Tentang 30 Hari Cerita Cinta

27 September 2011

#5: I Love You Both


Temanku yang hobinya membuat kalimat-kalimat bijak pernah mengatakan, jangan jatuh cinta dalam keadaan hati yang masih terluka. Jauh lebih baik jika kau memberi waktu dan kesempatan pada hati untuk benar-benar pulih, kemudian kembali bersih seperti sediakala tanpa dibayang-bayangi masa lalu yang menyakitkan itu. Setelah hatimu dirasa siap, yakinlah bahwa kamu akan menemukan penghuni hati yang baru, pemilik masa depan yang lebih baik lagi. Kalimat penting itu harusnya bisa kurenungi dan kumengerti lebih dahulu. Sayang saat itu aku belum bisa.

Aku pernah mengalami ini, hanya selang sebulan setelah putus aku langsung jatuh cinta pada dua perempuan dalam waktu yang bersamaan. Tak perlu kuceritakan siapa namanya karena itu tidak penting. Yang perlu kalian tahu adalah keduanya cantik, baik, seksi, pintar, istimewa, pokoknya memenuhi standar ideal orang-orang kebanyakan untuk dijadikan sosok seorang pacar.

Aku pernah mengatakan ini. Jatuh cinta yang tiba di waktu yang tepat akan membuatmu didatangi inspirasi yang bertubi-tubi. Kalau kamu anak band, jatuh cinta akan membuatmu menghasilkan lagu-lagu yang manis dan indah. Kalau kamu penulis, jatuh cinta akan memberimu kekuatan lebih untuk menuliskan kisah-kisah romantis yang seakan tanpa cela. Aku sendiri memang suka menulis, tapi tak pernah menyebut diriku penulis. Yang kulakukan hanya menulis cerita-cerita pendek di blog. Target pembacaku? Entah. Rasanya tak terlalu banyak orang menyukai tulisanku yang apa adanya dan jarang sekali mengikuti kaidah penulisan yang benar itu. Cerita-cerita yang kutulis bukan yang bergenre sastra romantis dan bisa membuat perempuan meleleh. Rangkaian kata yang meluncur dari otakku kemudian menggerakkan jari-jari di atas keyboard itu seringkali mengalir cepat, berjejal, minim basa-basi, nyaris tanpa filter, bahkan kadang terkesan terburu-terburu untuk cepat mencapai tujuannya. Beberapa orang mengatakan gaya menulisku sederhana, nyaman diikuti dan tidak membuat kening berkerut. Namun beberapa orang yang lain dengan kejamnya mengatakan tulisanku seperti sampah, tak jelas apa maunya, tak jelas apa yang disampaikan, dan lebih cocok untuk dibaca orang-orang yang tak mau susah payah menggunakan otaknya untuk berpikir. Mendengar dua masukan sangat berlawanan itu aku hanya mengangguk dan berterimakasih. Juga terus belajar akan tulisanku ke depannya makin bagus dan enak dibaca.

Sekarang kita kembali ke dua perempuan tadi.
Mereka berdua adalah pembaca setia tulisan-tulisanku. Mereka bilang aku keren dan gaya bertutur tulisanku telah membuat mereka jatuh cinta. Mereka bilang kalimat-kalimat sederhanaku adalah ungkapan hati yang jujur dan jarang bisa dilakukan penulis-penulis kebanyakan. Singkat cerita dan seiring berjalannya waktu, aku makin dekat dengan mereka berdua. Keakraban yang tadinya hanya di comment box kini berlanjut ke Yahoo Messenger, Google Talk, SMS, bahkan telepon. Isinya? Hanya obrolan-obrolan tak tentu arah, curhat colongan, flirting-flirting, sesekali bahkan dirty jokes. Aku lantas berpikir begini, jika aku seorang personil band bisa jadi mereka adalah dua groupies paling militan yang bisa dimanfaatkan. Tak perlu kujelaskan lagi kan apa yang kumaksud dengan 'dimanfaatkan'?  Pikiranku yang lebih gila lagi lalu berkata seperti ini. Bagaimana kalau aku menjadikan salah satu dari mereka sebagai pacar? Mumpung aku baru putus, masih jomblo dan hatiku sedang butuh penghuni baru. Tapi yang mana? Siapa? Dua-duanya? Kita tak akan tahu kalau hanya berpikir dan tidak mencobanya. Jadi, mari kita coba!

Bermodal pemikiran itu akhirnya kuputuskan untuk mendekati mereka dengan lebih intensif. Mengajak salah satunya makan malam, kemudian mengajak yang lainnya nonton di esok malamnya. Tentu saja jadwalnya bergantian. Tidak mungkin aku mengajak mereka berdua sekaligus dalam semalam. Selain karena faktor isi dompet yang terbatas, menurutku hanya orang kurang waras tapi kepedean yang mengajak dua targetnya sekaligus dalam semalam.

