Tentang 30 Hari Cerita Cinta

24 September 2011

Aku Pasti Kembali

Term baru dimulai, aku memenuhi janji pada diriku untuk pindah kursus. Tidak hanya pindah jam kursus tetapi pindah ke cabang lain. Aku pindah bukan karena aku kalah dalam hal bertahan dengan Galang, tapi aku sayang sama Febrian. Aku mau memulai hidupku tanpa bayang-bayang Galang.
Tidak pernah aku ucapkan kata pamit atau permisahan untuk perpindahan tempat kursusku kepada Galang, Galang pun mencariku hanya melalui Tiwi bukan menanyakan langsung kepadaku. Aku semakin yakin dengan segala keputusan yang aku ambil. Memulai hidup tanpa ada Galang…Galang dan Galang dan menjaga hubunganku dengan Febrian.

***

Beberapa bulan kemudian
Aku dan Febrian duduk di depan komputer dengan perasaan tak menentu, malam ini adalah pengumuman hasil SNMPTN.
" Tasya, coba kamu cek lagi mungkin no ujian kamu terlewat"
" Ngga ada Feb, aku ngga dapet SNMPTN  sudah aku cek berulang kali. Selamat ya sayang kamu mendapatkan kampus impian kamu"
Kami berdua memiliki impian bersama yaitu bisa berkuliah di Kampus yang sama. Tapi nyatanya hanya Febrian yang diterima di PTN yang terdapat di Bandung itu sedangkan aku tidak dan akan berkuliah di Jakarta. Febrian hampir saja mengurungkan niatnya untuk berkuliah di PTN itu, dia takut tidak dapat menjalani hubungan jarak jauh dengan aku. Tapi aku berusaha menyakinkannya bahwa hubungan kita akan baik-baik saja.
Sebulan pertama komunikasi kita berjalan lancar tanpa hambatan, bulan-bulan selanjutnya menjadi berat untukku.
"Feb, kamu kok jarang nelp aku sih?"
" Iya sayang, pulsa aku abis. Sabar ya sayang aku sekarang anak kos, aku bakal nabung biar bisa terus nelpon kamu"
Sebenarnya selain komunikasi yang terhambat, rasa kangen ini membuatku memiliki pikiran-pikiran negatif. Aku sering berpikir, bagaimana ya jika suatu hari aku tiba-tiba datang ke Bandung terus aku mergokin Febrian lagi sama cewe lain atau pikiran –pikiran negatif lainnya.
Febrian selalu membuat aku selalu berpikiran positif, "Tasya, kamu jangan mikir yang aneh-aneh dong. Aku di sini bener-bener kuliah , biar cepet selesai dan bisa cepet kembali ke Jakarta."
Febrian selalu berhasil menenangkan aku, dia juga mengenalkan aku kepada teman-temannya " Tasya, kamu sudah kenal semua temen aku kan? Ngga ada yang perlu kamu curigain lagi" jawab Febrian saat rasa cemburu aku kambuh.
Febrian berusaha untuk pulang ke Jakarta setiap bulannya dan tetap menjaga komunikasi dengan menelponku setiap hari. Di setiap akhir telponnya Febrian selalu mengucapkan kalimat ini " Aku sayang kamu, percaya sama aku ya".
"Aku tunggu kamu kembali sayang…." Bisikku sebelum telepon itu ditutup.

To be continue
Aku hanya pergi 'tuk sementara
Bukan 'tuk meninggalkanmu selamanya
Ku pastikan kembali pada dirimu
Tapi kau jangan nakal
Aku pasti kembali
(Aku Pasti Kembali- Pasto)



~ (oleh @nongdamay)

Memorable Errare

"Punya anjing bagus loh. Apalagi kalau ada anak kecil di rumah. Dari kecil bisa belajar bersentuhan dengan binatang. Ngerawat dan nyayangin binatang. Terapi yang bagus banget."

"Apa sih yang gak ada hubungannya sama terapi kalau ngomong sama kamu..hahahaha,"

"Enak aja, eh tapi bener juga yah,"

"Iyalah. Kemarin detoks yang hubungannya sama pengendalian emosi. Trus kamu juga cerita tentang hipnoterapi yang temen kamu suka datengin, how to handle his stress and broken hearted. Sekarang tentang anjing."

"Hahaha...yeah, I think you're right. Mungkin akunya aja kali yang lagi butuh suatu pencerahan. Nyembuhin luka batin dulu, baru bisa gak ngomongin yang ada hubungannya sama terapi."


Tahukah kalian, bahwa hampir 75% penyebab kanker adalah luka batin? Bukan karena gaya hidup yang tidak teratur, atau diturunkan melalui genetika, tetapi lebih karena luka batin. Karena belum bisa memaafkan, masih mengingat yang lalu dengan penuh luka, seperti pagar kayu yang penuh dengan lubang paku. Walau pakunya sudah dicabut, tapi masih menyisakan lubang dimana-mana.

Banyak sekali orang yang tidak dapat memaafkan dirinya sendiri. Tidak bisa menghilangkan frase "what if" dalam benaknya. Hidup dalam penyesalan dan amarah. Kalau amarah saja, terkadang masih ada baiknya. Pembalasan yang terbaik adalah keberhasilan. Akan tetapi penyesalan terkadang membuat kita jalan di tempat. Membuat lebih banyak berandai-andai, I wish I didn't do this and that and....bla bla.






Suatu hari, aku hendak menulis "Move on!" di statusku, tetapi aku urung. Lalu mendadak dia menulisnya, di statusnya. Di hari yang sama, di jam yang tak berbeda jauh. Dan aku merasa itulah yang harus kulakukan.

Percayakah kamu akan kebetulan?

Aku tidak.


Tidak pernah ada kebetulan saat kita diperkenalkan dan bertemu di siang hari itu. Untuk sekian lamanya kau ada di hidupku dan memberikan begitu banyak hal yang mengubah hidupku. Iya, itu sebuah kesalahan. Untuk main hati denganmu. Malahan kalau boleh aku sebut itu bencana, ERRARE! Untuk menganggap kau juga jatuh cinta kepadaku. Masih ingatkah kau sebuah lagu...

You are far
When I could have been your star
You listened to people
Who scared you to death
And from my heart
Strange that I was wrong enough
To think you'd love me too
I guess you were kissing a fool

You must have been kissing a fool

We laughed and sang it together, our first karaoke time. Akan ada banyak hal yang tak bisa kuingat ke depannya. Hari, bulan dan tahun akan memangsa ingatanku yang pendek ini. Sekuat apapun kamu pernah bercokol, ingatan adalah bagian dari tubuh dan bukan jiwa. Ingatan akan memudar di esok yang mungkin tidak terlalu lama lagi akan datang. Aku akan tumbuh tua dan semakin renta untuk bisa mengingat detail tentang kita.

Tapi rasa ini tidak. Kurasa rasa tidak. Dia hanya akan tidur lama....lamaaa sekali.






Sudirman penuh dengan kendaraan yang saling antri untuk akhirnya sampai ke rumah masing-masing. Pemandangan yang sangat indah sejujurnya, kalau boleh sedikit bersikap egois.Langit yang sudah gelap, lampu mobil dan lampu jalan yang gemerlap. Lebih banyak warna merah daripada putih. Kita menikmati pemandangan tersebut dan berbincang di lantai sekian belas.

"Bahagia tidak dibeli dengan kekayaan. Cuma berdua sama kamu bisa bikin aku merasa besok kiamat juga gak pa-pa."

"Tapi ini nih enaknya jadi orang kaya. Orang lain pulang kerja kena macet, kita enak-enakan begini...." katamu sambil terbahak.

Ah, kamu. Masih saja suka asal ngomong. Mana bisa sih kamu kelihatan sombong di mataku?

Kau tahu, energi manusia itu ada dua. Ada yang berasal dari kuatnya fisik. Mampu menggeser dan membawa barang-barang berat. Ada juga energi yang berasal dari dalam inti diri. Dan kamu, mungkin saja berlebih energinya. Kau sungguh seorang pemain teater. Bisa begitu percaya diri di satu sisi dan di sisi lain berlagak bukan siapa-siapa di depan umum/orang lain.

