Tentang 30 Hari Cerita Cinta

Showing posts with label Jenaka Bukan Dosa. Show all posts
Showing posts with label Jenaka Bukan Dosa. Show all posts

30 September 2011

#9 I am a Next-level Phobic

Sejak kejadian republik curcol, apa yang terjadi antara gue dan Ian makin ngalir dengan natural. We both like two open books. Apapun yang kita pikirin dan rasain, gampang banget dishare satu sama lainnya. Gue tahu semua bab dalam hidup Ian.

Dibesarkan dalam lingkungan single parent, sejak Mamanya meninggal dunia setelah melahirkan adik laki-laki Ian yang berbeda 3 tahun di bawahnya. Ian si anak tengah, tumbuh jadi anak yang menggantikan peran Mama. Jago urusan rumah tangga, pembawaan ceria, dan tenang menghadapi setiap konflik yang datang. Papa dan Kak John (kakak Ian yang kini sudah berusia 32 tahun), sejak dulu bekerja keras menopang ekonomi keluarga. Kebayang aja, Ian bercelemek dan menggoyang-goyangkan wajan memasak makan malam keluarga. Meet the Domestic God himself!

Kehadiran Mawar yang nyaris nggak terganti sebagai cewek terdekat dalam hidup Ian, didukung juga sama karakter Ambu, ibu Mawar yang begitu dihormati Ian sebagai pengganti Mamanya. Mawar yang awalnya seperti adik perempuan yang begitu manja, lama kelamaan menguasai isi hati Ian saat mereka beranjak remaja. Hingga satu menit yang lalu, Ian menyinggung Mawar yang sekarang menjalin hubungan dengan Kris, teman SMA Ian yang sekarang menetap di Inggris dan sekampus dengan Mayang, ada rindu terbersit dari nada suaranya.

Tantangan besar buat naklukin satu paket cowok yang ada di sisi seberang cerminan diri gue sendiri. Bayang-bayang mantan bukan seekor kecoa yang bisa ilang dengan satu tepokan maut dari sandal jepit. Membuat Ian melupakan Mawar bakal bikin kepala gue botak seketika dan Shampo Metal pun belom tentu bisa numbuhin balik. Mendorongnya mengikhlaskan Mawar sebagai satu titik di garis kehidupannya, mungkin bisa jadi pilihan yang lebih bijak. Peluang berhasilnya ?

Tak ada hil yang mustahal.

Kata-kata khas dari alm. Timbul, punggawa Srimulat favorit gue sepanjang masa. Sebuah keyakinan yang gue bawa sejak gue bisa pake otak gue dengan bener. Jadi alasan kenapa gue bikin kaos bertuliskan itu, yang sekarang gue pake buat nyemangatin diri hari ini. Yup, today is THE DAY. Tepat sebulan sejak pertemuan gue dan Ian di Perky Park. 30 hari kita masing-masing tahu bahwa Ria Jenaka dan Euforiano Semesta hidup di dimensi yang sama.

Resmi pula minggu lalu, atasan gue jadiin hal yang selama ini gue karang sebagai alasan semu biar bisa ketemu Ian beneran jadi nyata. Now, I have my own column. 8 hari setelah pertemuan pertama gue dan Ian, partikel tentang jajanan anak SD masuk ke proses pembuatan. Kita berdua berburu jajanan sambil jalan-jalan dari satu SD ke SD lainnya. Satu hari agendanya makan, makan, dan makan. Lucunya, Ian mutusin nggak bawa mobilnya dan ngajak gue naik sepeda lipet. Jadilah kita dua makhluk berkeringet, kelaperan, pecicilan, pokoknya nggak kalah rusuh sama bocah-bocah nakal berseragam putih-merah. Sebagai penutup, Ian ngajak gue ke salah satu toko milik temen kecilnya yang ternyata ngejual berbagai cemilan jadul, dengan merk-merk favorit gue masa kecil dulu. Referensi jempolan untuk artikel yang dibuat dari hati, tsaaaah!

Hasilnya? Artikel gue mengalir natural bagai anak kecil ceriwis bercerita. Rubrik tambahan yang pada peluncuran uji coba, mendapat sambutan bagus dari clickers. Seminggu sekali gue harus nyetor satu cerita perjalanan kuliner yang dikemas dengan penuh humor, boleh ditemenin sama orang-orang pilihan gue. Syaratnya, pendamping gue itu harus orang yang bisa bikin cerita makin menarik buat diikuti. Finally, I get the chances to explore my creative/wacky ideas.

Siapa yang harus gue kasih ucapan terima kasih? Ya, cowok beruntung yang hari ini gue janjiin bakal gue traktir makan sampai melotot kekenyangan. Dia yang menerbitkan pelangi di langit hidup gue akhir-akhir ini. Hari ini gue pengen tahu, berapa fakta baru lagi tentang Ian yang bisa kasih kejutan di memori gue?

Yan, gue udah di OISHII nih. Where r u?

Gue kirim BBM ke Ian secepat kilat. Rakusaurus, dino garang yang hidup di dalem perut gue udah meronta-ronta super liar. Ian pun belum tampak secuil batang pun (nggak cuma batang hidung maksudnya). Sementara, aroma ramen dan udon yang menggoda sibuk bersliweran di depan indera penciuman gue. Tuh kan, bentar lagi gue perlu manggil mobil sedot iler buat ngilangin bukti-bukti ke-mupeng-an gue ke hidangan tamu-tamu di meja sebelah.

TRING!

