Tentang 30 Hari Cerita Cinta

15 September 2011

Best Moments in Our Love's Life: #3 Moment yang Ketiga


Zat Candu
Hei,..... kalau nanti sewaktu tidurmu
Kau bertemu dengan Tuhanmu
Maukah kau berbuat suatu kebaikan untukku??
Tolong tanyakan pada pada penciptamu
Terbuat dari zat candu apakah dirimu??
mengapa aku begitu ketagihan akan suaramu??
Mengapa aku begitu menggilaimu??
Mengapa aku begitu merindukan matamu??
dan mengapa rasa yang mematikan ini terus ada??
**************************************



Ting.. Tong
Aku sontak kaget saat BBM ku bersuara. Duh ini kan hari minggu yang wajib hukumnya mengelonin kasur seharian, apalagi Bram sedang di Bandung, jadi deh aku makin males kemana mana. Lampu kamar belum dinyalakan, kembali kucoba pejamkan mata.
Ting.. Tong
Duh sialan siapa sih yang pagi pagi buta gini ngirimin pesen. Apa mereka ga bisa baca status aku dengan icon "Busy"
Aku buru buru meraih Blacberryku. Sialan si kunyuk Riri.

"WOIIIIII KEBOOOoo BANGUNNNN KAU..."
kurang ajar banged kan, pagi pagi buta di hari minggu gini aku disuruh bangun jam 6 pagi. Eh tunggu dulu, sekarang jam brapa? Whaaaattt??? Jam 2 siang. Matiikkk!!!
"Ruthhhhhh........."
"PING!!"
"PING!!"
"Iya Riri bawel, apaan sik, ganggu aja?"
"BAHHH, baru bangun Lu?"
"ke Harbor Bay yuks, gue ada urusan dikit disana, tp males sendiri...."
"Gue jemput darl Oke....."
"MANDI KAUUUU!!!!!! I'll be there no more than 30mins"

Riri, sahabat baikku yang hampir tahu semua tentang Aku Bram, tapi dia belum tahu tentang kamu.

"Napa si Ruth muke lu kusut gitu.."
"Gapapa Ri, kurang tidur aja.."
"Kurang tidur gimana, tadi aja lu kebo banged.."
"Akh diem dech.."

Padahal sesungguhnya aku kangen kamu Bram. Hampir 10hari kita tidak bertemu. Urusan pekerjaan apa sih kamu ke Bandung? Selama itu? Aku telepon juga sering kali di Reject, BBM balesnya sekali sekali?
"Kamu pasti sibuk dan banyak pekerjaan.." pikirku sambil terus mengenang senyum kamu dan merasakan dekapan berada dipelukan kamu.




"woi bengong aja Lu!!!!..." Riri berteriak.
"Buset deh Ri, pake tereak... gue gak budeg.."
"Ya lagi Lu akhir akhir ini aneh banged. kemaren di Patros Cafe Lu sumringah banged, pake acara traktir gue. Sekarang manyun aja. Oh terus akhir-akhir ini Lu sok sibuk Tahu, kayak istri pejabat.. kenapa sik?"
"Banyak kerjaan... udah yuks turun dah nyampe"

Aku lagi tidak ingin berdebat dengan Riri, karena di pasti tahu saat dimana aku berbohong.
Bram cepatlah kembali, sirami hatiku yang sudah mengering ini. Bram.. Bram Bram si Zat candu.

"Lu mau ikut atau nunggu di Lobby, gue gak lama.."
"gue tunggu sini aja, tar BBm atu tele tele aja kalo dah kelar.."
"Ok darl...."

Riri berlalu, dan aku langsung sigap mengambil HP. Nomer yang sudah hafal mati +620812XXXXX
Ada nada sambung, masuk.... tapi kenapa gak diangkat ya?
Bram, pick up dong hanya mau nanyain kamu sudah makan atau belum...
Lagiii.......... tuuuuuuuuuutttt....
Dan di Reject..!!! Sial Bram kenapa sih?
Hari minggu, sibuk, kerja? Mengangkat telepon dariku saja tidak sempat?
saat seperti ini mungkin status paling dibutuhkan. "Pacar/Gebetan atau hanya teman"
Sedangkan kita? Aku hanya Ruth dan kamu Bram. Aku tidak berhak untuk mengirimkan pesan kekesalan pada kamu seperti
"Eh pacar dianggurin aja nih, saingan ama manekin kali ya".. atau "Sibuk banget sayang, saingan sama Presiden.."
Hahaaa.... saat ini semua umpatan itu harus kusimpan du DRAFT entah kapan bisa ku SENT.
Bram, Kamu dimana? Lantang hatike berteriak, semoga angin siang ini menyampaikan tepat di muka kamu di Bandung sana.
Iya kalau di Bandung ya?"

BBM dari Riri.........
"Ruth, ke Mobil ya.. gue dah kelar.."
"Ok..."
"Kemana kita? Makan yuks?'
"Hayuksss.. Hotel Vista ya..."
"Beugh berat... mau ngapain neng?"
"Mabok..!!!!"
"Ruth geloooo Lu.... hang in dear, nyantai aja..."
"...........hmmmmmmm..........."

Bram lihat, bagaimana kamu adalah sumbu dari keceriaanku.
Moment kali ini berantakan sayang. 10 hari kamu menghilang.
Tapi tetap aku masih menunggumu pulang. Bram cepat kembali, kita harus melanjutkan ceritacinta kita......

Ruth yang dilanda rindu...

~To be Continued~


- (oleh @fredricanatasi - http://fredricmocca.posterous.com)

Kebun Bunga untuk Akane #3

Jenis Tulisan: Puisi
Judul: Tangisan jiwa pencari cinta
oleh:  Akane Artemissia, XII IPA 1
(diambil dari buku tugas Bahasa Indonesia yang bersangkutan, yang tak sengaja terbaca oleh Agea).

Dum
Satu dentuman perkusi membahana ke seluruh aula
Bergetar keseluruh cakra
Barat, timur, selatan dan utara
Menebarkan percikan ilahi ke seluruh jiwa
Membuka mata hati yang tertutup bara

Dum dum
Dua dentuman perkusi telah tertabuh
Membangkitkan gerak yang mengundang peluh
Membuka jalan menuju alam ruh
Yang senantiasa berteriak dalam suasana gemuruh
Berseru kepada yang Satu yang telah menyuruh

Teriakan mereka membahana
Membakar seluruh sukma
Mereka, Para jiwa yang telah kehilangan cinta
Cinta yang mereka perjuangkan dengan seluruh harta

Dengarkan mereka, hai manusia pencari cinta
Mereka telah menjual diri mereka
Demi sekeping cinta yang tak nyata
Yang berkhianat pada mereka yang percaya
Dan mengambil seluruh apa yang mereka punya

Dengarlah hai para pencari cinta
Tak kan mudah menemukan cinta
Cinta yang tak lekang dimakan usia
Tapi tak berarti mereka tak kasat mata
Hanya saja mereka hanya terbuka
Pada orang yang telah melihat sinar cahaya

Tak perlu mencari cinta sampai ke padang stepa
Atau sampai ke negeri cina
Cukuplah kau menengok ke arah jiwa
Dan kau akan menemukan jawabnya


- (oleh @hardashian - http://fromsciencetosocial.blogspot.com; http://penari-jalan-layang.blogspot.com)

HONEST #3: SERA!

Satu minggu setelahnya...

Siang yang terang. Mengingatkanku pada hari di mana aku pertama kali berjalan menghampiri Jazzy dan kemudian seminggu ini masih saja terus mengikuti langkahnya. Salahnya, aku tak juga bosan walau dia sudah berada di titik terendah dalam hidupnya.

