Tentang 30 Hari Cerita Cinta

Showing posts with label Deo Volente. Show all posts
Showing posts with label Deo Volente. Show all posts

17 September 2011

Deo Volente, #5

KESALAHAN terbesar Penginapan Kaganga, pikir Ralawa, adalah gayung jingga berbentuk hati di kamar mandinya. Setiap kali masuk kamar mandi, dia tidak bisa menghindar untuk tidak mengingat perempuan terakhir yang gagal dia nikahi—yang kemudian menghidupkan kembali semua mantan kekasihnya yang juga gagal dia nikahi. Di kamar mandi Hanawa, mantan kekasih terakhirnya itu, ada gayung yang sama dengan di kamar mandi Penginapan Kaganga.

Dengan gagangnya yang pendek, gayung jingga itu punya kemampuan magis untuk menimba peristiwa-peristiwa dari perigi masa silam. Di hadapan gayung itu, tidak ada sumur yang terlalu dalam untuk kenangan. Kenangan seperti permukaan air yang selalu menyentuh bibir sumur, selalu siap ditimba kemudian membasahi pikiran Ralawa. Kenangan selalu punya cara yang misterius untuk memperbaharui diri.

Ralawa berpikir, dia sudah mengamankan seluruh kenangan ke dalam kotak terkunci dan hilang entah di mana. Dia seringkali membayangkan hidup seperti kecelakaan pesawat. Kenangan-kenangan buruk adalah rekaman di kotak hitam yang jatuh ke dasar laut dan tak pernah ditemukan lagi. Rupanya tidak demikian adanya. Ke manapun Ralawa pergi dia selalu dihadang tembok yang bisa mempertebal dan memperkokoh diri. Kenangan adalah tembok yang tumbuh.

Nyancaya pernah menjelaskan kepada Ralawa bahwa Orang Bugis hidup berjalan menuju masa lalu dan memunggungi masa depan mereka. Dalam kehidupan sehari-hari Orang Bugis, konsep ruang dan waktu terjelaskan lewat pengggunaan kata yang sama tetapi maknanya bertolak belakang.

Kata riolo, misalnya, berarti 'di depan' jika digunakan untuk menjelaskan ruang. Namun kata tersebut berarti 'dulu' atau 'masa lalu' jika digunakan dalam konsep waktu. Begitu pula dengan 'ribunri', ketika merujuk pada konsep waktu, kata itu berarti 'nanti' atau 'masa depan', tetapi ketika menjadi keterangan tempat, kata itu berarti 'di belakang'.

Nyancaya memperoleh penjelasan itu dari Kaganga. Begitulah Kaganga. Jika meminta sesuatu kepada anak-anaknya, dia tidak akan menyampaikan maksudnya secara langsung.

"Jangan terlalu banyak memberi kesempatan tubuhmu tumbuh menjadi sarang kenangan buruk. Orang Bugis itu berhadap-hadapan dengan masa lalunya sepanjang hidup."

Nyancaya tidak paham maksud ayahnya. Kadangkala Nyancaya menganggap ayahnya suka merumit-rumitkan sesuatu. Namun di kala lain, dia menganggap ayahnya guru yang sungguh cerdas, mampu melihat bahwa setiap orang punya akal yang bisa digunakan untuk berpikir. Tidak bijak langsung meminta seorang anak semata menghafal sesuatu.

"Sekolah adalah ladang tempat biji-biji kenangan buruk banyak ditebarkan," kata Kaganga kepada Nyancaya.

Nyancaya tahu  maksud ayahnya ketika mendengar dari balik biliknya Kaganga bicara kepada istrinya.

"Jangan sampai ada seorangpun dari keluarga kita yang makan atau memberi makan dari hasil menjual tanah. Tanah itu tidak untuk diperjualbelikan. Tidak seorangpun manusia di muka bumi ini yang pandai membuat tanah. Tanah itu berbeda dengan meja. Manusia bisa membuat meja, tetapi tanah tidak."

"Tetapi kita akan memberi makan apa tamu-tamu yang datang di pesta pernikahan Nyancaya nanti?"

"Kita harus menyediakan makanan banyak jika kita mengatakan pernikahan sebagai pesta. Pernikahan bukan pesta. Kita beri makan dengan apa yang kita punya. Jangan mengikuti kebiasaan buruk orang lain menjadikan pernikahan anak mereka sebagai pesta untuk mengumumkan berapa jumlah hutang mereka. Kita tidak boleh berhutang sepeserpun karena pernikahan Nyancaya. Menjual tanah berarti berhutang kepada anak-cucu kita dan orang lain. Juga Tuhan. Itu hutang besar yang tidak akan mampu kita bayar bahkan dengan nyawa dan tubuh kita."

Nanrajaca tidak sepenuhnya paham maksud suaminya. Dia tidak paham kenapa orang tidak boleh menjual tanah. Dia tunduk sambil memainkan jari-jarinya. Dari kamarnya, Nyancaya mendengar pembicaraan itu.

"Dadaku dan jari-jarimu itu juga terbuat dari tanah. Kita tidak akan menjual sepotong tubuh kita ini untuk memberi makan tamu-tamu. Sekarang yang lebih penting adalah kamu bujuk Nyancaya agar dia mau menikah dengan Mampatada. Kita harus memberi tahu anak-anak bahwa keluarga adalah sekolah. Menikah itu bukan sekadar mendaftar menjadi siswa sebuah sekolah. Lebih dari itu, menikah adalah membangun sekolah."

*

NYANCAYA menikah dengan Mampatada di usianya yang masih sangat belia. Enambelas tahun. Mampatada empat tahun lebih tua. Pada usia enambelas, seorang gadis sudah cukup matang untuk menikah, menurut Kaganga. Dia menikahi Nanracaja ketika perempuan itu  masih berusia empatbelas tahun. Dua tahun lebih muda dibanding usia Nyancaya ketika dilamar Mampatada. Ralawa tidak pernah membayangkan dirinya menikahi perempuan berusia belasan tahun, seperti nenek atau ibunya ketika menikah. Perempuan-perempuan zaman Ralawa, di usia seperti itu, apalagi mereka yang lahir dan tinggal di kota bahkan belum mampu mengurusi celana dalamnya sendiri.  

Kaganga tidak ingin menolak ketika seorang temannya datang melamar anaknya. Bagi Kaganga, pernikahan adalah anugerah. Seharusnya tidak dipersulit dan ditunda ketika sudah datang. Dia selalu mengenang masa-masa pelariannya. Penyebab utama Kaganga meninggalkan lingkungan istana adalah pernikahan.

Sebelum menikah dengan Nanracaja, Kaganga pernah menikah dengan dua perempuan. Istri pertama Kaganga adalah sepupunya sendiri. Pernikahan mereka harus mengikuti begitu banyak aturan kerajaan. Kaganga tidak suka. Tidak cukup setahun setelah menikah, mereka bercerai.

Pernikahan kedua Kaganga jauh lebih rumit. Istri keduanya juga seorang perempuan dari kalangan istana. Dia menikahi salah seorang putri dari kerajaan tetangga. Lima tahun setelah menikah, istrinya tidak juga hamil. Kaganga mendengar keluarga istrinya menggunjingkannya sebagai pria lemah. Dia amat benci hal tersebut. Dia bersepakat dengan istri keduanya bercerai demi menghindari konflik yang lebih parah antara dua keluarga besar mereka. Pernikahan selalu berarti pernikahan dua keluarga, begitu juga dengan perceraian berarti perceraian dua keluarga. Itulah yang terjadi dengan keluarga Kaganga dan keluarga mantan istrinya.

Kaganga dan Nanracaja saling jatuh cinta. Nanracaja adalah anak budak di keluarga Kaganga. Cinta mereka ditentang seluruh keluarga. Itulah yang menyebabkan Kaganga dan Nanracaja memutuskan pergi meninggalkan kerajaan, sebelum keluarganya bertindak nekat mengusir atau membunuh Nanracaja. Pelarian itu juga berarti bahwa Kaganga dengan sendirinya menanggalkan gelar kebangsawanannya. Oleh keluarganya, Kaganga bahkan sudah dianggap tidak lebih sebagai seorang budak juga.

Seorang dari kalangan istana yang menikahi budak dianggap telah mencemari darah keluarga. Hal itu sebuah aib besar bagi keluarga Kaganga. Pihak keluarga sepakat memutuskan menghapus nama Kaganga dari silsilah.

"Kamu tidak akan pernah menemukan nama Kaganga di silsilah manapun, kecuali di silsilah keluarga kita. Kakekmu itu seperti orang pertama di bumi. Dia memulai sebuah keluarga baru. Dia seperti tidak lahir dari rahim manapun di dunia," kata Nyancaya dalam suratnya kepada Ralawa suatu waktu.

Kaganga menerima hukuman Dipaoppangi Tanah. Dia dianggap hilang tertanam di balik tanah, sudah dikubur. Kaganga telah ditelan bumi. Ralawa pernah berniat mencari asal-usul kakeknya, namun dia tidak menemukan satupun petunjuk untuk itu. Dia barangkali bisa menemukannya jika serius mencarinya, tetapi dia berpikir untuk apa melakukannya. Dia bahkan tidak mampu menemukan di mana ayahnya berada setelah pergi meninggalkan rumah.

Setahun setelah tinggal di Ammessangeng, anak pertama Kaganga lahir, Ngkapaba. Meskipun tidak ada keluarga yang telah dia tinggalkan tahu, dia senang telah membuktikan, minimal kepada dirinya sendiri, bahwa dia bukanlah pria lemah yang tidak mampu membuat istrinya hamil seperti anggapan banyak orang.

