Tentang 30 Hari Cerita Cinta

Showing posts with label Secangkir Kopi Secangkir Coklat dan Satu Cinta. Show all posts
Showing posts with label Secangkir Kopi Secangkir Coklat dan Satu Cinta. Show all posts

19 September 2011

Secangkir Kopi, Secangkir Coklat, Satu Cinta; Takdir - part 2

Tanpa mempedulikan badannya yang menggigil, dan kulit di ujung jarinya yang mulai keriput, Fadil berusaha mengatasi rasa takutnya dengan cara terus menekan dada Adil. Dia tak mempedulikan hawa dingin yang merasuknya lagi.

"Demi segala dewa di Bumi, Surga dan Neraka… Masak iya harus CPR dari mulut ke mulut? Iew!"

Fadil mempertimbangkan opsi yang dia punya. Adil bisa mati kalau dia tak segera membuang gengsinya dan memberinya napas buatan dari mulut ke mulut. Dengan kesal, Fadil meninju dada Adil berkali-kali sebelum membungkuk, siap memberikan napas buatan. Dua senti dari wajah Adil, Fadil bisa melihat pori-pori di wajah pucat Adil. Memantapkan niat, Fadil menarik napas panjang. Tangan kanannya yang menekan kedua pipi Adil agak bergetar, lalu...

Semburan air danau membasahi wajah Fadil, membuatnya kaget dan tersentak ke belakang. Adil terbatuk hebat sambil memuntahkan air danau yang dia telan saat tenggelam tadi. Fadil sangat lega. Dia mengusap wajahnya yang basah terkena semburan air danau sambil tertawa dan memaki di saat yang sama. Adil terus terbatuk-batuk sambil memuntahkan air danau selama beberapa saat. Perlahan, wajahnya yang pucat tak berdarah kembali menunjukkan warna kehidupan.

"Dingin…" Dari semua kosakata yang ada di dunia, si bego nekat yang baru saja tenggelam memilih kata "dingin" sebagai kata pertamanya setelah diselamatkan dari maut dan siuman dari pingsannya. Plus semburan air ke wajah. Sangat brilian, rutuk Fadil dalam hati.

"Yaiyalah, dingin! Kalo mau panas seharusnya lo mendarat di cerobong asap! Barengan sama Sinterklas!"

Adil nyengir terpaksa. Badannya menggigil hebat. Fadil menyambar jaket dan shawlnya, lalu memakaikannya ke badan Adil. Sorot mata Adil memancarkan rasa terima kasih. Tapi Fadil masih sangat jengkel. Adil memang punya kebiasaan jelek: mencelakakan dirinya sendiri, atas nama adrenalin dan keimpulsifan yang bodoh. Berkali-kali juga Fadil terlibat dalam situasi sulit dan harus melibatkan dirinya untuk menyelamatkan Adil dari kesulitan.


Bahkan Fadil pernah berurusan dengan polisi karena membela Adil yang ketahuan ngebut dengan kecepatan 200km/jam. Waktu dikejar polisi, Adil bukannya berhenti tapi malah menginjak gas lebih dalam lagi. Akibatnya, terjadi scene pengejaran di jalan tol yang berlangsung hampir setengah jam. Semuanya atas nama kesenangan sesaat. Setelah tertangkap, dengan entengnya Adil menelepon Fadil untuk meminta bantuan.

"Adrenaline rush itu sangat menyenangkan, Dil. Lo harus coba sekali-kali. Tapi jangan pake mobil gue. Lo pake Fiat lama aja, yang kecepatannya 50 km per jam. Gue gak mau lo kena serangan jantung kalo ngebut di atas seratus kilo per jam."

Fadil tak mau beradu urat leher dengan Adil saat itu. Tapi dia mengancam, ini kali terakhir dia membantu Adil keluar dari kesulitan yang Adil timbulkan sendiri. Sekali lagi kena kasus, silakan urus sendiri. Bukannya merasa tersudut dan menyesal, Adil malah tertawa. Seakan-akan dia tau, Fadil nggak mungkin berdiam diri kalau dia sedang terlibat kesulitan. Dan Adil benar. Ancaman Fadil adalah ancaman kosong. Setelah kasus ngebut dan kejar-kejaran di jalan tol, entah berapa kali Fadil sudah menolong Adil. Semuanya selalu diakhiri dengan omelan. Seperti biasa, Adil cuma tertawa dan mengucapkan terima kasih, lalu menghujaninya dengan hadiah.

"Mau ngejelasin kenapa lo milih mendarat di danau? Atas nama adrenalin, atau elo emang bego?"

"Sabar, Kakek Fadil. Saya masih kedinginan. Ngomelnya di rumah aja, ya?"

Fadil mendengus. Entah kapan Adil akan mulai belajar bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Dengan sedikit kasar, dia membantu Adil berdiri dan membawanya ke mobil. Sesi merenung dan menikmati alam sore ini harus diakhiri lebih cepat.