Seperti bisa kalian tebak. Hubungan kami tidak memiliki perubahan yang berarti. Dan hari ini, suasana hatiku pun sedang tidak sebaik biasanya. Ada sedikit masalah di rumah dan aku sulit sekali mengenyahkannya. Sepanjang hari aku mengikutinya dalah diam. Dan sejak 3 hari yang lalu aku selalu merebut kunci mobil Jazzy dan memaksanya mengantarku pulang. Berdalih kehabisan ongkos bulanan. Dan seperti biasa, dia selalu saja mengalah padaku akhirnya. Lihatlah, bagaimana cinta membuatku mampu setega ini pada pria baik hati sepertinya.

Jazzy pun selalu hanya bisa diam seribu bahasa. Pada kenyataannya dia memang lebih pendiam dari manusia lain yang pernah kukenal. Diam yang tidak membuatmu berpikir dia sombong, diam yang membuatmu nyaman, diam yang tidak memojokkanmu. Jazzy pun tidak pernah marah secara nyata padaku. Bosan iya, kesal memang. Tapi dia sama sekali tidak pernah membentakku.

Hari ini kami selesai kuliah pukul 2 siang. Dan dia langsung menuju ke tempat parkir. Seperti biasa aku hanya berjalan mengikuti langkah kakinya. Sesekali memperhatikan bagaimana dia menghempas debu-debu yang sesekali waktu menebal di jalan beraspal. Seharian berdiam diri belum juga membuatku mampu mengenyahkan kesedihan di hatiku. Bukan aku tak mau jujur padanya, aku hanya tak berpikir dia berminat mendengar ceritaku. Lain waktu, saat senyumnya hanya untukku. Tentu aku akan menceritakan segala tentang diriku padanya.

Tepat saat aku melamun sebuah sepeda motor menyerempetku yang berjalan terlalu ketengah dan aku pun langsung jatuh tersungkur tanpa dapat diselamatkan oleh malaikat mana pun. Memang tidak begitu keras, aku hanya terdorong kaca spion dan stang sepeda motor itu. Begitu cepatnya kejadian itu terjadi aku bahkan tidak sempat berteriak. Karena memang aku tidak melihat sepeda motor itu datang ke arahku.

"Sera!" Jazzy langsung berlari ke arahku terjatuh, lalu motor itu pun pergi jauh. Siapa yang mau tanggung jawab sama pejalan kaki macam begini.

"Kamu nih gimana sih biasanya juga jalan deket-deket aku. Lagian ngapain sih dari pagi diem terus kaya orang bisu, ngelamu mulu lagi, bikin bahaya diri sendiri kan!" Jazzy marah padaku, tapi aku malah tersenyum lebar.

"Kamu tadi bilang apa?" Tanyaku di sela senyum yang mengembang. Jazzy pun membantuku bangkit dari kejatuhan, matanya mencari dengan seksama luka yang mungkin aku derita. Manis sekali pria ini.

"Kamu kaya orang bisu." Jawabnya tak fokus.

"Bukan, yang sebelumnya." Aku menekan kan, aku ingin dia tau jawabannya penting untukku.

"Kamu diem terus."

"Bukan, kamu tadi bilang 'Sera!' gitu kan? Kamu nyebutin nama aku, kamu tau nama aku ya!" Kegembiraanku meluap-luap.

"Ya tau lah, kita kan satu kelas." Jawabnya malas menanggapi kegembiraanku yang berlebihan. Aku akui ekspresiku memang berlebihan kali ini.

"Iya, tapi kan kamu ngga pernah manggil nama aku selama ini. Cuma heh heh terus." Jelasku

"Iya udah terserah deh. Ayo kita balik ke klinik dulu meriksain badan kamu. Siapa tau ada yang salah." Jazzy melanjutkan langkahnya dengan membawa tanganku ikut serta dalam genggamannya.

Apa kalian tau, mulai saat itu dia selalu menuntunku ketika menyebrang jalan. Walau pun tetap memanggilku dengan kata 'heh', tapi semua kesalku hari itu berhasil dihapuskannya. Menggelikan, bagaimana kadang cinta mampu membuatmu ingin selalu terus tersenyum sepanjang waktu. Terserah apa pun yang ingin dia lakukan, asal aku bahagia. Asal dia kemudian dapat kubuat bahagia. Tak ada yang tak mungkin bila kuusahakan.

Kalian tau, Sera adalah panggilanku saat SMA. Tidak ada teman kampusku yang memanggilku dengan nama itu. Itu dapat diartikan bahwa Jazzy setidaknya benar menyadari keberadaanku sejak dulu. Tanpa dia sadari, dia telah menceritakannya. Dan aku bahagia.
***


- (oleh @falafu - http://mangkokata.blogspot.com)