Sejak pelariannya dari rumah, Kaganga bersumpah ingin menghapuskan kebangsawanan dari muka bumi—setidaknya membersihkannya dari anak-cucunya. Dia menganggap bahwa salah satu biang ketidakadilan di muka bumi ini adalah gelar-gelar kebangsawanan. 

Kebenciannya kepada kebangsawanan dan ketidaktegaannya menolaklah yang menyebabkan Kaganga langsung menerima lamaran untuk anaknya. Mampatada juga keturunan budak. Ayahnya berhasil membeli dirinya sendiri sehingga Mampatada tidak perlu ikut menjadi budak.

"Bangsa terbaik di dunia ini lahir dari rahim budak."

Begitu selalu kata Kaganga kepada kedua anaknya, Ngkapaba dan Nyancaya.

*
BUTUH waktu setahun setelah menikah, sebelum akhirnya Nyancaya bersedia tidur dengan Mampatada dan menikmati malam pertama mereka. Setiap kali menceritakan kisah pernikahan Nyancaya kepada Ralawa, Nanracaja selalu membandingkannya dengan kisah pernikahan Sawerigading dengan We Cudai dalam epos besar bangsa Bugis, I Lagaligo. Ralawa senang meminta Nanracaja mengulang kisah Sawerigading dan We Cudai agar dia bisa mendengar kembali kisah ibu-bapaknya. Tetapi selalu ada yang tidak diketahui Ralawa perihal ibunya. Selalu.

Nyancaya meninggalkan Kampiri dengan harapan Mampatada mau menceraikannya. Tengah malam, beberapa jam setelah dia menikah dengan Mampatada, dia berjalan kaki sejauh limabelas kilometer ke ibukota kecamatan. Di sana dia menunggu bus yang akan menuju ke Makassar.

Selama setahun, Nyancaya bekerja sebagai pembantu di Makassar, di sebuah keluarga Tionghoa. Dengan tekun dan tidak pernah mengeluh, dia mengerjakan dengan baik semua pekerjaan rumah yang diperintahkan majikannya. Dia bekerja di sebuah keluarga yang baru memiliki seorang bayi. Selain memasak, membersihkan rumah, dan mengurusi anak majikannya, Nyancaya juga sesekali harus menggantikan majikannya menjaga toko.

Majikannya baik hati. Sangat baik hati. Nyancaya sering mendengar cerita-cerita mengenai kekejaman Orang Tionghoa dari teman-temannya sesama pembantu. Tetapi keluarga yang dia tempati bekerja memiliki sifat yang bertolak belakang dengan semua cerita yang pernah dia dengar. Majikannya tidak banyak bicara.

Salah satu hal yang disukai Nyancaya di rumah majikannya adalah perpustakaan kecilnya. Majikannya seorang kutu buku. Dia utamanya senang sekali membaca buku-buku puisi. Separuh koleski perpustakaan keluarga majikannya adalah buku-buku puisi. Nyancaya diperbolehkan meminjam buku-buku dari perpustakaan itu untuk dia baca ketika tidak ada pekerjaan. Nyancaya senang sekali bisa mengisi waktu-waktu rehat kerjanya dengan membaca buku-buku puisi milik majikannya.

Nyancaya hanya tamat Sekolah Menengah Ekonomi Pertama, sekolah lanjutan pertama. Dia tidak bisa melanjutkan sekolahnya ke tingkat lebih tinggi karena pernikahan dengan Mampatada. Meskipun begitu, Nyancaya senang sekali membaca buku-buku puisi. Dia tidak paham apa maksud kebanyakan puisi yang dia baca. Dia menyukai ketidakpahamannya sendiri. Dia merasa dibebaskan untuk menciptakan makna sendiri. Dia seperti diberi kemerdekaan menemukan hal-hal yang dia inginkan dari baris-baris puisi.

Istri majikannya juga seorang yang baik hati, meskipun sering tiba-tiba rewel ketika datang bulan. Nyancaya memahami kondisi semacam itu sebab dia juga perempuan. Suasana hatinya kadangkala juga tiba-tiba menjadi tidak karuan ketika menerima tamu bulannya.

Pada bulan keempat dia bekerja di keluarga itu, istri majikannya meninggal. Selama dua minggu dia terkapar di rumah sakit. Dia tidak pernah tahu penyakit apa yang menyebabkan istri majikannya meninggal. Nyancaya hanya tahu bahwa sejak perempuan itu masuk rumah sakit dialah yang sepenuhnya harus merawat anak majikannya.

Pada suatu malam di akhir tahun, beberapa malam sebelum peryaan tahun baru, bulan keduabelas Nyancaya bekerja, majikannya tiba-tiba saja melamar. Dia menginginkan Nyancaya menjadi istrinya. Nyancaya kaget. Dia tidak pernah membayangkan sebelumnya hal semacam itu akan menimpa dirinya. Dia tidak pernah menceritakan kepada majikannya bahwa dia sudah menikah.

Nyancaya tidak pernah menduga majikannya akan jatuh cinta kepadanya. Sesungguhnya, diam-diam Nyancaya menyimpan perasaan yang sama. Dia seringkali membayangkan lelaki yang menikahinya adalah majikannya sehingga dia tidak perlu lari dari rumah. 

Nyancaya tidak ingin menyakiti hati majikannya yang baik hati, yang diam-diam dia puja. Dia juga tidak tega menambah sakit hati ayahnya. Dia menangis di depan majikannya malam itu. Majikannya mengulang permintaannya sekali lagi. Diam tidak mampu menjawab. Entah apa yang mendorong Nyancaya untuk mencondongkan badannya ke depan dan memeluk majikannya. Dia meletakkan dagunya yang basah di bahu kiri majikannya.

"Besok saya mau pulang ke kampung," kata Nyancaya sambil tetap melingkarkan dua lengannya di tubuh majikannya.

"Untuk apa? Meminta izin ayahmu? Bagaimana kalau saya sekalian ikut dan mengatakan niatku kepada ayahmu?" tanya majikannya sambil melonggarkan rengkuhan Nyancaya agar dia bisa memegang kedua pipinya.

Lelaki itu mencium kening Nyancaya beberapa lama. Nyancaya tidak punya kekuatan menolaknya. Dia membiarkan majikannya mencium kening kemudian bibirnya.

"Tidak. Biarlah saya sendiri," kata Nyancaya sambil menghapus airmatanya.

Malam itu Nyancaya tidur di ranjang majikannya. Mereka berpelukan sampai pagi. Dia tidak bisa memejamkan mata karena terus memikirkan Mampatada di sela dengkuran halus majikannya dan anaknya.

"Bisakah kamu menunda kepulanganmu?" tanya majikannya ketika bangun.

Nyancaya diam saja dan bergegas ke kamarnya mengepak barang-barangnya. Nyancaya ke terminal diantar majikannya. Di mobil menuju terminal, Nyancaya tidak pernah bicara sekatapun.

"Maaf…"

Hanya kata itu yang diucapkan Nyancaya ketika tiba di terminal. Nyancaya mencium tangan majikannya sesaat sebelum berpisah. Itulah hari terakhir dia bertemu dengan majikannya. Bersama semua gajinya selama bekerja dan oleh-oleh dari majikannya, Nyancaya pulang kampung.

Ketika tiba di Kampiri, dia mendapati Mampatada, suaminya, sedang berbincang dengan Kaganga di beranda. Kedua lelaki itu tidak pernah bertanya kenapa Nyancaya akhirnya mau pulang. Tidak seorangpun tahu, kecuali dirinya, kenapa dia akhirnya memutuskan pulang dan menerima dirinya sebagai istri Mampatada, lelaki yang sabar menunggunya di rumah. Tidak ada yang tahu perasaan seperti apa yang dia bawa pulang dari Makassar.

(bersambung)


~ (oleh @hurufkecil)

16 September 2011

Deo Volente, #4

ANTHONIA Arisa Muller van de Loosdrecht. Itu nama lengkap nenek Alida, anak bungsu Anton dan Ida van de Loosdrecht. Dia lahir enam bulan setelah ayahnya meninggal. Untuk mengenang ayahnya, dia diberi nama seperti nama ayahnya. Tetapi dia perempuan, maka dia bernama Anthonia. Alida, nama ini sesungguhnya juga diambil dari nama istri Anton, lebih suka memanggil neneknya dengan Arisa. Dari Arisa, Alida banyak mendengar cerita perihal Anton dan Ida selama tinggal di Toraja.

Sebulan menjelang Arisa meninggal, Alida berjanji ingin menulis sebuah novel tentang kisah cinta Anton dan Ida. “Hidup itu sangat singkat jika kamu bandingkan dengan kematian, apalagi jika kamu bandingkan dengan cinta,” kata Arisa selalu kepadanya. Kalimat itulah yang membuat Arisa membongkar lemari tempat penyimpanan surat-surat tua di rumah neneknya, juga arsip-arsip perpustakaan di Leiden. Kalimat itu pula yang membuat Alida berangkat ke Toraja beberapa kali. Dia ingin menulis novel tentang Anton dan Ida, sepasang suami-istri yang selalu dia dengar jadi perbincangan di rumahnya sejak dia masih bayi.

