Tentang 30 Hari Cerita Cinta

05 October 2011

HONEST: The End (tamat)

Semenjak hari itu Jazzy lebih baik padaku. Sikapnya tak lagi sekasar biasanya. Mungkin dia menjadi lebih kasihan, walau aku berharap bukan karena rasa kasihan tapi rasa sayangnya padaku. Tapi kalau kasihan pun tak ada yang salah dengan itu.
Ini adalah minggu ujian semester dan aku sangat sibuk mengasah otakku yang tumpul ini. Aku tidak bisa mengharapkan orang lain ketika ujian. Aku harus bertumpu atau tepatnya berpasrah pada kemampuanku yang pas-pasan. Aku sudah pernah bilang kan, aku tidak bisa mencontek.
Tapi jangan lupa kalau Tuhan memiliki kekuatan yang tiada terkira. Aku selalu berdoa pada-Nya agar memberikan sedikit pencerahan pada otakku yang bebal ini. Kalau Jazzy tidak perlu kalian tanya. Aku tidak pernah dia belajar tapi dia selalu dapat nilai A. Memuakkan. Dunia sering kali adil dengan caranya.
Pernah tidak kalian melihat orang yang tidak perlu belajar keras tapi dapat menjadi lebih pintar dari kita yang belajar mati-matian? Sebenarnya saat itu dia telah melewati ujian keras lainnya selain belajar, sehingga dapat mengerti jauh lebih cepat dari kita. Jadi tak perlu iri atau merasa diberi ketidak adilan oleh Tuhan. Tuhan, selalu lebih tahu. Dan manusia, selalu sok tahu.
Dia, selalu adil dalam membagi apa pun. Hari ini, pulang kuliah Jazzy mengajakku makan. Ujian memang selalu berhasil membuat perutku dua kali lebih lapar dari biasanya, dan kali ini giliranku yang traktir. Tapi saat aku membahas tempatnya, Jazzy bilang dia mau makan di suatu tempat yang dia pilih. Aku bilang oke, dan kami pun berangkat.
30 menit kemudian…
Sampailah kami. Dan mulutku hanya melompong melihat kemana dia mengajakku. Ke rumahnya. Oh my God. Aku melotot kearahnya.
"Kenapa? Kamu sudah pernah ke sini kan?" Meremehkanku. Wajahnya penuh kepuasan.
"Mau apa kamu ajak aku kesini Jazz?" Tanyaku.
"Kalau kamu ngga suka kita bisa cari tempat lain." Dan Jazzy pun melepas pedal remnya.
"No no no!" Aku kelabakan. Sial, dia pasti tahu, kalau aku penasaran bukan kepalang dengan isi rumahnya. Aku bahkan tidak pernah lagi berani bermimpi dia mau mengajakku ke tempat ini.
"Yaudah kalau begitu ayo kita turun." Responnya acuh. Aku pun dengan semangat yang membabi buta turun dari mobil. Kalian tahu bagian paling sweetnya, karena ngeliat wajahku yang tiba-tiba memucat Jazzy dengan berat hati akhirnya menggandeng tanganku masuk kerumah. Dia tidak mau ambil risiko aku tiba-tiba pingsan di tengah jalan.
Sampai di dalam, ternyata tidak seperti yang aku bayang kan. Rumahnya benar-benar sepi. Aku mencoba mencari tanda-tanda kehidupan tapi tidak ada apa pun. Kecuali binatang peliharaannya yang mondar-mandir. Jazzy mempersilahkanku duduk di meja makan, bukan di mejanya tapi di bangkunya. Kalian bisa lebih cerdas menelaah kalimat kan? Dan di sana telah tersedia masakkan rumah yang kelihatannya cukup lezat. Mungkin ibunya Jazzy adalah seorang perempuan yang pandai memasak.
"Bi!" Jazzy memanggil seseorang. Dan wanita berusia sekitar setengah abad datang dari kejauhan.
"Ya den. Sudah pulang. Wah sama siapa den? Pacarnya ya? Cantik sekali." Wanita itu menatapku dengan mata hangatnya. Wajahku sampai – sampai memerah karena malu.
"Pacar? Pacaran dosa bi." Jawab Jazzy asal.
"Saya Sera bi!" aku bangkit dan menjabat tangannya.
"Saya pacarnya Jazzy." Ucapku mantap dan Jazzy pun tampak mulai terbiasa dengan kebiasaanku yang satu ini.
"Kalau begitu ayo dimakan. Bibi ke dapur dulu, belum selesai kerjaannya." Dan dia pun menghilang.
Aku sekarang menatap Jazzy, dan mencoba menelusuri garis wajahnya.  Ada kecanggungan kulihat di sana, enatah mengapa.
"Aku.. aku.. aku tinggal sendiri di Jakarta." Ucapnya tergagap. Aku tersenyum mendengarnya. Jazzy memang tipe manusia yang sulit menyatakan perasaannya, Berbeda jauh denganku yang tak pernah bisa menyembunyikan perasaanku pada orang lain.
