Tentang 30 Hari Cerita Cinta

Showing posts with label Selarik Rindu. Show all posts
Showing posts with label Selarik Rindu. Show all posts

16 September 2011

Selarik Rindu: Seseorang-Yang-Gak-Boleh-Disebut-Namanya #4

Shafa
                "Aku rindu..." Kataku dengan isak tangis di kamar mandi dengan sedu-sedu. Ku rasakan airmata juga membasahi hape yang ku tempelkan ke telinga. Suara bising terdengar lebih jelas dari suara pria yang sedang ku ajak bicara. Dia, seseorang-yang-gak-boleh-disebut-namanya".
            "Aku lagi di jalan Shafa, nanti aku telpon balik" serunya dengan suara yang keras dan terdengar agak kasar di telingaku.. Tangisku makin sedu. Rindu sudah kelewat terlalu di hatiku, tapi tidak di hatinya. Aku enggan mematikan telpon ku.
            "Aku mau ketemu, sekarang"
            "Apa? Aku gak denger"
            Dengan melantangkan suara ku, aku mengulang kalimat ku "Aku mau bertemu, sekarang!"
            Ada erangan dari mulutnya, "Kamu belum berubah..masih sama kaya dulu. Coba kamu liat, jam berapa sekarang?" tanyanya. Kini sudah tidak terdengar lagi suara bising.
            "Rindu ku sudah gak bisa menunggu lagi, penawarnya cuma kamu, bertemu kamu..." isakku makin keras. Aku jatuh bersender di tembok berubin kuning kamar mandi. Celana pendek ku basah terkena basah lantai kamar mandi. Ia diam. "Kenapa rindu tidak melewati hatimu? Kenapa rindu cuma tinggal di hatiku saja, kenapa?!" nada suara ku naik.
            Nafas nya terdengar panjang. "Hhhh...oke. Kamu dimana? Aku jemput kamu sekarang juga" terdengar gerungan suara gas motor yang baru saja dinyalakan kembali. Tangisku reda.

Seseorang-yang-gak-boleh-disebut-namanya
            Aku sudah sampai di depan rumah sahabat mantan kekasihku, ketika ku lihat ia sudah menunggu ku di depan terasnya. Pintu pagar sudah terbuka, dan aku tinggal memarkirkan motorku didalam rumahnya. Ku lepas helm berwarna putih kesayangan ku, yang juga helm kesayangannya. Mata kami bertemu, dan aku sudah tidak merasakan rasa seperti yang dulu mencintainya dengan terlalu. Menggebu. Tapi Shafa, adalah gadis manja yang selalu ku rindu derai manja nya. Paras wajah yang seringnya merah merona. Dia gadis terlucu yang pernah singgah di hatiku. Aku mencintainya, dulu.
            Ada bekas airmata di kerut sudut matanya. Aku hapal betul kerut yang selalu nampak jika ia sedang gelisah. Dan saat itu juga rindu menyergap aku dalam tatap matanya yang seolah lemah.
            "Aku gak bisa, Cha.." ucapku saat ia mulai menggelayuti ku manja. Aku mulai memanggilnya Chaca seperti teman-temannya. Aku ingin mebiasakan dia menganggapku kembali teman seperti sedia kala sebelum ada cerita cinta antara kami.
            Entah apa yang buat aku mati rasa. Keegoisannya. Kecemburu butaannya. Entah, semua indah hilang. Begitu tergantikan dengan seseorang yang sedari dulu tidak kusadari adanya, Rani. Kini aku sedang jatuh bangun mengejarnya untuk dapat ku raih.


- (oleh @PenaAwan - penandilaga.tumblr.com)