Kisah Anton dan Ida berawal pada suatu siang pertengahan tahun 1913. Hari itu Ida diajak seorang temannya menghadiri kuliah yang akan dibawakan seorang lulusan baru Sekolah Misi di Rotterdam. Ida dan temannya duduk di bangku barisan pertama. Dia terpikat kepada pemuda yang jadi pembicara di kuliah itu. Pandai sekali berpidato. Pemuda itu menceritakan kepada semua orang yang berada di ruangan itu tentang sebuah Misi baru di Toraja, sebuah daerah di Sulawesi.

Ida jatuh cinta. Dia, entah kenapa, begitu yakin telah bertemu jodohnya hari itu.

Melalui bantuan temannya, Ida berkenalan dengan Anton. Setelah melewati masa pacaran yang singkat, mereka menikah 7 Agustus 1913. Ida berusia 22 tahun ketika itu. Mereka berangkat ke Hindia Belanda 5 September. Waktu yang tidak cukup sebulan itu digunakan Ida untuk kursus di sebuah rumah sakit besar di Rotterdam, yang khusus membina misionaris perempuan.

Dengan modal pengetahuan tentang persalinan dan sedikit tentang penyakit-penyakit daerah tropis, Ida mengikuti suaminya menjadi misionaris pertama ke Toraja.

*

MASA ketika Anton dan Alida berada di Toraja adalah masa ketika pergolakan antara kompeni Belanda dan kerajaan di Hindia Belanda, termasuk kerajaan-kerajaan di Sulawesi. Meskipun singkat, hanya beberapa tahun sebab Anton meninggal tahun 1917, kisah-kisah mereka di ladang misi, bagi Alida, bisa menjadi cerita yang luar biasa.

Selain melalui surat-surat yang rutin dikirim Anton kepada Gereformeerde Zendingsbond, yang dimuat di Alle den Volcke, Arisa mencari tahu lebih detil kisah mereka dari Arisa—juga melalui arsip-arsip tua di perpustakaan KITLV. Perpustakaan ini menyimpan begitu banyak hal tentang Indonesia. Di sanalah, di perpustakaan itu, suatu hari di bulan September 2007 Alida bertemu pertama kali dengan seorang lelaki yang kemudian menjadi suaminya.

Alida tidak pernah menyangka sebelumnya, dan perangai cinta memang susah ditebak, dia dan lelaki itu kemudian menemukan banyak kejutan sejak hari itu. Dua orang  dari dua tempat yang terpisah begitu jauh bisa dipertemukan melalui sebuah kisah di majalah tua Alle den Volcke.

Di Toraja, di gereja pertama yang dibangun sejak kedatangan Anton dan Ida di sana, mereka menikah—setelah sebelumnya mereka menikah juga di masjid pertama yang dibangun oleh kakek suaminya.
- Hide quoted text -

*

SEHARI setelah bertemu dengan Ralawa, Alida datang lebih awal di perpustakaan KITLV. Dia membaca Alle den Volcke, Volume 8, 1914, yang sehari sebelumnya dibaca Ralawa. Di edisi itu, Anton menulis banyak hal tentang kondisi masyarakat Toraja ketika dia dan istrinya berada di sana.

Ijinkan saya memberitahukan kepada paa pembaca tentang sejarah terakhir orang-orang Toraja di ladang misi kami. Peristiwa-peristiwa ini, yang terjadi pada tahun-tahun lalu di Sulawesi bagian tengah, sangat penting perannya untuk memahami tahap perkembangan ladang kerja kami dengan baik.

Ada banyak kerajaan dan suku kecil, beberapa di antaranya dipimpin oleh seorang raja, sedangkan yang lainnya tidak. Para penguasa ini sebagian besar adalah tuan tanah atau pangeran-pangeran lainnya. Singkatnya, para penguasa ini terdiri dari campuran berbagai kerajaan dan suku. Pemerintah kita telah mengadakan kesepakatan dengan para kepala suku ini, di sini disebut parengé, terutama yang berkaitan dengan perdagangan. Misalnya, dengan Raja Bone, Luwu, dan Sidenreng. Selama bertahun-tahun kesepakatan-kesepakatan ini dilaksanakan biasa-biasa saja. Kenyataannya kami tidak memiliki kekuasaan apapun di seluruh wilayah Sulawesi Selatan dan tengah yang luasa dan penduduknya melakukan apa saja yang mereka inginkan.

Kondisi seperti ini banyak menimbulkan kerugian dalam perdagangan. Karena itu pemerintah berusaha secara damai membujuk para raja untuk menaati kesepakatan-kesepakatan mereka. Namun keadaan tidak berubah dan keadaan tidak aman terus meningkat. Pajak yang semakin tinggi membuat para parengé semakin banyak menghambat perdagangan. Sementara itu pendapatan dari pajak tidak digunakan untuk kepentingan daerah, tetapi untuk kepentingan sendiri. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Lagi pula arah kebijakan –kebijakan pemerintah di Batavia juga telah berubah. Sistem lama yang berdasarkan prisnsip tanpa campur tangan telah diganti menjadi daerag kekuasaan pemerintah Kepulauan Hindia Belanda.

Di Sulawesi belum ada juga motivasi-motivasi lain yang memacu pemerintah untuk bertindak. Berdasarkan undang-undang, perbudakan telah dihapuskan di wilayah kekuasaan Hindia Belanda dan rsolusi ini telah diterapkan dalam kesepakatan-kesepkatan dengan para parengé. Namun perbudakan masih terjadi di berbagai tempat, sementara pemerintah tutup mata.

Praktik perdagangan budak ini begitu ditoleransi tenpa ada yang mencela karena pejabat pemerintah kita mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bersifat menenangkan. Mereka mengatakan bahwa kondisi perbudakan di Sulawesi Selatan dan di wilayah lainnya tidak begitu buruk, karena pada budak itu dianggap sebagai anggota keluarga dan hanya dijual di tempat-tempat tertentu saja.

Alida terus membaca surat Anton yang banyak berkisah tentang perbudakan di Toraja yang pelaku utamanya adalah orang Bugis. Di surat itu juga, Anton banyak bercerita tentang kepercayaan animisme masyarakat Toraja. Di tenggelam, sambil sesekali menggelengkan kepala, membaca surat tersebut. Dia tidak sadar Ralawa sudah berdiri di dekatnya beberapa menit.

“Maaf, apakah anda masih akan lama membaca majalah itu?”

Alida tiba-tiba kaget dan menoleh ke sumber suara itu. Ralawa mengulangi pertanyaannya.

“Akan selesai beberapa kurang dari sepuluh menit lagi. Anda keberatan menunggu?”

“Tidak. Silakan lanjut membacanya. Saya duduk menunggu di sini.”

Ralawa menarik kursi di sebelah kanan Alida. Mereka bertukar posisi. Sehari sebelumnya Alida duduk di kursi itu.

“Oh, iya, nama saya Ralawa,” kata lelaki mengulurkan tangan sesaat setelah duduk.

Alida balas menyebutkan namanya sambil tersenyum. Setelah itu Alida kembali sibuk membaca surat Anton dan Ralawa melemparkan pandangannya ke luar jendela—sambil sesekali melirik Alida.


Sekarang apa yang terjadi ketika pemerintah colonial kita memasuki masyarakat yang menganut paham animisme ini? Pada dasarnya animisme diserang, persis di bagian-bagian terdalam dan terpenting dari keberadaan paham keyakinan ini. Pemerintah kolonial bertindak keras dan dalam banyak kasus tidak mau berurusan dengan harapan-harapan para leluhur mereka.

Meskipun penduduknya masih merupakan penganut animisme, tugas pemerintah seharusnya adalah memberikan pendidikan melalui kerja sama dengan misi Pekabaran Injil ini, tanpa harus mengikuti dan menyerah pada prinsip-prinsip yang dipegang oleh masing-masing pihak. Karena itu, pemerintah yang bijaksana tidak akan keberatan dengan pekerjaan Pekabaran Injil di antara penganut animisme, dan sebaliknya justru senang atas kehadirannya. Para misionaris seperti saya hanya akan menggunakan senjata rohani, cara kekerasan tidak akan dilakukannya.

Jadi, teman-teman, saya telah menjelaskan tentang keadaan orang-orang Toraja yang animis di Sulawesi. Kami hanya bisa membahas sebagian kecil saja dari masalah yang ada dan tidak mungkin menguraikannya secara lengkap.

Selama saya tinggal di Rantepao, sebuah tempat di Toraja, saya telah memperhatikan beberapa perbedaan kecil antara orang-orang Toraja di sini dan mereka yang berada di Poso dan beberapa tempat lain di Hindia Belanda. Namun pada dasarnya, mereka sama saja dan pebedaannya hanya kecil saja. Setelah tinggal lebih lama di antara masyarakat Toraja, saya mungkin mampu menjelaskan perbedaannya. D.V.

Ketika membaca D.V., Alida membisikkan kata ‘Deo Volente’ sambil melirik Ralawa yang sedang menikmati burung-burung dara di luar jendela.

Jika tulisan-tulisan saya ini membangkitkan perhatian klian terhadap orang-orang Toraja dan ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang masyarakat yang menarik ini, tujuan saya menulis surat ini telah saya capai.

Salam hangat dan doa saya,

A.A. van de Loodsdrecht

(bersambung)


- (oleh @hurufkecil - http://hurufkecil.wordpress.com)

15 September 2011

Deo Volente, #3

RALAWA lupa memasang jam weker sebelum tidur. Jam weker berbentuk setengah lingkaran yang sengaja dia bawa dari Makassar masih tidur di tas punggungnya. Ke mana-mana, dia selalu membawa jam weker. Dia lebih sering melupakan telepon genggamnya ketimbang benda itu. Barangkali Ngkapaba juga lupa menelpon untuk membangunkannya atau dia tidur terlalu lelap sehingga tidak mendengar ketika Ngkapaba membangunkannya.

