Dan, meski aku tak memiliki raga untuk menyentuh kalian, meski kita tak lagi dipersatukan waktu yang mendetakki detik, meski kita berada di antara batasan dunia yang jauh adanya, hati dan pikiranku tak akan berjauh-jauh dari kalian. Aku akan setia bertandang ke cinta yang lalu-lalu. Memandang kalian, mencintai kalian seutuhnya dengan segala keterbatasan yang sekarang kusandang.
Karena Ternyata Cinta, abadi dalam hati.
~~~
Yah, sudah cukup banyak aku mengalirkan buliran air mata di sini; di cerita yang entah kusisipkan fiksi dalam non fiksi, atau non fiksi yang kubumbui ke dalam fiksi.
Terima kasih untuk Tuhan, yang memberi segala rintangan juga halauan; dan Kau izinkan aku untuk menjadikannya bermakna.
Untuk Pos Cinta, yang membuat aku akhirnya dapat menjemarikan jeritan hati.
Untuk Masayu Afifah Antarnusa, cewek cantik nan awesome yang rela namanya aku ganti jadi Viva. :D Terima kasih telah banyak membantuku di sekolah... :*
Untuk Trititha Azizah Syawalia, wanita imut muslimah yang kupinjam nama tengahnya... :3
Untuk Nabil Alifadio, lelaki bersuara emas yang kupeleseti namanya jadi Deo... :D
Untuk Pingkan Jennifer Bacas, cewek cantik yang selalu memanggilku mama sejak bermain-main dengan 'keluarga' di Facebook. Sayang kamu, nak. :*
Untuk mama, wanita terhebat yang pernah kukenal. Papa, yang selalu indah dalam hatiku. Adik kecilku, terus ceria dengan candamu, ya?
Untuk dokter Rianita, dokter hebat nan cantik yang kuubah namanya jadi Riana...
Untuk kakak-kakak band KOTAK, Om Erie Prasetyo dan Ayurie Aseani Sekar Kinasih yang selalu kucintai meski aku tak kuasa menatap kalian dengan langsung.
Dan terakhir, untuk Revand Adisaputra. Kekasih yang seutuhnya sebatas kekasih imaji. Aku berharap, kelak ada nyata lelaki hebat sepertimu yang akan membuatku mengubah pandangan akan Cinta. Benar-benar mengubahnya...
Tuhan, terima kasih telah mengirimkan berjuta cinta-cinta hebat ke dalam hidupku. Bagaimana mereka menutup segala luka dan keluhku. Bagaimana mereka membuat detakku seakan bernafas. Bagaimana mereka, abadi dalam hatiku.
Aku bahagia bisa mengenal kalian, menjadi salah satu dari bagian dalam hidup kalian. Sempat merasakan genggaman kalian. Sempat meremah tangisku pada peluk kalian.
Aku, mencintai kalian tetap; sampai ragaku lesap. :')
~~~
~ (oleh @LandinaAmsayna)
Showing posts with label Sonata Kenangan. Show all posts
Showing posts with label Sonata Kenangan. Show all posts
26 September 2011
25 September 2011
Selamat Tinggal, Cinta...
Aku koma.
Entah berapa kali jarum panjang berdentang melewati angka duabelas selama aku tertidur begitu pulas.
Dan aku merasa, berada di dunia lain. Dunia yang putih. Bahkan antara dinding dengan dasar dunia ini tidak bisa kubedakan. Tapi aku nyaman di sini. Entah mengapa.
Tunggu, aku harus menatap yang kucinta dulu. Sebelum aku benar-benar tak lagi bisa menatap mereka langsung.
Aku perlahan membuka mataku, di ruang yang serba putih juga. Banyak peralatan rumah sakit mengitariku.
"Vina! Kamu sudah bangun, sayang?" Mama, matanya sembab menggenggam erat tanganku.
Aku hanya tersenyum. Tanganku membalas genggamannya.
Aku menggerakkan kepalaku ke arah kiri. Ada papa! Ada papa di sini! Papa bersamaku!
"Papa..." Aku lirih menatapnya.
"Iya, sayang? Maafin papa ninggalin kamu selama ini."
"Papa nggak salah..." Aku mulai kehilangan nafasku.
Ada sudut air mata di sana.
"Revand... Aku bakalan terus cinta kamu."
"Aku juga, sayang." Revand yang bisa dikatakan begitu jarang menangis, kini ia menangis.
"Guys..."
"Iya, Vina..." Viva yang terdekat denganku. Di belakangnya ada Jennifer, Azizah, dan Deo.
"Makasih udah jadi teman terbaikku selama ini."
"Kakak! Ayo main lagi. Ayo ngajarin Reno lagi." Mata Reno masih terlihat sembab.
"Hihi... Mulai sekarang, kamu yang rajin ya, sayang..." Aku mengusap kepalanya yang masih kecil.
"Papa... Mama..." Aku menarik kedua tangan mereka. Lalu mempersatukannya, seperti sediakala yang selalu kudambakan terjadi lagi, "Vina pengen, kalian ngebesarin Reno bersama-sama. Vina pengen kalian bersatu lagi. Walaupun hanya sementara, Vina pengen ngeliat." Aku sudah mulai tak tahan mengeluarkan suara lagi.
Papa mengangguk pasti, "Iya, Vina. Nih. Kamu liat, papa sama mama bakalan jagain Reno bareng-bareng."
Aku dapat melihat tangan papa menggenggam erat tangan mama. Aku benar-benar rindu saat-saat seperti ini, ketika aku masih belia. Sungguh, jika aku boleh meminta, aku ingin melihat semua ini lebih lama lagi. Tapi Tuhan berkehendak lain. Ragaku harus dilumpuhkan total oleh sang kanker.
Inilah... Inilah saatku harus benar-benar melepas kalian, yang kucinta.
"Aku cinta kalian semua." Hanya itu sepenggal kata terakhirku. Lalu aku perlahan memejamkan mataku lagi.
Hilang. Ragaku hilang untuk membelai mereka.
Oh ya! Ada satu lagi yang belum sempat kuberikan kepada mereka.
Semua terheran mendengar sebuah perekam suara memutar suaranya sendiri. Tidak, tidak sendiri. Akulah yang memutarnya, untuk kalian. Itu adalah sonata terakhir yang dapat kuciptakan.
"Itu suara kak Vina! Kakak bangun! Aku tau kakak cuma pura-pura tidur. Kakak, ayo bangun!" Terlihat Reno mengguncang-guncang tubuhku sebisanya. "Mama, kenapa kakak nggak bangun-bangun?"
Mama hanya menangis di hadapanku.
Reno, kakak akan selalu berada di sampingmu. Menemani kamu main, menemani kamu belajar, meski kakak nggak lagi bisa kamu lihat.
Mama, terima kasih telah menjagaku seutuhnya. Menjadi ibu sekaligus ayah yang baik untukku.
Papa, maaf aku tak sempat besar bersamamu.
Sahabat-sahabatku, terima kasih tetap setia bersamaku. Bagaimanapun aku. Aku akan tetap bersama-sama kalian, dalam hati.
Dan Revand, terima kasih telah menanam cinta abadi dalam hati.
"Ini sonata kenangan darinya..." Revand menangis.
Ya, meski aku tak lagi bisa menyanyi untuk kalian, setidaknya aku sempat menciptakannya untuk kalian.
"Vina ngga boleh pergi." Deo menjerit perlahan.
Aku ingin tak ada air mata lagi mengiringi kepergianku. Aku sudah bahagia di sini. Aku tak lagi merasakan sakit-sakitku.
Aku bebas!
Dan aku berjanji, akan tetap hidup dalam hati kalian. Meski paru-paruku tak akan bernafas untuk ragaku lagi.
Inilah saatnya aku harus melepaskan kalian secara abadi. Berjanjilah, memagari cinta yang pernah kita semai bersama, lalu tumbuh menjadi kelopak-kelopak keabadian.
Tuhan, terima kasih telah mengirim berjuta cinta-cinta yang hebat. Yang tegar mengokohkan cintanya.
Aku; akan tetap mencintai kalian, sebagai yang kubisa...
~ (oleh @LandinaAmsayna)
24 September 2011
Sepenggal Lagu Untuk yang Merajai Hati
Tanpa pikir panjang aku beranjak, walau dengan tenaga yang masih melemas. Aku mengambil gitar, secarik kertas dan pena. Aku tak perduli apa yang akan terjadi nanti setelah aku menolak keinginan kankerku. Aku hanya ingin bebas!
Lepas!
Menjadi manusia yang biasa. Meski aku tau jalanku tak begitu biasa.
Semoga mama masih sibuk dengan masakannya di dapur, sehingga suara gitar dan suaraku redam oleh kegiatannya.
Aku mulai memetik gitarku, perlahan. Ada begitu banyak kata-kata dan sebias nada-nada yang melintang di otakku, juga hatiku. Kucoba padukannya jadi satu.
"Kumengerti dunia tak lagi menjamah eratku
Kusadari nafas ini menyesakkan bagiku
Izinkan aku sekali saja menatap matanya
Merasakan hadir di dekat dekapnya.
Kusadari nafas ini menyesakkan bagiku
Izinkan aku sekali saja menatap matanya
Merasakan hadir di dekat dekapnya.
Kuyakini nanti akan ada di sudut dunia
Menantiku, mengharapkan bahagia abadi
Dan aku akan lari, merambah indah lurus detakku
Tampakkan bahwa ku mampu berpijar
Menantiku, mengharapkan bahagia abadi
Dan aku akan lari, merambah indah lurus detakku
Tampakkan bahwa ku mampu berpijar
Akulah insan biasa, menjalani pedih yang tak kumengerti
Terbelenggu setiap sudut gelisah
Tanpa ada pilar yang menuntunku
Dan aku kan bertahan, melibas habis luka yang meraja
Menyentuh aksara yang sempat kulepas
Mendekap setetes bara bahagia
Terbelenggu setiap sudut gelisah
Tanpa ada pilar yang menuntunku
Dan aku kan bertahan, melibas habis luka yang meraja
Menyentuh aksara yang sempat kulepas
Mendekap setetes bara bahagia
Meski kan harus kuakhiri detakku dengan luka
Sungguh harus kuterima dengan lepas
Aku mencintai sempat menjadi bagian darimu.
Merasakan menjadi yang hidup dalam hatimu
Sungguh harus kuterima dengan lepas
Aku mencintai sempat menjadi bagian darimu.
Merasakan menjadi yang hidup dalam hatimu
Biarkanku lepas, menatap gemerlap dunia semu
Izinkanku terlelap di pangkuanmu
Mendekapmu di akhir hembusku"
Izinkanku terlelap di pangkuanmu
Mendekapmu di akhir hembusku"
Itu, hanyalah serangkaian kata-kata. Yang kuberi nada. Lantas kusematkan tangkai cerita. Sepenggal lagu untuk yang merajai hati. Mereka-mereka yang menyimpan sebongkah cintanya di hatiku.
Kurekam paduan gitar dan laguku bersamaan di sebuah alat perekam suara. Aku ingin lagu ini abadi. Bagaimanapun aku nanti.
Aku meletakkan gitarku di tempat semula.
"Vina, nih! Makan dulu, ya..." Aku terkejut, ternyata mama sudah di depan pintu. Tanpa pemikiran panjang, aku memasukkan alat perekam itu di saku celanaku.
"Eh, iya, ma. Makasih, ya..."
Mama baru saja meletakkan nampan berisi bubur itu di meja kecil samping ranjangku, aku sudah kesulitan menerima oksigen lagi.
"Mama..." Tanganku berusaha menggapainya. Namun tidak bisa. Aku lemas. Aku jatuh seadanya.
Mama panik, ia meraihku secepat yang ia bisa. Gelas di tangannya terjatuh ke lantai, pecah menjadi berkian-kian keping. Seolah mewakili pecahnya tangis mama.
Aku tak begitu tau lagi apa yang terjadi. Sesaat, meski semua terasa gelap, aku masih bisa merasakan sentuhan dan suara-suara yang ada. Aku bisa merasakan mama merengkuhku. Aku bisa mendengar mama menangis. Aku merasa, mungkin seperti aku dibawa keluar, lalu turun. Lalu sisanya, menyimpan tanda tanya bagiku. Aku tak lagi bisa merasakan semua. Aku seakan benar-benar lemah. Seperti orang yang diberi obat tidur dosis tinggi, dibius.
Mama, maafkan aku. Aku tak seharusnya memaksakan diri merangkai lagu itu...
Kurekam paduan gitar dan laguku bersamaan di sebuah alat perekam suara. Aku ingin lagu ini abadi. Bagaimanapun aku nanti.
Aku meletakkan gitarku di tempat semula.
"Vina, nih! Makan dulu, ya..." Aku terkejut, ternyata mama sudah di depan pintu. Tanpa pemikiran panjang, aku memasukkan alat perekam itu di saku celanaku.
"Eh, iya, ma. Makasih, ya..."
Mama baru saja meletakkan nampan berisi bubur itu di meja kecil samping ranjangku, aku sudah kesulitan menerima oksigen lagi.
"Mama..." Tanganku berusaha menggapainya. Namun tidak bisa. Aku lemas. Aku jatuh seadanya.
Mama panik, ia meraihku secepat yang ia bisa. Gelas di tangannya terjatuh ke lantai, pecah menjadi berkian-kian keping. Seolah mewakili pecahnya tangis mama.
Aku tak begitu tau lagi apa yang terjadi. Sesaat, meski semua terasa gelap, aku masih bisa merasakan sentuhan dan suara-suara yang ada. Aku bisa merasakan mama merengkuhku. Aku bisa mendengar mama menangis. Aku merasa, mungkin seperti aku dibawa keluar, lalu turun. Lalu sisanya, menyimpan tanda tanya bagiku. Aku tak lagi bisa merasakan semua. Aku seakan benar-benar lemah. Seperti orang yang diberi obat tidur dosis tinggi, dibius.
Mama, maafkan aku. Aku tak seharusnya memaksakan diri merangkai lagu itu...
~ (oleh @LandinaAmsayna)
23 September 2011
Izinkan Aku Sekali Saja Menatap Matanya
Dan sekarang, semua semakin tak terkendali oleh sel-sel yang berkembang secara abnormal itu. Aku benar-benar sulit menerima pelajaran di sekolah. Aku harus bolak-balik ke kamar mandi hanya untuk membersihkan darah yang berserak tanpa kuperintah. Mungkin, memang pendarahan di paru-paruku semakin hebat. Kadang itu membuat dadaku seakan dililit. Seakan oksigen menolak mentah-mentah untuk bertandang ke paru-paruku.
Aku tak lagi berani mengetahui, atau bahkan sekedar memeriksa sejauh mana kankerku berkembang dan meluas. Aku tak sanggup. Memandang berapa kali jarum panjang arlojiku bergerak melewati angka duabelas pun mataku kelu. Setegar apapun aku menguat, ada kala aku merasa sebagai gadis yang lemah. Yang tertatih, seperti ikan yang kesulitan meraih laut setelah terhempas ke tepian pantai yang gersang.
***
Aku masih saja terpaku memandang idolaku di layar televisi. Terpampang namanya akan mengisi di suatu acara di televisi swasta, dekat-dekat ini. Sudah lama aku mencintai mereka, namun; tak sedetik pun aku sempat menatap mata mereka. Mama selalu melarangku, dengan alasan takut aku tak kuat mengikuti sepanjang acara. Apalagi, band idolaku ini adalah band yang bisa dikatakan dengan setarik suara bisa mengguncang gairah penonton untuk melompat-lompat. Tapi percayalah, aku tak selemah yang beliau kira.
Terkadang, aku iri ketika hampir semuanya berteriak 'aku merindukanmu!', sedangkan aku hanya bisa menderu, 'boleh aku menatapmu?'