Ada pesan baru masuk ke BBM gue. Kali ini sebuah foto. Gue bertopang dagu sambil melihat mangkok ramen di meja sebelah dengan ekspresi, "Pak, kasian Pak. Dari pagi belum makan." Diperbuas dengan sebuah judul, "Menunggu : Ternyata Melaparkan". Pengirimnya sekarang udah berdiri di depan gue sambil nyengir jahil. "Makanya Ri, gendong selalu blek kerupuk. Biar kalo kelaperan pas nunggu, lo bisa sambil kriuk-kriuk. Garingnya ada bentuknya. Bulet, putih, bolong-bolong," celetuk Ian asal-asalan. Gue bales dengan sama ngaconya, "Sekalian, Yan. Gue bawa juga tali rafia. Bikin balap makan kerupuk, kriuk-kriuk itu asyiknya rame-rame. Pemenang dapet cium mesra plus sapuan kumis baplang dari Pak Kades!"

Haduh. Laper malah bikin kita berdua garingnya diabisin sendiri. Nggak dibagi sama si kerupuk. Sabar ya, puk.

OISHII ini salah satu tempat makan yang lagi hip karena menu ramen dan udon yang pas dengan lidah orang Indonesia. Belum lagi ada keistimewaan, bisa dibikin pedes sesuka hati. Bukan pake cabe bubuk, tapi ramuan sambal cabe rawit merah yang dimasukin langsung ke kuahnya. Biasanya, kalo gue lagi pusing berat pasti pergi ke sini. Tendangan kuah cabe bisa ngelancarin otak, itu teori ala dokter Puyeng bin Mumet. And it works.

Pengecualian pada hari ini, gue nggak lagi pusing sama masalah. Well, mungkin pusing sama perasaan di hati gue, ya. Semakin gue deket sama Ian, semakin gue kenal sama hal-hal di hidupnya, ada perasaan takut tiba-tiba tumbuh. Takut nggak nemuin Ian yang bahagia di deket gue. Takut ngeliat Ian tiba-tiba mellow lagi kalo main hati salah strategi. Takut kalo di antara semua yang seems too good to be true, satu kejadian bisa mengubahnya 180 derajat. Darn! I become a next-level-phobic.

Kita berdua sebenernya udah jadi diri kita sendiri saat berhadapan satu sama lain. Masalahnya, apa satu bulan itu cukup buat naik ke level selanjutnya? Atau kenyamanan di posisi kita sekarang udah cukup baman? Yah, paling nggak meminimalkan konflik berbau asmara dan resiko patah hati, deh. Man, I should have that risk-counter software like Ben Stiller's character had on Along Came Polly movie. Apa perasaan bisa dihitung probabilitasnya bak bursa taruhan William Hill? Voor setengah, menang di atas kertas, empat berbanding satu? Ah, ini seperti memprediksi kapan Indonesia masuk Piala Dunia sepakbola, buram!

 "Ri! Mau pesen apa? Kok malah bengong?" sahut Ian membuyarkan pikiran gue yang malah window shopping kemana-mana. "Udah, gue makan apa aja pesenan lo, Yan. Hari ini berhubung gue yang traktir, you can choose whatever you like. Gue kan omnivora, semua juga ditelen," ujar gue cepat. "Your wish is my command, Sugar Momma!" seru Ian dengan muka berseri-seri seperti anak kecil yang baru dibeliin Anak Mas dan Coklat Jago.

Tidak sampai 10 menit, gue dan Ian sudah mulai menikmati makanan dan minuman kita masing-masing. Ian pun bercerita tentang apa yang terjadi pada hidupnya beberapa hari terakhir ini. Ternyata ada penerbit yang menawarkannya untuk menulis novel komedi dan temen-temen stand up comedy­-nya pun mengajaknya keliling beberapa kota untuk mencari fresh comedian talent sebagai penggerak komunitas komtung alias komedi tunggal di kota-kota tersebut.

"Gue lagi ngebut di jalan tol, nih. Rasanya mulussss!" seru Ian mengungkapkan kegembiraan akan kejutan-kejutan manis di hidupnya saat ini. "Sekalian, Yan. Mampir ke Indah Perkasa, trus elus-elus tegel keramik di sana. Pas mulusnya," celetuk gue sambil nyebut salah satu toko bangunan di deket kos. "Siaul lo, Ri! Diem-diem jadi sales-nya Koh Ahin buat jualin ubin?" tanggap Ian ke omongan asal gue. Gue cekikikan, nyadar kalo obrolan kita berdua udah ngelantur dari Sabang sampai Merauke. Sarap kronis!

Sambil nikmatin dessert es serut dengan sirup merah, hidangan  khas Jepang di musim panas, topik pembicaraan mendadak jadi serius. "Ri, lo fobia sama kebaya nggak?" tanya Ian dengan tatapan menyelidik. Nah lho, mau disuruh apaan lagi nih gue. "Nggak sih, asal pas kondean kepala gue jangan dikupas aja sama periasnya. Nyasaknya yang manusiawi," jawab gue mantap. Sempet terlintas di otak gue, jangan-jangan gue mau diajak stand up sambil pake kostum mbok jamu model Juminten-nya Lika Liku Laki-laki gitu. Gokil bener.

Ian pun melanjutkan, "Bulan depan, sepupu gue mau nikah. Gue kebagian jadi pager bagus. Gue sih mau-mau aja, cuma ternyata buat pasangan pager ayu-nya gue harus cari sendiri. Gue kepikiran lo aja yang temenin gue. Gimana? Bisa, Ri?"

ASTAGAULARNAGAPANJANGNYABUKANKEPALANG!