Dia terbangun ketika mendengar ketukan keras biji-biji hujan di jendela kamar. Dia merasa tidak tega menelpon Ngkapaba untuk meminta segelas kopi. Beberapa jam tidur pertamanya di Penginapan Kaganga tidak berisi mimpi apa-apa. Tidak biasanya dia mengalami tidur hampa semacam itu. Seringkali dia menyebut dirinya sebagai orang yang bangun setiap hari untuk tidur dan bermimpi lagi.

Ini hari ulang tahun Mampatada, mendiang ayahnya. Ralawa lupa. Dia duduk menghadap jendela dan bulan sudah tidak terlihat di langit. Dia dan ayahnya tidak ubahnya hujan dan bulan, jarang sekali bertemu. Dia membuka dan menyalakan laptop dan mulai menulis puisi pertamanya di penginapan itu. Sebuah puisi, yang entah kenapa, begitu sedih. Puisi yang terlalu sedih untuk hari ulang tahun seorang ayah.

Dari balik jendela dia ingin sekali melihat bulan dan hujan membuat hamparan pekuburan berkilau-kilauan. Tetapi hujan hanya mampu membuat bebunyian aneh di jendela dan atap penginapan—juga cuaca basah yang justru membuat Ralawa merasa hangat. Sensasi yang tidak mudah dipahami.

Ralawa membaca sekali lagi puisi enam baris yang baru selesai dia tulis. Dia merasa puisi itu butuh diedit di beberapa bagian. Dia merasa puisi itu menggunakan metafora yang berlebihan. Bagi Ralawa metafora mengandung kebenaran dan kebohongan sekaligus. Jika sebuah puisi menggunakan metafora sedemikian janggalnya, maka puisi itu lebih banyak mengandung kebohongan ketimbang kebenaran. Itulah yang Ralawa yakini sebagai penyair. Dia selama ini memang lebih dikenal sebagai penyair yang lebih senang mengenakan metafora sederhana di puisi-puisinya.

Ralawa mengamati puisinya selama beberapa menit, membacanya berkali-kali dengan suara yang cukup lantang, tetapi belum menemukan cara membuat enam baris kalimat itu menjadi lebih puisi. Dia menoleh ke koper dan dengan acak mengambil sebuah amplop berisi surat entah dari atau buat siapa.

Di koper itu, Ralawa selama bertahun-tahun menyimpan surat-surat dari orang-orang dekatnya. Di sana tersimpan surat-surat dari ibunya dan mantan-mantan kekasihnya—juga surat-suratnya sendiri untuk ayahnya yang tidak pernah terkirim sebab tidak tahu harus mengirimnya ke alamat mana. Koper tua milik ibunya yang sengaja dia minta sewaktu ibunya pindah ke Balikpapan itu, bagi Ralawa adalah museum. Sebuah museum kecil berisi cinta. Di sana rahasia-rahasia hidup keluarganya tersimpan—juga tentu saja kesedihan-kesedihan dan kegembiraan-kegembiraan hidupnya sendiri.

Dia jarang sekali memasuki museum itu. Sudah dua tahun terakhir dia juga tidak menambah koleksi baru ke dalam museumnya itu. Terakhir kali dia memasuki museum itu pada sebuah pagi saat menerima kabar kematian ayahnya. Tiga tahun lalu. Surat terakhir yang menjadi koleksi museum itu adalah surat dari ibunya, surat terakhir ibunya ketika bertanya betulkah Ralawa tidak hendak menikah, sehari setelah dia menulis surat terakhir kepada ayahnya.

Ini hari ulang tahunmu, Ayah. Selamat ulang tahun. Kamu sehat?

Ralawa melihat tanggal di sudut bawah surat itu kemudian melirik kalender bergambar masjid di atas meja. Sama. Ralawa tiba-tiba merasa bersalah telah menuliskan sebuah puisi yang demikian sedih di hari ulang tahun mendiang ayahnya. Dia memejamkan mata beberapa menit. Dia menangis, ini air mata pertamanya bulan ini.

Nyancaya berada di dapur saat Ralawa menulis surat itu. Dia sedang mengiris-iris wortel, buncis, dan tomat. Dia ingin membuat sayur-sop. Dia juga hendak membuat sambal kegemaran Ralawa: irisan tomat dan cabai mentah ditambah bawang merah yang digoreng setengah matang juga sedikit garam dan perasan jeruk nipis.

Pagi-pagi sekali, hari itu, Nyancaya sudah berangkat ke pasar. Dia keluar dari rumah sambil menyanyi-nyanyi kecil, Shalawat Nabi. Ralawa yakin, ibunya ingat bahwa hari itu suaminya berulang tahun. Dia membeli bahan-bahan makanan seperti hendak membuat perjamuan, pesta perayaan kecil.

Seperti biasa, pada siang hari, di rumah itu hanya ada Nyancaya dan Saaha. Suami Saaha masih berada di rig, tempat kerjanya di lepas pantai. Dia akan berada di sana selama dua minggu sebelum kembali ke rumah istirahat selama satu minggu. Selalu seperti itu. Tak ada orang lain selain Ralawa, Nyancaya, dan Saaha yang akan makan siang di rumah hari itu.
Saaha dengan janin berusia 7 bulan di kandungannya ikut membantu Nyancaya di dapur. Adik Ralawa itu tidak lama lagi akan melahirkan cucu ketiga Nyancaya. Dia betul-betul sudah menjadi perempuan. Saaha dulunya seorang gadis tomboy. Malam sebelumnya Ralawa menggoda adiknya. Dia, meskipun sudah menjadi istri seorang lelaki penyabar, tetaplah si-tomboi-manja-yang-suka-ngambek. Ralawa dan Nyancaya tertawa melihat tingkah Saaha.

Nyancaya terlihat sehat. Sehari sebelumnya, beberapa jam setelah Ralawa tiba, dia sempat mengeluhkan sakit di sekitar perut bagian bawahnya, barangkali ginjal atau rahimnya. Dia tidak begitu yakin. Dia juga mengeluhkan matanya yang sering tiba-tiba perih dan berair. Ralawa menyarankan mengganti kacamata. Mata mereka nyaris sama parahnya. Saaha sempat bercanda mengatakan bahwa Ralawa seperti seorang lelaki tua yang sangat serius kerena mengenakan kacamata. Pantas tidak menikah juga, kata Nyancaya ikut bercanda. Mereka tertawa.

Sejak pindah ke Balikpapan, Nyancaya mengisi waktu—dan mencari duit tentu saja—dengan melanjutkan kegemarannya menjahit. Dia membawa serta Singer tua warisan Nanracaja. Lumayan buat makan sehari-hari, kata Nyancaya. Dia lebih banyak menjahit pakaian untuk ibu-ibu pengajian. Dia banyak mengenal ibu-ibu pengajian sejak pindah. Mertua Saaha adalah seorang pengurus satu kelompok pengajian.

Nyancaya mengenakan jilbab sedikit lebih besar dibanding sebelum dia pindah ke Balikpapan. Tidak sebesar dan setertutup Saaha. Adik Ralawa mengenakan cadar, menutup hampir seluruh wajahnya dengan kain berwarna gelap, kecuali sepasang matanya yang berwarna coklat bening warisan ayahnya. Waktu pertama kali melihatnya, Ralawa sempat shock. Dia bertanya-tanya mengapa adiknya mengalami perubahan begitu drastisnya. Tetapi dia tidak ingin merusak suasana hati adiknya dengan bertanya mengenai perubahan itu.

Selalu ada perubahan yang sebaiknya dibiarkan saja dan tak perlu dipertanyakan, katanya menghibur diri. Sejak tinggal di Makassar, Ralawa memang tidak banyak mengikuiti perkembangan keluarganya. Nyancaya tidak putus berkirim kabar kepada anaknya, tetapi ada banyak hal yang tetap tidak dia umbar dalam surat-suratnya.

Dari teman-teman pengajiannya, dan teman-teman pengajian Saaha, Nayancaya mendapat banyak langganan. Ketika Ralawa tiba, Nyancaya sedang menjahit baju seragam satu kelompok pengajian. Dia nampak senang dalam kelelahannya menjahit siang dan malam.

Dari teman-teman pengajiannya jugalah Nyancaya mendapatkan kesempatan kembali melanjutkan pekerjaannya di Kampiri dulu, mengajari anak-anak mengaji. Setiap hari, sore hari antara pukul 3 hingga pukul 5, rumah itu, yang luasnya hanya setengah rumah yang di Kampiri dulu, dipenuhi anak-anak seusia Ralawa ketika ayahnya pergi. Mereka mengaji dan Nyancaya menjahit sambil mengajari mereka mengaji.

*

PADA hari ketika Ralawa menulis surat itu, kepergian Mampatada yang entah ke mana sudah berusia 22 tahun. Tidak ada yang tahu di mana lelaki itu berada kecuali Mampatada sendiri.

Berapa usia adik sulung Saaha sekarang, Ayah?

Adik sulung Saaha? Ralawa tertawa membaca pertanyaan dalam suratnya itu. Kadangkala dia lupa bahwa dia punya adik selain Saaha, adik dari istri kedua Mampatada. Menurut ibunya, dia memiliki tiga adik dari istri muda ayahnya. Dia tidak pernah bertemu dengan mereka.