Untunglah mobil Fadil berpemanas udara. Walau begitu, keduanya masih menggigil hebat. Adil mengulurkan kedua tangannya ke arah heater. Bibirnya masih agak biru.

"Gue harus belajar mengendalikan parasut lagi… Mendarat di danau yang hampir beku itu gak enak banget. Untung ada elo. Thanks ya!"

"Yap. Itu kabar yang sangat menyenangkan, Dil. Belajar mengendalikan parasut secara baik dan benar. Tolong ingetin gue supaya nggak deket-deket elo kalo lo merencanakan untuk bunuh diri dengan cara ekstrim kayak tadi." Tukas Fadil kasar.

Adil tertawa. "Dan lo harus belajar let loose. Tadi beneran kecelakaan. Gue gak seidiot itu kok milih terjun ke tengah danau. Thanks for saving my life."

"Padahal gue mengharapkan sore yang tenang, tanpa harus ada adegan penyelamatan heboh kayak di film action. Rupanya gue cuma bermimpi dan mengharap yang gak mungkin." Fadil masih ngomel. Sesekali dia menggigil. Adil masih menggosok-gosokkan kedua tangannya untuk memperoleh kehangatan.

"Bukannya hari ini ada meeting, Dil? Kenapa malah main parasut?"

"Meetingnya ditunda. Gue mau ketemu calon bini…"

Fadil mengernyitkan keningnya. Heran.

"Calon bini? Lo mau ketemu calon bini di mana? Di langit Melbourne? Itu alasan elo terjun payung? Siapa calon bini lo? Burung elang?"

"Sebagai asisten pribadi gue, bukannya semua jadwal gue lo yang urus, wahai Tuan Fadil Adeyi yang terhormat?"

"Masalahnya Anda sering membatalkan jadwal pertemuan pada detik-detik terakhir, Tuan Adil yang tidak terhormat. Gimana caranya gue bisa mengsinkronkan kegiatan lo dan semua meeting elo kalo hobi lo adalah mengacaukan segalanya? Bapak sering ngomel tau, gak."

Adil bersandar dan memeluk kedua lututnya. Masih sedikit gemetar. Tapi dia sudah bisa cengar cengir.

"Katakanlah gue gak mau hidup gue berjalan stagnan dan begitu-begitu aja. Gak seperti hidup lo…"

"I like my life very well, thank you. Lo belum jawab pertanyaan gue. Siapa calon istri lo?"

Mobil Fadil meluncur mulus, menerbangkan dedaunan coklat dan jingga. Barisan pepohonan di kanan kiri mereka tampak berjalan mundur seiring laju mobil. Adil menyunggingkan senyum. Matanya menerawang keluar jendela, menyaksikan pohon dan jalanan yang menghilang dengan cepat. Heater di dalam mobil membuat suhu badannya berangsur kembali normal. Dia tak lagi menggigil. Memikirkan wanitanya, membuat hati Adil tambah hangat. Saking hangatnya, dia merasa tak butuh heater mobil untuk menghangatkan badan. Kembali, Adil tersenyum. Cinta itu hangat, sekaligus indah. Dari ujung matanya, Adil tau Fadil masih menunggu jawaban. Wajahnya tertekuk. Nampaknya masih tak rela menolong Adil dari maut di tengah danau. Adil kembali tersenyum saat dia melihat bayangan wanita yang dia cintai di pelupuk matanya, lalu terproyeksikan di kaca mobil. 

"Dia wanita tercantik di dunia."

Fadil merasa heran. Sebenarnya, dia sudah merasa heran sejak Adil menyebutkan kata-kata "calon bini." Berarti luka lama yang Adil derita sudah sembuh?  "Wah, gue nggak pernah sangka akan mendengarkan elo memuji perempuan lagi, Dil. Setelah…"

"Jangan bahas itu!"

Suara Adil terdengar tajam. Fadil segera paham dan tak meneruskan kalimatnya tadi.

"Jadi, siapa wanita yang berhasil menarik perhatian lo?"

"Tunggu undangan pernikahan gue dan dia aja, ya."

"Hei! Kayaknya gue berhak tau siapa wanita ini setelah gue berulang kali menyelamatkan nyawa elo, deh!" Rasa penasaran dan rasa heran berlomba menggulung Fadil. 

Adil hanya tertawa, tapi tetap tak bersedia menjawab. Fadil masih tak mau menyerah. Rasa penasarannya kini  membuncah sudah.

"Okay. Kalo lo gak mau kasih tau, gue akan tanya sama Bapak, atau Ibu, atau Amara. Mereka pasti tau. Kalaupun nggak tau, lo yang akan kasih tau mereka."

"Gue belum pernah ketemu orangnya, kok. Serius. Baru liat fotonya aja. Tapi gue langsung ngerasa, she's the one."