Sampai akhirnya malam itu, usai makan malam sendirian di sebuah rumah makan padang, aku melakukan hal gila yang sangat tidak pantas untuk dicontoh. Penembakan massal via SMS. Nah! Terdengar seperti apa aku sekarang? Kepedean tapi pengecut, atau pengecut yang kepedean? Silakan kalian simpulkan sendiri. Dengan sedikit berpikir, aku menuliskan sebaris kalimat di handphone, membacanya sekali lagi, kemudian tanpa ragu mengirimnya ke nomor mereka. Tapi apa yang terjadi selanjutnya? Hampir setengah jam, pesan balasan yang kutunggu-tunggu itu tak juga masuk. Dua-duanya tak memberikan balasan. Perasaanku mulai tidak enak. Hatiku mulai tidak tenang. Kalau saja aku tahu, tak jauh dari sini, ada dua perempuan cantik sedang duduk semeja di sebuah kedai kopi. Perempuan pertama memesan hot chocolate, dan perempuan satunya memilih ice lemon tea. Keduanya tampak stress dan serius menatap layar laptop masing-masing dengan beberapa lembar kertas yang berserakan di atas meja mereka. Tak lama kemudian handphone mereka bergetar. Ada pesan masuk dalam waktu hampir bersamaan. Mereka membaca pesan itu sekilas, saling tatap sebentar, kemudian mendekatkan handphone mereka, lantas bersama-sama membaca ulang kalimat yang mungkin merupakan sajak cinta paling ngawur yang pernah ditulis sejak awal bumi diciptakan.

Biru
Cinta datang membunuhku
Aku jatuh cinta dan sudi bangkit lagi
Ijinkan aku menjadi penghuni hatimu

"Orang nggak waras," kata perempuan pertama.
"Lagi mabuk kayaknya," sahut perempuan kedua.

Benar, dua perempuan cantik itu adalah mereka. Sebuah kenyataan yang baru kuketahui bahwa mereka ternyata teman satu kantor. Pesan yang kukirim malam itu tak pernah mereka balas. Sejak itu pula mereka menjauh dariku. Mereka tak lagi muncul di comment box cerpen-cerpen yang kutulis. Teleponku pun tak pernah lagi mereka angkat. Tapi setidaknya aku masih bersyukur, bahwa malam itu aku berada di rumah makan padang, bukan di kedai kopi itu bersama mereka. Coba pikirkan ini, jika lelaki-patah hati-yang-jatuh cinta- membabi buta itu menyedihkan, kalian juga harus membayangkan, apa jadinya kalau lelaki-patah hati-yang-jatuh cinta- membabi buta itu masih harus disiram hot chocolate dan ice lemon tea oleh dua perempuan cantik yang sama-sama menolak cintanya?

*

"What the hell!" Ujar Indi sambil menahan tawa. "Itu beneran terjadi?
"Nggak." Aku menggeleng. "Mana bisa aku membagi hati untuk dua orang sekaligus. Aku menulis cerita itu kira-kira tiga bulan yang lalu. Awalnya malah ada tiga perempuan, judul cerpennya Tiga Cinta. Tapi terus kuubah lagi agar masih cukup masuk akal."
"Oke. Aku sudah menulis ini tadi." Indi kembali menyodorkan secarik kertas penuh tulisan kepadaku. Aku membacanya baik-baik. Kali ini resep es krim. Yang pertama kali setelah tiga menu cupcake.

I Love You Both

Ingredients
2 cups 2% milk
2 cups heavy cream
1 cup sugar
1/2 teaspoon salt
1 teaspoon vanilla extract
1 teaspoon peppermint extract
3 drops green food coloring (optional)
1 cup miniature semisweet chocolate chips

Directions
In a large bowl, stir together the milk, cream, sugar, salt, vanilla extract and peppermint extract until the sugar has dissolved. Color to your liking with the green food coloring.  Pour  the mixture into an ice cream maker, and freeze according to the manufacturer's instructions. After about 10 minutes into the freezing, add the chocolate chips. After the ice cream has thickened, about 30 minutes later, spoon into a container, and freeze for 2 hours.

***



~ (oleh @monstreza)

Teman Tapi Mesra

"Tasya, jangan sedih terus dong. Kan masih ada aku Sya" Kata-kata Galang berusaha menghibur aku yang sedang sedih karena hubunganku dengan Febrian harus berakhir.
Aku sudah sangat merasa bersalah dengan Febrian karena aku kembali berkomunikasi dengan Galang, bahkan dekat. Aku sadar sudah mulai mengkhianati Febrian. Bagiku, Febrian menjadi terlalu baik untuk diriku.
Febri yang mulai merasa aku berubah, mencoba memperbaiki keadaan ini tapi aku sudah benar-benar merasa bersalah dan keadaan ini ngga adil buat Febri. Febri berhak untuk mendapat yang lebih baik dari aku. Mungkin ini klise, tapi ini yang terjadi. Aku dan Febrian akhirnya sepakat untuk berpisah.
Galang terus menemani aku dan membantu aku keluar dari kesedihan ini, aku kembali merasa nyaman dengannya. Aku ngga tau ini perasaan karena pelarian atas kesedihan aku atau perasaan yang tersisa dari kisah yang lalu.
Sebulan pasca aku putus dari Febrian, Galang kembali mengajakku bertemu dan kali ini langsung aku iyakan karena aku tak punya beban rasa bersalah lagi jika bertemu dengan Galang. Akhirnya kami bertemu di mall kesukaan kita berdua, kita mencoba seru-seruan dengan janjian untuk mengenakan baju sesuai warna kesukaan kami berdua. Saat bertemu, segenap rasa rindu yang tersimpan dihati keluar, aku tak bisa menolak saat tangan Galang menggandeng tanganku.
Pertemuan pertama dilanjutkan pertemuan-pertemuan selanjutnya, Galang juga secara rutin menelponku, menemaniku melalui malam, kembali menghujaniku dengan voice note dan menjemputku di Kampus.
Dengan waktu cepat aku benar-benar bisa keluar dari kesedihanku, kesedihan harus berpisah dengan Febrian. Aku merasa Galang yang paling berperan membantu aku melewati tahapan ini. Lalu apakah aku sudah siap jatuh cinta lagi? Berkomitmen lagi?
"Tasya, aku seneng deh bisa deket sama kamu lagi" ucap Galang suatu sore di kafe seberang kampusku.
"Iya, sama. Aku juga seneng Lang. Ma'kasih ya kamu udah nemanin aku ngelewatin masa-masa abis putus kemaren" jawabku sambil menikmati minumanku.
Keadaan kemudian hening, aku khawatir ada yang salah dengan kata-kataku "kok diem Lang?ada yang salah sama kata-kata aku?"
"Ngga ada kok Sya" Jawab Galang sambil mengusap rambut panjangku ini, dan aku menikmati situasi ini.
"Sya, udah deket gini. Terus….." omongan Galang terhenti.
Aku menatap wajah makhluk tampan di depanku ini, "kok berhenti ngomongnya?"
"Terus gimana nih? Mau kita terusin cerita cinta kita dulu?"  akhirnya Galang mengucapkan secara jelas.
Aku terdiam, sebenarnya aku tidak kaget mendengar kata itu terucap dari Galang karena kami sudah sangat dekat.
"Gimana Sya?" Galang menanyakan jawaban aku.
"Aku belum siap berkomitmen lagi Galang" aku hanya bisa menjawab itu.
Tampaknya Galang mengerti keadaan aku, " ya udah kita kayak gini aja" sambil mendekatkan dirinya ke aku,lalu aku senderkan kepala ini ke bahu Galang.