Ralawa berhenti sejenak membaca lembar-lembar surat di tangannya. Dia tidak sadar hujan yang tadi membuat keributan aneh di luar penginapan sudah pulang ke langit. Dia melihat keluar jendela dan udara pagi nampak amat bening. Udara selalu seperti kaca mobil yang habis dibersihkan wiper setiap kali usai hujan. Mata juga begitu, pikirnya, seusai menangis.

Nisan-nisan basah dan berkilau diterpa cahaya matahari pagi nampak dari kaca jendela yang sejak kedatangannya dia biarkan tidak tertutup tirai. Di antara nisan-nisan itu, ada nisan Kaganga dan Nanracaja, kakek dan neneknya. Ralawa berpikir untuk mengunjungi makam mereka sebelum kembali ke Makassar.

Pagi yang indah, pikir Ralawa. Dia yakin ibunya di Balikpapan sana baru saja selesai membaca Al-Qur’an. Nyancaya selalu melakukan itu. Sehabis shalat subuh dan berdoa, dia selalu mengaji sampai pagi betul-betul terang dan cucu-cucunya bangun untuk berangkat ke sekolah.

Ketika mengingat satu kebiasaan ibunya, Ralawa selalu terkenang kembali saat ayahnya pergi dari rumah, dari rumah yang sekarang menjadi penginapan itu. Dia ingat dengan amat detail semua hal yang dia lihat hari itu. Dia memutar ingatan itu seperti seorang penggila film yang memutar film kesukaannya berkali-kali.

Ralawa selalu ingat hari di mana Mampatada pergi—dan hari saat Nyancaya mengatakan bahwa suaminya sudah menikah lagi. Nyancaya pernah menunjukkan foto pengantin Mampatada dengan perempuan yang Ralawa tidak tahu siapa—dan di mana Mampatada bertemu dengannya. Ralawa tidak bertanya kepada ibunya dari mana dia mendapatkan foto itu. Ralawa hanya diam tanpa berani menatap wajah ibunya. Dia pura-pura tenggelam membaca novel di tangannya.

*

RALAWA meletakkan lembar-lembar surat yang terkulai di tangannya ke atas meja. Dia berdiri dan menuju ke kamar mandi. Kamar mandi itu tidak cukup bersih untuk sebuah penginapan, pikirnya. Ketika dia mengambil gayung untuk menyiram air seninya di kloset, dia melihat bahwa gayung itu berbentuk hati dan berwarna jingga.

Dia merasa peristiwa pagi itu sungguh lucu. Dia tiba-tiba teringat mantan kekasihnya, perempuan terakhir yang gagal dia nikahi, ketika dia masih menggenggam kelaminnya. Gayung jingga itu melemparkannya ke kamar mantan kekasihnya itu. Jingga adalah warna kesukaan perempuan yang sudah punya dua anak itu.

Semua hal terasa lucu dan menyedihkan sekaligus di penginapan ini, pikirnya. Terlalu pagi untuk berpikir seperti ini, jawabnya dalam hati lagi. Dia sekali lagi tertawa.

Ralawa tersadar sudah berada di kamar mandi cukup lama pagi itu memikirkan mantan kekasih terakhirnya—dan mantan kekasihnya yang lain—ketika tiba-tiba dia mendengar ada ketukan di pintu. Dia cepat-cepat menyiram kloset dan memasukkan kembali kelaminnya ke dalam celananya.

Ngkapaba berdiri di depan pintu kamar dengan senyumnya yang masih secerah sore kemarin.

“Istriku yang cantik dan tuli sudah menyiapkan beberapa penganan dan segelas kopi di lantai bawah. Mari, sarapan dulu, Tuan!”

“Terima kasih, Puang. Saya akan segera menyusul.”

Ralawa tanpa sadar telah menyebut panggilan kehormatan untuk orang-orang Bugis itu. Puang. Barangkali karena perasaan tidak enak terus-menerus dipanggil Tuan oleh pamannya sendiri yang cukup memiliki selera humor itu.

“Panggil saja saya Awa, Puang. Saya tidak enak dipanggil Tuan.”

“Baiklah, Nak. Saya tunggu di bawah, nanti kopinya dingin.”

Ketika Ngkapaba berbalik dan menuruni tangga, Ralawa masuk kamar dan melepaskan piyama dan menggantinya dengan oblong dan celana pendek. Dia merasa perlu berjalan-jalan di sekitar penginapan setelah sarapan. Dia ingin melihat-lihat kampung masa kecilnya itu. Dia tidak lupa mengenakan topi, dia tidak mau mengambil risiko ada teman masa kecilnya yang melihatnya di jalan dan mengenalinya.

Di tengah-tengah ruang tamu, ada sebuah meja yang baru dilihatnya pagi itu. Di atas meja bertaplak kain bermotif bunga-bunga matahari kecil itu ada segelas kopi dan sepiring penganan tradisional yang dia lupa namanya. Terbuat dari parutan singkong yang dikukus dan di dalamnya ada pisang. Bagian luarnya bertaburkan parutan kelapa muda, tidak terlalu muda. Dia ingat neneknya dulu sering membuat penganan serupa.

“Kalimbu atau Janda kata orang-orang di sini.”

Ngkapaba menunjuk penganan yang sedang digigit Ralawa. Lelaki itu seperti bisa membaca pertanyaan yang ada di kepalanya.

“Saya tidak tahu kenapa disebut Kue Janda. Barangkali begitu Orang Bugis melucu. Mereka menggunakan nama-nama makanan,” kata Ngkapaba sambil tertawa memperlihatkan gigi-gigi depannya yang sudah tidak lengkap.

Ralawa tidak menimpali. Dia sibuk mengamati penganan tersebut sambil mengenang masa kecilnya. Nama penganan yang membuat Ngkapaba tertawa itu mengganggu pikirannya. Dia sekali lagi mengingat ibunya yang dulu sering mendapat olok-olokan di pasar sebagai ‘janda taggantung’, janda yang tidak jelas statusnya. Sebutan itu biasanya ditujukan untuk perempuan yang ditinggal suaminya tetapi tidak ada kejelasan apakah dia sudah diceraikan atau belum.

Hal-hal lucu selalu hal-hal menyedihkan juga. Kenapa seperti itu? Dia kembali diusik pikiran yang sebelumnya muncul di kamar mandi. Dia meneguk kopinya yang nyaris dingin lekas-lekas. Dia tidak menikmati kopi pertamanya di Kampiri. Ralawa sering menganggap segelas kopi di pagi hari sebagai tuhan kecil yang hangat. Tetapi tidak pagi itu. Dia merasa kopi itu tidak lebih dari sekadar minuman biasa yang kebetulan berwarna hitam.

“Tidak ada rencana pergi jalan-jalan pagi ini, Nak? Barangkali mau keliling-keliling melihat suasana Kampiri.”

Ngkapaba, sekali lagi, seperti mampu membaca pikiran Ralawa. Dia tersenyum dan memandang lelaki tua yang sedang duduk di belakang meja kantornya itu.

“Di mana ada tempat yang cukup menarik untuk dikunjungi di pagi hari, Puang?”

“Orang kota biasanya punya pilihan sendiri tentang tempat-tempat menarik. Kalau saya sendiri, saya tetap menganggap sungai kecil di sebelah kuburan itu yang menarik, sebab di dekatnya kami punya kebun kecil.”

Ralawa menangkap sesuatu yang satir setiap kali Ngkapaba menyebut ‘orang kota’. Barangkali dia sering merasa terganggu dengan ulah orang kota yang datang ke tempatnya.

Pagi itu Ralawa memutuskan hanya mengitari penginapan hingga ke pemakaman. Dia ingin melihat apa saja dari masa kecilnya yang masih tersisa selain hamparan makam itu.

Dia berjalan ke belakang penginapan, meniti pematang sawah mati di samping kiri penginapan. Di belakang penginapan ini dulu ada pohon mangga yang konon ditanam kakeknya. Pohon mangga itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia mungkin ditebang atau roboh karena sudah tidak kuat menahan usia.

Dia menghirup aroma yang asing mencemari udara pagi itu. Mulanya dia menganggap itu sebagai aroma rumput-rumput yang terpotong. Dia mematahkan beberapa daun rumput untuk membuktikannya. Dia kemudian menganggap tebakannya salah. Aroma asing yang diembuskan angin itu seperti datang dari tempat yang cukup jauh, dan dia berpikir bahwa aroma rumput-rumput terpotong tidak cukup bisa menjangkau tempat yang lebih jauh dari seratus meter.

Ketika berpikir lagi, dia menemukan bahwa aroma itu datang dari peternakan di seberang sungai kecil di sebelah pemakaman. Barangkali itu aroma kotoran ternak yang bercampur dengan pakan. Di kejauhan dia melihat rimbunan rumput gajah seperti perkebunan tebu. Itu pasti untuk makanan ternak, pikirnya.

Belum sempat berjalan berapa jauh, Ralawa sudah merasa perlu kembali ke penginapan. Pagi itu kepalanya, dirinya barangkali lebih tepat, bekerja keras menampung kilatan-kilatan kenangan dan pikiran yang memenuhi udara Kampiri. Dia ingin berada di kamarnya, memandang Kampiri dari jendela kamar saja, seperti yang dulu sering dia lakukan waktu masih kecil.

*

RALAWA tiba di kamarnya yang menjadi lebih hangat. Cahaya matahari membuat lantai papan kamar itu seperti belang-belang. Dia menarik kursi sedikit ke sebelah kanan menghindari cahaya matahari. Dia sering mengalami migraine ketika matanya menerima cahaya matahari frontal. Dia sangat tidak suka ketika penyakit menyebalkan itu datang. Dia harus membuang-buang waktu berjam-jam. Dia harus memasukkan dirinya ke tempat gelap, tanpa cahaya sama sekali.

