Tentang 30 Hari Cerita Cinta

16 September 2011

Bayangan ke Lima - Kopi Hitam

Ricardo memasuki halaman rumahku, aku terdiam melihatnya mendekat.

“Bayang..” ucap Bayang ke Ricardo sambil mengulurkan tangannya.
“Ricardo” Ricardo menyambut tangan Bayang namun matanya mengarah padaku, sedangkan aku masih diam.
“Sinar, mandi gih, aku sarapan di warung kemarin, abis itu temenin aku cari buku ya. Ricardo, nice to meet you” ucap Bayang diakhiri dengan senyuman. Aku masih terdiam, namun Bayang tidak menghiraukan dan meninggalkan rumahku.
“Nar, siapa tuh?” tanya Ricardo membuyarkan kediamanku.
“Eh, hmmm..itu, temen”
“Temen di mana? Kayanya bukan anak kampus kita. Lu kan maennya sama gue doang, atau gak noh sama si Febri temen SMA lo”
“Bawel ah, gue mau mandi”
“Lah? Gue curhatnya kapan? Hmmm..gitu cara lo ya, Nar.. ada temen baru Ricardo dilupakan.. Okeey okeey..” ucap Ricardo dengan nada setengah becanda. Setengah? Iya, kayaknya dia sedikit serius di kalimat tadi.
“Apaan sih, orang gue Cuma mau mandi”
“Iya, abis mandi mau nemenin tu cowok perlente nyari buku.. hmmm”
“Gue gak bilang gue mau nemenin dia kok”
“Tu cowok rapi amat yak, mau ke toko buku doang aje padahal, aneh”
“Aneh kenapa?”
“Kagak tau dah, tadi pas ada dia gue risih aja”
“Bilang aja lo sirik, karena akhirnya ada yang ngalahin kegantengan lo di komplek sendiri, hahaha”
“Oooo..gitu yang namanya Sinar, maenannya bawa-bawa fisik, okeey, Nar, okee..”
“Auk ah, gue mau mandi”jawabku sambil masuk ke rumah.
“Eh, Nar.. tapi tumben-tumbenan lo ngakuin ganteng” ucap Ricardo dengan sedikit kencang, hingga aku masih bisa mendengar suaranya dari dalam rumah dan tersenyum sambil menggelengkan kepala.

--

Selesai mandi aku hanya mengenakan kaos putih polos, rok jeans berwarna biru tua dan sepatu keds. Sejenak aku berfikir, hmmm..benar juga apa yang dikatakan Ricardo, setiap ketemu Bayang sepertinya dia selalu rapi, bahkan kelewat rapi untuk ukuran sekedar mau cari buku doang. Aku mengibaskan pikiranku. Lah..terserah dialah, mau rapi apa gimana.
Aku keluar kamar, Ricardo terlihat sedang asik menyantap mie goreng yang sepertinya tadi dia masak sendiri. Aku mengambil piringnya dan menyantap mie yang sedang dia nikmati.
“Jadi gini, Nar.. rencananya gue mau mutusin Alyssa malam ini” ucap Ricardo saat aku masih mengunyah mie goreng tadi.
“Hah?” kunyahanku berhenti karena sedikit tersedak. Ricardo mau mutusin Alyssa? Cewek secantik dan sesexy itu? Diputusin?
Kupukul kepalanya, “Lo kan baru jadian dua minggu sama dia, Do. Kenapa lagi sik?” ucapku.
“Dia anaknya ribet banget..” ucap Ricardo dengan nada kekanak-kanakan.
“Aiishh..bukannya semua mantan-mantan lo itu ribet semua..”
“You have no idea.. “
“Yaudah, kalau mau putus tinggal putus, palingan seminggu lagi lo punya pacar baru”
“Nar, ah.. elu mah, bukannya nasehatin gue yang bener, malah ngomong gitu” ucapnya sambil menoyor kepalaku. Aku duduk di sampingnya dan dia mengambil piring mie goreng tadi yang aku pegang.
“Yaelah, emangnya selama ini kalau gue ngasih saran tentang cewek-cewek yang elo pacarin, pernah lo dengerin? Pret”
Ricardo mendiami ucapanku dan berjalan ke arah dapur, beberapa detik kemudian dia kembali mebawa botol minum dan gelas, dia menuangkan air dan memberikannya kepada ku, aku mengambilnya. Diapun kembali duduk di sampingku.
“Gini, Nar...” belum habis dia bicara, lalu terdengar lagi suara bel rumahku, yang menandakan ada seseorang di balik pagar hitam tinggi di depan.
Aku bangkit dari dudukku dan pergi ke luar untuk melihat siapa yang datang, Bayang.
“Nah, kalau kaya ginikan cantik. Yuk jalan..” ucap pria yang disebut Ricardo perlente saat dia melihatku membukakan pintu.
“Hah? Emang kita mau ke mana?”
“Toko buku yang deket-deket sini aja, mau cari buku bacaan nih, semua koleksi bacaan ketinggalan di Aussie. Eh, kamu sudah sarapan?”
“Udah, bentar” ucapku sambil menunjukkan bahwa aku akan masuk ke rumah lagi.
Aku masuk ke rumah, ke kamarku mengambil tas dan menghampiri Ricardo.
“Do, lo mau di sini? Entar kalau ke luar, jangan lupa dikunci, pegang aja kuncinya, kalau mau cabut kemana, kuncinya titipin sama orang rumah lo” ucapku pada Ricardo.
“Hmmm” ucapnya singkat.
“Yaelah, Do..bentaran doang, nanti kita lanjutin curhat-curhatannya di rumah lo yak”
“Hmmm”
“Gue jalan ya, Do!” entah kesambet setan apa aku saat itu, tetiba aku mengecup pipi kirinya dan berpamitan. Tujuanku sih Cuma satu, agar dia tidak “Ham hem ham hem” mulu.
Kutinggalkan Ricardo, dan menghampiri Bayang yang sudah ada di dalam mobilnya menungguku.