To Be Continue
Cukuplah saja berteman denganku
Janganlah kau meminta lebih
Kutak mungkin mencintaimu
Kita berteman saja
Teman tapi mesra
(Teman Tapi Mesra – Ratu)


~ ( oleh @nongdamay)

Kesempatan Kedua

Rani mendekatiku dengan ragu. Aku sedang sibuk dengan tumpukan berkas yang harus dikirim segera melalui kurir sore ini. Sudah berapa kali aku salah membuat invoice. Sinting! Kepalaku pecah konsentrasi. Butuh kopi. Aku memanggil Paijo dan meminta kopi hitam. Lalu kulihat Rani.

Gadis berusia 23 tahun itu tampak pucat. Aku mengangkat alisku dan mencoba tersenyum. "Rani?"
"Mbak Tania, sore ini setelah pulang kerja ada waktu gak?"
"Waduh, aku gak tau ini selesai jam berapa, Ran. Ada apa nih?"
"Kutunggu deh. Gak papa," desak Rani. Aku mencari sesuatu di bola matanya. 
"Nginep di tempatku yuk? Mau? Kita makan malam dulu di Bulungan. Gimana? Kostanmu jauh kan, ya?"
"Iya, Mbak. Di Pluit. Beneran gak apa-apa nih kalau aku nginep?" mata Rani mengerjap lucu.
"Oke, kuselesaikan dulu kerjaan ini ya? Nanti tunggulah aku di Coffee Bean. Kamu boleh pesan duluan. Aku sepertinya agak lama, ya?"

Rani mengangguk dan berlalu ke mejanya. Badannya ringkih. Kutahu dia baru saja sakit dan absen dua minggu. Aku kembali larut dengna pekerjaanku.

**
Ketika makan malam dengan menu ayam bakar, Rani mulai menggumam. "Rani, bagaimana kabar Ibumu di Pekalongan?"
"Alhamdulillah baik, Mbak," jawabnya sumringah.
"Masih aktif membatik?"
"Sudah mulai jarang. Sekarang Ibu yang ngatur penjualannya. Alhamdulillah sudah mulai sering dapat order dari Taiwan dan Meksiko, Mbak."
"Wuih, keren dong! Syukurlah kalau begitu. Semoga tambah sukses dan bisa menjadi barometer industri rumah tangga yang mendunia. Ngiri deh!"
"Aduh, Mbak bisa aja deh. Terlalu berlebihan ah!" Rani salah tingkah.

Aku tertawa. Rani ini cantik dengan model jilbabnya yang unik. Nada suaranya yang pelan membuat orang yang baru pertama mengenalnya seperti harus memakai alat bantu dengar. Oh, itu terlalu berlebihan ya? Baiklah, gak kok. Tapi memang cantik. Kenapa masih.. "Kapan mau ngenalin pacarmu ke aku?" tanyaku menggodanya yang membuatnya malah tersedak.

"Uhuk! Aduh... Uhuk! Euh, belum ada kok. Ehm, beneran!" jawabnya gugup. Agak lama hening, kemudian Rani berbisik, "Ada sih, Mbak, yang membuatku suka saat ini."
"Wow! Siapa? Orang mana? Kerja di mana?" tanyaku kalap.
"Mbak!" cubitnya di pinggangku.
"Aw! Eh, maaf. Masa segitu aja kamu malu? Oke, kita cerita di tempatku aja yuk? Udah selesai kan makannya? Beli kacang kulit dan pizza dulu ya buat ngemil sambil rumpi?"

Kami beranjak dari tempat makan malam. Sepanjang jalan, tanpa rencana, aku menceritakan tentang masa laluku yang pernah menjalin kasih dengan seorang duda. Entah mengapa aku alirkan cerita itu pada Rani. Kulihat wajah Rani menegang. Kuurungkan niat melanjutkannya. 

**

Di kamar, aku dan Rani sudah mandi dan memakai daster. Kami saling mentertawakan. "Ahahaha, ternyata Mbak begini aslinya?"
"Hyah, kamu sendiri ternyata gitu?"
"Yah, sudahlah. Mari kita menggalau," Rani merebahkan diri di kasur.
Aku bengong. Galau? Sejak kapan Rani akrab dengan kata itu?

Dan dimulailah cerita itu...