"Vin, itu acaranya di mana?" Aku terkejut. Ternyata mama sudah berada di belakangku.
"Di Jakarta, ma."
"Kok kamu diam aja?"
Aku menoleh padanya, "Maksud mama?"
Mama tersenyum penuh arti, "Jarak Depok ke Jakarta deket, kan?"
"Hmm... Iya, dekat." Aku masih saja tak paham kata-kata mama.
"Nggak pengen ketemu mereka, nih?" Mama mendelik.
"Memangnya aku boleh? Tapi kata mama...?"
"Mama ngerti kamu, kok. Dulu mama juga seorang yang memiliki idola. Ambil bagianmu, besok."
"Mama... Mama serius?" Aku sungguh tergagap.
Mama mengerlingkan mata kanannya.
"Makasih, mamaaa..." Aku mendekapnya erat-erat.
"Ssttt... Simpan air mata kamu ketika ketemu mereka nanti. Hihi..."
Aku tersipu malu.
Keesokan harinya, sungguh aku tak sabar menerjang pagi. Aku akan bertemu idolaku bersama fans-fans di daerahku.
Dan, bagaimana aku tergagap saat menyapanya, bagaimana wajahku saat itu? Entah. Aku meneriakkan namanya, lalu ia menoleh. Benar-benar menatap padaku. Itu saat-saat bagaimana jantungku memacu deras. Sederas air mataku ketika aku memeluk erat dirinya.
Ia menatap lurus ke bola mataku. Dapat kurasakan halus tangannya menyentuh lenganku. Suaranya tertuju padaku. Kau tahu rasanya diajak bicara oleh seorang yang kukagumi sejak 3 tahun silam? Sulit diterjemahkan ke dalam kata-kata. Bahkan mungkin, rasa ini belum ternama.
Dan aku akhirnya diizinkan memeluk dan memberikan hadiah kecil untuk seorang gadis kecil nan jelita. Ia bukan personel dari band idolaku, tapi aku mencintainya sejak aku menatapnya dalam foto. Mungkin kalimat 'tak kenal maka tak sayang' masih melekat di pikiran yang lain. Tapi entah, pertama kali melihat dan mengetahui dirinya di dunia maya, aku menyayanginya. Dan, sekarang aku benar-benar menatapnya. Jika boleh meminta, aku ingin dunia berputar dengan kejadian ini saja. Agar aku bisa lebih lama merasakan hadir di dekapnya.
Tuhan, terima kasih telah mengizinkanku menatap mata mereka, yang kucinta...
Aku masih saja terpaku memandang idolaku di layar televisi. Terpampang namanya akan mengisi di suatu acara di televisi swasta, dekat-dekat ini. Sudah lama aku mencintai mereka, namun; tak sedetik pun aku sempat menatap mata mereka. Mama selalu melarangku, dengan alasan takut aku tak kuat mengikuti sepanjang acara. Apalagi, band idolaku ini adalah band yang bisa dikatakan dengan setarik suara bisa mengguncang gairah penonton untuk melompat-lompat. Tapi percayalah, aku tak selemah yang beliau kira.
Terkadang, aku iri ketika hampir semuanya berteriak 'aku merindukanmu!', sedangkan aku hanya bisa menderu, 'boleh aku menatapmu?'
"Vin, itu acaranya di mana?" Aku terkejut. Ternyata mama sudah berada di belakangku.
"Di Jakarta, ma."
"Kok kamu diam aja?"
Aku menoleh padanya, "Maksud mama?"
Mama tersenyum penuh arti, "Jarak Depok ke Jakarta deket, kan?"
"Hmm... Iya, dekat." Aku masih saja tak paham kata-kata mama.
"Nggak pengen ketemu mereka, nih?" Mama mendelik.
"Memangnya aku boleh? Tapi kata mama...?"
"Mama ngerti kamu, kok. Dulu mama juga seorang yang memiliki idola. Ambil bagianmu, besok."
"Mama... Mama serius?" Aku sungguh tergagap.
Mama mengerlingkan mata kanannya.
"Makasih, mamaaa..." Aku mendekapnya erat-erat.
"Ssttt... Simpan air mata kamu ketika ketemu mereka nanti. Hihi..."
Aku tersipu malu.
Keesokan harinya, sungguh aku tak sabar menerjang pagi. Aku akan bertemu idolaku bersama fans-fans di daerahku.
Dan, bagaimana aku tergagap saat menyapanya, bagaimana wajahku saat itu? Entah. Aku meneriakkan namanya, lalu ia menoleh. Benar-benar menatap padaku. Itu saat-saat bagaimana jantungku memacu deras. Sederas air mataku ketika aku memeluk erat dirinya.
Ia menatap lurus ke bola mataku. Dapat kurasakan halus tangannya menyentuh lenganku. Suaranya tertuju padaku. Kau tahu rasanya diajak bicara oleh seorang yang kukagumi sejak 3 tahun silam? Sulit diterjemahkan ke dalam kata-kata. Bahkan mungkin, rasa ini belum ternama.
Dan aku akhirnya diizinkan memeluk dan memberikan hadiah kecil untuk seorang gadis kecil nan jelita. Ia bukan personel dari band idolaku, tapi aku mencintainya sejak aku menatapnya dalam foto. Mungkin kalimat 'tak kenal maka tak sayang' masih melekat di pikiran yang lain. Tapi entah, pertama kali melihat dan mengetahui dirinya di dunia maya, aku menyayanginya. Dan, sekarang aku benar-benar menatapnya. Jika boleh meminta, aku ingin dunia berputar dengan kejadian ini saja. Agar aku bisa lebih lama merasakan hadir di dekapnya.
Tuhan, terima kasih telah mengizinkanku menatap mata mereka, yang kucinta...
***
"Gimana tadi?"
"What an amazing day, mom! Makasih, mama..." Aku memeluknya erat-erat.
"Iya, sayang."
Aku lemas tiba-tiba. Mungkin lelah.
"Vina!!" Mama berteriak ketika aku mulai kehilangan keseimbangan, juga pancaran cahaya di mataku meredup perlahan. Semua gelap.
Aku tak tau berapa lama aku tak sadarkan diri. Ketika aku bangun, aku sudah terbaring bersama mama.
"Sayang?"
"Mama, maaf. Vina mungkin nggak seharusnya maksain diri, tadi."
Mama menggeleng, ada sunggingan senyum kecil di sudut pipinya, "kamu nggak salah, sayang. Bagi mama, kamu memang pantas menemui yang kamu cinta. Mama juga dulu punya idola, kok. Mama ngerti yang kamu rasa. Gini-gini mama gaul, lho. Hihihi..."
Aku tau, mama hanya mencairkan suasana meski sebenarnya ia khawatir.
"Sekarang kamu istirahat, ya."
Mama beranjak mengayun daun pintu, lalu hilang dari pandangan.
Mengapa aku berbeda dari kawan-kawanku? Tanpa bisa kupungkiri, jiwaku berteriak demikian.
Aku tidaklah lemah! Terkadang kata-kata itu berkelebat sekilas di benakku.
Aku tak bisa diam mematung seperti ini saja! Terlalu bersahabat dengan sakit-sakit yang datang. Aku ingin sakit ini tak dirasa, meski aku memilikinya.
Aku ingin bernyanyi lagi!
"Gimana tadi?"
"What an amazing day, mom! Makasih, mama..." Aku memeluknya erat-erat.
"Iya, sayang."
Aku lemas tiba-tiba. Mungkin lelah.
"Vina!!" Mama berteriak ketika aku mulai kehilangan keseimbangan, juga pancaran cahaya di mataku meredup perlahan. Semua gelap.
Aku tak tau berapa lama aku tak sadarkan diri. Ketika aku bangun, aku sudah terbaring bersama mama.
"Sayang?"
"Mama, maaf. Vina mungkin nggak seharusnya maksain diri, tadi."
Mama menggeleng, ada sunggingan senyum kecil di sudut pipinya, "kamu nggak salah, sayang. Bagi mama, kamu memang pantas menemui yang kamu cinta. Mama juga dulu punya idola, kok. Mama ngerti yang kamu rasa. Gini-gini mama gaul, lho. Hihihi..."
Aku tau, mama hanya mencairkan suasana meski sebenarnya ia khawatir.
"Sekarang kamu istirahat, ya."
Mama beranjak mengayun daun pintu, lalu hilang dari pandangan.
Mengapa aku berbeda dari kawan-kawanku? Tanpa bisa kupungkiri, jiwaku berteriak demikian.
Aku tidaklah lemah! Terkadang kata-kata itu berkelebat sekilas di benakku.
Aku tak bisa diam mematung seperti ini saja! Terlalu bersahabat dengan sakit-sakit yang datang. Aku ingin sakit ini tak dirasa, meski aku memilikinya.
Aku ingin bernyanyi lagi!
~ (oleh @LandinaAmsayna)
22 September 2011
Tuhan, Mengapa Ia Kembali?
"Vina..." Dokter Riana bangkit dari kursinya dan memelukku. Aku tak mengerti apa maksudnya.
"Kenapa, dokter?"
Ia melepas pelukannya, lalu tersenyum menatapku.
"Saya harap ibu dan Vina bisa menerima semua ini." Dokter Riana menghela nafas sejenak, "kanker itu kembali. Stadiumnya sudah tergolong tinggi." Dia terdiam.
"Maaf, Vina. Tapi bagi saya kamu adalah gadis yang tegar. Saya merasa tidak ada yang perlu disembunyikan di sini. Bagaimanapun saya menyembunyikannya, sesungguhnya kamulah yang merasakan semua. Kamu lebih mengerti apa yang terjadi dalam tubuhmu."
Aku terpaku. Tiada lagi tenagaku untuk sekedar menangis. Kakiku mendadak melemas. Ingin rasanya aku berteriak. Menerbangkan semua beban dalam dadaku.
Aku lelah, Tuhan. Aku lelah...
"Sabar ya, sayang." Mama memelukku. Aku tau mama mengerti segala sakitnya hatiku mendengar kanker itu telah kembali.
"Dokter, Vina masih bisa sembuh, kan? Saya akan melakukan apa aja, dok." Mama yang biasanya berusaha tegar di hadapanku, kini air matanya mengalir tanpa bisa dibendung lagi.
Dokter Riana menggeleng perlahan, "saya tidak bisa memutuskan. Resikonya sangat besar."
"Tolong, dokter. Tolong saya." Mama berujar lirih.
"Stadium kankernya tidaklah kecil, bu. Sebaiknya Vina dirujuk ke dokter yang lebih ahli."
Kami berpamitan, tanpa keputusan yang pasti.
Kanker itu kembali dengan stadium yang lebih tinggi dari sebelumnya, dan aku tau akan semakin meninggi. Menurut buku yang pernah kubaca, harapan hidup penderita kanker stadium akhir tidaklah lama. Walau memang, vonis dokter tidak selalu benar. Bagaimanapun Tuhanlah penentu segalanya. Tapi, tetap aku takut. Masih banyak keindahan-keindahan dunia yang belum sempat kunikmati. Banyak cinta yang belum sempat kusayangi. Banyak cita-cita yang belum sempat kusambangi.
Ujian Nasional semakin dekat, tinggal berjarak beberapa bulan lagi. Aku harap aku masih memiliki nafas untuk melewati UN. Dengan maksimal, tanpa harus dalam kekangan kankerku.
"Revand..." Aku lirih dalam pelukannya.
"Gimana, sayang? Kamu nggak apa-apa, kan?" Revand membelai halus rambutku.
"Aku kanker lagi."
"Ya, Tuhan..." Suaranya melemah.
"Maafin aku. Kamu seharusnya nggak ngasih uang simpanan kuliahmu untuk biaya kesembuhanku waktu itu. Nyatanya, ia kembali. Kanker itu datang lagi." Aku menangis sekuat yang kubisa.
"Vina, aku ikhlas dengan semuanya. Kamu nggak boleh ngomong gitu."
Hening. Hanya isak aku dan mama yang terdengar. Juga nafas Revand yang memburu.
"Rev, makasih sempat mengizinkan aku merasakan sehat kembali. Walau hanya beberapa bulan."
Revand memelukku. Ia mungkin kelu untuk menjawab.
Ternyata Cinta, tulus dan ikhlas. Meski harus terasa sekilas, akan terngiang dengan membekas.
***
"Aku bahagia dapat mengenal kalian, guys." Aku mengatakannya dengan tiba-tiba.
"Kita juga, Vin!" Azizah mewakili.
"Vin, lo udah sembuh, kan?" Viva setengah berbisik.
Aku menggeleng, "kanker itu kembali."
"Revina..." Ia tertegun.
"Jangan bahas itu, ah."
Viva mengangguk. Melanjutkan perjalanan pulang dengan kesunyian di tengah keramaian.
Aku sendiri, berkali-kali mengeluh. Bukan bermaksud putus asa, atau menyerah; Hanya, masih tak paham cara bersahabat dengan takdir. Masih banyak pertanyaan tentang kenyataan yang berkelebat tiap arus detik.
Tuhan, mengapa ia kembali? Terkadang, itu yang kuterka dalam hati, dalam balutan dingin malam, dalam cekikan hal abstrak di dadaku.
~ (oleh @LandinaAmsayna)
"Kenapa, dokter?"
Ia melepas pelukannya, lalu tersenyum menatapku.
"Saya harap ibu dan Vina bisa menerima semua ini." Dokter Riana menghela nafas sejenak, "kanker itu kembali. Stadiumnya sudah tergolong tinggi." Dia terdiam.
"Maaf, Vina. Tapi bagi saya kamu adalah gadis yang tegar. Saya merasa tidak ada yang perlu disembunyikan di sini. Bagaimanapun saya menyembunyikannya, sesungguhnya kamulah yang merasakan semua. Kamu lebih mengerti apa yang terjadi dalam tubuhmu."
Aku terpaku. Tiada lagi tenagaku untuk sekedar menangis. Kakiku mendadak melemas. Ingin rasanya aku berteriak. Menerbangkan semua beban dalam dadaku.
Aku lelah, Tuhan. Aku lelah...
"Sabar ya, sayang." Mama memelukku. Aku tau mama mengerti segala sakitnya hatiku mendengar kanker itu telah kembali.
"Dokter, Vina masih bisa sembuh, kan? Saya akan melakukan apa aja, dok." Mama yang biasanya berusaha tegar di hadapanku, kini air matanya mengalir tanpa bisa dibendung lagi.
Dokter Riana menggeleng perlahan, "saya tidak bisa memutuskan. Resikonya sangat besar."
"Tolong, dokter. Tolong saya." Mama berujar lirih.
"Stadium kankernya tidaklah kecil, bu. Sebaiknya Vina dirujuk ke dokter yang lebih ahli."
Kami berpamitan, tanpa keputusan yang pasti.
Kanker itu kembali dengan stadium yang lebih tinggi dari sebelumnya, dan aku tau akan semakin meninggi. Menurut buku yang pernah kubaca, harapan hidup penderita kanker stadium akhir tidaklah lama. Walau memang, vonis dokter tidak selalu benar. Bagaimanapun Tuhanlah penentu segalanya. Tapi, tetap aku takut. Masih banyak keindahan-keindahan dunia yang belum sempat kunikmati. Banyak cinta yang belum sempat kusayangi. Banyak cita-cita yang belum sempat kusambangi.
Ujian Nasional semakin dekat, tinggal berjarak beberapa bulan lagi. Aku harap aku masih memiliki nafas untuk melewati UN. Dengan maksimal, tanpa harus dalam kekangan kankerku.
"Revand..." Aku lirih dalam pelukannya.
"Gimana, sayang? Kamu nggak apa-apa, kan?" Revand membelai halus rambutku.
"Aku kanker lagi."
"Ya, Tuhan..." Suaranya melemah.
