Tentang 30 Hari Cerita Cinta

29 September 2011

Elegi Purnama #12

Tentu saja ini bukan kejatuhan Cupid. Kutegaskan sekali lagi pada hati, ini cuma butuh, butuh yang sesaat. Jika menyadari kesesaatannya dari awal, berarti aku harus menyiapkan ekstra hati. Barangkali saja hatiku terlanjur kuberikan setengah padanya. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sendirian. Entahlah, mengapa demikian perhitungan dengan cinta. Sakit bertubi-tubi mengajari matematika untuk urusan hati sekalipun.  
Aku masih duduk di depan layar 15 inch sampai larut. Bayangannya muncul di depanku serupa wallpaper yang bergerak-gerak memperlihatkan senyum. Akhirnya kuambill wudhu, melenakan diri dengan sujud panjang sembari banyak bertanya. Berharap mungkin jawabnya akan kutemukan esok hari dalam hati yang tiba-tiba. 
***
Kutunggu pesannya sepagi ini, kusapa lebih dulu tak juga terkirim. Menelepon sebentar, jawabnya sama. Sedang tidak aktif. Mungkin sudah sibuk sepagi ini. 
Satu jam, lima jam, sepanjang hari tak juga namanya muncul dengan rasa gulali. Punya hak apa aku menanyakannya terus, sibuk menerka-nerka dan mulai merasa cinta macam apa ini. Hatiku terbuka sendiri saat kukunci rapat-rapat. 
Seminggu berlalu, Rengga hilang tak berkabar! Ini mungkin jawaban atas doaku kemarin. Ia selalu memiliki jawaban sendiri atas doa bukan? Di kelas menulis pun ia tak datang. Pak Jandri cuma menggeleng pelan saat kutanya keberadaannya. Ia pergi, menyisakan tanya yang begitu besar dan cinta pelan-pelan yang tumbuh subur dalam sangkalan. 
"Runny, balas pesan ini sekarang. Kalau sudah selesai mengajar, kita ketemu di depan terminal Lebak bulus jam tujuh malam nanti. Rengga". Segera kuiyakan pesannya dan pamit pada tim konseling untuk keperluan mendadak, kupacu sedan yang kebetulan kubawa di kecepatan 100 km/jam. Persetan, Bogor-Jakarta bisa sejam kan? aku bicara sendirian di balik kemudi. 
Gelap belum genap saat kutemui dirinya di seberang lalu lalang terminal, tepat di samping bangunan pemadam kebakaran. Ia duduk menunggu di bangku kayu, di depan kios rokok yang tutup bercat biru. Senyumnya tersungging kembali di bibirnya setelah menanyakan kabarku. 
Rengga sedang bersusah hati, kulihat jelas di matanya yang meredup. Ia sangat introvert, takut bercerita dengan orang banyak. Sulit membuka mulutnya untuk sekedar bercerita latar belakangnya. Sedikit demi sedikit ia membuka keinginannya untuk membagi, setelah banyak berputar-putar dan aku cuma memandanginya bercerita tak tentu arah. Seperti di kelas konseling, bedanya di sini adalah kafe dan bukan ruangan. 
Ia cerdas. Anak tengah yang malang, terhimpit di antara kakak yang jenius dan adik yang penurut. Ia berada di antaranya dengan kepayahan, berupaya menuruti semua ingin orangtua yang tak sepaham mendidik anak. Rengga dituntut nomor satu untuk semua hal, mereka tak peduli dengan keadaan otak dan fisik. Ia tumbuh menjadi anak cerdas yang dipaksa keadaan, dengan orangtua yang sama sekali tak dapat diajak berdialog. Ibunya meninggal sehari setelah menjenguknya di Padang. Rasa bersalah yang terlalu membuatnya terpuruk. Selama lima tahun lebih ia tak pernah dijenguk saat studi mengharuskannya jauh dari orangtua, namun pergi meninggalkannya begitu saja setelah melihat anak tengahnya tak kunjung lulus dan pulang membawa oleh-oleh ijazah. Seolah ingin berpamitan sejenak sebelum menuju akhirat, ia sempat memeluk perempuan yang sangat dicintainya walau sangat kaku itu.Di tengah pelukan Rengga sempat menangis, entah untuk apa. Rupa-rupanya air mata yang tak sengaja tumpah adalah duka yang dini. Ia lebih tahu membahasakan kehilangan sebelum si pemilik mata melihat kenyataannya di kemudian hari. 
Terhimpit di antara hubungan persaudaraan, ia menjadi sangat nakal dalam diam. Sejak sekolah dasar mengenal rokok, pelan kemudian mengenal ganja, heroin, putauw, jarum suntik, alat hisap. Aku bergidik. Ini rupanya alasan mengapa semua menjadi sedemikian berantakan. 
Selama bertahun-tahun orangtuanya tak curiga sampai kemudian sebungkus ekstasi ditemukan dalam tasnya beberapa waktu lalu. Saat ia berhenti mengkonsumsi putauw dan cuma beralih ke pil warna-warni memabukkan itu. Ayahnya murka, membabi buta dengan amarah yang berada di puncak tanpa ada lagi sosok ibu yang menenangkan. Dengan berat hati, Rengga merelakan diri digiring ke BNN menjalani rehabilitasi. 
Sepeninggal perempuan satu-satunya di rumah, ia berubah menjadi gamang. Terlebih tak dekat dengan ayah, kakak dan juga adiknya. Terombang-ambing sendirian dan hidup bak robot ketika satu persatu keputusan dalam hidupnya diambil alih selain dirinya. Dimulai dengan pindah kuliah ke Jakarta, tak memiliki uang sama sekali dan mengharuskannya mencari tambahan menjadi guru bahasa Inggris di luar karena mereka semua mengganggap seusianya tak pantas lagi menerima uang jajan. 
Ah Tuhan, mengapa cinta kau jatuhkan pada sosok serumit ini yang menumbuhkan kasihan? Ia sangat manis, imbas dari kehilangan perempuan yang telah melahirkannya. Secara tersirat mengatakan ingin sekali memiliki pendamping yang membantunya keluar dari lingkaran membingungkan. 
" That's why I need you, Runny".
"Aku butuh kamu, sosok yang kuat. Aku janji akan mulai semuanya dari awal. Akan selesaikan kuliahku, cari kerjaan yang mapan trus nikahin kamu", tambahnya.
Aku menantapnya, berkedip sekali dan tetap mengatupkan bibir. 

