Tentang 30 Hari Cerita Cinta

13 September 2011

Kenapa Harus Tidak Berani Mention?

Segi percintaan di Twitter. Menarik, penuh intrik, dan sesungguhnya sebelumnya aku tidak pernah membayangkan bahwa lagi-lagi akan menyukai seseorang yang aku temui di dunia maya. Tidak setelah aku berjanji pada diri sendiri bahwa dunia maya adalah hanya tempat sampah untuk ide-ide liar yang berlarian di otakku. Bagiku, jodoh tidak semestinya ditemukan di tempat dimana sebagian besar orang memakai topeng, berbentuk kepribadian yang dia ingin tunjukkan kepada dunia yang tidak ingin dia pertunjukkan tentang kehidupannya yang nyata.


Namun, lagi-lagi aku terkecoh dengan kenyataan bahwa tempat sesubur Twitter adalah tempat ditemukannya banyak sekali pria dengan topeng indah, yang mengundang kita untuk mengetahui bahwa kehidupan nyatanya juga indah.


Dan begitulah, aku menemukannya.
Tapi ini tidaklah mudah. Sekalipun aku tidak pernah menyatakan atau membiarkannya tahu apa yang kurasakan. Kubiarkan saja perasaan ini dirasakan sendirian. Bahkan bercerita kepada teman pun aku tak punya nyali. Dan aku punya alasannya.


Pernahkah kamu tahu, di Twitter ada peraturan tak tertulis. Apabila dirayu di timeline, apalagi di mention, maka rayuan itu sebenarnya tidak pernah benar-benar serius. Orang yang kita suka, akan kita dekati melalui Direct Message, untuk kemudian bertukar nomor telepon, atau PIN BBM lalu dari pembicaraan-pembicaraan rutin basa-basi sehari-hari yang nantinya akan mengarah kepada meet-up dimulai dari meet-up beramai-ramai sampai pada akhirnya meet-up hanya berdua mungkin dari hanya iseng kebetulan sedang lewat kantornya yuk sekalian makan siang (dan semua orang di dunia tahu bahwa sebetulnya seseorang tersebut berjuang mati-matian menyetir dari kantornya nun jauh disana, mungkin sengaja mengarang alasan ke bosnya untuk menemui klien dan ijin keluar 30 menit sebelum jam makan siang supaya bisa sampai tepat waktu di kantor sang pujaan hati yang seolah-olah tidak sengaja dilewati kantornya PAS jam makan siang), hingga nonton atau makan malam romantis berdua.


Owkay. Tapi itu bukan alasanku untuk tidak me-mention dia. Dilihat kembali judul dari cerita ini. Aku tidak berani mention dirinya yang kucinta. TIDAK BERANI. Bukan TIDAK MAU in sake of mau merayu secara serius melalui Direct Message dan menyatakan cinta kepadanya.


Percayalah, di dalam hati yang kerdil ini sesungguhnya sangat-sangat iri kepada mereka yang bisa bebas-bebas saja menyatakan perasaan mereka kepada pasangannya di Twitter. Dalam hati ini ingin rasanya memamerkan ukuran perasaanku pada dirinya tidak kalah besarnya dengan yang lain.
Percayalah bahwa membiarkan orang-orang tahu tentang perasaanku kepadanya adalah hal yang paling kuinginkan di dunia.


Tapi dia begitu sempurna. Begitu baik. Begitu indah. Sudah berkali-kali kubayangkan dan aku tidak akan sanggup untuk tidak memiliki dia dalam hidupku. Mungkin tidak mengapa bahwa aku tidak memiliki cintanya. Sungguh tak apa. Aku lebih takut kenyataan bahwa apabila cinta ini diwujudkan, dan ditumbuhkan bersama, aku khawatir akan ada yang tersakiti. Dan akan jauh lebih sakit apabila dia yang tersakiti. Atau yang lebih mungkin terjadi, dia akan lari tunggang-langgang saat tahu apa yang sebenarnya aku rasakan terhadapnya. And, that’s horror.


Namun pada akhirnya, aku menyerah pada rasa sesak. Aku lelah menahan rindu yang membuncah. Maka untuk 30 hari berikut, (yah aku tak tahu apakah rasa ini tetap ada sampai 30 hari kedepan, tapi rasa-rasanya sih iya), aku akan beranikan diriku untuk bercerita. Tentang cinta, tentang aku, tentang dia yang tidak pernah berani ku mention.


~ Oleh @ninanenen

Obrolan Iseng Tentang Cinta: ...... #1

“Aku mau kita longlast ya tus”. bisik venus diatas motor ketika membonceng motor Jatus.

“Ga Ven, aku mau kita everlast, kalo longlast itu ada batasnya”. Jatus menyempurnakan.

Sore itu mungkin jadi satu kejadian yang membuat mereka jadi-jadian, yap! Jatus dan Venus jadian, padahal temen-temen mereka ga nyangka kalau itu bakalan terjadi, (kebanyakan jadinya!)

<<<<<< Flashback boleh ya kakaaaaa <<<<<<<

Jadi gini, si Jatus adalah tipe cowo yang dulunya ga tertarik sama cewe feminin, yah soalnya di rumah Jatus udah banyak cewe dandan. Mama jatus Bu Belda, lulusan sekolah tata rias kenamaan, adiknya Fidelya sekolah SMK jurusan tata boga (katanya biar bisa nyaingin Chef Marinka, Farah Quinn ato Vindy), dan satu lagi si Mba’ Maesaroh dulunya jualan jamu keliling kampung, kebayang kan tampilan Mba’ Maesaroh bahenolnya kaya apa? Nah, akibat tiap hari dikelilingi sama cewe yang gitu, Jatus jadi mikir, gimana kalo dia punya cewe kaya Si Gadis Petualang ato Medina Kamil yang jadi host Jejak Petualang. Tiba-tiba kebayang…

“lumayan bisa nemenin jalan-jalan kalo punya cewe model kaya gitu”. pikir Jatus.

Nah, si Venus ini boleh dibilang tipe cewe idaman ala majalah pria, rambut terurai, selalu ga lupa make up kalo pergi, terus kalo ngomong lemah lembut. Sekali lagi, bukan tipe Jatus. Dan buat Jatus, lebih suka ngeledekin cewe kaya Venus, soalnya di rumah bahan praktek udah ada 2. Fidelya sama Mba’ Maesaroh. Kalo mama, takut dibilang anak durhaka.

Mereka sebenarnya udah kenal lama, Cuma si Jatus orangnya cuek ke Venus. Dan Venus lebih seneng ngecengin Renal, temen deket Jatus dari SD. Renal, sesuai dengan nama dan umurnya yang belia. Remaja Binal. Suka gonta-ganti pacar, tapi kalo sama Venus, dia tetep ga tertarik. (Ini cerita kok makin krik krik krik).

Ya udah, Hari Senin di Kampus Jatus sama Renal lagi beli somay di kantin Pak Prihatin (mungkin gara-gara di verified oleh Pak B*Y*) , Terus beli Jus Melon di kantin Bang Delon. Tiba-tiba Renal nyeletuk.