“Dia itu siapa?” tanya Bayang saat kami di perjalanan.
“Siapa?”
“Itu teman kamu yang tadi di rumah, saudara?”
“Ah, bukaaan.. itu sahabatku dari kecil’
“Sahabatku.. Oooo..aku..”
Duh, lagi-lagi aku memakai “aku” tanpa disadari. Aku tidak menjawab ledekan Bayang saat itu. Hhhh..entah mengapa hari ini Bayang terlihat lebih menyenangkan daripada saat pertama dan kedua kali kami bertemu. Aku suka wangi parfumnya, entah merknya apa, tapi wanginya sangat lembut namun tetap terkesan laki banget. Sepanjang perjalanan Bayang jarang berbicara, seperti biasa dia mengenakan kaca mata hitam dan konsen dengan menyetirnya. Sok serius.

Sepanjang perjalanan aku BBM-an sama Elang, sesekali aku tertawa tiba-tiba karena obrolan tersebut, namun Bayang tidak bereaksi atau bertanya, aku sedang apa, kenapa tertawa. Sepertinya dia bukan tipe cowok yang ribet, sesekali akupun mencuri pandang melihat wajah Bayang yang bersih dan lengannya yang kekar.

Sesampainya kami di toko buku, kami berpencar, Bayang sibuk di deretan buku-buku Filsafat, sedangkan aku pergi ke deretan novel-novel cinta.
Hmmm, aku mencium wangi ini lagi, parfum lelaki yang sedari tadi ada di sebelahku menyetir dengan konsetrasi. Akupun tersenyum, ternyata Bayang mengikutiku, aku membalikkan badan, eh? Tidak ada Bayang, hanya ada seorang lelaki yang tidak kalah tampan dengan Bayang yang sedang melihat-lihat novel-novel percintaan juga. Wiw..ternyata ada lelaki yang baca novel beginian yah.. aku berjalan melalui lelaki itum bermaksud untuk menyusul Bayang di tempat buku-buku filsafat tadi.
“Aduuh aduh, maaf..” ucapku karena terkaget sekaligus menyesal, karena berjalan sambil memikirkan ini itu hingga tidak menyadari lelaki tadi berdiri dan menubrukku.
“Gak apa-apa” dia tersenyum dan membalikkan badan meninggalkan lorong novel tadi.

“Sudah ketemu buku yang dicari?” ucapku ke Bayang.
“Eh, ini sudah dapat tiga, kamu beli apa?” tanyanya.
“Nggak beli apa-apa, kan emang ke sini Cuma nemenin lo”
Bayang tersenyum dan berjalan menuju kasir sambil....menggandeng tanganku. OMG, aku kok diam aja, dan apa ini di dalam dadaku? Kenapa jadi hangat seperti ini? Perasaan ini..beda. Aku mengikuti langkahnya, sambil menatap wajahnya dan sesekali melihat genggaman tangan kita.
Elang gak pernah seperti ini, saat berjalan di tempat umum, kami akan berdampingan, namun tidak pernah sekalipun dia menggandeng tanganku seperti saat ini Bayang mengandeng tanganku. Hangat sekali, di sini. Di hatiku saat ini. Akupun tersenyum melihat wajah Bayang, tetiba dia melihat ke arah ku, ikut tersenyum, namun itu justru membuatku salah tingkah melepas gandengan tangan tadi pas sudah ada di depan kasir. 

Bayang membayar semua buku yang tadi dia pilih. Selesai membayar, dia berjalan lagi menuju pintu keluar...tanpa menggandeng tanganku seperti tadi.
Ni orang aneh bener, pikirku. Aku masih diam di depan kasir.
“Non, buruan, ngapain di situ?” ucap Bayang meleburkan pikiranku, aku mengelengkan kepala dan sedikit berlari mengejar dia.

Di bawah toko buku ini, ada cafe untuk minum kopi, kami mampir dulu ke sana untuk mengobrol. Aku memesan kopi hitam dan sepotong brownies, dia hanya memesan segelas karamel macchiato. Kali ini Bayang banyak bercerita, tentang hobinya menulis dan berenang, di sana dia pernah jadi atlet renang. Dia di Aussie sejak usia 2 tahun, sesekali kembali ke Indonesia untuk mengunjungi oma dan sepupu-sepupunya. Akupun bercerita tentang kegiatanku di kampus dan bagaimana keluargaku. Kami saling bercerita ringan, tertawa dan banyak senyum kulihat dari wajahnya kali ini.
“I think that possibly maybe I’m falling for you. Yes, there’s a chance that I’ve fallen quite hard over you. I’ve seen the paths that your eyes wander down, I want to come too. I think that possibly maybe I’m falling for you. No one understand me quite like you do, through all of the shadow corners of me. I never knew just what it was about this coffee shop I love so much, all of the while I never knew”