Mungkin itu juga yang membuatmu tidak mengubrisku saat ini. Seperti angin lalu, seakan kau yakin betul hati ini tidak akan kemana-mana. Mungkin akan ada episode selanjutnya, mungkin juga tidak. Tapi seperti yang kubilang padamu, perjalanan kita membuahkan hasil. Aku bisa melihat apa yang mungkin kau dapatkan dalam suatu malam. Malam dimana kau pernah katakan, "it's time to change..tidak boleh lagi berbuat dan bersikap seperti demikian." seperti pencerahan yang lebih mengarah ke hidayah.

Dia mendengar semua dan menakarnya, bahkan airmataku diseka-Nya. Tidak ada satupun beban derita dan dukacita yang diacuhkan-Nya. Dia buat aku mengerti, tidak pernah ada yang abadi di dunia ini. Tidak kesenangan, tidak penderitaan. Tidak tawa, tidak juga airmata. Semuanya sepanjang sinar matari pagi, bergeser dengan mudahnya, berputar dengan alami.


"Cintailah seseorang bukan karna siapa mereka,
tapi bagaimana mereka memperlakukan kita dan membuat kita mengingat  sukacita saat itu."


Akan ada yang lebih rupawan. Akan ada yang lebih pintar. Lebih hebat, lebih dewasa. Mungkin juga dia yang sudah hadir dalam mimpiku semalam. Dia yang mirip denganmu. Dia yang kau tahu siapa. Dia yang nyaris dua kali lipat usiaku. Mungkin dia dan waktu akan berkolaborasi membuatku hidup kembali. Karna tidak ada pilihan lain yang dapat kuambil.


Live a happy life, sweetheart. You know how I feel.
Sing "Me and Mrs.Jones" sometimes, maybe just to remember me...
Thank you for everything.



~ (oleh @mistybusy)

Chemistry : 9

Him or Him? Part 1

L E A H
Ferdi menerobos masuk ruanganku tanpa permisi. Seperti tergesa - gesa. "Le, beneran elo lagi deket ama James?". Ini yang aku tidak suka dari orang Indonesia, kebiasaan mereka untuk ingin tahu urusan orang lain. "Fer, kalo masuk ruangan orang, bisa gak sopan dikit? Itu pintu fungsinya buat diketok." Aku mengatakannya tanpa mendongak sedikitpun dari laptopku.
Dan lucunya Ferdi mengulang kejadian tadi. Dia keluar ruanganku. Menutup pintu ruanganku pelan-pelan. Mengetuk pintu ruanganku. Menunggu kode dariku lalu masuk pelan - pelan. Aku tersenyum simpul. "Ada apa sih Fer? Penting banget yah topiknya?". Aku menutup tab-tab di laptopku.
"Elo lagi deket ama James yah?"
Aku tersenyum. "Kamu tau darimana?"
"Aku ini temen kamu. Lagian tembok-tembok di kantor ini bisa ngomong." Ferdi benar-benar penasaran.
"Cuma sebatas tukar senyum di kantin kok, gak lebih. Toh, minggu depan dia bakal balik ke negaranya." Aku menjelaskan. James adalah si bule ganteng. Jangkung. Tipe-tipe lelaki superior. Yang kalau kamu melihat lengannya, mereka seakan berkata ,"Come to me, baby. I can warm you up." James tak sesempurna yang kalian bayangkan. Usianya hampir setengah abad. Dua kali kawin cerai. Bukan tipe lelaki yang bisa kamu bawa pulang untuk dikenalkan pada orang tua sebagai calon suami masa depan.
Berbulan - bulan kemudian, hal yang berani dilakukan oleh James hanyalah bertukar sapa di kantin. Begitu dia kembali ke Hamburg, barulah dia naik level dengan mengirim message via facebook. Bertukar cerita. Mengomentari status dan foto-foto. Lalu, bertukar alamat email. Dimulailah drama - drama panjang. Cerita - cerita lucu antara James dan aku.
"Kak Lila perhatiin kamu sekarang konsen banget kalo ngebales email di blackberry kamu. Biasanya kamu paling anti kalo harus reply email abis jam kantor."
"Email dari temen jauh kak."
"Jauh sedarimana?"
"Hamburg."
"Si bule?" Kak Lila menanti penegasan. Aku mengangguk. "Iya,si bule."

A D R I A N
Kemajuanku dalam mendekati Leah benar - benar pelan. Tapi,statis. Aku berani menyapanya langsung. Meminta nomor telepon. Tapi,aku cemburu. Pada blackberrynya. Leah lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menekan keypad berwarna putih itu. Lalu, tersenyum lebar. Aku akui aku menikmati senyum cantik itu.
Susah sekali mengajaknya keluar. Tiap kali kukumpulkan keberanian. Dia hanya meng-iya-kan sopan. Tak cukup bagiku.
"Leah itu emang begitu. Sopan. Gak bisaan. Bawel. Tapi pada dasarnya pendiem". Ferdi berceloteh panjang lebar.
"Pendiem?"
"Iya, sangat pendiem. Gak bakal ngomong kalo gak ditegur duluan. Makanya cenderung dianggap arogan."
Rupanya aku tak banyak tahu tentang Leah. Aku juga suka memperhatikan mata Leah. Mereka berbicara padaku.


~ (oleh @WangiMS)

Delapan #8

Kenapa sekolah di Pekanbaru Mil? Dan kenapa milih Pekerti Luhur?
Terkirim: Milan
Kalau masalah kota atau tempat tinggal, ya karena papa saya mutasi ke kota ini. Kalau masalah sekolah, saya juga ngga tau kenapa milih Pekerti Luhur. Serius deh..
Terima: Milan
Itulah pesan favoritku. Karena ia pilih PKL lah, kami bisa bertemu. Ia sebenarnya anak pindahan.
***
Uforia yang selama ini aku rasakan sendiri, ternyata dirasakan juga olehnya, dan menjadi sangat jelas di hari itu. Sabtu, 1 November 2008.
Seperti biasa, aku dan Milan sms-an. Layaknya remaja masa puber, dia bertanya siapa lelaki yang menarik hatiku saat itu. Aku hanya menjawab, "Nanti Milan sendiri juga bakal tau". Ia tak menyerah, hingga sempat memberikan nama teman-teman lelakinya. Nama dia sendiri juga terselip disana. Pada akhirnya aku jujur, mengatakan bahwa aku tertarik padanya. Tertarik pada sifat dan kepribadiannya yang amat sederhana. Dan dimalam itu, ia katakan bahwa juga tertarik padaku. Kami jadian.
Energi 'jadian' itu cukup membubungkan semangat kesekolahku sampai maksimal. Aku jadi semangat belajar, tambah mencintai pelajaran Kimia yang sangat aku benci, jarang mendapat hukuman karena hatiku selalu berucap lirih, "Hei, malu kalau dilihat Milan kena hukum!", dan masih banyak hal-hal lain yang mengubahku. Dalam sekejap.
Meski ini yang orang lain katakan dengan cinta monyet, tapi aku merasa hariku penuh karena Milan. Karena pesan-pesan singkatnya yang membuat kesal sekaligus senyum-senyum sendiri, karena perhatiannya yang makin menjadi, dan karena tingkahnya yang aneh di sekolah. Dan aku atau dia, jika bertemu hanya menyapa. Jarang mengobrol. Itu juga salah satu yang aku suka dari Milan. Dia beda. Ketika (mungkin) teman-teman lelaki yang biasa kulihat disekolah apabila sedang melakukan ritual pacaran, mengajak pacar-pacar mereka ke kantin, lalu duduk berdua dan berpegangan tangan atau sekedar saling menyuapkan makanan kecil kantin. Jujur saja, aku geli melihatnya. Bukannya malah kenyang ketika di kantin, tapi malah ingin keluar semua isi perutku bila melihat yang seperti itu. Tapi Milan tidak. Seperti yang kukatakan tadi, ia sederhana. Dini yang tau tentang ini-pun ikut-ikutan 'backstreet' bersama kami.
***
Suatu hari diadakanlah PKL Expo. Acara ini adalah acara tahunan PKL yang mewadahi bakat dan minat siswa SMP se-kota. Sekolahku mengundang sekolah-sekolah lain untuk mengikuti banyak pertandingan. Dari yang akademik hingga non akademik. Maka ditunjuklah panitia yang mengurus acara tersebut. Aku, Dini dan Milan menjadi tiga dari seluruh anggota panitia.
Saat pertandingan sepak bola antar SMP berlangsung, Milan bertugas sebagai panitia kesehatan atau yang sering dikenal dengan anggota PMR. Padahal yang aku tau, hari itu ia sedang sakit. Badannya panas, seperti itu ia memberitahuku dalam pesan. Sudah ku sarankan untuk tak usah ikut mengontrol jalannya pertandingan, tapi berkeras. Milan duduk di salah satu sudut lapangan memakai scarf khusus PMR yang berwarna hijau. Dini dan aku (khususnya) memperhatikan Milan dari lantai dua bagian sekolah. Rambut acak-acakan, wajah setengah pucat dan scarf yang melingkar di lehernya membuat Milan tampak lebih tampan dari biasanya. Seakan ada kontak batin, saat itu juga Milan langsung berdiri, dan berjalan ke arah sisi aku berdiri. Ternyata dia melihatku. Rautnya seperti ingin menanyakan sesuatu. Diwaktu yang bersamaan, Dini masuk ke ruang kelas. Aku gugup sendirian.
"Nggi, ada minum?"
"APAH?"
"MINUM NGGI. AIR"
"Bentar ya.."
Aku masuk ke dalam kelas dan mencari apakah persediaan air minumku masih ada. Tapi seingatku memang sudah habis tadi. Teguk terakhir sebelum keluar kelas..
"Yah, abis.."
"Yaudah deh ngga apa apa"
"Mau dibeliin?"
"Ngga usah Nggi, saya beli sendiri aja"
Milan berlalu dengan meninggalkan sebuah senyuman terlebih dahulu. "Aaaaaaaaa!! Diniiiiiiiiiii", teriakku memenuhi koridor. Dini hanya tersenyum geli melihat tingkahku yang sudah mirip korban kejiwaan. Itulah pertama kali Milan dan aku mengobrol, setelah berstatus 'pacaran'. Hari itu, 8 Januari 2009.