Fadil terdiam sesaat. Ada yang gak beres dengan Adil. Apa air danau yang dingin tadi sudah membuat otaknya bekerja terbalik? Sejak kapan Adil bisa jatuh cinta dengan wanita yang belum pernah dia temui? Beberapa tahun terakhir, Fadil sudah berusaha mengenalkan Adil dengan beberapa perempuan yang highly qualified. Semuanya gagal dengan sukses. Sekarang Adil bilang dia jatuh cinta pada selembar foto? Gak mungkin.

"Sedikit saran. Sebelum lo memutuskan untuk mengikuti saraf impulsif elo, mendingan lo selidiki dulu, siapa perempuan ini. Apa latar belakangnya. Jangan sembarangan. Kalau dia memang jodoh lo, bagus. Tapi kalau dia cuma pengin harta lo…"

"Hahaha! Lama-lama lo makin mirip nyokap gue, tau gak! Tenang aja. Cewek ini bukan tipe pemangsa uang kok."

"Lo tau dari mana? Ketemu aja belum."

"Karena naluri gue bilang gitu."

"Naluri lo juga bilang ke elo untuk mendarat di tengah danau."

"Hei, itu bukan naluri. Itu kecelakaan!"

"Itu dia maksud gue. Lo gak bisa selalu mengandalkan naluri. Gunakan otak lo juga."

"Cinta tak butuh logika, Dil. Dan cinta tak pernah memilih."

"Pilihan itu selalu ada."

"Silakan ngomong gitu kalo lo suatu saat jatuh cinta sama cewek. Eh, lo masih doyan sama cewek, kan?"

Adil tergelak atas leluconnya sendiri. Tawanya tiba-tiba terhenti dan dia mengaduh kesakitan saat bahunya ditonjok Fadil.

"Harusnya gue yang tanya, apakah seorang Adil masih straight?"

Mereka tertawa bareng. Mobil berbelok, memasuki pekarangan rumah yang luas. Adil tak menunggu sampai mobil benar-benar berhenti. Dia segera meloncat keluar, dan berlari masuk ke dalam rumah. Fadil masih ngedumel. Dan penasaran. Dia tak membuang waktu untuk memasukkan mobil ke dalam garasi. Adil harus menjawab rasa kepenasarannya, sekarang juga!

Pintu kamar Adil terbuka, dan Fadil masuk dengan tampang jengkel. Di atas kasur, Adil sudah berbaring. Fadil mengernyitkan keningnya.
"Lo bukan cuma manusia paling impulsif yang pernah ada, tapi juga yang paling jorok, Dil. Mandi! Ganti baju!!"

Sebelah alis Adil terangkat.

"Sebelum ngomongin orang, lo harus liat keadaan lo dulu, wahai Tuan Tukang Perintah! Baju lo sendiri aja masih basah gitu mau ngomongin orang. Itu namanya dobel standar. Ngurusin dan nyuruh-nyuruh orang, tapi nggak melihat keadaan diri sendiri."

"Gue nagih janji. Penasaran. Setengah mati! Mana foto cewek idaman lo?!"

"Haha! Sorry, tapi gue akan simpan rahasia kecil ini, sampai waktu yang tepat."

Fadil tambah jengkel. Dia menarik satu kursi dan duduk di samping tempat tidur.
"Gue jadi nyesel nyelamatin elo dari danau tadi…"

"Lo selalu menyesal waktu menyelamatkan gue saat gue kecelakaan di Perth, ditilang polisi ribuan kali, hampir mati kehabisan darah waktu jatuh dari panjat tebing, daftarnya bisa sampai besok. Dil, gue kasih satu kalimat sakti ya? Penyesalan nggak pernah berguna. Penyesalan nggak akan membuat lo kaya. Okay?"

"Okay. Whatever your ass suits you, lah! Satu hal kecil yang ganggu gue: Gue kok gak percaya kalau cewek yang lo omongin dari tadi adalah tokoh nyata, Dil. Lo yakin kalau lo nggak sedang berhalusinasi, kan?"

Adil ngakak. Dia bangun dari tempat tidur, membuka bajunya yang basah, melepas celana dengan cuek seakan-akan Fadil tak ada di situ. Fadil langsung protes.

"Hei! Sepanjang ingatan gue, gue nggak masuk kamar ini untuk ngeliat pertunjukan striptease. Apalagi striptease yang dilakukan cowok. Sorry, man. Gue gak berminat liat lo pamer body!"

"Ya terserah lo. Gue kan nggak suruh lo masuk kamar ini. Ow, reverse psychology lo nggak akan mempan. Tapi gue bisa bilang begini: cewek yang gue ceritain emang beneran ada. Tenang aja, wahai Tuan Fadil Yang Hobinya Kepo dan Rese, gue punya feeling lo akan ketemu cewek ini lebih cepat dari yang lo duga. Sekarang keluar dari kamar ini. Kecuali lo punya hobi baru. Liat cowok telanjang. Hahaha!"