-Landon Pigg Falling In Love At Coffee Shop-
 
Tidak terasa kami mengobrol sampai jam empat sore, Bayang mengantarku ke rumah.
“Non..” ucap Bayang selagi aku mencoba membuka pintu mobilnya untuk keluar.
“Yah” jawabku sambil menengok ke arahnya.
“Thank you, you’ve made my day” ucapnya sambil tersenyum.
“It’s all good” balasku dengan tersenyum juga.
Aku keluar dari mobilnya dengan tersenyum, memasuki pagar rumahku yang tidak dikunci tanpa berfikir “kenapa tidak terkunci?” dengan tersenyum dan membayangkan senyum Bayang. Hangat di dada tiap kali terlintas wajahnya di kepalaku.
Namun senyumku terhenti saat kulihat pintu rumahku terbuka. “loh?”
“Bu, ibu sudah pulang tah?” ucapku saat memasuki rumahku.
Tidak ada jawaban, ruang tamu kosong, “HAH! Ricardo Redaya! Berani-beranian dia ninggalin rumah gak kunci gini!” ucapku kesal. Aku berjalan ke dapur untuk mengambil air minum. Langkahku terhenti.
“Do. RICARDO” ucapku saat melihat Ricardo tergeletak di depan lemari es dan di sampingnya ada botol minum dan gelas pecah yang pasti tadinya dia pegang lalu ikut terjatuh.
“Do, lo kenapa Do?” aku mengangkat kepalanya dan kuletakkan di atas pahaku. Memegang pipinya, mendekatkan wajahku ke dadanya, masih berdetak dan masih bernafas, aku menangis tidak karuan sambil terus memanggil namanya. Ya Tuhan, Ricardo kenapa, wajahnya pucat.
“Do, lo kenapa? Bangun Do.. jangan becanda begini.. Do.. Ricardo! Bangun!”
“SOMEBODY HELP ME! MY BEST FRIEND IS DYING HERE!” teriakku sambil menangis dan terus memegang tangan dan kepala Ricardo.
Bersambung...




oleh: @ekaotto - http://ekaotto.tumblr.com

Di Sini Drama Dimulai, part #1

Sepulang aku mengantor hari itu sangat menyenangkan sekali.
Arya menjemputku, dia sudah menungguku di parkiran kantor dan membawakan eskrim kesukaanku, Coldstone Greentea. \(^O^)/
Setelah afternoon meeting dan absen, aku langsung menuju parkiran, Arya udah nunggu dari tadi.
"Hai, Ya.." Sapaku sambil menyodorkan kening untuk dicium Arya, kebiasaan kalo ketemu atau mau pamitan.
Arya menyodorkan se-baskom Coldstone, (ˆڡˆ) langsung aku makan.
Arya malah ngeliatin aku makan.
Notifier eager dari bb-ku berbunyi, sebuah sms masuk. -lagi di mana, Sar?-
Sebaris pesan sangat singkat yang biasa aja, malah mengundang tanya bagi Arya.
Arya mengintip-intip bbm-ku, sebelum aku membalas pesan itu, Arya merebutnya duluan, "siapa sih? Penting banget nanya beginian."
Ha? Aku bingung, bukannya isi sms itu biasa aja bukan? Kenapa nada bicara Arya terdengar jealous?
"apa sih, ya?" Aku berusaha merebut bb-ku kembali, tapi Arya mengelak.
Dia lantas ngecek activity log dari si nomor tersebut, yang sengaja nggak aku save namanya.
Dia seseorang dari masa laluku, Dani, kami putus baik-baik. Aku masih berhubungan baik dengannya dan hanya sebatas sms atau telepon sesekali. Dani sering mengajakku keluar sekedar makan siang bareng, tapi selalu aku tolak.
Aku hanya menjaga perasaan Arya, makanya aku juga nggak cerita-cerita ke Arya kalau Dani masih sering menghubungiku.
"Apaan nih?!!!" Tanya Arya dengan nada marah.
"Apaan sih? Nggak ada apa2 gitu!" Aku membela diriku sendiri, karena emang nggak ada apa2.
Arya masih geleng2 baca semua sms-ku dengan Dani. -duh, salah! Harusnya aku hapus dulu semuanya- batinku.
Arya menarik tanganku, kencang sekali. "Jujur! Ada apa sama orang ini lagi?"
"Nggak ada apa-apa!" Bentakku nggak kalah keras.
"Kalo nggak ada apa-apa kenapa mesti ada sms2 nanya udah makan apa blm? Ngajakin lunch bareng, dinner? Telepon berjam-jam. Ha! Terus ini ada sms nanya2 kamu tidur pake baju apa lagi!" Muka Arya memerah.
Aku mulai menangis, Arya benar-benar marah kali ini. Cengkraman tangan Arya semakin kencang.
"Apa maksudnya, Anjiiiing?!" Arya masih bertanya, dia butuh jawaban.
Sambil menangis aku jawab, "nggak ada apa2. We're just friend. I'm just trying to be nice!"
"Temen kayak gini?!" Arya menghempaskan tanganku dengan kasar, dan melemparkan bb-ku ke bawah kursiku duduk di mobilnya.
Arya menyalakan mesin mobilnya, keluar parkiran dan mengarungi perjalanan pulang dengan diam diiringi isak tangisku.
Berkali-kali aku memaksa Arya bicara, sambil meminta maaf. Tapi aku juga bingung, dimana salahku karena membalas sms-sms Dani. Tapi mungkin bagi Arya itu salah, okay aku mengalah, aku mengaku salah, aku minta maaf. Tapi Arya tak bergeming sedikitpun.
Arya langsung mengantarku pulang, harusnya malam itu Arya kuliah, akupun seharusnya kuliah. Tapi Arya malah mengantarku pulang. Sampai depan rumah,aku nggak mau turun.
Arya mengalah, ia memutar mobilnya lagi, meninggalkan rumahku.
"Gua capek. Gua mau balik ke rumah!" Akhirnya keluar juga kata-kata dari mulutnya.
Sesampainya di rumahnya,aku mengikutinya sampai ke dalam kamarnya. Syukurlah hari itu ibunya sedang dinas keluar kota.
"Maaf, Ya... Maafin akuuu!"
..... (To be continue)