~ (oleh @captaindaa)

HONEST #7

Kantin, 40 menit setelahnya...
Jazzy benar-benar datang tepat waktu. Walau sebenarnya aku lebih berharap dia datang nanti-nanti. Kalian bisa yakinkan diri kalian, bahwa tampangku sama sekali tidak enak dilihat.
Jazzy duduk di hadapanku dan langsung memesan sebotol air mineral. Aku tau, sejak di ujung jalan tadi, dia sudah merasa tidak nyaman dengan raut wajahku. Matanya masih mencoba mencari cerita dalam garis wajahku.
"Masih bete ya? Aku minta maaf ya, harusnya aku nggak perlu sms kamu. Lagi juga kan ini nggak sepenuhnya salah aku. Kita bagi dua deh ya betenya." Dia berusaha merayu dan itu sungguh luar biasa.
Aku mencoba menanggapinya dengan memberi sebuah senyum. Tapi raut mukaku justru semakin mengerikan.
"Ada apa Sera?" Sekarang, kulihat dia mulai tedak enak hati. See, aku memang tidak pernah mampu berpura baik-baik saja. Aku begitu tidak berbakat dalam berbohong. Sulit sekali mencoba membohongi orang lain, bahkan orang yang begitu amat kucintai. Sekedar untuk menjaga perasaannya.

Aku menatap mata Jazzy, coklat pekat. Kulihat setupuk kesabaran di dalamnya. Tuhan, aku begitu ingin ditatap mata itu sepanjang hidupku.
"Ada apa-apa memang. Tapi itu bukan masalah besar. Lagi pula saat ini aku sedang mencoba untuk mengatasinya. Sabar sedikit lagi saja oke, yang penting ini bukan karena kamu. Kamu harus tetap sms aku!" Aku mencoba menjelaskan. Dan dia hanya mengangguk sembari menenggak air mineral pesanannya. Jazzy, bukan lah tipe pria yang suka mengorek-ngorek masalah. Dan itu bagus.
"Jazzy." Aku memanggil namanya.
"Ya." Jawabnya sedetik kemudian. Setelah berhasil menelan air mineralnya dengan sempurna.
"Makasih ya." Mataku menerawang dan aku mulai melamun.
"Makasih karena sudah dateng kesini untuk meyakinkan keberadaanku. Aku benar-benar bahagia. Selama ini nggak banyak orang yang menyadari keberadaanku. Mungkin ini sesuatu yang sepele. Tapi kadang bikin suasanan hati jadi tidak baik." Lanjutku dan sekarang aku menengadah padanya.
Jazzy hanya mengangguk. Aku masih menatapnya, dan dia sedang berusaha mencerna situasi tidak biasa ini. Sekarang aku mulai menitikkan air mataku dan Jazzy pun langsung menyadarinya.
Lucunya, pria pendiam itu justru kebingungan dan tak tau harus melakukan apa. Aku menangis seperti anak kecil di hadapannya. Di hadapan manusia-manusia lain.
Aku memilih menangis dalam diam. Aku hanya tidak bisa berpura sedang tidak ingin melakukannya.
Tahun-tahun sebelumnya biasanya aku lari ke toilet umum dan menangis di dalam biliknya, sendirian. Menyedihkan.
Aku begitu merindukan ibuku. Aku rindu sekali padanya. Setidaknya tahun ini jauh lebih baik, aku tidak lagi perlu menangis seorang diri. Ada dia, yang memang bukan siapa-siapaku saat ini. Tapi nyatanya sekarang dia duduk di hadapanku. Tanpa harus kupaksa lagi.
Aku begitu menghargai kenyataan ini. Sangat menghargainya Tuhan.


~ (oleh @falafu)

