Tentang 30 Hari Cerita Cinta

03 October 2011

Selembar Masa Lalu

Aku masih berkutat di meja kantor. Lembur dan lembur lagi. Dua minggu ini aku selalu pulang di atas pukul delapan malam dan harus sudah di ruangan kerja pada pukul delapan pagi. What a life!

Sebuah berkas mengusik perhatianku. Ada nama Hendro Prabowo di sana. Aku penasaran. Hendro yang mana lagi ini? Kubuka berkasnya dan membaca alamatnya. Jalan Cendana nomor 9B. Dia! Ya Tuhan, dia masih tinggal di sana? Dengan siapa? Orangtuanya sudah wafat. Dia anak tunggal. Kekayaan yang pastinya berlimpah... Hanya dinikmati sendiri. Benarkah?

Aku mencoba melihat database di komputer. Ternyata Hendro termasuk pemain tender yang aktif dan (menurut istilahku) agak brutal dan nekat. Hampir 80% tender dimenangkannya. Semua bernilai triliunan rupiah. Terbesar sebuah tender rahasia yang dilansir senilai seratus triliun. Sebuah mega proyek. Aku sendiri tidak tahu apakah itu. Aksesnya terkunci.

Seorang Hendro yang bertubuh tinggi tegap, berkulit putih, pendiam, dan kurang suka bergaul. Hanya saja anehnya, relasi dia banyak sekali.  Aku sering membaca namanya di media cetak maupun online. Tapi, iya itu tadi, karena dia kurang suka bergaul alias tertutup, dia tuh gak ketahuan tinggalnya di mana. Hanya orang-orang tertentu yang diberi akses itu.

**

Aku tetap melamunkan Hendro hari ini ketika sedang menunggu Rico di McD Kemang. Sore yang macet, pastinya. Hujan, pula. Aku sudah mencoba menghubungi Rico, tetapi BB dan androidnya sama-sama tak aktif.

Saat aku hendak memesan segelas Cola untuk yang ketiga kalinya (yah, aku candu minuman berkarbonasi ini sekarang), kulihat sosok yang baru kupikirkan. Dengan setengah sadar, kukumpulkan keberanian untuk menyapanya. "Pak Hendro?"

Yang disapa menoleh. Dia mengerutkan dahinya dan seketika tampak terkejut. "Tania?"

Giliran aku yang terkejut. Dia ingat! "Ah, iya. Benar, Pak. Saya Tania."
"Sejak kapan kamu kaku dan resmi padaku?" tanyanya dengan pandangan tajam.
"Ya, saya pikir karena..." tenggorokanku seperti tercekat.
"Aku masih seperti dulu, Tania. Sama. Aku adalah Hendro yang dulu."
"Tapi rasanya sekarang berbeda."
"Ini kartu namaku. Hubungi aku di sini. Ini pin BB dan ini akun twitterku," Hendro menuliskan sesuatu di kartu namanya. Rupanya tak sembarangan orang bisa mendapat pin BBnya.

Aku menghela nafas. "Terima kasih, Pak..."
"Hendro. Tetaplah memanggilku begitu, Tania," pintanya sopan tetapi suaranya ditekan tanda tak mau dibantah.
Seseorang di sebelahnya membisikkan sesuatu.
"Oke, Tania. Aku harus pergi. Segera hubungi aku. Kita makan malam, secepatnya. Bye," Hendro mencium pipiku dan segera berlalu.

Aku masih terpana ketika Rico menepuk pundakku. "Heh! Baru juga dicium pengusaha kelas kakap, belum kelas paus," ledeknya sambil mencium keningku. Aku mencibir.

"Kamu tahu siapa dia?" tanyaku penasaran.
"Siapa yang gak tau dia sih, Tania. Pertanyaan bodoh!" Rico menjitak kepalaku. "Seharusnya aku yang bertanya dia itu siapanya kamu?"
"Temannya Aryo, sebenarnya. Aku kenal waktu bertemu dia di Kuta. Sekitar lima belas tahun yang lalu."