"Maafin aku. Kamu seharusnya nggak ngasih uang simpanan kuliahmu untuk biaya kesembuhanku waktu itu. Nyatanya, ia kembali. Kanker itu datang lagi." Aku menangis sekuat yang kubisa.
"Vina, aku ikhlas dengan semuanya. Kamu nggak boleh ngomong gitu."
Hening. Hanya isak aku dan mama yang terdengar. Juga nafas Revand yang memburu.
"Rev, makasih sempat mengizinkan aku merasakan sehat kembali. Walau hanya beberapa bulan."
Revand memelukku. Ia mungkin kelu untuk menjawab.
Ternyata Cinta, tulus dan ikhlas. Meski harus terasa sekilas, akan terngiang dengan membekas.
***
"Aku bahagia dapat mengenal kalian, guys." Aku mengatakannya dengan tiba-tiba.
"Kita juga, Vin!" Azizah mewakili.
"Vin, lo udah sembuh, kan?" Viva setengah berbisik.
Aku menggeleng, "kanker itu kembali."
"Revina..." Ia tertegun.
"Jangan bahas itu, ah."
Viva mengangguk. Melanjutkan perjalanan pulang dengan kesunyian di tengah keramaian.
Aku sendiri, berkali-kali mengeluh. Bukan bermaksud putus asa, atau menyerah; Hanya, masih tak paham cara bersahabat dengan takdir. Masih banyak pertanyaan tentang kenyataan yang berkelebat tiap arus detik.
Tuhan, mengapa ia kembali? Terkadang, itu yang kuterka dalam hati, dalam balutan dingin malam, dalam cekikan hal abstrak di dadaku.
~ (oleh @LandinaAmsayna)
21 September 2011
Aku Baik-Baik Saja
"Eh, maaf. Gue gak maksud apa-apa, Vin." Helmy merasa tidak enak dengan ceritanya kepadaku.
"Nggak apa-apa, kok," aku tersenyum, lalu menyentuh pundaknya, "yang sabar, ya. Om kamu sudah tenang di sana. Kirim doa terus."
Ada ketakutan yang kembali merambahi diriku. Dokter Riana pun sempat mengatakannya padaku, kemungkinan untuk kambuh lagi begitu tinggi. Ditambah lagi beberapa bulan setelah kemoterapi itu aku batuk terus menerus, walau memang ini biasa. Namun, aku berusaha tidak menggubris kata-kata dokter Riana. Aku ingin merasa benar-benar sembuh, seakan kanker itu tak pernah ada dalam tubuhku.
***
Aku diam seribu bahasa ketika mama memanggilku dari bawah. Aku harap mama mengira aku masih tidur, atau sedang berkecimpung dengan gemuruh air di kamar mandi. Entah, seakan pita suaraku diikat kuat-kuat sampai tak kuasa bergetar.
Aku buru-buru mengikuti sarapan bersama. Ada mama yang sedang menikmati nasi goreng buatannya sendiri, dan Reno yang masih berkutat dengan buku sekolahnya; mungkin tugas sekolah.
"Vin, baru bangun, ya? Dari tadi dipanggilin ngga nyaut."
Aku hanya mampu tersenyum. Sebenarnya, aku tak ingin sarapan, apalagi dengan menu nasi goreng. Kau tau? Saat-saat sedang sesak seperti ini, aku tak sanggup menelan makanan meski kukunyah selumat apapun. Makanan terasa bertengger di dadaku, seakan tak ingin jatuh ke lambungku. Namun, jika aku memutuskan untuk menghindari sarapan pagi ini, mama pasti akan curiga. Dan aku pun, ingin menepis semua ketakutan dalam dadaku. Aku yakin ini hanya faktor cuaca pagi yang beku.
"Vin, kamu sakit? Kok pucet gitu?"
Aku menggeleng perlahan.
Mama menaikkan kedua bahunya.
"Kakak, ini maksudnya apa, sih?" Reno menunjuk salah satu nomor di buku sekolahnya, matanya masih terpaku dan mengerut kebingungan.
Aku tak paham apa yang harus kulakukan. Aku tak dapat berkata sepatah kata pun, bagaimana aku dapat menjelaskannya?
"Vin, jawab tuh." Mama seakan mengerti.
Aku membisik di telinga mama, dengan sekuatnya aku berusaha mengucap sepatah duapatah kata, "Vina sesak." Entah itu cukup ditangkap, atau tidak. Tapi mama mengerti, aku yakin.
"Kita ke dokter Riana sekarang."
Aku menurut. Aku hanya ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja.
***
"Revina Karina..." Aku masih hafal suara suster itu.
Kami masuk.
"Hallo, sayang... Gimana keadaan kamu?" Kami bersalaman hangat.
"Ini, dok. Vina mengeluh sesak nafas, dari beberapa waktu yang lalu juga dia batuk-batuk terus."
Dokter Riana mengerutkan dahi, "kita periksa, ya."
Aku menjalani pemeriksaan seperti yang lalu. Aku mulai merasa tak nyaman. Tapi aku harus yakin, bahwa aku tak apa-apa.
Aku baik-baik saja!
Meski tubuhku seakan tak mengizinkan mengkonfirmasi hatiku.
Tuhan, berikan yang terbaik untukku.
~ (oleh @LandinaAmsayna)
"Nggak apa-apa, kok," aku tersenyum, lalu menyentuh pundaknya, "yang sabar, ya. Om kamu sudah tenang di sana. Kirim doa terus."
Ada ketakutan yang kembali merambahi diriku. Dokter Riana pun sempat mengatakannya padaku, kemungkinan untuk kambuh lagi begitu tinggi. Ditambah lagi beberapa bulan setelah kemoterapi itu aku batuk terus menerus, walau memang ini biasa. Namun, aku berusaha tidak menggubris kata-kata dokter Riana. Aku ingin merasa benar-benar sembuh, seakan kanker itu tak pernah ada dalam tubuhku.
***
Aku diam seribu bahasa ketika mama memanggilku dari bawah. Aku harap mama mengira aku masih tidur, atau sedang berkecimpung dengan gemuruh air di kamar mandi. Entah, seakan pita suaraku diikat kuat-kuat sampai tak kuasa bergetar.
Aku buru-buru mengikuti sarapan bersama. Ada mama yang sedang menikmati nasi goreng buatannya sendiri, dan Reno yang masih berkutat dengan buku sekolahnya; mungkin tugas sekolah.
"Vin, baru bangun, ya? Dari tadi dipanggilin ngga nyaut."
Aku hanya mampu tersenyum. Sebenarnya, aku tak ingin sarapan, apalagi dengan menu nasi goreng. Kau tau? Saat-saat sedang sesak seperti ini, aku tak sanggup menelan makanan meski kukunyah selumat apapun. Makanan terasa bertengger di dadaku, seakan tak ingin jatuh ke lambungku. Namun, jika aku memutuskan untuk menghindari sarapan pagi ini, mama pasti akan curiga. Dan aku pun, ingin menepis semua ketakutan dalam dadaku. Aku yakin ini hanya faktor cuaca pagi yang beku.
"Vin, kamu sakit? Kok pucet gitu?"
Aku menggeleng perlahan.
Mama menaikkan kedua bahunya.
"Kakak, ini maksudnya apa, sih?" Reno menunjuk salah satu nomor di buku sekolahnya, matanya masih terpaku dan mengerut kebingungan.
Aku tak paham apa yang harus kulakukan. Aku tak dapat berkata sepatah kata pun, bagaimana aku dapat menjelaskannya?
"Vin, jawab tuh." Mama seakan mengerti.
Aku membisik di telinga mama, dengan sekuatnya aku berusaha mengucap sepatah duapatah kata, "Vina sesak." Entah itu cukup ditangkap, atau tidak. Tapi mama mengerti, aku yakin.
"Kita ke dokter Riana sekarang."
Aku menurut. Aku hanya ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja.
***
"Revina Karina..." Aku masih hafal suara suster itu.
Kami masuk.
"Hallo, sayang... Gimana keadaan kamu?" Kami bersalaman hangat.
"Ini, dok. Vina mengeluh sesak nafas, dari beberapa waktu yang lalu juga dia batuk-batuk terus."
Dokter Riana mengerutkan dahi, "kita periksa, ya."
Aku menjalani pemeriksaan seperti yang lalu. Aku mulai merasa tak nyaman. Tapi aku harus yakin, bahwa aku tak apa-apa.
Aku baik-baik saja!
Meski tubuhku seakan tak mengizinkan mengkonfirmasi hatiku.
Tuhan, berikan yang terbaik untukku.
~ (oleh @LandinaAmsayna)
20 September 2011
Terima Kasih, Tuhan.
Dan sampailah aku pada pemeriksaan terakhir pasca berkian kali aku melakukan terapi-terapi. Di luar, sudah ada Revand yang menanti dengan cemas.
"Gimana, dok?"
Dokter Riana tersenyum, manis.
"Ini keajaiban. Vina sembuh! Kamu bebas, sayang..!" Dokter Riana sontak memelukku. Memang, antara aku, mama dan dokter Riana sudah begitu dekat semenjak aku menjalani terapi. Seperti saudara sendiri.
Aku membalas pelukkan dokter Riana erat-erat.
"Dokter, makasih..." Banyak haru yang menetes di sana, di hati dan bahunya.
"Tuhan yang telah menyembuhkan kamu, Vina. Aku hanya pengantar."
Aku mengangguk. Tiada henti-hentinya aku melafalkan syukur pada Tuhan. Yang telah memberikan kebebasan padaku dari jerat-jerat kanker yang belakangan ini mencekikku.
Aku langsung memeluk Revand ketika keluar dari ruangan dokter Riana, "Makasih, sayang... Aku sembuh!"
"Aku tau kamu pasti bisa, Vina." Ada setetes air mata yang terbendung di sudut mungil matanya.
Mulai detik ini, aku akan kembali bebas! Melepas resah yang dulu sempat merekat.
Tuhan, terima kasih banyak...
***
Hari ini pertama kalinya aku kembali bersenang-senang bersama sahabat-sahabatku. Walau hanya berkeliling Jakarta sejenak, namun kebersamaan begitu mengena. Banyak cinta di sini.
"Welcome back, Revina Karina!" Deo bergaya seperti penerima tamu.
"Hahaha... Thank you!" Aku meninju canda bahunya.
Seharian, banyak yang kami berlima lakukan. Sesuatu yang mungkin sudah lumrah di kalangan gank lainnya. Tapi; yah, aku lama tak melakukan ini bersama mereka.
Sungguh, aku ingin memeluk mereka, satu-satu.
Dan hari-hari berikutnya, aku mulai beraktifitas seperti biasa. Seperti saat sebelum kanker itu merambahiku. Aku benar-benar merasa seakan terlahir kembali. Seperti bayi mungil yang baru menatap mentari dari gelap rahim seorang ibu. Seakan menemukan dunia baru, yang selalu dinanti siapapun.
Aku bisa sekolah tanpa kesulitan menerima pelajaran, aku bisa bersenang-senang bersama sahabatku, aku diizinkan kembali menyanyi, aku bisa bermain sepuasnya bersama Reno, dan masih banyak lagi yang akan kulepaskan rindunya. Aku yakin, kau mengerti rasa bahagiaku saat ini...
***
"Hei, sudah sembuh, kan?" Sapa salah satu vocalist band yang kukenal ketika kami sama-sama mengisi di acara yang sama, ketika aku baru saja sampai di backstage.
"Yep! Eh, kok tau?" Aku terheran, bahkan dengannya aku tak begitu dekat.
"Nih..." Helmy menyenggol lengan Revand yang sedang berkutat dengan handphone-nya.
"Hei!" Revand menggerutu saat handphone itu nyaris saja terlepas dari genggamannya, karena senggolan Helmy.
Aku tersenyum.
"Jadi inget om gue, deh." Mata Helmy menerawang, menatap ke ujung senar gitar yang dipangkunya.
"Om lo kenapa?"
"Dia dulu sakit kanker paru-paru juga. Sama seperti lo. Dan dia sebenarnya sempat sembuh." Matanya mulai berkaca-kaca.
"Sempat? Maksudnya?"
"Yah, sempat. Kankernya kembali lagi." Air mata itu akhirnya turun.
"Kembali??" Aku sedikit histeris.
"Ya... Lo tau, kan? Kanker paru-paru itu potensinya begitu besar untuk kembali lagi. Maksudnya kambuh lagi."
~ (oleh @LandinaAmsayna)
"Gimana, dok?"
Dokter Riana tersenyum, manis.
"Ini keajaiban. Vina sembuh! Kamu bebas, sayang..!" Dokter Riana sontak memelukku. Memang, antara aku, mama dan dokter Riana sudah begitu dekat semenjak aku menjalani terapi. Seperti saudara sendiri.
Aku membalas pelukkan dokter Riana erat-erat.
"Dokter, makasih..." Banyak haru yang menetes di sana, di hati dan bahunya.
"Tuhan yang telah menyembuhkan kamu, Vina. Aku hanya pengantar."
Aku mengangguk. Tiada henti-hentinya aku melafalkan syukur pada Tuhan. Yang telah memberikan kebebasan padaku dari jerat-jerat kanker yang belakangan ini mencekikku.
Aku langsung memeluk Revand ketika keluar dari ruangan dokter Riana, "Makasih, sayang... Aku sembuh!"
"Aku tau kamu pasti bisa, Vina." Ada setetes air mata yang terbendung di sudut mungil matanya.
Mulai detik ini, aku akan kembali bebas! Melepas resah yang dulu sempat merekat.
Tuhan, terima kasih banyak...
***
Hari ini pertama kalinya aku kembali bersenang-senang bersama sahabat-sahabatku. Walau hanya berkeliling Jakarta sejenak, namun kebersamaan begitu mengena. Banyak cinta di sini.
"Welcome back, Revina Karina!" Deo bergaya seperti penerima tamu.
"Hahaha... Thank you!" Aku meninju canda bahunya.
Seharian, banyak yang kami berlima lakukan. Sesuatu yang mungkin sudah lumrah di kalangan gank lainnya. Tapi; yah, aku lama tak melakukan ini bersama mereka.
Sungguh, aku ingin memeluk mereka, satu-satu.
Dan hari-hari berikutnya, aku mulai beraktifitas seperti biasa. Seperti saat sebelum kanker itu merambahiku. Aku benar-benar merasa seakan terlahir kembali. Seperti bayi mungil yang baru menatap mentari dari gelap rahim seorang ibu. Seakan menemukan dunia baru, yang selalu dinanti siapapun.
Aku bisa sekolah tanpa kesulitan menerima pelajaran, aku bisa bersenang-senang bersama sahabatku, aku diizinkan kembali menyanyi, aku bisa bermain sepuasnya bersama Reno, dan masih banyak lagi yang akan kulepaskan rindunya. Aku yakin, kau mengerti rasa bahagiaku saat ini...
***
"Hei, sudah sembuh, kan?" Sapa salah satu vocalist band yang kukenal ketika kami sama-sama mengisi di acara yang sama, ketika aku baru saja sampai di backstage.
"Yep! Eh, kok tau?" Aku terheran, bahkan dengannya aku tak begitu dekat.
"Nih..." Helmy menyenggol lengan Revand yang sedang berkutat dengan handphone-nya.
"Hei!" Revand menggerutu saat handphone itu nyaris saja terlepas dari genggamannya, karena senggolan Helmy.
Aku tersenyum.
"Jadi inget om gue, deh." Mata Helmy menerawang, menatap ke ujung senar gitar yang dipangkunya.
"Om lo kenapa?"
"Dia dulu sakit kanker paru-paru juga. Sama seperti lo. Dan dia sebenarnya sempat sembuh." Matanya mulai berkaca-kaca.
"Sempat? Maksudnya?"
"Yah, sempat. Kankernya kembali lagi." Air mata itu akhirnya turun.