“Tus, ingat ga waktu ospek? Yang waktu itu lo nyuruh Venus anggota gugus yg lo jadi pembinanya bawa buah-buahan, eh dia bawa mengkudu”.

“Haha, terus gue suruh dia makan itu mengkudu sampe abis, RASAIN!”

Venus, Jatus sama Renal sama-sama satu kampus, tapi beda angkatan. Nah, Jatus waktu itu jadi ketua gugus yang di dalamnya ada Venus.

“Tuh dia dateng tus, tegur gih!”. Renal sambil nunjuk ke arah Venus dan kawan-kawan.

“Venuuuuus, sini-sini. Mau makan mengkudu lagi ga?” Teriak Jatus.

“Sori! Tapi kalo bareng Renal si, apapun aku lakuin.” jawab Venus anggun sambil blushing ke arah mereka berdua.

Seperginya Venus dkk ke arah Kantin Bu Entin, cerita 2 cowo tadi berlanjut.

“Tus, boleh tuh si Venus lo pacarin.” Renal ngelanjutin omongan.

“HAH? HAHAHA… Venus, ga deh! Makasih. Dia itu bukan Venus, namanya aja yang Venus, tapi muka Merkurius!” Jatus menimpali.

“Maksudnya?” Renal agak heran.

“Ya, mukanya kebanyakan pake bedak bermerkuri, mangkanya gue bilang Merkurius. Heheheh”. Jatus ketawa renyah.

“Hahaha, gila! Terus mau nyari cewe yang kaya gimana tus? yang berjiwa petualang? Waktu SMA lo juga pernah deket sama Nindy, cewe SISPALA. Tapi yang ada malah dia yang lebih aktif, saking aktifnya suka bolos terus ga ada kabar cuma gara-gara kebanyakan ikutan ekspedisi, nyerah juga kan akhirnya.” Dan keluar semua isi curhat Jatus waktu SMA ke Renal.

“Stop! Ga usah ngomongin cinta. lo sih enak, tampang Om-om, cewe mana yang ga lengket. Pulang ah!”. Sela Jatus sambil ngeraih tasnya.

Di perjalanan pulang, kejadian yang kurang enak terjadi pada Jatus, motor CB 100 nya mogok lagi. Kali ke empat kali bulan ini. Terik panas matahari menyorot ke arah Jatus yang lagi ngedorong motor. Jatus ngerasain, kok motornya tambah berat aja, mata Jatus tertuju ke ban.

“YAAAHHHHH! Ini ban pake bocor juga!!!” keluh Jatus.

Sampai di rumah, Mama lagi masak sayur asem , tapi sayur asemnya Mama masih kalah sama asemnya ketek Jatus sehabis ngedorong motor.

“Ma, boleh minta duit lagi ga?” samber Jatus.

“Buat apa? Ngebenerin motor lagi? Kemaren kan Papa udah nawarin kamu buat beli motor baru, eh kamu masih sukaaaaa aja ama motor butut gituan. Pokoknya mama ga mau ngasih duit buat benerin itu motor lagi.” Tandas Mama.

“Tapi Ma, asik punya motor kaya gitu, Manly! Jatus rela deh ngelakuin apa aja suaya tu motor sehat wal afiat. Kalo perlu Jatus bakal sering jemput Lya pulang les, ato sering beliin makanan Melvin.” Bujuk Jatus.

Perlu diketahui, Melvin adalah kucing Himalayan piaraan Mama, usianya udah 3 tahun, lagi mau nyari kucing betina buat dikawinin. Teeeet, balik ke cerita.

“Eh, Mama punya ide, kamu ga perlu deh repot-repot jemput Lya ato beliin makanan Melvin.” Tiba-tiba Mama kepikiran sesuatu (sesuatu banget yaahhhhhh!).

“Apa itu Mamah!” Jatus menatap melas (sambil pake kumis Agus Melas).

……………………… BERSAMBUNG



- (oleh @rizkymamat - rizky-muhammad.blogspot.com)

Cerita Cinta Tujuh Kahyangan: Joanna #1

Joanna memutar-mutar pena di tangannya dengan gelisah. Keningnya mengernyit memandang ke langit-langit.  Dia menghela nafasnya berat. Seakan tak cukup terlihat depresi, Joanna mulai menggerakkan badannya. Badan yang tadinya sedikit membungkuk ke arah meja mulai diregangkannya lalu dijatuhkan ke sandaran kursi. Sekali lagi, Ia menghela nafasnya berat. Ia bukannya sedang menangisi hutang, atau cinta.

"Joannaaa ! ! !" tiba-tiba terdengar teriakan merdu. "Sayaaang, kamu di manaa? Mama pulang naak~! Yuuhuuu~! "

Itu mamanya. Itu! Itulah yang membuatnya terlihat begitu depresi. Mamanya baru pulang dari tur pameran kesenian. Mama Joanna adalah seorang artis, seniman. Mamanya jugalah yang memberikannya nama yang terdengar sangat amat nyentrik.  Joanna Carmel Iphal.  Sebenarnya, nama itu mengandung arti yang sangat indah. Hanya baginya, nama itu terlalu berat untuk disandang.

Tapi bukan itu hal yang paling bikin dia frustasi. Sifat mamanya itulah yang membuatnya gelisah malam ini. Ya, sifat nyentrik mamanya tak hanya membuatnya merasa keberatan nama, tapi juga membuatnya kehilangan masa mudanya. 'Menikah? Hari gini? Ohh please!' batinnya. Tapi mau tak mau diangkatnya jugalah badannya menuju ke sumber suara merdu tadi.

"Apa ma? Joanna masih ada tugas nih. Mama gak tau yah? Joanna besok masih ada kuliah. "

"Ohh, kamu masih ada kuliah darl ? Bukannya seharusnya sudah libur natal? Demi Tuhan, kampus itu harus belajar apa yang namanya toleransi."

"Ma, mama tau, kampus yang mama bilang harus belajar toleransi itu merayakan natal. Hanya saja mereka lebih dulu belajar integritas ketimbang mama. Mama yang masih harus banyak belajar." Jawab Joanna ketus.

Mamanya yang sedari tadi mendengar ucapan Joanna sambil menari-nari kecil langsung menghentikan gerakan riangnya.
"Joanna, kalau mama harus belajar integritas, kamu harus belajar sopan santun !"

Joanna melengos.

Melihat anak semata wayangnya itu tampaknya sudah tak bisa dinasehati lagi, mamanyapun menggelengkan kepala.

"Ini oleh-oleh dari Om Sony." Katanya pada Joanna. Joanna memutar bola matanya. Om Sony adalah teman dekat papa dan mama. Sebenarnya Om Sony ini orangnya baik. Om inilah yang selalu membantu tur kesenian mama dan marketing bisnis papa. Yang membuat Joanna sensitif setiap nama Om Sony disebut adalah anaknya. Anaknya lah yang akan jadi neraka berjalan bagi Joanna. Joanna mengambil hadiahnya lalu berlalu dari hadapan mamanya.