Lengkap sudah fobia next-level gue. Takut ngelangkah "lebih dari temen", ini malah muncul berpasangan di tempat yang justru bikin kita jadi sorotan, pesta kawinan keluarga. Perfecto. I am totally doomed. Siap-siap denger dua kata paling menyebalkan di dunia, "Kapan kawin?"

But, I have no other choice. Gue tersenyum sambil mengiyakan. Padahal ada tetes keringet segede biji duren nangkring di ujung dahi gue, mirip seperti di komik-komik Jepang.

Mendadak, Ian seperti bisa baca kekhawatiran gue. Tangannya yang kokoh, memegang tangan gue, sambil berkata penuh keyakinan, "Lo boleh kok bagi grogi lo ke gue. We'll find a way to get through that day. Nggak usah peduliin kalo ada keluarga gue yang iseng nanya-nanya. Anggep aja itu pertanda mereka welcome sama lo. Justru gue ajak lo karena lo pasti bisa bikin suasana asyik, seboring apapun acaranya nanti."

"Lo yakin nggak takut gue bakal ngerebut mike dan mulai ngebor sambil nyanyi lagu Inul di panggung?" tanya gue iseng. "Nggak, Neng. Ntar Abang ikut naik juga jadi Satria Bergitar. Ter-la-lu!" sahut Ian sambil tertawa. "Kalo perlu, kita duet aja, jadi Benyamin S sama Ida Royani. Eh ujan gerimis aje, ikan teri diasinin..." sambung Ian sambil mulai berdendang lucu.

"Oya, Ri. Gue lupa mau kasih lo ini," Ian menyodorkan sebuah tas kain. Gue merogoh isinya. Ternyata beberapa foto yang diambil saat kita berpetualang jalan-jajan waktu itu. Ian mengeditnya dan menaruhnya di dalam frame berukuran 4R serta 6R. Ada foto gue menikmati permen kapas sambil tertawa, foto Ian main gamewatch di abang tukang mainan dengan muka (sok) serius, dan foto kita berdua bermain ayunan di salah satu sekolah yang kita datengin. Untuk foto yang terakhir, Ian meminta salah satu temannya memotret. Kebetulan kita bertemu di SD itu dimana temen Ian yang bernama Rudi, sedang menjemput keponakannya pulang sekolah.

"Simpen ya, Ri. Biar lo nggak takut  lagi," ucap Ian sambil mengedipkan mata. Gue tersentak. Apa Ian tahu keparnoan gue sekarang ini? "Takut?" tanya gue hati-hati. "Iya, biar lo nggak takut lagi sama tikus-tikus nakal di kos. Kan sekarang udah ada pengusir yang lebih mantep dari ikan asin beracun," jawabnya sambil tertawa berderai. Ah, rupanya Ian nggak sadar. Baru aja dia sempet bikin jantung gue berhenti berdetak.

Sejenak, fobia gue mulai terkikis oleh kehangatan dan support Ian. Cinta platonis, cinta diam-diam, cinta bertepuk sebelah tangan, gue mau mulai nggak peduliin dan stop menerka-nerka "masuk ke mana hubungan gue dan Ian saat ini".

We're happy together and it's all that matters.

Oke, besok harus mulai belajar pake high heels. Nggak mungkin gue pake sneakers Converse merah andalan di balik lilitan kain itu. Pelatnas jalan jinjit dibuka besok!




-sambunglagiesokhari-




~ (oleh @retro_neko)

24 September 2011

Lope Lope Tragisto

Seumur hidup, gue pikir kisah cinta paling tragis itu bukan Romeo dan Juliet. Justru derita Slamet, Sanwani, dan Paijo yang gagal menggapai cinta Rita yang tahunya udah tunangan sama cowok masteng (mas-mas tengab) jebolan AKABRI. Padahal Slamet udah sampe beli mobil gigi maju ala Hanoman, Sanwani bolak-balik minjem mobil dari bengkel Babeh, dan Paijo tebar pesona tiap hari. Bener-bener ngenes.com deh! (Yang nggak ngerti silakan mampir ke Glodok or tunggu di TV swasta buat tayangan GENGSI DONG, komedi lejen Warkop DKI).

Sejak beberapa menit yang lalu, Euforiano Semesta dengan sukses menggeser trio naas itu dengan cerita menghanyutkannya. Sebuah kisah yang dituturkan setelah menepikan mobilnya di pinggir sebuah angkringan. Di antara kepulan asap dari poci teh nasgitel, terbukalah rahasia yang tadinya gue pikir saduran dari komik Jepang ala Candy-Candy atau Topeng Kaca, miris aja dengernya.

Sebut saja Mawar, seorang cewek yang dikenal hampir sepanjang hidup Ian. Tanggal lahir yang Cuma berbeda 7 hari, tempat tinggal yang cuma beda 7 rumah, tinggi badan yang sekarang selisih 7 cm, menjalin kasih hingga 7 tahun lamanya. Kalo mau percaya kata Mbah Jambrong, angka 7 itu punya kekuatan magis, harusnya bisa jadi keberuntungan buat Ian dan Mawar. Sayangnya, waktu berkata lain.

7 bulan ditinggal Mawar ke Inggris untuk menyelesaikan course yang didapatnya via beasiswa, Ian mendapati cewek yang dicintainya dengan sepenuh hati itu berubah total. Seakan ada implant silikon di dalam hatinya, membuatnya tampak begitu palsu.

"Kita berdua sama-sama suka nulis, Ri. Dari zaman kita SD, tiap hari kita tukeran diary. Kita sama-sama tulis apa yang kita alamin atau rasain hari itu di dalem buku notes biru, warna favorit kita berdua," kenang Ian tetap dengan puppy eyes­ warna coklat menawannya.