Ind(e)ra Milik Milanka #4

Sore itu, aku duduk di taman kampus menikmati sore yang berangin. Adriana yang menemaniku, dia tampak bingung melihatku mematung. Aku tahu, dia ingin bicara tapi nampaknya dirinya sudah lebih mengenalku daripada diriku sendiri. Adriana adalah teman baikku di kampus, kami berkenalan dengan cara yang tidak menyenangkan.
Waktu itu aku memakai sepatu kesayanganku, sebuah flat shoes berpita merah dengan paduan warna krem yang dominan, itu hadiah dari mama. Hari itu ditengah perjalananku ke kampus tiba-tiba hujan deras. Aku sangat menyesal memakai sepatu itu, namun apa daya. Tiba-tiba didalam bus yang penuh sesak, seorang perempuan naik terburu-buru dan menginjak sepatu kesayanganku. Spontan aku melotot kesal.
"Liat-liat dong, sepatu gue kotor tuh !", kataku ketus.
Kemudian perempuan berambut cepol itu memalingkan wajahnya ke arahku dengan wajah yang sama kesalnya dengan aku. Rambutnya agak basah terkena hujan.
"Heh, lo pikir cuma sepatu lo yang kotor ? Sepatu gue juga. Kalo enggak mau kotor, enggak usah naik angkutan umum. Nih liat sepatu gue !", ucapnya.
Aku mengikuti arah telunjuknya, melihat ke kakinya dan ternyata sepatu dia yang pakai sama dengan yang aku pakai hari itu. Spontan mataku membelalak, tak menyangka akan ada yang "kembaran" denganku hari ini.
"Kok sama ?", ucapku dan dia berbarengan.
Seketika kami saling melihat dan kemudian tertawa kecil. Dia mengulurkan tangannya padaku.
"Hai, gue Adriana. Lo ? Jangan bilang kita sekampus juga deh ?", tanyanya.
"Milanka, panggil aja Anka. Kayanya kita sekampus deh, sama-sama naik bus ini kan ?", jawabku agak sok tahu.
Tak berapa lama, bus yang membawaku dan Adriana sampai di tempat yang kami tuju. Kampus. Aku berjalan agak mendahului Adriana, jamku sudah menunjukkan pukul 10.05, itu berarti aku terlambat 5 menit masuk ke kelasku dan kelasku ada di lantai 3. Lantai paling atas.
"Dri, gue duluan ya. Telat nih. Sampe nanti yaa", ucapku agak berteriak.
"Iya, hati-hati Anka", jawabnya ramah.
Aku lari terburu-buru mencapai kelasku yang paling atas. Aku menghela nafas, ternyata kelas belum dimulai. Dosenku yang super-sibuk-tukang-absen belum datang. Jadi aku masih sempat masuk dengan leluasa tanpa haru berbasa-basi menjawab pertanyaannya. Tak berapa lama, aku lihat pintu kelas terbuka lagi. Dan sosok Adriana, kulihat jelas berdiri disana. Ya, kami sekelas. Sebuah kesamaan LAGI ! Setelah melihatku, senyumnya mengembang lebar. Dia mengambil tempat duduk disebelahku, memindahkan tas tanpa pemilik ke bangku sebelahnya.
Sejak saat itu, aku dan Adriana akrab. Adriana-lah yang banyak menjadi tempat sampah ceritaku akan Indra. Bahkan mengapa kini dia ikut diam menemaniku di taman kampus juga karena dia tahu kalau teman baiknya sedang tak tahu arah.
"Anka, lo yakin masih mau terus sama Indra ? Lo masih kuat ? Lo mau nyembunyiin semua rasa sakit lo ini sendiri ? Kenapa enggak ngomong aja sih sama Indra ?", tanyanya dengan nada gemas.
"Coba lo yang jadi gue Dri", jawabku singkat.
"Gue mungkin enggak bisa jadi lo, tapi paling enggak semua masalah harus diselesein dong. Lo kan berkomitmen berdua. Masa lo pikirin ini sendiri ?", sahutnya kesal.
"Lo enggak tau Indra sih. Dia tuh enggak pernah mikir kalo hubungan ini ada masalah. Dia selalu mikir ini baik-baik aja. Kalaupun gue omongin, enggak pernah ada solusi berarti. Terus menurut lo, gue harus apa ?", jawabku ketus.
"Dia enggak bakalan ngerti salahnya dimana kalo lo enggak ngomong jujur sama dia. Lo enggak pernah bahas kan soal SG itu ? Kenapa sih ?", tanyanya lagi.
"Gue enggak mau sakit hati, gue setengah mati lupain kejadian itu", jawabku.
"Tapi nyatanya apa ? Lo enggak pernah lupa juga kan ?", tegasnya
Aku hanya bisa diam, tak menjawab Adriana. Rasanya sulit menjelaskan perasaanku pada siapapun. Pada diriku saja sudah sulit. Aku tak bisa memaksakan sakit hatiku untuk diam dan tak mengontrol semuanya tapi nihil. Tiba-tiba didepan tempat aku dan Adriana duduk, parkir sebuah sedan yang aku hafal betul itu milik siapa. Indra. Dia pasti tahu aku disini, ini tempat favoritku seusai mata kuliah yang melelahkan.
Indra berjalan menghampiri aku dan Adriana, wajahnya terlihat sumringah tanpa beban. Heran, kok manusia satu ini enggak peka banget ya ?, tanyaku dalam hati.
"Hai cantik", sapa Indra padaku sambil menjawil daguku. "Halo Dri", sapanya pada Adriana.
"Hai Ndra, tumben kesini ? Udah balik ngantor ? Kan masih jam 4 sore ?", tanya Adriana
"Gue mau jemput Anka. Di kantor lagi makan gaji buta", jawab Indra.
"Dijemput ? Emang aku minta jemput kamu ? Kayanya enggak deh, aku enggak sms apa-apa kok ke kamu", jawabku sambil menyedot teh botol dihadapanku.
"Emangnya aku jemput kamu kalo kamu minta aja ?", jawab Indra sambil nyengir.
"Hahahaha, lo berdua lucu. Udah ya, gue mau balik. Nanti malem Alan mau ngajak dinner. Gue mau nyalon. Dah Anka", ucap Adriana sambil cipika cipiki padaku.
"Dah", ucapku sambil tersenyum dan melambaikan lima jariku pada Adriana.
Aku melihat Adriana memberi kode padaku, dua telunjuknya dikaitkan. Katanya, itu kode perdamaian. Dia selalu memberikan kode itu padaku saat dia tahu aku dan Indra lagi perang dunia. Sebelum masuk ke mobil, dia tersenyum-kiss-bye padaku.
"Anka, kok kamu enggak ngabarin aku sih beberapa hari ini", tanya Indra yang kini sudah duduk disampingku. Dekat, dekat sekali.
"Emang harus ?", tanyaku singkat.
"Kamu selalu ngabarin aku kemanapun kamu pergi lho. Kemarin aja aku tahu kamu pergi sama Adriana dari mama", jawab Indra.
"Sejak kapan kamu pengen selalu tau aku kemana dan ngapain ? Segitu pentingnya buat kamu ?", tanyaku lagi. Kali ini dengan nada lebih ketus.
"Kamu kenapa sih ? Aku nanya baik-baik ya !", bentak Indra.
Aku langsung melihat mata Indra, menatapnya dalam-dalam. Ini bukan rasa marah karena dia membentakku, aku sudah tidak peduli. Ingin rasanya Indra tahu soal perubahanku tapi bukan dari aku. Sebegitu acuhkah Indra sampai bertanya sebuah hal berulang kali padaku ?
"Aku bukan malaikat yang bisa tahu apa isi hati dan kepala kamu", ucap Indra memecah keheningan kami.
"Aku juga bukan customer service yang bisa kamu tanya berulang kali", tantangku.
Indra marah. Aku tahu, aku kenal betul cara mata itu melihatku. Gurat-gurat wajah itu semakin jelas. Indra murka padaku. Tak lama Indra pergi, berjalan masuk ke mobilnya. Membanting pintu tapi tak meninggalkanku. Dia hanya membuka kaca dan mengisyaratkan aku agar segera masuk ke mobilnya. Aku diam, pura-pura tak melihat.
"Anka !", panggilnya tegas.
Akhirnya dengan langkah yang berat dan setumpuk rasa keterpaksaan aku berjalan perlahan menuju mobil Indra. Rasanya aku ingin kabur kalau tidak mengingat banyak orang ditaman kampus ini. Bisa-bisa aku terkenal besok di kampus, maklumlah kampusku kecil. Tiba-tiba telepon genggamku bergetar. Ada sebuah pesan singkat. Segera aku baca.
"Milanka, apa kabar ? Aku di Jakarta lho. Sekarang aku pindah kerja disini, dimutasi. Kapan-kapan ketemu ya. Salam buat mama. Ini nomor baruku, save ya. Take care dear ! BARRY"
Langkahku terhenti. Demi Tuhan, aku tak percaya ini nyata. Kembali aku baca pesan singkat itu. Oh, ini akan semakin menyulitkan keadaanku dan Indra. Barry kembali lagi.
***


- (oleh ameliaharahap - http://messynauli.blogspot.com)

