Tentang 30 Hari Cerita Cinta

Showing posts with label Masih Tentang Kamu. Show all posts
Showing posts with label Masih Tentang Kamu. Show all posts

15 September 2011

Masih Tentang Kamu: Sebentar, Aku Pergi Dulu.

                Malam itu aku memutuskan tidur lebih cepat dari biasanya. Ini di luar kebiasaanku, karena mata ku tidak akan mau terpejam bila malam belum sempat berpamitan dan hari berganti nama. Namun hati ini meminta untuk diistirahatkan, setelah seharian ia ikut bersedih saat mata ku terus-terusan menangisi pertengkaran aku dan Lio.
                Kita mengobrol di kantin sekolah yang mulai sepi, tapi kali ini tidak ditemani oleh dua mangkuk mie goreng dan dua gelas es teh manis. Obrolan kita pun tidak lagi berisi gelak tawa dan. Hanya ada aku dan kamu, yang sudah kenyang akan emosi yang mendesak ingin dikeluarkan. Satu pertengkaran lagi, masalah yang sama lagi, dan semuanya seakan sengaja diputar ulang untuk menyakitiku lagi.
                "Kalo kamu masih terus masalahin Arini kaya gini, kita putus aja yah.. Aku capek Ra. Aku capek." Kamu mulai bicara setelah kita cuma saling menatap hening selama setengah jam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk saling menyakiti.
                "Yaudah. Terserah kamu, Yo. Aku mau pulang aja sekarang.. Please?" Akhirnya cuma itu yang mampu keluar. Terlalu banyak hal yang ingin aku sampaikan hingga akhirnya hanya dapat terwakili lewat air mata. Pipi ku mulai basah dan mengundang keingintahuan nenek penjual mie goreng yang sedang pura-pura sibuk di belakang kamu.
                "Ayo, aku anter. Jangan nangis donk, Rara.. Jangan buat ini semakin terasa berat buat aku." Katamu sambil menghapus air mata ku asal-asalan dengan ujung lengan sweatermu. Lio, sikapmu yang seperti inilah yang justru akan membuat aku semakin tidak rela untuk lepas dari kamu. Sikap canggung yang selalu kamu tunjukkan tiap kali kamu ingin menunjukkan rasa sayang yang dalam kepadaku. Sikap romantis yang selalu gagal kamu praktekkan. Dadaku semakin menyesak dan tangisku malah makin jadi waktu kamu tarik aku menuju parkiran.
                "Yo.." Aku merengek agar kamu bersuara. "Jangan ngebut Yo! Aku takut!" Kamu justru semakin melaju dengan mata yang perlahan memerah. Aku pasrah dan larut dalam tangisan yang bising, seakan-akan sedang berlomba melawan deru mobilmu.
                "Bisa diem gak sih, Ra!" Kamu semakin emosi namun kecepatan mobil tidak berubah. Masih sama kencangnya dengan ikatan yang seakan-akan mencekik kerongkonganku dan dadaku.
"Iya tapi kamu jangan kaya gini donk Yooooo....Ngomong sama aku! Jangan diem aja!" aku setengah berteriak sambil susah payah mencoba tidak terdengar terisak-isak. Tentu saja gagal.
"Liooooo!"
"Ini apaan sih ah!" Kamu menghempas tanganku yang dari tadi mengguncang-guncang kerah seragammu.
Arini.. Karena dia, aku harus mengalami drama di tengah jalan seperti ini. Aku yakin, di dalam hatinya, sebenarnya Lio sadar ia bersalah. Lio hanya terlalu malas untuk membahasnya. Terlalu malas untuk memilih siapa yang harus ia bela. Aku, atau Arini sahabatnya. Kali ini alasannya putus denganku adalah agar aku bisa berhenti berjuang menahan sakit hati untuk alasan yang itu-itu saja. Lio selalu saja salah kaprah akan konsep 'sakit hati'nya itu. Ia selalu merasa hal itu bisa secara otomatis melindungi aku dari rasa sedih dan sakit hati ini. Kamu lepaskan aku, itu justru lebih sakit, Lio..

"Ya, gw sih doain yang terbaik buat lo, Yo. Tapi mudah-mudahan lo mau mikirin lagi deh, apa bener, Rara itu baik buat lo?"

Isi sms Arini yang kubaca dari HP Lio tadi siang kembali terngiang-ngiang di kepala ku. Ironis, betapa deretan kalimat sesederhana itu bisa mengantarkan aku dan kamu sampai disini. Membuat kita bagai sepasang rel kereta yang masih saling setia mendampingi, namun tidak satu.

