Tentang 30 Hari Cerita Cinta

Showing posts with label Di Kota Kecil Itu. Show all posts
Showing posts with label Di Kota Kecil Itu. Show all posts

21 September 2011

#8: Konfrontasi

            Gordon's Bakery terlihat ramai seperti biasanya. Pelanggan berdiri di depan rak-rak tempat berbagai macam roti diletakkan. Beberapa pelanggan dengan sabar mengantri di depan kasir.

            Pintu tiba-tiba terbuka. Dua orang laki-laki berpakaian hitam masuk ke dalam, menarik perhatian seluruh orang, termasuk istri sang tukang roti yang berdiri di belakang meja kasir.

            Seorang wanita menyusul kedua laki-laki tersebut. Wanita itu dengan sengaja mengitari satu per satu rak roti di dalam toko sebelum berdiri di depan kasir setelah melirik sebentar pelanggan yang sedang membayar.

            "Maaf, mohon antri seperti yang lainnya," kata Nyonya Elise dengan tenang.

            "Kamu tahu aku ke sini tidak untuk membeli roti," kata wanita itu.

            "Kalau begitu, aku rasa anda salah masuk toko sebab ini toko roti." Suara Florence yang menggema membuat perhatian seisi toko kembali pada arah pintu.

            Di sana Florence berdiri bersama David dan Gloria.

            Wanita itu melihat Florence sebentar dan langsung memalingkan wajahnya dari gadis itu, membuat muka Florence menggembung karena marah.

            "Kata anak itu benar. Ini toko roti. Kalau yang anda mau bukan roti, aku rasa anda salah tempat," kata Nyonya Elise.

            "Kamu sendiri tahu apa tujuanku ke sini. Kamu memilih untuk menghindariku dengan tidak menghadiri pesta kemarin. Aku lega. Tetapi apa maksudmu membiarkan anakmu itu mewakilimu?!"

            Kalimat terakhirnya bukan suatu pertanyaan melainkan sebuat pernyataan untuk menyalahkan dan meminta pertanggungjawaban.

            "Maaf." Tuan Gordon yang muncul dari ruang pembuatan roti di belakang toko mendorong pintu kecil di samping kasir hingga pintu itu menyenggol tangan si wanita yang mencari gara-gara. Baki di tangannya, yang penuh dengan roti yang baru dipanggang, sengaja tidak diangkat tinggi, hingga wanita itu terpaksa harus sedikit menjauh.

            "Aku tidak mengerti. Kalau menurutmu, anakku pergi sebagai perwakilan itu salah. Bagaimana denganmu? Bukankah kamu melakukan hal yang sama juga?" tanya Gordon sambil meletakkan roti di atas rak.

            Pandangan seluruh orang berputar pada wanita yang terdiam itu.

            "Oh, iya. Anda melakukan hal yang sama. Jadi tampaknya Anda kurang berhak memberi komentar-komentar tadi," ujar Florence. "Mengapa Anda tidak berpikir dulu sebelum bertindak?" lanjutnya dengan nada meledek.

            Wanita itu menatap Florence dengan pandangan marah. Florence hanya membalas dengan senyuman manis.

            Saat Florence akan melanjutkan sesi penyerangannya, pintu terbuka lagi. Ethan berdiri di ambang pintu. Raut wajahnya berubah kesal saat melihat wanita yang berdiri di tengah toko itu.

            "Maaf, Paman Gordon," kata Ethan seraya menarik wanita itu keluar toko.

            "Dia siapa?" bisik David pada Florence begitu pintu ditutup.

            "Ibunya Ethan. Wanita judes. Tidak berperasaan. Sok kaya." Florence memperkenalkan wanita yang baru keluar itu.

            "Florence. Kamu seharusnya tidak mengatakan kata-kata tadi. Kelewatan," kata Gloria.

            "Good job, Florence!" sahut Tuan Gordon yang mendekat sambil mengacung jempolnya.

            "Terima kasih, Paman Gordon!" jawab Florence dengan senyuman senang.

            Gloria mendecak lidah. "Dad!"

            "Tenang, Gloria. Dia tidak berani berbuat apa-apa padaku. Papa Alexku investor penting perusahaannya," kata Florence sambil mengedipkan mata.

            Tampaknya liburanku di sini tidak bisa mulus, batin David dalam hati.