"Kembali??" Aku sedikit histeris.
"Ya... Lo tau, kan? Kanker paru-paru itu potensinya begitu besar untuk kembali lagi. Maksudnya kambuh lagi."
~ (oleh @LandinaAmsayna)
19 September 2011
Dan Cahaya Mulai Menyengat
"Vina, kamu pasti bisa!" Kata-kata itu terucap bersamaan dengan dokter Riana menatap dalam mataku.
Aku tersenyum kepadanya. Aku menangkap pancarannya, ia ragu. Tapi ia berusaha.
Dan ada setitik keraguan dan ketakutan pun di hatiku. Telah banyak saudara-saudaraku yang menceritakan bagaimana sakitnya, pedihnya dan efeknya setelah kemoterapi dilangsungkan. Namun aku bukan gadis macam itu! Yang mengalah pada rasa cemas, yang menyerah sebelum berperang!
Sekelebat wajah mama, Reno, Revand dan sahabat-sahabatku mengelilingi benakku. Mereka menantiku. Aku harus sembuh. Aku harus berhasil!
Ternyata cinta, membunuh kecemasan. Sekuat apapun gundah melemahkan.
Dan aku mulai menjalani kemoterapi pertamaku. Aku tak tahu apa saja yang terjadi ketika aku dikemoterapi. Sekian puluh persen aku dibius, hanya pada awal-awal aku merasakan sakit dan rasa-rasa yang janggal ketika cairan itu mengalir di darahku.
Dan ketika aku terbangun dari efek biusanku, sudah ada Viva, Deo, Azizah dan Jennifer di sampingku.
"Vinaaa..!!" Teriak mereka hampir bersamaan.
"Hei, guys." Aku masih berkata lemah.
Aku melirik Viva, Viva hanya menyunggingkan senyumnya.
"Lo tetep temen kita gimanapun lo, Vin.." Jennifer tersenyum. Ia berkata tiba-tiba dengan disusul anggukan yang lain. Mungkin melihat kecemasan besar di mataku, tadi.
Air mataku mengalir tanpa kuperintah.
"Maaf gue ngebohongin kalian."
"Kita sebenarnya udah tau, kok. Hanya kita nggak mau bikin lo sedih." Azizah seakan mewakilkan pikiran semua.
"Kok bisa?" Aku terheran.
"Udahlah... Yang jelas, lo bakalan tetep seru-seruan bareng kita, kan?" Viva tersenyum mengejek.
"Tetep ngajarin gue, kan?" Wajah Azizah memolos.
"Nyanyi lagi, kan?" Susul Deo yang kukenal ketika kami mewakili sekolah dalam lomba Nasyid saat itu.
"Tetep jadi mama angkat aku, kaaan?" Jennifer tetap memanja seperti biasanya.
"Iya, iya. Gue bakal tetep seru-seruan bareng kalian. Tetep ngajarin lo, Zah. Hmm... Tapi kalo gue bisa, ya?" Semua serentak terbahak.
"Gue bakal balik nyanyi lagi. Dan, kamu tetap anakku, Jen."
"Asiiik..." Jennifer memelukku dengan tiba-tiba.
"Duuh... Ini ibu-anak angkat serasi banget, deh!" Deo meledek kami.
Tawa kami meledak bahagia.
Tuhan, terima kasih telah mengirim cinta yang setia, sahabat-sahabatku...
***
Aku harus menjalani beberapa kali kemoterapi dan terapi-terapi lainnya. Sebenarnya, aku takut bila absen terus-terusan karena menjalani terapi-terapi ini. Secara, aku sudah kelas tiga SMP. Namun, aku lebih takut lagi bila ketika aku sedang mengikuti Ujian Nasional malah kanker itu menghambatku. Walau efek setelah terapi ini cukup berat bagiku, yang membuat berat badanku turun lebih drastis lagi dari sebelumnya. Dan segala macam lainnya. Tapi, perubahan di tubuhku mulai terasa. Meski pelan-pelan. Setitik cahaya mulai berpendar, menyengat semangatku agar semakin membara.
Aku berharap aku bisa benar-benar terlepas dari jaring-jaring sel kanker di paru-paruku. Masih banyak hal-hal indah yang belum sempat kujamah.
Tuhan, sempurnakan penyembuhanku...
~ (oleh @LandinaAmsayna)
Aku tersenyum kepadanya. Aku menangkap pancarannya, ia ragu. Tapi ia berusaha.
Dan ada setitik keraguan dan ketakutan pun di hatiku. Telah banyak saudara-saudaraku yang menceritakan bagaimana sakitnya, pedihnya dan efeknya setelah kemoterapi dilangsungkan. Namun aku bukan gadis macam itu! Yang mengalah pada rasa cemas, yang menyerah sebelum berperang!
Sekelebat wajah mama, Reno, Revand dan sahabat-sahabatku mengelilingi benakku. Mereka menantiku. Aku harus sembuh. Aku harus berhasil!
Ternyata cinta, membunuh kecemasan. Sekuat apapun gundah melemahkan.
Dan aku mulai menjalani kemoterapi pertamaku. Aku tak tahu apa saja yang terjadi ketika aku dikemoterapi. Sekian puluh persen aku dibius, hanya pada awal-awal aku merasakan sakit dan rasa-rasa yang janggal ketika cairan itu mengalir di darahku.
Dan ketika aku terbangun dari efek biusanku, sudah ada Viva, Deo, Azizah dan Jennifer di sampingku.
"Vinaaa..!!" Teriak mereka hampir bersamaan.
"Hei, guys." Aku masih berkata lemah.
Aku melirik Viva, Viva hanya menyunggingkan senyumnya.
"Lo tetep temen kita gimanapun lo, Vin.." Jennifer tersenyum. Ia berkata tiba-tiba dengan disusul anggukan yang lain. Mungkin melihat kecemasan besar di mataku, tadi.
Air mataku mengalir tanpa kuperintah.
"Maaf gue ngebohongin kalian."
"Kita sebenarnya udah tau, kok. Hanya kita nggak mau bikin lo sedih." Azizah seakan mewakilkan pikiran semua.
"Kok bisa?" Aku terheran.
"Udahlah... Yang jelas, lo bakalan tetep seru-seruan bareng kita, kan?" Viva tersenyum mengejek.
"Tetep ngajarin gue, kan?" Wajah Azizah memolos.
"Nyanyi lagi, kan?" Susul Deo yang kukenal ketika kami mewakili sekolah dalam lomba Nasyid saat itu.
"Tetep jadi mama angkat aku, kaaan?" Jennifer tetap memanja seperti biasanya.
"Iya, iya. Gue bakal tetep seru-seruan bareng kalian. Tetep ngajarin lo, Zah. Hmm... Tapi kalo gue bisa, ya?" Semua serentak terbahak.
"Gue bakal balik nyanyi lagi. Dan, kamu tetap anakku, Jen."
"Asiiik..." Jennifer memelukku dengan tiba-tiba.
"Duuh... Ini ibu-anak angkat serasi banget, deh!" Deo meledek kami.
Tawa kami meledak bahagia.
Tuhan, terima kasih telah mengirim cinta yang setia, sahabat-sahabatku...
***
Aku harus menjalani beberapa kali kemoterapi dan terapi-terapi lainnya. Sebenarnya, aku takut bila absen terus-terusan karena menjalani terapi-terapi ini. Secara, aku sudah kelas tiga SMP. Namun, aku lebih takut lagi bila ketika aku sedang mengikuti Ujian Nasional malah kanker itu menghambatku. Walau efek setelah terapi ini cukup berat bagiku, yang membuat berat badanku turun lebih drastis lagi dari sebelumnya. Dan segala macam lainnya. Tapi, perubahan di tubuhku mulai terasa. Meski pelan-pelan. Setitik cahaya mulai berpendar, menyengat semangatku agar semakin membara.
Aku berharap aku bisa benar-benar terlepas dari jaring-jaring sel kanker di paru-paruku. Masih banyak hal-hal indah yang belum sempat kujamah.
Tuhan, sempurnakan penyembuhanku...
~ (oleh @LandinaAmsayna)
18 September 2011
Tuhan, Lancarkan Jalanku.
"Hallo..." Aku menyaut terlebih dahulu.
"Aku ke rumah kamu, ya?."
"Ya udah, ditunggu, ya!"
Klik. Telfon ditutup.
Setengah jam kemudian telah ada Revand, sampai di depan rumahku.
"Gimana keadaan kamu, sayang?"
"Baik, kok..." Aku malu-malu.
"Hmm... Oh iya, kamu kapan kemoterapi?"
Aku termenung, "Kamu ini bicara apa? Kamu tau sendiri keadaan keluarga aku. Kemo itu ngga murah, Rev."
Revand membelaiku, "Memangnya berapa, sayang?"
"Aku sih nggak tau pasti. Itu kata mama."
"Ooh..." Sempat hening, "Aku mau ngambil HPku dulu ya, di motor. Tadi ketinggalan."
"Cepetan, ya..."
Cukup lama, tapi ia kembali.
"Kok bisa HPmu ketinggalan di motor?"
"Eh... Kelupaan." Revand terdiam sejenak, "Aku balik sekarang ya, sayang. Aku belum ngerjain tugas, nih. Kamu banyak istirahat, ya."
"Ya udah, makasih ya udah nyempetin dateng. Hehe..."
Aku merasa ada yang aneh dengan Revand, sesuatu yang entah.
***
"Revinaaaa..." Mama memelukku dengan alasan yang entah, saat aku baru saja membuka pintu kamarku sepulang sekolah.
"Lho, mama kenapa? Kok nangis?"
"Kamu bisa berobat! Kamu bisa!"
"Mama serius? Vina dibolehin alternatif??" Sontak mataku memancarkan bahagia.
Mama menggeleng, "bukan alternatif. Pengobatan medis, sayang."
Aku mengerutkan alisku, "maksudnya?"
Mama melirik ke belakang, ada Revand di sana.
"Maksudnya? Revand?" Aku semakin tak mengerti alur kata-kata mama.
Revand mendekat, "kamu ingat uang yang kusimpan untuk biaya kuliahku nanti? Itu sepenuhnya untuk kamu. Untuk kesembuhan kamu."
"Tapi, Rev... Kuliah kamu?"
Revand menyentuh kedua pundakku, "bagiku, kamu lebih berharga dari apapun. Soal kuliah, orang tuaku masih punya simpanan. Kamu ingat kan tentang bisnis ayahku? Bisnisnya menuai peningkatan besar di sana."
Aku masih merunduk.
"Revina, lihat mataku." Tangannya menaikkan daguku, "aku ingin mendengar nyanyianmu lagi."
"Tapi, Rev..."
"Kamu masih sayang sama aku, kan? Kamu nggak akan biarin aku kecewa, kan?"
Aku memeluknya, air mataku mengalir di sana.
"Makasih, Revand. Makasiih." Ujarku lirih.
Tuhan, terima kasih telah menitipkan cinta yang kuat bagiku, Revand.
***
Hari ini, aku siap melaksanakan kemoterapi pertamaku. Dengan bagaimana hasilnya, walau dengan setitik keraguan di hati dokter Riana. Karena menurutnya, kondisiku terlalu lemah sejak kecil. Dan harapan kesembuhan sangatlah kecil. Aku hanya berharap kesembuhan berpihak padaku. Aku berharap bisa menjadi bagian yang 'kecil' itu. Aku ingin kembali bebas, seperti ketika aku masih belia. Walau memang tak sepenuhnya bebas, karena sedari kecil radang paru-paru sedikit mengikatku di saat-saat tertentu. Tapi setidaknya, tidak seperti sekarang. Dimana perkembangan sel-sel kanker itu perlahan memakan ruang eksplorasiku.
Mama membelai rambutku halus, "Semangat ya, sayang..."
Aku tersenyum dan mengangguk.
"Kalau kakak udah selesai langsung temenin Reno main, ya!" Reno menyembulkan PSPnya di depanku.
Aku tertawa renyah, "Iya, sayang." Aku mencubit gemas pipi gembulnya.
Revand menggenggam jemariku, "I'll be here for you, honey."
"Makasih, sayang." Aku sempat mengecupnya sekilas.
Dan aku mulai dibawa masuk ke ruang kemoterapi. Dapat kulihat Mama, Reno dan Revand menatapku sepanjang koridor rumah sakit. Tak ada papa seperti yang kuharapkan di antaranya. Tapi, seakan tatapan mereka mewakilkan tatapan papa yang selalu kurindukan.
Tuhan, lancarkan jalanku; kini...
~ (oleh @LandinaAmsayna)
"Aku ke rumah kamu, ya?."
"Ya udah, ditunggu, ya!"
Klik. Telfon ditutup.
Setengah jam kemudian telah ada Revand, sampai di depan rumahku.
"Gimana keadaan kamu, sayang?"
"Baik, kok..." Aku malu-malu.
"Hmm... Oh iya, kamu kapan kemoterapi?"
Aku termenung, "Kamu ini bicara apa? Kamu tau sendiri keadaan keluarga aku. Kemo itu ngga murah, Rev."
Revand membelaiku, "Memangnya berapa, sayang?"
"Aku sih nggak tau pasti. Itu kata mama."
"Ooh..." Sempat hening, "Aku mau ngambil HPku dulu ya, di motor. Tadi ketinggalan."
"Cepetan, ya..."
Cukup lama, tapi ia kembali.
"Kok bisa HPmu ketinggalan di motor?"
"Eh... Kelupaan." Revand terdiam sejenak, "Aku balik sekarang ya, sayang. Aku belum ngerjain tugas, nih. Kamu banyak istirahat, ya."
"Ya udah, makasih ya udah nyempetin dateng. Hehe..."
Aku merasa ada yang aneh dengan Revand, sesuatu yang entah.
***
"Revinaaaa..." Mama memelukku dengan alasan yang entah, saat aku baru saja membuka pintu kamarku sepulang sekolah.
"Lho, mama kenapa? Kok nangis?"
"Kamu bisa berobat! Kamu bisa!"
"Mama serius? Vina dibolehin alternatif??" Sontak mataku memancarkan bahagia.
Mama menggeleng, "bukan alternatif. Pengobatan medis, sayang."
Aku mengerutkan alisku, "maksudnya?"
Mama melirik ke belakang, ada Revand di sana.
"Maksudnya? Revand?" Aku semakin tak mengerti alur kata-kata mama.
Revand mendekat, "kamu ingat uang yang kusimpan untuk biaya kuliahku nanti? Itu sepenuhnya untuk kamu. Untuk kesembuhan kamu."
"Tapi, Rev... Kuliah kamu?"
Revand menyentuh kedua pundakku, "bagiku, kamu lebih berharga dari apapun. Soal kuliah, orang tuaku masih punya simpanan. Kamu ingat kan tentang bisnis ayahku? Bisnisnya menuai peningkatan besar di sana."
Aku masih merunduk.
"Revina, lihat mataku." Tangannya menaikkan daguku, "aku ingin mendengar nyanyianmu lagi."
"Tapi, Rev..."
"Kamu masih sayang sama aku, kan? Kamu nggak akan biarin aku kecewa, kan?"
Aku memeluknya, air mataku mengalir di sana.
"Makasih, Revand. Makasiih." Ujarku lirih.
Tuhan, terima kasih telah menitipkan cinta yang kuat bagiku, Revand.
***
Hari ini, aku siap melaksanakan kemoterapi pertamaku. Dengan bagaimana hasilnya, walau dengan setitik keraguan di hati dokter Riana. Karena menurutnya, kondisiku terlalu lemah sejak kecil. Dan harapan kesembuhan sangatlah kecil. Aku hanya berharap kesembuhan berpihak padaku. Aku berharap bisa menjadi bagian yang 'kecil' itu. Aku ingin kembali bebas, seperti ketika aku masih belia. Walau memang tak sepenuhnya bebas, karena sedari kecil radang paru-paru sedikit mengikatku di saat-saat tertentu. Tapi setidaknya, tidak seperti sekarang. Dimana perkembangan sel-sel kanker itu perlahan memakan ruang eksplorasiku.