Fadil keluar dari kamar itu sambil ngedumel karena belum puas sama jawaban Adil. Pintu terbanting keras, Adil menghela napas. Lalu mengambil kimono, memakainya, dan menekan tombol proyektor yang terletak di samping mejanya. Satu gambar terpampang di langit-langit kamarnya. Gambar yang sudah membuatnya tidur dengan nyenyak selama seminggu terakhir. Adil menatap foto Dara yang sedang tersenyum manis dengan wajah penuh damba. Kemudian tangannya meraih remote dan menekan tombol play. Intro lagu yang mewakili perasaannya dengan pas segera mengalun. Adil masuk ke kamar mandi sambil menyenandungkan lagu I Knew I loved You nya Savage Garden. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya saat dia bersenandung mengikuti suara indah Darren Hayes.

I knew I loved you before I met you, I think I dreamed you into life
I knew I loved you before I met you, I have been waiting all my life

There's just no rhyme or reason. Only the sense of completion
And in your eyes, I see the missing pieces I'm searching for
I think I've found my way home
I know that it might sound more than a little crazy but I believe...

I knew I loved you before I met you, I think I dreamed you into life
I knew I loved you before I met you, I have been waiting all my life…

A thousand angels dance around you
I am complete now that I've found you

I knew I loved you before I met you…..
………………………………………………………………………………………………………………..




~ (oleh @aMrazing)

14 September 2011

Secangkir Kopi, Secangkir Coklat, Satu Cinta: Takdir


II. Keping Takdir

Royal Botanic Garden di bulan April masih diterpa hawa dingin yang lumayan membekukan. Setidaknya untuk ukuran Fadil yang terbiasa dengan hawa panas Jakarta hampir seumur hidupnya. Tapi, Fadil senang berada di taman ini walaupun harus mengenakan jaket. Suhu 14 derajat Celcius di sore yang berawan di Melbourne membuatnya sesekali menggigil.
Rombongan angsa hitam di tengah danau berbaris rapi. Salah satunya mengepakkan sayap. Fadil tersenyum. Kebebasan adalah salah satu hal yang paling berharga. Dan dia bersyukur bisa mengecap kebebasan itu, walaupun garis hidupnya tak terlalu hebat. Bagi Fadil, setiap detik adalah perayaan kehidupan.

Riak kecil yang ditimbulkan para angsa hitam membuyarkan pantulan dari pepohonan berusia ratusan tahun yang berjajar di pinggiran danau. Fadil selalu suka dengan suasana taman ini. Menenangkan. Di Jakarta, menemukan taman seluas ini di tengah kota, dengan danau di tengah-tengah taman yang dipenuhi dengan berbagai flora dan fauna adalah satu kemustahilan. Kota metropolitan lain berlomba membuat taman kota, Jakarta berlomba menggusur lahan hijau dan membuat mal-mal besar. Suasana tenang, udara segar, dedaunan yang terjatuh dari pohon, kepak sayap angsa dan burung, suara langkah kaki kijang dan rusa dan kicau riang dari balik pepohonan adalah hal yang wajar di taman ini, tapi mencari hal yang serupa di Jakarta adalah sia-sia, kecuali kalau berkunjung ke Kebun Binatang Ragunan.

Sepertinya jajaran orang-orang di pemerintahan kota Jakarta lebih peduli pada pembangunan hutan beton, mal, gedung bertingkat daripada membuat taman kota yang sejuk. Uang adalah salah satu faktornya. Taman versus Mal. Mana yang lebih menguntungkan?
Ah, sudahlah. Tak ada gunanya membahas paru-paru kota penyuplai oksigen versus pencakar langit penyuplai uang kas kota. Sudah jelas mana yang akan menang. Fadil tertawa miris, lalu duduk di bangku yang menghadap danau. Dia memenuhi paru-parunya dengan oksigen yang menyegarkan, yang masih tak tercemar oleh polusi.

Alam memberikan begitu banyak hal untuk dinikmati manusia secara gratis. Anehnya, kita malah lebih suka menghamburkan uang untuk udara dingin yang dihembuskan dari mal-mal yang berserakan. Padahal kita semua tahu, alam tetap akan menang melawan kecanggihan apapun.
Bangku yang menghadap ke arah danau adalah spot favorit Fadil dari dulu. Apalagi kalau sedang penat dan merasa sumpek dengan kerjaan, taman ini adalah pelariannya. Pernahkah mendengarkan bunyi jantung sendiri dan suara akal yang berlomba menghadirkan inspirasi? Taman ini lah tempat yang paling sempurna. Fadil sangat berterimakasih kepada Adil yang sudah mengenalkannya pada Royal Botanic Garden ini. Sebenarnya, Fadil berterimakasih ke Adil untuk hampir semua hal-hal indah yang terjadi dalam hidupnya. Bisa dibilang, dia berhutang nyawa pada sahabat sekaligus orang yang menjadi bos dan juga sudah dia anggap sebagai saudara. Fadil tersenyum lagi. Memikirkan, apa yang sedang Adil lakukan? Meeting di pusat kota dan memukau peserta tender, atau malah sedang berkelana sendiri?