Rani ternyata sedang menjalin hubungan dengan seorang pria yang usianya 10 tahun lebih tua darinya. Duda beranak dua. Bekerja di perusahan BUMN dan memiliki tiga usaha waralaba. Mantan istrinya meninggal. Mereka bertemu tiga tahun lalu pada resepsi sepupunya Rani.

Oh ya, nama pria itu Burhan. Orangtua Rani tidak setuju karena sudah menjodohkan Rani dengan sepupunya sendiri. Dan ternyata, Burhan pernah berpacaran dengan tantenya Rani ketika masih SMA. Pernah menghamilinya pula. Itu yang menyebabkan orangtua Rani menlak mentah-mentah.

"Tapi kan setiap orang pasti berubah, Mbak. Aku percaya Mas Burhan sudah berubah. Dia kan punya dua anak perempuan, Mbak," Rani membela Burhan dengan emosi. Aku menghela nafas dan tersenyum tipis.

"Sudah cukup kan dia mendapat hukumannya? Istrinya meninggal, anak pertamanya tuna netra, dan anak keduanya mengidap kelainan jantung. Itu kan berat, Mbak," Rani mulai terisak.

"Aku mencintainya, Mbak. Juga masa lalu dan anak-anaknya. Aku ingin mendampingi dia, Mbak," ujarnya dengan nada ditekan. Berusaha meyakinkanku.

Kugigit pizza vegetarian favoritku. Kucoba mencerna setiap kalimat Rani. Harapannya, ketakutannya, kebahagiaannya, kekuatannya, dan doanya. Kulihat matanya yang berkilat marah pada dirinya sendiri. Ia merasa lemah dan bingung. Ia menatapku penuh harap.

"Kamu mau aku gimana, Ran?" tanyaku bingung.
"Bantu aku meyakinkan Ibu, Mbak."
"What? Eh! Aduh, Ran! Kok gitu?" aku gelagapan.
"Mbak, aku gak tau harus bicara pada siapa lagi. AKu gak tau harus minta tolong pada siapa lagi. Aku gak tau..."
"Stop! Stop!" aku memotong kalimatnya. "Sabar, Rani. Segala sesuatu akan berjalan dengan sendirinya. Melalui jalan yang telah ditentukan Tuhan. Rencana Tuhan selalu lebih indah."
"Aku tahu itu, Mbak," sergahnya tak sabar.
"Rani," aku meraih tangannya. "Tetaplah perjuangkan apa yang sudah kamu yakini. Minta padanya juga untuk melakukan hal yang sama. Yakinkan dia bahwa kamu serius. Ingat, dia tak semata mencari istri. Ia pasti lebih mencari seorang ibu yang dapat memberi pelukan terhangat pada kedua putrinya."

Mata Rani mulai berkaca. Sedetik kemudian tumpahlah telaga bening itu. AKu memeluknya erat. Membiarkan dia menangis hingga terlelap. Perlahan, kubantu dia tidur dengan nyaman. Kuselimuti gadis manis itu. 

Aku keluar kamar dengan perlahan dan menuju kamarku sendiri. Aku menghela nafas. Tuhan, tolong bantu Rani.

------

Special: Kiki, rikues soal duda yang menjadi sebuah flash fiction. Gak papa ya? Atau kudu pembahasan ilmiah? *halah*


~ (oleh @Andiana)

#14 Goodbye Dear!