#12 Nostalgia

Nostalgia.. Nostalgia..
“Sumpah seneng banget aku di sini lagi.. huaaaa”. Itulah kalimat pertamaku ketika sampai Kaliurang.
Kaliurang adalah daerah favoriteku sewaktu di Yogya, dari mulai SD sampai mahasiswa, bahkan hingga kini aku masih selalu mencintai daerah ini. Jadah Tempe, Sate kelinci dan wedang ronde hangat benar-benar sajian istimewa disana.
“Nay, kita ke Air Terjun yuk”, Ucapku pada Naya.
“Hahh.. tapi naiknya males len, kita disini aja yah.. yah.. hehehe”, Jawab Naya sambil nyengir diikuti kepang kuncir kudanya yang melambai terkena tiupan angin yang sudah mulai dingin pada sore itu.
“Ahh.. payah kamu, tenang aja nanti aku gendong deh kalo capek.”, protesku.
“Kalo gendongnya dari sekarang mau.. hihihihi”, canda Naya.
“Oke, sini. Cepet naik”, tantangku.
“Len cepetan dong jalannya.”, Kata Naya sembari terkikik.
“Haduhh sayang kamu kok tambah berat banget sih??”, Ujarku tak mau kalah.
“Apa??kamu ngeledek aku ya Len”, Sahut Naya sambil mencubit pipiku.  Aku gendonglah Naya dari mulai pintu masuk sampai ke air terjun.
Selepas berbasah-basahan ria, Aku dan Naya turun meninggalkan Kaliurang ke arah Yogya. Mengingat aku dan Naya tidak lama-lama berada di Yogya, jadi tau dong tempat mana yang Naya ributin dari tadi pagi ketika pertama kali bangun, Malioboro. Haduhhh dasar emak-emak.. hehehe.. (Maff ya Naya sayang.. =p)
Jadilah aku menggendong Naya, masa bodohlah dengan perhatian orang yang melihat aku menggendong Naya. Mungkin apabila tidak tahu, orang akan menyangka ada seorang kakak menggendong adik kecilnya, atau seorang paman mengendong ponakan wanitanya dan mungkin ada yang menganggap aku sedang menggendong anaku. Hahaha. Apalah artinya rasa malu dibanding tawa ceria yang keluar dari seseorang yang sangat aku sayang.
Sebenarnya kami sudah keluar dari rumah jam 10.00 siang tadi, agendaku hari ini benar-benar sepenuhnya untuk nostalgia ke tempat-tempat yang dahulu sering aku dan Naya hampiri ketika pacaran.
Tempat yang kami tuju pertama kali adalah Taman Sari, Taman Sari adalah sebuah kompleks pemandian Raja Kraton Kasultanan beserta permaisuri. Bangunan ini sepintas lebih terlihat seperti taman yang dikelilingi kolam air yang begitu indah, benar-benar eksotis, romantis dan mistis. Letaknya yang tidak jauh dari alun-alun kidul Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat secara langsung benar-benar member tanda bahwa bangunan ini memiliki peran yang penting bagi kehidupan sosial dan pribadi anggota kerajaan. Tempat ini menurut historis dibangun pada tahun 1758 hingga 1765 pada masa Pemrintahan Sultan Hamengkubuwono I dan dipercaya dibangun oleh seorang arsitek asal Portugis  yang terdampar karena kapal yang dinaikinya terhempas oleh angin badai, dikemudian hari orang Portugis ini lebih dikenal dengan nama Demang Tegis. Gaya bangunan yang disajikan pun benar-benar eksotis, ada empat bagian yang terdapat disana, bagian pertama adalah danau buatan yang terletak di sebelah barat. Bagian selanjutnya adalah bangunan yang berada di sebelah selatan danau buatan antara lain Pemandian Umbul Binangun. Bagian ketiga adalah Pasarean Ledok Sari dan Kolam Garjitawati yang terletak di selatan bagian kedua. Bagian terakhir adalah bagian sebelah timur bagian pertama dan kedua dan meluas ke arah timur sampai tenggara kompleks Magangan. Menurut catatan Taman Sari efektif digunakan antara tahun 1765 hingga 1812, sudah cukup lama kompleks pemandian ini tidak digunakan oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak bagian kompleks yang saat ini sudah tidak utuh lagi seperti aslinya.
Sedangkan sisi romantis yang menyeruak dari Taman Sari dapat tererkam dari fungsi dan gaya arsitektur yang terlihat disana, tepatnya di Pasarean Ledok Sari. Sebenarnya bagian ini termasuk bagian yang tidak utuh sepenuhnya, akan tetapi berdasarkan tinjauan historis dan arkeologi dapat disimpulkan bahwa Pasarean Dalem Ledoksari ini merupakan tempat peraduan Sang Raja. Disimpulkan seperti ini karena bentuk bangunannya, Pasarean Ledok Sari berbentuk seperti U. Di tengahnya terdapat tempat tidur Sultan yang di bawahnya mengalir aliran air. Sisi mistis juga sangat terasa di area ini, di salah satu bagian ada bagian yang disebut Pulau Kenanga karena di halaman depan gedung tumbuh pohon Kenanga. Bunga Kenanga menyebarkan bau yang harum ke seluruh bagian taman. Untuk sebagian orang Jawa bau-bauan yang ada juga banyak dipersepsikan dengan tempat-tempat keramat yang didiami oleh makhluk kasat mata, dan bau kenanga begitu juga melati dipercaya menandakan bahwa yang berdiam disana bukanlah makhluk kasat mata yang sembarangan atau dapat dikatakan ruh leluhur. Selain itu fungsi lain bangunan ini juga dikatakan sebagai area meditasi dan beribadah para Raja Kasultanan Yogyakarta, sehingga dapat disimpulkan area ini banyak merekam pergerakan energi positif (bayangkan energi seorang Raja, dimana dalam masyarakat Jawa Raja merupakan simbol pemerintahan dan wakil Tuhan di Bumi). Sesuai dengan hukum energi yang kekal, jadilah area itu masih dirasakan penuh oleh energi positif yang tidak sembarangan. (Wuih berubah jadi ahli metafisika tampaknya aku.. hahaha)
Oke cukup deh cerita Taman Sarinya, kali ini aku mau bercerita tentang Kaliurang.. hehe
Kaliurang terletak di bagian utara kota Yogyakarta, daerah ini pertama kali ditemukan oleh beberapa orang Belanda (salah satunya ahli geologi) yang rindu akan hawa sejuk negeri asalnya dan mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat. Mereka berjalan menyusuri daerah sepanjang utara terus ke arah dataran tinggi, tepat di kaliurang itulah mereka semua berdecak kagum dan terpesona akan keindahan alamnya. Kondisi dahulu (awal mula ditemukan oleh meener )hinggasekarang mungkin sudah jauh berbeda, aku membayangkan kaliurang pada saat itu masih dingin, sejuk, pastinya sepi dan tenang. Saat ini kaliurang sudah banyak berias, tempat ini sekarang sangat cocok untuk rekreasi keluarga, ketenangan masih terasa disana.  Selain kondisi alamnya yang luar biasa, sebenarnya Kaliurang juga menyimpan potensi pariwisata lainnya. Goa Jepang, Museum Budaya Jawa Ullen Sentalu hingga wisma kaliurang yang sangat legendaris, Wisma Kaliurang merupakan saksi bisu jejak sejarah Bangsa Indonesia. Tepat pada 13 Januari 1948, wisma yang sebagian masih merupakan bangunan berarsitektur Belanda berumur puluhan tahun itu terjadi perundingan khusus antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Belanda yang diwakili Komisi Tiga Negara (KTN). KTN terdiri dari perwakilan negara Belgia, Australia, dan Amerika Serikat. Dari perundingan tersebut dihasilkan kesepakatan bersama antara RI dan KTN yang disebut dengan Notulen Kaliurang. Sedangkan Museum Ullen Sentalu merupakan museum yang berisi kebudayaan dan nilai-nilai kehidupan Jawa. Keberadaan museum ini cukup unik, sebagian besar bangunannya berada di bawah tanah. Museum ini banyak mengangkat cerita putri-putri Keraton Solo maupun Yogyakarta dari mulai masalah umum hingga kehidupan percintaannya. Koleksi batik, lukisan dan benda-benda bernuansa etnis Jawa di museum ini benar-benar jempolan dan orisinil, memasukinya kita bagaikan berada di tengah-tengah kehidupan Keraton di abad 18 hingga 19. Bagi yang belum pernah, aku sih menyarankan untuk datang kesana. Kalo Naya sih luar biasa senangnya waktu aku ajak kesini, hobby-nya yang seputaran membatik ditambah cerita-cerita putri Keraton yang sangat elegan benar-benar menjadi daya tarik bagi perempuan masa kini tidak terkecuali Naya.
“Len.. Besok kalo punya rezeki kita bangun rumah kayak gini ya.. ya..”, Ucap Naya yang aku pun tidak mengerti dia serius atau tidak.
“Pasti Nay, kali ini aku ya yang ngonsepin bentuknya”, sahutku.
“Amieeeennn..”, Jawab Naya cepat dan keras, sehingga membuat banyak orang memalingkan wajah ke arah kami.
Sebenarnya disini aku tidak leluasa, di museum ini banyak sekali larangan untuk mengambil gambar. Jadilah kameraku sedikit nganggur saat itu.
Menjelang maghrib kami turun meninggalkan Kaliurang ke arah Yogya. Mengingat aku dan Naya tidak lama-lama berada di Yogya, jadi tau dong tempat mana yang Naya ributin dari tadi pagi ketika pertama kali bangun, Malioboro. Haduhhh dasar emak-emak.. hehehe..
Tanpa mengurangi rasa hormat rasanya aku sudah “bosan” dengan yang namanya Malioboro, bukan karena sejarahnya mungkin karena aku tidak terlalu suka belanja dan Malioboro dari tahun ke tahun selalu bertambah ramai. Dibalik itu aku sih selalu bersyukur dengan semakin ramainya wisatawan yang berkunjung ke Malioboro berarti kemungkinan besar dagangan yang dijajakannya bisa tambah laku. Kalau begitu berarti pedagang-pedagang disana secara tidak langsung dapat meningkatkan keuntungannya, semoga saja analisis sederhanaku benar. Amien.
“Aku mau cari batik Len untuk Oma Sandra dan baju surjan (baju khas masyarakat Yogya) buat Opa Frans, trus kamu juga cari batik Len kita seragaman yuk, eh sendal juga ya”, Cerocos Naya tanpa henti.
“Oke ayo kita cari”, sautku lemas.
Malioboro merupakan tempat nomor satu di Yogyakarta, jalan legendaris ini membentang lurus dari Tugu ke arah Selatan hingga Keraton Yogyakarta. Malioboro bukan sekedar jalan biasa, tempat itu seakan simbol dari segala bentuk kehidupan yang dinaungi oleh Yogyakarta sebagai sebuah kota. Malioboro tumbuh bersama berbagai macam komunitas yang bersandar ditubuhnya, Malioboro merupakan ruh yang turut menjaga terekamnya aktivitas ekonomi, sejarah, budaya, pariwisata dan kesenian di Yogyakarta. Dari sisi budaya dan kesenian Malioboro berdiri gagah bagaikan Montmarte di Paris. Malioboro membentuk kultur budaya khas Yogyakarta, banyak seniman-seniman besar negeri ini yang mengawali aktifitasnya disana, mulai dari Rendra (Penyair), Bakdi Sumanto (Sastrawan), Motinggo Busye (Penulis), Fajar Sidik (Pelukis), Danarto (Pelukis dan Penulis), bahkan Romo Mangun dan masih banyak lagi yang sekadar berdiskusi dan menghasilkan karyanya disepanjang jalan itu. Sedangkan dari segi ekonomi Malioboro memang di desain langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk menjadi sebuah kawasan perdagangan, pada tahun 1758 kawasan ini dilengkapi dengan pasar tradisional, dikemudian hari pasar ini dikenal dengan Pasar Beringharjo (salah satu tempat favorite Naya). Semua itu membentuk sejarah tersendiri bagi Malioboro sebagai sebuah jalan, belum lagi peristiwa-peristiwa heroik yang terjadi disana pada masa-masa penjajahan Belanda khususnya ketika Agresi Militer.
Saat ini Malioboro banyak berubah akan tetapi kenangan dan rekam jejak masa lampau masih sangat dirasakan hingga saat ini, modernisasi yang masuk bisa juga terfasilitasi olehnya. Lesehan di Malioboro dapat berdiri sejajar dengan restoran-restoran modern, Sepeda onthel masih memiliki jalan khusus disini, andong dan becak juga masih menghiasi tepian jalannya dan tidak bersinggungan baik dengan motor, mobil dan busway. Belum lagi jika kita bicara fenomena Pasar Kembang dan kaitan eratnya dengan stasiun Tugu, atau bercerita tentang posisi Vredeburg yang sangat tidak jauh dengan Keraton dan Gedung Agung, Peristiwa pos besar atau minuman lokal pajeksan. Hahahaha. Rasanya tidak akan ada habisnya, dan aku tidak mau kuliah di tulisan ini.
Aku sudah tahu pasti akan lama nih di Malioboro.
“Nay tapi kita makan dulu ya, pleaseee. kamu pasti lama nih muter-muternya”, Kataku.
“Hmmm.. sudah kelaperan toh mantan pacarku ini. Hihihi.”, jawab naya sedikit meledek.
“Oke kita makan dulu deh, lesehan aja ya Len”, lanjut Naya.
“Siap sayang, apa aja deh”, sahutku sembari masuk ke salah satu lesehan disana.
Sudah dulu ya kami mau makan dulu.. hehehe.
-Malioboro-

