Tentang 30 Hari Cerita Cinta

Showing posts with label Lagu Cinta untuk Gita. Show all posts
Showing posts with label Lagu Cinta untuk Gita. Show all posts

19 September 2011

Simfoni Keenam #6

Sammy termangu di atas meja belajarnya. Buku-buku pelajarannya sudah ia tutup sedari tadi. Yang ada di hadapannya kini adalah telepon seluler. Ia tatap telepon seluler itu lekat-lekat. Beberapa saat kemudian ia meraihnya dan menekan beberapa angka. Belum juga jaringan telepon terhubung, ia sudah mematikan sambungan. Rasa bersalah memenuhi relung hatinya. Dadanya dijejali penyesalan. Sekali lagi, ia tekan nomor yang sama. Sebaris kalimat muncul di layar HP:
Calling Gita…
Tak ada jawaban. Ia telepon sekali lagi, namun tetap tak ada jawaban. Gita benar-benar marah padanya dengan alasan yang tak ia pahami. Keluarganya memang ingin menikahkan dirinya dengan Rena untuk alasan uang. Rumah makan ayahnya butuh suntikan modal, dan menikahi anak seorang pengusaha besar adalah satu-satunya jalan menghindari kebangkrutan. Apa salahnya? Toh, ia dan Rena saling mencintai. Sepertinya…
Untuk yang satu itu, Sammy memang belum terlalu yakin. Pada pertemuan kemarin malam, Rena memang tampil mempesona. Namun itu belum cukup membuatnya jatuh cinta. Pesona Rena belum bisa membuat Sammy berhenti memikirkan Gita.
Apakah ia mencintai Gita? Gak banget! seru Sammy dalam hati. Gue gak mungkin suka sama cewek aneh itu!
Perempuan adalah makhluk yang sangat aneh. Mereka bisa meledak-ledak karena suatu alasan yang tak jelas. Begitulah yang Sammy yakini. Dan itu terbukti pada Gita. Kenapa Gita harus semarah itu? Apakah motivasinya belajar gitar salah? Kalau memang salah, di mana letak kesalahannya? Ia tak habis pikir. Ia tak bisa mengikuti jalan pikiran gadis itu.
Semakin lama ia memikirkannya, semakin sulit ia menghapus bayangan wajah Gita dari benaknya. Gue cuma harus minta maaf sama cewek itu, dan gue pasti bisa berhenti mikirin dia, pikirnya. Tapi gimana caranya minta maaf, kalo telepon gue gak diangkat-angkat gini? Ia menghela napas panjang.
Tiba-tiba ia teringat kartu nama ayah Gita yang ada di dompet ibunya. Seingatnya, di kartu nama itu tertera alamat lengkap Gita. Ia pun segera bangkit dan berjalan menuju pintu keluar.
***
Mobil yang ditumpangi Sammy berhenti di sebuah rumah yang berada di tengah kompleks perumahan. Setelah yakin itu adalah rumah yang dituju, ia segera memarkir mobilnya di pinggir jalan. Ia lalu turun dan bergegas melangkah menuju pintu. Ia tekan bel yang ada di samping daun pintu. Sebuah alunan nada terdengar di dalam. Beberapa saat kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat. Ketika pintu terbuka, wajah Gita tiba-tiba muncul di hadapan Sammy.
Melihat kehadiran Sammy, raut Gita mengeras. Dahinya mengernyit, membuat kedua alisnya seperti menyatu di tengah-tengah. Ia bergerak menutup kembali daun pintu.
Sammy bergegas menahannya. "Git, sebentar. Gue ke sini mau ngomong sama lo."
"Gue lagi males ngomong. Apalagi sama lo." Ia semakin kuat menekan pintu, berusaha keras menutupnya. Namun gagal. Tenaga Sammy yang jauh lebih besar membuat usahanya sia-sia.
"Jelasin dulu apa salah gue, dan gue bakal pergi dari sini. Gue gak akan nemuin lo lagi."
"Omong kosong! Pergi, atau gue teriak?"
"Please, kasih gue lima detik untuk ngejelasin satu hal. Habis itu terserah kalo elo mau ngusir gue."
Memahami bahwa tenaganya kalah kuat dengan Sammy, Gita akhirnya berhenti berusaha menutup pintu. Ia buka pintu itu hingga separuh. "Oke, lima detik."
"Sebentar," kata Sammy sembari mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku celananya. Ia buka lipatan kertas itu dengan cekatan. "Lo liat ini," pintanya pada Gita. Kertas itu menampilkan sepasang pria dan wanita menggunakan seragam almamater berwarna kuning. "Ini motivasi gue belajar gitar. Gue dapet nama untuk gitar gue dari sini."
Dahi Gita semakin berkerut-kerut. "Gue gak ngerti," katanya.
"Gue pengen banget kuliah di UI. Tapi cita-cita gue bakal gagal, soalnya usaha bokap gue hampir bangkrut. Keluarga gue punya utang yang gede. Satu-satunya jalan untuk keluar dari masalah ini, bokap-nyokap terpaksa ngejodohin gue dengan teman kecil gue. Namanya Rena. Bokapnya dia pengusaha kaya."
"Terus? Maksudnya, dengan begitu, elo tetep boleh menikah dengan alasan uang? Kalo gue jadi Rena, gue pasti sedih banget begitu tahu suami gue gak pernah mencintai gue. Begitu tahu suami gue cuma mau nikahin gue demi harta bokap gue."
"Gak begitu juga," sanggah Sammy. "Gue dan Rena udah dijodohin dari kecil. Jadi sebenernya alasan uang itu cuma alasan penguat aja. Ada alasan itu atau enggak, gue dan Rena tetap bakal menikah."
Gita terdiam sesaat. Ia seperti memikirkan sesuatu. "Lo cinta sama Rena?"
Sammy terkejut mendengarnya. "Kok lo tanya kayak gitu?"
"Gue tanya, elo cinta sama Rena?"
Sammy menelan ludah. "I-iya," angguknya.
Gita tersenyum kecut. "Baguslah. Berarti lo gak bajingan banget."
Sammy tak mengerti, apakah itu sanjungan atau hinaan. Ia juga tak mau memiliki konflik yang lebih panjang dengan gadis itu. "Gue butuh lo, Git," ujar Sammy kemudian.
"Buat apa? Lo udah bisa main gitar. Tinggal dikembangin terus aja, lo pasti jago sendiri."
"Tapi gue harus jago dalam waktu sebulan."
"Jadi, apa lagi sekarang?"
"Lo harus bisa narik simpati nenek buyutnya Rena yang musisi terkenal?"
"Gita, please deh…"
"Terus?"
"Bulan depan gue harus bantuin Rena bikin album. Gue yang ngisi part gitarnya."
"Hah? Gue heran deh. Kalo elo emang gak bisa, kenapa lo gak jujur aja sih dari awal?"
"Bokap gue yang bilang ke bokapnya Rena kalo gue jago main gitar. Bokapnya Rena produser. Dia langsung ngajakin gue bantuin produksi albumnya Rena."
Gita mendengus kecil. "Gue curiga, jangan-jangan dari awal, bokap lo juga ngibulin bokapnya Rena kalo elo suka musik lah, jago main gitar lah, bla… bla… bla…"
"Ya, lo bener."
Gita terdiam sesaat. Beberapa detik kemudian ia berseru, "Hah? Serius lo?"
Sammy mengangguk.
"Wah, bokap lo emang yahud," kata Gita terkekeh.
Sekali lagi, Sammy tak mengerti apakah itu pujian atau hinaan. Ia tak peduli. Yang ia pedulikan, sekarang Gita mau kembali mengajarinya bermain gitar. Hanya itu yang ia pedulikan. Karena hanya itu satu-satunya jalan agar ia bisa berkuliah.
"Dunia emang panggung sandiwara," kata Gita sejurus kemudian.
"Ya… gue setuju sama kata-kata lo."
"Itu bukan kata-kata gue. Itu lirik lagunya God Bless."
"God apa? Gue belum pernah denger nama penyanyi itu."
"Itu bukan nama penyanyi, Dodol! Itu nama band legendaris Indonesia."
"Oh ya? Gue belom pernah denger."
"Apa sih, yang pernah lo denger? Rumus Fisika?" ledek Gita. Sammy hanya melengos. "Gue kasih tahu ya," kata Gita lagi, "lo gak bakal jadi manusia kalo cuma ngerti rumus Fisika. Lo harus ngerti musik. Manusia dilahirkan secara gak sempurna. Gak utuh. Musiklah yang bikin kita jadi utuh. Jadi sempurna."
"Oh ya?"
"Oh ya, oh ya… mulu. Lo punya kata-kata lain gak sih?"
Sammy terkekeh. "Punya. Kata-kata gue gini: Gita, please bantuin gue biar jago main gitar. Gue pengen kuliah di UI."
"Ah, basi lo!"
Sammy terkikik. Gita ikut tertawa geli.
***