"Begitu kenal blog, Mawar ajak gue bikin blog atas nama kita berdua dan kita ganti diary itu dengan blog. Mawar juga minta gue bikin cerita bersambung tentang cerita cinta kita tiap hari. Ada tags khusus buat itu," Ian merunut lagi titik-titik dalam garis perjalanannya dengan Mawar.

"Trus? Dimana lo akhirnya sadar ada polisi tidur dalam jalan raya hubungan lo, Yan?" gue jadi ikut-ikut beranalogi dengan perumpamaan yang sangat berbau preman jalanan. Abis nyebut polisi tidur, kayanya gue bakal nyebut polisi cepek sama abang ojek. Solidaritas bersaing di jalanan, bersatu di pangkalan, merdeka!

Ian nggak gubris analogi asal-asalan gue itu. Masih dalam mellow mode ON, Ian berujar panjang," Dia mulai protes dengan cara gue ngomong di blog. Menurutnya, cerita gue terkesan nggak serius, nggak romantis, nggak gambarin betapa indahnya pacaran dengan temen masa kecil lo sampe udah 7 tahun berjalan. Feelnya nggak dapet. Gitu kata dia pas abis pulang dari Inggris."

Wuaduh. Gini deh kalo manusia dapet pengetahuan baru. Semua berasa salah, langsung cari detail atau hal kecil buat kita benerin. Berasa banyak hal yang kita punya dalam hidup udah berjalan salah dan ilmu baru itu pintu kita buat totally change. 7 bulan menimba ilmu sastra di kota yang sama kaya Mr. Bean berkeliaran, langsung deh pasang lencana di dada : "I know how to write better than you."

"Emang tulisan-tulisan lo subversif? Provokatif? Nyebut kata-kata mesum macem Nah Ini Dia?" desak gue penasaran sama rumitnya pikiran Neng Mawar. Mungkin karena sering disebut-sebut di Pos Kota atau Buser, jadi berasa penting kali nih kaya pejabat nerobos jalur busway. Huh!

Ian ketawa pelan, megang pundak kanan gue seakan mencari sesuatu untuk menopang badannya yang mulai lelah dan penat. "Sampe detik ini, gue selalu jadi gue. Jujur nulis apa yang gue rasa dan alamin di hari itu. Nggak kurang, nggak lebih," ucapnya dengan nada lebih tegas.

Gue mikir sebentar. Mereka-reka kata yang harus gue keluarin sebagai tanggapan. Belum sempet gue ngomong apa-apa, Ian udah lanjut cerita. " Protes satu, merembet ke protes dua, tiga, empat. Nggak kerasa udah protes yang keseratus lima puluh. Minggu berikutnya udah nambah seratus protes lagi. Interupsi di pembicaraan kita berdua udah ngalahin jumlah aslinya di gedung DPR," jelas Ian kembali menerangkan awal kandasnya lope-lope tragisto miliknya.

Ending cerita itu pun mudah ditebak. Mawar kembali cari beasiswa ke luar negeri. Menghapus hausnya akan ilmu-ilmu lain, demi membuktikan kalo bersama Ian di Indonesia justru membuat dia nggak berkembang jadi iron ladyI (bukan sejenis mbok cuci setrika lho ya). Jangan bayangin ada adegan mesra ala AADC di airport. Yang ada malah Ian dikasih tahu tanggal keberangkatan yang salah, nerima e-mail beberapa hari setelahnya, bertuliskan, "I'm already here. Wish me luck and I wish you the best of luck also. Without you, I can explore myself better. Without me, you will have louder happy laugh."

Mawar unjuk duri. Afgan memang.. alias SADIS. Kalah deh Gerwani dan penyiletan G-30S-PKI.

Gue manggut-manggut dan buka suara, "Sori, Yan. Gue nggak bisa komentar dan gue nggak mau komentar juga. Lo udah jalanin pilihan hidup lo setelahnya. Apapun yang bikin lo sedih di belakang, sekarang tetep jadi past tense. Sedeket apapun itu, seberapa seringnya lo kenang itu di hari lo, kita nggak punya Doraemon dan mesin waktunya buat muter semua kembali. PAS to the RAH!"

Begitu gue tutup mulut, sempet kepikiran kok gue jadi ikut-ikutan sadis yah kasih respons. Kesannya nggak ngehargain banget segala kemellowan seorang manusia kocak. Belom lagi gue main pukul rata aja. Yah, masalah gue dan Ian mungkin hampir mirip, tapi belom tentu juga dia hadepin patah hatinya dengan cara yang preman model gue. Untungnya, Ian kembali bikin gue menghela nafas lega.

"I know you would say that, Ri. That's why I want to put all the cards in the table with you. Soalnya gue liat lo mental bandar ceki," seloroh Ian sambil nyengir. Sebuah cengiran kuda lumping yang bikin gue ikutan tersenyum simpul dan mengangkat bendera semapur (maklum ya, anak pramuka kalo denger simpul pasti ingetnya semapur hehehehe).

"Ya udah, Komandan. Malem ini kita udah cuap-cuap syubidubidu damdam. Lama-lama sampe gue hafal berapa menit sekali lo bakal kedip-kedip karena mata lo udah berat tuh! It's a wrap, then! Gimana?" gue menyudahi percakapan panjang abis liat jam tangan yang menunjukkan waktu menjelang Subuh.

"Oke, Nona Jenaka. Kita lanjutin jalan ke istana hahahihi lo ya, kayanya lo juga udah ancang-ancang mau meluk guling," celetuk Ian balik. Kita sama-sama ketawa liat muka kita yang udah menjerit, "I want you, dear Bantal!"