Putus

Ngga kerasa udah akhir tahun aja, aku sama Devara makin deket. Devara cerita soal banyak hal ke aku dan gitu juga sebaliknya. Bukan cuma itu, Devara juga sering main ke rumah sampai-sampai dia jadi deket juga sama mama. Itu semua berbanding terbalik sama hubunganku dengan Gio.
Devara akhirnya sempat jadian sama Tania, tapi cuma seumur jagung karena Tania harus pindah ke USA dan Dev ngaku ngga sanggup LDR antar benua. Ngga lama setelah itu Dev udah punya pacar lagi, dia bilang itu sekedar pelariannya aja. Aku marah waktu dengar Dev ngomong gitu dan akhirnya Dev jujur sama si pelarian dan mereka putus, Ugh! dasar cowok.
Ngomong-ngomong soal cowo, dua bulan belakangan ini komunikasi antara aku sama Gio makin ngga jelas, ntah kenapa aku punya firasat Gio selingkuh. Untuk ukuran seorang pacar, Gio memang udah ngga seharusnya lagi dipertahanin. Jangan dikira aku ngga pernah minta dia untuk pisah, tapi setiap kali aku minta pisah sama dia, dia selalu ngga mau dan janji buat berubah. Bella sahabatku selalu heran dan kesal sendiri setiap aku kasih Gio kesempatan, Devara yang juga aku ceritain soal ini malah sampai bosan dan selalu nyuruh aku untuk putus. Sampai akhirnya Gio yang telfon aku untuk minta putus.
"Ra, aku bisa minta waktu kamu sebentar ngga? Ada yang mau aku bilang."
"Bisa kok sayang, kamu mau ngomong apa? Kok aneh gitu sih?"
"Ra, aku rasa hubungan kita udah ngga bisa diterusin lagi. Maafin aku tapi aku ngga bisa."
"Kamu mau kita putus, maksudnya? Kenapa Gi?"
"Karna kamu terlalu baik buat aku, Ra. Dan aku ngga sanggup lagi."
"Kenapa? Apa ada orang lain, Gi?"
"Maafin aku, Ra."
"Apa kamu udah ada yang lain, Gi?"
"Iya, Ra. Aku mohon kamu maafin aku ya."
"Sejak kapan?"
"Maafin aku, Ra. Maafin.."
"Aku tanya ke kamu sejak kapan, Gi?!"
"Dua bulan yang lalu…"
"Oke. Makasih ya, Gi. Buat selama ini, buat semuanya. Jangan sakitin orang itu kayak kamu nyakitin aku sekarang. Sakit, Gi."
"Ra, maafin aku.."
"Iya, aku maafin." Telfon Gio aku tutup gitu aja dan aku langsung telfon Devara buat ke rumah. Aku nangis sesenggukan di bahu Dev. Dev diam, ngga ngomong apapun sampai aku selesai cerita. Sekilas aku lihat tangan Dev mengepal. Aku tau dia nahan marah ke Gio. Dan aku tahu, ada di dekat Dev selalu bikin aku ngerasa aman…



~ (oleh @rahcara)

Annica #3

#3

Kamu dan aku.
Kita tidak pernah membayangkan bisa bertemu dan berkenalan.
Kamu dan aku.
Aku tidak pernah membayangkan bisa menyayangimu seperti ini.
Kamu dan aku.
Aku tahu tidak pernah ada kita diantaranya.

- Annica -

Aku sudah kembali ke kantorku tersayang.
Hanya tiga hari dan pekerjaan menumpuk diatas meja. Gosh!
Iya, akhirnya aku memutuskan untuk tiga hari saja ada di kantor cabang, rasanya ngga nyaman berada disana karena mulut-mulut yang berbicara lebih banyak dan malah menjadi lebih ngga jelas ceritanya dan itu semua hanya karena aku, sang finance and Accounting director yang juga anak komisaris utama duduk di ruangan Finance untuk mengurusi keruwetan yang ada.
So, here I am, sudah duduk manis di ruanganku sendiri dan mengirim Willy ke kantor cabang Puri untuk mengurus laporan – laporan dan mengawasi transaksi di kantor itu.
Shirley, asistenku, mengetuk pintu dan membukanya perlahan. Dia menatapku dengan tatapan sungkannya, takut kalau mengganggu kegiatanku yang sedang memeriksa laporan-laporan bulanan yang akan dipresentasikan hari Senin didepan direksi.
"Ya?" tanyaku saat melihat Shirley melangkah masuk
"Ada yang mau bertemu bu, katanya sudah janji"
"Siapa?"
"Pak Kevin. Sudah menunggu diluar bu, apa ibu mau menemui?"
"Ohh…iya, suruh masuk aja, thanks ya Shirley"
"Baik bu, permisi"
Aku membereskan kertas-kertas yang menutupi hampir seluruh permukaan mejaku itu, memilih-milih file untuk dijadikan satu dalam tempatnya.
"Ann?" suara itu memanggilku ketika aku masih sibuk membereskan kertas-kertas itu, aku menatap ke arah pintu asal suara itu dan melihat seorang lelaki tinggi, putih, dengan potongan rambut pendek dan sedikit jabrik. He is Kevin. One of Abe's best friend but he's the only one who can be our family's best friend too.
He's smiling now, how I miss that smile.
Kevin dengan setelan jasnya dan senyumnya yang tidak pernah pergi dari wajahnya setiap saat.
Kevin mempunyai senyuman yang bisa menarik orang lain untuk ikut tersenyum dengannya, dan satu keistimewaannya yang lain adalah dia tidak hanya tersenyum melalui mulutnya, tapi matanya pun penuh dengan sinar keramahan. Dan itu semua hanya sedikit dari alasan kenapa sampai detik ini aku masih menyayanginya.
"Hai, tumben kesini?"
"Ngga boleh nih nengok kamu?"
"Boleh kok boleh, tapi masak ngga bawa apa-apa sih kalo nengok?"
"Hahhaa…kamu tetep ya, isengnya ngga berubah"
Kevin berjalan mendekati meja kerjaku dan duduk di kursi didepanku. Aku memperhatikan setiap gerakannya, betapa aku kangen dengan lelaki satu ini.
"Kamu kapan balik dari Singapore?"
"Hmm…kemarin sore. Kamu apa kabar? Kenapa ngga pernah ada kabarnya?"
"I'm fine, tetep sibuk dengan pekerjaan aku"
"Kemarin ke kantor Puri?"
"Iya, kok tahu?"
"Aku nelpon Abe, dan waktu aku tanya katanya kamu lagi di Puri"
Aku hanya menganggukkan kepalaku pelan, mataku tidak berani menatap tatapannya lebih lama. Aku takut perasaan aku akan terlihat dan pertemanan kami akan jadi berantakan.
"Gimana soal Phillip?" tanya Kevin mendadak.
Phillip adalah adik sepupunya yang dia kenalkan sekitar tiga bulanan yang lalu. Phillip baik, dia perhatian, dan jelas dia ada maksud tertentu dengan aku.
Tapi masalahnya adalah dia bukan seseorang yang aku inginkan. Bukan dia seseorang yang selalu masuk dalam pikiran aku setiap saat.
Dan seseorang itu ternyata adalah Kevin, kakaknya.
"Jadi ada perkembangan apa dengannya?"
"Nothing happen"
Kevin hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, entah apa yang dia pikirkan.
"Gue mau ke ruangan Abe dulu, mau ngomong tentang bangunan yang di Cibubur. Jalan dulu ya Ann"
"Oke"
"Ann?"
"Ya?"
"Coba aja dulu sama Phillip, dia baik kok"
"I know"
"Byee…"
Aku memperhatikan langkah Kevin yang sudah tidak terlihat. Andai kamu tahu Kevin…

Kevin adalah sahabat baik Abe sejak masih SMP, mereka selalu bersama sejak kejadian 'sok heroik' mereka menolong anak kucing yang dianiaya oleh teman-teman satu sekolah mereka.
Memang anak kucing itu kasihan, kakinya terluka dan kelaparan, tetapi malah digangguin oleh anak-anak kelas sebelah Abe dan Kevin. Jadi maksud mereka hanya melarang anak-anak itu mengganggu anak kucing itu tapi yang ada mereka malah bertengkar dan sampai masuk ke ruangan guru BP.
Sejak hari itu Abe dan Kevin seperti tidak terpisahkan. Mereka selalu bersama sampai detik ini.
Aku sendiri kenal Kevin pertama kali ketika aku masih SD, saat itu dia sudah kelas 3 SMU. Ya, aku dan Kevin berbeda umur 8 tahun.
Kevin yang aku kenal dulu adalah Kevin yang baik hati, ramah, penyayang dan selalu siap mengajarkan matematika untukku. Dan dia selalu tidak lupa membawakan aku sebatang coklat setiap kali datang ke rumah.
Setelah lulus SMU, Kevin pindah ke Singapore, meneruskan sekolahnya disana dan bekerja setelah lulus. Kevin menetap di Singapore selama hampir 10 tahun dan akhirnya tiga tahun lalu pulang ke Indonesia karena kesehatan Papanya yang semakin menurun. Sekarang Kevin menetap di Indonesia dan meneruskan usaha keluarganya.
Aku ngga pernah tahu sejak kapan aku merasakan hal yang lebih dari rasa sayang adik ke kakaknya untuk Kevin. Aku memang mengagumi Kevin sejak aku pertama kali mengenalnya. Dia begitu baik dan perhatian, dan hal itu tidak pernah berubah sampai detik ini. Dia selalu dan masih terus menganggap aku adik kecilnya.
Kevin mempunyai satu adik perempuan, namanya Keiko, dia sudah menikah dan menetap di Singapore bersama suaminya,yang memang asli penduduk Singapore, dan anak mereka gadis kecil berumur 14 bulan.
Kevin itu seperti layaknya kakak, sahabat dan teman baikku. Dia selalu menjagaku, dia selalu ada untuk aku.
Dan semua kenyamanan itulah yang membuat aku tidak bisa berhenti bergantung dengannya dan yang membuat aku tanpa sadar memberi dia tempat yang lebih daripada seorang kakak di hatiku selama dua tahun ini.