"Udah kangen lagi aja deh aku sama kamu.. hihi.. Aku bobo duluan yah?  Goodnight, love. :)"
Tersadar akan apa yang aku ketik barusan, aku pun menangis lagi.

(Clear message)                                                  

Lalu aku terlelap dalam air mata..

"Selepas kau pergi..
Tinggallah disini ku sendiri..
Ku merasakan sesuatu..yang tlah hilang di dalam hidupku.."
Selepas Kau Pergi - Laluna


- (oleh: @bchastity - www.chastifier.tumblr.com)

14 September 2011

Masih Tentang Kamu: Salah

Belum seminggu aku mengenal Lio, tapi aku sudah dikagetkannya dengan berbagai bakat yang ia miliki, yang aku berani taruhan, sama sekali tak akan bisa tertebak oleh siapapun yang belum mengenal Lio. Lio sangat pandai menyembunyikan segala kemampuannya, sepandai ia menggoda akal sehatku.
            Bersahaja. Mungkin kalimat itulah yang cukup mampu menggambarkan Lio secara garis besar. Setidaknya bagiku. Lewat hal-hal sesederhana obrolan-waktu-guru-sedang-pergi-ke-toilet, aku bisa mengetahui bahwa Lio juga pandai memetik gitar dan bermain baseball. Aku terpesona, bukan kepada bakat-bakat yang ia kuasai, namun kepada cara ia mengajarkanku tentang kerendahan hati.
            Lio, saat aku menawarkanmu obrolan yang lebih panjang dari sekedar alasan kandung kemih seorang guru, aku mulai aku percaya, bahwa segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Karena saat itu pula aku justru menemukan fakta yang tidak menyenangkan tentang kamu. Kepemilikan atas nama kamu bukanlah untukku..
            Kamu berpacaran dengan seseorang yang namanya terus kamu bicarakan di telinga ku. Anehnya, ternyata aku pun tidak sepeduli itu. Bukan, sayang.. Bukan karena aku tidak peduli kepadamu. Tapi karena aku tau, satu-satunya alasanmu sering menyebutkan namanya adalah karena kamu ingin aku cemburu. Ya, aku cemburu. Tapi hanya itu.
            “Rara, hari Minggu gw sama Nita mau jalan-jalan lho ke Bandung! Ikutan yuk? Nanti biar gw bisa kenalin ke dia.. Semuanya gw yang traktir deh! Gimana? Mau kaaan mau kaaaan...” Godamu sambil menarik-narik lengan seragamku. Tawaran yang aneh, Lio..
            “Haaaa? Gw? Ngintilin lo sama Nita pacaran? Hahahahaha... Dodol!” Aku tergelak.
            “Tek-tok doank kooook... Masa gak mau sih! Sombong deh..” Katamu, masih dengan air muka penuh harap.
            “Lah siapa bilang gw gak mau? Jangan telat aja jemputnya besok!” Jawabku sekenanya.
Lio.. Aku sebenarnya tidak paham apa maksudmu di balik ini semua, tapi itu bukan lagi masalah karena tiap kali kamu tersenyum lebar, aku tau sesuatu yang baik pasti akan terjadi. Dan senyum riangmu saat ini, mengusir semua asumsi yang baru saja aku buat sendiri. Bagiku, itu lebih dari cukup.


6 bulan kemudian..
Ini kali ketiga kamu menyatakan perasaanmu. Memang, dua kali sebelumnya kamu hanya bermaksud untuk menyatakan segala yang menggangu pikiranmu. Namun kali ini, aku bisa melihat jelas, bahwa kamu sedang menuntut apresiasi ku. Kamu menginginkan aku, sebagai imbalan atas perasaan-perasaan yang aku ciptakan agar kamu gelisah setiap malam. Mungkin 6 bulan terlalu lama untuk kamu menunggu. Tapi percayalah. Aku yang bersalah. Dan anggaplah 6 bulan itu adalah masa hukumanku.
“Aku sayang sama kamu.. Sekarang udah bukan cuma suka, Ra.. Apa kamu sekarang udah mau jadi pacar aku?” Tanya Lio, pasrah. Saat itu hanya ada kita berdua di dalam mobil. Sebentar lagi, teman-teman yang lain akan kembali dengan membawa bungkusan makanan-makanan kecil dari sebuah mini market di hadapan kita. Aku pun memalingkan muka, menatap kamu dari kaca mobil di sebelah kiriku, dengan penuh penyesalan.
6 bulan memang terlalu lama. Aku salah. Ternyata selama ini, aku hanya mengagumi ketulusan hati yang kamu punya. Aku salah menilai perasaanku selama ini. Aku mengagumi kamu, Lio. Dan aku mengagumi caramu mengagumiku. Lagi-lagi, sesederhana itu. 6 bulan berlalu, dan sekarang kamu ada disini untuk membebaskan aku dari masa hukuman. Namun sayangnya, di saat kamu tetap bersikeras menyayangiku, aku pun tetap  terjebak dalam kesalahan.
Aku salah, Lio, karena sempat mengira aku tak pernah menginginkan kamu.. Karena saat ini, aku sedang memeluk kedua tanganmu sambil mengangguk kecil, disusul sebuah kecupan di keningku. Kecupan yang aku izinkan untuk menandai ikatan kita..