Nalendra Jaleswara


~ (oleh @sthitapradipta)


Elegi Purnama #11

"Kamu salah, nama tengahku Anindita, bukan Anandita", protesku.
"Oh maaf, beda satu huruf beda arti ya".
Aku tersenyum.

Kami berteman di facebook, foto yang dipajang sebagai profile picture-nya berbeda jauh dengan wajah aslinya sekarang. Kutanyakan langsung, ia cuma tersenyum. Mungkin jawabannya akan kudapat nanti.

"Lunch yuk, di kantin".
Aku mengikuti langkahnya dari belakang. Dan ia mulai membuat langkahnya sejajar. Aku tak tertarik dengan laki-laki ini, tak tertarik,tak tertarik. Rapalku dalam hati.

"Aku tiga bersaudara, kalo kamu?".
Pertanyaan macam apa ini, a-be-ge sekali.
" Dua bersaudara, adikku Jingga empat tahun".
"Jauh juga ya selisihnya sama kamu".
"Begitulah".

Ia terus menatap sepanjang makan siang berlangsung. Ada apa sih dengan rambutku, wajahku mungkin. Ah. Rasa-rasanya butuh cermin sekarang. Dan ia menatap sambil tersenyum. Aku suka senyumnya.

"Makasih ya udah nemenin makan", ia mengucap dan membalikkan badannya setelah menaruh senyum di pikiranku. Kenapa jadi begini, lagi-lagi kubantah diriku sendiri. Penyangkalan adalah obat paling mujarab untuk saat ini kurasa. Besok akan sembuh dari sakit ini, lupa dengan sosoknya dan tak kelimpungan lagi.
***
Pertemuan kami makin intens selama dua bulan ini. Sepulang kerja acapkali ia menjemput, sekedar nonton, mencari novel terbaru atau kuliner malam. Semua berubah, menjadi wangi dan warna-warni. Sabtu kami akan bertemu lagi di BNN.

Aku lupa dengan penyangkalan tempo hari lalu. Logika dengan perasaan pukul-memukul serupa godam baja. Sampai..
"Runny, I'm begging you please.. Mau nggak temenin aku sampe nanti?".
Aku mengernyitkan dahi, menatap tajam dan berkedip sekali. Kurasa aku cukup mengerti maksudnya. Ia memegang tangan kiriku. "Please..", mintanya sekali lagi.

Tak mudah menerima orang lain bahwa ia berhak atas potongan hati ini. Ketika ia tak bertanggung jawab memberi makan hati, ia akan mati. Dan aku, sang pemilik akan bersedih; menumbuhkan hati amatlah sulit. Apalagi dengan statusnya, mantan pengguna narkoba. Apakah lagi yang bisa kukatakan atau kujaminkan ke hati ini sendiri bahwa ia akan baik-baik saja diberikan pada orang yang kini berada di depanku. Rasa kesepian terkadang juga menyergap dari berbagai arah. Kugelengkan kepalaku keras-keras untuk permintaan Rengga malam ini.

Kami pulang, di hening malam yang rintiknya pelan-pelan, sayup kudengar suara Lee Ryan, you're my past, my future. My all, my everything. My six in the morning when the clock rings. And I open up my eyes to a new day..

Mesin mobil dimatikan, ia menoleh ke kiri dari balik kemudi, kemudian mengusap pipi kananku pelan. " I love you, Runny". Aku terdiam. Ia mencium pipiku. Pertama kalinya.
***
Aku mengetuk-ngetukkan tangan di keyboard laptop. Tak tahu akan menulis apa, semua berhenti di sosoknya. Sosok sedikit 'ndut', menggemaskan, riang dan selalu tersenyum. Apa yang membuatnya masuk rehabilitasi di BNN, mengapa sebentuk lengkung senyumnya justru mengantar dirinya menjadi penghamba benda itu?

Selamat bobo, Runny. Dari beberapa nomor handphone yang berbeda belakangan ini, berasal dari satu nama. Rengga. Sms menjelang tidur seperti absen malam untuknya. Apakah aku kejatuhan cintanya, Tuhan?



~ (oleh @IedaTeddy)

Lope Lope Tragisto

Seumur hidup, gue pikir kisah cinta paling tragis itu bukan Romeo dan Juliet. Justru derita Slamet, Sanwani, dan Paijo yang gagal menggapai cinta Rita yang tahunya udah tunangan sama cowok masteng (mas-mas tengab) jebolan AKABRI. Padahal Slamet udah sampe beli mobil gigi maju ala Hanoman, Sanwani bolak-balik minjem mobil dari bengkel Babeh, dan Paijo tebar pesona tiap hari. Bener-bener ngenes.com deh! (Yang nggak ngerti silakan mampir ke Glodok or tunggu di TV swasta buat tayangan GENGSI DONG, komedi lejen Warkop DKI).

Sejak beberapa menit yang lalu, Euforiano Semesta dengan sukses menggeser trio naas itu dengan cerita menghanyutkannya. Sebuah kisah yang dituturkan setelah menepikan mobilnya di pinggir sebuah angkringan. Di antara kepulan asap dari poci teh nasgitel, terbukalah rahasia yang tadinya gue pikir saduran dari komik Jepang ala Candy-Candy atau Topeng Kaca, miris aja dengernya.