~ (oleh oleh : @lid_yang)

19 September 2011

Kunjungan

            David menguap lebar sambil menepuk-nepuk meja kasir di toko buku kakeknya dengan sapu bulu unggas.

            Gara-gara kebanyakan memikir semalam, dia tidak dapat tidur dengan baik. Dia menghabiskan waktu tidurnya memikirkan tentang hubungan antara Gloria dan si Ethan yang menjengkelkan, dan tentu saja, tentang Florence.

            David menghembuskan napas sambil melihat ke luar kaca besar yang menghadap ke jalan di samping pintu. Kakeknya keluar sejak pagi dan belum pulang sampai sekarang.

            Jam dinding menarik perhatian David dengan dentangannya. Sudah jam sepuluh.

            Jalan di luar toko penuh dengan orang berlalu lalang. Mobil-mobil mengendara di jalan dengan kecepatan yang cukup lambat jika dibandingkan dengan kota besar. Sesekali ada mobil yang berhenti agar para pejalan kaki bisa menyeberang.

            Mata David mengikuti gerakan seorang ibu yang mendorong kereta bayi. Bayi di dalamnya sedang sibuk bermain dengan mainannya. Kepala David ikut berputar ke kiri seiring dengan gerakan kaki ibu itu.

            "Itu kan…" David mengernyit dan membuka pintu toko dengan cepat.

            David mencondongkan kepalanya ke luar. Pandangannya tertuju pada sosok seorang gadis berambut sebahu yang mengenakan kaos berwarna pink dan celana jeans panjang. Gadis itu berjalan mondar mandir di depan toko roti sebelah. Raut wajahnya tampak gugup, ragu.

            Sesekali dia berjalan di belakang pengunjung yang memasuki toko, tetapi segera bergerak ke samping sebelum kakinya sempat melangkah masuk.

            "Florence," panggil David. Suaranya pelan tetapi tampaknya tetap berhasil mengejutkan gadis itu.

            "Da… David," jawab Florence terbata-bata sambil tertawa kaku.

            "Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya David.

            "A… Aku…" Florence melihat ke dalam toko roti sebentar sebelum berjalan ke arah David.

            Dengan pandangan menerawang, Florence mulai menjelaskan alasan kedatangannya.

            "Kejadian semalam. Aku seharusnya tidak memaksa Gloria. Dan aku ke sini untuk meminta maaf. Tetapi…" Florence menghentikan kata-katanya.

            "Tetapi, Gloria tampaknya saat terganggu kemarin dan bagaimanapun kamu memikirkannya, kamu tetap telah memaksa temanmu sendiri melakukan sesuatu yang dia tidak inginkan." David melanjutkan kata-kata Florence dengan lantang.

            "Aku tahu itu. Kamu tidak perlu mengatakannya seperti itu," kata Florence kesal.

            David menelan ludah.

            Bodoh, marah David pada dirinya sendiri.

            Sekejap kemudian, David mendapati Florence terus melirik ke arah toko roti lagi. Setelah menghembuskan napas, David menyatakan sarannya.

            "Begini saja. Kamu tunggu di sini, aku ke sebelah meminta Gloria kemari," kata David.

            Florence hanya menjawab dengan anggukan pelan.

            "Tunggu di sini," kata David sembari berjalan ke toko roti yang sedang ramai itu.

            Tidak lama kemudian David hadir di depan Florence, bersama Gloria tentunya.

            "Florence?" kata Gloria dengan nada penuh tanda tanya pada gadis di depannya yang menatapnya dengan tatapan kosong.

            "David sudah memberitahumu, kan?" tanya Florence.

            Gloria mengernyit dan menatap David.

            David hanya mengangkat bahunya lalu berputar menghadap Florence dan tersenyum. "Lebih baik kamu katakan sendiri."

            Florence menghela napas panjang. Kemudian dia menyampaikan permintaan maafnya yang diusahakan agar terdengar setulus mungkin. Tetapi penyampaian yang dikatakan dalam satu tarikan napas itu hanya berakhir pada dua pasang mata yang menatap Florence dengan tatapan tertegun dan kemudian seisi toko buku dipenuhi oleh suara tawa.

            Sambil mengusap air matanya yang mengalir karena kebanyakan tertawa, Gloria berkata, "Aku tidak menerima permintaan maafmu."

            Kata-katanya ini membuat mengejutkan Florence. Bahkan Davidpun menatap Gloria dengan tatapan tidak percaya.