~ (oleh @_citz)

(Bukan) Pertemuan Terakhir (2)

Dan bukannya langsung keluar, atau setidaknya membuka kaca mobil. Aku malah tetap diam di dalam sambil berpikir, apa yang harus kulakukan?

Gian Sugandi, kenapa kamu tiba-tiba datang saat aku sedang merindu? Ini adalah sebuah berkah atau malah bencanakah?
Aku juga heran sendiri, bukankah seharusnya saat ini aku langsung membuka pintu dan memeluknya untuk mengobati rinduku? Tapi kenapa sekarang tubuh dan bibirku kelu?

Melihatku yang bergeming tak keluar untuk bertukar sapa, Gian menatapku heran. Lalu sekali lagi ia mengetuk kaca mobilku. Kali ini dengan kerutan dahi, bukan lagi senyum seperti sebelumnya.

Dan aku tergagap, dengan gugup mematikan mesin mobil, mengambil kunci lalu keluar dari mobil.

"Kamu... kapan pulang?" tanyaku ragu.
Gian tidak langsung menjawab, ia malah menatapku dengan tidak suka.
"Kok kamu kayak gak seneng aku pulang ke Indonesia?"
"Eh, bukan gitu. Masalahnya, ada gossip kamu mau pulang pun nggak  ada kan. Kamu bahkan - " lalu aku diam tidak jadi mengucap. Sadar ada sesuatu yang salah.
Gian tersenyum kecil. Tapi ia tidak berkata apa-apa selain langsung memelukku.

Lelaki yang mendekapku erat ini memang bukan tipe lelaki yang mampu mengekspresikan perasaannya dengan kata-kata. Tapi segala hal akan ia lakukan untuk membuat orang-orang tersayangnya berada dalam kenyamanan dan keamanan.
Seharusnya, aku tahu itu dari dulu. Rinduku pun tak bertepuk sebelah tangan. Seharusnya, aku tahu dari dulu, bahwa Gian adalah satu-satunya. Dan untuk semua, seharusnya ada penjelasan kan?


~ (oleh @cHaMarsya)

Wildan (Lagi)