"Ehh, tunggu Jo sayaang, ini ada buku dari Erick. Mama bilang kamu suka buku, jadi dia belikan itu buat kamu." Ujar mamanya tersenyum bahagia. Erick adalah anaknya Om Sony dan ya, dialah yang akan jadi neraka berjalannya Joanna. Rasanya Joanna ingin bilang, 'Mah senyuman mama mengerikan. Seperti tokoh jahat di film yang rencananya berjalan mulus.' Tapi tidak. Joanna tidak bilang. Ia hanya menatap mamanya hopeless lalu masuk ke kamarnya. 

-Sementara itu, jauh di atas awan. Benar-benar jauuh di atas awan.-

"Ahahahaha, jadi kita harus mengawasi anak yang lucu ini, Eliud?" Terdengar gelak tawa seseorang dari dalam kabin putih kecil bertirai satin yang indah.
"Ya Ahava.  . .Kayaknya anak ini asyik juga. . ." satu suara lagi –yang dipanggil Eliud- menyahut dari ruangan yang sama.


- (oleh @kasihelia - http://kasihelia.tumblr.com)

Sherry dan Sang Detektif: Impian Mommy

Sherry memasukkan beberapa lembar kaos dan celana panjang ke dalam
koper. Sebuah brosur tergeletak di meja riasnya; kepulauan tropis di
Asia Tenggara. Visa, paspor, kartu kredit dan surat-surat penting ia
masukkan ke tas kecil kesayangannya, pemberian Mommy saat mengunjungi
neneknya di Kalimantan.
Sebuah ketukan mengejutkannya. Ia menyembunyikan brosur pemberian Dad-nya.
"Yeah, come in.." Sherry pura-pura meneruskan tugasnya.
"Dear, are you ready? The taxi is here.." seorang wanita cantik
memasuki kamarnya.
"Yes, Mom." sebuah senyum mengembang di wajah Sherry. Mommy tak akan
tahu, sebuah rencana telah dia siapkan.
×OoO×
"I dont wanna be a model, Mom! Berapa kali harus aku bilang? Aku tak
ingin jadi model. Titik!" Sherry menghempaskan tubuhnya ke sofa. Di
sampingnya, Ronald, Daddy-nya menggelengkan kepala sambil tetap
berkutat pada laptopnya. Sherry tampak terlalu lelah berdebat dengan
sang Mommy. Tugas sekolahnya sudah cukup banyak menyita tenaganya.
"Sherry, you're cute, beautiful, sweet, and the most important, you
have talent. You can be a star." seru Irine, sang Mommy sambil terus
mengaduk sup ayam kesukaan Daddy-nya, untuk makan malam.
"Dad, help me, please." Sherry menggenggam erat tangan Daddy-nya,
menatapnya penuh harap.
"Kau tahu bagaimana ibumu, sayang." Ronald menatap putrinya sedih.
Irene terlalu kuat untuk ditentang keinginannya. Lengan kekarnya
membelai rambut Sherry yang keemasan.
Sherry melangkah masuk ke kamarnya dengan kesal. Ia pun membanting
pintu kamarnya. Ronald menggelengkan kepala, lalu kembali ke
laptopnya.
"Sherry, you messed up!" Robert, kakak Sherry, berteriak kesal dari kamarnya.
"You shut up!!"
Irene tersenyum sambil mencicipi sup ayamnya.
"Hm, perfect..." ujarnya.
xOoOx
"Pokoknya, Mom sudah memutuskan masa depanmu sebagai model, dear. Cant
you imagine, sang ibu adalah designer dari gaun-gaun indah yang
dipakai anaknya di catwalk?" Irine membuka percakapan pada dinner
malam itu.
"Yeah, Sherry, kau akan tampak sangat cantik." Robert meledeknya.
Irene tersenyum menatap Robert.
"But, I dont wanna, Mom. Please..." Sherry meletakkan pisau dan
garpunya. Selera makannya benar-benar hilang.
Ronald berdehem keras.
"Irene, ini waktunya dinner. Tak ada yang berbicara di meja makanku."
mata tajamnya menyapu pandang ke arah keluarga kecilnya.
Suasana kembali tenang.
xOoOx
"Dear, ada audisi di Paris akhir pekan ini. Mommy telah menyiapkan
tiket untuk kita." kata-kata Irene membuat penatnya berlipat. Ia
benar-benar bosan dengan tuntutan sang Mommy. Ia melangkah gontai
menuju kamarnya. Ada tugas yang harus ia selesaikan.
"Dear, persiapkan saja pakaian casual-mu. Mom telah menyiapkan pakaian
untuk audisi. Tak perlu bawa banyak." Irene masih meneriakinya dari
bawah.
"Yeah...." Sherry terlalu lelah berdebat. Lagipula, seberapa seringpun
ia mendebat, ia tak ditanggapi juga.
Ia melemparkan tas ke atas ranjangnya. Tubuhnya pun ia hempaskan. Ia
memejamkan mata. Penat dengan impian sang Mommy. Lama ia berfikir cara
untuk lari dari hal konyol ini.
Ia menolehkan kepalanya ke arah tas yang isinya telah berhamburan.
Sebuah brosur wisata menyembul dari sebuah buku Sastra. Sebuah ide
muncul di kepalanya.
'Aku harus bilang pada Daddy. Ia pasti setuju.'
Ia menekan tombol dial pada handphone-nya. Tersambung.
"Ada apa, dear?" suara berat Ronald membuatnya terduduk.
"Dad, izinkan aku, please..." Sherry menceritakan rencananya.
Ronald menghela nafas berat.
"Kau perempuan, sayang." ia merajuk.
"But, aku sudah besar, Dad. Aku bisa menjaga diri. Dad, please.. Aku
hanya ingin lari dari Mom. Mungkin, ia akan sadar jika aku pergi?"
Sherry terus berusaha membujuk.
"Okay, just four days. Jangan lebih. Sekolahmu tak boleh ditinggal
terlalu lama." Ronald menyerah.
"Yeay! Thanks, Daddy, I love you so much."
Sherry membaringkan tubuhnya sambil terus tersenyum.
'Sorry, Mom, I hope you'll understand.' ujarnya dalam hati.