"Hei, melamun?" sapa Abe dari belakangku, dia menyerahkan minuman kaleng dingin dan duduk disampingku. Abe menatap ke hamparan rumput hijau yang ada didepannya, mengikuti arah mataku.
"How's life?"
"Hectic"
"Sama dong ya?"
"Pertanyaan retorik"
Abe tertawa mendengar jawabanku, dia merebahkan badannya di salah satu kursi kayu dan memainkan minuman kaleng di genggamannya.
Kami sedang duduk di teras belakang rumah kami. Menatap hamparan pepohonan hijau dan tanaman bunga yang sudah disulap tangan mama menjadi sebuah taman yang indah. Menikmati angin dan suasana sore yang sangat jarang bisa kami rasakan.
"Kevin mau pindah ke ausie, rencana bulan depan berangkat" kata Abe
Aku tetap tak bergeming ketika mendengar hal itu. Entahlah, segala sesuatu tentang Kevin masih berpengaruh denganku, aku masih merasakan kangen untuknya. Aku masih sering memikirkannya. Aku masih selalu merasakan bahagia ketika aku melihatnya atau ketika kami sedang mengobrol bersama meski hanya lewat bbm.
Tapi sudah, semua perasaan itu hanya berhenti disana.
Mungkin karena terlalu lama aku menyimpan semuanya sendiri, mungkin juga karena sikap Kevin yang biasa denganku, atau karena aku pun kecewa ketika dia justru 'menyerahkan' aku ke Phillip.
"Pakai waktu yang ada sebaik-baiknya ya" Abe berjalan masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya berhasil mengacak rambutku dan juga pikiranku karena perkataannya.
It has been two years since the first time I know that I have another feeling to Kevin.
Dan sudah sejak dua tahun lalu juga aku tahu kalau perasaan ini sia-sia.


- (oleh @luilliciousmey - http://luilliciousmey.blogspot.com)

Selarik Rindu: Lima Bintang

Lima Bintang
Aku mau menunggu biar sampai gigil jari kuku ku, aku mau menunggu. Biar cinta yang mengalahkan rindu, bukan sebaliknya. Aku mau kali ini cinta yang menang sebagai kita, bukan sebagai aku atau bukan sebagai dia. Aku mau menunggu sampai tak berbatas waktu, karena kata, bila Tuhan sudah punya mau menyatukan aku dan dia tidak akan selama membalikkan telapak tangan.
"Aku mau menunggu, karena aku tau sesuatu yang indah itu tidak akan selesai hanya dalam satu waktu. Aku mau menunggu seperti elang gundul yang tak akan berpaling sampai pasangannya dijemput mati. Aku mau menunggu seperti tangkai yang setia menunggu bunga mekar. Sebesar itu rasa ku padamu.."
Kalimat itu jatuh dengan mata yang berkaca-kaca. Aku mau dia tidak jadi ragu dan menganggapku tidak sanggup. Aku mau dia tidak jadi ingin ditunggu olehku. Sekuat tenaga aku menahan bulir airmata yang sudah mengkilat-mengkilat di mata. Akhir desember yang ceria.
***
Tahun baru tinggal esok, Shafa yang tengah menjahit hati nya menggunakan mimpi sebagai benang tengah asik menjejalkan perasaan cinta yang ia miliki saat ini pada ku.
"Jadi, lo udah ngelupain si 'seseorang-yang-gak-boleh-disebut-namanya' itu? " tanya ku. Raut muka Shafa berubah dari merah merona, menjadi merah padam. Dia menatapku lekat. "Gue pengen lo balik sama dia deh, kalian berdua tuh cuma lagi dalam tahap cobaan tau gak, kalian pasti bisa ngelewatin ini kalo kalian mau.." cerocos ku terus tanpa mempedulikan raut muka marah Shafa.
Shafa bungkam, diam. Ia berbaring di sampingku yang juga tengah berbaring di atap rumah ku. Pandangannya lurus ke malam gelap yang hanya berhiaskan lima bintang dengan tanpa alas di kepala-kepala kami. Aku memiringkan wajahku untuk mengamati wajah nya.
"Dia tetap bintang di hati gue, yang cuma gue dapat rasakan hadirnya kala malam kemudian hilang sementara kala siang. Tetap dia bintang terbesar gue, walau jauh, tapi bintang tetaplah bintang. Dia punya cahaya sendiri buat gue."
Aku lihat matanya lekat menatap bintang yang berkelap-kelip diatas awan hitam yang terlihat mendung. Hujan duluan di mata Shafa. Ku lihat segaris airmata turun dari sudut matanya. "Pejamkan mata lo, rindu mungkin akan cepat sampai pada nya.." kataku mencoba menghibur dirinya. Ia memalingkan wajah ke arahku. Kami berdua bertatapan. Selama lima tahun bersahabatan dengannya, aku hapal betul kerut yang ada di sudut matanya yang berarti menandakan kegusaran hatinya yang dalam. Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba menelusuk dalam hatinya bahwa ia akan baik-baik saja. Segaris airmata nya turun kembali tepat sebelum Shafa kembali menatap ke langit hitam diatas sana dan memejamkan matanya. Pukul 00.00, kembang api warna-warni mencacah langit meninggalkan asap putih yang meliuk-liuk liar seolah menyelimuti bintang-bintang. Aku turut memejam mata, entah untuk alasan apa.


- (oleh @PenaAwan - penandilaga.tumblr.com)

Delapan #3

"OALAAAH! Katanya mau cerita kok malah turu (tidur) toh, Ndhoooook?", teriakan bunda sepertinya berhasil menarikku kembali ke dunia nyata. Tak hanya itu, bunda mengguncang-guncang tubuhku sekenanya, sampai aku benar-benar telah datang ke bukan lagi alam bawah sadar. Masih tanpa suara, aku duduk di depan bunda yang sedari tadi melempar tatapan bingung dan sepertinya ingin tau. "Anggi kenapa, Sayang? Ayolah cerita sedikit sama bunda. Delapan mutusin kamu?", suara bunda memenuhi sel-sel otakku. Dan kalimat terakhir entah mengapa terdengar paling jelas. Aku menggeleng. Seketika itu juga bunda meraba kening, pipi dan leherku dengan gerakan cepat. Aku tak dapat mengelak karena memang belum siap melakukan apapun, kecuali duduk dan menatap bunda. "Anggi sakit?", tanya bunda dengan amat lembut. Aku menggeleng, untuk kedua kali. "Bunda bingung sama Anggi. Bener-bener nih bunda bingungnya. Pulang sekolah pipi udah basah, mata merah, muka kusut, ditekuk pula, diajak ngobrol malah marah-marah sendiri.. Anggi ada masalah apa? Cerita sama bunda ayo.. Siapa tau saya bisa bantu mbak Anggi menyelesaikan masalah ini?", lagi-lagi hanya kalimat terakhir yang bisa aku dengar dengan jelas. Disana jugalah bunda memasang gaya paling oke ala psikolog terkenal seraya memperbaiki letak kacamata yang sedikit turun dari singgahsananya. Aku hanya jawab dengan dengan sebuah gelengan, untuk yang ketiga kali. "Fine kalau mbak Anggi ngga mau cerita dan berbagi kisah sama bunda. Makan malam dulu yuk, Ndhok? Kalau nggeleng lagi.. Dendeng balado-nya buat kucing aja loh ya?", kali ini aku mengangguk.

