Tentang 30 Hari Cerita Cinta

07 October 2011

#25: Untouched

I feel so untouched
And I want you so much
That I just can't resist you
It's not enough to say that I miss you
(Untouched – The Veronicas)


Sepuluh hari berlalu.
OKE! AKU HARUS BERTEMU DENGAN ADRIAN!
Begitu selesai memakai mantel dan scarf, aku – dengan semangat yang bercampur dengan was-was – berlari ke arah pintu. Namun, begitu aku membukanya...
"HAH!" Mataku membelalak kaget begitu melihat Adrian berdiri di sana dengan posisi tangan terangkat – siap untuk mengetuk pintu. Kami terdiam sejenak, sampai akhirnya dia menurunkan tangannya dan menatapku penuh curiga. Tunggu, ke mana kacamatanya? Apa dia ke sini untuk meminta ganti rugi?
"Kamu mau pergi, ya?" tanyanya.
"Emh, iya, tadinya..." tanganku mematut-matut ujung mantel. Uh, kenapa tiba-tiba jadi secanggung ini? "Eh, ayo masuk. Aku nggak jadi pergi."
Adrian menungguku di ruang tengah, sementara aku kembali mengganti baju dengan sweater dan celana panjang di kamar. Cuaca sedang sangat dingin dan membuatku agak mengantuk. Kalau jadi pergi tadi, mungkin aku akan tertidur di subway.
"Mau kopi?" tawarku yang disambut anggukan darinya. Bukan hal yang sulit untuk membuat secangkir kopi hitam dengan taburan hazelnut giling untuk Adrian. Tapi, kemudian aku dikejutkan oleh perban yang melilit lengan kirinya saat menaruh cangkir di atas meja.
"Ya ampun!" Aku terkesiap kaget dan nampaknya Adrian risi ketika aku menyingkap lengan kemejanya. Perban itu ternyata menutupi lengannya sampai ke sikut. "Kamu kenapa? Jatuh? Ketabrak?"
"Ini..." Dia berusaha melepaskan tanganku. "Nggak parah, kok!"
Kemudian, aku ingat berita-berita kriminal yang akhir-akhir ini terjadi di Brooklyn. Apa Adrian adalah salah satu korbannya?
"Aku cuma keserempet mobil, Dita," katanya, berusaha menenangkanku. "Kegores aja, nggak sampai patah tulang atau apa yang lebih parah."
"CUMA? Gimana bisa kamu hilang ini CUMA?!" hardikku yang membuatnya terdiam.
"Siapa yang nyerempet? Mobil apa?"
Adrian tidak menjawab dan dia malah menyesap kopi racikanku. "Mmh, you could be a good wif—*"
"ADRIAN!"
"Dita, really, I'm okay!" katanya, kali ini dengan serius meyakinkanku.
"Jangan jadi secemas itu, karena mungkin berita yang akan aku sampaikan selanjutnya malah bikin kamu makin down. It doesn't sound good."
Aku merasa bersalah sekarang. "Maaf..."
"Oke, first of all, it should be who ask for the apologize," katanya semakin serius dan mengintimidasi. "I mean, tentang tiket itu. Apa kamu... mau memaafkanku? I admit that was... such a big mistake."
Aku termenung sejenak. Seharusnya aku masih merasa sangat kesal, tapi ucapan Ares di apartemenku beberapa hari yang lalu merngubah segalanya. "Aku sudah memaafkannya, Ad. I didn't tell Ares and so far, it's okay."
Adrian meringis – ada dilema yang tergambar jelas dalam sorot matanya. Ini sangat jauh berbeda dari obrolan-obrolan kami yang biasanya penuh tawa dan canda. Ini terlalu kaku dan membuatku tegang.
And I sense so called farewell thing.
"Ini terlalu cepat dari rencana, tapi, aku akan pulang ke Ohio lusa besok untuk mengurus surat pengunduran diri dari Ohio Newspaper,"* paparnya sendu yang langsung membuatku terhenyak kaget. "Itu karena aku baru menerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah S2 dan universitas itu menawarkan sebuah pekerjaan. Sayangnya, itu membuatku harus melepas pekerjaan di sini—"
"K-Kenapa?" tanyaku dengan suara bergetar. "KAMU UDAH SUSAH PAYAH BUAT JADI