15 September 2011

Selarik Rindu: Lima Bintang

Lima Bintang
Aku mau menunggu biar sampai gigil jari kuku ku, aku mau menunggu. Biar cinta yang mengalahkan rindu, bukan sebaliknya. Aku mau kali ini cinta yang menang sebagai kita, bukan sebagai aku atau bukan sebagai dia. Aku mau menunggu sampai tak berbatas waktu, karena kata, bila Tuhan sudah punya mau menyatukan aku dan dia tidak akan selama membalikkan telapak tangan.
"Aku mau menunggu, karena aku tau sesuatu yang indah itu tidak akan selesai hanya dalam satu waktu. Aku mau menunggu seperti elang gundul yang tak akan berpaling sampai pasangannya dijemput mati. Aku mau menunggu seperti tangkai yang setia menunggu bunga mekar. Sebesar itu rasa ku padamu.."
Kalimat itu jatuh dengan mata yang berkaca-kaca. Aku mau dia tidak jadi ragu dan menganggapku tidak sanggup. Aku mau dia tidak jadi ingin ditunggu olehku. Sekuat tenaga aku menahan bulir airmata yang sudah mengkilat-mengkilat di mata. Akhir desember yang ceria.
***
Tahun baru tinggal esok, Shafa yang tengah menjahit hati nya menggunakan mimpi sebagai benang tengah asik menjejalkan perasaan cinta yang ia miliki saat ini pada ku.
"Jadi, lo udah ngelupain si 'seseorang-yang-gak-boleh-disebut-namanya' itu? " tanya ku. Raut muka Shafa berubah dari merah merona, menjadi merah padam. Dia menatapku lekat. "Gue pengen lo balik sama dia deh, kalian berdua tuh cuma lagi dalam tahap cobaan tau gak, kalian pasti bisa ngelewatin ini kalo kalian mau.." cerocos ku terus tanpa mempedulikan raut muka marah Shafa.
Shafa bungkam, diam. Ia berbaring di sampingku yang juga tengah berbaring di atap rumah ku. Pandangannya lurus ke malam gelap yang hanya berhiaskan lima bintang dengan tanpa alas di kepala-kepala kami. Aku memiringkan wajahku untuk mengamati wajah nya.
"Dia tetap bintang di hati gue, yang cuma gue dapat rasakan hadirnya kala malam kemudian hilang sementara kala siang. Tetap dia bintang terbesar gue, walau jauh, tapi bintang tetaplah bintang. Dia punya cahaya sendiri buat gue."
Aku lihat matanya lekat menatap bintang yang berkelap-kelip diatas awan hitam yang terlihat mendung. Hujan duluan di mata Shafa. Ku lihat segaris airmata turun dari sudut matanya. "Pejamkan mata lo, rindu mungkin akan cepat sampai pada nya.." kataku mencoba menghibur dirinya. Ia memalingkan wajah ke arahku. Kami berdua bertatapan. Selama lima tahun bersahabatan dengannya, aku hapal betul kerut yang ada di sudut matanya yang berarti menandakan kegusaran hatinya yang dalam. Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba menelusuk dalam hatinya bahwa ia akan baik-baik saja. Segaris airmata nya turun kembali tepat sebelum Shafa kembali menatap ke langit hitam diatas sana dan memejamkan matanya. Pukul 00.00, kembang api warna-warni mencacah langit meninggalkan asap putih yang meliuk-liuk liar seolah menyelimuti bintang-bintang. Aku turut memejam mata, entah untuk alasan apa.


- (oleh @PenaAwan - penandilaga.tumblr.com)

14 September 2011

Selarik Rindu: Desir Angin Pohon Mahoni

      Malam akhir pekan tiba, ada rindu sedikit menyayat di dada. Tepat semalam sebelum malam ini tiba ada wanita yang mampu membuat aku menitik air mata.
"Aku mungkin ada sedikit rasa sama kamu.." katanya setelah beberapa saat ku dengar helaan nafas yang panjang beberapa kali. "Aku sayang kamu" Ada jeda sejenak, kami sama-sama diam.
Aku memang sempat mengatakan kesukaan ku pada nya beberapa malam kemarin, dan pernyataannya malam ini sungguh membuat aku sedikit terkejut. Mmm, aku belum pernah berpacaran sama sekali. Hampir, namun tidak jadi dengan alasan yang aku sendiri lupa mengapa. Tapi dengan wanita bersuara seteduh pohon mahoni yang berbaris rapi di sisi kanan dan kiri jalan, hatiku berdesir lemah. Tapi apa benar ini cinta? Apa benar rasa suka yang kemarin sempat aku ucapkan dengan peluh keringat dingin sama dengan rasa yang ia sebut sayang barusan saja.
     Kami sempat menarik nafas berbarengan sebelum akhirnya aku berkata "Hmm, aku harus bilang apa ya? Aku..."
     "Kamu gak harus bilang apa-apa kok..Aku kan gak nanya apa-apa" ia memotong perkataan ku yang belum selesai.
     Kami diam kembali beberapa saat. Mengetahui ada getar berbeda yang tak pernah ku rasakan sebelumnya, aku semakin takut untuk mengaku. Indah. Namun sayang tak tepat waktu. Sampai kemudian ia mencoba untuk mengalihkan perhatianku. Aku tahu dia tahu aku sedang sibuk mencari sejumput kata, dan memang iya.  Apa yang harus ku katakan padanya ya kalau aku ini sebenarnya... sebenarnya sudah berprinsip untuk tidak berpacaran sebelum menikah.
     Ada sesal. Mengapa ku biarkan rasa ini tumbuh di masing-masing hati kami berdua. Sementara janji pada diri sendiri ini sudah membawa-bawa nama Tuhan, yang tidak mungkin aku langgar setelah sekian lama mencoba menasbihkan diri pada jalan yang kupilih sendiri. Rumit menjelaskan padanya tentang...ah, aku sendiri bingung tentang apa.
     Mata memang sudah terpejam, namun suara  yang mirip desir angin pohon mahoni masih bersarang di hati, kalau terus ku diamkan mungkin akan membuat badai dan mungkin bisa jadi tsunami. Gelisah yang tak berarah. Hanya satu yang aku mau,  mendengar kata-kata itu lagi dan lagi. Candu.