Mama membelai rambutku halus, "Semangat ya, sayang..."
Aku tersenyum dan mengangguk.
"Kalau kakak udah selesai langsung temenin Reno main, ya!" Reno menyembulkan PSPnya di depanku.
Aku tertawa renyah, "Iya, sayang." Aku mencubit gemas pipi gembulnya.
Revand menggenggam jemariku, "I'll be here for you, honey."
"Makasih, sayang." Aku sempat mengecupnya sekilas.
Dan aku mulai dibawa masuk ke ruang kemoterapi. Dapat kulihat Mama, Reno dan Revand menatapku sepanjang koridor rumah sakit. Tak ada papa seperti yang kuharapkan di antaranya. Tapi, seakan tatapan mereka mewakilkan tatapan papa yang selalu kurindukan.
Tuhan, lancarkan jalanku; kini...
~ (oleh @LandinaAmsayna)
17 September 2011
Tuhan, Aku Ingin Bebas
"Maaf nunggu lama." Hanya sepatah kata itu yang kuucapkan. Kini Viva, Azizah dan Jennifer telah ada di hadapanku. Setelah Jennifer absen karena izin ke luar kota bersama orang tuanya, ia kembali bersama kami.
Viva menatapku, aku tau dia mengerti apa yang baru saja kualami.
"Lo kenapa sih akhir-akhir ini sering ngilang tiba-tiba? Kadang tiba-tiba di kamar mandi, tiba-tiba jauh di belakang kita. Yah, tiga kali semenjak aku masuk lagi." Jennifer merangkulku.
"Waduh, memangnya gue setan ngilang tiba-tiba? Hihihi..." Aku hanya berusaha mengalihkan heran yang pasti perlahan-lahan akan menguasai pikiran Azizah dan Jennifer, atau mungkin Deo. Meski Deo jarang melihat aku sakit.
Bukan aku tak percaya pada mereka, atau menganggap mereka bukan yang kusayang. Hanya, ragu masih mengikat kuat otakku.
"Are you okay?" Viva setengah berbisik. Dengan maksud agar Azizah dan Jennifer di depan tetap asik dengan candaannya sendiri.
"Yeah... I think." Aku menggenggam tangannya kuat-kuat. Lemas dan pusing menyerangku dengan tiba-tiba. Aku selalu merasa seperti ini saat darah terus menerus tak betah mengalir di diriku.
Menjalani usia SMP dengan kanker yang kian melejit dalam tumbuhku tidaklah mudah. Selain namaku harus sering menjadi daftar absen sakit di kelas, ketika aku masuk pun; tidak jarang kanker itu seolah memaksaku untuk tidak melanjutkan pelajaran. Aku sering tak konsen menerima pelajaran, bahkan saat ulangan. Juga teman-temanku yang semakin hari semakin menyadari kejanggalan ketika aku hanya menjawab "sakit biasa, kok." Dan mungkin begitu pula dengan guruku, walau mereka tidak ada yang bertanya lebih lanjut.
Aku hanya, merasa membohongi mereka.
***
Aku langsung merebahkan diri di kasur setelah di perjalanan darah itu kembali mengalir.
Mama datang, duduk di sampingku.
Aku sontak memeluk mama, "Ma, Vina pengen sembuh. Vina capek..." Teriakku lemah.
Mama menangis, juga.
"Maafin mama, sayang. Mama pengen kamu cepat-cepat ikut terapi dan pengobatan lain. Dokter Riana juga sudah berani memberi pengobatan kamu. Tapi, dapat dari mana mamamu ini uang, sayang? Kamu tau keadaan kita seperti ini." Air mata mama mengalir begitu deras. Aku menjadi semakin menangis. Bukan memikirkan diriku yang terus melemah, tapi mama. Aku merasa bersalah telah meledakkan air mata mama.
Aku terdiam, tanpa mama jelaskan, aku dapat mengerti maksudnya. Papa tak mungkin kami harapkan.
"Kenapa ngga alternatif aja, ma? Kata temen Vina pengobatan alternatif itu manjur, kok."
"Kamu ingat tante Mellisa, yang meninggal karena leukimia?"
"Iya, Vina inget." Mataku menerawang wajah tante Mellisa. Cantik, bersuara emas, juga baik. Sayang, leukimia telah memakan nafasnya.
Memang, kankerku ini kurasa faktor genetik dari keluargaku. Setidaknya aku tak dikucilkan dalam keluarga, mereka banyak yang sama denganku. Hanya, aku memang yang termuda.
"Dia satu-satunya dari keluarga kita yang terserang kanker yang menjalani pengobatan alternatif. Bukan mama tidak percaya atau bagaimana, mama tau kok pengobatan alternatif itu manjur. Bahkan teman-teman mama yang terkena kanker berhasil sembuh setelah menjalaninya. Tapi mama trauma, sayang. Kamu ngerti, kan?" Mama membelai halus rambutku.
Aku hanya mengangguk, pasrah.
"Mama bakalan terus berusaha, bagaimanapun kamu harus sembuh!" Terdengar nada semangat dalam gemuruh suaranya.
Aku mempererat pelukanku, tak ingin lepas meski sekejap.
Meski tanpa sosok seorang ayah, aku bisa merasakan memiliki orang tua lengkap di sini. Mama, orang yang lembut namun berhati baja. Aku merasa bahagia dapat memilikinya.
Tuhan, kalau boleh, aku ingin lebih lama memeluk erat mama dan adikku; juga papa. Setidaknya, sebelum perkembangan sang kanker ini kian melejit.
Tuhan, boleh aku mendekap sedikit kebebasan seperti sediakala? Bolehkah aku sembuh?
- (oleh @LandinaAmsayna)
Viva menatapku, aku tau dia mengerti apa yang baru saja kualami.
"Lo kenapa sih akhir-akhir ini sering ngilang tiba-tiba? Kadang tiba-tiba di kamar mandi, tiba-tiba jauh di belakang kita. Yah, tiga kali semenjak aku masuk lagi." Jennifer merangkulku.
"Waduh, memangnya gue setan ngilang tiba-tiba? Hihihi..." Aku hanya berusaha mengalihkan heran yang pasti perlahan-lahan akan menguasai pikiran Azizah dan Jennifer, atau mungkin Deo. Meski Deo jarang melihat aku sakit.
Bukan aku tak percaya pada mereka, atau menganggap mereka bukan yang kusayang. Hanya, ragu masih mengikat kuat otakku.
"Are you okay?" Viva setengah berbisik. Dengan maksud agar Azizah dan Jennifer di depan tetap asik dengan candaannya sendiri.
"Yeah... I think." Aku menggenggam tangannya kuat-kuat. Lemas dan pusing menyerangku dengan tiba-tiba. Aku selalu merasa seperti ini saat darah terus menerus tak betah mengalir di diriku.
Menjalani usia SMP dengan kanker yang kian melejit dalam tumbuhku tidaklah mudah. Selain namaku harus sering menjadi daftar absen sakit di kelas, ketika aku masuk pun; tidak jarang kanker itu seolah memaksaku untuk tidak melanjutkan pelajaran. Aku sering tak konsen menerima pelajaran, bahkan saat ulangan. Juga teman-temanku yang semakin hari semakin menyadari kejanggalan ketika aku hanya menjawab "sakit biasa, kok." Dan mungkin begitu pula dengan guruku, walau mereka tidak ada yang bertanya lebih lanjut.
Aku hanya, merasa membohongi mereka.
***
Aku langsung merebahkan diri di kasur setelah di perjalanan darah itu kembali mengalir.
Mama datang, duduk di sampingku.
Aku sontak memeluk mama, "Ma, Vina pengen sembuh. Vina capek..." Teriakku lemah.
Mama menangis, juga.
"Maafin mama, sayang. Mama pengen kamu cepat-cepat ikut terapi dan pengobatan lain. Dokter Riana juga sudah berani memberi pengobatan kamu. Tapi, dapat dari mana mamamu ini uang, sayang? Kamu tau keadaan kita seperti ini." Air mata mama mengalir begitu deras. Aku menjadi semakin menangis. Bukan memikirkan diriku yang terus melemah, tapi mama. Aku merasa bersalah telah meledakkan air mata mama.
Aku terdiam, tanpa mama jelaskan, aku dapat mengerti maksudnya. Papa tak mungkin kami harapkan.
"Kenapa ngga alternatif aja, ma? Kata temen Vina pengobatan alternatif itu manjur, kok."
"Kamu ingat tante Mellisa, yang meninggal karena leukimia?"
"Iya, Vina inget." Mataku menerawang wajah tante Mellisa. Cantik, bersuara emas, juga baik. Sayang, leukimia telah memakan nafasnya.
Memang, kankerku ini kurasa faktor genetik dari keluargaku. Setidaknya aku tak dikucilkan dalam keluarga, mereka banyak yang sama denganku. Hanya, aku memang yang termuda.
"Dia satu-satunya dari keluarga kita yang terserang kanker yang menjalani pengobatan alternatif. Bukan mama tidak percaya atau bagaimana, mama tau kok pengobatan alternatif itu manjur. Bahkan teman-teman mama yang terkena kanker berhasil sembuh setelah menjalaninya. Tapi mama trauma, sayang. Kamu ngerti, kan?" Mama membelai halus rambutku.
Aku hanya mengangguk, pasrah.
"Mama bakalan terus berusaha, bagaimanapun kamu harus sembuh!" Terdengar nada semangat dalam gemuruh suaranya.
Aku mempererat pelukanku, tak ingin lepas meski sekejap.
Meski tanpa sosok seorang ayah, aku bisa merasakan memiliki orang tua lengkap di sini. Mama, orang yang lembut namun berhati baja. Aku merasa bahagia dapat memilikinya.
Tuhan, kalau boleh, aku ingin lebih lama memeluk erat mama dan adikku; juga papa. Setidaknya, sebelum perkembangan sang kanker ini kian melejit.
Tuhan, boleh aku mendekap sedikit kebebasan seperti sediakala? Bolehkah aku sembuh?
- (oleh @LandinaAmsayna)
16 September 2011
Sonata Kenangan: Ibu, Kawan, Aku Tetap Gadis Biasa.
"Vina, besok kamu lebih baik tidak masuk sekolah dulu, ya?" Mama terlihat khawatir di samping ranjangku, aku masih saja mencegah mengalirnya darah yang sedari tadi sore mengalir di hidungku.
"Tapi, Ma; Vina besok ada ulangan. IPA lagi..."
"Sayang, kondisi kamu sedang lemah."
"Sebentar lagi juga sembuh kok, ma. Vina cuma perlu istirahat. Vina harus tidur." Aku berusaha meyakinkan mama, meskipun hatiku sendiri berkata lain.
"Kamu tidak berubah, keras kepala. Ya sudah, tapi kalau sampai besok pagi kamu masih mimisan seperti ini, jangan masuk! Biar mama yang izin ke guru kamu." Mama mulai berniat meninggalkanku di kamar.
Aku membentuk jariku tanda setuju.
Aku hanya berharap darah ini bisa berhenti, entah dengan apa. Setidaknya, esok pagi ia sudah lenyap. Dan sungguh kusyukuri, pagi-pagi darah ini telah hilang, mungkin dari semalam ketika aku terbuai lelap. Dan sesuai janji mama semalam, mama mengizinkanku masuk sekolah demi ulangan. Yah, meski aku tau hati kecilnya tidak berkata demikian.
Perlahan aku menghampiri kelas, sejauh ini semua baik-baik saja. Dan ulangan IPA cukup berhasil kulewati meski sempat dadaku seakan dicekik. Namun semua tak berlangsung lama, perlahan aku bisa merasakan ada darah mengalir dalam hidungku. Sekilat aku menghalaunya dengan saputangan yang sudah kupersiapkan. Dan darah itu sempat berhenti. Namun tidak saat aku beranjak pulang. Darah itu kembali menderas. Tiada waktu untuk mengambil saputangan di dalam tasku, aku berlari sekuat yang kubisa ke kamar mandi; dengan harapan setidaknya tak ada yang melihatku dengan wajah bercucuran darah.
"Sorry, guys... Kebelet." Aku hanya menyunggingkan senyumku melihat Azizah dan Viva yang menungguku sedari tadi, aku tau, aku terlalu lama tadi. Dan mereka akan menungguku karena kami terbiasa pulang bersama. Maaf, teman-teman.
"Viva! Sudah mama bilang, seharusnya kamu tidak masuk sekolah tadi. Jadinya seperti ini, kan." Mama terlihat cemas di sampingku. Darah seakan meleleh di baju seragamku. Tadi, sesampainya di rumah, darah itu kembali mengucur dari hidungku, dan bahkan ketika aku terbatuk, kejadian saat malam anniversary-ku terulang kembali. Mama, maafkan aku.
Dan, mama tidak mempercayaiku lagi. Mama mulai mengikat kegiatanku di luar.
"Biar mama yang antar kamu sekolah."
"Kerja kelompoknya di sini aja."
"Biar mama yang belikan peralatan tulis itu, kamu istirahat saja di rumah."
"Mama, aku tetep gadis biasa. Aku ingin bebas sedikit saja." Terkadang jiwaku memberontak.
Segala larangan itu mulai membatasiku. Bahkan, aku tak lagi diizinkan bepergian bersama Viva, Azizah dan Deo. Aku tak lagi hadir di antara ceria-ceria mereka. Aku hanya bisa termangu di sudut kamar. Kadang dadaku seakan diikat kuat, kadang darah itu berusaha keluar dari tubuhku tanpa pernah kusuruh, dan segala pedih dari kanker ini mulai mengekang hidupku, tanpa mendapati mereka tertawa di hadapanku. Aku rindu kebersamaan kita, guys. Aku rindu kalian.
Saat sekolah, aku kerap mendapati diriku batuk dengan darah yang mengiringi, atau mimisan yang seakan mewakili tangisan mataku. Kadang darah-darah itu menetes, membasahi seragamku yang semakin sulit kututupi. Dan ketika bercak-bercak darah itu terlihat oleh mama, aku terpaksa harus menurutinya untuk absen yang kesekian kali dari kelasku.
"Vin, lo nggak mungkin kebelet tiap hari, kan? Sering lagi." Viva mendelik, perlahan ia duduk di samping ranjangku. Ia menjengukku setelah tiga hari aku absen dari kelas. Tidak ada Azizah dan Deo bersamanya. Kata Viva, mereka ditugaskan kelompok sementara Viva telah tuntas dan menyempatkan datang kemari.
"Dan, gue sering lihat ada darah di seragam lo. Walau lo bilang itu saus atau apalah, darah itu berbeda dari sekedar saus, Vina."
Aku terdiam. Aku tahu, aku tak lagi mungkin merahasiakan semua yang mendekam di tubuhku.
"Vina, gue ini sahabat lo." Viva mendekap tanganku.
"Va, gue pengen, lo tetep mau bertemen sama gue."
Viva mengangguk, seperti tak ingin berkata karena menerka.
Dan aku terisak, "Maaf selama ini gue sering ngebohongin kalian, lo dan Azizah. Selama ini, gue sering mimisan dan batuk berdarah. Gue gak mau dilihat kalian dengan keadaan seperti itu. Gue kanker; Va, gue kanker." Aku menangis di hadapannya. Berat. Aku seakan gadis yang lemah, tiada berdaya saat itu.
"Revina, gimanapun keadaan lo, gue tetep bakalan ada di samping lo. Juga Azizah, dan Deo. Lo boleh pegang janji gue. Kita bakalan terus doain lo. Lo pasti bisa sembuh. Gue tau lo cewek kuat. Lo nggak lemah..." Ada titik-titik air mata di pancaran mata Viva. Perlahan, titik-titik itu berubah menjadi mengikat, dan perlahan turun bersamaan.