(Bersambung)



~ (oleh @garirakaisambu - http://garirakaisambu.com)

18 September 2011

Simfoni Kelima #5

Hari yang ditunggu pun tiba. Siang itu Pak Gideon, Bu Jessica, Sammy dan tak ketinggalan Gita, berkumpul di ruang keluarga. Sammy memainkan sebuah lagu dengan gitarnya. "Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki" dari Sheila on 7. Gita mengubah progresi akor lagu itu hanya menjadi G dan C. Hanya dua akor itu yang perlu Sammy mainkan untuk membawakan lagu dari awal hingga selesai. Secara mengejutkan, Sammy mengalami kemajuan yang cukup pesat. Di hari keempat, Sammy telah menguasai beberapa akor dasar. Pagi tadi Gita mengajarkan lagu itu, dan lima jam kemudian Sammy sudah cukup menguasainya. Ia bernyanyi ala kadarnya. Kedua orangtuanya tak menghiraukan suara Sammy yang pas-pasan. Yang terpenting bagi mereka, anaknya kini sudah bisa bermain gitar.
Pak Gideon, Bu Jessica, serta Gita bertepuk tangan ketika Sammy selesai membawakan lagu.
"Papa tahu, kamu pasti bisa," ucap Pak Gideon seraya menepuk-nepuk pundak anaknya.
"Terima kasih Nak Gita, sekarang anak Ibu bisa menarik perhatian calon mertuanya," ujar Bu Jessica terkekeh.
"Iya. Dan usaha kita gak jadi bangkrut," sahut Pak Gideon dengan mata berbinar. Kedua suami-istri itu tertawa-tawa bahagia.
Gita menatap Sammy dengan pandangan penuh tanya. Sammy memalingkan wajahnya, tak sanggup menatap mata Gita.
"Nak Gita, sebelum pulang, kita makan siang dulu ya?" ajak Bu Jessica.
"Iya. Anggaplah ucapan terima kasih kami, karena kamu berhasil mendidik Sammy secepat ini," sambung Pak Gideon.
Gita tersenyum simpul. Ia mengangguk pelan. "S-saya mau beresin gitar saya dulu," katanya sambil menatap gitarnya yang tergeletak di lantai.
"Ya sudah, kita tunggu di meja makan, ya?" tanya Bu Jessica.
"Baik Bu," angguk Gita.
Bu Jessica dan suaminya lantas pergi meninggalkan ruang keluarga. Sambil berjalan, keduanya masih tertawa-tawa kecil.
"Jadi, lo mau merit?" tanya Gita.
Sammy mengangguk lesu. Tatapannya terarah ke lantai keramik.
"Jadi, lo belajar gitar cuma buat narik simpati calon mertua lo?" Gita tersenyum kecut. Ia berlutut dan masukkan gitar akustiknya ke dalam hard case. "Gue pernah denger pernikahan yang dilandasi harta. Tapi cuma di sinetron. Baru kali ini gue ngelihat dengan mata-kepala gue sendiri." Suara Gita terasa dingin.
"Kok elo jadi sewot, sih?" tanya Sammy.
"Si Kuning itu nama siapa? Panggilan kesayangan buat pacar lo, kan?" tembak Gita.
"Gita… elo gak tahu apa-apa tentang keluarga gue. Lo gak tahu apa-apa tentang gue. Lo gak berhak ngasih penilaian apapun terhadap gue dan keluarga gue."
Gita telah selesai membereskan gitarnya. Ia berdiri dan menatap mata Sammy dengan tajam. "Bilangin ke bo-nyok lo, gue gak jadi makan!" ucapnya. Ia lantas berbalik dan berjalan cepat meninggalkan ruangan itu.
Sammy hanya terdiam menatap punggung Gita yang bergerak menjauh. Ketika Gita menghilang di balik dinding, ia baru menyadari, ucapannya mungkin terlalu kasar. Ah, gak usah gue pikirin. Toh dia yang ngata-ngatain gue duluan, bela Sammy dalam hati.
***
Malam harinya, sebuah reuni keluarga kecil-kecilan terjadi di ruang makan rumah Sammy. Pak Leo dan Pak Gideon bercengkerama dengan hangat. Bu Jessica dan Bu Rika, istri Pak Leo, ikut menyemarakkan suasana. Rena sesekali mengeluarkan celotehan yang membuat keempat orang dewasa itu tertawa terbahak-bahak. Topik pembicaraan mereka berkisar antara masa kecil Sammy dan Rena yang menggelikan.
"Waktu itu, Sammy yang ngompol duluan," kata Bu Jessica. "Dia nangis. Rena ikut-ikutan nangis. Eh, habis itu, Rena malah ikutan ngompol."
Semua orang yang ada di ruangan itu tertawa terbahak-bahak. Sammy hanya tersenyum simpul. Ia tak begitu tertarik dengan topik pembicaraan. Ia bahkan tak tertarik dengan acara malam itu. Entah mengapa, sedari tadi wajah Gita berputar-putar di benaknya. Ia meletakkan sendok dan garpu di atas piring. Ia berdiri dan bergerak meninggalkan ruangan itu.