            Namun, Gloria hanya mengedipkan mata kanannya pada David dan melanjutkan kata-katanya. "Kurang tulus." Gloria memasang wajah serius. "Begitu saja, aku agak sibuk sekarang. Bagaimana kalau sore nanti kita ke café di ujung jalan sana? Di sana aku bisa mendengarkan semuanya yang ingin kamu katakan."

            Florence mengernyit, tetapi akhirnya mengangguk juga.

            Gloria tersenyum. "Baiklah, jam lima di depan café," katanya seraya meraih daun pintu dan memutarnya.

            Langkah Gloria terhenti. Pintu yang dibuka bahkan belum sempat dia tutup.

            David dan Florence saling menatap sebelum melangkah ke belakang Gloria untuk melihat apa yang telah terjadi.

            Sebuah mobil hitam mewah berhenti di tepat di hadapannya. Dua orang laki-laki berjas hitam keluar dari dalam mobil. Salah satu dari mereka membuka pintu mobil. Seorang lagi membuka payung dan bersiap-siap di samping pintu yang terbuka. Payung di tangannya diangkat ke atas pintu yang terbuka hingga membentuk suatu atap kecil bagi siapapun yang keluar dari mobil itu.

            Ketiga remaja itu berdiri mematung di pintu toko buku. Mata mereka terpaku pada orang-orang itu.

            Saat David membuka mulut untuk bertanya, pandangannya kembali teralih oleh sebuah sosok yang turun dari mobil.

            Seorang wanita cantik, cukup tinggi, putih, rambut emasnya bergelombang. Dia mengenakan dress selutut berwarna hitam dan sepatu hak tinggi yang mengilat.

            Wanita itu melihat ke arah pintu toko buku dimana ketiga remaja sedang berdiri. Pria yang membuka pintu tadi menutup kembali pintu mobil.

            Sambil memiringkan kepalanya sedikit, wanita itu tersenyum pada ketiga remaja. Senyuman yang jelas sekali memancarkan perasaaan meremehkan. Kemudian dia melangkah menuju toko roti di sebelah.



~ (oleh : @lid_yang)

18 September 2011

Sebelum Mereka Tidur

            David merebahkan dirinya di atas tempat tidur dengan wajah kesal. Bisa-bisanya dia melakukan hal seperti itu yang jelas-jelas mempermalukan Florence.

            Dengusan kuat David menggema dalam kamar yang hening. Florence pasti sangat kesal dengannya. Mungkin mulai besok, Florence memilih untuk menganggapnya transparan.

            Tetapi David tetap merasa dirinya tidak bersalah. Apakah dia salah membela temannya? Lagipula, mengapa Florence bersikeras harus Gloria yang nyanyi?

            David teringat pada kata-kata Florence.

            Sudah lama tidak melihat pertunjukan mereka berdua.

            Dan juga kejadian pada pesta dan kejadian di taman sehari yang lalu.

            Gloria tampak canggung di hadapan si Ethan itu. Ekspresi sedihnya saat Ethan memainkan gitar. Sebenarnya apa yang terjadi di antara mereka?

            David mengangkat tangan kanan hingga batas pandangannya. Matanya menatap telapak tangannya. Tadi dengan tangan ini, dia mencegah Florence yang sedang memaksa Gloria untuk tampil.

            Tangan ini mengenggam lengan bawah Florence.

            "Wow," gumam David. Kemudian dia turunkan tangannya dan memutar badannya ke kiri.

            Kontak fisik pertama. Kesan pertama yang baik. Pengenalan lebih jauh.

            Semuanya gagal total.

===


            Florence menutup pintu kamarnya dengan kesal. Kemudian dia bersandar pada pintu kamar dan mendongak menatap langit-langit kamar.

Dia telah membuat dirinya terlihat bodoh. Mengapa dia sampai memaksa Gloria? Bukankah Gloria salah satu sahabatnya?

            Kalau Gloria tidak mau, kita sebaiknya jangan memaksanya.

            Kata-kata laki-laki bernama David itu terngiang-ngiang dalam kepala Florence.

            Florence sangat setuju dengan kalimat ini. Tetapi dia bukan orang yang mudah mengalah, karena itulah, dia tidak langsung melepaskan genggamannya pada tangan Gloria.

            Tadi, dia baru saja mendapat omelan dari Papa Alex. Tidak termasuk omelan, sih. Cuma memberi nasihat, memberi masukan. Tetapi, bagi Florence yang sedang kesal, kata selembut apapun akan terdengar seperti omelan.