"Makasih, Viva. Lo yang terbaik bagi gue, dan kalian juga." Aku memeluknya erat-erat. "Va, tolong rahasiakan ini dari Azizah dan Deo. Aku belum siap untuk diketahui mereka. Please..." Aku memohon.
"Percaya padaku!" Matanya memancarkan kesungguhan.
"Udah ah galaunya. Lo bakalan tetap menggila bareng kita, kan? Lo gak akan berubah jadi cewek jaim, kan?" Senyum mengejeknya mulai tersungging manis.
"Pasti! Gue tetap bakalan ketawa-ketawa bareng kalian, dan gue tetap cewek non-jaim. Hahaha..." Aku seakan terbawa suasana yang baru ia munculkan.
"Hahaha... Gue tunggu wajah lo di sekolah, besok!"
Tuhan, terima kasih telah mengirimkan cinta yang indah untukku, Viva...
- (oleh @LandinaAmsayna - http://landinaamsayna.blogspot.com)
"Tapi, Ma; Vina besok ada ulangan. IPA lagi..."
"Sayang, kondisi kamu sedang lemah."
"Sebentar lagi juga sembuh kok, ma. Vina cuma perlu istirahat. Vina harus tidur." Aku berusaha meyakinkan mama, meskipun hatiku sendiri berkata lain.
"Kamu tidak berubah, keras kepala. Ya sudah, tapi kalau sampai besok pagi kamu masih mimisan seperti ini, jangan masuk! Biar mama yang izin ke guru kamu." Mama mulai berniat meninggalkanku di kamar.
Aku membentuk jariku tanda setuju.
Aku hanya berharap darah ini bisa berhenti, entah dengan apa. Setidaknya, esok pagi ia sudah lenyap. Dan sungguh kusyukuri, pagi-pagi darah ini telah hilang, mungkin dari semalam ketika aku terbuai lelap. Dan sesuai janji mama semalam, mama mengizinkanku masuk sekolah demi ulangan. Yah, meski aku tau hati kecilnya tidak berkata demikian.
Perlahan aku menghampiri kelas, sejauh ini semua baik-baik saja. Dan ulangan IPA cukup berhasil kulewati meski sempat dadaku seakan dicekik. Namun semua tak berlangsung lama, perlahan aku bisa merasakan ada darah mengalir dalam hidungku. Sekilat aku menghalaunya dengan saputangan yang sudah kupersiapkan. Dan darah itu sempat berhenti. Namun tidak saat aku beranjak pulang. Darah itu kembali menderas. Tiada waktu untuk mengambil saputangan di dalam tasku, aku berlari sekuat yang kubisa ke kamar mandi; dengan harapan setidaknya tak ada yang melihatku dengan wajah bercucuran darah.
"Sorry, guys... Kebelet." Aku hanya menyunggingkan senyumku melihat Azizah dan Viva yang menungguku sedari tadi, aku tau, aku terlalu lama tadi. Dan mereka akan menungguku karena kami terbiasa pulang bersama. Maaf, teman-teman.
"Viva! Sudah mama bilang, seharusnya kamu tidak masuk sekolah tadi. Jadinya seperti ini, kan." Mama terlihat cemas di sampingku. Darah seakan meleleh di baju seragamku. Tadi, sesampainya di rumah, darah itu kembali mengucur dari hidungku, dan bahkan ketika aku terbatuk, kejadian saat malam anniversary-ku terulang kembali. Mama, maafkan aku.
Dan, mama tidak mempercayaiku lagi. Mama mulai mengikat kegiatanku di luar.
"Biar mama yang antar kamu sekolah."
"Kerja kelompoknya di sini aja."
"Biar mama yang belikan peralatan tulis itu, kamu istirahat saja di rumah."
"Mama, aku tetep gadis biasa. Aku ingin bebas sedikit saja." Terkadang jiwaku memberontak.
Segala larangan itu mulai membatasiku. Bahkan, aku tak lagi diizinkan bepergian bersama Viva, Azizah dan Deo. Aku tak lagi hadir di antara ceria-ceria mereka. Aku hanya bisa termangu di sudut kamar. Kadang dadaku seakan diikat kuat, kadang darah itu berusaha keluar dari tubuhku tanpa pernah kusuruh, dan segala pedih dari kanker ini mulai mengekang hidupku, tanpa mendapati mereka tertawa di hadapanku. Aku rindu kebersamaan kita, guys. Aku rindu kalian.
Saat sekolah, aku kerap mendapati diriku batuk dengan darah yang mengiringi, atau mimisan yang seakan mewakili tangisan mataku. Kadang darah-darah itu menetes, membasahi seragamku yang semakin sulit kututupi. Dan ketika bercak-bercak darah itu terlihat oleh mama, aku terpaksa harus menurutinya untuk absen yang kesekian kali dari kelasku.
"Vin, lo nggak mungkin kebelet tiap hari, kan? Sering lagi." Viva mendelik, perlahan ia duduk di samping ranjangku. Ia menjengukku setelah tiga hari aku absen dari kelas. Tidak ada Azizah dan Deo bersamanya. Kata Viva, mereka ditugaskan kelompok sementara Viva telah tuntas dan menyempatkan datang kemari.
"Dan, gue sering lihat ada darah di seragam lo. Walau lo bilang itu saus atau apalah, darah itu berbeda dari sekedar saus, Vina."
Aku terdiam. Aku tahu, aku tak lagi mungkin merahasiakan semua yang mendekam di tubuhku.
"Vina, gue ini sahabat lo." Viva mendekap tanganku.
"Va, gue pengen, lo tetep mau bertemen sama gue."
Viva mengangguk, seperti tak ingin berkata karena menerka.
Dan aku terisak, "Maaf selama ini gue sering ngebohongin kalian, lo dan Azizah. Selama ini, gue sering mimisan dan batuk berdarah. Gue gak mau dilihat kalian dengan keadaan seperti itu. Gue kanker; Va, gue kanker." Aku menangis di hadapannya. Berat. Aku seakan gadis yang lemah, tiada berdaya saat itu.
"Revina, gimanapun keadaan lo, gue tetep bakalan ada di samping lo. Juga Azizah, dan Deo. Lo boleh pegang janji gue. Kita bakalan terus doain lo. Lo pasti bisa sembuh. Gue tau lo cewek kuat. Lo nggak lemah..." Ada titik-titik air mata di pancaran mata Viva. Perlahan, titik-titik itu berubah menjadi mengikat, dan perlahan turun bersamaan.
"Makasih, Viva. Lo yang terbaik bagi gue, dan kalian juga." Aku memeluknya erat-erat. "Va, tolong rahasiakan ini dari Azizah dan Deo. Aku belum siap untuk diketahui mereka. Please..." Aku memohon.
"Percaya padaku!" Matanya memancarkan kesungguhan.
"Udah ah galaunya. Lo bakalan tetap menggila bareng kita, kan? Lo gak akan berubah jadi cewek jaim, kan?" Senyum mengejeknya mulai tersungging manis.
"Pasti! Gue tetap bakalan ketawa-ketawa bareng kalian, dan gue tetap cewek non-jaim. Hahaha..." Aku seakan terbawa suasana yang baru ia munculkan.
"Hahaha... Gue tunggu wajah lo di sekolah, besok!"
Tuhan, terima kasih telah mengirimkan cinta yang indah untukku, Viva...
- (oleh @LandinaAmsayna - http://landinaamsayna.blogspot.com)
15 September 2011
Sonata Kenangan: Selamat Tinggal, Nada...
"Revand, kamu kenapa diam?"
"Tidak... Tidak apa-apa," mulutnya kembali mengatup, "Kamu tahu, kamu tetap cantik di mataku, bagaimanapun rambutmu atau keadaanmu yang lain. Tapi, aku akan merindukannya..." Revand mencubit kecil lenganku, tanda mengalihkan kesedihan.
Aku cekikikan, mencoba berbaur dengan suasana yang baru saja ia terbitkan.
"Hmm... Vin, kayaknya mau hujan, deh. Aku pulang, ya? Aku naik motor soalnya."
"Ya udah, hati-hati di jalan ya, sayang. Maaf aku gak bisa anter kamu sampe pintu depan."
"Gak apa-apa kok, sayang. Daaah..." Dan dia sudah tepat di depan pintu kamarku sekarang, sekejap ia berbalik badan, "Vina, kamu yang kuat, ya..."
Aku hanya mengangguk. Ada banyak perasaan berkecamuk di sana; dalam dada.
***
"Vivaaa, Azizaaah, Deooo...!!" Aku histeris saat melihatnya di hadapanku sekarang. Sejak kejadian itu, aku absen sekolah selama satu minggu. Kau pasti tahu bagaimana rindunya aku pada mereka, sahabat-sahabatku.
"Vinaaa..!!" Deo menyambut hangat.
"Kemana aja lo? Ngilang." Viva menyenggol sedikit lenganku.
"Tau, nih. Gue kangen mainin rambut lo. Hahahaha..." Timbal Azizah yang memang bisa dibilang hobi mengacak-ngacak ujung rambutku yang sering diikat satu saat sekolah.
"Iih, emang rambut gue mainan apa? Hahaha... Gue sakit, guys." Aku menggebrak meja dengan tasku yang lumayan berat.
"Sakit apa lo?"
"Sakit hati. Hahaha..."
"Serius!" Azizah seakan mewakili ekspresi wajah Viva.
"Sakit biasa, kok. Hehe..." Terlintas di fikiranku untuk mengatakan hal yang sebenarnya kepada mereka, bagaimanapun mereka sahabat terbaikku. Namun, sepertinya ini tidak akan berdampak baik. Aku tak yakin mereka akan tetap menerimaku, "ada PR?"
"Hmmm... Tidak." Seperti biasa, Deo langsung melirik pada Viva dan Azizah tanda tidak yakinnya dia.
"Iya, nggak ada, kok."
"Bagus deh, soalnya kalau ada gue belum ngerjain. Hahaha..." Menetralisir suasana hatiku sendiri tidaklah mudah. Baru saja mendapat tekanan yang tanpa disengaja kudapat adalah suatu yang berat bagiku.
Syukurnya, dari awal pelajaran sampai selesai pelajaran, kankerku tidak kambuh sama sekali. Bahkan yang biasanya batukku mengeluarkan darah, atau mimisan yang kerap terjadi, semua lenyap. Aku tahu, Tuhan bersamaku saat ini.
"Vina..." Sapaan Revand membuyarkan pikiranku.
"Eh, kamu." Aku segera memasukki mobilnya, kali ini supirnya yang menyetir.
"Nanti, kalau gak kuat jangan dipaksain, ya..."
"Iya, sayang." Aku memberi tatapan 'yakin' padanya.
Ini pula hari pertamaku kembali bernyanyi setelah kejadian saat itu. Kuharap semua akan baik-baik saja. Bagaimana pun, aku tetap harus membantu perekonomian keluarga yang menurun semenjak ayah menjalani kehidupannya sendiri. Yah, meski tak seberapa, setidaknya aku tak perlu lagi meminta uang dari mama untuk keperluanku. Aku bisa memenuhinya dengan sendiri. Biar hasil mama bekerja untuk memenuhi dirinya dan adik kecilku, Reno.
Namun kenyataannya, semua tidaklah sempurna. Aku tak sadarkan diri, lagi. Entah aku jatuh saat di panggung, atau bagaimana, semua sulit terekam dalam memoriku. Dan ketika aku terbangun, aku sudah di rumah sakit dengan Revand dan mama di sampingku.
"Vina, kamu istirahat dari bernyanyi dulu, ya." Dokter Riana ternyata juga berada di sampingku.
"Maksud dokter?" Suaraku bahkan hampir lenyap.
"Vina, saya tahu kamu begitu menyukai musik. Tapi, menyanyi itu berat bagi kamu, Vin. Tidak mudah."
"Tapi, dok....."
"Vina, turuti apa kata dokter. Semua demi kebaikan kamu." Revand memotong perkataanku.
Aku tiada kuasa lagi untuk menolak. Tidak menyanyi lagi adalah suatu keputusan yang sulit kujamah. Bukan semata karna hobiku yang sejak kecil, tapi; bagaimana dengan mama dan Reno? Beban mereka pastilah lebih meninggi. Belum lagi biaya obat-obatanku yang tak kusangka mahalnya.
"Vina, nurut, ya?" Mama memegang erat tanganku.
Dokter Riana menatapku dengan harap.
"Baiklah..." Aku menjawab lirih, dengan sekuat tenagaku.
Nada, selamat tinggal. Aku berjanji, aku akan mendiamimu dalam hatiku. Dan suatu hari, aku akan kembali menyentuhmu; demi mereka. Tetapi saat ini, mungkin aku tak berarti...
Tuhan, mengapa aku ditakdirkan tiada berguna bagi mereka? Mengapa aku malah mempersulit mereka?
- (oleh @LandinaAmsayna - http://landinaamsayna.blogspot.com)
"Tidak... Tidak apa-apa," mulutnya kembali mengatup, "Kamu tahu, kamu tetap cantik di mataku, bagaimanapun rambutmu atau keadaanmu yang lain. Tapi, aku akan merindukannya..." Revand mencubit kecil lenganku, tanda mengalihkan kesedihan.
Aku cekikikan, mencoba berbaur dengan suasana yang baru saja ia terbitkan.
"Hmm... Vin, kayaknya mau hujan, deh. Aku pulang, ya? Aku naik motor soalnya."
"Ya udah, hati-hati di jalan ya, sayang. Maaf aku gak bisa anter kamu sampe pintu depan."
"Gak apa-apa kok, sayang. Daaah..." Dan dia sudah tepat di depan pintu kamarku sekarang, sekejap ia berbalik badan, "Vina, kamu yang kuat, ya..."
Aku hanya mengangguk. Ada banyak perasaan berkecamuk di sana; dalam dada.
***
"Vivaaa, Azizaaah, Deooo...!!" Aku histeris saat melihatnya di hadapanku sekarang. Sejak kejadian itu, aku absen sekolah selama satu minggu. Kau pasti tahu bagaimana rindunya aku pada mereka, sahabat-sahabatku.
"Vinaaa..!!" Deo menyambut hangat.
"Kemana aja lo? Ngilang." Viva menyenggol sedikit lenganku.
"Tau, nih. Gue kangen mainin rambut lo. Hahahaha..." Timbal Azizah yang memang bisa dibilang hobi mengacak-ngacak ujung rambutku yang sering diikat satu saat sekolah.
"Iih, emang rambut gue mainan apa? Hahaha... Gue sakit, guys." Aku menggebrak meja dengan tasku yang lumayan berat.
"Sakit apa lo?"
"Sakit hati. Hahaha..."
"Serius!" Azizah seakan mewakili ekspresi wajah Viva.
"Sakit biasa, kok. Hehe..." Terlintas di fikiranku untuk mengatakan hal yang sebenarnya kepada mereka, bagaimanapun mereka sahabat terbaikku. Namun, sepertinya ini tidak akan berdampak baik. Aku tak yakin mereka akan tetap menerimaku, "ada PR?"
"Hmmm... Tidak." Seperti biasa, Deo langsung melirik pada Viva dan Azizah tanda tidak yakinnya dia.
"Iya, nggak ada, kok."
"Bagus deh, soalnya kalau ada gue belum ngerjain. Hahaha..." Menetralisir suasana hatiku sendiri tidaklah mudah. Baru saja mendapat tekanan yang tanpa disengaja kudapat adalah suatu yang berat bagiku.
Syukurnya, dari awal pelajaran sampai selesai pelajaran, kankerku tidak kambuh sama sekali. Bahkan yang biasanya batukku mengeluarkan darah, atau mimisan yang kerap terjadi, semua lenyap. Aku tahu, Tuhan bersamaku saat ini.