Detik dan menit berlari setelahnya. Setengah jam kemudian gue udah di atas kasur, bersiap menyambut kantuk. Sebuah ucapan selamat tinggal yang tadi dilontarkan Ian di pintu pagar kembali terngiang. "See you next happy day, Ri."

Yes, indeed. Hari ini emang super hepi. Termasuk saat kita berdua berbagi duka, mendorongnya untuk menjelma menjadi suka.

Entah kenapa, hari ini gue pun sedikit berubah pikiran. Cinta yang gue rasa bergeser sedikit dari porosnya. Sekarang gue cuma pengen berbagi tawa dengan Ian. Greeting our happy day together.

Biarlah nanti purnama yang bicara. Apakah kelinci boleh hinggap di sana dan membangun istananya? Atau biarkan dia menggali lubang di perut Paman Bumi?

Satu kelinci, dua kelinci, tiga kelinci, ..... Zzzzzzzz....



-sambunglagiesokhari-


 
~ (oleh @retro_neko)

21 September 2011

L.O.V.E. at R.O.F.L.

Gaswat. Ketangkep basah. S-O-S. Ada nongkrong lanjutan? Pigimane ini, Maliih???

Gue pandangin lagi message yang gue kirim lewat BBM ke Melanie 10 menit yang lalu. Duh, masih D, belum R. Berarti Melanie masih beromantis-ria sama Davi dan belum sempet liat pesan maha penting dari gue. Alamat gue harus nemuin cara buat hadepin si cowok penyihir satu itu.

Seraut wajah Ben Stiller dari film Zoolander balik menatap gue. Tom Crooze, sentilan kacau dari Tom Cruise, manusia ternarsis yang pernah ada. Ah, kalo aja Tom Crooze mau menzakatkan 2,5% dari kepedeannya buat gue sekarang. Bener-bener gaya gue RIP, masuk liang kubur, mati!

Sebenernya, secara naluriah, gue merasa cocok dengan tempat ini. Namanya, ROFL, cuplikan dari istilah dunia maya Rolling On the Floor Laughing alias ketawa guling-guling. Aura komedinya begitu kental terasa. Muka para komedian terkenal bertebaran di mana-mana, mulai dari penghias interior sampai ke pengunjungnya. Ditambah fasilitas fun-room yang isinya sederet buku-buku humor dan sebuah layar yang menayangkan film atau talkshow komedi, dikelilingi sofa-sofa empuk. Emang rasanya pengen guling-guling terus di tempat ini. Nyaman banget buat penggemar dunia kocak macem gue.

Masalahnya, orang yang ngajak gue ke sini itu yang bikin gue nggak nyaman. Cowok yang jago mengocok perut dengan leluconnya dan membuat isi perut gue ikut nggak karuan gara-gara nyoba bersinkronisasi dengan jantung yang berdebar. Bentar lagi bulu roma gue ikutan joget, ngikutin bulu dada Bang Rhoma yang bergoyang ala Satria Bergitar.

Hey, betah bener di toilet. Lagi flirting sama Tom Crooze ya? Gue di table 7, waiting for you until that funny feeling in your tummy is gone :)

Tuh, kan! Ian si Mentalis mulai ngebaca gue lagi. Sebenernya dia tuh komedian apa tukang hipnotis sih? Gue ngaca, coba nyari apa ada keringet segede-gede biji jagung yang bikin Ian narik kesimpulan kalo gue segitu parah groginya. Dang! Sebuah wajah plongo balas memandang. Ah, cinta memang gila. Tak kenal permisi. Om Bagus emang bener, main nemplok aja panah Cupid, bikin kita jadi mikir kalo bumi itu nggak bulet, tapi kotak pletat pletot mirip batagor.

Gue tepuk keras dua bakpau di pipi, sambil teriak, "Kamu bisa!" Ini mau nge-date apa naik ring tinju sih? Ah, percaya sama gue. Mike Tyson kalo tiap bulan mens juga lebih milih adu jotos sama emak-emak rebutan midnight sale ketimbang ngadepin orang yang bikin dia nggak enak makan nggak enak tidur.

It's now or never! Garuda di dadaku! Cicak-cicak di dinding!
Pintu toilet gue dorong dengan penuh keyakinan. Langkah gue diayun tegak, percaya diri setingkat Briptu Norman, dan alunan lagu Chaiya Chaiya mengiringi hembusan angin di rambut gue. Bentar lagi gue muter-muter petak umpet di tiang-tiang pondasi proyek fly over, ketemu sama siluman berefek visual kelas teri, dan naik burung gede yang sayapnya keliatan digerak-gerakin pake tali tambang. Bisa liat tulisan "produksi Gentabuana Pitaloka" di bawah, kan? LE to the BAY!

*DEG*

Argh. I saw that amazing eyes again.

Mata coklat Ian bersinar terang hemat energi bertumbukkan dengan mata belo gue, begitu ngeliat gue udah duduk berhadapan dengannya. Cengiran jahilnya nongol lagi sambil berujar, "Udah puas foto-foto miring 45 derajat sama Mas Ben di dalem?"

Crap. Dia liat profile picture baru messenger gue. Bukti otentik kebersamaan kilat gue sama Tom Crooze barusan. Yak, segitu kurang kerjaannya gue nyempetin cekrak cekrek narsis di dalem. Well, I cannot resist the Crooze-charm-ism. Udik tapi asyik, seakan nempel di jidat gue waktu foto-foto ababil tadi.

"Relax. Gue juga nggak nahan liat Mister Item di toilet cowok," hibur Ian ngeliat air muka gue yang udah pengen ngumpet di dalem panci tukang bubur ayam. Sejurus kemudian, sebuah foto terkirim ke messenger gue. Begitu gue buka, pose kacrut Ian berpadu dengan gaya tengil Jack Black terpampang begitu saja di sana.