- (oleh @uswah_hasan - www.uswahscorner.blogspot.com)

Selarik Rindu: Pelangi Langit #1

Desember 2010. Langit pucat dengan awan kelabu. Tidak ada kilat yang
menyambar hanya gerimis kecil-kecil yang urung berujung. Seharusnya
memang bulan ini bulan-bulan musim penghujan, tapi langit pucat dengan
awan kelabu dan gerimis kecil-kecil itu hanya tampak di hatiku. Kini
sudah tepat setahun berlalu, gerimis rindu masih hampir persis seperti
dulu, bahkan lebih riuh. Salahku hanya satu, membiarkan rindu tetap
hidup dari setahun lalu. Terlalu asyik berlindung di balik redup lampu
berharap dapat menggapai kembali mimpi-mimpi yang lalu-lalu, namun
yang ada hanya hujan haru. Rindu.
"Apa kriteria pria impian mu?" tanya nya beberapa waktu. Aku gelagap,
baru saja semalam kami memutuskan untuk menyudahi semua tentang rasa
yang pernah kami jahit dengan bintang-bintang sebagai benang nya,
saking indahnya. "Aku mau mencoba mengusahakan untuk menjadi yang
terbaik untuk mu" tambahnya lagi setelah aku sibuk berteriak dalam
bisu.
"Mak..maksud kamu?" tanyaku balik.
"Tentang semalam. Aku sudah tidak tidur semalaman memikirkan
perbincangan kita. Bisakah kau tunggu aku, sampai selama waktu, tetap
simpan rasa itu?"
Seketika aku jadi kupu-kupu yang mempunyai sayap merah muda dengan
corak ungu. Pipiku juga ikut memerah jambu. "Aku mau..." jawabku
buru-buru "Aku mau tunggu kamu..." tambahku lagi sambil mengulum bibir
sendiri. Gemas berkecamuk.
Aku rasa Tuhan sudah menuliskan nama kami dalam satu helai daun yang
sama. Dengan batang mewakilkan rasa yang kuat, serta akar sebagai
mimpi yang masih terkubur jauh di dalam, juga pohon yang masih dini
itu cinta kami.
"Aku mau IP ku naik dulu, setelah itu aku mau lanjut ambil pelatihan
kepolisian mungkin 2 tahun. Selama itu, aku berusaha jadi yang terbaik
untuk kau banggakan di depan orangtua dan keluarga mu saat tiba waktu
aku datang ke rumahmu"
Aku tersenyum cerah sampai –sampai mentari menenggelamkan dirinya
lebih cepat dari biasa. Awan juga terlihat lebih banyak dari kemarin.
Dan seluruh langit tertutup pelangi.
"Lalu kita akan ke Bali, berjalan di pasir yang putih setelah kita
berhasil mengikrar janji di hadapan Illahi.." katanya di hari setelah
hari kemarin. Kata apalagi selain kata amin yang bergema di hati ini.
Bukan lagi kupu, aku sudah tumbuh menjadi burung remaja yang lagi
genit-genitnya mengangkasa. Cinta membuat tubuh ku menjadi tiga kali
lebih ringan. Sampai-sampai aku sanggup mengayuh awan putih, mengejar
mu sampaii batas mimpi. Langit menjadi laut dan hatinya adalah
dasarnya. Kini aku sedang menuju kesana, kedasar hatinya.
Aku biarkan ia masuk membasuh legam nya lebam hati, menyeka sisa-sisa
patahan hati dan menjahit ulang lubang-lubang yang masih menganga.
Suara nya bagai dentum rebana yang berdegup-degup namun syahdu. Hatiku
segemerlap lantai dansa yang tengah diinjaki oleh dewa dewi cinta. Dan
cinta itu adalah musik medley yang tidak akan pernah kami buat
berhenti.

- (oleh @PenaAwan - http://penandilaga.tumblr.com)

Histeria Cinta Pertama #1

"Underwear everywhere"
Sepasang kata itu terlontar begitu saja sewaktu kedua mata gue
menangkap pemandangan kamar Danu. Terdengar sangat norak, mungkin.
Menganga menatap kancut. Gue nyaris terpesona. Tak pernah menyangka
bahwa di atas bumi tempat gue berpijak, ada sebuah ruangan dengan
berselimut cahaya yang berkesan remang-remang. Dihiasi oleh olahan
kapas bentuk simetris dan berpola segitiga, yang terpencar tak
beraturan disudut-sudutnya. Benar-benar seperti kapal pecah... yang
baru saja kejatuhan bom atom. Tapi tempat seperti itu ada di dunia dan
gue ada di sana.
"Abaikan, Igo! Abaikan itu!" Gelengan pergelangan tangan Danu menarik
perhatian retina gue "Itu hanya halusi! ITU HANYA HALUSINASI!"
Ucapnya, seakan gue sedang berada di tengah gurun pasir.
Pembuyaran lamunan ini memaksa gue untuk mengambil keputusan sulit:
berhenti memandangi kancut dan melanjutkan misi meminjam buku.
Namun untuk kesekian kalinya, perhatian gue kembali teralihkan dari
misi. Kali ini gara-gara 'whiteboard' yang tergantung cantik di tembok
depan kasur. Tergores dengan sederet obsesi, sebagai inspirator untuk
menyemangatinya menjalani hari. Terbaca jelas obsesinya yang paling
tinggi adalah menjadi dokter. Terlihat juga beberapa daftar obsesi
lain yang telah tergores garis lurus dan didampingi tanda centang
disampinya, menandakan obsesinya kesampaian.
"Gila, norak abis lo! Ginian aja pake ditulis. Hahaha, CUPU!!!" gue
menertawakan hasil karya Danu yang menurut gue norak maksimal.
Besoknya, gue ikutan bikin di kamar gue sendiri.
Hanya sedikit berbeda dengan apa yang Danu lakukan. Ia terlehat lebih
'nyarat', karena dia menggunakan sebuah whitboard sebagai alas bagi
obsesinya. Berbeda dengan gue yang 'nggak nyarat' terlalu kere untuk
membeli whiteboard. Dan mengingat sifat gue yang serba simple, maka
catatan-catatan obsesi itu gue tuliskan langsung ditembok kamar.
Ironisnya lagi, hampir setiap 24 jam sekali, goresan 'obsesi' gue
berubah menjadi goresan 'depresi'. Jelas, itu karena gue berlangganan
akan kegagalan. Juga karena gue memang hanya menulis obsesi yang
jangka waktu pencapaianya relatif singkat.
Biasanya sebelum tidur, gue menulis "Besok adalah pencapaian
terbesarku. Aku akan bangun pagi dan mengawali hari dengan jogging,
lalu nongkrong di café, nyobain terapi ikan, dan penggaulan lainya."
Dan dalam kurun waktu kurang dari 12 jam, tulisan tersebut gue gores
dengan garis lurus dan juga ditambah keterangan "yah, kesiangan... Aku
mau mati aja!!!"
Hanya dalam kurun waktu beberapa minggu, berubah derastis. Terlihat
lebih parah dari kamar Danu. Dan dengan banyaknya coretan di tembok,
nggak heran kakak gue sampai berkomentar "ini kamar apa WC umum?"
Danu mungkin lebih beruntung, karena ia bisa menghapus obsesinya yang
gagal. Hilang. Tidak berbekas. Dan tidak bisa ditertawakan seperti
coretan gue. Intinya, meski ikut-ikutan, versi gue jauh berbeda. Namun
ada satu kesamaan yang tak bisa disembunyikan: kita sama-sama
mencantumkan sebuah nama dalam catatan obsesi kita masing-masing. Nama
cewek. Yang meski kita tahu nama lengkapnya, tetap tak ada keberanian
untuk menyatakan perasaan kita. Perasaan abstrak yang sulit dipahami.
Perasaan yang disebut...
Cinta
Dan obsesi terbesar dalam hidup gue adalah seorang gadis yang begitu
gue cintai... secara diam-diam

bersambung~


- (oleh @agengindra - http://agengindra.wordpress.com)