Satu titik di langit mendung terlihat semakin jelas. Fadil memicingkan matanya, berusaha mengenali titik itu. Sesaat kemudian, warna merah, kuning, hijau terang dan orange menjelma. Parasut! Siapa yang segila ini main terjun payung pada suhu 14 derajat Celcius? Makin lama, parasut itu melayang makin dekat. Kelihatannya akan mendarat di salah satu bagian di taman ini. Tiba-tiba Fadil teringat, Adil kan juga suka main terjun payung? Kalau Adil sudah menginginkan sesuatu, dia nggak kenal waktu. Apa yang dia inginkan harus dia dapatkan saat itu juga. Jangan-jangan…

Fadil terus memperhatikan parasut yang kini melayang makin rendah. Tapi, dia masih belum bisa melihat wajah orang yang terikat pada tali temali parasut itu. Kalau orang itu tak segera melakukan manuver, pasti dia akan mendarat di tengah danau. Dan benar saja dugaan Fadil. Diiringi dengan bunyi ceburan keras yang mengagetkan angsa-angsa di danau, satu sosok terjatuh, diikuti dengan parasut besar yang menutupi danau dengan aneka warna cerah. Burung-burung yang hinggap di pohon di sekitar danau mengangkasa dengan suara berisik karena terganggu dengan kehadiran mahkluk asing di tengah danau.

Fadil terus menunggu. Tapi tak ada orang yang berenang ke tepian. Parasut warna warni kini perlahan mengempis. Air danau mulai membasahi parasut itu, dan perlahan bentuknya mengecil, seolah terhisap masuk ke dalam danau. Fadil tambah khawatir. Siapa orang gila di tengah danau? Kenapa dia nggak segera berenang ke tepi? Karena tak melihat gerakan apapun, Fadil membuka shawl ungu tuanya, melepas sepatunya dan jaket tebalnya, lalu tanpa ragu terjun ke danau!

Air danau yang dingin seketika membakar kulit Fadil. Dia berenang secepat yang dia bisa, menuju parasut yang kini mulai terisi air dan perlahan tenggelam. Dalam hati, Fadil mengutuki dirinya sendiri yang mau-maunya menderita begini untuk menyelamatkan orang yang mungkin tak dia kenal. Sesaat Fadil menyesali keputusan impulsifnya terjun ke danau. Ribuan jarum serasa menusuki kulitnya. Dingin yang begitu mencucuk sampai membakar. Dia terus bergerak, berhenti sebentar untuk menarik napas dalam-dalam dan akhirnya menyelam di satu titik yang dia perkirakan tempat manusia berparasut tadi tenggelam.

Fadil tak bisa melihat dengan jelas. Sinar matahari yang terhalang mendung tak bisa menembus air danau yang gelap. Tapi samar-samar, Fadil masih bisa melihat satu gerakan kecil. Dia menyelam lebih dalam lagi. Dinginnya air mulai tak tertahankan. Fadil memaksakan dirinya terus bergerak. Satu sosok manusia terkulai lemah terbelit tali parasutnya sendiri, melayang di tengah danau. Tak bergerak, kedua lengannya terkulai di samping badannya. Fadil berenang lebih cepat lagi dan dengan susah payah berusaha membebaskan manusia itu dari tali parasutnya. Udara terdesak keluar dari paru-paru Fadil saat dia menyadari orang itu adalah Adil!

Fadil bekerja lebih cepat. Persediaan oksigen di paru-parunya mulai menipis. Seluruh tubuhnya mulai menjeritkan protes karena kekurangan oksigen. Fadil menyentakkan tali terakhir yang membungkus Adil dan segera menariknya ke atas. Paru-paru Fadil mulai membakar, seluruh tubuhnya menuntut udara segar.

Kembali memandang langit mendung dan merasakan terjangan oksigen yang berlomba memasuki paru-parunya barangkali akan menjadi satu hal yang terus Fadil ingat. Dia masih harus berjuang membawa tubuh Adil yang lemas ke pinggir danau.

"Dasar tolol. Kalo lo sampe kenapa-kenapa, gue akan kulitin elo dulu sebelum gue kubur, Dil!" Fadil merutuki Adil sambil berenang dengan napas yang terengah-engah. Adil masih terkulai lemas, tak bergerak sama sekali.

Emosi Fadil makin memuncak saat Adil dia seret ke pinggir danau, tergeletak di rumput yang kini basah. Wajah Adil sepucat hantu, tak ada napas sama sekali. Fadil segera berjongkok di sampingnya, berusaha mengabaikan dingin yang kini makin menjadi karena hembusan angin. 
Fadil mengigil, lalu menekankan kedua tangannya kencang-kencang ke arah dada Adil.