"He-em" Jawabku mencoba tidak begitu serius menanggapinya. Aku takut dia menyerah untuk menceritakan hal-hal yang sebenarnya penting, tapi lebih sering dia remehkan ­orang lain.
"O..o..orang tu..a..ku ti..ti..tinggal di Je..Jerman. se..se..sejak aku keke..kecil." lanjutnya.
"Oke." Aku lagi-lagi menjawab sambil lalu.
"A…aaku ka..ka..sihan ya?" Pertanyaannya barusan membuatku berhenti mengunyah. Mataku menatap ke wajahnya yang menyendu. Aku tidak berpikir dia akan mengeluarkan pertanyaan macam itu. Aku bahkan nyaris tersedak.
"Kalau kamu kasihan, berarti aku menyedihkan dong. Tega banget sih." Aku merajuk. Dan Jazzy malah tertawa.
"Kamu nih, jujur banget sih." Jawabnya.
"Jadi itu kenapa pas ulang tahun kamu malas tinggal di rumah. Kalau aku tahu, aku ngga akan nampar kamu sekeras itu. Maaf ya!" Aku bangkit dan menundukkan kepalaku. Seperti ketika orang Jepang mencoba berterimakasih atau meminta maaf pada orang lain. Jazzy manatapku dengan seksama. Tanpa berkata apa pun, dan aku kembali duduk.
"Pantas ya kamu itu pendiam. Udah gitu cenderung kaku orangnya. Sering ngelamun juga, sekarang aku bisa lebih maklum. Yang sabar ya, kan ada aku di sini. Jangan pernah salahin orang tua kamu. Seburuk apa pun mereka, kamu tetap anaknya. Jangan jadi anak yang tidak berbakti. Seenggaknya kamu bisa ketemu mereka ketika kamu ingin. Ngga seperti aku, yang bahkan ngga tahu harus cari mereka kemana."
"Aku sedih. Tapi bukan berarti semua itu bisa menghentikan semua kebahagiaanku yang lainnya. Kebahagiaan bisa datang dari hal lain dan tempat lain dan orang lain. Seperti kebahagiaanku yang datang dari kamu. Kamu adalah salah satu kebahagiaanku." Lanjutku.
***
Selesai makan Jazzy mengantarku pulang. Kali ini tidak turun di pinggir jalan lagi. Dia mengantarku sampai panti. Diluar hujan gerimis. Udara sore terasa begitu segar. Matahari pun mulai beranjak turun, mencari tempat lain untuk menebarkan sinarnya. Aku turun dari mobil dan Jazzy pun memayungiku.
"Sera." Jazzy memanggil namaku. Aku selalu suka, caranya memanggil namaku.
"Ya," Aku menjawabnya, masih sambil berjalan beriringan.
Oh ya, aku lupa bilang pada kalian bahwa belakangan kami selalu berjalan berdampingan. Indah ya.
"Jangan pernah tinggalin aku ya." Jazzy memegang tanganku agar kami berhenti berjalan sejenak. Aku nyaris tersedak mendengarnya.
"Hah?" ucapku tak percaya pada apa yang barusan kudengar. Jazzy menatapku lekat-lekat, dan jantungku berdegub kencang. Kami berdiri saling berhadap-hadapan. Tiba-tiba Jazzy menjatuhkan payungnya, menarik wajahku dan mencium bibirku lembut. Mataku melotot dan aku tak sanggup melakukan apa pun. Aku merasa seperti terbang di  udara. Seperti ada banyak burung yang berkicauan di hatiku. Aku hanya diam menanggapi ciumannya barusan. Aku tampak amat sangat bodoh. Aku menjadi tolol tiba-tiba. Aku , aku kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya.
Ciuman pertama yang aku lakukan dengan orang yang tepat, karena aku mencintainya. Jazzy melepaskan ciumannya dan memelukku erat. Kami bahkan bermesraan di bawah hujan gerimis. Aku masih kehilangan ruhku untuk sekedar mengoreksi kejadian ini.
"Aku sayang kamu Sera. Dan jangan pernah tinggalin aku. Ka.. ka.. kamu begitu penting untukku. Saat ini dan selamanya. Kamu adalah bahagiaku 6 bulan belakangan ini, bahkan bahagiaku sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan aku nggak bisa untuk merelakan  kamu jadi milik orang lain. Maaf kalau kamu harus nunggu selama ini untuk dengar ini semua. Aku terlalu sulit untu jujur pada perasaanku sendiri.
Aku bahkan udah suka kamu sejak kecil. Sejak kamu ngasih sebatang permen lollipop ketika aku menangis sendirian di pinggir jalan. Saat itu ayah dan ibuku pergi ke luar negri. Dan kamu mengatakan kalimat yang sama persis seperti hari ini. 'Yang sabar ya. Kan ada aku di sini'. Kita adalah tetangga dekat yang baru saja menjadi teman hari itu, sebelum akhirnya tiba-tiba kamu menghilang. Tapi aku ngga pernah lupa sama wajah ini." Jazzy mengusap lembut pipiku.