"Sayang kamu beneran enggak apa-apa aku tinggal? Dua minggu lama lho Nay.. Itu juga mungkin bisa lebih. Kamu mending ikut ajak yuk.. Kita beli tiket sekarang ya?" cerocos Nalen sepanjang jalan menuju bandara Soekarno Hatta.
"Nalendra Jaleswara ga berlebihan deehh.." jawabku lalu memutar bola mata.
"Ya enggak.. Kamu kan jarang jauh dari aku selama itu. Kamu yakin?? Aku cuma agak khawatir aja.. Ga tahu kenapa nih dari kemaren perasaanku selalu ga enak kalau inget bakal ninggalin kamu sendiri di rumah agak lama gini..", jelas Nalen berkonsentrasi dengan kemudinya.
Kami mengendarai mobil Papi. Tadi pagi-pagi sekali kami berangkat dari Bogor naik kereta menuju Jakarta. Kami langsung ke rumah Papi. Maksud hati Nalen mau menitipkan aku pada Papi sekaligus berpamitan, yang ada malah Papi sedikit agak sewot. Pasalnya susah sekali membujuk Nalen untuk mau menerima mobil pemberian Papi. Ya tahu sendiri Nalen masih suka pakai motor butut kesayangannya dan sebenarnya Nalen juga tidak mau terlalu merepotkan Ayah mertuanya.
Akhirnya agar tak mengecewakan keduanya, mobilnya aku yang pakai. Ku sampaikan pada Nalen sepertinya aku akan butuh nanti, untuk bolak-balik dari rumah ke Jerami. "Kamu tega nanti malam-malam aku bolak-balik naik motor? Malam-malam sendirian terus mogok di jalan. Nah kalau aku di culik gimana??", bujukku setengah becanda membuat Nalen berpikir dan akhirnya mengalah. Jadilah siang ini kami mengendarai mobil pemberian Papi untuk Naya. Ku tegaskan sekali lagi untuk Raina Kalea Nara ya Bapak Nalendra Jaleswara hahaha..
"Nay.. pokoknya nanti kalau di Bogor butuh apa-apa minta tolong si Ahmad ya.. Terus kamu kalau capek ga usah lah ke Jerami, aku udah percaya Ahmad ko pasti beres sama dia. Ya tapi kamu sesekali ngechek wajiblah.. Kamu ga boleh kecapekan trus selama aku tinggal pokoknya kamu ga boleh sakit.." Nalendra masih saja belum berhenti nyerocos entah terlalu khawatir atau sedang kumat lebaynya.
"Hei heii Nalen.. Sayang..kamu kenapa sih??", ku perhatikan lagi tingkah Nalen yang super aneh. Ga biasa-biasanya dia kayak gini. "Iya. Oke. Siap. Laksanakan. Aku janji bakal makan 3x sehari. Ga akan capek-capek sampe masuk angin. Dan kamu pulang nanti, kamu bakal nemuin aku dalam keadaan baik-baik aja. Deal?", aku mencoba meyakinkan suamiku yang jadi super cerewet sekali sepagian ini.
Nalen menarik rem tangan. Mobil terpakir dengan sempurna di halaman parkir di Terminal Keberangkatan Domestik Bandara Internasional Soekarno Hatta. "Huff..", Nalen menghempaskan tubuhnya ke bangku kemudi. Mengambil nafas panjang, terlihat sekali dari mataku kalau suamiku sedang mencoba menenangkan pikiran.
"Are you okay?", kataku saat Nalen melirikku. Ku lingkarkan tanganku memeluk tubuh suamiku, yang nyaris sama besar dengan tubuh beruang hihi..semoga peluk ini bisa menenangkanmu Len, bathinku ikut pilu.
"Aku pasti bakal kangen nanti." ucap Nalen menyambut pelukku dengan lebih erat. "Anak nakal, jangan sampai ga kangen aku ya nanti..", bisik Nalen lalu menciumi ujung kepalaku, sepertinya rambutku jadi berantakan dibuatnya.
"Iyaaa.. Kalau kamu melow gini nanti aku mewek deh nii..", rengekku menahan diri agar tak menangis. Aku lebih mudah menangis di depan Nalen daripada menangis di depan Ayahku atau oranglain.
"Hehehe cengeng.." Nalen bisa sedikit tertawa kali ini sambil mengusap setetes airmataku.
"Aku mau kamu pulang utuh. Pokoknya utuh ga boleh ada yang kurang. Sayangnya juga ga boleh kurang.", sekarang gantian aku yang cerewet. Ada yang hangat menyentuhku. Bibir Nalen menghentikan ke-bawel-an ku kali ini.
"Iya. Itu aja kan? Oleh-oleh nya ga usah ya? Haha..", canda Nalen melepas ciuman singkatnya.
"Aaaaa.. itu mah wajib Pak Jaleswaraaa.." rengekku di mobil seperti anak kecil.
"Hehehe iya-iya apa sih yang ga buat istriku.." ujar Nalen menggombal. "Yuk.. Nanti aku telat di tinggal pesawatnya..", ajak Nalen lalu menciumku sekali lagi.
"Len khas Morotai apa sih?", tanyaku sambil membantunya menarik koper.
"Ga tahu aku kan juga belum pernah ke sana sayang.."
"Oiya ya.."
"Kenapa emang?"
"Gaaa.. lagi kira-kirain aja besok dapet oleh-oleh apa hahaha..", tawaku.
"Oalah oleh-oleh.. Ah itu sih gampang. Nanti kamu aku oleh-olehin foto-fotoku selama di sana aja gimana? Haha.." balas Nalen menggodaku.
"Diiihhh sok artis.. lagian buat apa tauk foto kamu. Aku kan udah punya yang ada di dalem foto."
"Emang aku punya kamu??" goda Nalen lagi.
"Emang kamu bukan punyaku??", kataku melotot sambil mencubit pinggangnya.
"Hehehe iyaaa ampuunn.."
Berhubung sudah tak banyak waktu lagi, ku sarankan pada Nalen agar segera chek in dan berkonsentrasi saja pada perjalanannya nanti. Aku sudah meminta ijin untuk bermalam di rumah Papi untuk dua malam subuh tadi sebelum berangkat ke Jakarta. Tentu saja Nalen sangat mengijinkan.
"Aku berangkat kerja dulu ya sayang..", pamit Nalen memelukku lagi.
"Oke! Cepet ketemu lagi yaa.. Aku tunggu di rumah.. Safe flight sayang.. Love you.." bisikku di telinganya.
"Love you." Nalen pun mencium keningku lama.
***
Kosong. Mendadak perasaan itu muncul tepat saat pesawat Nalen terbang melesap di balik awan. Masih ku temui wangi Nalen di sini, seakan aromanya memenuhi mobil estillo pemberian Papi. Di detik ini juga, aku sudah merindukannya lagi. Lelaki superku, Nalendra Jaleswara.
Bersama teriknya Jakarta,
no ones gonna take him away from me..
everyday and everynight
i just wanna hold him tight
and make sure that everything stays night
and everyday and every night

my only one - mocca
-Naya Jaleswara-


~ (oleh @ukakuiki)

Chemistry : 11

Him or Him part 3

L E A H

          Ini baru pertama kalinya aku bersepeda di Sabtu pagi. Sungguh hina, disaat beberapa orang mungkin masih bergelung di tempat tidur mereka berselimutkan kehangatan dari istri, suami atau pacar mereka, aku, Leah Isla Wirawan malah menjelajah kota, mengayuh pedal sepeda. Menunggu seseorang. 
"Kita nungguin siapa sih pak?" Aku bertanya pada Pak Abdi, senior engineer yang juga hobi bersepeda sepertiku.
"Itu loh nungguin Pak Adrian. Katanya sih mau ikutan."
"Masih lama pak? Keburu siang loh, udah ditelpon?" Tanyaku resah.
Setelah berkali - kali telepon, berartus - ratus sms, tetap saja tak ada kabar dari Adrian. 'Hebat kali sih ini cowok. Berasa orang penting aja.' Batinku berteriak - teriak kencang.