"Vina..." Sapaan Revand membuyarkan pikiranku.
"Eh, kamu." Aku segera memasukki mobilnya, kali ini supirnya yang menyetir.
"Nanti, kalau gak kuat jangan dipaksain, ya..."
"Iya, sayang." Aku memberi tatapan 'yakin' padanya.
Ini pula hari pertamaku kembali bernyanyi setelah kejadian saat itu. Kuharap semua akan baik-baik saja. Bagaimana pun, aku tetap harus membantu perekonomian keluarga yang menurun semenjak ayah menjalani kehidupannya sendiri. Yah, meski tak seberapa, setidaknya aku tak perlu lagi meminta uang dari mama untuk keperluanku. Aku bisa memenuhinya dengan sendiri. Biar hasil mama bekerja untuk memenuhi dirinya dan adik kecilku, Reno.
Namun kenyataannya, semua tidaklah sempurna. Aku tak sadarkan diri, lagi. Entah aku jatuh saat di panggung, atau bagaimana, semua sulit terekam dalam memoriku. Dan ketika aku terbangun, aku sudah di rumah sakit dengan Revand dan mama di sampingku.
"Vina, kamu istirahat dari bernyanyi dulu, ya." Dokter Riana ternyata juga berada di sampingku.
"Maksud dokter?" Suaraku bahkan hampir lenyap.
"Vina, saya tahu kamu begitu menyukai musik. Tapi, menyanyi itu berat bagi kamu, Vin. Tidak mudah."
"Tapi, dok....."
"Vina, turuti apa kata dokter. Semua demi kebaikan kamu." Revand memotong perkataanku.
Aku tiada kuasa lagi untuk menolak. Tidak menyanyi lagi adalah suatu keputusan yang sulit kujamah. Bukan semata karna hobiku yang sejak kecil, tapi; bagaimana dengan mama dan Reno? Beban mereka pastilah lebih meninggi. Belum lagi biaya obat-obatanku yang tak kusangka mahalnya.
"Vina, nurut, ya?" Mama memegang erat tanganku.
Dokter Riana menatapku dengan harap.
"Baiklah..." Aku menjawab lirih, dengan sekuat tenagaku.
Nada, selamat tinggal. Aku berjanji, aku akan mendiamimu dalam hatiku. Dan suatu hari, aku akan kembali menyentuhmu; demi mereka. Tetapi saat ini, mungkin aku tak berarti...
Tuhan, mengapa aku ditakdirkan tiada berguna bagi mereka? Mengapa aku malah mempersulit mereka?
- (oleh @LandinaAmsayna - http://landinaamsayna.blogspot.com)
14 September 2011
Sonata Kenangan : Apa Aku Masih 'Aku'?
Aku mengikuti semua yang diarahkan dokter Riana. Mulai dari merebahkan diriku di sebuah alat putih panjang; yang ada sesuatu yang melingkar di sana, pemeriksaan segala sampel, dan sebagainya. Semua rumit. Aku tak mengerti itu apa, bahkan nama-namanya saja tak dapat kuhafal. Dari semua yang kujalani saat ini, aku yakin; memang aku tidaklah baik-baik saja.
Handphone-ku bergetar, ada sebuah pesan singkat masuk. Kuklik tanda 'buka' dan terbacalah pesan itu. Oh! Ternyata Revand, sudah kuduga.
Vin, kamu udah sadar?
Gimana keadaan kamu?
Aku jenguk, ya?
Aku seketika menekan tombol 'balas' dan membalas pertanyaannya yang merombong.
Aku udah baik-baik aja kok, Rev.
Ngga usah, sayang. Lagian aku gak apa-apa, kok. Makasih ya tadi udah nganterin aku pulang...
Tak lama kemudian balasan Revand tertera di layarku.
Ya udah, kamu istirahat sana.
Sama-sama, sayangku.
Aku tak membalasnya dan membiarkan handphone-ku mendekam lagi di kantung jeansku.
"Revina Karina..." Namaku dipanggil suster yang bertugas di ruang praktek dokter Riana.
Aku dan mama segera masuk tanpa diaba-aba.
Sekilas dokter Riana tersenyum penuh arti padaku. Seperti, sekilas menelusup dalam pancaran mataku.
"Ibu dan Vina, saya tidak mau ada yang ditutup-tutupi di sini. Ibu dan Vina berhak tahu yang sebenarnya menurut saya. Apalagi, Vina saya rasa sudah cukup dewasa."
Aku dan mama bertatap-tatapan heran, "Baik, dok. Jadi, Vina kenapa?" Tanya mama seolah mewakili pertanyaanku.
"Saya mohon Ibu dan Vina bisa tenang, semua ada jalan keluarnya," dokter Riana menghela nafas sebentar, lalu melanjutkan, "Vina positif kanker paru-paru."
"Apa, dok??? Dokter jangan becanda!!" Mama histeris. Aku hanya bisa menangis lemah dalam dekapan mama.
"Mohon ibu tenang dulu. Ini, kankernya bersarang di sini." Dokter Riana menunjukkan foto yang entah apa dan menunjukkan tempat kankerku bersarang. Aku dapat melihat dari daerah yang ditunjukkan dokter Riana, kankerku cukup menyebar dengan luas.
"Ya Tuhan..." Mama menangis lemah, seakan hilang tenaga.
"Tapi, dok. Vina masih bisa sembuh, kan??"
"Pasti bisa, bu. Dengan gabungan kemoterapi, radioterapi dan oprasi," dokter Riana kembali membuka lembaran-lembaran bukuku, "Tapi resiko sangat berat. Vina terlalu lemah dan masih belia. Saya takut tubuhnya tidak kuat merangsang obat-obatan keras."
"Saya yakin saya bisa, dok. Saya pengen sembuh." Aku sungguh terisak.
"Ini tidak semudah yang kamu kira, Vina. Butuh banyak pertimbangan. Kamu masih kecil, kamu terlalu lemah sedari kamu bayi, dan; maaf saya dengar ibu single parent?" Tatapannya beralih ke mama.
"Hmm... Ya, memang saya single parent. Tapi saya akan usahakan segalanya, dok. Saya cinta Vina."
"Sebaiknya ibu pertimbangkan dahulu semuanya. Jika keluhan berulang, kemarilah."
Dan kami berjabat untuk pamit. Dengan mata yang sembab, ibu menyetir dalam keremangan hatinya yang tak bisa ia pungkiri; begitu pula aku. Aku masih saja tak bisa mempercayai segala ucapan dokter Riana tadi. Aku menderita kanker?
***
Kini Revand telah berada di depanku, "kamu masih sakit, ya? Kamu udah aku izinin ke SMP, kok."
Ya, gedung sekolahku mulai dari TK, SD, SMP sampai SMA terletak di satu lokasi. Sehingga aku dan Revand masih begitu mudah bertemu meski sudah beda sekolah.
"Iya, sayang. Makasih, ya..." Aku membalas genggaman hangatnya.
"Hmm... Rev,"
"Ya?" Ia menoleh, menatapku dengan tatapan tajamnya.
"Aku inget, dulu kamu pernah bilang bahwa kamu ga mau punya kenalan yang sakit parah karena gak akan kuat saat kamu kehilangannya."
"Oh itu, terus?"
"Kalau aku yang sakit parah, gimana?"
"Sayang, dengerin aku baik-baik, ya. Apapun yang terjadi, aku bakalan tetep bareng-bareng kamu. Nemenin kamu. Cintai kamu." Tangannya membelaiku, "memangnya kenapa, sayang? Kok ngomongnya gitu?"
Aku menghambur memeluknya, perlahan buliran air mata mengalir membasahi sunyi.
"Aku kanker, Rev... Aku kanker." Aku berbicara sekuat keberanianku.
Revand merekatkan pelukkannya, aku dapat merasakan dirinya menangis, "Vina, gimanapun kamu, aku akan tetap cintai kamu. Kamu yang kuat, ya! Kamu harus tetap menjadi kamu. Kamu yang cantik di mataku, yang periang, yang selalu semangat!"
Aku benar-benar tak kuasa menahan air mata. Buliran itu menderas.
Tuhan, terima kasih telah mengirimkan cinta yang tegar untukku, Revand...
"Rev, kalau aku jadi botak karena kemoterapi, gimana? Gak akan ada lagi rambut ikal yang kamu sukai."
Revand terdiam, menatap sendu pada gumpalan rambutku yang diikat rapi ke belakang. Seperti menerawang, menerjang gawang. Entah apa...
- (oleh @LandinaAmsayna - http://landinaamsayna.blogspot.com)
Handphone-ku bergetar, ada sebuah pesan singkat masuk. Kuklik tanda 'buka' dan terbacalah pesan itu. Oh! Ternyata Revand, sudah kuduga.
Vin, kamu udah sadar?
Gimana keadaan kamu?
Aku jenguk, ya?
Aku seketika menekan tombol 'balas' dan membalas pertanyaannya yang merombong.
Aku udah baik-baik aja kok, Rev.
Ngga usah, sayang. Lagian aku gak apa-apa, kok. Makasih ya tadi udah nganterin aku pulang...
Tak lama kemudian balasan Revand tertera di layarku.
Ya udah, kamu istirahat sana.
Sama-sama, sayangku.
Aku tak membalasnya dan membiarkan handphone-ku mendekam lagi di kantung jeansku.
"Revina Karina..." Namaku dipanggil suster yang bertugas di ruang praktek dokter Riana.
Aku dan mama segera masuk tanpa diaba-aba.
Sekilas dokter Riana tersenyum penuh arti padaku. Seperti, sekilas menelusup dalam pancaran mataku.
"Ibu dan Vina, saya tidak mau ada yang ditutup-tutupi di sini. Ibu dan Vina berhak tahu yang sebenarnya menurut saya. Apalagi, Vina saya rasa sudah cukup dewasa."
Aku dan mama bertatap-tatapan heran, "Baik, dok. Jadi, Vina kenapa?" Tanya mama seolah mewakili pertanyaanku.
"Saya mohon Ibu dan Vina bisa tenang, semua ada jalan keluarnya," dokter Riana menghela nafas sebentar, lalu melanjutkan, "Vina positif kanker paru-paru."
"Apa, dok??? Dokter jangan becanda!!" Mama histeris. Aku hanya bisa menangis lemah dalam dekapan mama.
"Mohon ibu tenang dulu. Ini, kankernya bersarang di sini." Dokter Riana menunjukkan foto yang entah apa dan menunjukkan tempat kankerku bersarang. Aku dapat melihat dari daerah yang ditunjukkan dokter Riana, kankerku cukup menyebar dengan luas.
"Ya Tuhan..." Mama menangis lemah, seakan hilang tenaga.
"Tapi, dok. Vina masih bisa sembuh, kan??"
"Pasti bisa, bu. Dengan gabungan kemoterapi, radioterapi dan oprasi," dokter Riana kembali membuka lembaran-lembaran bukuku, "Tapi resiko sangat berat. Vina terlalu lemah dan masih belia. Saya takut tubuhnya tidak kuat merangsang obat-obatan keras."
"Saya yakin saya bisa, dok. Saya pengen sembuh." Aku sungguh terisak.
"Ini tidak semudah yang kamu kira, Vina. Butuh banyak pertimbangan. Kamu masih kecil, kamu terlalu lemah sedari kamu bayi, dan; maaf saya dengar ibu single parent?" Tatapannya beralih ke mama.
"Hmm... Ya, memang saya single parent. Tapi saya akan usahakan segalanya, dok. Saya cinta Vina."
"Sebaiknya ibu pertimbangkan dahulu semuanya. Jika keluhan berulang, kemarilah."
Dan kami berjabat untuk pamit. Dengan mata yang sembab, ibu menyetir dalam keremangan hatinya yang tak bisa ia pungkiri; begitu pula aku. Aku masih saja tak bisa mempercayai segala ucapan dokter Riana tadi. Aku menderita kanker?
***
Kini Revand telah berada di depanku, "kamu masih sakit, ya? Kamu udah aku izinin ke SMP, kok."
Ya, gedung sekolahku mulai dari TK, SD, SMP sampai SMA terletak di satu lokasi. Sehingga aku dan Revand masih begitu mudah bertemu meski sudah beda sekolah.
"Iya, sayang. Makasih, ya..." Aku membalas genggaman hangatnya.
"Hmm... Rev,"
"Ya?" Ia menoleh, menatapku dengan tatapan tajamnya.
"Aku inget, dulu kamu pernah bilang bahwa kamu ga mau punya kenalan yang sakit parah karena gak akan kuat saat kamu kehilangannya."
"Oh itu, terus?"
"Kalau aku yang sakit parah, gimana?"
"Sayang, dengerin aku baik-baik, ya. Apapun yang terjadi, aku bakalan tetep bareng-bareng kamu. Nemenin kamu. Cintai kamu." Tangannya membelaiku, "memangnya kenapa, sayang? Kok ngomongnya gitu?"
Aku menghambur memeluknya, perlahan buliran air mata mengalir membasahi sunyi.
"Aku kanker, Rev... Aku kanker." Aku berbicara sekuat keberanianku.
Revand merekatkan pelukkannya, aku dapat merasakan dirinya menangis, "Vina, gimanapun kamu, aku akan tetap cintai kamu. Kamu yang kuat, ya! Kamu harus tetap menjadi kamu. Kamu yang cantik di mataku, yang periang, yang selalu semangat!"
Aku benar-benar tak kuasa menahan air mata. Buliran itu menderas.
Tuhan, terima kasih telah mengirimkan cinta yang tegar untukku, Revand...
"Rev, kalau aku jadi botak karena kemoterapi, gimana? Gak akan ada lagi rambut ikal yang kamu sukai."
Revand terdiam, menatap sendu pada gumpalan rambutku yang diikat rapi ke belakang. Seperti menerawang, menerjang gawang. Entah apa...
- (oleh @LandinaAmsayna - http://landinaamsayna.blogspot.com)
13 September 2011
Sonata Kenangan : Cinta itu, Dia!
"Happy anniversary, sayang!" Kecupnya mendarat di keningku.
Di malam ini, hanya lilin temaram yang merekat. Memadu dua hati yang saling erat.
Ya, inilah tahun ketiga aku bersama kekasihku, Revand Adisaputra. Dimulai saat menjalani masa-masa indah di awal SMP. Aku mengenalnya sebagai kakak senior yang memandu MOS di kelasku. Dulu, aku sama sekali tidak meliriknya, atau menyukainya. Bahkan aku membencinya. Tapi karena hal yang entah, aku perlahan mulai mengaguminya. Dan tanpa sadar rasa cinta itu pun tumbuh. Ya, bisa dibilang itu hanyalah cinta masa anak-anak, cinta monyet. Tapi nyatanya, hubungan kami bertahan tiga tahun meski sempat banyak goncangan yang melilit.
Teman-teman sekolah pun banyak yang mengacungi jempol atas kebersamaan kami yang bisa dibilang langgeng. Mungkin karena masa-masa SMP kebanyakan menjalani hubungan yang kandas di bulan yang kesekian. Tapi entah, aku bersyukur memiliki Revand di sampingku. Dia indah. Semua tentangnya, seakan terlukiskan dalam satu kata; cinta.
"Kamu, dengarkan lagu ini, ya. Lagu ini untukmu."
Aku memainkan gitar, dan menyanyikan sebuah lagu dari band asal luar negeri, Paramore. Lagu The Only Exception ini memang sangat menggambarkan diriku. Dimana aku yang dulu trauma akan cinta karena masalah keluargaku yang broken home. Dimana dulu, papa dan mamaku tiada akur semenjak yang kuingat. Bagaimana Tuhan mengirim buliran hujan yang deras di tengah keluarga kecil kami. Sampai akhirnya aku harus merelakan papa menjalani kehidupannya sendiri, itu pelik. Seperti lagu ini juga, aku bergidik setiap kali mendengar kata cinta. Bagiku cinta adalah kemusnahan, kebohongan, kemunafikan!