"Aku ngga akan pernah lupa sama kamu Sera. Kalau saja aku tahu ternyata selama ini kamu tinggal di panti asuhan. Hari itu ketika pulang dari panti aku menangis di dalam mobil. Aku menangisi diriku sendiri yang ternyata ngga pernah kasih apa pun yang bisa buat kamu lebih bahagia. Aku baru mengetahui bahwa kamu adalah Seraku pada hari itu. Aku meyakininya. Karena selama ini aku hanya berharap kamu Sera yang sama. Dan bahkan itu nggak bisa ngebuat keadaan jadi lebih baik. Karena aku pengecut."
Air mataku mengalir dengan sendirinya. Anak laki-laki kecil itu ternyata Jazzy. Dia Jazzy. Aku masih ingat hari itu. Dan semua kenyataan ini membuatku semakin tak karuan. Aku hanya sanggup berdiri mematung. Tiba-tiba Jazzy menekuk kedua lututnya. Bersimpuh di rumput yang basah karena gerimis hujan yang belum juga reda.
"Sera Leovella Jade.. will you marry me?" ungkapnya lembut. Mulutku ternganga mendengar pernyataan indahnya barusan. Senyumku merekah.
"Tanpa sebuah cincin, seperti yang selalu ada di film drama romantis Jazz?" tanyaku polos. Dan dia pun tertawa.
"Kamu selalu mampu jujur dalam segala hal. Aku belajar darimu untuk melihat kejujuran dalam arti yang terbaik, entah itu menyangkut hal baik atau buruk. Kejujuran adalah hal terbaik yang bisa kita bagi dengan orang lain dalam hidup ini. Itu kenapa, aku sayang padamu. Tanpa cincin hari ini, tapi aku janji akan membelikan yang bermata besar untukmu besok. Aku janji." Jazzy membuatku seketika melayang-layang di angkasa.
"Tapi tunggu sebentar." Dia menggerakkan tangannya kebalik kepalaku, lalu mencoba membuka karet yang mengikat rambutku.
"So Sera, will you marry me?" Dia mengulang pertanyaannya dan tentu saja aku mengangguk setuju. Lalu Jazzy pun melipat karet itu dan mengikatnya ke jari manisku.
"Kita anggap ini cincinnya. Tentu saja akan aku belikan satu yang sesunggunya nanti."
 Apa artinya kejujuran tanpa ada seseorang yang mau mendengarkan untuk berbagi. Apa artinya sejuta berlian tanpa kamu. Apa artinya semua yang kita miliki di dunia ini tanpa orang-orang yang menganggap kita ada. Apa artinya menjelaskan sesuatu jika tidak ada yang mau mengerti. Dunia ini kosong tanpa itu semua. Tapi itu juga bukan berarti semuanya berakhir. Karena kita ada di sini memang untuk mengerti kesemuanya. Siapa yang pernah menjanjikan hidup itu mudah.
***
2 tahun kemudian..10 October 2010
"Yes I do."    
Pernikahannya sederhana. Hanya ada 35 orang tamu dan di gelar di sebuah pulau indah di Lombok. Kedua orang tua kami datang. Ada bayak hal yang telah berubah, kecuali besarnya cinta kami. Sekarang bahkan dia mencintaiku lebih besar, dari rasa cintaku padanya mungkin.
Bahkan hari ini ibuku datang. Berdiri berdampingan dengan ayahku. Kami melakukan foto keluarga. Ayahnya Jazzy, mamanya, bi Ijah, lalu aku, Jazzy, bunda Rose, ibuku dan yang terakhir ayahku. Lalu aku dan Jazzy bersama anak asuh kami di panti. Dan kami semua bersama-sama.
Dan aku dan dia. Aku memegang buket bunga mawar orange. Jika kalian lihat lebih baik lagi, ada sebuah cincin berlian besar yang melilit di jari manisku. Kadang sebuah kejujuran dapat memberimu sejuta kebahagiaan. Tapi juga terkadang kita begitu sulit mengungkapkannya-dengan ribuan alasan yang kita karang.
Jika itu sebuah rasa sayang, apa yang salah? Katakan sekarang. Karena belum tentu Tuhan memberi kesempatan itu besok. Perduli atau tidak orang itu, bukan masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika kau mulai tidak peduli pada perasaan yang kau rasakan. Mengesampingkannya dan belajar menjadi manusia yang tidak bahagia. Itu baru MASALAH BESAR.
Beberapa Tahun yang lalu aku memulainya dengan kaliamat, "AKU CINTA PADAMU Jazzy. Dan aku akan menjadi seseorang yang berarti bagimu mulai saat ini."
Dan dia menjawab, "Sera Leovella Jade.. will you marry me?"
Dan aku jawab, "Yes I do."
Kalian bisa lebih kereatif dari perempuan bodoh sepertiku. Dan mendapatkan yang lebih indah dari milikku saat ini. That's possible.
***
Jakarta, 2007