Ralawa tidak ingat sejak kapan migraine mengenal kepalanya. Dia hanya tahu bahwa penyakit itu sangat menyebalkan. Dia harus memuntahkan isi perutnya, memuntahkan semua makanan yang rasanya asam dari perutnya, untuk meringankan sakit kepalanya.

Cahaya matahari yang menjilat kulit lengannya, membuat Ralawa berpikir bahwa sepagi ini cahaya matahari Kampiri sudah sedemikian panasnya. Waktu kecil dulu, kabut masih menyelimuti Kampiri kadang-kadang hingga pukul delapan pagi.

Surat yang belum selesai dia baca masih tergeletak di meja. Kertas-kertas surat itu terasa hangat ketika Ralawa menggenggamnya. Dia menikmati kehangatan kertas-kertas itu. Dia harus memicingkan mata ketika melihat huruf-huruf di atas kertas putih itu diterpa cahaya matahari. Entah kenapa dia merasa tulisan tangannya menjadi lebih indah ketika huruf-huruf itu berkilauan. Dia menganggap ada semacam roh yang dari setiap huruf yang bangkit dan memunculkan diri mereka. Roh-roh hangat itu seperti memperbaharui surat-surat yang sudah lama dia tulis itu.

Tidak ada foto saat hari kamu berangkat. Tetapi seperti yang saya tuliskan di surat-suratku sebelumnya, hari itu bisa saya ingat dengan sangat detail. Saya mengenakan baju biru dan Saaha mengenakan baju hijau…

Ralawa ingat kedua baju itu hasil jahitan tangan ibunya. Barangkali itu yang membuatnya menyenangi warna biru dan Saaha menyenangi warna hijau. Dia ingat Mampatada, sebelum berangkat, menyelipkan dua lembar uang seribu rupiah di saku bajunya. Ralawa terus menghindar ketika ayahnya hendak mencium pipinya di belakang bus yang akan membawa Mampatada pergi.

Dia tertawa geli membayangkan peristiwa itu. Ralawa berontak melepaskan diri ketika ayahnya menangkapnya. Tapi, kegeliannya serta-merta berubah kesedihan dan sedikit penyesalan. Ah, andai saja saya menyerah atau ayahku berusaha lebih keras, kata Ralawa dalam hati. Ralawa pasti akan punya satu ciuman ayahnya yang bisa dia kenang.

Rawala selalu merasa bersalah ketika mengingat hari itu, hari saat dia tak merelakan pipinya disentuh Mampatada. Dia betul-betul merasa bersalah. Dia pernah menangis karena Kaganga mencium pipinya. Dia membayangkan Mampatada yang menciumnya.

*

RALAWA melirik koper-museumnya yang nampak tidak mampu menahan bebannya, tergeletak diam di dekat salah satu kaki tempat tidur. Ralawa tersenyum. Sesungging senyum yang sia-sia. Jika setiap kalimat membuat saya mengingat serentetan peristiwa, pikir Rawala, saya tidak akan mampu menyelesaikan membaca semua surat di koper itu. Dia mulai sedikit menyesal kenapa harus membawa semua isi koper itu koper itu ke Kampiri.

Ralawa membalik-balik lembaran kertas di tangannya. Masih ada dua lembar yang belum dia baca. Tujuannya ke tempat ini hendak menyelesaikan sebuah buku puisi untuk ibunya. Di penginapan dia malah terseret kenangan hingga ke hulu masa lalu. Dia tidak membayangkan akan memasuki kenangan sejauh itu. Sebulan nampaknya tidak akan cukup untuk menelusuri seluruh jalan-jalan kenangan itu, pikirnya.

Teman-teman sekolah saya di Kampiri nyaris semuanya sudah memiliki anak. Saya selalu merasa sedih ketika Ibu bertanya, biasanya lewat pesan pendek, kapan saya melamar Dahasa. Saya belum menceritakan kepada Ibu bahwa saya ada masalah dengan Dahasa, dengan orang tua Dahasa tepatnya. Setelah pacaran selama hampir 6 tahun nampaknya kami tak akan bisa menikah. Saya belum punya keberanian membuat Ibu bersedih karena kabar semacam itu. Saya mencintai Dahasa, seperti yang selalu saya katakan kepadamu, tetapi ayahnya ternyata berharap anaknya tidak menikah dengan seorang penyair. Haha! Ini kali pertama saya menyebut diri saya sebagai penyair kepadamu.

Dahasa akrab dengan Ibu dan Saaha. Sampai sekarang mereka masih sering telepon-teleponan. Dia bahkan pernah menginap di rumah ini selama 5 hari. Tanpa sepengetahuan orang tuanya, dia beribur ke sini bersama saya. Dia tidur bersama Ibu. Mereka sepertinya sangat akrab, bisa tertawa membicarakan banyak hal. Mereka berulang-ulang menertawai kebiasaan ngompol saya yang baru sembuh waktu masuk tsanawiyah.

Apa yang saya pikirkan ketika menulis surat semacam ini, tanya Ralawa dalam hati. Dia heran kenapa bisa menceritakan kepada ayahnya begitu gamblang tentang banyak hal yang tidak pernah berani dia katakan kepada ibu atau neneknya. Ralawa rutin menulis surat kepada Mampatada. Surat-surat itu bisa menjadi begitu panjang dan cerewet ketika dia menuliskannya saat menghadapi masalah yang dia tidak tahu harus dia katakan kepada siapa.

Surat yang sedang dia baca pagi itu, dia tulis ketika Ralawa mengunjungi ibu dan adiknya di Balikpapan, setelah dua tahun tidak pulang. Ralawa tinggal di Makassar sejak SMU.

Sebelum menulis surat itu, Ralawa terakhir pulang ke Balikpapan lima tahun sebelumnya. Saaha menikah waktu itu. Logat ibunya ketika itu sudah sangat berbeda. Ralawa lebih nyaman menggunakan Bahasa Bugis ketika bicara dengannya, meskipun lidahnya semakin kaku menggunakannya. Dia merasa berbicara dengan orang asing ketika mendengar ibunya bicara dengan logat Balikpapan. Dia sering tertawa mendengar logat yang sudah menguasai kalimat-kalimat ibunya. Ibu dan adiknya malah sering balik menertawai Ralawa yang logatnya sangat Makassar.

Bagi Ralawa, sesungguhnya itu peristiwa lucu dan menyedihkan sebab tidak ada lagi di antara mereka yang fasih menggunakan logat Bugis yang dulu mereka gunakan di Kampiri. Selain itu, Makassar sebagai suku, dulu bagi keluarga Ralawa adalah musuh Orang Bugis. Ketika Ralawa menjadi sangat Makassar, tentu saja akan menjadi bahan tertawaan dan sindiran di tengah keluarga.

Ralawa ingat, ketika pertama kali mengatakan sudah punya pacar. Reaksi pertama ibunya membuat Ralawa kaget.

“Kamu boleh pacaran dengan perempuan manapun kecuali Orang Makassar.”

Seperti ada dendam luar biasa besar dalam kalimat ibunya itu. Belakangan dia tahu bahwa banyak Orang Bugis tidak rela menikahkan anak mereka dengan Orang Makassar. Dia tidak pernah membayangkan kalimat seperti itu bisa keluar dari mulut ibunya. Dia mengenal ibunya sebagai seorang perempuan yang tidak pandai menyimpan dendam. Jika betul ada dendam di balik pernyataan itu, Ralawa yakin bukan dendam pribadi ibunya kepada Orang Makassar. Begitu juga ketika suatu kali neneknya mengatakan bahwa Ralawa hanya boleh menikah dengan Orang Jawa jika tidak ada lagi gadis lain di dunia.

Pastilah ada persitiwa besar di balik pernyataan semacam itu. Ralawa menduga, pernyataan itu sangat politis. Peristiwa luar biasa besar seperti perang di masa lampau antara kerajaan-kerajaan yang tertanam kuat di alam bawah sadar mereka. Untuk kasus Jawa, Ralawa tahu bahwa selain karena kebencian karena beringasnya Tentara Jawa di masa konflik dengan gerilyawan beberapa tahun setelah kemerdekaan, lebih utama karena kekejaman Orde Suharto.

Barangkali kebenciannya terhadap Orang Jawa juga yang membuat di rumah Nyancaya tidak pernah sekalipun tersaji bakso—dan membuat anak-anaknya tidak suka makan bakso. Bisa jadi begitu, bukan karena Nyancaya tidak tahu membuat bakso, namun dia mengangap bakso adalah makanan yang sangat Jawa. Ketika bakso mulai dikenal luas di Sulawesi, umumnya yang menjual makanan itu adalah orang Jawa. Ralawa tidak pernah membayangkan peristiwa-peristiwa politik bisa sedemikian kuatnya mengakar dan menjadi prinsip bagi seseorang.

Tetapi prinsip selalu bisa berubah. Nyancaya akhirnya bisa menerima jika anaknya pacaran atau ingin menikah dengan Orang Makassar atau Orang Jawa.

“Barangkali salah satu fungsi merantau adalah untuk menguji prinsip-prinsip seseorang,” kata Nyancaya suatu waktu.

Ralawa pernah bercanda bahwa dia punya pacar baru, Orang Makassar.

“Lebih cantik mana dibanding Rahama?”