Bunda yang keturunan Jawa, sangat lihai bila memasak masakan Padang. Apalagi yang tadi bunda sebutkan, dendeng balado. Aku pernah dengar bahwa nama sebenarnya dari makanan itu adalah dendeng batokok. Aku tidak mengerti apa perbedaan antara keduanya. Dan aku juga tak tau kalau nanti ternyata dendeng balado dan batokok adalah sebutan untuk makanan yang sama. Tapi, aku benar suka yang namanya dendeng balado. Rasanya asam manis, kalau yang dibuat oleh bunda. Dagingnya empuk dan tetap renyah. Satu lagi yang aku tidak mengerti, apakah makanan ini memang seenak yang aku cicip, atau bunda yang amat pandai mengolahnya.

Ini benar-benar ajaib! Suapan pertama mampu mengubah rasa-rasa dalam tubuh, otak dan perasaanku. 'Mood'ku membaik. Ingin aku ceritakan apa yang saat itu aku rasakan, apa yang terjadi di sekolah tadi pagi, apa yang telah aku perbuat pada Milan dan apa akibatnya. Bunda adalah malaikat dunia yang maha tau tentangku. "Mau cerita sekarang Ndhok? Habiskan aja dulu makannya, baru cerita.."

Aku bingung harus mulai dari kalimat apa. Dan mungkin saja masalahku ini dianggap angin lalu oleh bunda karena terlalu sepele. Ini tentang aku dan Milan. Tentang yang bunda katakan, cinta monyet. Bagiku bukan. Maklumlah, aku masih belum bisa berpikir seperti orang dewasa pada umumnya. Tidak sepikiran dengan bunda. Belum bisa memandang sesuatu yang berhubungan dengan Milan itu hal yang biasa-biasa saja. Namun aku tetap mencoba membukanya untuk bunda.

"Gini loh, Bun.. Eh tapi janji jangan ketawain Anggi ya, Bun?"

"Apa masalahnya sampai bunda ketawain Anggi?"

"Ya kan siapa tau ini masalah kecil yang Anggi besar-besarkan aja, menurut bunda.."

"Hmm sekarang mending cerita dulu deh. Urusan ketawain atau apalah itu, belakangan aja"

"Ngga bisa, Bun.. Bunda janji dulu sama Anggi.. Ya, Bun?"

"Iyadeh, Princess.. Bunda janji ngga akan ketawain, selawak apapun cerita Anggi. Hehehe"

"Ah Bundaaaa!!"

Jadi juga aku bercerita. Bunda mendengarkan dengan penuh perhatian dan tak ada komentar sampai aku menyelesaikan kisahku itu.

Dua hari yang lalu ia hadapi ulangan harian Fisika. Dan di hari-hari sebelumnya aku juga dia, tak saling sapa bak tak pernah kenal. Jujur saja, aku tidak tau apa masalahnya. Aneh, kan? Namun itulah yang terjadi. Menurutnya, saat malam sebelum hari H ulangan Fisika itu lah ia bertanya-tanya, mengapa bisa sampai hati mendiamkan aku, hingga ia tak bisa fokuskan pikirannya pada buku setebal Seri Harry Potter and The Half Blood Prince, yang satu persepuluhnya harus ia baca untuk diujikan esoknya. Dia tetap belajar sampai larut, dengan berusaha menepikan pikiran dari sosokku. Tapi menurutnya, tak bisa. Lalu ulangan Fisika dimulai dan rasa dalam dadanya harap cemas. Badannya panas dingin. Tak satupun bacaan sebanyak 40 halaman, bisa ia cerna dengan baik dan benar. Ia: Milan Farera Ibda.


- (oleh @captaindaa - http://afrohsahenda.blogspot.com)