Gue ngikik seketika dan sebuah perasaan lega menyelinap di hati gue saat itu juga. He's nice. "Simpen aja, Ri. Kali aja ntar lo bisa iseng edit lagi pake Photoshop trus lo posting di Kaskus. Ntar gue yang pertamax-in buat lo," seloroh Ian tiba-tiba, bikin gue kaget karena sadar dia mulai menghilangkan jarak di antara kita.

"Siap, Komandan! Jadwal editnya ngantri ya. Udah dibooking duluan sama foto tikus-tikus sawah yang pengen dipermak pake bedak 7 lapis, biar bisa manggung lipsync di musik pagi tiap hari," sahut gue asal-asalan.

Ian ketawa dengan suara basnya birama 4/4, sebuah suara yang menyadarkan gue kalo malem ini nggak berakhir bencana dan segala ketakutan akan larinya cowok gara-gara celetukan lenong gue kabur begitu saja tanpa pamit.

"Oya, Ri. Sori banget. Temen-temen komtung gue ternyata lagi jalan ke Bogor. Ada audisi Stand Up Comedy besok di sana. Yang oke, bakal ditampilin di TV. Beberapa temen gue ikutan jadi panitia dan juri. So, it's just us for tonight," jelas Ian, memberi penekanan di kalimat terakhirnya. Gue coba menguasai diri dari kegirangan yang amat sangat, ketiban duren setruk ini namanya!

Ian menambahkan, "Dare to open yourself tonight, Miss?" Gue pun nyengir, sambil menjawab mantap, "I thought you'd never ask, Johnny Boy."

Malem itu, kita ngobrol seenak udel sampe perut dan rahang gue sakit kebanyakan ketawa. Satu pitcher lemon tea nggak kerasa ludes bersama dua piring french fries. Ngobrol ngalor-ngidul tentang macem-macem. Dari kisah-kisah masa kecil kita, segala titik koma dunia humor yang bikin kita tergila-gila, ngebahas film-film komedi favorit, rasanya gue nggak pengen pulang. Tahu-tahu jarum-jarum di jam tangan gue nunjukin waktu 1.30 dini hari. Sepetnya mata gue mencubit dan ngingetin gue kalo gue harus pulang ke kasur empuk tersayang.

Di perjalanan nganterin gue balik ke kos, percakapan kita mendadak berubah tone menjadi lebih serius. Entah siapa yang akan jadi narasumber dan moderator. Yang pasti, pagar kos gue nanti bakal jadi pengingat habisnya durasi tayangan manis malem ini.

Awalnya, Ian melontarkan pertanyaan mengejutkan. "Ri, kenapa lo harus nutupin diri lo yang sebenernya sih? I know you're not a superhero or cape crusader with latex clothes and dreadful mask," tanya Ian sambil menyetir cukup pelan menembus malam. "I'm afraid of being funny. Nggak semua orang seneng diajak ketawa, Yan," ujar gue lirih. Jidat Ian berkerut bingung dan alisnya ikut meliuk. "Maksud lo gimana, Ri?" tanya Ian kembali.

*SIGH*

Tiba juga saatnya gue menceritakan semua kutukan itu. Berurutan gue menuturkan satu per satu pengalaman gue terhadap cinta dan para cowok yang anti humor itu. Herannya, gue bisa begitu tenang menceritakan semuanya. Seakan ada kekuatan yang mendorong dan meyakinkan gue kalo kali ini bisa jadi akhir dari kutukan mengerikan itu.

"Wow," satu kata tercetus dari mulut Ian. Mungkin dia bingung, melihat ada cewek yang bisa dengan tenang menceritakan kisah-kisah asmara kandas tanpa emosi jiwa dan tangis menderu. "Yah, begitulah sisi gelap hidup gue, Yan. Gelap yang gue tinggalin dengan lari sekenceng-kencengnya ke depan," sahut gue dengan nada optimis.

Ian tersenyum, kemudian kembali mengejutkan gue dengan pernyataannya. "What does EPIC feel?" tanyanya. Gue bingung, kenapa jadi tes Bahasa Inggris begini tengah malem? "Maksud gue, gimana rasanya seperti di kaos lo itu. Ketemu sama versi cowok dari diri lo sendiri," jelas Ian, menjatuhkan bom lagi di perut gue.

HEEEEHHH???!!

"Yan, kita bukan kembar yang tertukar kan ya?" suara gue mulai tercekat. Tawa Ian meledak sambil (tanpa diduga) mengelus-elus rambut gue. "Kita punya benang yang sama, Ri. Kelucuan kita nggak bisa bikin orang yang kita sayangin tertawa bahagia," ucap Ian disertai tatapan menerawang. Ada pilu terselip di sana.

Beberapa kilometer menjelang tempat tinggal gue, Ian pun menumpahkan semuanya. Cerita menggugah yang mengalahkan skenario FTV terbaik sekalipun.

Menyibak sebuah sosok yang nggak gue sangka bersembunyi di balik segala kelakar cerdas dan tawa ceria itu.  Behind the amusing laughter, lies a deep scar that is waiting to be healed with a real smile.



-sambunglagiesokhari-






~ (oleh @retro_neko)

20 September 2011

Lelucon Alam Semesta

Kopi darat.

Dua kata yang sebenernya udah eksis dari zaman brik-brikan dulu. Saat Ayah dan Bunda saling bermesraan, mengucap Papa Alfa Charlie Alfa Romeo, sarana berkencan di udara. Dari 'kopi' pasangan si 'roger', berpadu dengan keinginan tatap muka sambil menginjak bumi, lahirlah 'kopi darat'.