Mulut Rico membulat. "Sebuah masa lalu? Kok aku gak diceritain sih?"
"Penting buatmu?" aku balik bertanya.
"Banget. Dia itu incaran semua perempuan, lho."
"Kecuali aku," sergahku.
"Termasuk kamu," ralatnya cuek.
"Ya gaklah!"
"Ya terus kok dia bisa menciummu segitu mesranya?"
"Dari mana kamu bisa menilai itu ciuman mesra?"
"Aku ini lelaki, Tania! Aku tau dan bisa membedakan!" suaranya agak meninggi.
"Kamu cemburu," aku tertawa kecil.
"Ngapain lelaki begituan aku cemburuin. Gak level!"

Aku tertawa. "Hey! Dia itu gay!" bisikku sambil tetap tertawa.
"Gak mungkin ah!" Rico terkejut. Iya, pastinya terkejut. Radar lelakinya tka berfungsi kali ini. Puas rasanya!
"Sorry to say, it is true," aku mengerling."Nanti kuceritakan. Sekarang, apa yang kamu bawa dari galeri. Kanvas titipanku sudah diambil?"
"Yup, sudah. Kamu sudah memesankan aku Big Mac, kan?"

Dan kami menghabiskan senja dengan menikmati rintik hujan dan menyaksikan kemacetan dari balik meja sambil mengunyah kentang goreng.

-----

Special: yang tak pernah memikirkanku.




~ (oleh @Andiana)

Chemistry: 14

You should marry him part 1


A D R I A N


"Aku mau untuk dipertimbangkan."
"Maksud kamu apa sih? Kamu jelas tau kan yang kamu minta ini hatiku." Leah menjawab dengan jelasnya. Tegas.
"Aku emang minta kamu dan hati kamu. Bisa? Aku serius."
"Kamu main-main yah? Lagi taruhan?"
"Aku punya banyak mainan. But believe me, perempuan bukan salah satunya." Aku harus bisa meyakinkan Leah.


"Le, aku masih menunggu jawabanmu."
"Kamu jelas-jelas tahu aku sedang dekat dengan James."
"Aku gak peduli, aku mau dipertimbangkan. Please, kasih aku kesempatan. Jawabannya cuma dua; Iya ato enggak!"


"Kenapa kamu baru muncul sekarang sih, Adrian Rizqi ? Where the hell have you been?"
Aku terdiam. Tak punya jawaban. Aku ada disini. Hanya saja aku tak berani.
"Kamu akan maju terus apapun resikonya?"
Aku mengangguk. Mantap.


L E A H


"Bu, berilah dia kesempatan, dia lelaki yang baik. Restuilah." Aku bersimpuh.
"Ibu belum mengakui. Saat ini, kalian cuma teman. Ibu belum setuju. Tunggu dulu pendapat bapakmu."
"Kenapa harus sesulit ini bu?"


Aku terdiam. Mengetahui alasan Ibu sangatlah menyakitkan. Harusnya aku tak bertanya.




~ (oleh @WangiMS)