~ (oleh @falafu)

#23 Denial (pt 1)

That awful memory of yours
 What blessing, what a curse
And all our confessing forgotten every word we're saying
From the womb, I heard my name on your lips
It sounds the same
As the many times I've ignored since that day...
(That Awful Memory of Yours – Copeland)


Tidak ada band yang bisa menandingi Copeland bagiku. Bahkan, setelah lima tahun sejak bubar, lagu-lagu mereka tidak pernah membosankan dan sanggup menemaniku dalam situasi apapun.
Termasuk situasi ini. Situasi di mana semuanya berwarna abu-abu.
Ponselku sengaja tidak diaktifkan selama empat hari terakhir untuk menghindari panggilan apapun dan dari siapapun. Satu hari setelah konser itu, aku sempat demam, tapi sanggup bertahan sampai sembuh dan memutuskan untuk tidak keluar dari apartemen.
Hah, selalu begini! Tapi, aku tidak bisa menerima dengan apa yang dilakukan Adrian! Kenapa dia menghalangi pertemuanku dan Ares di Norfolk?! Apa dia ketakutan atau terlalu cemburu?
Seseorang mengetuk pintu. Aku cukup tenang karena itu hanya kurir yang mengantarkan postcard. Namun, tiba-tiba saja aku jadi ingat—AH! Mataku kemudian membaca siapa pengirimnya – Yudika Firdiyantoro. Postcard-nya kali ini adalah pemandangan savana di Afrika dengan zebra, jerapah, dan singa di dalamnya.
Di baliknya ada sebuah surat juga. Antara penasaran dan gelisah, aku membacanya.
--
Hi, Cupid!
It seemed like I was too cold at the first letter :)
Well, aku belum mengucapkan selamat atas kesuksesan "Athena's Diary". Momo baru membelinya via online dan beberapa hari lalu, aku baru selesai membacanya. Still the awesome you, aku tidak pernah meragukan kemampuan kamu
dalam menulis. :D