"Ayo, bangun, Dil! Gue gak mau liat elo mati konyol begini. Pengusaha muda mati terlilit tali parasutnya dan kehabisan napas karena tenggelam di danau nggak akan membuat headline news yang bagus. Lo akan dicemooh dan ditertawakan! Bangun!"

Fadil terus menekankan tangannya, berulang-ulang, berharap pada satu keajaiban bahwa Adil akan bernapas lagi. Tapi usahanya sia-sia. Adil tetap lemas tak berdaya. Matanya tetap terpejam. Fadil dilanda ketakutan.... 


Bersambung.



- (oleh @aMrazing)

13 September 2011

Secangkir Kopi, Secangkir Coklat, dan Satu Cinta; Dara

I.              Dara.
Malam itu sama seperti malam-malam yang lain. Gelap. Mendung yang menghiasi langit Jakarta membuat bintang-bintang kehilangan pesona. Tak bersinar. Bulan sabit pun kehilangan teman untuk bercanda. Ditambah dengan hujan rintik yang membasahi jalanan, suasana temaram dan senyap mulai merayap.

Rumah berlantai dua dengan pagar hijau tua dan tembok berwarna putih terlihat sepi. Lampu taman menyala sekedarnya, tak mampu mengusir bayangan-bayangan pohon dan tanaman yang memantul di dinding. Di salah satu kamar di lantai dua, terdengar desahan napas yang tak teratur.

Dara tertidur dengan posisi aneh. Satu tangan terangkat ke atas, bibirnya melengkungkan senyum, sesekali dia cengar cengir sambil menggumamkan kata-kata aneh. Rambut panjangnya acak-acakan, selimut yang seharusnya berfungsi untuk melindungi dirinya dari dingin AC 
yang berembus kini teronggok di lantai.

"Oh, Alva … aku padamu!"

Berkali-kali, Dara menyebutkan nama "Alva" dalam mimpinya. Kedua tangannya terentang, memeragakan gerakan memeluk, berulang kali. Kelopak mata Dara bergerak-gerak, bibir membentuk senyuman, kaki menendang-nendang dan dia bolak-balik badan di dalam tidurnya seperti cacing yang ditaburi garam.

Tiba-tiba, Dara duduk tegak dan memekik. "Alva! Jangan pergi, dong! Kan bukunya belum ditandatangan pake cap bibir!"

Pintu kamar Dara terbuka, mamanya melangkah masuk dengan tampang kusut. Mata Dara masih terpejam. Rupanya dia masih berlayar di alam mimpi. Dengan tampang jengkel, Bu Amina menyambar selimut biru Dara dan kembali merebahkan Dara supaya tak tidur dengan posisi duduk, lalu memakaikan selimutnya.

"Mimpiin cowok mana lagi sih, nih anak! Bikin kaget aja…"

Setelah Dara tidur dengan posisi semestinya, yaitu terlentang, bukannya duduk, Bu Amina berjalan pelan keluar dari kamar. Tapi dia terlonjak lagi karena mendadak Dara menjerit.

"Alvaaa…. Peluk lagi! Peluk lagiiii…. Enak banget dipeluk kamu!!"

Kali ini Bu Amina gak tahan lagi. Dia kembali menghampiri tempat tidur dan menepuk pipi Dara.

"Dara, apa-apaan sih, kamu! Bangun!"

Bukannya bangun, Dara malah senyum-senyum kendati tepukan yang mendarat di pipinya lumayan keras.

"Lagi dong, Va… Aku suka pipiku dibelai sama kamu…"

Bu Amina melotot dahsyat. " Ini anak kok malah makin jadi, sih?! Anindita Dara Vivaldi!! Bangun! Ayo, bangun! Cepetan, bangun!!"
Bu Amina mengguncang dahsyat bahu Dara. Sebelah mata Dara terbuka, agak merah. Sesaat kemudian, Dara membuka kedua matanya, mengumpulkan kesadaran yang tercecer karena guncangan dahsyat mamanya.

"Kenapa, Ma? Barusan ada gempa, ya?"

"Gempa ndas mu! Kamu mimpi jorok, ya?!"

"Ih, kalo nuduh kira-kira, kek. Mimpi jorok apaan, emangnya? Aku sukanya ngimpiin yang cakep-cakep, Ma… Bukan yang jorok kayak pup…"

Pletak! Satu jitakan mendarat di kepala Dara. Bu Amina rupanya bener-bener kesal.

"Kamu itu dari dulu emang punya hobi ngaco! Mama tadi lagi tidur enak-enak kebangun gara-gara jeritan kamu, tau gak! Orang tuh kalo lagi tidur dan mimpi, gak usah jejeritan kayak orang gila, dong! Mama capek tau seharian beresin rumah, beresin kamar kamu, ngurusin papa kamu! Malemnya masih harus ngurusin kamu yang ngigo! Sekarang cerita, tadi mimpi apaan?!"