JURNALIS, AD! Itu cita-cita kamu, kan? ITU MIMPI KAMU, KAN?"
"But, now, it's nothing without you," sambarnya cepat. "Sebelum bertemu kamu, yang ada di pikiranku hanya bagaimana meraih mimpi itu. I was an obsessive robot. I was careless with my heart. And then YOU came into my life! Kamu memperkenalkan semuanya. Tentang hati yang rapuh. Tentang hati
yang yang sewaktu-waktu bisa membeku jika tidak pernah disentuh oleh sebuah perasaan."
Adrian malah menarik tanganku saat aku akan melepaskannya. Mata kami bertemu dan tanpa kacamatanya, aku bisa membaca setiap sorot yang dia berikan dengan jelas.
"Aku belum pernah seperhatian ini dengan seseorang," katanya lebih lembut.
"Dan aku belum pernah setakut ini untuk kehilangan seseorang."
"Terus, kenapa kamu malah mutusin buat ninggalin aku?" tanyaku kemudian.
"Kalau kamu takut untuk kehilangan, kenapa kamu malah menjauh dariku?"
Dia menghela nafas panjang. "Aku nggak akan ninggalin kamu sepenuhnya. Tapi, kalau kamu mau, aku akan melakukannya. It's you who will decide."
"A-Apa?"
"Dengar, ini mungkin akan seperti tekanan klasik." Adrian menatapku semakin dalam. "Selama dua hari ke depan, pikirkanlah keputusan yang ingin kamu ambil. Kamu tahu sendiri aku selama ini nggak pernah bercanda dengan perasaan ini." Kemudian, dia kembali menempelkan telapak tanganku pada dada
kirinya. "Di sini masih kosong. Aku hanya akan pergi dari kehidupan kamu sepenuhnya kalau kamu yang memintanya. Then, I'll stop to love you."
Terdengar mengerikan. Aku tahu bagaimana rasanya menunggu seperti yang Adrian lakukan. Tapi, tentu saja dia tidak menunggu dalam diam. Selama dua tahun, dia tidak pernah berhenti mencurahkan perhatiannya padaku dan aku tahu, dia melakukannya karena berharap... aku bisa bisa membalasnya.
Semakin lama, aku tidak menyangkal perasaannya bukan main-main. Tapi, aku juga tidak bisa memberikan harapan palsu.
"Dengar, jangan kasihani aku untuk masalah ini," pinta Adrian sungguh-sungguh. "You really mean a lot to me. Seandainya aku bisa menunjukannya dengan sesuatu, Dita, but nothing compares it. Nothing
compares you."
Aku mendesah frustasi begitu merasakan debar jantungnya yang semakin cepat. Ini sudah lebih cukup bagiku.
"Stop talking," pintaku lirih. "Kamu benar-benar memberikan tekanan."
Adrian mengangguk patuh, kemudian melepaskan tanganku. Hah, aku tidak habis pikir, kenapa wanita selalu butuh waktu untuk memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan perasaan?
"Aku akan menunggu," bisiknya lembut. "Lusa, Dita, dan selama dua hari ini,
aku nggak akan ngeganggu kamu."
"Tunggu!" cegahku sebelum dia berdiri. "Kacamata kamu ke mana? Was it... really broken?"
"Ya dan aku memutuskan untuk memakai lensa kontak," jawab Adrian sekenanya.
"It also helps me to see your beautiful eyes."
Kemudian, Adrian beranjak dari sofa – kembali menutup lukanya dan memakai mantel. Aku melangkah lambat-lambat di belakang. Sebuah pertanyaan muncul dalam pikiranku; kenapa dia tidak memutuskannya sendiri? Kenapa harus... aku?
"Karena aku peduli dengan kamu, Dita," katanya tiba-tiba – seolah-olah baru membaca pikiranku. "Aku nggak mau membuat kedua belah pihak menyesal nantinya."
Setelah itu, Adrian pergi tanpa menatapku sama sekali. Sempat tergoda untuk berlari dan menahannya dengan pelukan dari belakang. Tapi, kakiku terpaku erat dan aku hanya bisa menatap kepergiannya dari ambang pintu.
Hanya ada dua orang yang bisa membantuku saat ini...