"Mau ke mana Sam?" tanya Bu Jessica.
"Ke toilet," jawab Sammy.
"Jangan lama-lama," kata Pak Gideon.
Sammy hanya mengangguk lemah. Sebenarnya, ia tak ingin ke toilet. Ia hanya butuh waktu untuk sendiri. Entah mengapa ruang makan itu terasa sesak. Ia butuh udara segar.
Ketika melewati ruang keluarga, perhatiannya tertuju pada gitar berwarna merah pemberian ayahnya. Langkahnya terhenti. Ia tatap gitar itu beberapa detik. Ia memutuskan untuk mendekatinya. Ia angkat gitar itu, lalu memainkannya perlahan sambil berdiri. Suaranya lirih menyanyikan lagu Sheila on 7—satu-satunya lagu yang ia kuasai saat itu. Lirik lagu itu terasa merasuk dalam jiwanya. Ia bernyanyi dengan pelan, berusaha agar suaranya tak sampai terdengar ke ruang makan.
Sebuah tepukan di pundak kanannya membuatnya terkejut. Ia berhenti bernyanyi, lalu menoleh.
"Katanya kamu mau ke toilet?" tanya Rena yang sudah berdiri di hadapannya. Gadis itu mengenakan mini dress biru yang melekat pas dengan tubuhnya. Sapuan make-up tipis membuat wajahnya terlihat segar. Anting-anting biru di telinganya terlihat serasi dengan pakaiannya. Dalam balutan busana seperti itu, Rena tampak lebih dewasa dari umurnya yang sebenarnya.
Saking seriusnya menghayati lagu, Sammy sampai tak menyadari kehadiran orang lain di ruangan itu. "Ehm… tiba-tiba aja gak jadi pengen buang air."
Rena mengangguk-angguk kecil. "Dari tadi, aku perhatiin kamu diam aja," katanya. "Kamu lagi ada masalah?" tanyanya kemudian.
Sammy menggelengkan kepala.
"Atau… kamu gak suka dengan kedatanganku?" tanya Rena lagi.
"Eng… enggak, bukan itu. Aku cuma—" Suara Sammy tercekat di tenggorokan. "Entahlah…" katanya seraya menghela napas panjang.
"Kalau ada masalah, kamu bisa cerita ke aku," kata Rena.
Sammy menatap lembut mata Rena. Ada keramahan yang terpancar di sana. "Aku baik-baik aja. Terima kasih," kata Sammy. "Mending sekarang kita balik ke ruang makan. Sebelum nyokap gue mulai panik." Ia mencoba mencairkan suasana.
Rena tersenyum. "Kamu lucu. Kayak dulu…"
Sammy memaksakan sebuah senyum. Wajahnya terasa kaku. Keduanya lantas berjalan menuju meja makan.
"Jadi, kamu suka main musik sekarang, Sam?" tanya Pak Leo, menyambut Sammy yang telah kembali.
"Eng—"
"Suara Sammy bagus, Pi," kata Rena. "Tadi Rena sempet dengerin. Main gitarnya juga lumayan."
Sammy menatap Rena yang tersenyum ke arahnya. Ia tak bisa berkata-kata.
"Oh ya? Wah, kalian bakal cocok kalau begitu," kata Pak Leo.
"Sammy ini dari dulu kerjaannya nge-band terus, Pak Leo," kata Pak Gideon.
"Oh ya? Jadi kamu nge-band juga?" tanya Pak Leo dengan mata berbinar.
Pak Gideon mengangguk mantap. "Saya sampai capek ngingetin dia untuk fokus ke sekolah. Tapi sekarang kan dia sudah lulus. Jadi, saya dukung saja kegiatan dia. Siapa tahu dia berhasil di musik."
Sammy hanya terdiam mendengar bualan ayahnya.
"Kalau kamu mau, kamu bisa bantuin Rena di produksi albumnya. Kebetulan dia lagi butuh gitaris," kata Pak Leo. "Itu juga kalau kamu mau."
"Wah, Sammy pasti senang sekali," kata Bu Jessica. "Apalagi bisa bikin album sama Rena. Iya kan, Sam?"
Sammy tersenyum kecut, lalu mengangguk pelan. "I-iya…"
"Bagus, bagus. Kalau begitu, bulan depan Bapak tunggu kamu di studio. Kebetulan Bapak sendiri yang jadi produsernya." Pak Leo tersenyum bangga. "Gimana?"
Sammy menelan ludah. Rasanya sungguh pahit. Merasa tak punya pilihan lain, ia pun mengangguk lemah. Sekali lagi, ayahnya menempatkannya dalam posisi sulit. Entah apa yang akan terjadi nanti. Ia baru menguasai satu lagu, dan minggu depan ia sudah membuat janji dengan seorang produser musik untuk membantu pembuatan sebuah album. Gue jadi penasaran, kesialan apa lagi yang bakal gue dapetin nanti? tanya Sammy dalam hati. Ia pun melanjutkan sisa makanannya tanpa nafsu.
***

(Bersambung)


~ (oleh @garirakaisambu)