"Le, kamu deh yang sms ato telpon Adrian." Pak Abdi menyuruhku. Dengan terpaksa, kulakukan dua hal itu, hasilnya tetap nihil.

Entah apa yang merasukiku, tiba - tiba saja aku dan Pak Abdi sudah ada di depan kos-nya, menelponnya tapi tetap tak ada jawaban. Dan anehnya, aku sangat kecewa.


A D R I A N

To : Leah (+628XXXXXX)
Time : 21:14
Hey, tadi pagi kamu sms dan telepon aku yah?
Sori bgt, aku tidur. Maaf yah.

Sent.

1 menit. 2 menit. 10 menit. Setengah jam berlalu. Tak ada jawaban. Mungkin dia tidur. Atau sedang tak memegang blackberry nya. Jadi kuperiksa timeline twitternya. Dia aktif. Berceloteh riang di linimasa. Jelas, dia tidak tidur ataupun sedang jauh dari blackberry-nya.




~ (oleh @WangiMS)

Annica #12

#12

We become attached to what's familiar, and sometimes we hold on things that are safe and predictable, even if they are bad for us.

- Annica -

Nadira: km dmn Ed?
Edrick: di rumah. Knp?
Nadira: wanna call you. May I?
Edrick: 5 menit lg ya
Nadira: ok

Tidak sampai lima menit, handphone yang ada di genggaman Edrick itu pun berbunyi, nama Nadira tertera di layarnya.
"Kamu lagi ngapain?"  tanya Nadira dari seberang telpon, di belakangnya terdengar suara ramai musik dan orang-orang.
"Lagi di rumah baru pulang. Kamu dimana, kok ramai banget?"
"Abis darimana memangnya? Aku lagi di café, Maria hari ini ulang tahun"
"Abis makan."
"Sama siapa?"
"Nad, please…"
"What?"
"Jangan mulai, ok?" minta Edrick
"Mulai apaan Edrick?" tanya Nadira bingung
"Aku ngga tahu ya Nad, tapi kita selalu seperti ini. Don't you tire with all of this?"
"Are you tired with me?" tanya Nadira balik, ada emosi di nada suaranya
"Aku ngga bilang kalau aku lelah sama kamu Nadira, aku tanya ke kamu apa kamu lelah dengan hubungan kita yang seperti ini. Itu aja kok"
"Ed, kita baru mulai baik kan, kenapa harus mempermasalahkan hal itu lagi sih?"
"Aku ngga lagi mempermasalahkan Nadira, but I'm just asking you apa kamu pernah merasa lelah dengan hubungan kita? Kita selalu bertengkar karena hal yang sama. Bukan satu atau dua kali kita putus-sambung selama hampir 2 tahun kita bersama. We're in a long distance relationship, it's hard for us, I know and I think I can understand it."
"Apa kamu mau menyerah sama kita Ed?"
"That's not the point Nadira"
"Then what?"
"Kamu tahu aku ngga suka kalau kamu ke café dan bersama dengan teman-teman kamu itu. Mereka kasih kamu pengaruh buruk Nad. Kamu kan tahu kamu ngga sanggup minum, dan mereka tetep ngasih kamu minum. Aku juga pernah bilang kan, kalau ngga ada aku ya kamu jangan pergi-pergi ke tempat begitu. And I don't like when some guys try to get your attention"
"Kamu juga tahu aku ngga suka kamu deket-deket apalagi sampai jalan sama cewek-cewek lain. Maybe I'm not there tapi aku bisa tahu kamu ngapain aja Ed"
"What do you mean with that words?" tanya Edrick defense
"Aku cuma bilang aja kok, ngga ada maksud apa-apa. Lagipula Ed, ini ulang tahun Maria, aku ngga mungkin ngga datang. And I'm ok here. No drinks and no guys yang coba deketin aku"
"I'm not there too tapi aku juga bisa tahu kamu ngapain aja"
"Oh ya? How?" tantang Nadira
"Kita liat aja besok kalo kamu uda bangun siang, kamu pasti pesta sampai malam dan mabuk, iya kan? Kamu ngga bisa minum lebih dari segelas. I know you better than you think"
"Sounds great, you know me better than I think, tapi kamu juga terus-terusan buat aku marah sama sikap kamu"
"Nadira…"
"Stop it Edrick, we always end up like this. I think I'm going to be really tired with us."
"Nad, aku ngga ada maksud buat…"
"Ed, we've over right? Itu bearti kamu ngga ada hak buat larang-larang aku ngapain iya kan?"
Edrick menghela napasnya. Menahan kesal mendengar kata – kata Nadira. Selalu kata-kata yang sama di setiap akhir pertengkaran.
"You did it again Nadira" kata Edrick pelan
"Yes, I did it again. Night Ed, Maria calls me. Bye"