"Kamu lagi apa, Haps?"
Aans berdiri di depan pintu kamarku yang tidak kututup. Tangan kanannya memegang benda keramat sejuta umat, blekberi, sedang tangan kirinya menganggur. Duh itu tangan kiri, bisa dipake buat pegang gagang sapu tuh, biar ga nganggur… Nyapu-nyapuuuu gitu…
"Woi, lagi apa? Ditanya malah ngelamun…" katanya sambil nyelonong dan merebahkan dirinya di kasurku. Dari setelannya yang cuma pakai celana pendek kotak-kotak warna biru dan hitam serta kaos warna putih dengan tulisan "Radiohead" warna merah di tengah-tengahnya, dia tidak berencana keluyuran. Tumben. Padahal hari Minggu pagi begini biasanya udah berenang di lautan manusia di Car Free Day Dago sama temen-temennya.
Lalu dia mulai mengotak-atik blekberinya. Aku kembali menatap laptopku setelah tadi sempat teralih oleh kehadiran Aans yang ga jelas maunya apa. Padahal kalau nganggur gitu kan bisa sambil nyapu-nyapu gitu…
"Nulis ya? Baca dong, Haps… Bosen nih gue…"
Nyapu aja sih! Daripada bosen!
Aans lalu bangkit dan ikut duduk leseh di sampingku, seolah tidak bisa mendengar jeritan batinku. Tanpa basa-basi, dia memberi isyarat padaku untuk menyingkir dari depan laptop supaya dia bisa puas dan nyaman saat membaca tulisanku. Aku menurutinya, menyingkir, berdiri, dan merebahkan diri di kasur sambil memikirkan rumah yang belum kusapu.
"Apa nih? 'Suatu Ketika Di Suatu Hari'? Judul yang aneh.." komentar Aans saat membaca judul tulisanku. Begitulah Aans, walau dia kalong, eh cowok, tapi dia tidak pernah menertawakan hobiku yang suka menulis-nulis. Malah dia suka membacanya, walau tulisanku masih amatir, tapi dia tidak pernah memperlihatkan wajah bosan saat membaca ceritaku. Romantis sih... Tapi lebih romantis lagi kalau dia nyapu… Ah susah deh punya mental babu kaya aku.
FYI, tulisanku memang sudah menumpuk di suatu folder di laptop sejak lama dan tidak pernah kupublikasikan di dunia maya. Aku menyimpannya untuk diri sendiri, dan kubagi hanya untuk orang-orang yang benar-benar dekat denganku, karena aku tidak siap mendengar komentar atau tawa meremehkan orang lain setelah membaca tulisanku. Aku bukan orang yang percaya diri, singkatnya. Aku benar-benar bukan orang yang memiliki sifat percaya diri, panjangnya.
"Haps…" panggil Aans, menandakan dia sudah selesai membaca tulisanku yang masih belum selesai itu. Dari wajahnya, terlihat Aans sudah gatel ingin mengomentari tulisanku. Aku mendudukkan diriku di kasurku, "Kata Wening sih cerita itu kaya cerita cinta yang ga romantis dan cerita komedi yang ga lucu…" kataku sambil memeluk gulingku.
Aans terlihat tidak peduli dengan komentar Wening yang barusan kuucapkan, "Suka banget ya kamu sama si Wildan-Wildan ini?"
Aku bengong. Tulisanku yang berakhir di 'Untuk pulang?' itu sama sekali tidak dikomentari si Aans. Aans malah terlihat lebih tertarik dengan perasaan dibalik tulisanku itu.
"Dan… Kamu ngasih judul 'Suatu Ketika Di Suatu Hari' ini karena ini harapan kamu ya? Kamu ga bisa nentuin waktu yang tepat karena kamu sendiri sebenernya ga tau bakal kejadian atau ga, kan? Bener ga?" tambah Aans, akhirnya mengomentari tulisanku.
Duh. Isi komentar tentang tulisanku sih kurang lebih sama dengan komentar Wening. Apa segitu jelasnya ya? Harapanku pada Wildan di tulisanku itu. Harapan untuk menjadi kekasihnya? Tapi tidak berani benar-benar berharap karena Wildan itu temanku. Dan yah… Wildan pun memandangku hanya sebagai temannya juga.
Aku menaruh gulingku di kasur lalu duduk bersila di depan Aans, "Aku sama Wildan itu kenalnya sudah 6 bulan, A… Tapi aku ngeceng dia baru 2 bulan terakhir…"
"Kenapa bisa ngeceng tiba-tiba hayoh?"
"Aans yakin mau denger cerita aku? Ga ada acara?"
"Halah, santei, Haps… Kamu aja bersedia nunggu Aa pulang malem-malem, masa Aa ga bisa ngeluangin waktu buat denger cerita kamu?"
Sebenernya lebih tepat "terpaksa" sih daripada "bersedia".
"Jadi kenapa kamu bisa tiba-tiba ngeceng Haps?" tanya Aans terlihat tertarik, "Eh bentar ada BBM masuk, bentar dibales dulu bentar… Bentar, Haps…" kemudian dia sibuk memencet keypadnya sambil menggumankan apa yang dia ketikkan, "Ka… leum… bray…  Keur… ri… weuh…" lalu dia menaruh blekberinya dan kembali menatapku dan masih memperlihatkan wajah yang tertarik dan siap mendengar ceritaku.
"Aans inget Herdi?"
"Herdi? Mantan kamu yang punya mantan yang udah pacaran dengannya selama lima tahun terus putus gara-gara mantannya selingkuh terus ketemu kamu dan jadian sama kamu selama beberapa bulan yang akhirnya dia mutusin kamu gara-gara masih sayang sama mantannya dan pengen balikan itu? Ga… Ga inget. Kenapa?"
Aku memasang muka males, "Aans…"
Aans tersenyum cengos, "Ingetlah inget… Kenapa?"
"Dua bulan yang lalu, pas baru diputusin banget sama Herdi lewat BBM, aku baru selesei kuliah. Wening lagi ga masuk waktu itu, soalnya ada saudaranya nikah di Padang. Yah, namanya juga diputusin, A… Pengen nangis tapi ditahan-tahan dan ga ada temen yang bisa nemenin nangis. Dan sama temen-temen sekelas yang lainnya sih aku kan ga begitu akrab…"
"Mau nangis kok milih-milih? Dasar cewe…" lalu Aans melihat muka yang kembali terlihat males, "Lanjut, Haps!"
"Intinya waktu itu aku ga langsung pulang, tapi diem di toilet cewek. Kebetulan emang kelas seleseinya sore-sore dan gedung kuliah udah mulai sepi. Jadi nangis deh aku, A… Di toilet… Persis kaya Myrtle Merananya Harry Potter deh kerasanya… Nangisnya ga ditahan-tahan, bunyi gitu, kan mikirnya udah ga ada orang… Eh tau-tau, si Wildan nyelonong masuk, A! Toilet cewek loh itu! Toilet cewek!"
"Iya… Iya…"
"Terus udah gitu, A…"
***
Aku bengong.
Kamu bengong.
Tapi aku merasa menjadi orang bengong terjelek sekamar mandi di dunia. Mataku merah, maskaraku luntur oleh air mataku, membuat daerah sekitar mata bawahku hitam-hitam. Hidungku merah dan beringus. Rambutku abstrak karena sempat kuacak-acak sebagai cerminan hatiku yang sedang ga karuan. Dan aku sempat berpikir untuk mengirim surat protes pada siapapun yang menciptakan kalimat, "Cewek yang menangis itu cantik…" karena aku tidak merasa cantik saat menangis!
Dan sekarang dihadapanku berdiri kamu, seorang cowok yang kukenal selewat saja. Kamu, teman sekelasnya teman SDku yang kebetulan masuk fakultas yang sama denganku tapi berbeda jurusan. Kamu, yang kadang kusapa saat berpapasan juga yang pura-pura tidak aku kenal saat malas menyapamu. Kamu, yang tidak terlalu kuingat namanya. Kamu, yang ternyata menjadi kecengan banyak cewek-cewek. Kamu, cowok cakep yang sama sekali bukan tipeku.
Dan ya, kamu adalah orang bengong tercakep sekamar mandi di dunia. Berdiri mematung dan yang kamu lakukan hanya menatapku. Perlahan wajah bengong memudar dan digantikan oleh senyuman. Senyuman yang rasanya tidak pernah kulihat sejak teman SDku mengenalkanmu.
Senyumanmu membuatku tersadar dan dengan refleks menutup mukaku dengan kedua tanganku dan membalikkan badanku sambil berteriak, "Ini toilet cewek!!!!"
Kamu diam saja. Tidak menanggapi teriakanku yang bersifat mengusir. Lalu tiba-tiba aku merasakan tanganmu di pundakku, seolah memintaku tidak memunggungimu. Tapi aku tidak bergeming, aku tidak mau wajahku yang abstrak ini dilihat oleh siapapun, apalagi dilihat cowok yang tidak terlalu  kukenal. Dan tanganmu, sama keras kepalanya dengan aku, tidak mau menyingkir dari pundakku. Tidak ada yang mau mengalah.
Membuatku berpikir bahwa mungkin kalau aku berbalik dan kamu melihatku, kamu akan puas dan pergi. Puas menertawakanku lalu pergi menceritakannya pada teman-temanmu juga teman SDku. Dan rasanya dengan kondisi patah hati ini, aku sudah tidak peduli lagi. Jadi aku berbalik sambil membuka tanganku yang menutupi wajah abstrakku, lalu disaat aku membuka mulut hendak memaki dan mengusirmu, kamu menepuk-nepuk kepalaku dengan sangat lembut, seolah berkata, "Tidak apa-apa… Keluarkan saja..." Tidak ada tatapan mengejek di matamu melihat wajah abstrakku, justru tatapanmu sangat lembut dan ramah, selembut tepukanmu di kepalaku.
Aku mencoba menganalisis apa yang sedang terjadi disini, di toilet cewek ini. Tapi sakit hatiku akibat diputuskan pacarku membuatku terlalu lelah untuk menganalis. Yang ingin aku lakukan sekarang hanyalah menangis. Menangis dihadapan seseorang yang tidak terlalu kukenal. Yang masih tidak bisa kuingat namanya. Yang memergokiku sedang menangis dan berwajah jelek. Yang tidak berkata atau bertanya apa-apa. Yang menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut.
Dan aku menangis…
***