 
~ (oleh @iedateddy)

Chemistry: 12

Him and Him part 3


A D R I A N

"Kenapa weekend kemaren elo gak barengan sepedaan ama Leah?". Ferdi menanyaiku ketika kami bertemu di smoking area.
"Barengan kok pas hari Minggu nya, kenapa?"
"Iye, bareng. Setelah dijutekin ama Leah. Iya gak?". Kalimat dari Ferdi menghajarku telak. "Kok elo tau?"
"Elo bikin malu aja deh, masak masih pedekate aja udah ingkar janji. Udah gitu pake acara gak pake ngangkat telpon segala, bales sms telat pula. Yaelah!" Ferdi semakin memojokkanku.
"Leah ada ngomong apa sama kamu?"
Ferdi tidak menjawab pertanyaanku tapi memiliih pergi.

J A M E S

Sudah hampir setahun aku memperhatikan Leah. Dari kejauhan. Di ruang meeting. Di koridor. Di tangga. Dimana saja di kantor ini, tapi ternyata sulit untuk bicara dengannya secara personal.


~ (oleh @WangiMS)

Payung


                Sedikit demi sedikit jalan menuju rumah dilalui Fany, tampaknya beberapa hari ini sering sekali hujan. Walaupun tak deras tetap saja menyusahkan. 3 hari berturut-turut hujan turun, Fany kira cerah tadi pagi akan awet sepanjang hari. Perkiraannya meleset, beberapa menit sebelum bel pulang rintik hujan mulai membahasahi. Siapa sangka cuacanya akan seperti ini?
                Daripada terlambat pulang lebih baik Fany basah kuyup, "hanya gerimis" pikir Fany daritadi. Tak mungkin dirinya sakit, hanya gara-gara udara dingin dan tetesan air yang secara langsung mendarat di rambutnya tanpa penutup apapun. Fany memutuskan untuk tak pulang dengan Moan, ia tak mau mengganggu Moan yang masih ada latihan pulang sekolah. Fany tertunduk, entah beban pikiran atau apa yang membuatnya lebih sering murung akhir-akhir ini. Sepertinya sudah tak bersemangat untuk hidup. Wajanya hanya melihat ujung sepatu yang sedari tadi beradu dengan tanah dan batu sepanjang jalan. Tak lupa dibumbui dengan basahnya air hujan yang membuat kakinya lembab. Dan tentunya kaus kaki ini akan jadi terakhir untuk minggu ini.
                Langit semakin tak menunjukkan keramahannya. Tetesan air semakin ramai mengucur . Jalan pun menyepi, hanya beberapa orang yang tak peduli dengan guyuran hujan yang semakin deras. Sedangkan Fany? Kesialan menimpanya hariini. Jaketnya serta payung yang biasa menemaninya kala hujan tak bersamanya kali ini. Tak ada yang menutupi tubuhnya selain seragam SMA.
                Sempat terbesit di benak Fany seorang pangeran yang menolongnya membawakan payung dikala wajah manis Fany basah karena hujan, kemudian melepas jas nya untuk tubuh kecil Fany yang kedinginan. Berkata manis sambil memeluk tubuh Fany untuk menghangatkannya. Namun apadaya, hayalan tersebut terlalu tinggi, "sudah terlanjur basah seperti ini boro-boro ada yang mau bawain payung"
                Siapa sangka? Sebuah payung akhirnya menutupi tubuhnya yang basah, kala itu. Siapa ini? Apakah hal ini seperti cinderella atau snow white ? atau bahkan seperti di sinetron ? atauu..