17 September 2011

Lagu Cinta untuk Gita: Simfoni Keempat #4

"Ma, Sammy minta guru gitar yang baru," rajuk Sammy. Saat itu ia berada di dapur, menunggui ibunya yang tengah menyiapkan makan malam.
"Emangnya kenapa dengan Gita?" tanya Bu Jessica sembari mengaduk-aduk sayur di dalam panci. Sudah sebulan ini ia harus memasak sendiri, setelah dua pembantu rumah tangga dalam keluarga itu terpaksa diberhentikan. Keuangan suaminya yang tak menentu membuatnya harus memutar otak untuk menghemat pengeluaran.
"Dia tuh… aneh banget."
"Aneh?" Bu Jessica menatap anaknya untuk sesaat. "Aneh gimana?"
Sammy mengalihkan pandangan pada tiga piring yang tertumpuk rapi. Ia elus-elus piring itu dengan pelan. "Sammy gak cocok."
Bu Jessica menggeleng-gelengkan kepala. Ia kembali mengaduk sayurnya yang belum matang. "Gita itu bukan orang sembarangan. Kata ayahnya, dia udah jadi guru privat dari SMP."
"Kenapa bukan ayahnya aja yang ngajarin Sammy?"
Bu Jessica menghentikan keasikannya memasak. Ia berbalik, menghadap anaknya. "Gak usah manja. Mama udah bilang, Pak Prasetyo ke Jogja untuk jadi dosen tamu. Pokoknya besok kamu tetap belajar sama Gita," katanya dengan tegas. "Nih, kamu bawa piringnya ke meja makan."
Sammy menuruti perintah ibunya. Ia angkat piring itu perlahan-lahan. "Besok Gita gak akan datang," katanya sambil melangkah pergi.
"Maksud kamu?" tanya Bu Jessica.
Sammy berbalik menatap ibunya. Ia mengangkat kedua bahu. "Katanya, Sammy harus belajar mencintai gitar dulu."
Bu Jessica ternganga mendengarnya. "C-cinta…?"
Sammy mengangguk-angguk kecil. Ia lalu berbalik dan melanjutkan langkah meninggalkan dapur.
***
Dari meja belajarnya, Sammy menatap gitar yang teronggok di sudut kamar. Pikirannya sulit terkonsentrasi pada soal-soal Matematika. Makan malam baru saja usai. Makan malam itu terasa pahit di lidahnya. Bukan karena masakan ibunya. Masakan ibunya tak ada masalah, seperti biasa. Lidahnya pahit karena ucapan Gita pagi tadi. Gita menyuruhnya untuk mencintai gitarnya, seperti ia mencintai pasangan hidupnya sendiri. Namun bagaimana caranya? Ia belum pernah memiliki pasangan hidup. Dalam hidupnya, ia bahkan belum pernah memiliki hubungan spesial dengan seorang gadis. Penampilannya yang terlalu biasa—keriting, berkacamata, kutu buku—membuatnya tidak masuk dalam jajaran cowok populer di sekolah. Beberapa gadis justru memberi gelar yang sungguh menarik untuk dirinya: "Cupu."
Lama ia menekuri gitar pemberian ayahnya. Pada malam itu, setelah pembicaraan mengenai pernikahan selesai, ayahnya langsung menghadiahinya sebuah gitar akustik baru berwarna merah. Sammy tak mengerti reaksi apa yang harus ia tunjukkan saat itu. Haruskah ia marah? Atau sedih? Atau justru gembira, karena keinginannya untuk terus kuliah bisa terwujud? Gitar itu terasa seperti borgol yang membelenggu hidupnya.
Ia tutup bukunya, lalu berdiri dan berjalan menuju sudut kamar. Ia angkat gitar itu perlahan. Ia duduk di atas kasur, lalu meletakkan gitar itu dalam pangkuannya. Ia mencoba melakukan latihan penjarian seperti yang diajarkan Gita pagi ini. Namun ujung jemari tangan kirinya masih nyeri.
"Lo cuma benda mati. Gimana caranya gue bisa mencintai lo?" tanyanya lirih. "Lo gak punya rambut. Lo gak punya mata yang bening kayak Gita…" Sesaat ucapannya terhenti. "Eh, kenapa gue mikirin Gita ya?" Ia menghela napas panjang. Ia geleng-gelengkan kepala untuk menghapus bayangan wajah Gita yang sempat terlintas dalam benaknya.
Sammy sadar, ia tak ingin bisa memainkan gitar. Itulah alasan mengapa tiga jam latihan pagi tadi terasa sia-sia. Ia tak memiliki keinginan. Kalau ada hal yang paling ia inginkan saat ini adalah menjadi mahasiswa dengan baju almamater berwarna kuning—Universitas Indonesia. Itu saja. Dan kalau untuk meraih impiannya itu ia harus menikahi Rena, ia siap melakukannya. Ia tak siap melepas impian kecilnya begitu saja.
"Aha! Gue tahu!" pekik Sammy. Gue tahu gimana caranya mencintai gitar ini! pikirnya.
Ia letakkan gitar itu di atas tempat tidur. Hati-hati. Sangat hati-hati. Ia pun berlari meraih telepon seluler di atas meja belajar. Ia tekan sebuah nomor yang baru saja ia dapatkan dari ibunya. Beberapa saat menunggu, sambungan telepon diangkat di seberang.
"Halo," sapa Sammy. "Ehm… Gita?"
***
Pagi keesokan harinya, Gita masuk ke dalam kamar Sammy pukul tujuh lewat lima menit. Sammy menyambut gadis itu dengan senyum lebar di wajahnya.
"Ngapain lu senyum-senyum gitu? Ayo kita mulai!" tanya Gita.
"Sebentar, gue ambil Si Kuning," jawab Sammy.
"Si—apa?"
Sammy mengangkat gitarnya hati-hati. Ia peluk gitar itu dengan erat. "Si Kuning."
"T-tapi, gitar itu kan warnanya merah?"
Sammy tersenyum simpul. "Ini cara gue mencintai gitar gue. Gue kasih nama dengan nama yang bisa memotivasi gue untuk belajar gitar."
Senyum Gita mengembang. "Nah, ini yang gue suka," katanya. "Udah siap latihan hari ini?"
Sammy mengangguk. Keduanya lantas duduk di kursi yang sudah berada dalam posisi berhadap-hadapan di tengah ruangan. Sambil duduk, Sammy berkata, "Terima kasih, lo udah mau dateng hari ini."
"Ini emang udah kerjaan gue. Kan lo sendiri yang bilang," kata Gita. "Sekarang kita mulai dengan penjarian yang gue ajarin kemarin."
Sammy meletakkan gitar dalam pangkuannya dengan hati-hati. Ia memainkan gitarnya seperti yang diajarkan Gita tempo hari. Ujung jemari tangan kirinya masih terasa nyeri. Namun tetap ia paksakan. Niatnya sudah kuat: ia ingin menjadi mahasiswa Universitas Indonesia. Apapun akan ia lakukan untuk mewujudkannya. Apapun.
"Wah… kemajuan lo pesat juga!" seru Gita. Kepuasan tergambar jelas di wajahnya. "Gini dong dari kemarin!"
Wajah Sammy terasa panas karena pujian itu. Ia garuk belakang kepalanya yang tak terasa gatal.
"Kalau gini caranya," kata Gita, "ntar siang juga elo pasti udah bisa main gitar!"
"Serius lo?"
"Enggaklah. Gue bohong," ujar Gita seraya menampakkan deretan putih giginya yang tersusun rapi. "Ayo latihan lagi. Sekarang gue ajarin jurus yang lain."
"Oke. Jurus apa sekarang?"
"Jurus metik gitar sambil ngangkang." Gita terkekeh.
Sammy ikut tertawa. "Nenek lo yang ngangkang!"
"Nenek lo! Enak aja bawa-bawa nenek gue," sungut Gita.
"Lagian, lo ngasih jurus yang enggak-enggak. Pake ngangkang-ngangkang segala."
Gita terkikik geli. "Udah, buruan ulangin sekali. Habis ini gue ajarin teknik lain."
"Oke." Raut wajah Sammy berubah serius. Ia kembali memusatkan konsentrasinya berlatih gitar. One step closer, pikirnya. Satu langkah menuju UI!
***