Lagu Cinta untuk Gita: Simfoni Kedua #2

Jakarta, Juli 2005
Ketukan tiga kali di pintu kamar membuat konsentrasi belajar Sammy buyar. Dari meja belajarnya, ia menoleh. Ia letakkan sejenak buku Fisika yang ada di genggamannya.
"Sam… buka pintunya," ujar seseorang dari luar dengan suara serak.
Sammy mendengus kesal. Ia mengenali suara itu. Ia betulkan letak kacamatanya untuk sejenak, lalu bangkit dari kursi dan berjalan mendekati pintu. Langkahnya gontai. Ia putar gagang pintu, lalu menarik pintu itu perlahan. Seorang wanita dengan rambut beruban muncul di hadapannya. "Ada apa, Ma?" tanyanya.
"Turun sebentar. Papa mau ngomong sama kamu," ujar Bu Jessica, ibu Sammy. Tatapannya terasa dingin dan tajam.
Sammy memasang tatapan aneh. "Papa? Tumben—"
"Ini penting. Pokoknya kamu turun sekarang," potong Bu Jessica dengan nada datar. Ia pun berlalu dari hadapan Sammy menuju anak tangga.
Sammy menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. Aneh banget. Nggak biasa-biasanya Papa ngajak ngobrol, katanya dalam hati. Dengan kepala yang dipenuhi tanda tanya, ia pun pasrah mengikuti ibunya menuruni tangga.
Di ruang keluarga, Pak Gideon telah duduk menunggu. Televisi menyala dengan suara lirih. Pak Gideon menatapnya dengan tatapan kosong. Kecemasan tampak jelas di wajahnya. Sammy bisa menangkap jelas itu semua. Ia telah berada di lantai bawah dan bergerak menuju sofa.
Bu Jessica duduk di samping suaminya. Ia elus pelan lengan sang suami. Pak Gideon menatapnya sesaat. Pandangan lelaki tua itu lalu terarah tajam pada anak semata wayangnya.
Sammy duduk di atas sofa yang empuk. Meskipun empuk, namun entah mengapa rasanya tak nyaman. Ia memiliki firasat buruk akan ini semua. Entah sudah berapa lama ayahnya tak berbicara padanya. Ayahnya yang pengusaha di bidang kuliner itu sehari-hari selalu sibuk mengurusi rumah makannya. Jika sedang senggang, Pak Gideon selalu bermain golf atau berkaraoke-ria dengan rekan bisnisnya. Sekalinya berada di rumah, ia pasti mengurung diri di dalam kamar yang juga menjadi ruang kerjanya. Entah apa yang dilakukannya di sana, Sammy tak pernah mengetahui. Ia jarang memasuki kamar orangtuanya.
"Seperti yang kamu tahu, usaha Papa hampir bangkrut," kata Pak Gideon membuka percakapan.
Sammy diam tak bereaksi. Ia sudah mendengarnya beberapa bulan terakhir. Sempat mengira itu hanya gosip murahan yang keluar dari mulut salah satu karyawan ayahnya. Baru kali ini ia mendengarnya dari mulut ayahnya sendiri. Dan entah mengapa, ia tak merasa kasihan. Sebaliknya, ia justru bersyukur. Semoga saja, jika usaha Papa bangkrut, Papa bisa punya lebih banyak waktu untuk keluarga, pikir Sammy beberapa kali.
"Utang keluarga kita juga semakin menumpuk," lanjut Pak Gideon. Titik-titik air tampak di sudut kedua matanya. Dahinya berkerut-kerut. Otot wajahnya terlihat menegang. "Kalau Papa tak mendapatkan suntikan modal bulan depan, rumah makan warisan kakek buyutmu itu terpaksa tutup. Kita bahkan harus pindah dari rumah ini." Ada kegetiran dalam nada suaranya. Dua orang yang ada di ruangan itu bisa merasakannya.
Sampai detik ini, Sammy masih tak mengerti kenapa ayahnya harus membicarakan ini semua. Ayahnya tak pernah menceritakan masalah apapun yang ada di rumah makan. Biasanya, Sammy mendengar berbagai informasi itu dari karyawan-karyawan ayahnya.
"Papa minta bantuan kamu," kata Pak Gideon dengan penuh penekanan.
Sammy menatap kedua mata sayu ayahnya. Baru ia sadari, kedua mata ayahnya sembab. Ia menebak, mungkin karena terlalu lama menangis. "Apa… yang bisa Sammy lakukan?" Suara Sammy terdengar lemah. Gabungan antara kebingungan dan kekhawatiran. Ia sudah memiliki firasat buruk sejak di kamar tadi.
"Kamu ingat Rena?" tanya Pak Gideon.
Sekilas, wajah seorang gadis cilik tergambar dalam kepalanya. Seorang gadis berwajah bulat putih dan rambut lurus panjang. Dahinya selalu tertutup poni sepanjang alis. Gadis yang pendiam, namun bisa menjadi liar ketika berada di tengah kerumunan. Seingatnya, gadis cilik itu senang mencari perhatian. Jika menghadiri pesta ulangtahun, ia tak pernah absen untuk tampil. Menyanyi, menari, membaca puisi, apapun akan ia lakukan untuk bisa mendapatkan perhatian teman-temannya.
Sambil masih menatap mata ayahnya, Sammy mengangguk pelan.
"Dia sekarang sedang diorbitkan untuk jadi penyanyi. Kamu tahu sendiri, Pak Leo dari dulu selalu ingin anaknya jadi penyanyi," kata Pak Gideon. "Dan Pak Leo memiliki modal yang cukup untuk membiayai Rena. Lebih dari cukup. Bisnis propertinya semakin maju sekarang ini."
Jika mengingat Rena, ada satu hal yang selalu Sammy ingat: ketika masih kecil, ia sempat dijodohkan dengan Rena. Ayahnya dan Pak Leo sudah menjadi sahabat karib sejak masih bujang. Keduanya menikah hampir dalam waktu yang bersamaan, dan juga memiliki anak dalam waktu yang hampir sama. Sammy lebih tua tiga bulan dari Rena. Pak Gideon dan Pak Leo sepakat menjodohkan anak mereka, agar hubungan keduanya bisa lebih dekat. Namun perjodohan itu tak berlangsung lama. Ketika Pak Leo dan keluarganya memutuskan pindah ke Surabaya, cerita tentang perjodohan itu pun menguap ke udara—seperti sebuah dongeng lama yang semakin tergerus oleh waktu.
"Pak Leo dan Rena sudah kembali ke Jakarta," kata Pak Gideon. "Seminggu yang lalu Papa sempat bertemu dengan Pak Leo. Papa minta bantuan untuk usaha kita. Pak Leo malah menyinggung-nyinggung soal perjodohan kamu dan Rena."
Sammy mulai bisa mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Ia hanya membisu. Sesekali tatapannya tertuju pada wajah lesu ibunya.
"Papa ingin kamu menikah dengan Rena secepatnya."
"M-menikah?!" seru Sammy. Kepalanya mendadak linglung.
"Cuma itu satu-satunya jalan keluar."
"Tapi Sammy baru lulus SMA. Sammy masih mau kuliah dulu, terus kerja."
"Kalau kamu nggak mau menikah dengan Rena, kamu nggak akan pernah bisa kuliah. Papa nggak punya uang untuk mengkuliahkan kamu."
Sammy terdiam. Ia tak tak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Sejak masuk SMA, cita-citanya hanya satu: ia ingin kuliah di UI. Namun kini masa depannya mendadak gelap. Jika tidak kuliah, apa yang harus ia lakukan? Bekerja? Apa yang bisa ia lakukan? Apakah nilai-nilai tingginya dalam pelajaran Fisika, Biologi dan Matematika bisa memberikannya pekerjaan? Sammy bergidik ngeri membayangkannya.
"Pak Leo sudah setuju dengan rencana Papa ini," kata Pak Gideon. "Rena pun tampaknya sudah setuju. Hari Sabtu dia dan orangtuanya akan datang ke sini, menemui kamu."
Sammy menarik napas berat. Umurnya belum genap 18 tahun. Tak pernah terbayang ia akan menikah dalam usia yang teramat muda.
"Besok pagi akan ada guru musik yang datang ke sini." Bu Jessica yang sedari tadi terdiam, akhirnya buka suara.
"Guru musik?" tanya Sammy.
Pak Gideon mengangguk. "Pak Leo ingin sekali memiliki menantu yang bisa bermain musik, agar bisa mendukung profesi anaknya. Papa terpaksa berbohong. Papa mengatakan bahwa kamu bisa bermain gitar dan berbagai alat musik lainnya. Pak Leo kelihatannya percaya dengan kata-kata Papa."
"Kamu harus bisa bermain musik sebelum Rena datang ke rumah," kata Bu Jessica.
Sammy terhenyak. Ia sulit mempercayai indera pendengarannya. "T-tapi, Sabtu kan tinggal empat hari lagi. Gimana caranya Sammy bisa main musik? Sammy nggak ngerti apa-apa tentang musik."
Pak Gideon tersenyum simpul. Dengan tatapan tajam, ia berkata, "Itulah kenapa Papa memilihkan guru musik terbaik untuk kamu. Namanya Pak Prasetyo. Dia dosen musik. Kamu pasti sudah bisa bermain gitar waktu Pak Leo dan Rena ke sini."
Sammy tertunduk. Kelopak matanya terkatup. Dalam mimpinya yang terburuk, kejadian seperti ini belum pernah muncul. Ini lebih buruk dari mimpi buruk. Jauh lebih buruk, rintih Sammy dalam hati.
***

(Bersambung)

~ (oleh @garirakaisambu)

Bianglala : (Bukan) Pertemuan Terakhir (1)

Satu bulan lalu.

Setelah tugas kelompok kuliah yang dikerjakan di salah satu rumah temanku selesai. Bukannya langsung pulang dan beristirahat karena sudah hampir seharian berkutat dengan hitungan dan gambar. Aku malah memilih mengarahkan mobilku ke satu tempat di mana semua kenangan mengumpul jadi satu. Inilah salah satu keanehanku, jika kelelahan rindu biasanya menyerang lebih hebat.

Aku tahu, menghampiri kenangan sama saja menghampiri kesedihan berkepanjangan. Tapi, bagaimana lagi aku bisa meneriakkan rinduku padanya selain cara ini? Rindu yang biasanya selalu berhasil kusimpan rapat dalam hati. Nyatanya kali ini tidak bisa lagi disimpan begitu saja. Dan tidak mungkin juga aku bisa meneriakkan rindu ini begitu saja padamu bukan? Karena sudah hampir tiga tahun kamu tidak pernah menghubungiku kembali. Jadi sebenarnya jelas kan kalau 'urusan' kita benar-benar sudah selesai? Tapi kenapa aku masih merindu? Ah ternyata ini hanya 'urusan' satu pihak saja. Hatiku.