     Tak biasa, aku sudah menyaksikan tiap gerak matahari menuju terbit di timur. Aku juga mendengar bunyi kokok pertama ayam jago milik tetangga samping rumah. Sudah dua jam aku duduk di balkon kecil lantai atas rumahku, bersimbah airmata. Apa kusudahi saja janji hati ini, dan memeluknya yang terasa nyata. Apa kusudah saja kesendirian ini, sehingga aku dapat tersenyum seri dengan ia sebagai tambatan hati. Atau ku buang jauh mimpi, untuk memetik cinta sang wanita pohon mahoni dan kembali mengukuhkan diri pada illahi. Atau aku bakar rasa ini secepat api membakar hutan hijau yang sering terjadi belakangan ini.
     Harus apa aku Tuhan...harus apaa...
     Rasa sayang nya pada ku sudah tiba di hatiku tepat ketika ia menyelesaikan kalimatnya semalam tadi. Rasa di hatiku adalah api, dan rasa nya serupa angin yang mengibarkan api ku ke tingkat paling besar. Hampir   hangus.
     Aku mau ia menunggu ku....



- (oleh @PenaAwan - penandilaga.tumblr.com)

13 September 2011

Selarik Rindu: Pelangi Langit #1

Desember 2010. Langit pucat dengan awan kelabu. Tidak ada kilat yang
menyambar hanya gerimis kecil-kecil yang urung berujung. Seharusnya
memang bulan ini bulan-bulan musim penghujan, tapi langit pucat dengan
awan kelabu dan gerimis kecil-kecil itu hanya tampak di hatiku. Kini
sudah tepat setahun berlalu, gerimis rindu masih hampir persis seperti
dulu, bahkan lebih riuh. Salahku hanya satu, membiarkan rindu tetap
hidup dari setahun lalu. Terlalu asyik berlindung di balik redup lampu
berharap dapat menggapai kembali mimpi-mimpi yang lalu-lalu, namun
yang ada hanya hujan haru. Rindu.
"Apa kriteria pria impian mu?" tanya nya beberapa waktu. Aku gelagap,
baru saja semalam kami memutuskan untuk menyudahi semua tentang rasa
yang pernah kami jahit dengan bintang-bintang sebagai benang nya,
saking indahnya. "Aku mau mencoba mengusahakan untuk menjadi yang
terbaik untuk mu" tambahnya lagi setelah aku sibuk berteriak dalam
bisu.
"Mak..maksud kamu?" tanyaku balik.
"Tentang semalam. Aku sudah tidak tidur semalaman memikirkan
perbincangan kita. Bisakah kau tunggu aku, sampai selama waktu, tetap
simpan rasa itu?"
Seketika aku jadi kupu-kupu yang mempunyai sayap merah muda dengan
corak ungu. Pipiku juga ikut memerah jambu. "Aku mau..." jawabku
buru-buru "Aku mau tunggu kamu..." tambahku lagi sambil mengulum bibir
sendiri. Gemas berkecamuk.
Aku rasa Tuhan sudah menuliskan nama kami dalam satu helai daun yang
sama. Dengan batang mewakilkan rasa yang kuat, serta akar sebagai
mimpi yang masih terkubur jauh di dalam, juga pohon yang masih dini
itu cinta kami.
"Aku mau IP ku naik dulu, setelah itu aku mau lanjut ambil pelatihan
kepolisian mungkin 2 tahun. Selama itu, aku berusaha jadi yang terbaik
untuk kau banggakan di depan orangtua dan keluarga mu saat tiba waktu
aku datang ke rumahmu"
Aku tersenyum cerah sampai –sampai mentari menenggelamkan dirinya
lebih cepat dari biasa. Awan juga terlihat lebih banyak dari kemarin.
Dan seluruh langit tertutup pelangi.
"Lalu kita akan ke Bali, berjalan di pasir yang putih setelah kita
berhasil mengikrar janji di hadapan Illahi.." katanya di hari setelah
hari kemarin. Kata apalagi selain kata amin yang bergema di hati ini.
Bukan lagi kupu, aku sudah tumbuh menjadi burung remaja yang lagi
genit-genitnya mengangkasa. Cinta membuat tubuh ku menjadi tiga kali
lebih ringan. Sampai-sampai aku sanggup mengayuh awan putih, mengejar
mu sampaii batas mimpi. Langit menjadi laut dan hatinya adalah
dasarnya. Kini aku sedang menuju kesana, kedasar hatinya.
Aku biarkan ia masuk membasuh legam nya lebam hati, menyeka sisa-sisa
patahan hati dan menjahit ulang lubang-lubang yang masih menganga.
Suara nya bagai dentum rebana yang berdegup-degup namun syahdu. Hatiku
segemerlap lantai dansa yang tengah diinjaki oleh dewa dewi cinta. Dan
cinta itu adalah musik medley yang tidak akan pernah kami buat
berhenti.

- (oleh @PenaAwan - http://penandilaga.tumblr.com)