(Bersambung)



~ (oleh @garirakaisambu)

16 September 2011

Lagu Cinta untuk Gita: Simfoni Ketiga #3

Mimpi buruk itu benar-benar menjadi kenyataan.
Keesokan paginya Sammy terbangun dengan teriakan keras ibunya dari lantai bawah: "Sammy! Guru musik kamu udah datang! Cepat turun!"
Di atas tempat tidurnya yang empuk, Sammy mengerjap-ngerjapkan mata. Sempat ia berharap, perbincangan semalam antara ia dan orangtuanya hanya sebuah mimpi buruk—tak benar-benar terjadi. Namun teriakan ibunya yang kedua membuatnya yakin, kejadian semalam bukanlah mimpi. Ia benar-benar akan menikah.
"Sammy! Cepat turun! Guru kamu udah nunggu tuh!"
Sammy menguap lebar. Matanya masih berat. Hari ini seharusnya menjadi hari yang menyenangkan untuk belajar Matematika, sesuai jadwal yang telah Sammy buat. Bukan musik. Ia tak pernah menyukai musik. Satu-satunya lagu yang ia hapal adalah "Indonesia Raya." Itu pun karena ia harus menyanyikannya setiap hari Senin, sejak SD hingga lulus SMA. Pentas musik di SMP dan SMA tak pernah bisa menarik perhatiannya. Ia lebih memilih berada di rumah, memfokuskan perhatiannya pada beberapa mata pelajaran yang lemah, agar memperoleh NEM tinggi. Kini ia harus belajar bermain gitar. Entah seperti apa nanti jadinya. Tubuhnya terasa berat. Persendiannya tiba-tiba kaku. Diliriknya jam yang tertempel di dinding kamar. Pukul tujuh lewat lima belas menit. Ia kembali menguap.
Terdengar suara langkah kaki di tangga. Sammy sudah hapal, itu adalah langkah kaki ibunya. Buru-buru ia tutup kepalanya dengan selimut, lalu membenamkan kepalanya dalam bantal. Sesaat kemudian pintu kamarnya dibuka dari luar. Pintu itu memang tak pernah ia kunci. Beberapa detik berikutnya, selimutnya terangkat secara tiba-tiba.
Sammy membuka matanya. "Mama—" Kata-katanya terpotong. Suaranya tercekat di tenggorokan. Bukan ibunya yang ada di hadapannya saat itu. Gadis itu jauh lebih muda dari ibunya. Matanya jauh lebih jernih. Dan wajahnya… sempat membuat napas Sammy terhenti beberapa detik. Ia terhenyak menatap gadis yang sepantaran dengannya itu.
"Bu Jessica bilang, gue boleh langsung masuk ke sini," kata gadis itu. "Bu Jessica nyuruh gue bagnunin lo. Jadi, kalo lo mau marah, silakan marah sama nyokap lo."
Sammy masih terpaku. Ia sulit mempercayai apa yang sedang terjadi—seorang gadis menatap dirinya yang tengah bertelanjang dada. Satu-satunya pakaian yang ia kenakan hanyalah celana pendek berwarna hitam. Ketika menyadari hal itu, ia segera menarik kembali selimutnya. Ia tutupi tubuhnya dengan panik.
"Tenang aja, gue gak akan perkosa lo," kata gadis itu terkikik. "Gue Gita. Gue yang gantiin bokap gue. Bokap gue gak bisa ngajarin lo hari ini." Gadis itu mengulurkan tangannya pada Sammy.
Dalam posisi seperti itu, Sammy menjulurkan tangannya dengan kikuk. Ragu-ragu, ia jabat tangan Gita. Tiba-tiba Gita menariknya kuat-kuat. Sammy yang tak siap, tertarik dan bangkit dari tempat tidur.
"Jam segini masih tidur, mau jadi apa lo?" sentak Gita sambil melepas genggaman tangannya.
Sammy menutupi dada dan bagian bawah perutnya dengan telapak tangan. Ia benar-benar salah tingkah.
Gita terkikik. "Tahan sebentar," katanya sembari mengeluarkan sebuah benda kotak kecil dari dalam tas selempangnya. Ia angkat benda itu mendekati matanya. Sebuah kilatan putih muncul beberapa detik berikutnya. Ia kembali terkekeh. "Pose lo bagus banget. Kalo gue pajang di Monas, lo pasti langsung terkenal." Ia menatap kamera foto di genggamannya dengan puas.
"Hapus foto itu sekarang!" seru Sammy.
"Gak mau!" Gita menjulurkan lidah. Ia segera memasukkan kembali kamera itu ke dalam tasnya.
"Hapus!"
Gita terkekeh. "Lo traktir gue dulu, baru gue hapus fotonya," katanya enteng. "Gimana? Deal?"
"Kamu—"
"Oke, Deal."
Sammy benar-benar tak berkutik melawan gadis di hadapannya. Emosinya sudah di ubun-ubun. Ingin rasanya ia mencincang gadis itu, dan menjadikannya santapan pagi.
Gita membalik badannya. "Cepetan lo pake baju dulu. Abis itu langsung gue ajarin main gitar."
Sammy masih terpaku. Cewek ini benar-benar menyebalkan, pikirnya geram.
"Cepetan! Gue gak punya banyak waktu," kata Gita. "Atau mau gue foto lagi nih?" Tangannya bergerak mendekati tas selempangnya.
Sammy melotot. "I-iya… gue pakai baju sekarang…" Ia segera bergerak menuju lemari.
Gita terkekeh. Sambil menunggu, ia pasang headphone-nya. Kepalanya lalu mengangguk-angguk mengikuti irama.
***
"Sumpah, lo murid paling bego yang pernah gue ajarin," kata Gita, mengakhiri latihan sesi pertama itu.
Sammy memonyongkan bibirnya sembari meletakkan gitar barunya di atas kasur. Ia perhatikan ujung jari telunjuk, tengah, manis, dan kelingkingnya yang memerah. Ujung-ujung jari itu berdenyut-denyut. Rasa nyeri dan panas bercampur jadi satu.
"Biasanya nih ya, kalo gue ngajarin anak-anak, baru sejam penjariannya udah lumayan lancar. Lah ini, gue udah ngajarin tiga jam lebih, lo gak bisa-bisa juga. Parah lo…" Gita menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kenapa sih lo pengen belajar gitar?" tanyanya kemudian.
Sammy menatap mata Gita. "Lo gak perlu tahu. Tugas lo cukup ngajarin gue sampai bisa."
"Tapi kalo orang yang diajarin gak punya motivasi kayak lo gini, guenya sebel juga."
"Jadi guru privat yang profesional, dong. Ya itu resiko lu. Pokoknya hari Sabtu gue harus udah bisa main gitar."
Kedua alis Gita terangkat. Dahinya berkerut. "Kalo gini caranya, sampai kiamat lo gak akan pernah bisa main gitar." Ia memasukkan gitar akustiknya ke dalam hard case. Ia berdiri, lalu melangkah menuju pintu.
"Besok pagi lo ke sini lagi kan?" tanya Sammy.
Langkah Gita terhenti. Sejenak ia menoleh ke belakang. "Lo harus belajar mencintai gitar lo dulu. Anggep gitar itu sebagai pasangan hidup lo. Kalo udah bisa, telepon gue." Ia lalu ngeloyor pergi.
Sammy mendengus kesal. Ia tatap gitar yang teronggok membisu di sebelahnya. Mencintai gitar? Udah sinting kali tu cewek, katanya dalam hati.
***

