Tentang 30 Hari Cerita Cinta

19 September 2011

Bagaimana Mencintaiku #5

“Gw jatuh cinta”

“He?! Serius sama siapa?” tanya Tina kaget

“George”

“George! Serius lo?”

Cinta pertamaku jatuh pada orang yang tidak pernah aku duga, dan datangnya tiba-tiba membawa aku melambung tinggi. Hampir setiap hari aku datang untuk ikut doa siang supaya aku bisa bertemu dengan George, bahkan dengan rajinnya aku belajar gitar darinya. Masa SMA ku mendadak menjadi lebih indah dari yang aku duga.

Aku bukanlah masuk kategori orang yang supel, cerdas ataupun menarik, biasa-biasa saja, tapi juga tidak termasuk dalam kategori orang aneh. Tetapi aku punya sahabat-sahabat yang luar biasa walaupun kadang kala membuat aku sedikit minder jika berada dekat mereka. Vita Sinaga contohnya, kami berteman sejak SD dan satu gereja, dia cantik, pintar dan lucu. Lalu ada Maria Cindy, selain cantik, kaya, pintar dan supel dan juga Tina Tobing, sahabatku, dia sangat supel bisa berteman dengan siapa saja.

Dan seperti kebanyakan anak remaja, hubunganku dengan orang tua tidaklah terlalu baik. Jadi kehadiran George dalam hidupku membuat segala sesuatu yang sepertinya biasa-biasa saja menjadi jauh lebih baik dan indah tentunya. Setiap hari selalu ada yang aku nantikan, doa siang dan George tentunya.

Tapi sayangnya cinta pertamaku hanya bertahan 1 tahun 8 bulan saja, aku pun patah hati. Ternyata George mencintai teman sepermainannya dari kecil, tetangganya, sahabatnya, Patrica.



- (oleh @siahaanastrid )

Bayangan ke Lima : Raditya

“Din, gak usah, Din. Aku bisa ke toko buku sendiri. Kita ngobrol pas kamu libur aja, biar gak buru-buru gini” tolakku dengan halus ke Dini yang dengan semangat berjalan menuju kampus sambil menarik tanganku.

“Eh, Sayang..!” ucap Dini sambil melambaikan tangan ke arah lelaki berkaos hijau di depan pintu masuk kampusku, Raditya Naraya.

Radit terlihat bingung melihat Dini menggandeng tanganku, akupun tidak kalah panik. Memang tidak ada yang tau mengenai hubungan kami, namun situasi ini benar-benar tidak pernah kami bayangkan sebelumnya. Aku, Radit dan Dini, sekarang kami saling berhadapan.

“Sinar, ini tunanganku, Radit. Radit, ini Sinar, pacarnya mas Elang sepupuku yang sering aku ceritain” Dini mengenalkan kami berdua.

“Sinar” ucapku sambil memberikan tangan, aku berpura-pura tidak kenal Radit.

“Ah, Radit. Kita sekampus ternyata” Radit tidak kalah ikut-ikutan berpura-pura tidak mengenaliku.

Aku tersenyum dan melepaskan jabatan tangan Radit.

“Kita ke toko bukunya bareng Sinar aja ya, dia juga mau ke toko buku. Sekalian aku mau ngobrol-ngobrol sama dia” Dini berkata pada Radit. Aku diam dan memberikan senyum kecil saat Dini menengok ke arahku.

“Yakin Sinar mau ikut bareng sama kita?” Radit melihatku seolah memberikan kode “jangan!”.

“Iya, Din. Aku gak enak malah nanti jadi nyamuk buat kalian” ucapku ke Dini dengan nada bercanda.

“Gak lah, dari pada sendirian? Kan memang sama-sama mau ke toko buku. Yuk!” Dini tetap bersikeras mengajakku.

“Yaudah, kalau itu mau kamu, sayang” Radit menimpali ucapan Dini dan tangannya menggandeng Dini sekarang.

Dini menggandeng tanganku dengan tangan satunnya lagi, mungkin sekarang malaikat mentertawaiku melihat kejadian ini. Radit menggandeng Dini dan Dini menggandeng tanganku dengan senyuman ceria. Selagi Radit ikut tersenyum di sampingnya, aku menahan rasa jijik yang mendalam atas kelakuanku selama ini.

--

Di dalam mobil Dini terlihat ceria menceritakan harinya kepada Radit, dan dia juga mengatakan begitu gembira bisa bertemu dengan aku, wanita yang selama ini selalu diceritakan orang yang paling dekat dengannya, Elang. Aku diam di belakang mereka, sesekali menanggapi perkataan Dini dan Radit sesekali beradu mata denganku dari kaca spion tengah.

“You say it’s all in my head and the things I think just dont make sense. So where you been then? Dont go all coy, dont turn it round on me like it’s my fault. See I can see that look in your eyes, the one that shoots me each and every time. You grace me with your cold shoulder, whenever you look at me I wish I was her. You shower me with words made of knives, whenever you look at me I wish I was her.”

-Adele Cold Shoulder-

“Hhhhhhh...” aku menghelakan nafas panjang saat keluar dari mobil Radit.

“Kenapa, Nar? Eh aku ngasih tau mas Elang kalau sekarang kita lagi jalan bareng. Dia kaget dan gak nyangka kita bisa secepat ini jalan bareng. Dia iri tuh.. hihihi” Dini menyadari helaan panjang nafasku, dan aku menanggapi perkataan wanita riang ini dengan senyuman.