Dara menatap mamanya bengong. Kok bisa sih, mamanya merepet gitu dalam satu tarikan napas?
"Mama, mendingan Mama pensiun jadi ibu rumah tangga, deh. Mama punya bakat nyaingin Eminem. Jadi Susan Boyle versi hip-hop dan nge-rap gitu, Ma…"

Melihat Bu Amina udah ngambil ancang-ancang buat ngejitak dia lagi, Dara buru-buru ngesot ke ujung tempat tidur. Tangannya menyapu satu buku yang terjatuh di dekat kaki mamanya. Bu Amina mengernyit heran, dan mengambil buku itu.

"Malaikat Cinta. Karya Alva . Oh, jadi ini toh yang bikin kamu mimpi mesum tadi?! Bukunya Mama sita!!"

Dara melotot gak terima. Dia buru-buru turun dari tempat tidurnya dan ngembat novelnya lagi dengan kecepatan cahaya. Tapi Bu Amina lebih gesit. Dia memindahkan novel Dara ke tangan kirinya. Dara manyun berat.

"Mama tega ya merampas satu-satunya kesenangan aku? Tanpa buku ini aku bakalan mati, Ma! Balikin!"

"Kayaknya kamu nurunin bakat lebay dari papa kamu, deh. Sekarang ayo cerita! Mimpi apaan kamu tadi? Kalo gak jujur, novel ini Mama bakar!"

"Mama! Harusnya preman rumah ini aku, bukan Mama! Balikin novelku!"

Bu Amina menyeringai. "Cerita dulu! Buruan! Mama ngantuk, nih."

Dengan wajah cemberut, Dara kembali duduk di kasur. Bu Amina mengikutinya.
"Dara mimpi datang ke jumpa fans buku Malaikat Cinta, Ma. Selama ini kan gak ada yang tau  Alva  itu siapa. Gak ada keterangan sama sekali. Orang mana, wajahnya kayak apa, kenapa dia bisa bikin cerita sebagus ini, pokoknya misterius abis, deh. Nah… Dara datang ke toko buku tempat jumpa fans, dan dipeluk langsung sama Alva , terus… pipiku dicium…"

"Mama yang nampar pipi kamu! Pake tangan! Bukan pake bibirnya si Alva! Lagian, kok kamu bisa sih mimpiin tentang cowok? Pacaran aja belum pernah…"

Dara jadi sewot berat. "Kriteria orang yang jadi pacar Dara itu gak sembarangan, tau! Mama mau punya mantu gak jelas?"

"Mama kan ngomongin pacaran, bukan nikah! Tapi baguslah kalo kamu mimpinya tentang cowok…"

"Maksudnya apaan, nih?!" Tangan Dara menggapai, berusaha merebut novel dari tangan mamanya. Dan berhasil. Diam-diam, Dara nyengir.

"Maksud Mama udah jelas, kan? Kalo kamu masih bisa mimpi tentang cowok, berarti masih ada harapan. Anak Mama yang satu ini ternyata masih doyan cowok…"

"MAMAAAA! Yaiyalah aku suka sama cowok! Emangnya aku lesbian, apa? Sembarangan aja! Mama sendiri yang ngomong kalo nyari cowok itu hati-hati. Liat bobot, bibit, bebetnya. Selama ini cowok yang suka sama Dara, bebek semua, tuh…"

"Kamu kalo nyari alasan paling bisa. Cowok mana yang suka sama cewek yang galaknya kayak kamu?"

"Cowok kayak Alva  dong, Ma…"

Jidat Dara ditoyor Bu Amina lagi. "Udah, ah. Mama mau tidur lagi. Awas ya, kalo sampe ngigo gak jelas kayak tadi. Liat tuh, sekarang udah jam 3 pagi! Ganggu tidur Mama aja. Mama kalo sampe kurang tidur, bawaannya cranky tau, gak…"

Dara ngakak. "Emangnya Mama tau cranky artinya apa?"

"Nggak. Tapi kan itu kata yang keren. Mama sering denger di tipi…" Bu Amina menjawab dengan sikap cuek. Dara ketawa lagi saat mamanya melangkah keluar dari kamar, dan menutup pintunya perlahan.

Dara meraih novel kesayangannya. Judul Malaikat Cinta dengan tinta warna biru muda dan gradasi abu-abu, cover sederhana dengan siluet lingkaran halo, sayap malaikat dan sosok tanpa wajah yang sedang berdansa dengan seorang wanita yang wajahnya juga tak terlihat, dengan rambut panjang berwarna putih dan garis tegas berwarna hitam menambah pesona novel ini.
Karena terlalu sering dibaca ulang, novel itu tampak kusam dan lecek. Dara tersenyum saat melihat nama Alva  terukir di bagian bawah cover novelnya.