Hmm, tapi ada satu hal lain yang mengejutkanku. I checked your personal blog and there was so many people who asked about an article in New York Times. Aku baru cek di situsnya dan menemukan artikel yang dimaksud, "Past in Present" – ditulis oleh Ares. It shocked me, by the way; apa dia menulis artikel itu atas sepengetahuan kamu?
Ah, well, I'm not good enough at writing a letter. Reply anytime? Maybe with another postcard or leave an email for me.
* *
Regards,
-y


Aku ingin sekali membalasnya, tapi... ah, it's not the right time.
Tidak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu apartemenku. Siapa lagi? Aku menyeret kaki ke arah pintu dan membuka pintu tanpa mengecek siapa yang datang karena terlalu malas. Sialnya, ternyata itu bukan keputusan yang bagus.
Aku mematung di ambang pintu. Ares.
"Oh, God, thanks!" serunya dengan wajah lega. "NYT baru menerima berita kalau ada seorang gadis yang tewas di apartemen, I'm worried if—ah, lupakan! Glad to see you're okay!"
"Ayo masuk," sambutku singkat.
Ares membawakanku makanan karena mengkhawatirkan kondisiku. Apalagi setelah teleponnya tidak diangkat beberapa kali. Hmm, aku jadi tergoda untuk mengaktifkan ponsel untuk mengecek berapa panggilan darinya yang masuk.
Kami duduk di meja makan. Sementara aku mencari topik pembicaraan, Ares mengeluarkan makanan yang dia bawa – beberapa roti kering dan kue cokelat.
"Ares," kataku akhirnya, "soal tiket itu, aku minta maaf. Kamu pasti ngeluarin banyak uang untuk itu, biar aku bayar—"
"Jangan, Dita!" larangnya. "Sebenernya, aku nggak ngeluarin uang sepeser pun untuk tiket-tiket itu. Those are my birthday presents from... Eris."
Aku melongo. Ulang tahun? "K-Kapan? I mean, your birthday?"
"Sepuluh hari setelah ulang tahun kamu. Eris memberinya karena... dia menganggap ada sesuatu yang belum selesai di antara kita – khususnya dengan hubungan kita dulu. She wanted both of us to retrace it all,"  paparnya sambil menyodorkanku roti dan kue. "Tapi, aku masih nggak ngerti... kenapa amplopnya nggak ada di paket itu, ya? Apa jatuh?"
Aku bisa saja mengadu kalau Adrian yang menyembunyikannya. Tapi, itu berarti aku harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di antara aku dan dia. Sementara saat ini, aku masih terlalu sakit dengan perlakuan Adrian. Biar saja Ares tahu aku dan dia hanya teman sejak di bangku kuliah.
"Kayaknya sih jatuh," kataku sambil menikmati kue cokelat – pura-pura ikut bingung. Tapi, aku semakin rikuh karena Ares menatapku dalam dan penuh selidik.
"Kalian bertengkar?" tanyanya tiba-tiba.
"Bertengkar? Siapa yang bertengkar?!" Aku curiga kalau Ares juga berprofesi sebagai cenayang. Kenapa dia jadi sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan mengejutkan, sih?
Dia tersenyum kecil. "Sama siapa lagi? Adrian, kan?"
"Kamu ngomong apa, sih?"
Kemudian, dia menggeser kursinya ke sisi meja lain; di sampingku. Sementara aku menenggelamkan kepala ke dalam sweatshirt seperti seekor kura-kura.
Ares terkekeh, lalu menarik tanganku.

"Sebentar," bisiknya, "aku mau tes sesuatu."
Dia mencondongkan tubuhnya mendekat dan tanpa basa-basi mencium bibirku.
Awalnya, aku mengira akan ada sensasi aliran listrik dari ujung kaki ke ujung kepala yang membuat akal sehatku hilang dalam satu detik. Tapi, entah kenapa, otakku malah memberi perintah untuk mendorong Ares untuk menjauh.