Kami berjalan berdampingan, Aku, Radit dan Dini. Di sepanjang jalan Radit menggandeng tangan Dini, hal yang tidak pernah Radit lakukan kepadaku di depan umum. Tidak, aku tidak cemburu sama sekali, yang aku rasakan saat ini adalah jijik. Jijik akan diriku sendiri dan jijik melihat Radit bermain sandiwara dengan baik.

Sesampainya di toko buku kami berpencar, aku bingung harus ngapain, aku sama sekali tidak ada niat membeli buku, alasan ke tokok buku kemarin semata-mata hanya ingin agar pertemuan ini tidak terjadi, malah seperti ini jadinya. Hhhhhh..

Toko buku ini, beberapa hari yang lalu.. Aku tersenyum mengingat pertama kalinya Bayang menggandeng tanganku. Kemana dia, tidak ada kabar sama sekali, akupun takut untuk menghubunginya duluan, aku takut tentang apa yang sekarang dia pikirkan tentang aku. Duuh.. Aku memukul-mukul kepalaku. Karena melamun aku tidak sadar jika Radit sudah ada di belakangku, dia langsung menarik tanganku ke tempat sepi.

“Apa-apaan ini? Kenapa kamu gak bilang kalau Dini itu sepupunya Elang?” Radit berbicara pelan namun dengan emosi.

“Aku juga baru tau itu kemarin..” jawabku santai sambil melepaskan genggaman tangannya yang erat dan membuatku sakit.

“...kamu fikir aku gak kaget? Mungkin memang sudah saatnya kita hentikan hubungan kita, yang kita sakiti orang-orang baik” lanjutku.

“Maksud kamu apa?” Radit bertanya.

“Kamu ngerti maksud aku, kita harus stop. Kamu mau nikah sama sepupu pacarku, aku sudah liat Dini, dia cewek yang baik, ramah, gak mungkin aku tega nyakitin dia lagi setelah aku tau siapa dia”

“Gak, aku gak akan ngelepasin kamu. Asal kamu tau Sinar, aku cinta sama kamu. Aku nungguin kamu untuk berubah pikiran. Aku rela ninggalin Dini asal kamu mau kembali ke aku secara utuh”

“Gak, Dit. Kita selesai” aku menjawab singkat dan meninggalkan Radit. Namun di lorong buku yang sepi itu ternyata ada Dini. Dia terlihat bingung dan aku tidak kalah bingung. Aku menghelakan nafas panjang di depan Dini dan meninggalkannya bersama Radit.

Dini sepertinya mendengar pembicaraan kami, dia melempar semua buku yang dia bawa, dan Radit mencoba untuk menjelaskan sesuatu ke Dini, aku tidak menengok dan melanjutkan jalanku. Aku dan Radit selesai. Harapanku di dalam hati.

--

Jakarta, 31 Juni 2011

Sudah dua minggu tidak ada kabar dari Bayang, Raditpun tidak terlihat di kampus. Elang tidak menanyakan sesuatu yang mencurigakan. Apa mungkin Dini tidak bercerita ke Elang. Aku tidak berani menyapa Dini duluan. Aku membiarkan semuanya terjadi, aku menunggu semuanya terjadi. Aku siap.

“Nar, ngapain lo? Baru berapa meter lari udah duduk. Mane katanya mau jadi guru senam gue? Ck” ucap Ricardo yang sedang ku temani lari pagi, sudah empat hari ini aku dan dia lari pagi setiap hari, biasanya aku seperti ini, duduk saja dan melihat dia lari. Aku juga sebenarnya tidak suka olah raga, kalau saja ini bukan untuk kesehatan Ricardo, mungkin jam segini aku masih tidur.

“Iya, bentar” aku menjawab Ricardo dan berdiri dari bangku taman yang baru saja kududuki dan mengejarnya.

--

“Nar, lo belakangan murung mulu dah, sehat?” tanya Ricardo selagi kami istirahat di teras rumahku.

“Sehat” jawabku singkat.

“Iya sih keliatan, sehat bener, gemukan lo. Sembelit yak? Perut penuh gitu” ucap Ricardo sambil melihat perutku yang memang belakangan ini terlihat sedikit ‘penuh’.

“Iya, udah dua minggu susah buang air, kayak bawa sampah” ucapku.

“Nah, bubur dateng. Bang.. biasa, sate usus sama atinya jangan lupa” Ricardo memanggil tukang bubur langganan kami. Aku tidak ikut memesan bubur karena masih malas makan.

Tukang bubur memberikan pesanan Ricardo, aku sama sekali tidak tertarik makan.

“Nar, sate Nar, nih.. isi perut dikit dulu. Entar gue anterin ke apotik buat beli obat sembelit abis ini” ucap Ricardo sambil memberikan sate usus yang biasanya aku suka, tapi..

“Uweeek..” aku menutup mulutku karena mual mencium bau sate tersebut. Mualnya makin parah, aku masuk ke rumah dan segera ke kamar mandi mengeluarkan sedikit air dari dalam mulutku. Aku menyeka mulutku, hhhh..

“Sinar, kamu kenapa, nak? Masuk angin?” ucap Ibu menghampiriku dari dapur.

“Nar, elo kenapa dah?” Ricardo juga ternyata sudah ada di belakangku.