Edrick.
Aku dan Nadira berjalan lebih dari dua tahun bersama tapi kami selalu lebih banyak bertengkar dan entah sudah berapa kali kami putus-sambung seperti ini.
Aku tahu hubungan jarak jauh ini yang membuat kami sulit.
Aku menyayanginya. Semakin hari setelah terakhir kali dia berteriak putus padaku hampir dua bulan yang lalu, aku sadar aku masih terus memikirkannya.
Aku masih menyayanginya hingga detik ini. Belum ada yang berubah.
Tapi melewati sebuah hubungan dengan ritme dan cara yang seperti ini pun terkadang akan membuat diri aku kelelahan mengejarnya, membuat aku terus baik didepannya dan tidak membuat dia marah kepadaku.
Apapun yang aku lakukan lebih sering terlihat salah didepannya. Sebuah kepercayaan penuh, itu yang aku butuhkan.
Aku tahu aku pernah melakukan kesalahan dulu dan aku tidak berniat mengulangnya sama sekali.
Tapi ada Annica sekarang.
Dia baik, terlalu baik untukku. Dia yang menerima aku apa adanya dan tulus menyayangi aku dengan semua kekuranganku. Aku bisa merasakannya.
Aku sayang dengannya. Apa yang aku rasa sejak awal pun kini sudah mulai memenuhi pikiranku.
Apa yang harus aku lakukan sekarang. Ada Annica. Dan aku tetap tidak bisa menghilangkan Nadira dari pikiranku.
Ada sesuatu dalam diri Nadira yang membuat aku ngga bisa meninggalkannya. Ada sesuatu dalam dirinya yang akhirnya juga membuat aku bisa berubah.
Ada tanggung jawab untuk Nadira, apa yang pernah kami lakukan bersama, entah benar-benar napsu yang lebih besar dari perasaan sayangku. Tapi aku memiliki tanggung jawab dengannya.
Dan Annica?
Aku juga menyayanginya.

Nadira.
Edrick, aku tahu kamu bagaimana disana. Kita jauh Ed, kita terpisah ribuan kilometer. Aku ingin mempercayai kamu sepenuhnya. Aku ingin kita baik-baik saja. Aku sayang sama kamu sepenuhnya Ed. Aku menjalani dua tahun bersama kamu, pasang-surut selama bersama kamu, dan dua tahun hubungan kita jelas bukan main-main. Aku tulus melewati dan memberikan segalanya untuk kamu.
Aku tahu sikap tidak percaya dan possesif aku membuat kita terus-terusan bertengkar seperti ini. Tapi kita selalu kembali bersama.
Aku mencoba menutup mata dan telingaku Edrick. Tapi aku tahu dengan sikap kamu.
Aku tidak berniat membuang hubungan kita begitu saja. Sudah banyak yang aku korbankan dan aku berikan, tidak banyak yang aku minta Ed. Cukup sayangi aku sepenuhnya.
Aku hanya ingin kamu tidak pergi dari aku Ed, aku hanya tidak ingin ada orang lain yang bisa membuat kamu tertawa selain aku, aku hanya tidak ingin ada orang lain yang masuk ke pikiran kamu selain aku. Aku hanya tidak ingin ada perempuan lain yang bisa memeluk dan mencium kamu selain aku.
Apa aku terlalu egois Ed?
Aku tahu tentang dia Edrick, aku tahu dengan perempuan itu.
Dan aku hanya ingin mempertahankan semuanya. Aku hanya ingin mempertahankan hubungan kita.
After all the things that I've done and sacrificed, I just want you to be here with me. That's all.


~ (oleh @luilliciousmey)

#15: Second Chance (pt. 1)

TWO YEARS LATER
*It's been a long two years
*It's time to smile, we've made it this for you just like you said
*Just like you said we would
*There are no more tears
*We've used them all so now we'll rely on our laughter
*And the faith that pain gives joy...
(Thanks to You – Copeland)


"Ares? D-Dia itu... Ares?"
Hujan turun semakin deras ketika pertemuan di CafĂ© Lalo sudah berakhir. Empat dari tujuh jurnalis yang datang memilih untuk diam di kafe sambil minum dan mengobrol. Salah satunya Adrian, yang baru  menceritakan pertemuannya dengan seorang jurnalis asing yang tiba-tiba menitipkannya sebuah kemeja untuk diberikan padaku.
Mengejutkan. Aku melongo begitu mengenali kemeja itu – kemeja yang pernah mengisi masa laluku. Mataku sempat nanar mencari Chevrolet yang Adrian potret tadi sebelum masuk. Jelas, itu adalah Chevrolet milik  Ares!
"He's gone," gumamku lirih.
"Dita, kalau tahu jurnalis tadi Ares, pasti langsung aku tolak paksaannya untuk masuk dengan undangan dia," ujar Adrian dengan sorot mata sendu.
"Maaf..."

"It's okay, Ad." Kemudian, aku melipat kembali kemeja itu. Mengherankan bagaimana aroma tubuh Ares tetap melekat kuat dalam kain ini. "Yang aku khawatirkan sekarang adalah pekerjaannya. Gimana kalau dia dipecat gara-gara gagal mewawancarai aku?"
Adrian sama-sama ikut kebingungan. Kami cukup beruntung karena manager dari pihak penerbit novelku, Nyonya Kefitz, sudah pulang sejak tadi. Jadi, kami bisa mengobrol cukup leluasa.
"Kamu mungkin bisa ketemu Ares di kantor New York Times besok siang. Aku yakin deadline-nya tidak dalam waktu terdekat, jadi kamu bisa minta re-interview. How?" paparnya penuh harap.
Aku menjentikkan jari di depannya. "Kamu jenius!"
Kami tertawa, lalu aku menyesap sisa hazelnut coffee yang Adrian bawakan tadi. New York sedang berada di tengah musim semi yang indah – hujan menghasilkan pemandangan yang indah bersama cahaya-cahaya lampu dari seluruh kota.
I also can't wait for my 23th birthday this weekend!
Adrian meletakkan cangkirnya yang sudah kosong. "Jadi, selama spring break di New York, kamu tinggal di mana?"
"Aku nyewa apartemen di kawasan 8th Ave. Lumayan, sih, cuma buat tempat tinggal sementara ini," jawabku. "Kamu dimana? Brooklyn?"
"Iya. Appa* baru ngerenovasi rumahku dan Mom dulu di sana untuk tempat liburan. Aku diberi kesempatan sebagai teaser musim semi ini," jawabnya dengan senyum yang merekah lebar; menunjukkan deretan giginya yang rapi dan bersih. "For your info, Hye-jin yang memilih perabotannya. You should see."
"Sure. Oh, and how do I miss your sister."
Aku, Hye-jin, dan Lisa sebenarnya masih saling mengabari lewat *mail.
Hye-jin bekerja sebagai konsultan di Kedutaan Besar Korea untuk Kanada, sementara Lisa kembali ke Roma, Italia, untuk melanjutkan kuliah sambil mengembangkan usaha kedai orang tuanya. Hah, terakhir kali kami bertemu adalah saat di bandara waktu itu.