Sebut saja Mawar, seorang cewek yang dikenal hampir sepanjang hidup Ian. Tanggal lahir yang Cuma berbeda 7 hari, tempat tinggal yang cuma beda 7 rumah, tinggi badan yang sekarang selisih 7 cm, menjalin kasih hingga 7 tahun lamanya. Kalo mau percaya kata Mbah Jambrong, angka 7 itu punya kekuatan magis, harusnya bisa jadi keberuntungan buat Ian dan Mawar. Sayangnya, waktu berkata lain.

7 bulan ditinggal Mawar ke Inggris untuk menyelesaikan course yang didapatnya via beasiswa, Ian mendapati cewek yang dicintainya dengan sepenuh hati itu berubah total. Seakan ada implant silikon di dalam hatinya, membuatnya tampak begitu palsu.

"Kita berdua sama-sama suka nulis, Ri. Dari zaman kita SD, tiap hari kita tukeran diary. Kita sama-sama tulis apa yang kita alamin atau rasain hari itu di dalem buku notes biru, warna favorit kita berdua," kenang Ian tetap dengan puppy eyes­ warna coklat menawannya.

"Begitu kenal blog, Mawar ajak gue bikin blog atas nama kita berdua dan kita ganti diary itu dengan blog. Mawar juga minta gue bikin cerita bersambung tentang cerita cinta kita tiap hari. Ada tags khusus buat itu," Ian merunut lagi titik-titik dalam garis perjalanannya dengan Mawar.

"Trus? Dimana lo akhirnya sadar ada polisi tidur dalam jalan raya hubungan lo, Yan?" gue jadi ikut-ikut beranalogi dengan perumpamaan yang sangat berbau preman jalanan. Abis nyebut polisi tidur, kayanya gue bakal nyebut polisi cepek sama abang ojek. Solidaritas bersaing di jalanan, bersatu di pangkalan, merdeka!

Ian nggak gubris analogi asal-asalan gue itu. Masih dalam mellow mode ON, Ian berujar panjang," Dia mulai protes dengan cara gue ngomong di blog. Menurutnya, cerita gue terkesan nggak serius, nggak romantis, nggak gambarin betapa indahnya pacaran dengan temen masa kecil lo sampe udah 7 tahun berjalan. Feelnya nggak dapet. Gitu kata dia pas abis pulang dari Inggris."

Wuaduh. Gini deh kalo manusia dapet pengetahuan baru. Semua berasa salah, langsung cari detail atau hal kecil buat kita benerin. Berasa banyak hal yang kita punya dalam hidup udah berjalan salah dan ilmu baru itu pintu kita buat totally change. 7 bulan menimba ilmu sastra di kota yang sama kaya Mr. Bean berkeliaran, langsung deh pasang lencana di dada : "I know how to write better than you."

"Emang tulisan-tulisan lo subversif? Provokatif? Nyebut kata-kata mesum macem Nah Ini Dia?" desak gue penasaran sama rumitnya pikiran Neng Mawar. Mungkin karena sering disebut-sebut di Pos Kota atau Buser, jadi berasa penting kali nih kaya pejabat nerobos jalur busway. Huh!

Ian ketawa pelan, megang pundak kanan gue seakan mencari sesuatu untuk menopang badannya yang mulai lelah dan penat. "Sampe detik ini, gue selalu jadi gue. Jujur nulis apa yang gue rasa dan alamin di hari itu. Nggak kurang, nggak lebih," ucapnya dengan nada lebih tegas.

Gue mikir sebentar. Mereka-reka kata yang harus gue keluarin sebagai tanggapan. Belum sempet gue ngomong apa-apa, Ian udah lanjut cerita. " Protes satu, merembet ke protes dua, tiga, empat. Nggak kerasa udah protes yang keseratus lima puluh. Minggu berikutnya udah nambah seratus protes lagi. Interupsi di pembicaraan kita berdua udah ngalahin jumlah aslinya di gedung DPR," jelas Ian kembali menerangkan awal kandasnya lope-lope tragisto miliknya.

Ending cerita itu pun mudah ditebak. Mawar kembali cari beasiswa ke luar negeri. Menghapus hausnya akan ilmu-ilmu lain, demi membuktikan kalo bersama Ian di Indonesia justru membuat dia nggak berkembang jadi iron ladyI (bukan sejenis mbok cuci setrika lho ya). Jangan bayangin ada adegan mesra ala AADC di airport. Yang ada malah Ian dikasih tahu tanggal keberangkatan yang salah, nerima e-mail beberapa hari setelahnya, bertuliskan, "I'm already here. Wish me luck and I wish you the best of luck also. Without you, I can explore myself better. Without me, you will have louder happy laugh."

Mawar unjuk duri. Afgan memang.. alias SADIS. Kalah deh Gerwani dan penyiletan G-30S-PKI.

Gue manggut-manggut dan buka suara, "Sori, Yan. Gue nggak bisa komentar dan gue nggak mau komentar juga. Lo udah jalanin pilihan hidup lo setelahnya. Apapun yang bikin lo sedih di belakang, sekarang tetep jadi past tense. Sedeket apapun itu, seberapa seringnya lo kenang itu di hari lo, kita nggak punya Doraemon dan mesin waktunya buat muter semua kembali. PAS to the RAH!"

Begitu gue tutup mulut, sempet kepikiran kok gue jadi ikut-ikutan sadis yah kasih respons. Kesannya nggak ngehargain banget segala kemellowan seorang manusia kocak. Belom lagi gue main pukul rata aja. Yah, masalah gue dan Ian mungkin hampir mirip, tapi belom tentu juga dia hadepin patah hatinya dengan cara yang preman model gue. Untungnya, Ian kembali bikin gue menghela nafas lega.

"I know you would say that, Ri. That's why I want to put all the cards in the table with you. Soalnya gue liat lo mental bandar ceki," seloroh Ian sambil nyengir. Sebuah cengiran kuda lumping yang bikin gue ikutan tersenyum simpul dan mengangkat bendera semapur (maklum ya, anak pramuka kalo denger simpul pasti ingetnya semapur hehehehe).

"Ya udah, Komandan. Malem ini kita udah cuap-cuap syubidubidu damdam. Lama-lama sampe gue hafal berapa menit sekali lo bakal kedip-kedip karena mata lo udah berat tuh! It's a wrap, then! Gimana?" gue menyudahi percakapan panjang abis liat jam tangan yang menunjukkan waktu menjelang Subuh.

"Oke, Nona Jenaka. Kita lanjutin jalan ke istana hahahihi lo ya, kayanya lo juga udah ancang-ancang mau meluk guling," celetuk Ian balik. Kita sama-sama ketawa liat muka kita yang udah menjerit, "I want you, dear Bantal!"

Detik dan menit berlari setelahnya. Setengah jam kemudian gue udah di atas kasur, bersiap menyambut kantuk. Sebuah ucapan selamat tinggal yang tadi dilontarkan Ian di pintu pagar kembali terngiang. "See you next happy day, Ri."

Yes, indeed. Hari ini emang super hepi. Termasuk saat kita berdua berbagi duka, mendorongnya untuk menjelma menjadi suka.

Entah kenapa, hari ini gue pun sedikit berubah pikiran. Cinta yang gue rasa bergeser sedikit dari porosnya. Sekarang gue cuma pengen berbagi tawa dengan Ian. Greeting our happy day together.

Biarlah nanti purnama yang bicara. Apakah kelinci boleh hinggap di sana dan membangun istananya? Atau biarkan dia menggali lubang di perut Paman Bumi?

Satu kelinci, dua kelinci, tiga kelinci, ..... Zzzzzzzz....