“Gak apa, Cuma enek aja. Mungkin masuk angin dan kurang tidur” aku menjawab mereka sambil tersenyum dan mengambil handuk yang tergantuk di dinding kamar mandi.

Aku kembali keluar dan duduk di teras, Ricardo mengambilkanku minyak kayu putih, aku mengenakannya di perutku. Aku memegang perutku dan merasakan ada yang aneh di dalamnya.

“Nar, ayo ke apotik, beli obat sembelit sama sekalian tuh buat masuk angin lo” ajak Ricardo sambil mengeluarkan sepedaku.

“Naik sepeda?” tanyaku.

“Iyak, udah lama kita gak boncengan naik sepeda keliling komplek kaya dulu. Yuk, pinter yuk. Buru”

Aku menuruti ajakan Ricardo, dulu kami sering naik sepeda keliling komplek berdua, dulu.. saat kami masih SMP.

“Berat lo yak sekarang, Nar” ucapnya saat aku sudah menduduki besi sepeda yang berada di depannya.

“Gue kurus salah, gemukan dikit salah” jawabku ketus.

“Hehehe, pegangan. Gue mau ngebut” Ricardo mulai menggoes sepeda menuju apotik.

--

“Mbak obat sembelit yang paling manjur apa? Sekalian obat masuk angin” tanya Ricardo ke apoteker yang melayani kami, aku berada di sampingnya.

“Ini mas, tapi ini kuat sekali ngobatinnya, gak boleh dipakai yang berpenyakit jantung dan orang hamil” ucap mbak manis tersebut ke Ricardo.

“Ooo.. ini, Nar. Lo pake ini mau? Lo kan sehat-sehat aje, hamil juga kagak. Ini aja yak..” Ricardo bertanya kepadaku. Aku menjawabnya dengan anggukan dan senyum.

“..yaudah, mbak. Ini aja, berapa?” Ricardo mengeluarkan dompet dan membayar obat yang kami beli.

Ricardo mengantarkanku ke rumah, dan meminjam sepedaku untuk dia pulang ke rumahnya. Aku mandi, dan selesai mandi aku duduk di samping tempat tidurku, melihat bungkusan obat yang baru saja kami beli. Ku buka bungkus obat tersebut dan..

“Uweeek..” aku muali lagi, aku kembali ke kamar mandi. Bau obat itu benar-benar membuatku mau muntah.

Aku membersihkan mulutku dan kembali duduk di tempat tidur, aku buang obat yang tadi membuatku muntah ke tempat sampah yang berada di bawah meja lampu di samping tempat tidurku. Aku menyadari sesuatu, tempat sampahku tidak ada bekas pembalut belakangan ini, aku mengambil kaleder si atas meja yang biasa kulingkari tiap kali menstuasi.

Terakhir mens itu tanggal 15 Mei 2011, hmmm..berarti bulan juni ini aku belum mens. Aku mengecek stok pembalutku di dalam laci, mereka masih utuh. Ku pegang perutku. Mendadak rasa cemas menjalar ke jantungku, aku takut sesuatu yang belum aku inginkan terjadi. Aku berfikir dan mengingat-ngingat terakhir kali aku melakukan sex.. tidak aku selalu memakai pengaman saat melakukannya bersama Radit, dan sudah lama aku tidak bertemu Radit untuk bermesraan.

Aku langsung teringat Bayang, mengecek sms terakhir darinya saat pagi aku terbangun di apartementnya. 13 Juni 2011. Tanggal masa suburku. Ya tuhan.. ini pasti hanya pikiranku saja, ini gak boleh terjadi. Aku harus memeriksanya.

--

Jakarta, 1 Juli 2011

Tugas kuliah lagi banyak, ku tengok hpku, sudah jam 6 sore saja. Tidak berasa. Ricardo juga sudah pulang sedari tadi, namun dia berjanji untuk menjemputku, karena dia tau kondisi badanku sedang kurang baik. Langit mulai gelap, aku memutuskan untuk duduk dulu di dalam kelas, sambil memeriksa tugas yang baru saja aku kerjakan dan menunggu Ricardo. Ini kelas terakhir tidak akan ada yang memakai kelas ini lagi.

Aku mendengar langkah seseorang memasuki kelas yang sunyi ini, Radit! Aku melihatnya, lalu kembali menunduk mengerjakan tugas.

Dia jongkok di depanku, aku melihat wajahnya.

“Ada apa?” tanyaku ke dia. Dia menangis, memegang tanganku, satu menit dia menundukkan kepala sambil terisak dan tidak mengatakan apa-apa.

Dia menaikan wajahnya, menyentuh wajahku dan mulai membuka mulutnya.

“Aku kangen kamu..” kalimat pertama yang dia ucapkan. Aku tersenyum dan tidak mengeluarkan satu katapun.

“..Aku akan menikah sama Dini minggu depan, kamu sudah tau?” lanjutnya.

“Sudah” jawabku singkat sambil tersenyum.

“Semakin dekat ke hari itu, aku makin sadar, di hatiku tidak pernah ada Dini, Cuma kamu, Nar. Dari dulu sampai saat ini. Belum berubah”

Aku masih terdiam, namun kali ini aku beranjak dari tempat dudukku dan berniat untuk meninggalkannya begitu saja.

Radit ikut berdiri dan kini dia memelukku dari belakang, sambil terisak mengucapkan sesuatu “Jangan tinggalin aku, Nar.. Menikahlah denganku Sinar..”