            "Aku telah melakukan hal yang tidak patut dilakukan seorang teman," gumam Florence.

            Pesta ulang tahun yang telah direncanakan anak-anak sejak bulan lalu. Rencana rahasianya. Hubungannya dengan Gloria.

            Hancur.

===

            Gloria membuka laci dan mengeluarkan sebuah buku diari kecil dengan cover merah jambu tebal. Kertas-kertas di dalamnya penuh dengan tulisan.

            Gloria membuka halaman selanjutnya dari tulisannya kemarin.

 
            Dear Edele,
                        Hari ini aku menghadiri perayaan ulang tahun Paman Alex. Cukup menyenangkan, sebelum orang itu tampil.
                        Dia membawakan lagu Edelweiss. Lagu gitar pertamanya yang diajarkan oleh Paman Alex. Memang lagu yang cocok, sebagai ucapan terima kasih juga.
                        Aku masih ingat bagaimana dia berlari-lari ke arahku dengan gitar di tangannya hanya untuk memamerkan padaku. Dia bahkan tidak menyimpan gitar kesayangannya itu dalam tas.
                        Katanya, dia sudah bisa memainkan satu lagu dengan gitar. Katanya, dengan gitar ini, dia bisa memainkan musik yang kusukai kapan saja.
                        Edele, tadi pada acara pasca pesta. Aku diajak mempersembahkan sebuah pertunjukan kepada Paman Alex, bersamanya.
                        Jujur, aku ingin sekali. Kalau masih seperti dulu, pasti aku sudah maju dengan penuh percaya diri.
                        Tetapi sekarang? Tidak mungkin.
                        Dia pasti kecewa. Sangat kecewa.

===

            Ethan mematikan mesin mobilnya. Pandangannya tertuju pada sebuah bangunan megah di hadapannya. Sebuah bangunan yang didirikan di atas tanah yang dulu adalah sebuah taman bermain. Tempat dia bertemu dengan gadis itu pertama kali.

            Gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai anak tukang roti di toko roti seberang jalan. Ethan kecil yang sedang kabur dari rumah sedang kesal karena selalu dipaksa latihan piano. Pada saat itu, kelaparannya sudah mulai tidak dapat ditahan. Dan gadis itu menangkap basah Ethan melihat ke dalam toko dengan pandangan sedih.

            "Ini," kata gadis itu sambil menyodorkan sepotong roti. "Untukmu."

            Ethan menatap roti di tangan gadis itu dengan tatapan tertegun.

            "Untukku? Gratis?"

            Pertanyaan Ethan mengundang tawa si gadis.

            "Iya," kata gadis itu sambil menarik tangan Ethan dan meletakkan roti itu dalam genggamannya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Tetapi, roti yang lezat dapat mengubah hari yang buruk. Begitu kata papaku."


            Ethan menunduk dengan air mata berlinangan di matanya. Dia tidak dapat berkata apa-apa.

            "Makan saja. Aku pergi dulu, ya."

            Saat Ethan mengangkat kepalanya, gadis itu sudah hilang di balik pintu toko roti.

            "Ethan, Master Ethan." Ketukan dan panggilan pelan dari balik kaca jendela mobil membangunkan Ethan dari pikirannya.

            Ethan mengangguk pada pembantu rumahnya dan keluar dari mobil. Dia memasuki rumahnya dan mendapati ibunya sedang duduk di atas salah satu sofa ruang tamu yang luas itu sambil membolak-balikkan halaman majalah.

            "Aku dengar tadi kamu mempersembahkan lagu untuk Alex," kata ibunya.

            "Ya, aku capek. Jadi aku tidur dulu. Good night, Mom." Ethan menaiki tangga lebar yang melingkar di samping kiri ruangan.

            "Ku harap tidak ada apa-apa yang terjadi antara kamu dengan anak tukang roti itu," kata ibunya lagi. Pandangan wanita ini masih tertuju pada majalah di tangannya.

            "Tidak ada apa-apa," jawab Ethan.

            "Baiklah. Kalau tidak, aku tidak akan mengizinkanmu datang ke kota ini lagi." Suara ibu Ethan sangat tegas.

            "Aku tahu. Aku tidur dulu." Setelah menghembuskan napas, Ethan kembali menaiki tangga dan berjalan menuju kamarnya di ujung koridor yang panjang di lantai dua.




~ (oleh @lid_yang)