Secret Past: Interaksi Pertama #1


PROLOG

            Udara malam ini terasa menyesakkan. Bintang-bintang yang pada musim seperti ini biasanya terhampar bagaikan lautan berlian, kali ini terhapus sepenuhnya oleh kegelapan. Bulan yang biasanya selalu setia memberikan sinarnya untuk menerangi malam, kali ini juga tampak enggan menampakkan wujudnya. Sebagai gantinya hujan yang sangat deras turun bagaikan ditumpahkan dari langit. Diiringi oleh angin badai yang bertiup dengan ganasnya, menampar apapun yang dilaluinya. Masih diperburuk dengan halilintar yang saling menyambar secara silih berganti, menimbulkan bunyi-bunyi ledakan yang memekakkan telinga.
            Tidak ada satupun orang yang merasa ingin meninggalkan rumah di malam yang tidak bersahabat seperti ini.
            Kecuali sangat terpaksa.

            Entah sudah berapa lama laki-laki itu berada di sana. Dia seperti tidak mempedulikan tubuhnya basah kuyup oleh hujan yang terus mengguyur Bandung malam itu. Dia hanya terus bersimpuh tidak bergerak di jalanan aspal itu. Kepalanya tertunduk hingga menyembunyikan wajahnya. Kedua tangannya terlihat berwarna merah kecoklatan hingga ke lengan atas.
            Darah.
            Darah yang semakin lama semakin mengering, hingga melekat kuat membungkus tangannya.
            Tetapi itu bukan darahnya…
 

            Laki-laki itu tersentak dari tidurnya. Kedua matanya melotot lebar menatap langit-langit kamarnya. Napasnya terdengar memburu dan jantungnya berdebar lebih kencang. Butir-butir keringat menetes berjatuhan dari dahi dan wajahnya.
            Setelah beberapa menit terdiam tanpa suara, dia bangun dan duduk di tempat tidurnya. Tangannya meraba-raba meja kecil di samping tempat tidurnya, hingga menemukan kacamata bingkai hitam yang segera dikenakannya. Saat dia mengalihkan pandangan ke arah jam dinding, dilihatnya waktu menunjukkan pukul 03.00 WIB. Masih terlalu pagi, tetapi dia tahu dia tidak akan bisa tertidur lagi.

I
INTERAKSI PERTAMA

            Gadis itu masih duduk di atas tempat tidurnya sambil menatap keluar jendela kamar kosnya. Hujan yang turun dengan deras sejak semalam, tampaknya masih terus bertahan hingga pagi ini. Memang sudah tidak sederas sebelumnya, tetapi cukup untuk membuat orang-orang merasa tidak ingin meninggalkan rumah dan memulai aktivitas.
            Dia sudah mandi dan beganti baju sedari tadi. Hari ini adalah blus hitam polos dengan paduan rok pink bermotif batik. Sepatu tanpa haknya yang berwarna hitam sudah berjejer rapi dekat pintu. Tasnya juga sudah menyimpan dengan rapi buku-buku kedokteran yang diperlukannya plus payung kecil berwarna pink di sampingnya. Semua yang diperlukannya untuk pergi kuliah hari itu sudah siap, tetapi bayangan untuk membasahi sepatu dan roknya dengan percikan genangan air selama dia berjalan dari tempat kosnya menuju kampusnya di seberang jalan membuatnya masih merasa enggan untuk segera beranjak dari kamarnya.
            Saat dia melihat jam beker kecilnya yang berbentuk kucing di atas meja belajar, dia sadar bahwa mata kuliah pertama akan dimulai 20 menit lagi dan dari tempat kosnya dibutuhkan 15 menit untuk pergi ke kampusnya dengan berjalan kaki.
            Adiana Larasati segera bangkit dari tempat tidurnya, meraih barang-barang yang diperlukannya, dan berjalan keluar kamar.
            Sekarang atau terlambat—dan dia sudah terlalu sering melakukan yang terakhir.
 

            Lantai ubin koridor itu menjadi sangat licin oleh campuran antara percikan air hujan dan lumpur tanah yang berasal dari sepatu-sepatu yang melangkah di atasnya. Tetapi alih-alih berhati-hati dalam berjalan, Adiana justru semakin mempercepat langkahnya. Sesekali matanya melirik ke arloji Hello Kittyyang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Tidak sampai lima menit lagi untuk mata kuliah pertama kedokteran untuk segera dimulai.
            Dia sudah dapat melihat pintu kayu coklat Ruang Kuliah Anatomi yang, terlepas dari namanya, sehari-hari memang digunakan sebagai ruang kuliah untuk mata kuliah apapun bagi mahasiswa/mahasiswi kedokteran tingkat III Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Baru saja dia menarik napas lega, saat mendadak kakinya terasa melangkah lebih jauh dan lebih cepat dari seharusnya. Kemudian keseimbangannya terasa goyah dan ada gaya yang terasa menariknya ke arah belakang. Semuanya terjadi begitu cepat, hingga dia bahkan tidak sempat untuk mengeluarkan suara, tetapi dia masih bisa berpikir untuk bersiap-siap terjatuh ke atas lantai ubin.
            Tetapi Adiana tidak sempat terjatuh karena hampir bersamaan dia merasakan ada sesuatu yang menahan lengan kirinya dengan kuat dan memberikannya kekuatan untuk mengembalikan keseimbangannya. Secara refleks Adiana menoleh dengan cepat ke sebelah kirinya. Dilihatnya seorang laki-laki berkacamata berkulit coklat berdiri di sampingnya. Laki-laki itu menahan tas ransel birunya yang hanya digantungkan sebelah dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih mengenggam erat lengan kiri Adiana.
            “Hati-hati...”
            Suara bernada dingin itu lebih terdengar mencela daripada khawatir.
            Adiana baru saja hendak membuka mulutnya untuk mengucapkan sesuatu, tetapi laki-laki itu sudah melepaskan lengan Adiana yang sudah dapat berdiri stabil, dan segera berjalan mendahului Adiana tanpa menoleh ke belakang.
            Dia melihat laki-laki itu dengan cepat sudah berada di depan pintu Ruang Kuliah Anatomi dan segera menghilang ke baliknya.
            Adiana masih terdiam untuk beberapa saat sebelum pandangannya menangkap sosok yang sedang berjalan di bagian koridor lain yang berhubungan dengan koridornya tempat berada sekarang.
            Dokter yang menjadi dosen untuk mata kuliah pagi ini.
            Adiana kembali berjalan dengan cepat, tetapi kali ini lebih berhati-hati, menuju Ruang Kuliah Anatomi.