Aku terdiam dan melepaskan pelukannya, aku membalikkan badan, menatapnya dengan erat.

“Raditya, aku gak bisa nikah sama kamu. Kamu harus menikah dengan Dini” ucapku.

“Kenapa, Nar? Karena Dini sepupunya Elang? Kamu tau, Elang masih belum mengetahui tentang kita itu semua karena aku mengancam Dini untuk tidak memberi tahu Elang. Kamu mau lihat apa yang terjadi jika aku membongkar hubungan kita ke pacar kamu itu?” ucap Radit dengan nada yang tinggi dan mengancam.

“What? Kamu ngancem Dini? Keterlaluan kamu, Dit! Udah, Dit. Kita sudah cukup lama menyakiti Dini, jangan kamu tambah lagi dengan dia memberi tekanan seperti itu, jangan ditambah lagi dengan ucapan-ucapan yang baru saja kamu utarain ke aku tadi. Cukup, Dit. Dua minggu ini hidupku sudah cukup tenang berjalan tanpa melakukan hubungan rahasia dengan kamu” ucapku dengan nada sedikit marah.

“Hubungan rasahia apa? Dini sudah tau tentang kita. Kamu mau hubungan rahasia kita tidak lagi jadi rahasia, huh? Aku akan bilang ke semua orang termasuk orang tuaku, bahwa wanita yang aku cintai kamu, Nar. Kamu! Dan aku akan meninggalkan Dini untuk menikahi kamu!”

Sontak aku menggampar wajahnya, dia terdiam. Aku menahan air mata saat dia memegang pipi kanannya yang baru saja aku pukul. Dia melihatku dengan tatapan marah, aku menjatuhkan buku yang aku pegang.

Radit menghampiriku, memojokkan tubuhku hingga ke salah satu tembok ruang kelas. Dia marah.

“Kamu berani mukul aku, Nar? Setelah apa yang selama ini kita lakukan?! Kamu fikir kamu bisa lepas dari tanganku begitu saja?!” ucap Radit sambil memegang kedua tanganku dan menciumku secara paksa.

“Lepasin aku! Lepasiiiin!” Aku mencoba berontak dari sengkraman tubuhnya sambil menangis.

Dia melemahkan pegangannya, aku masih terpojok dan wajah Radit hanya 5 senti dari wajahku.

“Lepasin aku, Dit.. biarin aku pergi dari hidup kamu untuk selamanya, Dit. Aku mohon...”ucapku mengiba kepadanya.

“Gak, Nar.. aku mencintai kamu, aku gak akan melepaskan kamu” dia mulai menciumiku dengan paksa lagi, merobek kaos yang kukenakan di bagian leher. Aku menangis, berontak tapi tidak bisa bergerak. Kampusku sudah terlalu sepi, akupun enggan berteriak membiarkan ada yang melihat apa yang sedang kualami saat ini, sampai tetiba Radit terjatuh di depanku, bunyi pukulan keras menimpanya.

“Bangsat! Lo ngapain Sinar?!” suara familiar terdengar, aku terduduk karena shock, badanku lemah.

Ku lihat Ricardo memegang kerah baju Radit, melayangkan tangan kanannya ke wajah Radit. Radit mencoba melawan, pukulan Radit ditangkis oleh Ricardo, mereka berkelahi, penglihatanku mulai samar, kali ini Ricardo yang terjatuh, Radit menyeka darah yang keluar dari mulutnya. Penglihatanku makin kabur, Ricardo berdiri dan mulai menghajar Radit dengan tinjuan-tinjuan tepat di wajahnya. Ada suara langkah mendekat, sepertinya perkelahian mereka mulai mendapat perhatian isi kampus.

Penglihatanku makin samar dan gelap. Aku pingsan.

Bersambung...

- Oleh @ekaotto - http://ekaotto.tumblr.com


Ini Ibukota, Dia Rianda

"Sebentar lagi Anda akan sampai di Stasiun Gambir Jakarta...."


Suara itu membangunkanku dari tidur lelap tanpa mimpi. Pemandangan kota Jakarta menghiasi jendela kaca yang semula menjadi kaleidoskop tercintaku. Mataku masih terlalu blur untuk menikmatinya. Samar. Keluarga mata sedang bersinkronisasi kembali, kembali dengan para syaraf2 manis setelah bangun dari tidurnya yang cukup, untuk kembali bekerja membantuku.


"Mbak, udah mau sampe Gambir," sayup-sayup suara itu hinggap di daun kupingku, menembus sang gendang telinga untuk kemudian dicerna oleh otakku.


Oh, sudah mau sampai Gambir ya. Eh! Kok ada orang di sebelah saya?? Sontak aku pun terkaget-kaget melihat sesosok pria menempati kursi sebelahku. Kursi F gerbong satu.


Si pria gerbong satu yang tersenyum hangat itu, dia duduk manis di sebelahku, sembari menggenggam tas selempang berwarna coklat ladu. Seemed old-fashioned but everlasting. Nice bag. But anyway, kenapa sampai pria ini ada di sebelahku?


"Eh, kamu kenapa disiniii???" Ujarku sedikit bernada tinggi saking shocknya.


"Ini handphonenya Mbak ketinggalan di WC," sambil tersenyum kecil, si pria misterius itu menggenggam smartphone hitam kesayanganku.