***


~ (oleh @erlinberlin13)

Kisah Yang Salah

"Tasya, sebenernya aku lagi deket sama cewek nih"  akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Galang setelah aku terus menanyakan tentang keadaan dia saat ini. Malam ini, Galang kembali menelpon aku lagi untuk kesekian kalinya.
"Wah, bagus dong…terus,gimana ceritanya?" spontan aku merespon pernyataan Galang tentang kedekatannya.
"Ya gitu deh Sya, baru banget ngedeketinnya. Nanti aku bbm-in ke kamu deh fotonya" lanjut Galang.
"Iya..iya…pasti cantik deh. Semoga segera jadi ya" aku senang mendengar berita ini.
"Kok kamu malah seneng sih?" nada suara Galang berubah.
Aku yang tidak menyadari perubahan nada suara Galang, tetap menjawab dengan nada senang "iya dong senang, kan akunya mau nikah terus kamunya bentar lagi mau punya cewek. Jadi nanti kita akan bahagia sama-sama deh."
"Tasya….bahagia aku itu ya sama kamu…." Satu kalimat Galang yang membuat keadaan menjadi hening.
"Galang, kamu kok gitu sih? Kamu kan tahu aku punya Randy dan kami sebentar lagi akan menikah" akhirnya aku membuka suara memecah keheningan ini.
"Seandainya 4 tahun yang lalu kamu bisa lebih sabar nunggu aku, pasti jalan ceritanya ngga kayak gini." Jawaban Galang cukup mengejutkan aku.
Galang kembali mengungkit apa yang aku kira sudah selesai. Galang menyalahkan diriku yang tidak sabar menunggu dirinya yang hilang untuk kembali lagi dan membuka hatiku untuk Randy. Kejadian 4 tahun yang lalu itu ternyata masih dipermasalahkan oleh dia.
Berarti masih ada hal yang belum terselesaikan antara aku dan Galang kalau begini keadaannya. Ini harus diselesaikan sebelum hari pernikahan aku tiba. Aku mengkomunikasikan hal ini kepada Randy. Randy sepakat dengan diriku bahwa aku harus menyelesaikan dan meluruskan keadaan ini. Atas izin Randy aku menemui Galang.
***
Jumat sore di sebuah mall daerah Senayan. Aku yang memilih tempat, aku memilih di sebuah sudut café yang suasanannya kondusif untuk berbicara serius.
"Tasya…." Satu kata yang keluar dari mulut Galang saat bertemu dengan aku. Kemudian Galang menuju diriku yang sudah lebih dulu sampai. Aku berdiri, mengulurkan tanganku. Galang menyambut uluran tanganku dan… mengecup keningku.
"Galang….!!!!" Aku terkejut dengan kecupan itu tapi entah mengapa hatiku merasa ada sesuatu, tampaknya suatu kerinduan.
"Eh iya maaf Tasya…maaf ya..aku lupa. Soalnya biasanya kan kalau ketemu kamu aku kecup kening"
Seharusnya aku marah terhadap apa yang Galang lakukan tapi seperti ada yang menahan aku untuk tidak marah.
Akhirnya aku dan Galang larut dalam obrolan, obrolan yang berbahaya yaitu mengenang kembali apa yang dulu pernah kita berdua lalui. Hal yang sudah aku siapkan untuk aku bicarakan pun menguap begitu saja, aku tidak jadi menyelesaikan hal yang harus aku selesaikan.
Kami menghabiskan waktu hampir 3 jam di café ini dan aku pulang tanpa membawa hasil. Hasil untuk meluruskan hal yang dipermasalahkan oleh Galang. Malamnya kami melanjutkan obrolan di telpon , dan malam-malam selanjutnya pun kita lewati dengan ngobrol di telpon.
***
Hari demi hari, aku dan Galang semakin dekat. Aku sadar bahwa hari pertunangan aku semakin dekat, sahabat-sahabat aku juga sudah mengingatkan agar aku tidak melakukan hal bodoh. Tapi yang ada aku terus berhubungan dengan Galang.
Kedekatan yang membuat kita merasa saling memiliki satu sama lain, kedekatan yang menurut aku sudah tidak wajar namun aku menikmati keadaan ini. Walaupun aku tahu semua yang aku lakukan ini salah. Sampai disuatu obrolan yang mengubah keadaan.
"Kalau aku yang ngelamar kamu duluan gimana Sya" satu kalimat lagi dari Galang yang sangat mengejutkan aku.
"Galang…aneh-aneh deh. Eh, gimana sama cewe yang kamu deketin? Kok ngga ada kabar lagi?" aku coba mengalihkan pembicaraan.
"Udah deh, ngga usaha bahas itu ya Sya, Kayaknya itu cewe ngga mau sama aku." Galang enggan membahas tentang hal tersebut, dia lebih senang membahas dia dan aku.
"Udahlah Galang, ngga usah gitu… akunya udah mau tunangan loh"
"Tapi kan belum nikah…." Galang terus berusaha menggoyangkan keyakinan aku kepada Randy.
Aku yang selama ini terbawa oleh keadaan, aku yang mencoba membuka kesempatan kepada Galang untuk berteman lagi dengan aku tidak bisa terima kalimat Galang tadi, apalagi saat dia mengucapkan "aku bakal terus nunggu kamu ya Sya".
Aku marah karena Galang sudah tidak menghargai aku dan hubungan aku dengan Randy. Aku ngga suka Galang ngomong seperti itu. "Kalau kamu masih belum bisa terima keadaan ini dan belum bisa ngehargain aku dan Randy, kita ngga usah temenan aja ya." Itu kalimat terakhir aku kepada Galang.
Mulai malam itu perlahan aku dan Galang mulai menjauh, dimulai saat aku mengganti foto bbm aku berdua dengan Randy, Galang ikut mengganti dengan foto berdua cewe yang waktu itu enggan dia bahas. Tidak ada lagi bbm atau telpon di malam hari.
Semua berakhir, kedekatan aku dan Galang beberapa waktu kemaren merupakan kisah yang salah. Agak sedikit menyakitkan saat kita dekat berusaha untuk menjadi teman namun ada kesalahan dalam prosesnya dan sekarang harus kembali menjauh. Saat semuanya selesai harusnya aku senang, tenang dan bahagia karena tidak ada lagi krikil penghambat persiapan pernikahan aku. Tapi…ah sudahlah, ini kisah yang salah yang harus diakhir.
To be continue
akhirnya kita ada
di akhir yang menyakitkan
kusadar kita telah melangkah
terlalu dalam...
(Kisah Yang Salah – Glenn Fredly)




~ (oleh @nongdamay)