(Bersambung)



~ (oleh @garirakaisambu)

15 September 2011

Lagu Cinta untuk Gita: Simfoni Kedua #2

Jakarta, Juli 2005
Ketukan tiga kali di pintu kamar membuat konsentrasi belajar Sammy buyar. Dari meja belajarnya, ia menoleh. Ia letakkan sejenak buku Fisika yang ada di genggamannya.
"Sam… buka pintunya," ujar seseorang dari luar dengan suara serak.
Sammy mendengus kesal. Ia mengenali suara itu. Ia betulkan letak kacamatanya untuk sejenak, lalu bangkit dari kursi dan berjalan mendekati pintu. Langkahnya gontai. Ia putar gagang pintu, lalu menarik pintu itu perlahan. Seorang wanita dengan rambut beruban muncul di hadapannya. "Ada apa, Ma?" tanyanya.
"Turun sebentar. Papa mau ngomong sama kamu," ujar Bu Jessica, ibu Sammy. Tatapannya terasa dingin dan tajam.
Sammy memasang tatapan aneh. "Papa? Tumben—"
"Ini penting. Pokoknya kamu turun sekarang," potong Bu Jessica dengan nada datar. Ia pun berlalu dari hadapan Sammy menuju anak tangga.
Sammy menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. Aneh banget. Nggak biasa-biasanya Papa ngajak ngobrol, katanya dalam hati. Dengan kepala yang dipenuhi tanda tanya, ia pun pasrah mengikuti ibunya menuruni tangga.
Di ruang keluarga, Pak Gideon telah duduk menunggu. Televisi menyala dengan suara lirih. Pak Gideon menatapnya dengan tatapan kosong. Kecemasan tampak jelas di wajahnya. Sammy bisa menangkap jelas itu semua. Ia telah berada di lantai bawah dan bergerak menuju sofa.
Bu Jessica duduk di samping suaminya. Ia elus pelan lengan sang suami. Pak Gideon menatapnya sesaat. Pandangan lelaki tua itu lalu terarah tajam pada anak semata wayangnya.
Sammy duduk di atas sofa yang empuk. Meskipun empuk, namun entah mengapa rasanya tak nyaman. Ia memiliki firasat buruk akan ini semua. Entah sudah berapa lama ayahnya tak berbicara padanya. Ayahnya yang pengusaha di bidang kuliner itu sehari-hari selalu sibuk mengurusi rumah makannya. Jika sedang senggang, Pak Gideon selalu bermain golf atau berkaraoke-ria dengan rekan bisnisnya. Sekalinya berada di rumah, ia pasti mengurung diri di dalam kamar yang juga menjadi ruang kerjanya. Entah apa yang dilakukannya di sana, Sammy tak pernah mengetahui. Ia jarang memasuki kamar orangtuanya.
"Seperti yang kamu tahu, usaha Papa hampir bangkrut," kata Pak Gideon membuka percakapan.
Sammy diam tak bereaksi. Ia sudah mendengarnya beberapa bulan terakhir. Sempat mengira itu hanya gosip murahan yang keluar dari mulut salah satu karyawan ayahnya. Baru kali ini ia mendengarnya dari mulut ayahnya sendiri. Dan entah mengapa, ia tak merasa kasihan. Sebaliknya, ia justru bersyukur. Semoga saja, jika usaha Papa bangkrut, Papa bisa punya lebih banyak waktu untuk keluarga, pikir Sammy beberapa kali.
"Utang keluarga kita juga semakin menumpuk," lanjut Pak Gideon. Titik-titik air tampak di sudut kedua matanya. Dahinya berkerut-kerut. Otot wajahnya terlihat menegang. "Kalau Papa tak mendapatkan suntikan modal bulan depan, rumah makan warisan kakek buyutmu itu terpaksa tutup. Kita bahkan harus pindah dari rumah ini." Ada kegetiran dalam nada suaranya. Dua orang yang ada di ruangan itu bisa merasakannya.
Sampai detik ini, Sammy masih tak mengerti kenapa ayahnya harus membicarakan ini semua. Ayahnya tak pernah menceritakan masalah apapun yang ada di rumah makan. Biasanya, Sammy mendengar berbagai informasi itu dari karyawan-karyawan ayahnya.
"Papa minta bantuan kamu," kata Pak Gideon dengan penuh penekanan.
Sammy menatap kedua mata sayu ayahnya. Baru ia sadari, kedua mata ayahnya sembab. Ia menebak, mungkin karena terlalu lama menangis. "Apa… yang bisa Sammy lakukan?" Suara Sammy terdengar lemah. Gabungan antara kebingungan dan kekhawatiran. Ia sudah memiliki firasat buruk sejak di kamar tadi.
"Kamu ingat Rena?" tanya Pak Gideon.