#18 Kembali ke Siti Nurbaya

Hallo Sayang, Apa Kabar? Maaf sinyal susah banget disini.
Maklum aku gak sering di Daruba (Ibukota Kabupaten Morotai), tapi menjelajah ke seluruh Kebupaten Morotai, pergi ke Pulau Zum-Zum, Dodola Besar, Dodola Kecil dan Ngele-Ngele dan kamu tau Nay pantai-pantai disitu semua adalah pantai terindah yang pernah aku lihat. Hahahaha, kamu pasti iri deh, iri. Oh iya Nay, kamu juga harus tahu asal usul Pulau ini. Dari yang aku temukan sama Leo disini, Morotai itu erat kaitannya sama Suku Moro, suku asli Pulau ini yang sekarang sudah seperti orang bunian. Orang bunian memang diyakini sudah seperti makhluk yang beda dimensi dengan kita alias gaib. Cerita Suku Moro ini tidak jauh berbeda dengan kisah Suku Badui di Banten, kedua suku ini memang "melarikan" diri ke dalam hutan untuk lepas dari cengkraman kekuasaan superior yang dapat menggangu keberlangsungan adat istiadat mereka. Inilah persamaan yang aku tangkap dari kedua suku ini, mereka sama-sama mengasingkan diri demi menjaga keberlangsungan keyakinan dan tradisi mereka, perbedaannya hanya dari siapa mereka "melarikan" diri. Badui dari kekuasaan Islam sedangkan Moro dari Portugis, walaupun menurutku keduanya sama saja.
Semua berawal dari abad ke-15 Masehi, ketika datang Portugis ke tanah Halmahera untuk menguasai regulasi atas rempah rempah dengan melakukan banyak cara diantaranya, mengambil paksa rempah-rempah, menarik pajak yang sangat tinggi dari warga, mengadu domba yang pada ujungnya memicu pergolakan diantara Orang Halmahera. Sebelum semua ini terjadi Suku Moro merupakan suku utama yang sejak dulu berdiam di Jailolo (Halmahera) dibawah kepemimpinan seorang raja yang adil dan bijaksana. (Jika dilihat dari tahun berlangsungnya peristiwa tersebut, dapat dikatakan Raja yang memerintah ini kemungkinan besar menghadapi konflik perang saudara dengan kerajaan Ternate, Bacan atau Tidore yang pada masa itu memang sangat kuat bersaing menancapkan hegemoninya di seluruhMaluku walaupun keempat kerajaan ini dikenal dengan Moloku Kie Raha, akan tetapi bila melihat Portugis yang ada dibelakangnya dapat dipastikan ia berperang melawan Ternate yang memamng memiliki latar belakang historis yang cukup erat dengan Portugis).
Disinilah awal mula stereotype yang menyebutkan Suku Moro menjadi sedikit gaib, perang saudara yang terjadi akibat campur tangan Portugis membuat Raja Jailolo tersebut memutuskan untuk melarikan diri bersama seluruh pengikutnya (Suku Moro) kedalam hutan, setelah berabad-abad menghilang ke dalam hutan suku ini diyakini masyarakat Halmahera telah menyatu dengan hal-hal yang diluar akal sehat manusia, walaupun interaksi masyarakat setempat dengan suku moro ini masih terdengar hingga saat ini.