Ah, bodoh sekali memang, bahkan telepon selularku saja terlupakan gara-gara lamunanku tentang Rega, si pria pemberi kutukan gerimis itu. Kenapa juga harus tertinggal di kamar kecil tempat kubuang kenangan manis bersama Rega, dan kenapa juga harus sang pria ajaib ini yang menemukannya.


"Makasih yes.. Saya nggak sadar malah kalo handphone saya ketinggalan mas.."


"Padahal coba saya berniat jahat ya, mungkin aja handphone Mbak udah saya jual lagi, lumayan tau Mbak, hari ginii.."


"Untungnya Mas orang baek tapi kan? Haha, kalo nggak baek ngapain balikin handphone saya,"


"Siapa bilang gratis?"


"Lah, jadi bayar?"


"Bayar dong, hari gini nggak ada yg gratis Mbak,"


"Yah masa bayar sih???" ujarku kecewa. Agak-agak takut juga, masa iya dia seperti Mas-mas pembajak kereta api yang waktu itu sempat menimpa kereta api menuju Cirebon. Kalau iya, berarti saya penasaran dengan orang yang salah, damn!


"Mbak, bayarannya saya mau minta Milo kaleng yang ada di meja Mbak, boleh?"


Langsung kuperhatikan meja kecil di hadapanku. Ya, kaleng berwarna hijau itu memang terpampang di sana, tapi aku yakin itu bukan punyaku. Aku tak membeli apapun dari semenjak aku melangkahkan kaki di gerbong ini.


"Bu-bukan punya saya kok, Mas,"


Dia tampak mengacuhkan kata-kataku, sembari asyik mengeluarkan sesuatu dari tasnya, "Nah, ini kembaliannya, Mbak, kelebihan tuh bayarannya."


Pria aneh itu memberikan secarik kertas bergambar mirip dengan sketsa uang kertas Indonesia, hanya gambar pahlawannya diganti dengan sosok perempuan yang sedang terlelap, oh baiklah, itu aku. Mulut terbuka seperti ikan mau dipancing, bahkan ia membubuhkan kawat gigi dan juga tahi lalat di bawah kiri bibirku. Detail!


"Eh, kapan kamu ngegambarnya?"


"Ahaha, saya pernah mimpi ketemu sama orang persis kamu, ketinggalan tiket dan HP, ceroboh dan panikan, dan tukang ngelamun juga. Makanya saya apal banget raut muka kamu kaya apa."


"......."


Hening, aku tak tahu akan berkata apa. Ini cuma sekedar gombal. Mentang-mentang aku orang yang mudah luluh oleh pertanda alam, banyak orang yang memanfaatkan kebodohanku ini. Sejak Rega berlalu, aku tak percaya pertanda, semua itu seperti gombal bagiku.


But, anyway, darimana dia tahu bahwa aku tukang melamun?


"Nih, simpen ya Mbak, jangan ketinggalan tiket sama HP lagi, saya duluan ya, Gambir udah sampe tuh," dan pria misterius itu langsung berlalu bersama postman bag yang ia selempangkan. 


Otakku mulai lambat bekerja. Sepertinya asupan oksigenku kembali tersumbat untuk berjalan ke otak. Hati yang bermain di sini. Aku hanya bisa berdiam diri, speechless dan moveless.
Satu, dua, tiga....


Barulah tiga detik kemudian aku menyadari, pria itu hilang entah kemana dan aku tak sama sekali bertanya namanya, alamatnya, apapun tentangnya, sampai nomor kontaknya. Come on Billy, ini kan bukan jaman urdu yang belum mengenal teknologi handphone, internet, atau telepon. Damn, I've lost my superhero, again.


Kuambil tas selempangku dengan segera. Langsung saja kuarahkan langkahku menuju pintu keluar gerbong satu ini. Sang pria penyelamat di dalamnya sudah raib entah kemana. Otakku pun terlampau terlambat mencernanya. Bodoh, bedon, tolol!


Sempat kuputari daerah sekitar gerbong-gerbong itu, pria berambut terikat berkostum T-Shirt tye dye gambar Beatles, blue jeans dan converse hitam putih. Damn, he's actually gone!! Tak ada penampakan seperti itu di antara orang-orang sebanyak ini.


Where the hell you are???


Sekalinya aku menemukan orang yang bisa menghilangkan sedikit kenanganku tentang Rega, dan aku menyia-nyiakannya begitu saja. Bahkan lebih tepatnya, aku tak tahu sama sekali, siapa dia, darimanakah dia dan akan kemanakah dia. Yang aku punya, hanya kenangan manis tentang kaleidoskop hujan, gerbong satu, dan secarik kertas uang mainan bergambar wajahku.


Kuambil secarik kertas dari kantong jeansku. Kuperhatikan sedikit ilustrasi bodoh uang-uangan hasil iseng ini. Hehe, sial, dia menggambarkan sosok tidurku ini jelek sekali. Bahkan ada cairan-cairan samar yang tampak keluar dari mulutku. Aku kan tak seperti itu. Dia hiperbola!


Ehm, sebentar, di bawah air-air liur menyebalkan yang ia gambarkan itu, terlihat segurat garis, lama-lama kuperhatikan dia membentuk nama. Tanda tangan kah??


Kubaca perlahan sembari duduk di tangga hijau Stasiun Gambir. Ini tanda tangan yang tak terlalu membingungkan, simpel dan sederhana. Pasti aku bisa membacanya. Pasti.