Parahnya, ketika mobil baru saja terparkir manis di parkiran sekolah bercat abu-abu ini. Satu tetes air mata sudah jatuh di stir mobil.

Kupandangi buliran air mata yang jatuh untuk rindu dan luka yang menganga itu, bingung.

**

Aku tidak langsung keluar mobil, berencana pun tidak. Yang kutahu bahwa aku hanya 'butuh' datang ke tempat ini untuk memanjakan rindu yang terlalu.

Sudah setengah jam berlalu dan aku masih duduk di depan kemudi. Memandangi ratusan pelajar berseragam putih abu-abu lalu lalang di jam pulang sekolah menjelang petang. Dengan posisi mobil yang terparkir menghadap barat ini pula. Aku sangat bisa merasakan cahaya senja yang menyapa wajahku dengan oranye-nya.

Aku pun ingat sekali, bagaimana tiap hari selama akhir-akhir masa sekolahku di gedung ini. Kita - aku denganmu berjalan malu-malu dari kelas sampai parkiran menuju motormu untuk pulang. Dan bagaimana aku selalu berusaha menyembunyikan senyumku dibalik helm putih yang selalu kamu sediakan untukku tiga bulan belakang.

Tiga bulan sebelum kelulusan, juga tiga bulan sebelum pengumuman segala penerimaan mahasiswa baru yang bersifat tanpa tes atau beasiswa.

Dan tepat setelah enam bulan itulah, aku baru menyadari bahwa ada yang 'belum' jelas di antara kita. Dan lebih parahnya, aku bahkan belum tahu apakah dalam hati cinta atau hanya obsesi semata. Karena kamu adalah salahsatu bintang sekolah. Sayangnya, kamu (seoertinya) terlanjur mencintaiku lebih dulu dan lebih dalam. Sedangkan aku masih meragu.

Aku juga terlambat menyadari, bahwa ternyata kamu adalah salah satu siswa yang mendapat beasiswa di sebuah college di Jerman.

Aku baru menyadari dan tahu, setelah kamu pergi.

Sudah sedemikian sakit hatinyakah dirimu tentang aku yang meragu hingga memberi tahuku tentang beasiswa itu pun tidak?

Lagi-lagi ada buliran yang jatuh dari mataku. Tapi kali ini, untuk penyesalan dan kata maaf yang tak terucap.

Dan tiba-tiba ada yang mengetuk kaca mobilku. Saat aku menoleh, aku terkejut melihat wajah yang tersenyum itu. Campuran antara bahagia dan kaget.


~ (oleh @cHaMarsya)

Masih Tentang Kamu: Sebentar, Aku Pergi Dulu.

                Malam itu aku memutuskan tidur lebih cepat dari biasanya. Ini di luar kebiasaanku, karena mata ku tidak akan mau terpejam bila malam belum sempat berpamitan dan hari berganti nama. Namun hati ini meminta untuk diistirahatkan, setelah seharian ia ikut bersedih saat mata ku terus-terusan menangisi pertengkaran aku dan Lio.
                Kita mengobrol di kantin sekolah yang mulai sepi, tapi kali ini tidak ditemani oleh dua mangkuk mie goreng dan dua gelas es teh manis. Obrolan kita pun tidak lagi berisi gelak tawa dan. Hanya ada aku dan kamu, yang sudah kenyang akan emosi yang mendesak ingin dikeluarkan. Satu pertengkaran lagi, masalah yang sama lagi, dan semuanya seakan sengaja diputar ulang untuk menyakitiku lagi.
                "Kalo kamu masih terus masalahin Arini kaya gini, kita putus aja yah.. Aku capek Ra. Aku capek." Kamu mulai bicara setelah kita cuma saling menatap hening selama setengah jam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk saling menyakiti.
                "Yaudah. Terserah kamu, Yo. Aku mau pulang aja sekarang.. Please?" Akhirnya cuma itu yang mampu keluar. Terlalu banyak hal yang ingin aku sampaikan hingga akhirnya hanya dapat terwakili lewat air mata. Pipi ku mulai basah dan mengundang keingintahuan nenek penjual mie goreng yang sedang pura-pura sibuk di belakang kamu.
                "Ayo, aku anter. Jangan nangis donk, Rara.. Jangan buat ini semakin terasa berat buat aku." Katamu sambil menghapus air mata ku asal-asalan dengan ujung lengan sweatermu. Lio, sikapmu yang seperti inilah yang justru akan membuat aku semakin tidak rela untuk lepas dari kamu. Sikap canggung yang selalu kamu tunjukkan tiap kali kamu ingin menunjukkan rasa sayang yang dalam kepadaku. Sikap romantis yang selalu gagal kamu praktekkan. Dadaku semakin menyesak dan tangisku malah makin jadi waktu kamu tarik aku menuju parkiran.
                "Yo.." Aku merengek agar kamu bersuara. "Jangan ngebut Yo! Aku takut!" Kamu justru semakin melaju dengan mata yang perlahan memerah. Aku pasrah dan larut dalam tangisan yang bising, seakan-akan sedang berlomba melawan deru mobilmu.
                "Bisa diem gak sih, Ra!" Kamu semakin emosi namun kecepatan mobil tidak berubah. Masih sama kencangnya dengan ikatan yang seakan-akan mencekik kerongkonganku dan dadaku.
"Iya tapi kamu jangan kaya gini donk Yooooo....Ngomong sama aku! Jangan diem aja!" aku setengah berteriak sambil susah payah mencoba tidak terdengar terisak-isak. Tentu saja gagal.
"Liooooo!"
"Ini apaan sih ah!" Kamu menghempas tanganku yang dari tadi mengguncang-guncang kerah seragammu.
Arini.. Karena dia, aku harus mengalami drama di tengah jalan seperti ini. Aku yakin, di dalam hatinya, sebenarnya Lio sadar ia bersalah. Lio hanya terlalu malas untuk membahasnya. Terlalu malas untuk memilih siapa yang harus ia bela. Aku, atau Arini sahabatnya. Kali ini alasannya putus denganku adalah agar aku bisa berhenti berjuang menahan sakit hati untuk alasan yang itu-itu saja. Lio selalu saja salah kaprah akan konsep 'sakit hati'nya itu. Ia selalu merasa hal itu bisa secara otomatis melindungi aku dari rasa sedih dan sakit hati ini. Kamu lepaskan aku, itu justru lebih sakit, Lio..

"Ya, gw sih doain yang terbaik buat lo, Yo. Tapi mudah-mudahan lo mau mikirin lagi deh, apa bener, Rara itu baik buat lo?"

Isi sms Arini yang kubaca dari HP Lio tadi siang kembali terngiang-ngiang di kepala ku. Ironis, betapa deretan kalimat sesederhana itu bisa mengantarkan aku dan kamu sampai disini. Membuat kita bagai sepasang rel kereta yang masih saling setia mendampingi, namun tidak satu.

"Udah kangen lagi aja deh aku sama kamu.. hihi.. Aku bobo duluan yah?  Goodnight, love. :)"
Tersadar akan apa yang aku ketik barusan, aku pun menangis lagi.

(Clear message)                                                  

Lalu aku terlelap dalam air mata..

"Selepas kau pergi..
Tinggallah disini ku sendiri..
Ku merasakan sesuatu..yang tlah hilang di dalam hidupku.."
Selepas Kau Pergi - Laluna


- (oleh: @bchastity - www.chastifier.tumblr.com)