            Semua mata kuliah hari itu sudah selesai. Jadwal yang menunggu selanjutnya adalah praktikum Fisiologi dimana mereka akan terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil dan masing-masing kelompok akan memiliki jadwal praktikum yang berbeda.
            Adiana hari ini termasuk ke dalam kelompok yang memiliki jadwal praktikum pada siang hari setelah jam makan siang. Itu masih sekitar tiga jam lagi. Karena itulah saat ini dia sedang berada di perpustakaan FKUI yang berada di lantai dasar bersama para sahabat perempuannya. Sebuah laptop Apple berwarna putih terbuka di atas meja kayu di hadapan mereka. Mereka berencana untuk mengerjakan laporan tugas riset kedokteran kelompok mereka yang sudah berbulan-bulan terbengkalai—setelah Adiana sebagai ketua kelompok akhirnya sedikit “meledak” marah.
            Mereka sedang berdebat mengenai sebuah kesalahan dalam laporan tersebut, saat tiba-tiba pintu perpustakaan yang terbuat dari kaca terbuka lebar dan seorang laki-laki masuk ke dalamnya.

            Ariyo Andara Saputra.
            Laki-laki berwajah sedikit tirus ini selalu berekspresi serius. Rambutnya tampak sedikit ikal. Tubuhnya sebenarnya hanya sedikit lebih tinggi dari Adiana, tetapi tampak tegap karena dulu dia cukup sering berolah raga, meskipun saat ini sudah jarang melakukannya. Itulah sebabnya kulitnya juga menjadi berwarna kecoklatan. Kedua mata ovalnya yang terbungkus oleh kacamata berbingkai hitam memiliki tatapan tajam dan terkesan dingin.
            Meskipun mereka berada dalam satu angkatan, tetapi Adiana tidak begitu mengenalnya—lebih kepada tahu namanya saja. Mereka beberapa kali berpapasan dalam berbagai kesempatan, tetapi tidak pernah ada interaksi sekecil apapun di antara mereka, bahkan tidak sekedar salam sekalipun.
            Hingga saat laki-laki itu mencegahnya dari terjatuh di koridor…

            “Dia benar-benar aneh, ya. Cowok itu.”
            Adiana mengangkat kepalanya dari laptop untuk melihat siapa yang baru saja berbicara. Dilihatnya Matahari Permatasari sedang melihat ke arah Ariyo yang baru saja melewati meja mereka dan saat ini sedang mengambil duduk di meja perpustakaan paling belakang seraya mengeluarkan laptop dari dalam tasnya.
            “Yah, mungkin karena loe berdua tidak terlalu saling kenal juga. Makanya dia bersikap seperti itu sama loe.” Yenny Saraswati yang duduk di sebelah Tari mengomentari kata-kata temannya itu.
            “Tetap saja menurut gue itu mengesalkan. Kenal atau tidak, apa menurut loe seperti itu caranya bersikap ke seorang cewek? Cowok jahat!” ujar Tari dengan nada kesal.
            Adiana tidak dapat lagi menyembunyikan rasa penasarannya. “Ada apa sih? Siapa yang cowok jahat?”
            “Eh? Loe belum tahu ceritanya, Na?” Ima Febriana menatapnya dengan terkejut.
            Matahari mengibaskan tangannya. “Gue memang belum sempat cerita sama Ana. Jadi wajar kalau dia tidak tahu.”
            Adiana kali ini benar-benar menghentikan pekerjaannya. “Cerita apa, sih? Memangnya ada apa sama loe, Tar?”
            “Heehhh… Sebenarnya gue agak malas sih untuk mengulang lagi cerita soal ini, tapi karena loe belum tahu dan loe teman gue, ya…” Matahari menghela napas pendek. “Jadi kejadiannya gue lupa tepatnya kapan. Waktu itu gue lagi ada di sini, lagi berniat mencari jurnal tentang Sindrom Metabolisme pada Anak untuk tugas kuliah yang dari dr. Damianti, SpA. Nah, waktu gue lagi mencari jurnal itu, si Ariyo itu juga lagi ada di situ dan mencari sesuatu di rak buku yang sama dengan gue, mungkin tentang bahan yang sama, gue tidak tahu. Karena lama-lama di situ ya gue tidak enak dong kalau gue diam saja, ya sudah gue sapalah dia sambil bertanya dia lagi mencari apa. Tapi coba tebak? Dia cuma nengok sebentar sambil ngomong “bukan apa-apa” terus langsung mengacuhkan gue lagi. Sombong banget kan?” tanya Tari dengan nada kesal yang sangat ditekankan.
            Adiana tidak dapat menahan dirinya untuk tidak tersenyum tipis.
            Tipikal Tari… Kesal kalau nggak dapat perhatian dari cowok.
            “Oh… Ya, mungkin benar apa yang dibilang Yenny. Dia kan tidak terlalu kenal sama loe, Tar. Jadi mungkin dia segan atau malu atau kenapa…”
            Matahari medengus sinis. “Oh, ini belum selesai, Na. Masih jauh dari selesai.”
            Matahari sekali lagi menengok ke arah Ariyo dengan penuh kekesalan sebelum kembali ke arah Adiana.
            “Pokoknya setelah dia ngomong seperti itu karena gue juga jadi agak-agak kesal karena ini cowok sombong banget, ya udah, jadinya gue juga diam saja dan melanjutkan mencari jurnalnya. Sampai akhirnya gue menemukan jurnal itu ada di rak paling atas. Agak terlalu tinggi sih, cuma gue mengira-ngira masih ada dalam jangkauan gue. Tadinya gue mau minta tolong orang, cuma karena yang lagi ada di dekat gue cuma cowok sombong itu, dan gue sudah malas ngomong apapun lagi sama dia, jadinya ya gue coba-coba ambil sendiri. Dan sedikit lagi gue hampir dapat jurnalnya, tapi tidak tahu kenapa tiba-tiba keseimbangan gue goyah, mungkin karena kepeleset atau apa. Tapi yang pasti gue jatuh kebanting dan tahu-tahu jurnal-jurnal yang ada di rak itu semuanya ikut jatuh dan menimpa gue. Dan itu banyak banget!”
            “Ya ampun?! Terus loe-nya tidak apa-apa, Tar?” tanya Adiana dengan penuh keprihatinan yang tulus.
            Matahari menggelengkan kepalanya. “Gue tidak apa-apa, cuma sedikit kaget saja. Orang-orang di perpustakaan langsung hamper semua berusaha menolong gue. Tapi tahu apa yang dilakukan oleh Ariyo? Dia cuma melihat gue yang lagi tergeletak di lantai dengan buku-buku yang menimpa kepala gue. Jangankan menolong, dia bahkan tidak bereaksi apapun. Dia cuma menengok ke arah gue sekilas terus mengambil suatu jurnal—tidak tahu apa—dari rak dan pergi begitu saja. Mengesalkan banget sikap cowok seperti itu?!” ujar Matahari dengan nada tinggi.
            Adiana mengerutkan dahinya. “He? Dia sama sekali tidak menolong loe, Tar?”
            Nope. Sama sekali tidak. Bahkan loe yang gue ceritainnya sudah cukup lama saja masih ada perasaan khawatir untuk gue, tapi dia yang melihat kejadian itu tepat di depan matanya, sama sekali tidak melakukan apa-apa. Gue tahu memang tidak terlalu saling kenal satu sama lain, tapi masa seperti itu caranya memperlakukan seorang cewek? Bagaimana menurut loe, Na?”
            Well… Memang sih itu sedikit keterlaluan. Setidaknya dia seharusnya bilang sesuatu.” Adiana terdiam sejenak. “Tapi sepertinya kalau cuma dari satu kejadian itu saja, tidak adil kalau loe langsung menge-judge dia sebagai cowok jahat.”
            Pikiran Adiana kembali melayang ke kejadian yang terjadi antara dirinya dan Ariyo di koridor beberapa hari yang lalu.
            “Oh, menurut lo begitu, Na? Memang loe itu selalu saja jadi cewek yang terlalu baik.” Matahari tersenyum sinis. “Tapi itu bukan satu-satunya cerita tentang dia. Ya kan, Ma? Ceritakan apa yang loe tahu.”
            Adiana mengalihkan pandangan ke Ima dengan penuh tanda tanya. “Ima?”
            Ima menarik napas panjang. “Well, gue sebenarnya tidak suka membicarakan orang di belakang punggung mereka, tapi cerita tentang Ariyo memang banyak beredar di antara anak-anak Well, para cewek sih kebanyakan. Dan… yah, katakan saja ceritanya tidak begitu bagus.”
            “Cerita? Cerita seperti apa, Ma?”
            Well, kalau kata anak-anak cewek yang lain, Ariyo itu orangnya memang dingin. Contohnya seperti yang dialami sama Tari. Kalau kata anak-anak, kejadian seperti itu atau yang mirip-mirip bukan cuma hanya itu, tapi itu juga banyak dialami sama anak-anak cewek yang lain. Intinya sih Ariyo itu orangnya cuek. Benar-benar tidak peduli dengan keadaan orang lain. Dia memang tidak pernah berkata ataupun berbuat kasar, tapi lebih tepatnya dia tidak mau berbuat apa-apa. Bisa dibilang tidak ada orangyang pernah merasa ditolong ataupun menerima sesuatu yang baik dari dia.”
            Begitu ya?”
            Untuk pertama kalinya Yenny angkat bicara. “Kalau gue boleh berpendapat… Entah mengapa, gue melihatnya dia seperti tidak mau dekat dengan siapapun?”
            “Dan usaha dia itu tampaknya berhasil. Karena di angkatan kita, gue bukan satu-satunya cewek yang tidak suka dengan dia dan sama sekali tidak ingin dekat-dekat.” tanggap Tari sinis.
            Adiana tidak berkomentar apapun sementara ketiga temannya masih saling melontarkan pendapat—dan cacian.
            Apa benar dia seburuk seperti yang orang-orang bilang?
            Adiana berusaha untuk mengarahkan pandangan ke arah Ariyo secara diam-diam, tetapi seketika dia terkejut karena secara bersamaan Ariyo juga memandang ke arahnya. Karena tidak dapat lagi mengelak, Adiana mencoba memberikan isyarat salam dengan tersenyum.
            Ariyo tidak membalasnya dengan gerakan apapun. Ekspresi dinginnya bahkan tidak berubah saat dia kembali menundukkan wajah ke arah laptopnya.
 