Tapi kamu harus tahu Nay, apa yang mereka perjuangkan dengan cara itu (mengasingkan diri) ternyata cukup berhasil. Kepercayaan merka tentang kesinergian kehidupan antara seluruh makhluk hidup dapat tercipta dengan baik, contoh mudahnya disini seseorang tidak dapat dengan entengnya menebang atau membunuh makhluk hidup yang ada. Mereka takut dan pantang sekali melakukan itu, mereka khawatir apabila pohon yang mereka menebang atau binatang yang mereka sembarangan membunuh adalah jelmaan dari suku Moro dan itu dapat menimbulkan sesuatu yang tidak baik. Aku rasa kamu mengerti kan Nay arahku kemana? Jangan tertawakan keyakinan mereka itu dengan hal-hal yang dikatakan takhyul, sirik, musyrik atau apalah bahasa lain yang memandang mereka salah bahkan rendah, tapi coba kita rasakan efeknya dari "kepolosan" mereka berpikir itu. Berarti banyak pohon yang masih menjulang tinggi hidup menghasilkan oksigen yang bersih dan segar, masih banyak binatang-binatang yang hidup sehingga rantai makanan tidak terganggu dan apa dampaknya?? Keberlangsungan hidup Manusia, mereka tidak perlu gelar tinggi untuk melakukan itu, meraka tidak perlu embel-embel peningkat derajat "tai kucing" yang diperlukan oleh orang-orang pragmatis, dan yang jelas apa yang mereka yakini dan jalankan tersebut adalah sesuatu yang sangat tidak dijalankan oleh manusia-manusia di kota-kota besar. Yah tapi itulah resiko peradaban, semakin modern semakin menuntut untuk tidak selaras dengan hal-hal tradisional yang mereka anggap kuno dan mistis.
Oiya Nay, disini keseniannya juga keren-keren loh, hehehe. Kamu pasti iri lagi. Selain alamnya yang layaknya surga, budaya dan adat istiadatnya yang berkarakter ternyata Morotai juga memiliki kesenian yang unik. Pertama kali aku sama Leo datang ke Kantor Bupati Daruba, kita disambut dengan Tarian Cakalele, ini tarian sih emang terkenal banget disekitaran Maluku. Tarian Cakalele kalau menurut John (Guide kami selama disini) itu merupakan Tarian khas seluruh Maluku yang dimainkan oleh sekitar 30an orang laki-laki dan perempuan. Penari laki-laki biasanya membawa klewang (Senjata khas Maluku atau biasa juga disebut Parang) dan Salawaku sejenis Tameng, sedangkan penari wanita menggunakan Lenso sejenis sapu tangan. Pakaian penari laki-laki bernuansa warna merah dan kuning tua, mengenakan topi terbuat dari alumunium yang diselipkan bulu ayam berwarna putih. Berbeda dengan pakaian penari lelaki yang didominasi oleh warna merah dan kuning, penari perempuan menggunakan warna putih untuk warna pakaiannya. Tarian ini dibawakan berpasangan dan mereka menari diiringi musik beduk (tifa), suling, dan kerang besar (bia) yang ditiup.
JIka dilihat dari sudut pandang antropologi, menurutku tarian ini sarat sekali dengan bahasa-bahasa simbol yang digunakan oleh orang Maluku untuk menggambarkan harga diri dan nilai-nilai sebagai orang Maluku. Ternyata Leo pun juga memiliki pandangan yang sama, terlebih didaerahnya sana juga ditemukan tarian sejenis yang juga memiliki maksud yang sama. Setelah aku dan Leo bertanya pada John, barulah kami tahu arti pasti dari simbol-simbol yang tadi kami kira-kira tersebut.