Ri, ri.... Rinda, rindu, rendi, ronda, rendra, ..... Oh, bukan. Rianda. Ya, nama pria misterius di gerbong satu itu adalah Rianda.

I think that possibly maybe I'm falling for you
Yes there's a chance that I've fallen quite hard over you.
- Landon Pigg - Falling In Love at The Coffee Shop

-bersambung-




~ (oleh heykandela)

Secangkir Kopi, Secangkir Coklat, Satu Cinta; Takdir - part 2

Tanpa mempedulikan badannya yang menggigil, dan kulit di ujung jarinya yang mulai keriput, Fadil berusaha mengatasi rasa takutnya dengan cara terus menekan dada Adil. Dia tak mempedulikan hawa dingin yang merasuknya lagi.

"Demi segala dewa di Bumi, Surga dan Neraka… Masak iya harus CPR dari mulut ke mulut? Iew!"

Fadil mempertimbangkan opsi yang dia punya. Adil bisa mati kalau dia tak segera membuang gengsinya dan memberinya napas buatan dari mulut ke mulut. Dengan kesal, Fadil meninju dada Adil berkali-kali sebelum membungkuk, siap memberikan napas buatan. Dua senti dari wajah Adil, Fadil bisa melihat pori-pori di wajah pucat Adil. Memantapkan niat, Fadil menarik napas panjang. Tangan kanannya yang menekan kedua pipi Adil agak bergetar, lalu...

Semburan air danau membasahi wajah Fadil, membuatnya kaget dan tersentak ke belakang. Adil terbatuk hebat sambil memuntahkan air danau yang dia telan saat tenggelam tadi. Fadil sangat lega. Dia mengusap wajahnya yang basah terkena semburan air danau sambil tertawa dan memaki di saat yang sama. Adil terus terbatuk-batuk sambil memuntahkan air danau selama beberapa saat. Perlahan, wajahnya yang pucat tak berdarah kembali menunjukkan warna kehidupan.

"Dingin…" Dari semua kosakata yang ada di dunia, si bego nekat yang baru saja tenggelam memilih kata "dingin" sebagai kata pertamanya setelah diselamatkan dari maut dan siuman dari pingsannya. Plus semburan air ke wajah. Sangat brilian, rutuk Fadil dalam hati.

"Yaiyalah, dingin! Kalo mau panas seharusnya lo mendarat di cerobong asap! Barengan sama Sinterklas!"

Adil nyengir terpaksa. Badannya menggigil hebat. Fadil menyambar jaket dan shawlnya, lalu memakaikannya ke badan Adil. Sorot mata Adil memancarkan rasa terima kasih. Tapi Fadil masih sangat jengkel. Adil memang punya kebiasaan jelek: mencelakakan dirinya sendiri, atas nama adrenalin dan keimpulsifan yang bodoh. Berkali-kali juga Fadil terlibat dalam situasi sulit dan harus melibatkan dirinya untuk menyelamatkan Adil dari kesulitan.


Bahkan Fadil pernah berurusan dengan polisi karena membela Adil yang ketahuan ngebut dengan kecepatan 200km/jam. Waktu dikejar polisi, Adil bukannya berhenti tapi malah menginjak gas lebih dalam lagi. Akibatnya, terjadi scene pengejaran di jalan tol yang berlangsung hampir setengah jam. Semuanya atas nama kesenangan sesaat. Setelah tertangkap, dengan entengnya Adil menelepon Fadil untuk meminta bantuan.

"Adrenaline rush itu sangat menyenangkan, Dil. Lo harus coba sekali-kali. Tapi jangan pake mobil gue. Lo pake Fiat lama aja, yang kecepatannya 50 km per jam. Gue gak mau lo kena serangan jantung kalo ngebut di atas seratus kilo per jam."

Fadil tak mau beradu urat leher dengan Adil saat itu. Tapi dia mengancam, ini kali terakhir dia membantu Adil keluar dari kesulitan yang Adil timbulkan sendiri. Sekali lagi kena kasus, silakan urus sendiri. Bukannya merasa tersudut dan menyesal, Adil malah tertawa. Seakan-akan dia tau, Fadil nggak mungkin berdiam diri kalau dia sedang terlibat kesulitan. Dan Adil benar. Ancaman Fadil adalah ancaman kosong. Setelah kasus ngebut dan kejar-kejaran di jalan tol, entah berapa kali Fadil sudah menolong Adil. Semuanya selalu diakhiri dengan omelan. Seperti biasa, Adil cuma tertawa dan mengucapkan terima kasih, lalu menghujaninya dengan hadiah.

"Mau ngejelasin kenapa lo milih mendarat di danau? Atas nama adrenalin, atau elo emang bego?"

"Sabar, Kakek Fadil. Saya masih kedinginan. Ngomelnya di rumah aja, ya?"

Fadil mendengus. Entah kapan Adil akan mulai belajar bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Dengan sedikit kasar, dia membantu Adil berdiri dan membawanya ke mobil. Sesi merenung dan menikmati alam sore ini harus diakhiri lebih cepat.

Untunglah mobil Fadil berpemanas udara. Walau begitu, keduanya masih menggigil hebat. Adil mengulurkan kedua tangannya ke arah heater. Bibirnya masih agak biru.

"Gue harus belajar mengendalikan parasut lagi… Mendarat di danau yang hampir beku itu gak enak banget. Untung ada elo. Thanks ya!"