-sambunglagiesokhari-


 
~ (oleh @retro_neko)

Rekam Imaji #11


Jogja, Januari

Pelangi Sekar Sahari
Rasanya sepeninggalan Langit ada sedikit sesal, tapi aku
yakin tetap menempatkan Langit di sisiku akan lebih menimbun sesal dan berakhir
pada sesak. Lucu saja saat aku kerap menatap telepon genggamku yang biasanya
berbunyi tiap beberapa menit atau jam, dari Langit. Sekedar  menanyakan kabar, sudah makan belum,
menyemangati saat aku disibukkan dengan pekerjaan. Mungkin karna sudan menjadi
kebiasaan dalam beberapa lama hubungan kami.
Kalian tahu, sudah menjadi impianku menenggelamkan diri di
Jogja tanpa rutinitas yang selama ini hampir membuatku tidak bisa bernapas.
Menempuh pendidikan di Universitas sekaligus membagi luangku dengan pekerjaan
di antara tumpukan tugas dan pekerjaan sampingan lainnya. Kadang aku ingin
cepat-cepat berlari ke Jogja kalau saja aku tidak ingat kedua orang tuaku masih
membutuhkanku.  Ayah yang semakin tua
tidak akan rela ditinggal lama oleh putri satu-satunya ini. Walaupun aku
seringnya bekerja tidak berada di rumah, setidaknya aku pulang dan ayah bisa
melihat wajahku walau sebentar.
Sedang ibu yang selalu cemas, apakah aku sudah makan? Apa
sudah memakai jaket? Dan kecemasan-kecemasan lainnya yang membuatku terlanjur
bergantung padanya. Terbiasa mengecup keduanya, dan keduanyapun biasa dikecup
oleh putrinya. Apa kalian rasa seperti yang ku rasa? Menahan ego demi kedua malaikat
yang semakin menua? Keduanya adalah orang yang menyediakan telinga ketika kau
rasa semua orang tidak mau mendengarkanmu, menyediakan senyum ketika kau lelah
berpeluh bertarung dengan remehan banyak kepala, menyediakan mata ketika semua
berpaling, menyiapkan percaya ketika banyak orang yang menatapmu enggan, dan
terlebih...mereka  menyediakan hati tanpa
batas.
Ini pertama kalinya aku lama berada jauh dari ayah dan
ibuku. Sebut saja aku manja, tapi beginilah adanya aku...
Tiap kali keluar hotel aku hanya mengikuti ke mana langkah
kakiku membawa. Berjalan-jalan, memfoto sana-sini, mengobrol dengan pedagang
kaki lima, naik becak yang merupakan kendaraan favoritku, mengitari seputar
Malioboro, sampai merebahkan diri di antara lautan ilalang.
Pertama kali rasanya aku tidak terlalu memikirkan Bumi. Aku
tidak terlalu memikirkan apakah Bumi masih berada di Jogja atau tetiba bertemu
dengannya. Menikmati apa yang kini bisa ku nikmati. Kadang aku menemui bunda,
melihat-lihat apakah ada barang antik baru yang menarik. Seperti saat ini.
"Banyak aksesoris sama perhiasan ya, bun...". Kataku sambil
memperhatikan dengan seksama barang-barang yang baru saja datang, masih belum
dipajang, toko juga masih belum buka.
"Iya...sedang banyak yang mencari. Terutama pasangan-pasangan
muda."
Aku menganggukkan kepala. Mataku tetap teliti, mencari-cari,
tapi terlalu banyak yang menarik hati sedangkan aku susah sekali memilih.
"Emm..bun...ini baru semua?" Tanyaku sambil mengangkat kotak kayu berisi
gelang-gelang, kalung, cincin sampai anting-anting berdesain klasik.
"Iya, baru. Cucu bunda yang buat, dia pintar buat aksesoris.
Kalau yang benar-benar antik di kotak satunya."
"Terlalu banyak yang bagus bun...aku susah milihnya."
Bunda menghampiriku, ikut duduk di atas lantai kayu tempat
biasa kami bercengkrama. Sembari tanganku terus memasukkan kue coklat buatan
bunda ke dalam mulut.
"Sudah ikhlaskah?"
Aku melirik, tersenyum kecil. "Melepas Langit atau
keberadaan rasaku pada Bumi?" Aku terkekeh.
"Memang sungguh berbahaya...kecantikan pelangi bahkan bisa
membuat langit dan bumi berseteru. Semoga senja tidak ikut-ikutan dalam duel
ini."
Kamipun tertawa. Bunda menatapku penuh arti. "Kenapa bun?"
"Apa yang kamu cari sekarang pelangi?"
Aku terdiam. Berhenti mengaduk-ngaduk kotak kayu. Kemudian
menatap langit pagi.
"Di mana posisi Bumi kini ketika kau melepas Langit?" Tanya
bunda lagi.
"Itu yang aku cari bun...menelusuri petunjuk-petunjuk yang
tersimpan dlam Rekam Imaji. Mencari rasa apa sebenarnya di antara tumpukan
rindu."
"Masih menyiksa diri dengan rindu?"
Aku menggeleng. "Tidak...lebih lega rasanya. Aku menggenggam
rindu terlalu erat, hingga ia melindungi dirinya dengan perisai berduri. Jadi
ku regangkan saja, biar ia memilih...tetap tinggal atau meninggalkan. Aku tak
ingi terburu, mendesaknya, aku tidak ingin dia membuat perisai berduri
lagi...aku ingin dia percaya padaku...".
Ku tatap bunda yang tengah memandangiku dengan senyumnya
yang hangat. "Seperti kata bunda...bukan sekedar belajar, tapi juga
mengikhlaskan keberadaan cinta, hmm...ataupun rindu...".
"Bagaimana dengan Langit? Ah...ia begitu tampan dan
menggemaskan." Ujar bunda kemudian tertawa kecil.
"Haha...ya, Langit memang menggemaskan...".

Tiba-tiba mataku tertarik pada sepasang kompas tua berumah
kayu. Ku buka, jarum kompas berputar.
"Awalnya sangat berat, tapi akhirnya dia bisa menerima
keputusanku. Kami masih belum menghadap keluarga besar dan megumumkan
pembatalan pernikahan. Tapi Langit bilang akan segera menjelaskan, terutama
pada ibunya....". Ku hela napas panjang, seintas wajah ibunda Langit terbayang.
"Menghancurkan hati putranya...mungkin beliau tidak akan pernah memaafkanku."
"Tapi suatu saat dia akan bersyukur,...karena kamu tidak
menghancurkannya hingga berkeping."
Berulang-ulang ku mainkan sepasang kompas tua tadi.
Memperhatikan ukiran batik pada kayu pembungkusnya. "Sepasang...".



~ (oleh @NadiaAgustina)

Sepenggal Lagu Untuk yang Merajai Hati

Tanpa pikir panjang aku beranjak, walau dengan tenaga yang masih melemas. Aku mengambil gitar, secarik kertas dan pena. Aku tak perduli apa yang akan terjadi nanti setelah aku menolak keinginan kankerku. Aku hanya ingin bebas!
Lepas!
Menjadi manusia yang biasa. Meski aku tau jalanku tak begitu biasa.
Semoga mama masih sibuk dengan masakannya di dapur, sehingga suara gitar dan suaraku redam oleh kegiatannya.
Aku mulai memetik gitarku, perlahan. Ada begitu banyak kata-kata dan sebias nada-nada yang melintang di otakku, juga hatiku. Kucoba padukannya jadi satu.
"Kumengerti dunia tak lagi menjamah eratku
Kusadari nafas ini menyesakkan bagiku
Izinkan aku sekali saja menatap matanya
Merasakan hadir di dekat dekapnya.
Kuyakini nanti akan ada di sudut dunia
Menantiku, mengharapkan bahagia abadi
Dan aku akan lari, merambah indah lurus detakku
Tampakkan bahwa ku mampu berpijar
Akulah insan biasa, menjalani pedih yang tak kumengerti
Terbelenggu setiap sudut gelisah
Tanpa ada pilar yang menuntunku
Dan aku kan bertahan, melibas habis luka yang meraja
Menyentuh aksara yang sempat kulepas
Mendekap setetes bara bahagia
Meski kan harus kuakhiri detakku dengan luka
Sungguh harus kuterima dengan lepas
Aku mencintai sempat menjadi bagian darimu.
Merasakan menjadi yang hidup dalam hatimu
Biarkanku lepas, menatap gemerlap dunia semu
Izinkanku terlelap di pangkuanmu
Mendekapmu di akhir hembusku"
Itu, hanyalah serangkaian kata-kata. Yang kuberi nada. Lantas kusematkan tangkai cerita. Sepenggal lagu untuk yang merajai hati. Mereka-mereka yang menyimpan sebongkah cintanya di hatiku.
Kurekam paduan gitar dan laguku bersamaan di sebuah alat perekam suara. Aku ingin lagu ini abadi. Bagaimanapun aku nanti.
Aku meletakkan gitarku di tempat semula.
"Vina, nih! Makan dulu, ya..." Aku terkejut, ternyata mama sudah di depan pintu. Tanpa pemikiran panjang, aku memasukkan alat perekam itu di saku celanaku.
"Eh, iya, ma. Makasih, ya..."
Mama baru saja meletakkan nampan berisi bubur itu di meja kecil samping ranjangku, aku sudah kesulitan menerima oksigen lagi.
"Mama..." Tanganku berusaha menggapainya. Namun tidak bisa. Aku lemas. Aku jatuh seadanya.
Mama panik, ia meraihku secepat yang ia bisa. Gelas di tangannya terjatuh ke lantai, pecah menjadi berkian-kian keping. Seolah mewakili pecahnya tangis mama.
Aku tak begitu tau lagi apa yang terjadi. Sesaat, meski semua terasa gelap, aku masih bisa merasakan sentuhan dan suara-suara yang ada. Aku bisa merasakan mama merengkuhku. Aku bisa mendengar mama menangis. Aku merasa, mungkin seperti aku dibawa keluar, lalu turun. Lalu sisanya, menyimpan tanda tanya bagiku. Aku tak lagi bisa merasakan semua. Aku seakan benar-benar lemah. Seperti orang yang diberi obat tidur dosis tinggi, dibius.
Mama, maafkan aku. Aku tak seharusnya memaksakan diri merangkai lagu itu...


