Aku ingat pagi itu, pagi gelap dengan langit yang menangis. Pagi itu, adalah pagi terakhirku bersama ibuku, satu-satunya orang tua yang kukenal dan kumiliki. Saat itu umurku 21 tahun, dan baru empat hari dinyatakan lulus dari diploma tiga. Aku tidak pernah percaya hari itu terjadi, bahkan sampai saat ini. Hari dimana aku menemukan sendiri ibu terbujur kaku di tempat tidurnya.
Aku masih ingat, kulit ibu terasa kering ketika kupegang. Tidak ada lagi desahan napas yang biasa ia keluarkan jika kesal kepadaku. Tidak ada lagi denyut yang bergetar di dadanya jika aku memeluk tubuh mungilnya. Tidak ada lagi kehangatan yang biasanya kurasa jika aku menangis di pundaknya. Tidak ada. Semuanya terasa sunyi, dingin dan kelam.
Ibu meninggal dalam tidur, dan langsung dimakamkan ke perut bumi siang itu juga. Aku tidak mampu mengadakan tahlilan untuk ibu terlalu lama. Bahkan uang tabungan ibu nyaris habis hanya untuk urusan pemakamannya. Keadaanku saat itu benar-benar sulit, sendirian tanpa sanak keluarga.
Ibu tidak pernah menceritakan tentang ayah kandungku. Jikalau aku bertanya pun, ia selalu mengalihkan pertanyaanku dengan dongeng. Ketika aku beranjak remaja aku sempat marah karena ibu tidak pernah cerita tentang ayah, dan ia menangapi kemarahanku dengan tersenyum dan berkata,
"Suatu saat kamu pasti akan tahu semuanya, April. Tapi tidak sekarang. Semua itu ada waktunya."
Apakah ini waktunya? Setelah lima tahun kematian ibu, pria yang berdiri di hadapanku tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai ayahku? Kenapa ia baru muncul setelah lebih dari 26 tahun aku hidup?
Aku menatap pria yang mengaku ayahku itu dengan tatapan menyelidik. Ia tiba-tiba terbatuk-batuk sambil menepuk-nepuk dadanya seperti sedang terserang bronchitis parah, atau hanya pencitraan kepadaku,anaknya, bahwa ia sedang sakit-sakitan, entahlah.
Otto membantu pria itu agar duduk di salah satu kursi malas dan menanyakan apakah pria itu baik-baik saja. Setelah mendapatkan jawaban "tidak apa-apa", Otto berpaling kepadaku,
"Mau minum apa Pril?"
Aku berusaha tersenyum dan menggeleng pelan. "Tidak usah repot-repot. Saya mau pulang, badan saya tiba-tiba tidak enak."
Aku langsung berbalik dan berusaha secepat mungkin meninggalkan rumah itu. Ketika tanganku mau menyentuh gagang pintu untuk membukanya, Otto mendahuluiku dan mencegah pintu itu terbuka.
"April, tolong..." Desis Otto.
Aku menunduk dan menggeleng pelan. "Maaf."
Otto seperti memahami perasaanku, dan membiarkanku keluar dari rumah itu. Aku berusaha secepat mungkin keluar dari kompleks rumah mewah itu dengan langkah lebar. Entah di langkah keberapa, pertahananku pecah. Air mataku seperti air bendungan yang bocor, mengalir deras.
***
"Ibu, seperti apakah bidadari itu?"
Wajah ibu selalu bersinar-sinar ketika menceritakan dongeng kepadaku. Aku kecil selalu berimajinasi bahwa ibuku ini sebenarnya adalah peri dongeng yang bertugas setiap malam untuk menceritakan dongeng ke anak-anak di kampungku ini, bukan seorang buruh tani yang mati-matian mencari nafkah untuk pendidikan dan hidup anaknya.
"Bidadari itu wanita cantik, sayang." Ucapnya sambil membelai lembut rambutku. "Baju yang ia kenakan kuning gading. Dan jika berjalan, semua makhluk yang melihatnya akan terpana dengan kecantikannya. Ia punya sayap. Sayap itu membuatnya terbang kemanapun ia mau di penjuru kerajaan langit."
"Seperti ibu apakah cantiknya?"
Ibuku tertawa. "Seperti kamu cantiknya."
"Aku bidadari juga dong, bu?"
Ibu membelai lagi rambutku. "Kamu akan selalu menjadi bidadari ibu, nak."