            Rutinitas mingguan Adiana hampir tidak pernah berubah. Kembali ke rumah dari tempat kosnya pada hari Jumat, setelah semua kegiatan akademis di kampus selesai, dan menikmati waktu dengan bersantai di rumah, untuk kemudian kembali lagi ke tempat kosnya pada hari Minggu malam.
            Di antara waktu-waktu tersebut, Sabtu pagi adalah hari bagi Adiana untuk berolah raga pagi dengan melakukan jogging di Senayan. Biasanya selama ini dia akan pergi jogging sendirian atau ditemani oleh ibunya—atau bila dia berhasil membujuknya, salah satu dari kedua adik laki-lakinya. Tetapi untuk kali ini tidak termasuk kesemuanya.
            Adiana baru saja selesai mengeringkan rambutnya di depan meja rias saat terdengar suara ketukan dari luar pintu kamarnya.
            Adia? Itu Aditya  sudah datang untuk menjemput kamu. Kamu masih lama?”
            “Ah, iya Bu. Nggak kok, sebentar lagi selesai. Sebentar lagi aku ke bawah.”
            “Ya sudah. Ibu suruh dia menunggu di ruang tamu. Jangan lama-lama, kasihan dia kalau terlalu lama menunggu.”
            Langkah-langkah kaki Ibunya yang sedang menuruni tangga masih terdengar saat dia mulai memilih-milih pakaian dalam dan pakaian olah raga yang akan dikenakannya.

            Aditya  Hermawan.
            Laki-laki itu sudah mencoba mendekatinya sejak pertama kali dia diterima menjadi mahasiswi FKUI tingkat I, sekitar dua tahun yang lalu. Beberapa kali mereka berkencan dan menghabiskan waktu berdua. Hingga akhirnya, saat mereka sedang makan malam setelah menonton film di bioskop, laki-laki itu menyatakan perasaannya pada Adiana dan meminta kesediaannya untuk menjadi pacarnya. Dan itu adalah akhir dari semuanya.
            Saat itu Adiana menolak dengan baik-baik permohonan tersebut karena dua alasan. Pertama, saat itu belum ada enam bulan sejak dia diputuskan oleh pacarnya di SMU dan dia merasa belum siap untuk memulai hubungan baru. Sedangkan alasan yang kedua, lebih jujur dan sederhana, dia memang tidak memiliki perasaan apapun pada laki-laki itu selain dari teman biasa.
            Setelah itu mereka tetap berhubungan baik, meskipun, seperti bisa diduga, kedekatan mereka telah lenyap.
            Hingga sekitar enam bulan lalu, saat Aditya  mulai meneleponnya lagi untuk pertama kalinya sejak dia menolak laki-laki itu. Dan sejak itu mereka mulai berkencan lagi, meskipun tetap belum ada kata-kata yang meresmikan hubungan mereka. Hanya saja kali ini Adiana merasa perasaannya berbeda dengan saat dia menolak Aditya dahulu.