Kalau kata John nih Nay, tarian ini sangat istimewa bagi mereka, tiga simbol utamanya terletak pada, satu: Pakaian berwarna merah pada kostum penari laki-laki, menyimbolkan rasa heroisme terhadap bumi Maluku, serta keberanian dan patriotisme orang Maluku ketika menghadapi perang. Dua: Pedang pada tangan kanan menyimbolkan harga diri warga Maluku yang harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan. Dan terakhir, Tameng (salawaku) dan teriakan lantang menggelegar pada selingan tarian menyimbolkan gerakan protes terhadap sistem pemerintahan yang dianggap tidak memihak kepada masyarakat. Ternyata dibalik itu semua tariaan ini juga dipakai sebagai tarian perlawanan atau protes sosial untuk pemerintahan yang tidak berjalan dengan semestinya. Benar-benar syarat dengan makna Caklele ini, kebudayaan kita memang termasuk kebudayaan awal di muka bumi ini jadi tidak mengherankan jika kebudayaan-kebudayaan di Indonesia memiliki nilai tinggi jauh sebelum semua hegemoni asing hadir di Nusantara, jauh sebelum bangsa Arab, Eropa dan Cina membawa ideologi-ideologi mereka kesini bangsa kita sudah memiliki peradaban yang tinggi. Tapi apa sekarang yang terjadi? Toleransi masyarakat yang ada di Indonesia jauh dari yang diharapkan, kemana tadi nilai-nilai luhur yang menjadi ujung tombak melestarikan tatanan alam? Terganti oleh ideologi-ideologi asing yang terbawa masuk kesini dalam apapun bentuknya, baik agama, ekonomi dan politik yang sebenarnya tidak cocok berada disini. Agama yang tidak diterapkan dengan benar membawa fanatisme berlebihan yang diujungnya sudah pasti bertolak belakang dengan kebudayaan, terlebih akan budaya yang katanya tidak selaras dengan kaidah-kaidah agama. Contoh pengkeramatan akan pohon, ritual terima kasih pada Dewi Padi itu yang dianggap haram? Coba kita lihat esensinya, diposisikannya sebuah pohon sebagai sesuatu yang keramat dengan tujuan agar manusia dengan tidak mudah menebangnya karena takut akan kutukan-kutukan yang menimpanya, dengan begitu keberlangsungan pohon yang merupakan sumber kehidupan tetap berlangsung (jelas dong ia menghasilkan oksigen yang semua orang harus hirup jika masih ingin hidup). Kita lihat bahasa dari kenyataan itu, apa yang sebenarnya coba disampaikan dari "pengkeramatan" tersebut, jangan langsung dibilang sirik. Lagipula tradisi itu sudah ada jauh lebih lama dari lahirnya agama-agama yang melarangnya, itu hanya bentuk manusia kuno menerjemahkan alam tanpa ada bimbingan dari siapa pun.
Pun juga dengan ekonomi, ekonomi saat ini tidak berpihak pada ekonomi mikro yang pada kenyataanya justru sektor terbesar yang dijalankan oleh masyarakat di Indonesia. Padahal jauh sebelumnya Jayabaya sudah memperingatkan pada kita melalui jangkanya. Ketika pasar kehilangan gaungnya itulah tanda akhir zaman (akhir zaman disini menurutku adalah tidak meratanya kesejahteraan yang diperoleh oleh seluruh umat manusia), kalau aku lebih mengartikan kata-kata ini dengan banyaknya mall yang didirikan mengalahkan pasar-pasar tradisional, dimana gaung yang dimaksud adalah proses tawar menawar yang tidak kita temukan di swalayan dan semacamnya. Jika sudah begitu apa yang terjadi? Ketidakberpihakan kepada masyarakat kecil dan keuntungan yang hanya akan didapat oleh sebagian orang, terutama yang memiliki modal besar. Ini yang diharapkan dari bangsa yang tumbuh tanpa