"Yap. Itu kabar yang sangat menyenangkan, Dil. Belajar mengendalikan parasut secara baik dan benar. Tolong ingetin gue supaya nggak deket-deket elo kalo lo merencanakan untuk bunuh diri dengan cara ekstrim kayak tadi." Tukas Fadil kasar.

Adil tertawa. "Dan lo harus belajar let loose. Tadi beneran kecelakaan. Gue gak seidiot itu kok milih terjun ke tengah danau. Thanks for saving my life."

"Padahal gue mengharapkan sore yang tenang, tanpa harus ada adegan penyelamatan heboh kayak di film action. Rupanya gue cuma bermimpi dan mengharap yang gak mungkin." Fadil masih ngomel. Sesekali dia menggigil. Adil masih menggosok-gosokkan kedua tangannya untuk memperoleh kehangatan.

"Bukannya hari ini ada meeting, Dil? Kenapa malah main parasut?"

"Meetingnya ditunda. Gue mau ketemu calon bini…"

Fadil mengernyitkan keningnya. Heran.

"Calon bini? Lo mau ketemu calon bini di mana? Di langit Melbourne? Itu alasan elo terjun payung? Siapa calon bini lo? Burung elang?"

"Sebagai asisten pribadi gue, bukannya semua jadwal gue lo yang urus, wahai Tuan Fadil Adeyi yang terhormat?"

"Masalahnya Anda sering membatalkan jadwal pertemuan pada detik-detik terakhir, Tuan Adil yang tidak terhormat. Gimana caranya gue bisa mengsinkronkan kegiatan lo dan semua meeting elo kalo hobi lo adalah mengacaukan segalanya? Bapak sering ngomel tau, gak."

Adil bersandar dan memeluk kedua lututnya. Masih sedikit gemetar. Tapi dia sudah bisa cengar cengir.

"Katakanlah gue gak mau hidup gue berjalan stagnan dan begitu-begitu aja. Gak seperti hidup lo…"

"I like my life very well, thank you. Lo belum jawab pertanyaan gue. Siapa calon istri lo?"

Mobil Fadil meluncur mulus, menerbangkan dedaunan coklat dan jingga. Barisan pepohonan di kanan kiri mereka tampak berjalan mundur seiring laju mobil. Adil menyunggingkan senyum. Matanya menerawang keluar jendela, menyaksikan pohon dan jalanan yang menghilang dengan cepat. Heater di dalam mobil membuat suhu badannya berangsur kembali normal. Dia tak lagi menggigil. Memikirkan wanitanya, membuat hati Adil tambah hangat. Saking hangatnya, dia merasa tak butuh heater mobil untuk menghangatkan badan. Kembali, Adil tersenyum. Cinta itu hangat, sekaligus indah. Dari ujung matanya, Adil tau Fadil masih menunggu jawaban. Wajahnya tertekuk. Nampaknya masih tak rela menolong Adil dari maut di tengah danau. Adil kembali tersenyum saat dia melihat bayangan wanita yang dia cintai di pelupuk matanya, lalu terproyeksikan di kaca mobil. 

"Dia wanita tercantik di dunia."

Fadil merasa heran. Sebenarnya, dia sudah merasa heran sejak Adil menyebutkan kata-kata "calon bini." Berarti luka lama yang Adil derita sudah sembuh?  "Wah, gue nggak pernah sangka akan mendengarkan elo memuji perempuan lagi, Dil. Setelah…"

"Jangan bahas itu!"

Suara Adil terdengar tajam. Fadil segera paham dan tak meneruskan kalimatnya tadi.

"Jadi, siapa wanita yang berhasil menarik perhatian lo?"

"Tunggu undangan pernikahan gue dan dia aja, ya."

"Hei! Kayaknya gue berhak tau siapa wanita ini setelah gue berulang kali menyelamatkan nyawa elo, deh!" Rasa penasaran dan rasa heran berlomba menggulung Fadil. 

Adil hanya tertawa, tapi tetap tak bersedia menjawab. Fadil masih tak mau menyerah. Rasa penasarannya kini  membuncah sudah.

"Okay. Kalo lo gak mau kasih tau, gue akan tanya sama Bapak, atau Ibu, atau Amara. Mereka pasti tau. Kalaupun nggak tau, lo yang akan kasih tau mereka."

"Gue belum pernah ketemu orangnya, kok. Serius. Baru liat fotonya aja. Tapi gue langsung ngerasa, she's the one."

Fadil terdiam sesaat. Ada yang gak beres dengan Adil. Apa air danau yang dingin tadi sudah membuat otaknya bekerja terbalik? Sejak kapan Adil bisa jatuh cinta dengan wanita yang belum pernah dia temui? Beberapa tahun terakhir, Fadil sudah berusaha mengenalkan Adil dengan beberapa perempuan yang highly qualified. Semuanya gagal dengan sukses. Sekarang Adil bilang dia jatuh cinta pada selembar foto? Gak mungkin.

"Sedikit saran. Sebelum lo memutuskan untuk mengikuti saraf impulsif elo, mendingan lo selidiki dulu, siapa perempuan ini. Apa latar belakangnya. Jangan sembarangan. Kalau dia memang jodoh lo, bagus. Tapi kalau dia cuma pengin harta lo…"

"Hahaha! Lama-lama lo makin mirip nyokap gue, tau gak! Tenang aja. Cewek ini bukan tipe pemangsa uang kok."

