"Jadi, kita harus menyusul secepatnya?" tanya Adrian sambil merapikan rambutku dan melirik buket bunga itu. "Kapan?"
Aku tersenyum dan menepuk manja pundaknya. "Selama ada kamu."
Sayup-sayup, aku mendengar Jared berseru dan mulai menyanyikan sebuah lagu; Endlessly. Adrian tiba-tiba membungkuk dan mengulurkan tangannya padaku.
"A-Apa?" tanyaku gugup. "Dansa?"
"Have heard He is We's song called All About Us?*" tanyanya dengan alis terangkat. "They said, 'lovers dance when their feelin' in love'. So, shall we? Because, I believe you can."
Aku merengut sebal, namun entah kenapa tanganku malah menyambut tawarannya.
Adrian memeluk pinggangku dan salah satu tangannya yang lain menggenggam tanganku bersama buket bunga. Melihat ini, aku hanya bisa tersenyum geli.
"Anggap ini rehearsal untuk pernikahan kita," bisiknya lembut. "Well, I can't hardly wait to introduce you as Mrs.Choi."
Aku tertawa kecil. "Kita bisa latihan untuk itu juga sekarang."
Adrian ikut tertawa, sebelum memberiku ciuman mesra di kening.
Oke, ini benar-benar sudah berakhir, kan? Karena aku ingin istirahat bersama Adrian sekarang.

And there's no guarantee, that this will be easy
 It's not a miracle you need, believe me
Yeah, I'm not angel, I'm just me
But I will love you endlessly
Wings aren't what you need, you need me...
(Endlessly – The Cab)

***
TAMAT


~ (oleh @erlinberlin13)

Sebuah Pelajaran Yang Berharga #Tamat

Dua bulan Aku menjalin kasih dengan Winda. Sungguh Aku masih belum menyangka karena bisa mendapatkan dan menjalin kasih dengan wanita tercantik di kampusku. Sejauh ini hubunganku dengannya baik-baik saja walaupun ada batu-batu kecil yang menghalangi di perjalanan cintaku dengan Winda. Banyak rintangan yang menerjang hubungan kami berdua. Tapi bagiku, apapun rintangannya yang menerjang hubunganku dengan Winda tetap Aku dengan tenang dan sabar.

Pada suatu saat di bulan ke-3 hubunganku dengan Winda, Aku merasakan hal-hal yang mengganjal di antara Aku dan Winda. Dia tidak membalas messenggerku maupun menjawab telepon dariku. Terus saja Aku melakukan kontak dengan Winda. Saat Aku menemuinya di kampus, dia spontan saja menghindariku. Dibingungkan dengan sikap Winda kepadaku, Aku menelusuri apa yang sebenarnya terjadi dengan Winda dan hubunganku dengan Windanya sendiri. Aku berusaha mencari tahu dengan apa yang terjadi antara kita berdua. Ternyata saat kutelusuri lebih lanjut, dia sudah mempunyai pacar baru. Sungguh saat Aku mengetahui itu hatiku langsung hancur berkeping-keping. Kesal, sedih, dan emosi-emosi yang lain meracuni hati dan pikiranku. Saat itu Aku langsung tidak melakukan kontak lagi dengan Winda dan tidak akan menemuinya lagi saat di kampus karena betapa emosinya diriku saat mengetahui Winda sudah mempunyai kekasih selain Aku. Aku merasa dikhianati olehnya dan berpikir betapa bodohnya Aku menjalin kasih dengan wanita yang sudah mengkhianati hatiku. Sampai suatu saat Aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Winda dan memberitahukan kepadanya bahwa hubungan kita berakhir. Tak ada respon darinya. Sungguh Aku kesal dan emosi yang tinggi akan sikap dari Winda itu. Namun Aku pun berpikir lagi dengan sikapku yang terlewat emosi tidak seperti Aku yang biasanya. "Buat apa Aku sesali hubunganku yang denga Winda kalau itu semua sudah terjadi, biarkan itu berlalu dan jadikanlah sebuah pelajaran." Kemudian Aku pun mencoba melupakannya dengan cara apapun.

Empat bulan berlalu saat berhubunganku dengan Winda berakhir. Aku terus mencoba melupakan kenangan-kenangan terindahku saat menjalin hubungan dengan Winda. Awalnya sulit untuk melupakannya, tetapi mau tidak mau Aku harus melakukan itu karena Aku tidak mau terus larut dalam kesedihan akan perjalanan cintaku. Saat itu Aku belum merasakan trauma akan cinta, termasuk saat cintaku dengan Winda yang kandas karena dia telah mengkhianatiku. Aku terus berjuang dengan sebongkah hatiku, mencari cintaku yang sesungguhnya.

Waktu yang panjang dan lama untuk mencari dan terus mencari cintaku. Tujuh bulan Aku berjuang dengan sebongkah hatiku melakukan perjalanan cinta yang panjang untuk mencari seseorang yang mau menerima cintaku apa adanya. Tetapi di sepanjang perjalanan cintaku, tidak ada satupun yang menerima perasaan cintaku kepada mereka. Di sepanjang perjalanan cintaku selama tujuh bulan ini, lima wanita menolak cintaku dengan alasan yang berbeda-beda. Sungguh perjalanan dan pengalaman cinta yang sangat buruk dan menyakitkan untukku. Hatiku yang tak kuasa menahan rasa sakit akan cinta dan menjerit-jerit di dalam jiwaku. Aku pun turut larut dalam kesedihan karena cinta bersama sebongkah hatiku. 

Aku mulai frustasi karena cinta. Cinta membuat hidupku berantakan, tak terkendali, dan hal-hal lain yang merusak pikiran dan jiwaku. Apalah arti perjuangan cintaku selama ini? Yang ada hanyalah membuang-buang waktuku saja. Keputusasaanku mengacaukan pikiranku ini, sampai hingga suatu saat Aku berniat ingin bunuh diri hanya karena cinta terlebih karena belum mendapatkan seorang wanita yang benar-benar mencintaiku apa adanya. Tapi hatiku berbicara sesuatu tentang pengalaman cintaku selama ini. Mungkin ini jalan terbaik yang diberikan oleh Tuhan kepadaku supaya Aku akan belajar dari pengalaman-pengalaman yang Aku alami saat berjuang untuk mendapatkan cinta sejati. Buat apa Aku bunuh diri hanya karena cinta? Aku masih mempunyai Tuhan, keluarga yang mencintaiku apa adanya, teman yang setia denganku, dan banyak lagi orang-orang terdekatku yang masih memperhatikan dan peduli terhadapku. Pikiran yang dewasa ini membuatku tersenyum kembali dan membangkitkan semangatku agar tidak larut dalam kesedihan yang berkepanjangan.

Sekarang Aku sudah bisa berpikir jernih dan lebih dewasa tentang cinta. Hatiku sudah tujuh kali lebih kuat dari sebelumnya karena Aku sudah mengerti apa arti cinta yang sebenarnya. Aku pun sudah banyak belajar dari pengalaman-pengalamanku yang sebelumnya. Perjalanan cintaku tak berhenti sampai sini, Aku terus berjuang bersama sebongkah hatiku ini dan Aku yakin pada suatu saat nanti, Aku akan mendapatkan cintaku yang sebenarnya :)




~ (oleh @Damas_kecil)