"Cinta memang tak pernah usang untuk dibicarakan, apapun bentuknya. Novel ini tidak diperuntukkan kalian yang menganut prinsip "seeing is believing." Tuhan tak terlihat, tapi kita percaya keberadaannya. Udara tak terlihat, tapi tanpanya kita hanya mayat pucat yang tak bernyawa. Cinta tak bisa kita raba, dengar atau lihat. Tapi tanpa cinta, kita hanya manusia yang berjalan seumpama zombie. Bernyawa tapi tak merasa. Melihat tapi tak menyimak. Mendengar tapi tak mengerti. Berakal tapi tak berpengetahuan. Cinta adalah segalanya. Cinta adalah tanda tanya terbesar. Selalu ada alasan untuk mencinta, karena cinta adalah harapan yang harus dipunyai semua orang.

Berbicara tentang cinta, berarti kita membicarakan sejarah yang terentang jutaan tahun lamanya. Cinta tak pernah berubah dari jaman ke jaman. Ia ada, hadir dan memenuhi relung hati manusia primitif sekalipun. Tanpanya, kita tak pantas disebut manusia. Bahkan binatang pun mempunyai rasa cinta. Lihatlah induk ayam yang melindungi anak-anaknya dalam hangat lekukan sayap mereka yang tak bisa digunakan untuk terbang. Lihatlah kantung kanguru yang melindungi anak-anak kanguru yang masih lemah dan tak berdaya.

Cinta itu sederhana, tapi juga rumit. Siapakah yang  bisa mendefinisikan cinta? Apa itu cinta? Tak ada kata atau bahasa yang bisa menjabarkannya. Kita merasa, tapi tak bisa menjelaskan arti cinta sebenarnya. Rumit? Tidak juga. Cinta itu sederhana. Tak diperlukan emas atau permata untuk membelinya. Karena cinta tak diperjualbelikan seperti pelacur yang menggadaikan badannya sementara untuk uang. Cinta itu gratis, seperti halnya bernapas. Di saat buang air kecil saja harus membayar, kita bebas mencintai sesuka hati, tanpa ada batasan.
Banyak yang bilang, "Love is blind". Saya tak pernah setuju. "Love isn't blind. It sees, but it doesn't mind." Cinta itu nggak buta. Cinta melihat, tapi tak peduli apa yang dilihatnya. Karena cinta bukan sekedar penampakan fisik. Cinta menerawang ke dalam jiwa. Tanpa cinta, jiwa kita hampa.

Yang akan kalian baca adalah satu kisah cinta sederhana, tapi juga rumit. Sederhana, karena cinta tak memilih. Rumit, karena kita tak bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta. Ke mana cinta akan berlabuh? Hanya hati yang tau.

Selamat menikmati.

Alva."

Dara menghela napas panjang. Kok bisa ya, ada yang membuat kata-kata sederhana terangkai begitu indah? Padahal ini baru kata pengantar dari sang pengarang. Dara mengamini semua kalimat yang tercetak di kertas warna coklat muda di depannya. Cinta itu rumit sekaligus sederhana. Seperti rangkaian simbol tak terputus,yang tak ketahuan mana ujung pangkalnya.

Ah, Alva…

Dara meletakkan novel itu, satu senyum terukir di wajahnya, kedua tangannya memeluk lutut, pandangannya menerawang. Jika saat ini Alva hadir dalam wujud nyata di depannya dan memintanya untuk menikah, Dara akan menjawab "ya" tanpa berpikir. Dara bahkan tak peduli bagaimana sosok Alva yang sebenarnya. Seperti kata Alva, cinta menerawang ke dalam jiwa, bukan sosok fisik semata.
Masalahnya, mungkin Dara bukan manusia satu-satunya yang jatuh cinta kepada Alva. Mungkin di luar sana, ada beribu-ribu gadis sepertinya. Jatuh cinta, tergila-gila, gila beneran karena terpesona isi buku ini, sekaligus penasaran sama pengarangnya. Namanya aja udah keren begitu. Masak iya sih orangnya jelek? Gak mungkin banget…

Dara terus memeluk lututnya. Terus menerawang dan membayangkan namanya menjadi Nyonya Alva. Bukankah mimpi harus terus dijaga? Bukankah harapan harus terus dipelihara? Mimpi dan harapan Dara sederhana. Tapi juga bagaikan satu mission impossible maha rumit. Dara tak peduli kalau mempunyai mimpi seperti Napoleon yang berniat menaklukkan dunia, Alexander The Great yang punya ambisi hidup selamanya, atau impian Nefertiti yang menginginkan kecantikan abadi. Dara tak peduli. Yang penting dia harus memelihara mimpinya supaya tetap menyala. Siapa sih yang tau ke mana takdir akan membawa kita?

Dara tak tau, takdir sedang menyusun perangkap khusus untuknya. Jalinan yang rapih seperti jaring labah-labah. Tinggal menunggu waktu untuk bergerak dan melancarkan satu gerakan kosmis kecil. Semesta akan berkonspirasi. Membuatnya tak bergerak, pasrah menanti apa yang akan terjadi.

Takdir yang terletak di benua lain. Australia.

Permainan takdir dimulai.



- (oleh @aMrazing)