"Lo tau dari mana? Ketemu aja belum."

"Karena naluri gue bilang gitu."

"Naluri lo juga bilang ke elo untuk mendarat di tengah danau."

"Hei, itu bukan naluri. Itu kecelakaan!"

"Itu dia maksud gue. Lo gak bisa selalu mengandalkan naluri. Gunakan otak lo juga."

"Cinta tak butuh logika, Dil. Dan cinta tak pernah memilih."

"Pilihan itu selalu ada."

"Silakan ngomong gitu kalo lo suatu saat jatuh cinta sama cewek. Eh, lo masih doyan sama cewek, kan?"

Adil tergelak atas leluconnya sendiri. Tawanya tiba-tiba terhenti dan dia mengaduh kesakitan saat bahunya ditonjok Fadil.

"Harusnya gue yang tanya, apakah seorang Adil masih straight?"

Mereka tertawa bareng. Mobil berbelok, memasuki pekarangan rumah yang luas. Adil tak menunggu sampai mobil benar-benar berhenti. Dia segera meloncat keluar, dan berlari masuk ke dalam rumah. Fadil masih ngedumel. Dan penasaran. Dia tak membuang waktu untuk memasukkan mobil ke dalam garasi. Adil harus menjawab rasa kepenasarannya, sekarang juga!

Pintu kamar Adil terbuka, dan Fadil masuk dengan tampang jengkel. Di atas kasur, Adil sudah berbaring. Fadil mengernyitkan keningnya.
"Lo bukan cuma manusia paling impulsif yang pernah ada, tapi juga yang paling jorok, Dil. Mandi! Ganti baju!!"

Sebelah alis Adil terangkat.

"Sebelum ngomongin orang, lo harus liat keadaan lo dulu, wahai Tuan Tukang Perintah! Baju lo sendiri aja masih basah gitu mau ngomongin orang. Itu namanya dobel standar. Ngurusin dan nyuruh-nyuruh orang, tapi nggak melihat keadaan diri sendiri."

"Gue nagih janji. Penasaran. Setengah mati! Mana foto cewek idaman lo?!"

"Haha! Sorry, tapi gue akan simpan rahasia kecil ini, sampai waktu yang tepat."

Fadil tambah jengkel. Dia menarik satu kursi dan duduk di samping tempat tidur.
"Gue jadi nyesel nyelamatin elo dari danau tadi…"

"Lo selalu menyesal waktu menyelamatkan gue saat gue kecelakaan di Perth, ditilang polisi ribuan kali, hampir mati kehabisan darah waktu jatuh dari panjat tebing, daftarnya bisa sampai besok. Dil, gue kasih satu kalimat sakti ya? Penyesalan nggak pernah berguna. Penyesalan nggak akan membuat lo kaya. Okay?"

"Okay. Whatever your ass suits you, lah! Satu hal kecil yang ganggu gue: Gue kok gak percaya kalau cewek yang lo omongin dari tadi adalah tokoh nyata, Dil. Lo yakin kalau lo nggak sedang berhalusinasi, kan?"

Adil ngakak. Dia bangun dari tempat tidur, membuka bajunya yang basah, melepas celana dengan cuek seakan-akan Fadil tak ada di situ. Fadil langsung protes.

"Hei! Sepanjang ingatan gue, gue nggak masuk kamar ini untuk ngeliat pertunjukan striptease. Apalagi striptease yang dilakukan cowok. Sorry, man. Gue gak berminat liat lo pamer body!"

"Ya terserah lo. Gue kan nggak suruh lo masuk kamar ini. Ow, reverse psychology lo nggak akan mempan. Tapi gue bisa bilang begini: cewek yang gue ceritain emang beneran ada. Tenang aja, wahai Tuan Fadil Yang Hobinya Kepo dan Rese, gue punya feeling lo akan ketemu cewek ini lebih cepat dari yang lo duga. Sekarang keluar dari kamar ini. Kecuali lo punya hobi baru. Liat cowok telanjang. Hahaha!"

Fadil keluar dari kamar itu sambil ngedumel karena belum puas sama jawaban Adil. Pintu terbanting keras, Adil menghela napas. Lalu mengambil kimono, memakainya, dan menekan tombol proyektor yang terletak di samping mejanya. Satu gambar terpampang di langit-langit kamarnya. Gambar yang sudah membuatnya tidur dengan nyenyak selama seminggu terakhir. Adil menatap foto Dara yang sedang tersenyum manis dengan wajah penuh damba. Kemudian tangannya meraih remote dan menekan tombol play. Intro lagu yang mewakili perasaannya dengan pas segera mengalun. Adil masuk ke kamar mandi sambil menyenandungkan lagu I Knew I loved You nya Savage Garden. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya saat dia bersenandung mengikuti suara indah Darren Hayes.

I knew I loved you before I met you, I think I dreamed you into life
I knew I loved you before I met you, I have been waiting all my life

There's just no rhyme or reason. Only the sense of completion
And in your eyes, I see the missing pieces I'm searching for
I think I've found my way home
I know that it might sound more than a little crazy but I believe...

I knew I loved you before I met you, I think I dreamed you into life
I knew I loved you before I met you, I have been waiting all my life…

A thousand angels dance around you
I am complete now that I've found you

I knew I loved you before I met you…..
………………………………………………………………………………………………………………..




~ (oleh @aMrazing)