Nampaknya, Ares sudah mengetahui hal ini. Karena dia tidak mengikuti kemauanku dan mengakhiri ciumannya.
"Just because we're not dating, you can't hide anything from me," ujarnya santai. "Well, you just did a denial,* Jardine." 
Aku terperangah kaget. Penyangkalan... atas apa? Penyangkalan ini seperti sudah di­-setting oleh otakku. Apa sugesti itu—"Ar..." Aku kembali menutup mulut – kenapa jadi sulit sekali untuk menjelaskannya. "Hah, aku nggak tahu harus ngomong apa! Everything seems messing my life!"
"Kalau gitu, boleh aku lanjutin dulu?"
Kepalaku mengangguk.
Ares termenung sejenak, kemudian tangannya menggenggam jemariku hangat.
"Dita,
let's move on," ujarnya lembut, namun menohok. "Jujur, aku juga sebenarnya ingin hubungan kita kembali setelah kita bertemu di Wal-Mart itu. I couldn't sleep without thinking of you first. Tapi, kemudian aku berpikir kamu cukup kuat untuk menghadapinya. Terlebih lagi, ada satu hal yang selalu aku ingat; you can't love a person who hurts you twice."
Aku tidak percaya dia mengingatnya dengan baik.
"Jadi, dari sana, aku juga mulai maju. Bahkan, semakin optimis saat bertemu dengan Adrian di CafĂ© Lalo waktu itu." Salah satu alisnya terangkat. "Well, I know that testing a woman through her heart could hurt. But, that night when we made out, I felt something different. Ada orang lain yang kamu pikirkan. Kamu mengkhawatirkannya dan itu bukan aku." 
Mataku memicing tajam padanya. "Kamu pikir aku mengkhawatirkan Adrian, Ar? Demi apa?!"
"Demi apa yang kamu bilang barusan. Aku nggak tahu kalau kamu ternyata mengkhawatirkan dia," sambutnya cepat yang membuatku salah tingkah. "Ya, aku nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya di antara kalian selain teman sejak kuliah. Aku nggak maksa kamu buat cerita. Tapi, kalau seandainya memang benar, I guess he's helped you much."
Aku tidak suka dikalahkan dengan logika.
"So, would you?" tangannya semakin erat meremas jemariku. "Would you like to get over it? Karena, aku sebenarnya belajar dari kamu, Dita. I remember those days when you struggled to make your ex massive crush moving on. Aku ingin bisa setegar dan sekuat itu. You're such a, such a tough person. Strongest girl I've ever met."
Mataku memanas dan satu persatu, bulir mata itu jatuh di atas punggung tangan Ares. Setelah dia memaparkan semuanya, aku merasa sia-sia. Bahkan, ketika bayangan Adrian muncul, aku tidak lagi mengenyahkannya.
"Masa lalu memang tidak selamanya indah," ujar Ares sambil menyeka air matanya. "But, if you want to learn it for real, you can make your future better*."
Kepalaku menengadah untuk menatap mata Ares. Mata hijau kecokelatannya yang pernah menghangatkan hatiku. Apa sebenarnya... perasaaku yang sudah mulai terkikis?
Dia tersenyum manis. "I know you easily forgive someone's mistake."
Kemudian, Ares memberiku sebuah pelukan yang menenangkan.


Remember Harbor Boulevard
 The dreaming days where the mess was made
 Look how all the kids have grown
 We have changed but we're still the same
 After all that we've been through, I know we're cool
(Cool – Gwen Stefani)


***


~ (oleh @erlinberlin13)

Delapan #13

"Ehm. Permisi Pak.. Bapak lihat guru kimia tidak?", sedang asyik aku menulis-nuliskan nama Milan dengan sembarangan di selembar kertas, tetiba saja suaranya datang secepat kilat. Sekejap mata. Pulpen di genggamanku berhenti. Aku balikkan kertasnya. Milan sekarang berdiri tepat disampingku. Aku membeku. Wajah Milan tak sedikitpun menyiratkan rasa bersalah. Tersenyum padaku juga tidak. Aku tetap diam dan membentang kuping dengan lebarnya. Memokuskan pendengaran pada nada suara yang sengaja dikeluarkan Milan. Sampai saat ini logat Padangnya masih saja lekat.