Tapi mengenal Revand adalah perubahan bagiku. Dia merubah pandanganku akan cinta. Ternyata cinta, itu kekal, abadi, dan ada. Aku yakin sekarang, aku mengenal cinta yang sesungguhnya.
"Suara kamu indah, sayang."
"Haha... Gombal!" Aku mencubit gemas lengannya.
Dia membalasnya dengan mengacak-ngacak rambutku.
Aku terbatuk. Aku mendekap dadaku erat-erat dengan sebelah tanganku. Dengan tiba-tiba rasa sakit menyeruak di sana.
"Kenapa, Vina? Radang paru-paru kamu kambuh, ya?" Dia merangkulku.
"Yah... Sepertinya. Aku gak apa-apa, kok."
"Hmm... Kamu itu apa-apa. Radang paru-paru dengan batuk berdarah itu apa wajar?"
Aku menatap perlahan tangan yang ditunjuk Revand. Benar, ada segumpal darah di sana. Apa ini sungguh? Apa benar ini darahku?
"Vin, kita pulang sekarang, ya."
"Gimana kamu, deh." Aku menurut, tak kuasa menolak. Karena memang lambat laun dadaku menyesak. Seakan dihimpit dua dinding yang kian menyempit. "Besok jadi temani aku manggung, kan?"
"Kamu tetep mau manggung besok? Apa ngga apa-apa?"
"Aku ga apa-apa, sayang. Sebentar lagi juga paling sembuh, kok."
"Ya udah, aku pasti temenin, kok!"
Aku menggandeng dan menariknya sebagai isyarat 'cepat-cepat'. Dan, sepertinya Revand mengerti.
Sesampainya di rumah, hanya sebuah kecupan yang kuberi pada mama. Aku tak berani berada di depannya lama-lama di saat seperti ini. Dia tau betul keadaan anaknya yang sedang sakit. Aku hanya tak mau membuatnya memikirkanku. Jadi, aku lebih memilih cepat-cepat naik ke kamarku. Dan merebahkan paru-paruku yang mungkin merengek minta istirahat.
Aku sejenak membersihkan diri. Kutanggalkan ikat rambut yang melilit rambut ikalku sedari tadi. Ketika aku bercermin, merapikan rambutku yang bisa dibilang sulit diatur; satu, dua, tiga tetes darah mengalir perlahan dari hidungku. Dengan cepat aku meraih tissue di sampingku, menghilangkan tiga tetesan darah di meja rias. Dan menghalangi darah yang terus menetes di hidungku. Tuhan, aku ini kenapa?
"Vina..."
Aku terkejut. Aku membalik badan, menghadap mama dengan tissue masih kuletakkan di hidungku.
"Vin, kamu kenapa?"
"Eh..." Aku tergagap, "Pilek, ma."
"Ooh... Mama kira kamu kenapa. Ya udah, istirahat sana. Mama buatin susu hangat, ya?"
"Nggak usah, ma. Vina mau langsung tidur, kok."
"Oh ya udah. Night, sayang..." Mama menutup pintu perlahan.
Aku melepas tissue yang menghalangi darahku, ada banyak darah di sana. Aku heran, mengapa mama tak jeli melihat tumpukan merah di sini? Entahlah...
***
"Hei! Cepetan naik!" Revand menyembul di balik jendela.
"Kamu bisa nyetir?"
"Tentu. Masa aku kalah sama bidadariku ini?" Senyum gombalnya merekah.
"Hahaha... Apa sih, kamu." Aku masuk, menduduki jok di sampingnya.
Mobil mulai berjalan menuju tempatku akan menyanyi nanti.
"Kamu udah gak apa-apa, nih? Tetap mau manggung?"
"Aku gak apa-apa, kok. Iya, cerewet!" Aku tertawa geli melihat wajahnya yang berubah masam.
Sekian menit kemudian, aku sampai. Siap untuk dirias dan menjalankan tugasku seperti biasanya. Satu, dua lagu berhasil kunyanyikan. Meski di lagu pertama sempat terasa nyeri di dadaku, tapi di lagu kedua sungguh berjalan lancar. Di lagu ketiga pun sama! Aku sukses menyanyikannya hingga akhir. Namun, ketika aku sampai di belakang panggung, aku mendadak begitu lemas.
"Revand..." Teriakku lirih.
"Vinaaa..!!" Revand meraihku. Lalu semua terasa lesap dari pandangan, gelap menyeruak.
"Vina... Kamu sudah sadar??" Ada mama di sampingku.
"Mama? Kok aku di sini?" Aku berkata dengan lemah yang tetap.
"Tadi Revand bawa kamu ke sini. Kamu pingsan seusai menyanyi."
"Sekarang mana Revand?"
"Mama menyuruhnya pulang," mama membelaiku perlahan, "Kamu kenapa sih, sayang? Sekarang apa yang kamu rasa?"
"Lemas aja, ma. Dada Vina sedikit sesak." Aku tak kuasa berkata bohong. Aku yakin, mama sebenarnya sudah tau keadaanku yang sebenarnya.
"Kita ke dokter Riana, ya?"
"Ya sudah..." Aku berusaha tersenyum.
Tak lama aku menanti di ruang tunggu ini, namaku sudah dipanggil.
"Hallo, Vina. Kamu sudah besar, ya? Umur berapa sekarang?" Dokter Riana menyambut kami dengan hangat.
"13 tahun, dok." Aku tersenyum dan balik menjabat hangat tangannya.
Dokter Riana sejenak membaca buku catatan rumah sakitku. Buku catatan itu berisi riwayat-riwayat penyakitku semenjak aku menjadi pasien dan mendaftar di rumah sakit ini.
"Jadi, kamu kenapa nih, Vin?"
"Ini, dok. Semalam Vina mimisan, dan tadi baru saja pingsan. Katanya lemas dan dadanya sesak."
Aku menatap mama lekat-lekat, "Lho, mama kok...?"
"Kamu kira mama bisa kamu bohongi? Hihihi..."
Aku tersipu. Ah! Memang tak seharusnya aku merahasiakannya semalam. Karena bagaimana pun mama memang pasti tahu.
"Ada batuk berdarah?"
"Hmm... Ya."
Dokter Riana terdiam cukup lama, "di sini ditulis riwayat penyakitmu adalah radang paru-paru," matanya terpaku pada lembaran-lembaran bukuku. "Melihat kondisinya, memang belum bisa saya simpulkan. Tapi..."
"Tapi kenapa, dok?" Aku seakan tak sabar.
"Saya rasa kamu cukup parah."
"Hah?? Parah bagaimana maksud dokter?"
Dokter Riana terdiam dan membelai wajahku, "Kita akan lakukan pemeriksaan lebih lanjut."
Aku hanya bisa diam, menatap ke ujung meja di depanku, merenung. Ya Tuhan, aku ini kenapa?
- (oleh @LandinaAmsayna - http://landinaamsayna.blogspot.com)
Di malam ini, hanya lilin temaram yang merekat. Memadu dua hati yang saling erat.
Ya, inilah tahun ketiga aku bersama kekasihku, Revand Adisaputra. Dimulai saat menjalani masa-masa indah di awal SMP. Aku mengenalnya sebagai kakak senior yang memandu MOS di kelasku. Dulu, aku sama sekali tidak meliriknya, atau menyukainya. Bahkan aku membencinya. Tapi karena hal yang entah, aku perlahan mulai mengaguminya. Dan tanpa sadar rasa cinta itu pun tumbuh. Ya, bisa dibilang itu hanyalah cinta masa anak-anak, cinta monyet. Tapi nyatanya, hubungan kami bertahan tiga tahun meski sempat banyak goncangan yang melilit.
Teman-teman sekolah pun banyak yang mengacungi jempol atas kebersamaan kami yang bisa dibilang langgeng. Mungkin karena masa-masa SMP kebanyakan menjalani hubungan yang kandas di bulan yang kesekian. Tapi entah, aku bersyukur memiliki Revand di sampingku. Dia indah. Semua tentangnya, seakan terlukiskan dalam satu kata; cinta.
"Kamu, dengarkan lagu ini, ya. Lagu ini untukmu."
Aku memainkan gitar, dan menyanyikan sebuah lagu dari band asal luar negeri, Paramore. Lagu The Only Exception ini memang sangat menggambarkan diriku. Dimana aku yang dulu trauma akan cinta karena masalah keluargaku yang broken home. Dimana dulu, papa dan mamaku tiada akur semenjak yang kuingat. Bagaimana Tuhan mengirim buliran hujan yang deras di tengah keluarga kecil kami. Sampai akhirnya aku harus merelakan papa menjalani kehidupannya sendiri, itu pelik. Seperti lagu ini juga, aku bergidik setiap kali mendengar kata cinta. Bagiku cinta adalah kemusnahan, kebohongan, kemunafikan!
Tapi mengenal Revand adalah perubahan bagiku. Dia merubah pandanganku akan cinta. Ternyata cinta, itu kekal, abadi, dan ada. Aku yakin sekarang, aku mengenal cinta yang sesungguhnya.
"Suara kamu indah, sayang."
"Haha... Gombal!" Aku mencubit gemas lengannya.
Dia membalasnya dengan mengacak-ngacak rambutku.
Aku terbatuk. Aku mendekap dadaku erat-erat dengan sebelah tanganku. Dengan tiba-tiba rasa sakit menyeruak di sana.
"Kenapa, Vina? Radang paru-paru kamu kambuh, ya?" Dia merangkulku.
"Yah... Sepertinya. Aku gak apa-apa, kok."
"Hmm... Kamu itu apa-apa. Radang paru-paru dengan batuk berdarah itu apa wajar?"
Aku menatap perlahan tangan yang ditunjuk Revand. Benar, ada segumpal darah di sana. Apa ini sungguh? Apa benar ini darahku?
"Vin, kita pulang sekarang, ya."
"Gimana kamu, deh." Aku menurut, tak kuasa menolak. Karena memang lambat laun dadaku menyesak. Seakan dihimpit dua dinding yang kian menyempit. "Besok jadi temani aku manggung, kan?"
"Kamu tetep mau manggung besok? Apa ngga apa-apa?"
"Aku ga apa-apa, sayang. Sebentar lagi juga paling sembuh, kok."
"Ya udah, aku pasti temenin, kok!"
Aku menggandeng dan menariknya sebagai isyarat 'cepat-cepat'. Dan, sepertinya Revand mengerti.
Sesampainya di rumah, hanya sebuah kecupan yang kuberi pada mama. Aku tak berani berada di depannya lama-lama di saat seperti ini. Dia tau betul keadaan anaknya yang sedang sakit. Aku hanya tak mau membuatnya memikirkanku. Jadi, aku lebih memilih cepat-cepat naik ke kamarku. Dan merebahkan paru-paruku yang mungkin merengek minta istirahat.
Aku sejenak membersihkan diri. Kutanggalkan ikat rambut yang melilit rambut ikalku sedari tadi. Ketika aku bercermin, merapikan rambutku yang bisa dibilang sulit diatur; satu, dua, tiga tetes darah mengalir perlahan dari hidungku. Dengan cepat aku meraih tissue di sampingku, menghilangkan tiga tetesan darah di meja rias. Dan menghalangi darah yang terus menetes di hidungku. Tuhan, aku ini kenapa?
"Vina..."
Aku terkejut. Aku membalik badan, menghadap mama dengan tissue masih kuletakkan di hidungku.
"Vin, kamu kenapa?"
"Eh..." Aku tergagap, "Pilek, ma."
"Ooh... Mama kira kamu kenapa. Ya udah, istirahat sana. Mama buatin susu hangat, ya?"
"Nggak usah, ma. Vina mau langsung tidur, kok."
"Oh ya udah. Night, sayang..." Mama menutup pintu perlahan.
Aku melepas tissue yang menghalangi darahku, ada banyak darah di sana. Aku heran, mengapa mama tak jeli melihat tumpukan merah di sini? Entahlah...
***
"Hei! Cepetan naik!" Revand menyembul di balik jendela.
"Kamu bisa nyetir?"
"Tentu. Masa aku kalah sama bidadariku ini?" Senyum gombalnya merekah.
"Hahaha... Apa sih, kamu." Aku masuk, menduduki jok di sampingnya.
Mobil mulai berjalan menuju tempatku akan menyanyi nanti.
"Kamu udah gak apa-apa, nih? Tetap mau manggung?"
"Aku gak apa-apa, kok. Iya, cerewet!" Aku tertawa geli melihat wajahnya yang berubah masam.
Sekian menit kemudian, aku sampai. Siap untuk dirias dan menjalankan tugasku seperti biasanya. Satu, dua lagu berhasil kunyanyikan. Meski di lagu pertama sempat terasa nyeri di dadaku, tapi di lagu kedua sungguh berjalan lancar. Di lagu ketiga pun sama! Aku sukses menyanyikannya hingga akhir. Namun, ketika aku sampai di belakang panggung, aku mendadak begitu lemas.
"Revand..." Teriakku lirih.
"Vinaaa..!!" Revand meraihku. Lalu semua terasa lesap dari pandangan, gelap menyeruak.
"Vina... Kamu sudah sadar??" Ada mama di sampingku.
"Mama? Kok aku di sini?" Aku berkata dengan lemah yang tetap.
"Tadi Revand bawa kamu ke sini. Kamu pingsan seusai menyanyi."
"Sekarang mana Revand?"
"Mama menyuruhnya pulang," mama membelaiku perlahan, "Kamu kenapa sih, sayang? Sekarang apa yang kamu rasa?"
"Lemas aja, ma. Dada Vina sedikit sesak." Aku tak kuasa berkata bohong. Aku yakin, mama sebenarnya sudah tau keadaanku yang sebenarnya.
"Kita ke dokter Riana, ya?"
"Ya sudah..." Aku berusaha tersenyum.
Tak lama aku menanti di ruang tunggu ini, namaku sudah dipanggil.
"Hallo, Vina. Kamu sudah besar, ya? Umur berapa sekarang?" Dokter Riana menyambut kami dengan hangat.
"13 tahun, dok." Aku tersenyum dan balik menjabat hangat tangannya.
Dokter Riana sejenak membaca buku catatan rumah sakitku. Buku catatan itu berisi riwayat-riwayat penyakitku semenjak aku menjadi pasien dan mendaftar di rumah sakit ini.
"Jadi, kamu kenapa nih, Vin?"
"Ini, dok. Semalam Vina mimisan, dan tadi baru saja pingsan. Katanya lemas dan dadanya sesak."
Aku menatap mama lekat-lekat, "Lho, mama kok...?"
"Kamu kira mama bisa kamu bohongi? Hihihi..."
Aku tersipu. Ah! Memang tak seharusnya aku merahasiakannya semalam. Karena bagaimana pun mama memang pasti tahu.
"Ada batuk berdarah?"
"Hmm... Ya."
Dokter Riana terdiam cukup lama, "di sini ditulis riwayat penyakitmu adalah radang paru-paru," matanya terpaku pada lembaran-lembaran bukuku. "Melihat kondisinya, memang belum bisa saya simpulkan. Tapi..."
"Tapi kenapa, dok?" Aku seakan tak sabar.
"Saya rasa kamu cukup parah."
"Hah?? Parah bagaimana maksud dokter?"
Dokter Riana terdiam dan membelai wajahku, "Kita akan lakukan pemeriksaan lebih lanjut."
Aku hanya bisa diam, menatap ke ujung meja di depanku, merenung. Ya Tuhan, aku ini kenapa?
- (oleh @LandinaAmsayna - http://landinaamsayna.blogspot.com)
Subscribe to:
Posts (Atom)