Seumur sejarah dan kiprah guw di dunia maya, bisa dibilang hampir semua cara kopi darat gue berakhir dengan bencana. Antara ketemu buaya darat atau buaya berkarat. Charlie Alfa Uniform Romeo!

Nggak jarang gue manfaatin jasa joki buat acara kopi darat gue sebagai penawar kekecewaan gue, mulai dari temen-temen gue yang gila dan nggak tahu malu sampai bayar Beti alias Bencong Tikungan buat ngusir jauh-jauh cowok gendeng yang terus-terusan ngejar gue karena mimpiin gue seminggu berturut-turut dan menurut wangsit ahli spitirualnya, itu pertanda gue adalah jodoh hidup sematinya.

Berbekal pengalaman pahit jamu dan asem ketek macem itu, semalem gue penuhin otak gue dengan film-filmnya Adam Sandler. Berharap kalo pertemuan gue beberapa menit lagi nggak berakhir mengenaskan. Jujur, gue belum siap masuk jadi headline koran Lampu Merah besok pagi, "Kopi Darat Gagal, Nafas Ria Tersengal, Hilang Pikiran dan Akal, Manjat Tiang Listrik dan Jatuh Cium Aspal." No way, Bray!

SKJ 92 pun gue praktekin di muka, biar besok nggak ada sesi bengong sapi berjigong atau kembaran sama Aziz Gagap. Ke-ke-ke-napa ta-ta-tadi? Sayang banget, gue nggak punya remote control ala film Click dimana gue bisa pencet pause kalo grogi udah merasuk sampai ke gigi, ngelurin suara gemeretuk khas anjing herder.

Untuk kesekian kalinya gue melirik ke jam tangan kesayangan bergambar Mr. Smiley kuning cerah. 10 menit lagi menuju jam 8 malem, Perky Park udah mulai dipenuhi para pengunjung setianya. Maklum, sekarang weekend udah manggil-manggil dengan segala keceriaan dan kejutan-kejutannya. Everybody needs the right place for their sweet escape.

Sayangnya, gue nggak pengen escape kemana-mana lagi sekarang. Gue berusaha numpukin berton-ton kenyamanan karena gue udah pesen tempat favorit gue kalo lagi pengen menyendiri or ngobrol asyik sampe berjam-jam. Plus sepoci chamomile tea buat ngurangin kecemasan dan rasa aneh di perut yang pastinya bukan darisepiring ketoprak yang gue makan sepulang kantor tadi. There's a giant butterfly flying furiously in my tummy!
Pasangan setia notes merah dan pulpen belang-belang, senjata andalan gue buat kumpulin inspirasi artikel, udah bersanding manis di atas meja. Yup, gue masih inget bener dengan inti dari kopi darat gadungan hari ini. Atas nama deadline dan dedikasi sebagai penulis berbayar, gue menyamarkan isi hati dan semua rasa penasaran gue akan makhluk Adam menakjubkan ini di balik semak-semak (tentu saja demi keamanan bangsa dan negara asmara, gue udah periksa di balik semak-semak itu nggak ada bencong ngumpet dari Kamtib atau mas-mas angkat sarung  buang hajat.)

Satu menit menjelang jam 8 malem, sososk yang gue tunggu itu akhirnya dateng juga. Tetap dengan gaya andalannya, t-shirt dengan funny quotes, jeans, dan sneakers. Di t-shirt Euforiano terpampang tulisan Cannibals don't eat comedians because they taste funny. Gue pun milih salah satu t-shirt  setipe dengannya. Quote yang gue pilih : I really want to meet the male version of me. That would be EPIC. Hmmm, semacem curcol sih sebenernya isi tulisan itu hehehehe.

Gue kirim pesan lewat messenger, "Gue di meja 12, paling pojok deket kaca. Udah duduk manis siap ngacung telunjuk buat nanya ke Pak Guru :)"

Sejurus kemudian, Euforiano tersenyum manis di hadapan gue, mengulurkan tangannya, sambil memperkenalkan diri. Writer switch ON. Hei kamu, oknum-oknum asmara, minggir dulu dari arena!

"Hai! Udah lama nunggunya? Gue Euforiano, panggil aja gue Ian," sebuah tangan kokoh langsung gue sambut dengan jabat erat (tanpa kelitikan jari telunjuk, ya!). "Ria Jenaka, panggil aja gue Ria. Dan bener banget gue lahir Minggu pagi," sahut gue cepat,. Maklum, hampir semua orang yang lahir satu masa atau berada di usia lebih tua dari gue, bakal mengkaitkan nama gue dengan acara TVRi yang terkenal itu.

Ian pun terkekeh sejenak dan menghempaskan diri di sofa empuk, berhadapan dengan gue. Beberapa menit selanjutnya kita habiskan dengan memesan makanan dan minuman. Porsi makan kita berdua pun sama banyaknya. Ian pun nggak komentar liat pesenan gue yang bisa dibilang banyak untuk ukuran cewek. Mungkin dia juga maklum dengan pekerjaan gue yang mengharuskan gue punya energi banyak buat nulis kata-kata dengan deadline menghantui ditambah isi artikel yang akhirnya membentuk gue jadi perut karet.