Setahuku, guru yang Milan tanyakan sudah pulang sedari tadi. Setelah menyelesaikan ketikan daftar siswa/siswi tadi. Setelah menanyakan dimana Milan tadi. Segalanya tadi. Aku ingin sekali memberitahu Milan. Tapi hatiku menciut melihat rautnya yang tak bersahabat. Lumayan lama ia mondar-mandir dalam ruang guru, aku beranikan bertanya dengan nada selembut mungkin pada akhirnya..


"Handphone Milan dimana?"


"Hmm kenapa?"


"Kok di sms dari tadi ngga dibales?"


"Ehm. HP lagi sama cewe baru"


"Milan kenapa?"


"Apanya?"


"Jangan bercanda dong.."


"Iya lagi sama cewe baru, makanya ngga kebalas"


Deg. Aku menunduk. Aku tau persis itu hanya sebuah canda meski sorot matanya terlihat sungguhan. Milan bercanda. Pasti. Dan ketika aku tegakkan kepala, Milan raib. Menghilang dari peredarannya. Aku berkejar-kejar ke lapangan parkir melihat apakah ia masih ada. Setidaknya jika masih, aku akan benar-benar meminta penjelasan darinya.


Napasku setengah-setengah, kerudungku berantakan dan aku tak kuat mengejarnya sampai gerbang. Aku mendapat satu info, kalau dia tak sendiri datang dan pergi dari PKL hari ini. Ditemani Ahmad, teman sekelasku. Hanya itu.


Jum'at, 7 Agustus 2009.
Aku menunggu jemputan di koridor sambil menulis-nulis nama Milan di selembar kertas. Sudah lebih kurang seminggu kami tak menyapa satu sama lain. Aku lelah selalu mencoba menghubunginya dengan tak satupun ia membalasnya. Apa benar yang dikatakannya tentang "cewek baru" waktu itu? Meski hati kecilku percaya bahwa Milan tak mungkin melakukannya. Yang aku tau dia baik. Titik.


"Aw!", pekikku. Seseorang menyenggol lengan kananku cukup keras. Ternyata teman sekelas Milan yang sempat aku lihat beberapa waktu lalu bermain 'truth or dare' bersama Milan. Jelas bukan Dini. Perempuan yang sekarang berjongkok di depanku ini memiliki paras rupawan. Cantik sekali. Senyumnya manis, kulitnya putih bersih, berkacamata dan bertutur lembut pula. Siswa PKL mana yang tak ingin menjadi pacarnya. Termasuk Milan. Mereka pernah pacaran, dulu. Jauh sebelum aku kenal Milan. Namanya Karina. Karin teman Milan sejak kelas 1 bangku Sekolah Dasar. Ayah mereka satu bidang pekerjaan dan perusahaan. Mungkin karena itulah apabila satu dari mereka mutasi, maka yang lain mengikut. Aku tau semuanya dari siswi-siswi yang senang bergosip dengan Dini. Mereka iri pada Karin yang punya segalanya. Oh ya, aku juga sebenarnya.


"Maaf ya Nggi, ngga sengaja bener deh.."


"Hahahaha santai aja Rin, ngga apa apa kok"


"Aduh maaf sekali lagi ya, habisnya buru-buru nih Nggi"


"Kemana emangnya Rin? Eh itu muka kenapa putih-putih semua? Habis main tepung-tepungan?"


"Nah iya ini nih mau bersihin muka ke toilet. Tadi habis kejar-kejaran main bedak sama Milan di kelas. Duluan ya Nggi! Maaf sekali lagi.."


Deg. Kejar-kejaran? Main bedak? Karin? Milan? Mereka pernah saling punya rasa. Itu di pipi kan? Tadi? Dan Milan sedang dalam diam sempat begitu? Oh selama ini aku kira, paling tidak, dia memikirkan aku. Ternyata. "Shit", kataku perlahan.



~ (oleh @captaindaa)