Sekilas, wajah seorang gadis cilik tergambar dalam kepalanya. Seorang gadis berwajah bulat putih dan rambut lurus panjang. Dahinya selalu tertutup poni sepanjang alis. Gadis yang pendiam, namun bisa menjadi liar ketika berada di tengah kerumunan. Seingatnya, gadis cilik itu senang mencari perhatian. Jika menghadiri pesta ulangtahun, ia tak pernah absen untuk tampil. Menyanyi, menari, membaca puisi, apapun akan ia lakukan untuk bisa mendapatkan perhatian teman-temannya.
Sambil masih menatap mata ayahnya, Sammy mengangguk pelan.
"Dia sekarang sedang diorbitkan untuk jadi penyanyi. Kamu tahu sendiri, Pak Leo dari dulu selalu ingin anaknya jadi penyanyi," kata Pak Gideon. "Dan Pak Leo memiliki modal yang cukup untuk membiayai Rena. Lebih dari cukup. Bisnis propertinya semakin maju sekarang ini."
Jika mengingat Rena, ada satu hal yang selalu Sammy ingat: ketika masih kecil, ia sempat dijodohkan dengan Rena. Ayahnya dan Pak Leo sudah menjadi sahabat karib sejak masih bujang. Keduanya menikah hampir dalam waktu yang bersamaan, dan juga memiliki anak dalam waktu yang hampir sama. Sammy lebih tua tiga bulan dari Rena. Pak Gideon dan Pak Leo sepakat menjodohkan anak mereka, agar hubungan keduanya bisa lebih dekat. Namun perjodohan itu tak berlangsung lama. Ketika Pak Leo dan keluarganya memutuskan pindah ke Surabaya, cerita tentang perjodohan itu pun menguap ke udara—seperti sebuah dongeng lama yang semakin tergerus oleh waktu.
"Pak Leo dan Rena sudah kembali ke Jakarta," kata Pak Gideon. "Seminggu yang lalu Papa sempat bertemu dengan Pak Leo. Papa minta bantuan untuk usaha kita. Pak Leo malah menyinggung-nyinggung soal perjodohan kamu dan Rena."
Sammy mulai bisa mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Ia hanya membisu. Sesekali tatapannya tertuju pada wajah lesu ibunya.
"Papa ingin kamu menikah dengan Rena secepatnya."
"M-menikah?!" seru Sammy. Kepalanya mendadak linglung.
"Cuma itu satu-satunya jalan keluar."
"Tapi Sammy baru lulus SMA. Sammy masih mau kuliah dulu, terus kerja."
"Kalau kamu nggak mau menikah dengan Rena, kamu nggak akan pernah bisa kuliah. Papa nggak punya uang untuk mengkuliahkan kamu."
Sammy terdiam. Ia tak tak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Sejak masuk SMA, cita-citanya hanya satu: ia ingin kuliah di UI. Namun kini masa depannya mendadak gelap. Jika tidak kuliah, apa yang harus ia lakukan? Bekerja? Apa yang bisa ia lakukan? Apakah nilai-nilai tingginya dalam pelajaran Fisika, Biologi dan Matematika bisa memberikannya pekerjaan? Sammy bergidik ngeri membayangkannya.
"Pak Leo sudah setuju dengan rencana Papa ini," kata Pak Gideon. "Rena pun tampaknya sudah setuju. Hari Sabtu dia dan orangtuanya akan datang ke sini, menemui kamu."
Sammy menarik napas berat. Umurnya belum genap 18 tahun. Tak pernah terbayang ia akan menikah dalam usia yang teramat muda.
"Besok pagi akan ada guru musik yang datang ke sini." Bu Jessica yang sedari tadi terdiam, akhirnya buka suara.
"Guru musik?" tanya Sammy.
Pak Gideon mengangguk. "Pak Leo ingin sekali memiliki menantu yang bisa bermain musik, agar bisa mendukung profesi anaknya. Papa terpaksa berbohong. Papa mengatakan bahwa kamu bisa bermain gitar dan berbagai alat musik lainnya. Pak Leo kelihatannya percaya dengan kata-kata Papa."
"Kamu harus bisa bermain musik sebelum Rena datang ke rumah," kata Bu Jessica.
Sammy terhenyak. Ia sulit mempercayai indera pendengarannya. "T-tapi, Sabtu kan tinggal empat hari lagi. Gimana caranya Sammy bisa main musik? Sammy nggak ngerti apa-apa tentang musik."
Pak Gideon tersenyum simpul. Dengan tatapan tajam, ia berkata, "Itulah kenapa Papa memilihkan guru musik terbaik untuk kamu. Namanya Pak Prasetyo. Dia dosen musik. Kamu pasti sudah bisa bermain gitar waktu Pak Leo dan Rena ke sini."
Sammy tertunduk. Kelopak matanya terkatup. Dalam mimpinya yang terburuk, kejadian seperti ini belum pernah muncul. Ini lebih buruk dari mimpi buruk. Jauh lebih buruk, rintih Sammy dalam hati.
***