"By the way, itu kemeja bersejarah yang pernah kamu ceritain, ya?" terka Adrian yang aku sambut dengan anggukan. "Mau dipakai?"
Mataku kembali menatap kemeja itu. Selama dua tahun terakhir, bentuk tubuhku tidak turun atau naik secara drastis, jadi mungkin masih muat dipakai.
Sebuah ide melintas dalam pikiranku.


***


Semalam, setelah Adrian mengantar pulang, aku langsung mengakses situs New York Times untuk mencari informasi, siapa tahu mereka menyimpan arsip para jurnalisnya. Aku bermaksud mencari alamat apartemen Ares dan menemuinya di sana. Tapi, kurasa itu terlalu frontal.
Jadi, aku kembali ke ide awal yang dicetuskan Adrian.
Siang ini, langit mendung menaungi New York dalam cuaca yang semakin dingin.
Aku merapatkan
scarf dan blazer – kemeja Ares seperti heater yang langsung menghangatkan tubuhku. Kantor New York Times yang menjulang tidak jauh lagi dan membuatku semakin gugup.
Aku menarik nafas panjang begitu memasuki gedung. Sang resepsionis terlihat sangat sibuk karena terus-terusan menerima telepon, tapi begitu matanya bertemu denganku, mulutnya terbuka lebar.
"Maaf, bisa—"
"Kamu!" serunya dengan suara satu oktaf lebih tinggi. "Penulis Athena's Diary itu, kan?"
Sebelum aku kembali bicara, resepsionis bernama Ronda itu menunduk ke bawah meja, lalu berdiri kembali dengan menyodorkan sebuah buku – oke, novelku.
Aku hanya tersenyum geli saat dia menyodorkan pena padaku.

"Oh, for God's sake, ini sebuah kehormatan!" katanya tidak percaya dengan suara bergetar ketika aku menandatangani novel. Ronda cepat-cepat menaruhnya di bawah meja. "M-Maaf, ada yang bisa saya bantu?"
"Umh, iya. Bisa hubungkan saya dengan salah satu jurnalis New York Times? Namanya Ares Dragness."
"Tunggu sebentar." Ronda dengan cekatan meraih teleponnya. Aku sempat was-was kalau Ares tidak masuk hari ini karena gagal mewawancaraiku. Tapi, aku pikir Ares tidaklah sepengecut itu untuk pekerjaannya. Dia pasti akan bertanggung jawab atas risiko dari perbuatannya.
Tiba-tiba, Ronda, dengan gagang telepon yang maih menempel di telinganya, menunjuk seseorang di belakangku. "Oh, itu Tuan Dragness!"
Kepalaku langsung menoleh ke belakang. Ares dan beberapa temannya yang sesama jurnalis baru keluar dari lift. Aku melirik pada Ronda sejenak untuk berterimakasih sebelum berlari menghampiri Ares.
"ARES!"
Dia berhenti dengan kepala menoleh ke berbagai arah untuk mencari orang yang memanggilnya. Sementara aku dengan susah payah menghindari kerumunan sampai akhirnya, Ares berhasil menangkap sosokku dari jarak kurang dari dua meter.
Ketiga rekannya terperangah melihat kemunculanku dan Ares adalah satu-satunya yang tetap tenang. Selama lima detik, kami saling bertukar pandang, sampai Ares meminta mereka bertiga untuk pergi duluan.
"Dita?" katanya setengah tidak percaya. "What are you doing here?"
"Memastikan kamu nggak dipecat karena gagal mewawancarai aku," jawabku cepat. "Kamu... nggak apa-apa, kan?"
Kepalanya terangguk canggung. "Sebenarnya, aku berharap kamu cukup kirim sesuatu lewat email, tapi, ya... ternyata kamu melakukan sesuatu di luar dugaanku."
Kemudian, tangannya mengeluarkan notes dan pena dari saku mantel. "Kita nggak bisa ngobrol lebih banyak di sini, karena aku udah ditunggu buat lunch. Ini nomor teleponku yang baru. We can meet up in the another place, 'kay?"
Aku menerima kertas itu. "Oke, I'll call you later."
Dia tersenyum samar. "Well, so glad to see you wearing my shirt."
Aku hanya bisa menatapnya keluar dari gedung. Ini... aneh. Kenapa dia bisa sedingin itu? Apa karena formalitas di tempat kerja? Atau terlalu kaget melihat mantan pacarnya? Entahlah. Tapi, semoga di pertemuan selanjutnya, aku bisa bertemu Ares yang kukenal dua tahun lalu.


***


*Appa: sebutan ayah dalam Bahasa Korea


~ (oleh @erlinberlin13)