"Lalu apa yang terjadi dengan bidadari itu bu?"
"Bidadari itu jatuh cinta. Ia jatuh cinta kepada Angin. Seorang pria tampan dari bumi yang bertugas membawa pesan dari kerajaan bumi ke kerajaan langit."
Aku mulai membayangkan dongeng ibu dalam imajiku.
"Tapi bidadari tidak tahu jika sebenarnya Angin itu sebenarnya bukanlah seseorang yang baik."
"Jadi angin membohongi sang bidadari?"
"Iya nak. Bidadari terbujuk rayu Angin untuk mau jalan-jalan ke kerajaan bumi. Bidadari tidak tahu, jika begitu ia menapakkan kakinya di bumi, maka hilanglah hak dia sebagai penghuni kerjaan langit."
"Bidadarinya akhirnya turun ke bumi?"
"Iya. Dia turun ke bumi ketika diajak oleh Angin, yang saat itu sedang bertugas mengantarkan persembahan dari raja bumi ke raja langit. Tapi ketika sampai bumi, blasss.... Sayap sang bidadari hilang."
"Yaaaa.... Jadi tidak bisa terbang lagi dong?"
"Benar nak. Dan ketika tahu sang bidadari tidak bisa terbang lagi, Angin meninggalkan dia sendirian di bumi."
"Angin jahat."
"Sudah, sekarang waktunya tidur. Besok malam, ibu ceritakan kelanjutan ceritanya."
"Ibu..."
"Ya, sayang."
"Apakah angin itu seperti ayah yang meninggalkan kita?"
Ibu tak menjawab apa-apa. Ia menarik selimutku dan mencium keningku. "Selamat tidur, besok jangan telat bangun."
Aku tidak pernah mendapatkan jawaban yang pasti dari ibu. Ibu pun tak meninggalkan informasi apapun tentang ayahku. Dan apakah aku harus percaya dengan pria yang kutemui barusan di rumah itu? Dan kenapa Otto, pria yang mengirimiku lagu dan headphone berserta puisi indah, ada disana? Siapakah dia sebenarnya?
***
~ (oleh @tantehijau)
Showing posts with label Angin dan Bidadari Cantik. Show all posts
Showing posts with label Angin dan Bidadari Cantik. Show all posts
17 September 2011
16 September 2011
Angin dan Bidadari Cinta: Sebuah Paket Cinta
Bagian Keempat: Sebuah Paket Cinta
“Dingin?”
Pertanyaan Otto memecahkan lamunan singkatku. Ya mobil mewah itu sangat dingin, atau hanya aku saja yang terlalu udik untuk menikmati kenikmatan duduk di mobil yang sepertinya masih baru itu.
Otto memutar sebuah tombol di dashbord mobilnya, tapi udara yang keluar dari lubang ac mobil itu malah semakin dingin. Tanpa sadar, tubuhku bergidik mengigil karena hembusan angin itu. Otto telihat kebingungan dan menekan tombol lainnya dan udara dalam mobil itu kembali normal. Otto tersenyum bingung dan berkali-kali mengucapkan maaf. Seperti ada aliran listrik, tiba-tiba badanku menghangat menatap senyumannya.
“Maaf ya. Aku belum terbiasa menggunakan mobil ini.” Ucapnya malu.
Aku mengangguk-angguk, berusaha memalingkan wajahku yang mungkin telah bersemu merah ditatap oleh Otto ke jendela. Aku tidak tahu itu sedang berada di mana. Jalanan yang dilalui tampak asing bagiku. Aku mulai berpikir ulang, tindakan ini salah. Aku seharusnya tidak menurut ketika diajak Otto masuk mobil ini. Aku tidak mengenal pria ini, di perempatan berikutnya aku harus turun.
Belum sempat kuutarakan keinginanku, Otto membelokkan mobil dan masuk ke halaman sebuah rumah mewah. Rumahnya kan? Otto memarkirkan mobil itu tepat di depan beberapa mobil mewah yang terpajang di garasi rumah itu.
“Ini rumahmu?” tanyaku serak, antara sesek nafas dan kaget.
Otto menggeleng pelan. “Bukan. Ini adalah rumah pemilik mobil ini. Yuks kita turun.”
Lagi-lagi aku terbius dan turun dari mobil mengikuti langkah Otto. Pria kurus itu menjajari langkahku dan menuntunku menuju sebuah rumah kecil di belakang garasi rumah itu.