(Bersambung)

~ (oleh @garirakaisambu)

13 September 2011

Lagu Cinta untuk Gita: Simfoni Pertama


Sammy terduduk di ruang tunggu studio Sinatra Music Indonesia, menanti audisi terakhir yang akan menentukan karier bermusiknya. Ia berada di tengah kerumunan musisi lain yang juga mengadu peruntungan. Beberapa wajah familier dalam ingatannya. Ada beberapa bandyang tengah naik daun. Hanya ia satu-satunya peserta audisi dengan format solo. Sejak awal memutuskan hidup bermusik, Sammy memang tak pernah berminat dengan format band. Mungkin karena itulah karier bermusiknya tak pernah mengalami kemajuan. “Format solo lagi nggak laku. Kalau mau, kamu bikin band lah. Nanti kita ngobrol lagi,” ujar seorang Managing Director perusahaan rekaman besar yang sempat ia temui dua minggu lalu. Ucapan itu tak digubrisnya. Ia tetap teguh pada pendiriannya semula. Hari ini ia datang seorang diri. Hanya ia dan gitar akustiknya.
Satu per satu peserta audisi dipanggil masuk ke dalam studio. Di dalam, dewan juri yang terdiri dari para petinggi Sinatra Music Indonesia siap memberi penilaian. Audisi telah dimulai sejak pagi. Meski siang itu jumlah peserta telah bekurang banyak, namun masih ada puluhanband yang menunggu audisi. Ketegangan terasa di udara. Batin Sammy sedikit gentar. Sempat terbersit untuk pergi meninggalkan tempat itu. Namun ia berusaha menguatkan hati.
Segalanya akan ditentukan pada hari ini. Jika lolos, ia akan berhasil meraih mimpinya menjadi musisi profesional. Namun jika gagal, ia telah memutuskan untuk berhenti bermimpi. Ia berencana mengikuti perintah ibunya sejak bertahun-tahun lalu—mengurus rumah makan milik almarhum ayahnya di Jakarta Pusat. Terjebak pada hari-hari kerja yang membosankan setiap hari, seumur hidup. Ia bahkan tak bisa membayangkannya.
Ruangan itu terasa pengap karena ruangan yang penuh sesak. Paru-paru Sammy kekurangan udara segar. Udara dari AC nyaris tak terasa. Namun keadaan itu jauh lebih baik daripada berjemur di bawah sengatan matahari Jakarta. Maka ia pun mencoba bertahan, sembari sesekali menggosok-gosokkan telapak tangannya yang basah ke celana Jeans-nya.
Seorang perempuan muda berpakaian serba-rapi keluar dari pintu studio. Dari balik kacamatanya ia memandang berkeliling. Pandangannya lalu teralih pada setumpuk kertas putih di genggamannya. Ia berdeham sekali, lalu berkata dengan lantang, “Samuel Enrico.”
Jantung Sammy berdegup mendengar namanya disebut. Darah dalam tubuhnya mengalir deras. Perlu waktu beberapa detik baginya mengumpulkan kekuatan, hingga akhirnya ia sanggup berdiri. Lututnya bergetar. Ketika sudah berdiri, baru ia sadari seluruh mata terarah padanya. Ia hembuskan napas panjang untuk sedikit menenangkan diri. Baiklah, ini yang terakhir. Apapun yang terjadi, terjadilah, katanya dalam hati. Setelah merasa lebih tenang, ia pun mulai melangkah. Tangan kanannya menggenggam erat hard case gitar akustik yang catnya sudah mengelupas.
Perempuan tadi menatap Sammy tajam, lalu menggerakkan kepalanya ke arah studio. Ia lantas masuk ke dalam. Sammy mengikuti di belakang. Kedua lututnya semakin lemas ketika memasuki ruang audisi.
Bentuk ruangan itu sama seperti studio musik biasa. Berukuran luas, dengan berbagai perangkat alat musik lengkap. Tiga orang berwajah serius tampak duduk di balik meja, di sudut ruangan. Dua pria dan seorang wanita. Ketiganya menatap Sammy dengan pandangan seperti hewan buas tengah mengincar mangsa.
Keringat dingin semakin membasahi tengkuk dan ketiak Sammy. Ia takut kegugupan itu terbaca oleh tim penilai. Ia tak ingin audisi kali ini gagal. Segalanya telah dipertaruhkan untuk audisi kali ini. Lagu terbaik telah ia siapkan sejak jauh-jauh hari. Sebuah lagu sederhana tentang cinta.
Perempuan yang tadi memanggil nama Sammy berdiri di pinggir ruangan. Dengan ujung dagunya, ia menunjuk ke arah stand microphone di tengah ruangan.
Sammy mengangguk. Ia bergerak ke arah yang ditunjuk. Ia letakkan hard case gitarnya di lantai. Ia buka kunci hard case itu, lalu mengeluarkan gitar akustiknya perlahan. Ia kaitkanstrap gitar di pundaknya, membuat gitar itu tergantung sempurna di tubuhnya. Setelah ia merasa posisinya dirasa mantap, ia mendekati microphone. Ia dekatkan jarak microphonedengan mulutnya.
“Perkenalkan nama dulu, terus sebutin judul lagu,” kata perempuan yang tadi memanggil namanya.
Sammy berdeham sekali. Ia baru saja hendak menyebut namanya, ketika sebuah suara terdengar tiba-tiba.
“K-kamu Sammy, kan?”
Suara wanita. Sammy menatap ke arah sumber suara—pada seorang wanita yang berada di meja dewan juri. Kedua juri lain menatap wanita itu dengan pandangan penuh tanya. Untuk sesaat, Sammy berusaha mengenali wajah itu. Ia merasa mengenal seraut wajah di hadapannya. Namun ia tak yakin. Dan ketika kotak memorinya terbuka, sebuah halilintar seperti menyambar kepalanya. Kedua matanya melotot lebar.
“Kamu masih ingat aku, kan?” tanya wanita itu lagi.
Sammy tak bisa berkata-kata. Seperti mesin waktu, wajah itu itu membawanya menjelajahi masa lalu. Masa-masa di mana seseorang pernah mengajari dua hal penting secara sekaligus. Dua hal yang paling berarti dalam hidupnya: musik dan cinta…
***
(Bersambung)


(Oleh: @garirakaisambu - www.garirakaisambu.com)