melihat jauh nilai-nilai luhurnya yang terkandung dalam tiap nafas kebudayaan dasar yang membentuknya, sebuah penghianatan kepada cita-cita luhur. Untuk itulah aku disini Nay, aku akan mencoba mengubah sedikit pandangan pemerintah melalui kerjaan ini. Sudah saatnya pemerintah menggunakan budaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya terutama tempat-tempat berpotensi yang jumlahnya ada ribuan di Indonesia seperti Morotai ini. Coba jika seluruh tempat disana dikelola dan diakomodasir seluruh potensi wisata dan budayanya, hal itu akan menghidupkan geliat ekonomi daerah tersebut dan ujungnya pendapatan akan merata keseluruh wilayah di Indonesia. Masih tidak yakin dengan kata-kataku? Sudah ada kok contohnya, Bali. Keberhasilan Bali mempromosikan, mempersiapkan dan mengelola sektor pariwisata dan budayannya sudah menjadi ujung tombak pendapatan perekonomian masyarakatnya. Dan Sail Morotai 2012 mengarah kesana, itulah yang menyebabkanku benar-benar "khusuk" pada pekerjaanku kali ini.
Aku tahu kamu pasti akan menertawakan uraianku diatas yang panjang lebar, tetapi ya memang itu yang terjadi dan aku rasa kamu juga paham. Hehehe.
Oiya selain Cakalele, ada kesenian yang lebih khas dalam menggambarkan Maluku Utara, namanya Musik Bambu Hitadi. Sesuai dengan namanya Nay, alat music ini berasal dari bamboo dengan pengaturan nada music berdasarkan nada-nada yang dibutuhkan pada lagu yang diiringi, unik kan? Jadi setiap lagu akan selalu berbeda. Hitadi ini bener-bener musik tradisional dan biasanya yang mainin dengan penyanyinya berjumlah 15 orang, kapan-kapan kamu harus lihat Nay dan tenang aja aku udah bawa rekamannya. Hehehe.
Di Morotai ini juga banyak menyimpan peninggalan Perang Dunia Nay, disini dahulunya merupakan strategis yang diperebutkan oleh sekutu dan jepang. Morotai dua kali mengalami pendudukan tentara asing. Pertama, oleh tentara Jepang di bawah pimpinan Jenderal Kawashima pada 1942 dan tentara Sekutu pada 1944 di bawah komando Jenderal Douglas McArthur. Jadi di Morotai ini benar-benar banyak ditemukan benda-benda sisa perang kayak, panser, tank, pesawat tempur, bom, senapan. Belum lagi sisa landasan yang masih menyisakan kehebatan masa lalunya ada tujuh jalur landasan pacu yang masing-masing memiliki panjang sekitar tiga kilometer yang saat ini terbengkalai, sayang banget padahal jika pemerintah bisa mengoptimalkannya bandara ini bisa digunakan untuk pintu masuk datangnya wisatawan ke Morotai.
Oh iya Nay, gimana kabar Jerami? Terus udah jadi direalisasiin tuh idenya si Ahmad? Maaf ya gak bisa bantuin kamu ngurus Jerami. Hehehe. Tapi tenang seminggu lagi aku pulang kok dan kita akan mengawal Jerami bersama-sama. Hehehe. Hoaammmm. Udah jam 01.00 WIT disini Nay, sudah dulu ya suratku. Nanti aku cerita banyak kalo dapet sinyal, untuk kali ini kita kembali ke masa Siti Nurbaya, yaitu pakai surat. Aku yakin kamu pasti ketawa pas nerima ini, tapi tenang aku kirim pakai titipan yang kilat jadi 3 hari pasti sampai. Hehehe.
Seseorang yang kangen banget sama kamu.
Nalendra Jaleswara
Morotai menjelang pagi.