“Itu rumahmu?” tanyaku lagi.
Otto tersenyum dan menggeleng pelan. “Bukan. Ini adalah rumah yang harus kukirimkan paket. Paket cinta.”
“Paket Cinta?”
Otto mengangguk. “Paket itu adalah dirimu.”
***
Salah satu dongeng yang pernah diceritakan oleh mendiang ibuku adalah tentang seorang bidadari yang tinggal di hutan. Bukan tentang bidadarinya Jaka Tarub yang akhirnya meninggalkan anak-anaknya dan kembali ke khayangan, tapi tentang bidadari yang dikhianati oleh pacarnya, sang Angin.
Bidadari malang itu terbujuk rayu sang Angin akan indahnya bumi sehingga ia nekad melanggar aturan langit dan turun ke Bumi. Bidadari itu menghiraukan semua nasihat keluarga dan teman-temannya agar tidak turun ke bumi. Pengorbanan bidadari itu ternyata bertepuk sebelah tangan. Ketika ia sudah menginjakkan kakinya di bumi, ia baru menyadari bahwa Angin membohonginya. Malu akan kesalahannya itu, sang bidadari itu akhirnya memutuskan tetap tinggal di bumi. Setiap malam bidadari itu akan menangis di tengah hutan, menangisi keputusan meninggalkan langit.
Entah apa hubungan antara bidadari dalam cerita ibuku dengan kehidupan masa lalu ibuku. Tapi yang terjadi dihadapanku sungguh membuatku shock. Ketika Otto membuka pintu rumah dibelakang garasi itu, ada seorang pria setengah baya yang sedang menunggu kami.
“April, ini Pak Andris.” Ucap Otto memperkenalkan pria itu.
Pria setengah baya itu langsung menghampiriku dan bergerak ingin memelukku. Aku langsung refleks mundur menjauh, kaget.
“Maaf.” Ucapnya pria itu sedih. “Saya begitu bahagia dapat menemukanmu, hingga ingin sekali memelukmu.”
Aku menatap Otto dan pria itu bergantian meminta penjelasan. Otto tersenyum simpul memandangku.
“April, Pak Andris ini adalah ayah kandungmu.”
“A-a-ayah kandung?”
***
- (oleh @tantehijau - http://zadika.wordpress.com)
“Dingin?”
Pertanyaan Otto memecahkan lamunan singkatku. Ya mobil mewah itu sangat dingin, atau hanya aku saja yang terlalu udik untuk menikmati kenikmatan duduk di mobil yang sepertinya masih baru itu.
Otto memutar sebuah tombol di dashbord mobilnya, tapi udara yang keluar dari lubang ac mobil itu malah semakin dingin. Tanpa sadar, tubuhku bergidik mengigil karena hembusan angin itu. Otto telihat kebingungan dan menekan tombol lainnya dan udara dalam mobil itu kembali normal. Otto tersenyum bingung dan berkali-kali mengucapkan maaf. Seperti ada aliran listrik, tiba-tiba badanku menghangat menatap senyumannya.
“Maaf ya. Aku belum terbiasa menggunakan mobil ini.” Ucapnya malu.
Aku mengangguk-angguk, berusaha memalingkan wajahku yang mungkin telah bersemu merah ditatap oleh Otto ke jendela. Aku tidak tahu itu sedang berada di mana. Jalanan yang dilalui tampak asing bagiku. Aku mulai berpikir ulang, tindakan ini salah. Aku seharusnya tidak menurut ketika diajak Otto masuk mobil ini. Aku tidak mengenal pria ini, di perempatan berikutnya aku harus turun.
Belum sempat kuutarakan keinginanku, Otto membelokkan mobil dan masuk ke halaman sebuah rumah mewah. Rumahnya kan? Otto memarkirkan mobil itu tepat di depan beberapa mobil mewah yang terpajang di garasi rumah itu.
“Ini rumahmu?” tanyaku serak, antara sesek nafas dan kaget.
Otto menggeleng pelan. “Bukan. Ini adalah rumah pemilik mobil ini. Yuks kita turun.”
Lagi-lagi aku terbius dan turun dari mobil mengikuti langkah Otto. Pria kurus itu menjajari langkahku dan menuntunku menuju sebuah rumah kecil di belakang garasi rumah itu.
“Itu rumahmu?” tanyaku lagi.