                Fany dengan ragu menoleh kebelakang, siapa yang menopang payung tsb. Tak disangka orang itu Sam. Fany kaget bukan kepalang. Dan terjadilah beberapa konflik dibawah payung tsb
"Komeng?"
"gak tega gue liat lo kehujanan"
"sejak kapan…"
"gue kan kalo pulang nungguin lo terus"
"tapi bilang kek kalo ngikutin"
"terserah  lahh, nih payungnya, kayak biasa gue ngikutin lo dari belakang aja"
"jangan, lo bawain payung gue aja, gue juga kasian liat lo menderita terus"
"makasih cantik, tumben"
"gausah gombal daripada gue suruh lo basah kuyup dibelakang"
"peace cantiiiik hehe…"
                Dua sejoli tsb akhirnya menyusuri jalan berdua. Biarpun ada sedikit rasa canggung di keduanya, tapi tetap saja beberapa konjadi konflik kecil terjadi beberapa kali. So sweet, kah ini ? tak ada yang bisa menilai.
                Percakapan itu semakin lama semakin hangat, Fany baru kali ini merasa nyaman berada di dekat sam. Ada sedikit keraguan, namun untuk kali ini saja Fany mencoba untuk mendekat sedikit pada Sam. Dibawah payung, dibawah hujan yang menyatukan mereka. Sepertinya tuhan punya maksud lain di balik kesialan Fany.
                Tinggal beberapa langkah keduanya sampai di rumah Fany. Udara dingin semakin menusuk tulang di siang itu. Sinar matahari tampak terkorupsi oleh tebalnya awan. Tak ada pertanda cuaca akan membaik, beberapa kilat bahkan sesaat muncul.
"Fan, ntar malem ya"
"apa?"
"jangan pura-pura lupa deh"
"iya gue inget"
"janji dateng ya"
"gue gak janji"
                Jawaban jutek Fany tak melunturkan semangat Sam. Malah Sam berbisik kecil pada Fany, sedikit senyum simpul tersamar dibalik wajah Fany. Akhirnya mereka berpisah. Senyum Sam tampak terpancar cerah melepas kepergian Fany.
To Be Continued…


(oleh @iimamf)

#15 Dingin, malam, tanpa kamu. Sepi.



Sendiri.

Sendiri saja aku duduk di balik kemudi. Terjebak hiruk pikuk lalu lintas ibukota sore ini. Belum ada separuh perjalanan pulangku. Ku nyalakan saluran radio --yang sebenarnya aku sendiri tak terlalu menyimak dibicarakan di udara.
Ini hari Rabu, berarti sudah tiga malam aku bermalam di rumah Papi. Tadi pagi Papi sempat memintaku untuk tinggal lebih lama lagi. Mau Papi aku disana sampai Nalen pulang atau setidaknya sampai weekend datang lagi, agar Papi bisa menemani perjalanan pulangku ke Bogor bersama estillo hijau toska pemberiannya. Inginku pun sama dengan Papi, tapi jadi urung kalau ingat satu-satunya alasanku pulang ke Bogor adalah deadline-deadline pekerjaan dan mengurus Jerami tentunya. Dan sore ini ku putuskan untuk pulang mengendarai mobil ini sendiri.

Banyak sekali yang ku lakukan bersama Papi tiga hari ini. Kami belanja, memasak sampai pergi bersepeda keliling Kota Tua di Jakarta. Kami seperti sepasang kekasih ya?haha.. iya kami Ayah dan anak perempuan yang kompak. Suka Papi dan Duka Papi ada aku di sana. Mungkin karena kesamaan nasib, sama-sama ditinggalkan orang yang kita cintai. Orang yang sama, Mami.