Kulipat sepucuk surat untuk istriku. Surat pertama yang akan singgah di dalam kotak pos kayu buatanku sambil membayangkan ekspresi Naya yang kegirangan. Dia pasti menggerutu dengan suratku, 'Len kamu bikin surat atau buku sejarah?' hahaha dia seringkali meledekku. Tak apa aku suka melakukannya toh dia senang membaca dan menyimpannya hehe..




~ (oleh @sthirapradipta)

#21: Retrace (pt 1)

*I'm having the day from hell
* It was all going so well (before you came)
*And you told me you needed space
*With a kiss on the side of my face (not again)
(When it All Falls Apart – The Veronicas)

Artikel tentang aku dan Ares dimuat beberapa hari kemudian. Tidak diragukan lagi, Ares sanggup mengalihkan perhatian pembaca dari hubungan kami dengan menulis pengalamanku tentang inspirasi untuk menulis Athena's Diary lebih banyak. Aku puas dan lega, meski ada beberapa pertanyaan dari penggemar yang menanyakan hubunganku dengan Ares dulu. Tapi, selalu kujawab sekenanya saja.
Namun, pikiranku tetap saja terganggu...
Sejak hari dimana Ares menangkapku dan Adrian berdua di apartemen, aku yakin dia jadi berpikiran macam-macam. Karena, aku sempat berharap hubungan kami sebenarnya akan kembali seperti semula – apalagi setelah membuka paketnya. Ada beberapa bungkus kacang giling dari Fair Grounds dan mug buatan tangan yang khusus dikirim Artemis dari Yunani. Ketika aku meneleponnya untuk ucapan terima kasih, Ares hanya membalas dengan sama-sama yang singkat dan dingin.
Uh.
Adrian? Dia tidak datang ke apartemenku dalam empat hari terakhir. Mungkin sibuk mengurus rumahnya di Brooklyn.
Well, hari ini, setelah mengabari Mitha tentang gaunnya, aku memutuskan untuk jalan-jalan ke kawasan Manhattan. Aku sengaja memakai scarf tebal sampai menutupi sebagian daguku karena suhu hari ini hampir lima derajat Celsius. Juga, untuk mengalihkan perhatian dari orang-orang. Bagaimana pun juga, artikel Ares sangat menyedot perhatian.
Mataku lalu menangkap sebuah kedai kopi dengan nama Branchworth Coffee. Terdengar familiar, lalu kukeluarkan kartu nama Eris dan... oke, ternyata ini memang kedai miliknya! Hati-hati, aku menyeberangi jalan dan berjalan ke sana.
Begitu masuk, aku disambut ruangan dengan desain ala kafe Prancis. Memang tidak sehangat Fair Grounds atau seluas Starbucks, tapi aku takjub dengan perabotan kayunya yang klasik.
"Selamat datang!" Eris dengan cepat sanggup menguasai dirinya untuk tidak menyebut namaku. "Silakan, ada meja kosong di dekat jendela."
Dia mengantarku ke meja dengan satu kursi di dekat jendela yang menghadap jalanan Manhattan. Meja ini juga terletak cukup jauh dari meja lain. Tangan Eris kemudian mengeluarkan notes dan pena untuk mencatat pesananku.
"Ar baru pulang dari sini," katanya setengah berbisik dan aku tahu nama asli dari inisial Ar. "Kamu nggak tahu hari ini dia pergi ke Norfolk?"
Mataku mengerjap kaget. "Dalam rangka apa?"
Dia termenung sejenak. "He didn't tell me. Tapi, selama satu jam di sini, dia kelihatan gelisah banget."
"Mungkin ada urusan sama temennya," gumamku asal. By that mean, bisa saja bertemu dengan Jared. Eh, tapi dia kan lagi ada di Bandung! "Hazelnut coffee, ya."
"Oke." Eris mencatatnya, lalu menyerahkan pesananku pada barista.
Sambil menunggu pesanan datang, aku mengecek beberapa email yang masuk lewat ponsel dan tidak lama kemudian, sebuah panggilan menginterupsi. Dari Adrian.
"Halo?"
"Halo, Dita, kamu lagi ada dimana?"
"Aku di Branchworth Coffee, Manhattan—"
"Oke, tunggu, aku ke sana!"
Adrian langsung menutup teleponnya dan sepuluh menit kemudian, tepat saat pesananku datang, Adrian masuk dengan tatapan khawatir dan lega yang ganjil. Dia menghampiriku sambil menarik satu kursi dan menempatkannya di hadapanku.
"Well, emh..." Adrian duduk "...artikel yang di New York Times..."
"Kenapa?"
"Apa yang terjadi di antara kalian berdua?"
Aku hampir lupa untuk menceritakan apa yang terjadi di apartemen Ares saat itu. Adrian yang tadinya khawatir, berubah jadi penasaran karena aku tidak menjawab langsung. Tapi, kemudian berubah tenang saat aku menceritakan bahwa artikel itu sudah dinegosiasikan olehku dan Ares sebelumnya.
"Maaf aku berpikiran yang macam-macam. Tapi, setelah hari itu di apartemen kamu..." Adrian meringis "...kalian berdua masih berhubungan?"
Mataku menyapu seluruh ruangan – mengawasi kalau ada yang menguping kami saat ini. "Nope. Kayaknya dia lagi sibuk."
Kepalanya mengangguk lemah. Sebenarnya, aku menangkap ada sesuatu yang tidak beres darinya – seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Namun, aku lebih memilih untuk diam sambil menikmati kopi dan  pemandangan Manhattan dari jendela.
"Mau ke Brooklyn?" tawarnya tiba-tiba. "Mau lihat rumahku dulu?"
Menimbang tidak ada hal yang akan kulakukan di apartemen, aku mengiyakan dengan anggukan.

***


~ (oleh @erlinberlin13)