Otto tersenyum dan menggeleng pelan. “Bukan. Ini adalah rumah yang harus kukirimkan paket. Paket cinta.”
“Paket Cinta?”
Otto mengangguk. “Paket itu adalah dirimu.”
***
Salah satu dongeng yang pernah diceritakan oleh mendiang ibuku adalah tentang seorang bidadari yang tinggal di hutan. Bukan tentang bidadarinya Jaka Tarub yang akhirnya meninggalkan anak-anaknya dan kembali ke khayangan, tapi tentang bidadari yang dikhianati oleh pacarnya, sang Angin.
Bidadari malang itu terbujuk rayu sang Angin akan indahnya bumi sehingga ia nekad melanggar aturan langit dan turun ke Bumi. Bidadari itu menghiraukan semua nasihat keluarga dan teman-temannya agar tidak turun ke bumi. Pengorbanan bidadari itu ternyata bertepuk sebelah tangan. Ketika ia sudah menginjakkan kakinya di bumi, ia baru menyadari bahwa Angin membohonginya. Malu akan kesalahannya itu, sang bidadari itu akhirnya memutuskan tetap tinggal di bumi. Setiap malam bidadari itu akan menangis di tengah hutan, menangisi keputusan meninggalkan langit.
Entah apa hubungan antara bidadari dalam cerita ibuku dengan kehidupan masa lalu ibuku. Tapi yang terjadi dihadapanku sungguh membuatku shock. Ketika Otto membuka pintu rumah dibelakang garasi itu, ada seorang pria setengah baya yang sedang menunggu kami.
“April, ini Pak Andris.” Ucap Otto memperkenalkan pria itu.
Pria setengah baya itu langsung menghampiriku dan bergerak ingin memelukku. Aku langsung refleks mundur menjauh, kaget.
“Maaf.” Ucapnya pria itu sedih. “Saya begitu bahagia dapat menemukanmu, hingga ingin sekali memelukmu.”
Aku menatap Otto dan pria itu bergantian meminta penjelasan. Otto tersenyum simpul memandangku.
“April, Pak Andris ini adalah ayah kandungmu.”
“A-a-ayah kandung?”
***
- (oleh @tantehijau - http://zadika.wordpress.com)
15 September 2011
Angin dan Bidadari Cantik: Pria bernama Otto
Bagian Ketiga: Pria bernama Otto
Aku menatap bingkisan headphone itu sambil tersenyum senyum sendiri. Aku segera mencobanya dan memasangnya ke mp3 murahku. Segera aku mendengarkan lagu-lagu favorit ku langsung ke telingaku. Aku menyenderkan bahuku di dinding kamarku. Aku begitu menikmati alunan nada-nada itu.
Sebuah ketukan di pintu kontrakanku memecahkan lamunan singkatku. Seorang pria telah berdiri di depan pintu membawa bungkusan berlapis koran.
"Hai." Sapanya kaku.
Aku mengenalinya. Pria pengirim cd. Wajahnya seperti bertambah pucat dibandingkan ketika pertama kali bertemu dengannya.
Pria itu berdiri kaku dan menyodorkan bungkusan itu kepadaku. Aku menerima bungkusan itu. Bungkusan itu aneh, berbunyi dengan ketukan yang sama, seperti bunyi detik jam.
Aku melotot menatap pria itu. Senyum diwajahnya mengembang. Ia tertawa dan…..
"KRINNNNGGGGGGGGGG!!"
Aku terlonjak kaget. Ah, aku bermimpi pria itu lagi!
***
Toko buku sedang sangat ramai hari ini. Akan ada peluncuran buku novel terbaru dari seorang sastrawan muda. Buku pertama penulis muda ini telah terjual lebih dari tiga juta kopi, bahkan buku tersebut sudah dialihbahasakan ke lima bahasa asing. Maka tidak heran jika acara launching ini sudah dipenuhi orang, meski acaranya baru dimulai dua jam lagi.
Dan pria itu disana, pria yang mengirimkan cd lagu dan headphone untukku. Ia sedang sibuk mengecek sound system yang digunakan untuk acara launching. Pria itu begitu sibuk hingga tidak melihat diriku telah berdiri dibelakangnya.
"Hai." Sapaku serak.
Ia menoleh. Wajahnya tampak kaget menatapku.
"Hai. Kerja disini?" Matanya mengamati seragam yang kupakai.
Aku mengangguk. Ada jeda kecanggungan diantara kami. Kami sama-sama terdiam selama beberapa saat.