~ (oleh @melillynda)

#4: Marah

Sebulan setelahnya...

Aku dan Jazzy telah semakin dekat. Kurasa mau tidak mau, siapa pun yang terlalu sering bersama akan akrab dengan seiring waktu berjalan. Walau dalam kasusku saat ini memang agak dipaksakan.

Sekarang, sesekali dia memanggil namaku secara utuh, Sera. Dan kalian tidak perlu bertanya lagi padaku seperti apa rasanya. Tentu saja ba-ha-gi-A.

Tapi hari ini aku merasakan ada yang aneh dengan Jazzy. Sikapnya tidak seperti biasa. Dia bahkan tak pernah menatap langsung ke mataku ketika mengucapkan sesuatu. Aku sempat menanyakan kenapa tapi dia haya bilang, 'kurang enak badan, enggak usah lebay'. Dan aku pun mulai berhenti mengusiknya. Aku bahkan mencoba menjaga jarak dengan menambah 10 cm jarak kami berdiri. Oke, memang tidak banyak berpengaruh, tapi mengertilah, itu sudah usaha paling maksimal yang bisa aku usahakan. Mana bisa aku jauh-jauh darinya.

Hari ini adalah jadualnya latihan futsal, tapi betapa tidak beruntungnya aku tidak bisa menemaninya seperti biasa. Aku harus langsung pulang ke rumah hari ini.

"Maaf ya." aku membuka percakapan di dalam mobil.

"Kenapa?" Tanyanya, dan see.. dia bahkan tidak melihat ke arahku.

"Aku nggak bisa nemenin kamu latihan futsal hari ini. Aku pacar yang nggak baik ya." Jelasku.

"Oh.. nggak lah, justru kamu baik banget hari ini. Lebih sering lebih baik." Pernyataan yang menjatuhkan. Dan aku sudah terbiasa menelannya.

"Oke, bisa dipertimbangkan saran tidak masuk akal kamu barusan. Tapi kamu tenang aja, sebagai gantinya minggu besok aku mau main berkunjung ke rumah kamu." Aku mencoba bicara santai sembari membuka kaca, karena ada nyamuk yang sejak tadi berkeliaran di dalam mobil.

"What?! Jangan macam-macam ah." Jazzy panik. Dan aku menikmati reaksinya.

"Kamu kan tau, aku susah banget bohong. Kalau aku nunggu kamu yang ngajak mah, kita keburu nikah nanti. Jadi kuputuskan untuk mengambil inisiatif."

"Tapi kan.."

"Stop stop! Hari ini aku turun di sini saja. Aku masih ada urusan lain." Sengaja kupatahkan kalimatnya. Aku sedang malas berdebat. Jazzy pun menginjak pedal remnya. Bersegara aku membuka pintu mobil dan turun.

"Happy Friday!" Teriakku ketika mobil Jazzy pergi melaju.

***

Hari minggu yang kujanjikan...