Rahama adalah pacar pertama Ralawa.
...


(bersambung)



- (oleh @hurufkecil)

14 September 2011

Deo Volente #2








PENGINAPAN Kaganga berjarak enam jam perjalanan menggunakan bus dari Makassar. Dekat saja seandainya tidak harus melewati jalan sempit berkelok-liku tajam dengan jurang di sisinya dan mendaki-menurun melewati pegunungan. Bus yang dia tumpangi harus melaju dengan kecepatan sedang. Penginapan Kaganga adalah satu-satunya penginapan di Kampiri, kota kecil yang penduduknya tidak lebih dari empat ribu jiwa. Hanya sebuah rumah tua, sebetulnya, yang sedikit diubah pemiliknya sehingga menyerupai penginapandengan kamar-kamar berhadap-hadapan. Enam di lantai atas dan dua di lantai bawah.

Pemilik Penginapan Kaganga bernama Ngkapaba. Lelaki itu nampak sudah terlalu tua untuk mengurus sebuah penginapan. Tamunya sore itu adalah keponakannya sendiri. Ngkapaba tidak tahu.

Penginapan itu bekas rumah kakek dan nenek Ralawa. Di rumah itulahibunya dilahirkan dan menikah dengan ayahnya. Di rumah itu pula Ralawa dilahirkan 30 tahun lalu. Ngkapaba adalah kakak ibunya. Ralawa dan Ngkapaba tidak pernah bertemu sebelumnya. Waktu Ralawa masih tinggal di rumah itu, Ngkapaba tinggal di Sumatera. Selama puluhan tahun Ngkapaba merantau di Sumatera sebelum akhirnya pulang setahun setelah ayahnya meninggal. Rumah itu warisan Kaganga untuk Ngkapaba. Ibu Ralawa sudah pindah ke Balikpapan ketika Ngkapaba kembali dari perantauan.

Selain karena satu-satunya penginapan di Kampiri, Ralawa dengan mudah menemukannya karena penginapan itu menggunakan nama kakeknya. Dia tidak bisa menjelaskan kebahagiaannya melihat di depan penginapan itu ada papan bertuliskan nama kakeknya. Nama itu sering sekali ada dalam surat-surat ibunya. Dia tahu banyak tentang kakeknya karena ibunya senang mengutip perkataan dan bercerita tentang lelaki itu. Kaganga sudah meninggal ketika Ralawa lahir.

Meskipun merasa bersalah, Ralawa tidak ingin memberi tahu Ngkapaba bahwa dirinya adalah anak sulung Nyancaya, adik kandung Ngkapaba. Dia tidak ingin ibunya tahu dia sedang berada di kota itu. Meskipun Ngkapaba dan Nyancaya jarang saling berhubungan, tetapi dia yakin Ngkapaba akan menelpon ibunya jika dia tahu.

Ralawa tidak jarang merasa heran melihat keluarganya sendiri. Nyaris semua anggota keluarga Kaganga tidak fasih berkomunikasi verbal dengan sesamanya. Mereka menyimpang dalam urusan komunikasi. Bukan berarti meraka tidak saling mencintai, namun kata-kata nampaknya bukan media yang nyaman untuk mereka gunakan berkomunikasi. Kepada orang lain, mereka bisa menjadi sangat cerewet. Kepada sesama anggota keluargaKaganga, mereka nampak tidak akur karena jarang saling berbincang.

Ralawa tiba di Penginapan Kaganga sejam menjelang waktu shalat magrib. Udara bening kekuning-kuningan oleh matahari yang separuhnya sudah sembunyi di balik punggung bukit di sebelah barat penginapan. Beberapa jam sebelumnya hujan singkat turun, hujan pertama pada bulan Oktober tahun itu. Ralawa melihat debu-debu lembab mengotori kaca jendela kamar.

Dari balik kaca jendela kamar yang nampaknya sudah berbulan-bulan tidak dibersihkan, Ralawa bisa melihat ribuan makam menghampar tidak jauh dari penginapan. Hanya ada beberapa petak sawah mati, sudah bertahun-tahun hanya ditumbuhi rumput, memisahkan penginapan itu dengan pemakaman. Dia duduk berlama-lama di depan jendela tanpa tahu dia harus fokus mengamati dan memikirkan apa. Terlalu banyak hal berdesakan ingin keluar dan masuk kepalanya, sementara matanya hanya sepasang celah sempit yang pelupuknya sedang berjuang menahan kantuk.

Ketika azan magrib terdengar dari kubah masjid tidak jauh dari penginapan, dia berbalik dan menangkap jendela dan dirinya pada cermin lemari di sisi kiri tempat tidur. Dari cermin yang sama dia menyaksikan bulan purnama terbit, bulan besar dan bulat utuh seperti jeruk emas raksasa yang muncul dari tengah-tengah pemakaman. Peristiwa yang sama pernah Ralawa alami di rumah itu, waktu masih kecil, sehari sebelum neneknya meninggal.

Ralawa punya banyak cerita yang tidak pernah dia bagi mengenai kuburan itu. Dia tidak ingin menceritakan peristiwa-peristiwa masa kecilnya yang berkaitan dengan hal-hal gaib. Dia tidak suka mendengar orang tidak percaya kepada hal-hal yang dia ceritakan. Satu-satunya orang yang banyak tahu dan percaya adalah neneknya.

Dia menyalakan mata lampu 40 watt yang terpasang tidak persis di tengah langit-langit kamar kemudian menelpon Ngkapaba. Dia meminta tidak perlu dibangunkan untuk makan malam. Bus yang dia tumpangi mampir di sebuah rumah makan. Dia masih kenyang. Dia hendak istirahat beberapa jam sebelum bangun tengah malam.

Sebelum menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, Ralawa membuka koper tua ibunya. Dia ingin memastikan tidak ada kebutuhan yang tidak ikut terbawa. Dia menatap koper tua itu beberapa menit, seolah-olah sedang mengumpulkan kekuatan, sebelum menyentuhnya. Dia berpikir jangan-jangan Ngkapaba menyadari bahwa koper itu adalah koper adiknya. Beberapa detik kemudian, dia mengibaskan tangan kanannya di atas kepala yang sudah ditumbuhi beberapa helai uban seolah-olah pikiran itu serangga-serangga kecil yang berterbangan ingin mengganggunya.

Ralawa merogoh saku kiri celananya dan mengambil anak kunci. Dia membuka gembok berwarna perak koper itu dengan hati-hati. Gembok terbuka dengan mudah. Sebelum membuka tutup koper, dia berdiri lalubergegas beranjak menuju pintu untuk memastikan apakah sudah terkunci atau belum. Dia tidak ingin Ngkapaba tahu apa yang sedang dia lakukan. Dia juga tidak menginginkan Ngkapaba tahu isi kopernya.

Koper tua itu berisi ratusan lembar surat, buku catatan harian, berlembar-lembar kertas berisi puisi-puisi penuh coretan, dua album foto yang cukup besar, dan sebuah laptop yang baru Ralawa beli dua hari sebelum berangkatke Kampiri.

Setelah yakin isi kopernya lengkap dan baik-baik saja, Ralawa melepaskan tubuhnya dari semua pakaian berbau peluh yang dia kenakan. Dia mengambil piyama dari tas punggungnya yang tergeletak di depan lemari seperti bangkai seekor babi gemuk. Dia melihat tubuh telanjangnya di cermin. Ah, lelaki malang! Dia tersenyum membalas pikirannya sendiri.

Ralawa hendak mencuci wajah dan gosok gigi sebelum tidur, tetapi dia terlalu malas untuk berjalan ke kamar mandi. Dia hanya menatap pintu kamar mandi yang berwarna hijau dan pudar seolah ingin menghapus sebagian dirinya agar serasi dengan warna merah kulit kuda yang menutupi dinding kamarDia mendongak menatap langit-langit berwarna kuning telur bercampur susu, warna yang terlalu muda untuk dihadap-hadapkan dengan lantai papan berwarna cokelat pekat dan seprei berwarna ungu gelap.

Ketika Ralawa memejamkan mata, dia mengingat satu persatu dongeng Nanracaja, neneknya. Waktu Ralawa kecil, hingga tamat Sekolah Dasar,neneknya sering mendongeng sebelum tidur. Ralawa tidak ingin tidur sebelum neneknya bersedia mendongeng. Ada sejumlah dongeng yang selalu dikisahkan neneknya, tetapi tidak satupun yang Ralawa tahu akhir kisahsebenarnya. Dia selalu tertidur sebelum dongeng-dongeng itu selesai.

Ralawa punya akhir kisah masing-masing dongeng. Versinya sendiri.

KAMPIRI sudah berubah. Betul-betul sudah jauh meninggalkan wujudnya ketika Ralawa masih tinggal di sana. Kota kecil itu dulunya hanya kampung yang terdiri dari duapuluhan rumah. Sampai Ralawa pindah mengikuti ibunya ke Balikpapan setamat Sekolah Dasar, sembilan puluh persen lebih wilayah Kampiri masih berupa hamparan padang rumput, petak-petak sawah, hutan, kebun, dan bukit-bukit tanah merah yang hanya ditumbuhi rumput. Ralawa tidak habis pikir kenapa sebuah kampung sekecil Kampiri bisa berubah menjadi kota hanya dalam tempo tidak sampai tiga dekade.

“Seorang kaya raya entah bagaimana caranya bisa tiba-tiba menjadi pemilik enam puluh persen wilayah Kampiri. Dia membangun peternakan besar di sana.” Begitu kata Nyancaya dalam salah satu surat kepada Ralawa.