"Terima kasih, mas." ucapku akhirnya. "Terima kasih atas semua kiriman mas kepadaku."
Pria itu menghela nafas panjang dan menutup mata kanannya. Bahunya berguncang. Ia tertawa tanpa suara. Aku semakin salah tingkah berdiri dihadapannya.
Seorang pria menepuk bahu pria itu. Ia berhenti tertawa dan mereka membicarakan hal teknis sound sytem yang tidak kumengerti. Perlahan aku berbalik badan meninggalkan pria itu.
Entah apa perasaanku. Malu? Mungkin. Lega akhirnya bisa mengucapkan terima kasih? Mungkin. Bahagia karena bertemu pria itu lagi? Mungkin. Jatuh cinta?
Aku menoleh kearah pria itu setelah jauh dari area launching. Pria itu masih sibuk berbicara dengan temannya. Lama sekali aku menatapnya kosong. Seperti bisa menyadari aku mengamatinya, pria itu menoleh sekilas dan tersenyum sangat lebar.
***
Aku dibesarkan oleh ibuku dengan cerita dongeng. Baik itu dongeng lokal, juga dongeng asing yang berkisah tentang puri dan putri. Ketika kecil aku selalu punya mimpi yang sama, mimpi menjadi seorang putri dan hidup bahagia selamanya dengan pangeran berkuda putih.
Tentu saja itulah mimpi seorang anak kecil yang masih polos. Ketika beranjak besar aku menyadari satu hal, there's no such thing as prince with white horse. Tapi jika pria ganteng dengan mobil build-up berwarna putih? Itu pasaran.
Seperti pemandangan yang kulihat saat ini. Pria misterius dibalik sebutan kurir cinta, kembali kulihat di pelataran parkir toko buku tempatku bekerja. Ia melambaikan tangannya ketika melihatku keluar dari pintu karyawan. Pria itu bersandar ke sebuah mobil putih mewah yang belum pernah kulihat sebelumnya di Jakarta.
"Hai, April. " Sapanya kaku ketika aku mendekatinya.
Aku tersenyum dan membalas sapaannya. "Hai."
"Baru mau pulang?"
Aku mengangguk. Tiba-tiba aku seperti dikerubuti ribuan semut yang kaki-kaki kecilnya menggelitiki leherku.
"Itu tampak bagus di kepalamu." ucapnya sambil menunjuk ke headphone yang melingkari leherku.
Aku menunduk dan menatap benda itu sekilas. "Thanks. Ini kan pemberian dari mas."
Pria itu tersenyum lebar. "Oya, kita belum berkenalan secara resmi. Namaku Otto."
"April." Aku menerima jabat tangannya. "Senang berkenalan denganmu, Mas Otto."
Ia tertawa lepas. Tangannya masih tetap menjabat tanganku. Lalu seperti tersihir, ia menarikku pelan untuk masuk kedalam mobil putih itu. Antara deg-deg an, bingung dan sungkan, aku menurutinya.
"Maaf. Kita mau kemana?" tanyaku gugup ketika Otto sudah berada di depan kemudi.
Otto menoleh menatapku. "Saya mau mengantarkan cinta"
"Apa?"
Otto mengedipkan sebelah matanya. "Itulah mengapa aku menyebut diriku, Kurir Cinta. Aku mengantarkan cinta khusus untuk orang yang paling kucinta."
Aku hanya bisa duduk terdiam tanpa kata mendengar hal itu.
***
- (oleh @tantehijau - http://zadika.wordpress.com/2011/04/06/selamat-pagi-april/)
14 September 2011
Angin dan Bidadari Cantik: Selamat Pagi April
Bagian Kedua: Selamat Pagi, April!
Selain mencintai buku, aku mencintai lagu tanpa nyanyian. Sebuah musik instrumentalia, musik klasik atau dentingan piano dapat membuatku loncat-loncat bagaikan anak remaja yang mengandrungi boys band. Jangan tanya sejak kapan aku mencintai jenis musik ini, karena akupun baru menyadarinya belakangan.
Hanya sedikit orang terdekatku yang mengetahui kecintaanku ini, maka aku heran ketika aku mendapatkan sebuah paket cd instrumentalia. Paket itu ditujukan untukku, tanpa nama pengirim. Tapi sang pengirim meninggalkan jejak sebuah alamat jika paket tersebut salah alamat.