            Adiana merapikan tatanan rambutnya—yang sebenarnya sudah sempurna—untuk terakhir kalinya dan melangkah menuju ruang tamu. Di salah satu sofa ruang tamunya, seorang laki-laki yang berambut pendek dan berkulit coklat sedang duduk sambil mengangkat cangkir minuman ke mulutnya—yang tampaknya berisi teh.
            “Hai… Sorry ya… Kamu jadi terlalu lama menunggu, ya?”
            Aditya  segera menoleh ke arah suara tersebut seraya bangkit dari tempat duduknya.
            “Eh, aku tidak mendengar kamu datang. Tidak kok, belum begitu lama. Aku juga baru datang.” Aditya tersenyum di hadapannya.
            Saat Aditya berdiri, Adiana tidak bisa mencegah dirinya untuk menilai penampilan laki-laki itu. Wajah laki-laki itu memang cukup tampan dengan kedua mata bulatnya yang selalu tampak cerah. Tubuhnya yang cukup tinggi tampak tegap tiap kali dia berdiri.
            Adiana diam-diam tersenyum.
            Mungkin dulu gue terlalu cepat memutuskan untuk menolaknya.
            Aditya menghabiskan teh di dalam cangkirnya sebelum berkata pada Adiana. “Ya sudah yuk, kalau kamu sudah siap kita pergi sekarang?”
            “Ah, iya… Yuk. Aku panggil Ibu dulu sebentar.”
            Begitu selesai berpamitan dengan ibu Adiana, mereka berdua berjalan menuju ke arah garasi. Sebuah motor Kawasaki Ninja 250R berwarna hitam terparkir di sana.
            Aditya mengambil sebuah helm berwarna pink dari dalam bagasi motornya dan menyorongkannya ke Adiana. “Ini helmnya. Baru saja aku beli khusus buat kamu. Dan aku rasa pink warna yang cocok.”
            “Oh? Ya ampun, seharusnya kamu tidak perlu repot-repot seperti ini...”
            Adiana melangkah ke depan Aditya untuk menerima helm tersebut, saat tiba-tiba dia tersandung celah lantai ubin yang dipijaknya.
            “Ana! Hati-hati!
            Beruntung Aditya yang berada di sebelahnya segera menangkapnya dengan sigap, sehingga dia tidak sempat terjatuh.
            “Kamu tidak apa-apa?” Aditya memandangnya dengan khawatir.
            Adiana menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa, kok. Terima kasih...”
            Tiba-tiba bayangan wajah laki-laki itu berkelebat dalam pikirannya. Laki-laki yang mencegahnya terjatuh di koridor kampusnya.
            Ana? Ada apa?”
            Adiana tersentak dan tersadar dari lamunannya. Dilihatnya Aditya sedang menatapnya dengan kebingungan tergambar di matanya.
            “Ah, tidak... Bukan apa-apa, kok Cuma ini saja… Helmnya lucu.” kata Adiana canggung.
            “Oh… Hehehe… Yah, baguslah kalau kamu suka.”
            Aditya memutar kunci motornya dan seketika terdengar bunyi mesin yang memecah keheningan di seketika mereka.
            “Ayo, Na. Naik di belakang.”
            Adiana menganggukkan kepalanya dan segera duduk di belakang Aditya.
            Ada apa dengan gue? Kenapa di saat gue jalan dengan Adit, gue malah mikirin orang yang bahkan nggak gue kenal?
            Adiana masih mencoba menemukan jawaban yang logis dari semua pertanyaannya, saat motor hitam itu mulai meluncur membelah udara pagi.

            Air yang mengalir dari shower itu terlihat mengepulkan asap—tanda bahwa air tersebut panas, tetapi dia seperti tidak merasakannya. Dengan berpegangan pada dinding di depannya, dia terus berdiri di bawah guyuran air panas tersebut hingga seluruh kulitnya berubah kemerahan. Kedua matanya menatap lurus ke bawah dengan emosi yang bercampur aduk terukir di sana—kesedihan, kemarahan, dan rasa sakit.
            Setelah hampir setengah jam berada di sana, akhirnya dia memutar keran shower untuk mematikan guyuran airnya. Setelah mengeringkan tubuhnya, dia melilitkan handuk putih di pinggangnya dan melangkah keluar dari kamar mandi ke dalam kamar tidurnya. Beberapa titik air masih menetes di atas lantai kamarnya saat dia mengambil kemeja putih dan celana jeans bersih dari dalam lemari.
            Setelah selesai merapikan rambut, dia mengalihkan pandangan ke arah meja belajarnya. Setangkai bunga mawar putih terbungkuskan plastik dan sebuah boneka kucing putih seukuran telapak tangan tergeletak rapi disana. Dia baru saja akan melangkah keluar kamar dengan kedua benda tersebut di tangannya saat cordless phone hitam di atas meja komputernya berbunyi nyaring.
            Dia mengerutkan dahi memandang telepon itu dan membiarkan deringnya berbunyi hingga tiga kali sebelum mengangkatnya.
            “Halo?”
            Lama tidak ada jawaban, hingga dia harus mengulanginya sampai berkali-kali. Sambil mendesah kesal, dia baru saja akan menutupnya saat suara seorang gadis terdengar dari seberang sana.
            “Gue menduga… Loe sudah siap untuk pergi?”
            Dia tersentak. Ini bukan pertama kalinya gadis itu menelepon, bahkan sebenarnya dia sudah menunggu akan adanya telepon ini, tetapi tetap saja suara gadis itu selalu terasa tidak nyaman hatinya.
            Suaranya terdengar kaku dan datar. “Hampir… Gue baru saja mau keluar kamar, sampai telepon dari loe datang.”
            “Hmm… Beritahu gue... Ryo…”
            Suara itu terdiam sejenak. Dan yang berikutnya keluar dengan nada sinis.
            “Kenapa di dunia ini masih ada orang yang mau mengerjakan perbuatan yang sia-sia berulang kali—sekalipun dia tahu bahwa itu sia-sia?”
            Laki-laki itu mengeraskan genggamannya pada gagang telepon. Hatinya terasa tertusuk mendengar kalimat yang dilontarkan oleh gadis itu.
            Well… Mungkin begitu menurut loe, tapi untuk gue semua ini bukanlah sesuatu yang sia-sia. Semua ini ada artinya.”
            “Oh ya? Arti? Kalau begitu beritahu gue… Sebenarnya apa yang loe harapkan dari apa yang loe lakukan ini?”
            Harapan gue? Harapan gue adalah…
            Ariyo ingin sekali membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan gadis itu, tetapi masalahnya dia sendiri tidak mengetahui jawabannya.
            “Kesulitan untuk menjawab, eh? Well… Kalau begitu biar gue bantu…”
            Gadis itu menarik napas panjang sebelum mengatakannya dengan nada yang sedingin es.
            “Apapun yang loe lakukan sekarang, tidak akan merubah kenyataan atas apa yang sudah loe lakukan. Kalau loe berpikir bahwa dengan melakukan semua ini loe akan bisa menebus dosa loe, well… Pikir kembali. Karena itu tidak akan terjadi.”
            Ariyo semakin mengeraskan genggamannya.
            “Gue tahu itu…”
            Lama tidak ada yang bersuara, hingga suara dingin itu terdengar kembali.
            “Dan satu lagi… Jangan harapkan akan adanya maaf dari siapapun.”
            Ariyo menggelengkan kepalanya. “Gue tidak pernah berharap ada ma…”
            Belum sampai dia menyelesaikan kalimatnya, gadis itu sudah memutuskan sambungan teleponnya. Meninggalkan Ariyo yang duduk di atas tempat tidur dengan kepala tertunduk. Tubuhnya bergetar karena kemarahan dan rasa sakit yang dirasakan saling berbenturan di dalam hatinya.


- (oleh @Satrio_MD)