Sepertiga hamparan padang rumput Kampiri  telah berubah menjadi peternakan milik orang itu. Ribuan ternak didatangkan entah dari mana. Sejak saat itu, banyak kendaraan lalu-lalang di Kampiri. Kampung itu tiba-tiba menjadi pemasok utama kebutuhan daging untuk kota-kota yang tidak terlalu jauh dari Kampiri. Di sana dibangun pasar daging ternak.

Rumah-rumah tumbuh dengan kecepatan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Pemilik rumah-rumah itu nyaris seluruhnya adalah pendatang. Penduduk asli—penduduk awal Kampiri lebih tepatnya—ramai-ramai meninggalkan wilayah itu. Mereka memilih merantau menjadi buruh di pulau-pulau jauh untuk menghindari pekerjaan sebagai buruh peternakan di kampung mereka sendiri.

Ralawa datang sebagai orang asing di Kampiri yang juga sudah asing bagi pengetahuannya—yang dia peroleh dari masa kecilnya juga surat-surat ibunya. Kedatangan Ralawa ke Kampiri itu semacam perkenalan ulang. Sesungguhnya, niat awal dia datang adalah merampungkan sebuah kumpulan puisi tentang ayah dan ibunya yang sudah lama dia rencanakan tapi tidak pernah terwujud. Namun nampaknya akan melakukan banyak hal lain selama berada di Kampiri.

Ke dalam sehimpun puisi, Ralawa ingin mengabadikan apa yang dia pikir dan rasakan mengenai hubungan ibu dan ayahnya. Dia ingin menghadiahkan sebuah kumpulan puisi itu kepada ibunya kelak. Kini ibunya sudah renta. Ralawa tidak ingin menyesal hanya karena tidak menepati janjinya kepada diri sendiri. Sejak pertama kali dia menyebut diri sebagai penyair, dia berjanji menulis satu buku puisi khusus untuk ibunya. Dia sudah menerbitkan sejumlah buku puisi dan semakin dihantui janji tersebut.

*

Dari Rotterdam ke Genoa, September 1913

MENJELANG senja, 5 September 1913, Anton dan Ida, meninggalkan Stasiun Maas, Rotterdam. Dengan kereta api, pasangan pengantin baru itu akan melakukan perjalanan menuju Italia. Di Genoa telah menunggu kapal S.S. Vondel yang akan mengantarnya berlayar melintasi Samudera Hindia.

Di kereta, Ida terus mengenang ibunya yang sakit dan tidak sempat mengantarnya ke stasiun. Anton berusaha menghiburnya dengan menceritakan sejumlah kisah tentang tempat indah yang dia lihat melalui jendela kereta. Dari Coblenz hingga Bingen, ketika kereta menyusuri Sungai Rhine, Anton menceritakan kisah tentang MäuseturmMenara Tikus, yang dibangun bangsa Romawi sebagai benteng kecil dan kemudian diperbaiki oleh Uskup Agung Hatto.

Konon, kata Anton memulai ceritanya, di daerah itu pernah terjadi kelaparan hebat karena cuaca buruk dan gagal panen. Orang-orang yang kelaparan tiba-tiba punya kekuatan besar untuk menerobos masuk ke lumbung-lumbung uskup yang ironisnya penuh makanan. Ketika mereka berada di dalam, uskup mengunci dan membakar lumbung-lumbung itu. Orang-orang itu mati terpanggang. Selama api lahap melalap orang-orang lapar itu, uskup terus berteriak dan menyebut mereka sebagai tikus keparat.

Anton belum sampai menceritakan bagaimana tikus-tikus yang marah dan menyerang uskup namun Ida sudah tertidur di pundaknya, persis seperti gadis kecil yang kelelahan.  

Kereta berhenti di Heidelberg, Jerman. Di kota itu Anton dan Ida menghabiskan hari Minggu terakhirnya tahun itu di Eropa. Ketika bangun pagi, dari jendela kamar penginapan, mereka menyaksikan Sungai Neckar mengalirkan air yang bening seperti udara. Di kejauhan mereka menyaksikan Heiligenberg, Gunung Suci, yang menjulang seperti hendak mencapai langit.

Siang hari, mereka melanjutkan perjalanan. Ketika melintasi Swiss, Anton mengagumi Pegunungan Alpen, salju abadi di pucuk-pucuknya, sapi-sapi yang merumput di kaki-kakinya, dan danaunya yang berwarna biru.

Dari Luzern mereka melakukan perjalanan sepanjang Sungai Reuss, yang membelah lembah. Kereta api yang mereka tumpangi melewati terowongan-terowongan panjang, berkelok-liku, dan mendaki. Mereka bisa melihat sebuah gereja kecil yang sama sebanyak tujuh kali, dan lenyap kembali ke dalam terowongan sampai mereka tiba di ketinggian lebih dari 1000 meter.

Ida selalu ketakutan dan sesak napas setiap kali kereta memasuki terowongan. Di sepanjang terowongan St. Gotthard, misalnya, Anton harus terus memeluk istrinya selama nyaris setengah jam sampai kereta kembali menemukan cahaya di ujung terowongan.

Setelah melewati lebih dari 80 terowongan, akhirnya perjalanan mereka tiba di Genoa. Langit Genoa saat itu berwarna persis sama dengan langit Rotterdam ketika mereka berangkat.

*

Oegstgeest, November 2007

DI BALKON yang menghadap ke gereja kecil tua, St. Willebrordus, Alida duduk membaca surat kakek buyutnya, Anton. Salinan surat itu pernah dimuat di Alle den Volcke, Vol. 7, 1913. Alida ingin memulai novelnya dengan menceritakan perjalanan Anton dan Ida melintasi Samudera Hindia menuju Batavia.

Ketika menulis surat ini, kami berada di Samudera Hindia. Kami berharap tiba di Colombo, di Pulau Ceylon, dalam waktu lima hari. Di Colombo kami akan mengirimkan surat ini.

Senin, 15 September, cuaca sangat bagus ketika kami mendekati Port Said. Mulai dari Kreta, pelayaran berlangsung lancar. Dengan penuh harapan kami menikmati cahaya lampu-lampu kota. Kami memandangi pesisir pantai dan melihat lampu-lampu Kota Damiate, yang terkenal dengan perang salibnya. Menjelang pukul 11 malam kami tiba di Port Said. Kapal singgah untuk memuat pasokan batu bara untuk bahan bakar.

Di pelabuhan ini siapa pun yang mampu berjalan harus turun dari kapal, karena selama batu bara dimuat seluruh kapal tertutup lapisan debu hitam. Kabin kapal menjadi hitam tidak terkira. Karena itu jendela-jendela dan pintu kabin ditutup rapat.

Sebelum tali tambang kapal diikat erat di dermaga, kapal tlah dikelilingi banyak perahu kecil. Perahu-perahu dayung itu milik orang-orang Arab yang berbadan tinggi ramping dan mengenakan jubah putih.

Segera kami tiba di pantai. Setiap orang membayar 30 sen untuk ongkos perahu ke pantai. Para pemandu mengerubungi kami dari segala penjuru. Mereka ini pedagang, porter hotel dan kafe, dengan carayang kasar memaksa kami; sesuatu yang tidak biasa bagi kami orang-orang Barat.

Kami sebenarnya ingin mengunjungi perkampungan orang Arab, tetapi demi keamanan kami membatalkan rencana. Kami segera bosan setelah melihat-lihat pertokoan dan kami duduk sejenak di kedai minum untuk beristirahat. Di sini pun, tetap saja para pedagang mendatangi kami dan menjajakan segala macam dagangan lainnya.

Tiba-tiba kami mendengar seorang Nubia berkulit hitam tembaga berteriak, “Lihat, lihat, semuanya lihat!”Lelaki itu seorang pesulap yang sedang menunjukkan permainannya. Setelah menunjukkan trik sulapnya yang sulit, dia memandang ke arah kami, tersenyum dengan gigi putihnya dan berteriak, “Lihat, lihat, hebat kan?” Tidak lama kemudian kami harus kembali ke kapal.

Menjelang subuh kapal Vondel berlayar memasuki Terusan Suez. Perjalanan melalui terusan hebat buatan manusia ini membutuhkan waktu sekitar 15 jam dan tidak begitu menarik. Karena lelah berjalan-jalan sebelum berangkat, kami tidur hingga siang hari.

Hal pertama yang kami sadari saat bangun adalah udara yang sangat panas. Kami belum pernah merasakan panas matahari seterik ini sebelumnya. Terusan Suez ini tidak terlalu lebar dan kapal-kapal harus bergantian melewatinya. Di Mesir masih terdapat beberapa pohon, sedangkan di bagian Arab hanya ada padang pasir. Di sana-sini orang-orang Arab dan Negro sedang membetulkan tepi terusan. Sungguh menakjubkan keterampilan berenang dan menyelam orang-orang ini. Kami mendengar bagaimana mereka dengan mudah bisa mengambil uang logam dan benda lainnya yang dilemparkan penumpang ke dalam air, bahkan mereka menyelam di bawah kapal.


ALIDA berhenti membaca surat itu dan meletakkannya di atas meja di sebelah kanannya. Dia mencoba membayangkan pelayaran itu. Dua tahun lalu dia ke Indonesia, mengunjungi Toraja, melakukan semacam napak tilas. Tetapi dia tidak mungkin bisa melakukan perjalanan berminggu-minggu di atas kapal seperti Anton dan Ida.

(bersambung)


- (oleh @hurufkecil)