“So if you really love me, say yes.But if you don't, dear, confess.And please don't tell me..Perhaps, perhaps, perhaps..Perhaps, perhaps, perhaps..Perhaps, perhaps... Per....haps.”
 Perhaps, Perhaps, Perhaps - Cake



- (oleh: @bchastity - www.chastifier.tumblr.com)

13 September 2011

Masih Tentang Kamu: "Aku Tertarik"

Hampir jam sembilan pagi, namun guru yang seharusnya mengajar kelas ku, belum juga menampakkan batang hidungnya. Tetapi ada yang lebih menarik perhatianku saat ini, dan sosok itu sedang diam-diam memandang ke arah ku sekarang. Oh, betapa aku bersyukur telah diberi kemampuan melihat dari ujung mata..
Tepat dua detik setelah ia mengalihkan pandangan, aku langsung berdiri dan berjalan ke arahnya. Aku bisa merasakan sikap salting yang berusaha ia tutupi saat aku tetiba duduk di sampingnya.

“Liat HP lo donk! Lucu bangeeet… Model baru ya? Eh, maaf, nama lo siapa? Kayaknya cuma lo doank deh yang belum gw ajak kenalan! Padahal kan lo ketua kelas! Hehe..” Aku langsung menyerbunya dengan berbagai pertanyaan.
“Oh, ini.. Ini HP model lama kok.. Hehe.. Tapi emang bentuknya rada unik sih.. Hmm.. Nama gw, Lio..” Dia berusaha menjawab pertanyaanku tanpa berhasil menyembunyikan wajah bingungnya.

Selama lima menit, hanya ada keheningan. Aku sibuk dengan HP yang ia pinjamkan, sedangkan Lio sibuk mencari-cari cara untuk menutupi ketidaknyamanannya. Tidak lama setelah itu, akhirnya bel istirahat berbunyi memecah kesunyian. Lio tidak kalah tinggi dari abang tukang ojek yang sering aku tumpangi setiap kali aku telat ke sekolah, yang artinya ujung kepalaku sejajar dengan dagunya. Wajahnya biasa saja, namun menimbulkan simpatik. Matanya selalu berbinar seakan-akan mereka mampu tersenyum tanpa dibantu oleh sepasang bibir.

“Hmmm.. Ra? Kebetulan sekarang kita udah kenalan, boleh gak gw minta nomor HP lo?” Kali ini aku yang terdiam heran seketika.
“Nggak.. Gini lho.. Umm.. Kan gw ketua kelas! Jadi biar gampang aja ngasihtau lo kalo ada info-info dari guru kita! Hehe..” Tambahnya buru-buru sambil tersenyum canggung melihat reaksi kagetku.

Semenjak saat itu, aku tertarik..
Aku tertarik untuk mengenal Lio lebih jauh lagi. Bukan hanya sebatas ketertarikan akan pengetahuannya akan barang-barang elektronik, yang secara jelas menyiratkan bahwa ia sangat menguasai segala jenis piranti bermuatan listrik tersebut. Amat sangat jelas. Karena di saat yang bersamaan pun ia berhasil membangun sirkuit elektronik di aliran darahku dan mengirimkan partikel-partikel bermuatan listrik tepat ke jantung hatiku.

“Hahaha.. Boleh kok, Lio.. Nomornya 08561901190. Nanti SMS aja terus jangan lupa sebutin nama lo. Soalnya kalo missed-calldoank gw suka lupa save nomornya! Okeh bos!” Kata ku sambil mengedipkan mata.
“Siiip! Udah gw save. Gw ke bawah duluan ya, Ra!” Pamitnya buru-buru. Rona wajahnya tetap tanpa ekspresi, namun matanya selalu berbicara.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman girang.
Dan aku, kini semakin tertarik untuk menikmati kepolosan hatinya lebih dalam lagi..


“I look at you.. You look at me..
(You can’t tell me you aint feeling butterflies..)
It's obvious, there's some chemistry..
(I think I know it when it feels so right..)”
I Call It Love – Lionel Richie

Bersambung..


- (oleh: @bchastity - www.chastifier.tumblr.com)