"Ting tong!" Kupencet tombol pagar rumah Jazzy tapi tak ada reaksi. Aku mencoba melihat ke dalam melalui sela pagar rumahnya yang tinggi. Sepi, itu yang kurasakan. Sepertinya tidak ada seorang pun yang berjaga di rumahnya. Bahkan tak seorang satpam pun. Aneh sekali. Aku hanya melihat beberapa ekor anak anjing yang tak mau diam di kandangnya.

"Ting tong!" Aku mencobanya kembali. Tapi lagi-lagi tak ada jawaban, kemudian

"Kemana perginya semua orang. Rumah sebesar ini masa nggak ada yang jaga." Keluhku pada udara. Perasaanku sudah tidak nyaman sedari tadi. Karena kulihat langit terlihat begitu murung. Mendung mulai melebar ke banyak sisinya. Kucoba menelepon ponsel Jazzy tapi tidak aktif.

Dan tepat seperti firasatku, tidak sampai 15 menit setelahnya hujan pun turun. Bodohnya, aku pun tidak membawa payung biruku tadi dan aku pun ke sini naik taxi. Tak ada tempat berteduh, bahkan pintu gerbang kompleks ini jauhnya bukan main. Alhasil tidak sampai 5 menit setelahnya aku berhasil basah kuyup dengan sempurna. Aku memegang erat bungkusan yang kubawa untuknya, mencoba melindunginya agar tak basah tapi gagal.

Setengah jam setelahnya...

Sebuah mobil yang kukenal datang mendekat. Hari hampir gelap, kalian pun bisa membayangkan rupaku sekarang. Keadaanku sudah pantas disebut menyedihkan. Itu memang mobil Jazzy yang berhenti tepat di hadapanku dengan lampunya yang tersorot tajam. Jazzy turun dan aku pun bangkit dari posisi jongkokku. Dia datang dengan sebuah payung tanpa warna.

"Kamu ngapain hujan-hujanan di sini?" Tanyanya tanpa dosa.

"Pak!" Aku mendaratkan tamparanku di pipinya.

"Apa pun alasannya kamu ngga boleh memperlakukan perempuan kayak gini. Apa lagi perempuan bodoh sepertiku." Aku menangis. Aku marah. Aku benci padanya saat itu. Jazzy hanya diam. Laki-laki baik sepertinya pasti akan merenungkan dengan baik kejadian itu.

"Sera.."

"Aku tau kamu sengaja. Minta maaf sekarang!" Bentakku.

"Maaf." Ucapnya lemah. Dia pasti kaget dengan sikapku karena aku memang hampir tidak pernah marah padanya, jangankan marah, berkata dengan nada tinggi pun tidak pernah, seberapa pun terlalu sikapnya. Apa lagi menangis seperti ini. Karena dia penting untukku maka ini jadi rumit. Perasaanku jadi kacau. Aku benci ditelantarkan. Perasaan seperti ini membunuhku.

"Aku tau kamu sengaja pergi menghindari aku. Aku juga gak ngerti kenapa di rumah kamu sampai bisa nggak ada siapa-siapa. Tapi apa kamu tau sebesar apa pengorbanan aku untuk sampai di sini. Jadi jangan seenaknya." Aku menatap kantong yang telah basah kugenggam erat sedari tadi.

"Selamat ulang tahun. Kalo nggak karena hari ini kamu ulang tahun, aku nggak akan pernah maafin kamu." Kuserahkan bungkusan itu padanya. Entah seperti apa sekarang bentuk kado yang sengaja kubawa untuknya. Gadis jujur yang malang, yang sekuat tenaga mencoba membahagiakan cintanya. Aku benci hari ini.

"Terserah mau kamu apain. Aku pulang dulu. Gak usah maksa mau nganter pulang, aku lagi nggak mau semobil sama kamu." Jazzy hanya berdiri mematung dan aku tau dia tidak sedang ingin mencari masalah denganku detik ini.
***


~ oleh @falafu)

Di Kota Kecil Itu #4: Pesta

            David berdiri di depan cermin untuk memastikan penampilannya sempurna. Dia sedang bersiap-siap pergi ke Town Hall untuk acara ulang tahun Paman Alex. 
           David merapikan dasinya dan sekali lagi menata rambutnya. Berdasarkan informasi dari Gloria, yang ulang tahun ini adalah ayah angkat Florence. Jadi, tentu saja dia harus tampil lebih dari memuaskan. Harus meninggalkan kesan yang baik di depan Florence.

            Dengan kemeja petak-petak hitam putih dan rompi hitam yang dipadukan dengan celana panjang berwarna hitam juga, David yakin penampilannya dapat menarik perhatian cukup banyak orang. Bagaimanapun juga, David termasuk tampan, salah satu penyebab tingginya rasa percaya diri David.

            "David," panggil kakeknya dari luar pintu. "Sudah siap?"

            David melihat bayangannya dalam cermin dan tersenyum. "Tentu."

===

            Pesta ulang tahun itu terlihat sederhana, tetapi cukup meriah. Menurut Kakek Chris, Paman Alex adalah salah satu dari mereka yang paling disanjungi di Greenville. Meski dia seorang investor dengan penghasilan cukup tinggi, dia lebih memilih untuk tetap menjabat ketua panti asuhan Greenville.

            David sibuk menoleh ke kanan dan kiri. Menurut David, tamu yang diundang terlalu banyak.

            "Cari teman?" tanya Kakek Chris.

            David hanya mengangguk. Matanya masih terus menyapu satu per satu tamu yang hadir.