Aku seharusnya menyalahkan tangan nakalku yang iseng membuka kotak cd itu dan mendengarkannya. Iringan nada yang keluar langsung menari-nari dan berdansa dengan imajinasiku. Aku seperti dibawa oleh nada tanpa vokal itu terbang menuju tempat yang tidak pernah kukunjungi. Kuputuskan untuk menyimpan cd itu dan mengirimkan surat ke alamat di paket itu.
Dear pengirim cd lagu,
Terima kasih atas kirimannya.
Saya sangat suka dengan lagu yang anda kirimkan.
April.
***
Aku tidak berharap banyak si pengirim misterius membalas suratku. Kenyataannya malah, si pengirim misterius itu malah menghampiri rumahku tepat sehari setelah aku mengirimkan surat.
"Mohon maaf, anda April?" Itulah sapaan pertama pria itu ketika aku membuka pintu rumah.
Pria itu kurus kering dengan wajah putih pucat. Ia seperti orang yang tidak memakan apapun selama berhari-hari. Kulit kuningnya malah membuatnya seperti pesakitan.
"Ya? Saya?"
"Mohon kembalikan cd saya."
"Cd? Anda yang mengirimkan cd itu?" Perasaanku saat itu seperti seorang abg yang bertemu artis pujaannya. Bergejolak. Ingin loncat-loncat dan minta tanda tangan artis idolanya.
"Benar. Maaf bisa tolong dikembalikan?" Ucapan ketus pria itu meruntuhkan semua antusiasme sesaatku. Wajahnya yang menatapku tajam tanpa ekspresi membuatku menurut untuk berbalik menuju kamarku mengembalikan cd itu.
"Thanks." Pria itu mengambil cd itu cepat dan tanpa basa-basi ia langsung berbalik meninggalkan rumahku.
"Itu ciptaan anda?" Ucapku berusaha menahan langkahnya. "Lagunya sungguh indah."
Pria itu berhenti melangkah dan berbalik menatapku dengan tersenyum. Akhirnya pria itu tersenyum.
"Terima kasih, April."
Belum sempat aku membalas senyuman ramahnya, pria itu berbalik dan setengah berlari menjauhi rumahku.
***
Kurang lebih sebulan setelah pria itu mendatangi rumahku, aku kembali mendapatkan paket cd. Kali ini, tanpa alamat pengirim. Di dalam paket, ada sebuah surat dengan tulisan tangan yang berantakan.
Hai wanita yang bernama sama dengan bulan ini,
Maafkan atas kesalahan kirim kemarin. Kali ini aku menebus kesalahanmu dengan mengirimkan kepadamu sebuah karya. Karya sederhana dari seorang musisi jalanan.
Selamat mendengarkan wahai dirimu.
Pengirim rahasia,
Kurir Cinta.
Dengan hati berdebar aku memasang cd itu di pemutar cd. Alunan piano yang langsung membuatku terbang. Selama beberapa menit, aku terpaku mendengar alunan instrumental piano itu. Ketika piano itu berhenti mengalun, suara seorang pria terdengar,
"Selamat pagi, April. Terima kasih sudah mendengarkan."
***
- (oleh @tantehijau - http://zadika.wordpress.com/2011/04/06/selamat-pagi-april/)
13 September 2011
Angin dan Bidadari Cantik: 1. Kurir Cinta
Mimpiku semenjak kecil adalah bekerja di bawah tumpukan buku. Aku cinta buku. Ya, kamu bisa mengatai diriku adalah seorang kutu buku. Tapi aku mengakuinya, aku kutu buku. Semua buku aku cintai, baik itu buku pelajaran, buku cerita, buku novel, bahkan buku stensilan. Untuk yang terakhir aku hanya suka membaca itu karena kagum akan imajinasi penulis buku itu.
Dan mimpiku menjadi kenyataan, semacam itu. Aku bekerja benar-benar dibawah tumpukan buku. Aku bekerja di sebuah toko buku terkenal di Indonesia. Seharusnya aku menikmati dan mencintai pekerjaan ini. Tapi sepertinya mimpi masa kecilku sangat jauh bertolak belakang dengan kenyataan hidup saat ini.
“Mbak, buku berjudul…..” Seorang wanita muda menghampiri diriku menanyakan sebuah judul buku.