Sambil menunggu pesanan kita yang seabrek-abrek itu, Ian membuka percakapan. "So, what can do for you, Miss Hahahihi?" Senyum khasnya kembali muncul di akhir kalimat. Gue ikutin saran Melanie mengenai mengambil nafas diam-diam, trik menenangkan diri tanpa membiarkan lawan bicara tahu kegrogian kita. "Beberapa bulan ke depan, bakal ada rubrik baru. Semacam kolom yang mengulas kuliner dengan gaya humoris gitu. Gue yang nulis isinya dan nama gue di situ bakal diganti dengan Jeng Nyam-nyam. That's why I need some of your witty urban jokes for the column," jelas gue dengan ketenangan 10.000 volt. "Jadi, lo bakal pake jokes di blog gue buat setiap isi kolom lo?" tanya Ian cepat. Wah, gue nangkep ada nada keberatan di suaranya.

"Cuma untuk kolom pertama aja. Di situ gue bakal sebutin nama lo, kita kaya wisata kuliner bareng gitu dan lo nyampein beberapa joke dalam percakapan kita. Isi kolom-kolom seterusnya bakal beda konsep. Yah, harus pake kreativitas gue sendiri dong, masa numpang kocak sama lo terus. Nggak aci dong itu namanya," sergah gue sambil tanpa sengaja memberi kata yang dulu suka gue pake zaman SD, kalo ada yang curang di tengah-tengah permainan.

"Oh, I see. Jadi, nanti kita lomba makan juga ya? Ngucapin mak-mak yang lain, di luar maknyus dan maknyos? Berfoto dengan mulut belepotan makanan dan perut membuncit kekenyangan? Seru juga kedengerannya. I'm in!" ujar Ian membuat teori dan kesimpulannya sendiri, tinggal tambahin aja saran dan daftar pustaka biar kelar langsung skripsinya.

Ya elah, dia mikir makan gratisnya doang nih. Yo wis, senggaknya kita berdua bisa ketemu lagi sambil makan bareng, tanpa harus malu ada ajak-mengajak kencan. Di dalam hati gue pun ketawa genit mirip Dono kalo ketemu cewek cakep. 

Ian membuka tablet­­-nya dan mulai browsing melihat-lihat tulisan-tulisan gue yang udah dipublish. Setiap klik-klik-klik, kepalanya pun manggut-manggut, bikin gue jadi berpikir kalo Ian adalah anak metal yang hobinya angguk-angguk kaya ayam batuk. Tinggal pakein dia topi pet ala pelukis, pegang spidol, trus ngomong, "Bagus, bagus." Voila! Pak Tino Sidin bangkit lagi!

Semua makanan kita nggak lama dateng dan kita menghabiskan sisa waktu untuk makan sambil membahas kira-kira  bagaimana bentuk liputan wisata kuliner yang akan kita bikin dan joke-joke mana yang bakal ditampilin. Akhirnya, kita mutusin buat keliling sekolah ke sekolah buat nostalgia jajanan SD. Kita pun sepakatin t-shirt bergambar tokoh kartun favorit kita kecil dulu sebagai dress-code buat menambah kesan jadul di foto artikel nanti.

Menjelang jam 10 malem, smart phone Ian tiba-tiba berbunyi. Lagu Bocor dari The Cash pun terdengar sesaat di antara kita. Ian mengangkatnya, "Halo? Hey, Rob? Iya, gue masih ketemuan dulu buat kerjaan. Eh? Oh gitu, okay I'm fine with that. Jadi besok aja ya, lo BBM gue aja fixnya jadi kapan n dimana. Thanks, Bro."

Wah, kayanya dia punya janji hang out sama temen-temennya abis ini. Good. Gue bisa laporan sama Ibu Peri abis ini dan lepasin semua kegrogian yang udah gue tahan-tahan dari tadi ini.  

"Ri, pindah tempat yuks! Kalo lo nggak ada acara lagi malem ini, kita nongkrong di basecampnya jagoan-jagoan komtung (komtung = Komedi Tunggal, julukan lain buat Stand Up Comedy). Biar lo dapet banyak bahan buat kolom-kolom lo ntar. Gimana?" suara Ian membuyarkan lamunan gue dan refleks gue mengiyakan tanpa berpikir kalo gue nggak memperhitungkan adanya "kopi darat lanjutan di hari yang sama'. Cilaka dua belas!

Ian membayar semua malem itu, walaupun gue udah bersikeras membayar, dengan alesan ini urusan kerja dan udah masuk ke dalam anggaran liputan. "Oh, come on, Ian. How can I repay you?" tanya gue memelas setelah Ian pun menolak sodoran uang pengganti apa yang udah gue telen tadi.

Ian menyeringai jahil dan akhirnya mengeluarkan kata-kata yang bener-bener nggak pernah gue sangka, "Well¸you can start with dropping all those acts and pull yourself together. Gue tahu ini bukan diri lo yang sebenernya and I wanna see the real you for the rest of the night. Tenang aja, gue nggak bakal gigit or makan lo kok. You'll taste funny, anyway."

Sebuah alarm berbunyi keras di kepala gue. Kayanya gue nangkep arti funny yang dia maksud, dan itu nggak ada hubungannya dengan cita rasa masakan. Siaul, siaga satu ini namanya! Aduuuuhhhh!

Sebelum gue napak lagi dari kekagetan dan ngembaliin muka gue yang melongo super dongo, tangan kokoh itu tiba-tiba menarik gue pergi. Sebuah senyum hangat Ian tiba-tiba seperti mengirimkan pesan kosmis aneh ke hati gue. You'll be alright, Ria. He'll give you a night to remember and you'll be safe in his arms.

Sejenak alarm itu berhenti berbunyi dan gue pun mulai memasrahkan diri akan apa yang bakal terjadi selanjutnya. Alam semesta rupanya menyimpan lelucon kejutannya buat gue malem ini.



-sambunglagiesokhari-



~ (oleh @retro_neko)