            "Dia di sana," kata Kakek Chris. Dia menunjuk pada seorang gadis di sudut ruangan, dekat jendela. Gadis itu memakai dress abu-abu sebatas paha berlengan pendek. Rambut panjangnya yang bergelombang dibiarkan terurai di punggungnya.

            Meski bukan orang yang sedang dicarinya, David tetap mendekat.

            "Gloria," panggilnya.

            Gloria tersentak dan menoleh pada David. Dia sedang melamun. Sesuatu yang jarang dilakukan seorang Gloria, menurut David.

            "Tampaknya kamu sengaja berdandan demi pesta ini," kata Gloria dengan nada meledek.

            David tersenyum. "Mengenakan baju apapun tampaknya aku selalu menjadi pusat perhatian."

            Gloria hanya bisa tertawa sambil menggeleng. Dia tidak tahu bagaimana dia harus menjawab. Tetapi, harus Gloria akui, David memang terlihat cakep sore itu. Gloria juga mendapati mata beberapa gadis yang hadir terus melihat ke arah David.

            Raut wajah David terlihat ramah, meski ada bayangan nakalnya. Lesung pipinya juga merupakan penambah poin.

            Akhirnya, Paman Alex keluar digandeng Florence.

"Tuh, dia keluar," kata Gloria tiba-tiba.

David mengernyit dan menoleh ke belakangnya. Florence dan seorang laki-laki sedikit lebih tua dari ayah David sedang menyalami satu per satu tamu yang hadir.

David segera terpesona pada gadis itu. Dress putih yang dikenakannya menonjolkan kecantikannya.

 "Pergilah," kata Gloria sambil mendorong David dengan ringan. "Kamu mencarinya dari tadi, kan?" Gloria tersenyum.

            David bergerak dengan cepat. Dia segera menemui Kakek Chris dan membawanya pergi menemui Paman Alex, dan tentu saja Florence.

            Saat kedua senior berbincang, David terus mencari kesempatan untuk memulai obrolan dengan Florence, tetapi tidak berhasil.

            "Sudahlah, tampaknya sekarang bukan saat yang tepat," bisik Gloria yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Gloria memberikan ucapan selamat ulang tahunnya pada Paman Alex, dan bagaimana orang tuanya tidak bisa hadir dalam acara itu.

            "Tidak apa-apa, Gordon sudah sengaja mengunjungiku tadi siang. Roti yang dibawa terlalu banyak. Harus kamu sampaikan pada dia," jawab Paman Alex.

            Paman Alex terlihat ramah. Dia memberikan kesan pada David bahwa dia bukan seorang pemarah, bahkan mungkin tidak pernah marah sekalipun selama ini.

            "Selamat sore semuanya." Suara yang keluar dari loudspeaker menarik perhatian semua orang pada sang pembawa acara yang berdiri di atas panggung kecil di depan ruangan.

            Gloria menyikut David saat laki-laki itu menguap di sela-sela kata sambutan. David menoleh ke arahnya dengan wajah apa-boleh-buat. Gloria hanya menggeleng.

            "Mari kita beri tepuk tangan meriah untuk Ethan!" kata pembawa acara sambil meninggalkan panggung.

            Pantomim antara David dan Gloria terhenti. David karena suara si pembawa acara yang tiba-tiba mengeras. Gloria? Entahlah. Tetapi David memperhatikan sedikit perubahan pada mimik wajah Gloria.

            David melihat laki-laki menyebalkan dari kemarin berjalan ke tengah panggung dengan sebuah gitar di tangan. Dia mengenakan kemeja merah muda dengan celana panjang berwarna putih. Cukup tampan, tetapi tetap menjengkelkan.

Setelah membungkukkan badannya sedikit, Ethan menyampaikan ucapan selamat kepada Paman Alex dan mulai membawakan sebuah lagu yang David tidak tahu apa judulnya. David memang tidak hobi musik.

            Di sela-sela pertunjukan gitar itu, David menoleh ke arah Paman Alex yang berdiri bersama Florence. Keduanya tampak sangat menikmati alunan musik itu.

            David melihat ke sekitar. Semua tamu yang hadir tampak terpesona. Beberapa sedang berbisik sambil sesekali menunjuk pada arah panggung. David mendecak lidah. Dengan mudahnya laki-laki itu menarik perhatian semua orang.

            "Memangnya lagu yang dia mainkan susah, ya?" Pertanyaan David ditujukan pada Gloria yang berdiri di sampingnya, tetapi yang ditanya tidak memberikan jawaban.

            David memutar kepalanya dengan kerutan di kening. Di hadapannya adalah sebuah pemandangan yang membuatnya tertegun.

            Gloria melihat ke arah panggung dengan wajah sedih. Matanya sedikit menerawang dan kemudian melihat ke arah lain. Perlahan, kepalanya mulai menunduk dan dimiringkan ke kanan.

            Pertunjukan Ethan selesai. Tepuk tangan meriah penonton mengejutkan David yang spontah mengalihkan perhatiannya pada Ethan yang masih di atas panggung.

            Saat itu, Ethan sedang menegakkan badannya dari posisi membungkuk dan kemudian meninggalkan panggung.

            Tunggu, batin David. Tadi sebelum turun dari panggung si Ethan itu tersenyum pada Florence lalu melihat David? Apakah itu deklarasi perang?

            Seulas senyum terbentuk di wajah David. "Aku menerima dengan senang hati," gumamnya.





- (oleh @lid_yang - http://lcy-thoughts.blogspot.com)