~ (oleh @LandinaAmsayna)

#12: A Day Late (pt. 2)

Aku di kamar gelap, ruang fotografi
Ad.
Hah, kenapa nggak di halaman aja, sih?
Ruang Fotografi terletak lumayan jauh dari kafetaria, memakan waktu 10 menit dengan jalan kaki. Tapi, setidaknya di sana sepi dan aku lebih nyaman bercerita dalam situasi seperti itu.
"Ad?" Aku masuk ke kamar gelap. Foto-foto berbagai ukuran bergelantungan di atas menyambutku. Tiba-tiba saja, aku jadi ingat Princess Hours - drama Korea favoritku dan Hye-jin. Di beberapa episode, Pangeran Lee pasti berada di kamar gelap.
"Di sini!" Kepala Adrian muncul dari balik dinding dan aku menghampirinya. Dia sedang sibuk mencuci film dari kamera-kamera tua. Mungkin punya teman-temannya, karena dia selalu menenteng DSLR. Atau polaroid.
"Ganggu, ya?" tanyaku hati-hati. "Harusnya aku tanya kamu lagi apa dulu tadi."
Kepalanya menggeleng. "Ini yang terakhir, kok! Gimana hasil laporan terakhir kamu?"
"Belum keluar, nanti pukul dua."
"Oh." Adrian menjepit foto terakhir di atas seutas tali. "Jadi, ada masalah apa?"
Karena tidak suka basa-basi, aku melewatkan bagian menemani Hye-jin dan langsung pergi ke inti cerita. "Kemarin malem aku ke Wal-Mart dan… tebak siapa yang aku lihat?"
Adrian nampak ragu untuk menjawab. "Emh, mantan kamu?"
"Ya, aku ketemu Ares di Wal-Mart."
Alisnya bertaut. "Serius? Ngapain dia ada di Athens?"
"Katanya, sih, ada perlu bareng dosennya," jawabku sendu. "Kita ketemu bentar, tapi…"
Kali ini, Adrian menatapku semakin serius. "What happened?"
Mataku menerawang ke depan - ke arah cermin yang merefleksikan bayanganku dan Adrian. Wajahku kusam karena kurang tidur dengan rambut acak-acakan karena tertiup angin. Sementara Adrian… dia selalu rapi - bahkan dengan t-shirt lusuh yang dipakainya sekarang.
"Umh…" Kepalaku tertunduk "… I kissed him."
"Eh?" Adrian benar-benar menghentikan pekerjaannya. "You did?"
Aku menarik nafas panjang dengan jemari menjambak rambut karena putus asa. Seperti ada ratusan palu yang menghantam kepalaku secara bergantian. Namun, saat aku mulai terisak seperti anak kecil, kedua telapak tangan Adrian yang kokoh menarik pelan lenganku dari kepala dan menurunkannya.
"Hei, look at me," pinta Adrian dan aku mengangkat kepala perlahan untuk menatapnya. "Aku tahu, pasti berat untuk melepaskan seseorang yang sedang kamu cintai. Tapi, kalian berdua sudah memutuskannya bersama, kan? You even could let the boy in high school go, kenapa dengan yang sekarang…"
"He loved me…" rintihku seperti tikus "…meski masih sering dibayangi masa lalunya, tapi ada sebagian dari diri Ares yang mencintai aku. Dia mengungkapkannya di saat aku merasakan hal yang sama. Was it wrong?"
"Tapi, dia sadar itu akan terus menyakiti hati kamu, Dita," sanggahnya tanpa menyakiti perasaanku. "Kamu juga tidak bisa memaksa dia… dia masih butuh proses untuk mengenyahkan masa lalu dari kehidupannya sekarang."
Apa yang Adrian katakan tadi langsung mengunci mulutku. Sekuat apapun aku menarik Ares untuk keluar dari masa lalunya… itu akan berakhir sia-sia. Mungkin dia butuh tiga atau empat tahun lagi sampai akhirnya bisa menerima kepergian Fiona.
Dan bisakah aku menunggu selama itu?
"Don't get fooled by love," ujar Adrian lembut. "Jangan biarkan perasaan itu menguasai kamu, karena seharusnya kamu yang mengontrol perasaan itu. Jangan cepat lemah, jadilah Dita yang kuat."
Aku masih bergeming saat Adrian merengkuh wajahku. "Sekarang, anggap aku Ares dan setiap kali aku mendekat, buatlah sugesti untuk pertahanan diri. Tolak, tolak, tolak semakin kuat."
Sekarang, anggap aku Ares…
Di bawah pengaruh frustasi dan putus asa, perintahnya jadi mudah kulakukan. Dalam sekejap, yang kulihat bukan lagi Adrian, tapi Ares. Ares dan senyuman miringnya, Ares dan mata hijau kecoklatannya, Ares dan rambutnya yang selalu berantakan…
Ares who I used to call as my lover…
Seharusnya, aku sudah bisa melawan karena Adrian tidak menempelkan dahinya padaku seperti yang Ares lakukan. Tapi, bayangan Ares terus membanjiri pikiranku. Namun, saat Adrian semakin dekat, ada perintah dari dasar kepalaku untuk mendorongnya. Penglihatanku semakin jelas dan satu gerakan lagi…
"AWW!"
"Eh, maaf, maaf, Ad! Kamu nggak apa-apa?" Tadi, aku refleks menyikut perutnya sampai dia membungkuk kesakitan.
"Kamu…" Adrian meringis, kepalanya menengadah padaku. "Kamu kecil-kecil tenaganya besar, ya?"
"Aku berlebihan, ya?"
"It's okay." Lalu, Adrian menarik nafas panjang dengan tangan memegangi sisi meja. "Memang itu yang seharusnya kamu lakukan. Sugesti yang terus diulang itu berpengaruh besar terhadap tindakan."
Ponselku bergetar dan menginterupsi percakapan kami. SMS dari Hye-jin. "Eh, aku harus masuk kelas. Dosennya datang 30 menit lebih awal. Hebat."
"Well, then, I wish you luck, Dita," katanya, menyemangatiku dengan tepukan di pundak. "Jangan cengeng lagi, ya? Be strong."
"Ya, trims." Aku tersenyum samar. "Nggak ngerti deh kenapa kita nggak kenal satu tahun lebih awal."
Alisnya terangkat. "If that happened, we might be dating now."
Kami saling bertukar pandang, lalu tertawa lepas.
            Who knew what we know now
            Could've been more
            But, at least you're still my day late friend
            We are who, we are who we were when...
            (A Day Late – Anberlin)

***

~ (oleh @artemistics)