Tanpa perlu aku mengecek ke komputer, aku langsung tahu dimana buku itu berada. Aku mendapatkan anugerah fotographic memory oleh Yang Maha Kuasa. Aku langsung menunjukkan wanita itu buku yang ia cari.
“Makasih, Mbak.”
Aku tersenyum simpul menanggapinya. Aku kembali menuju tempatku dan membereskan beberapa buku yang salah tempat. Sebuah tepukan dari salah seorang rekanku mengagetkan diriku.
“Ada apa?”
“Itu ada kiriman buat lo.”
“Kiriman?”
“Iya. Di ruang ganti. Gw taruh di depan loker lo tuh.”
“Dari sapa?”
Rekanku itu menaikkan bahunya. “Tapi keknya bom gitu. Bom cinta. “
Rekanku tertawa terbahak-bahak. Aku menggeleng-geleng melihatnya dan cepat-cepat meninggalkan wanita itu menuju ruang ganti.
***
Disana sebuah amplop coklat dengan tulisan di bagian depannya namaku dan alamat toko buku cabang aku ditempatkan. Dengan jantung berdebar-debar aku membukanya. Isinya sebuah headphone. Ya, itu sebuah headphone yang digunakan orang-orang untuk mendengarkan musik dari handphone atau komputernya.
Dari dalam amplop terselip sebuah surat. Surat dengan tulisan acak-acakan.
Hai dirimu,
Semoga dengan headphone ini engkau bisa mendengarkan alunan nada cintaku.
Semoga dengan headphone ini kau tidak mendengarkan suara sumbang yang menghinamu.
Semoga dengan headphone ini kamu menjadi seorang kutu buku yang semakin manis.
Semoga dengan headphone ini dirimu selalu mengingat diriku.
Penganggum rahasiamu,
Kurir Cinta.
Ah, pasti ini kerjaan si kurir itu lagi!
***
- oleh ( @tantehijau - http://zadika.wordpress.com/2011/04/06/kurir-cinta/)
Dan mimpiku menjadi kenyataan, semacam itu. Aku bekerja benar-benar dibawah tumpukan buku. Aku bekerja di sebuah toko buku terkenal di Indonesia. Seharusnya aku menikmati dan mencintai pekerjaan ini. Tapi sepertinya mimpi masa kecilku sangat jauh bertolak belakang dengan kenyataan hidup saat ini.
“Mbak, buku berjudul…..” Seorang wanita muda menghampiri diriku menanyakan sebuah judul buku.
Tanpa perlu aku mengecek ke komputer, aku langsung tahu dimana buku itu berada. Aku mendapatkan anugerah fotographic memory oleh Yang Maha Kuasa. Aku langsung menunjukkan wanita itu buku yang ia cari.
“Makasih, Mbak.”
Aku tersenyum simpul menanggapinya. Aku kembali menuju tempatku dan membereskan beberapa buku yang salah tempat. Sebuah tepukan dari salah seorang rekanku mengagetkan diriku.
“Ada apa?”
“Itu ada kiriman buat lo.”
“Kiriman?”
“Iya. Di ruang ganti. Gw taruh di depan loker lo tuh.”
“Dari sapa?”
Rekanku itu menaikkan bahunya. “Tapi keknya bom gitu. Bom cinta. “
Rekanku tertawa terbahak-bahak. Aku menggeleng-geleng melihatnya dan cepat-cepat meninggalkan wanita itu menuju ruang ganti.
***
Disana sebuah amplop coklat dengan tulisan di bagian depannya namaku dan alamat toko buku cabang aku ditempatkan. Dengan jantung berdebar-debar aku membukanya. Isinya sebuah headphone. Ya, itu sebuah headphone yang digunakan orang-orang untuk mendengarkan musik dari handphone atau komputernya.
Dari dalam amplop terselip sebuah surat. Surat dengan tulisan acak-acakan.
Hai dirimu,
Semoga dengan headphone ini engkau bisa mendengarkan alunan nada cintaku.
Semoga dengan headphone ini kau tidak mendengarkan suara sumbang yang menghinamu.
Semoga dengan headphone ini kamu menjadi seorang kutu buku yang semakin manis.
Semoga dengan headphone ini dirimu selalu mengingat diriku.
Penganggum rahasiamu,
Kurir Cinta.
Ah, pasti ini kerjaan si kurir itu lagi!
***
- oleh ( @tantehijau - http://zadika.wordpress.com/2011/04/06/kurir-cinta/)
Subscribe to:
Posts (Atom)