Tiga hari yang pasti sangat menyenangkan bagiku dank u kira juga untuk Papi. Terbukti beberapa kali kami makan bersama, Papi makan dengan lahap bahkan sampai tambah-tambah haha.. mudah saja mengetahui bagaimana suasana hati Papiku ini, tinggal lihat selera makannya sedang baik atau buruk. Sebab selera makannya berbanding lurus dengan suasana hatinya.

Kami bisa berbincang sampai larut kalau sudah keasyikan. Menemani Papi main game sampai malam atau kalau ada tinju aku suka tidur di sofa dan Papi duduk menonton tak jauh dariku. Sore ini kalau aku memutuskan untuk pulang bukan berarti karena aku tak sayang, tapi terpaksa aku harus cukup dengan merindukannya selama beberapa minggu untuk nanti bertemu lagi karena di rumah ini masih banyak ruang yang ingin kami penuhi dengan tawa dan canda kita.
Aku mulai mencoba fokus pada perjalanan. Mengatur apa saja yang harus ku kerjakan sesampainya di rumah nanti. Di rumah sendiri, tanpa Nalen dan baru saja jauh dari tawa Papi rasanya pasti benar-benar sepi.

***

Dan benar saja terjadi apa yang terlintas dalam benakku tadi di sepanjang perjalanan. Aku kesepian. Sendiri. Tanpa Nalen dan tawa Papi di sini.

Pukul 18.34 lewat magrib aku baru sampai rumah. Sepi sekali, ku nyalakan seluruh lampu yang perlu ku nyalakan bila malam tiba. Aku segera mandi dan bertukar pakaian. Rencanaku malam ini aku akan mengunjungi Jerami, karena sudah tiga hari aku hanya mengawasi via telfon dengan Ahmad.

Aku sudah mendengar dari Nalen tentang ide Ahmad yang akan membuat ramai suasana Jerami dengan menampilkan live music acoustic. Tidak setiap malam tapi hanya malam-malam tertentu dan weekend saja. Sementara live music akan di isi oleh beberapa personil yang setahuku salah satu personilnya adalah adik kandung Ahmad. Pikirku tak apalah asal professional. Dan malam ini rencananya aku akan menonton perform perdana mereka. Belum pukul setengah delapan aku sudah meraih notebook dan beberapa barang yang perlu ku bawa. Rencananya aku juga akan menyicil pekerjaan tulisanku untuk majalah di Jerami nanti. Siapa tahu suasana akustikan mendukung datangnya ide-ide segar untuk tulisanku.
Notebook, charger, pena, kertas dan hmm..handphone.

Ku tengok lagi ponselku. Tak ada kabar lagi dari yang ku tunggu. Pesan terakhir ku terima dari Papi, menanyakan keadaanku sudah sampai rumah atau belum selebihnya tak ada.

Nalendra, suamiku apa kabarnya dia tiga hari ini?

Terlintas wajah cemasnya ketika di bandara kemarin. Aku tersenyum merindukan pelukan badan beruangnya. Suara terakhirnya yang ku dengar kemarin terasa berat, pasalnya dia sedang kelelahan sekali. "Aku ngantuk berat nih sayang.." begitu keluhnya sebelum akhirnya ku dengar dengkurnya di seberang pulau nun jauh disana haha Nalen kalau dengar dengkurmu rasanya ingin ku pukul dia dengan bantal. Berisiknya ampuuun..

Kemarin sempat ku cerna kabar dari Nalen kalau ternyata penerbangannya menuju Tobelo mengalami keterlambatan. Delay karena cuaca penjelasan klasik dari pihak penerbangan kalau ada keterlambatan jadwal. Kabar buruknya Nalen terpaksa harus menginap semalam di Manado sebab penerbangan ke Tobelo baru ada keesokan paginya. Sementara baru itu saja kabar yang ku terima. Harapanku di esok harinya pupus karena ternyata Nalen tak kembali menghubungiku. Doaku sih semoga Nalen sudah sampai dan memulai pekerjaannya dengan lancer biar cepat pulang hehe..

Semua keperluanku sudah ke masukan ke dalam tas longchamp abu-abu ukuran XL. Kuperiksa kembali setelah mengunci pintu rumah, memastikan semua aman saat ku tinggal nanti. Refleks ku rapatkan cardigan hitamku ketika berjalan menuju pintu mobil. Perpaduan yang pas bogor-malam-dingin dan tanpa kamu. Sepi.

Mobilku mulai meluncur menuju jalanan Bogor yang agak ramai malam ini. Tak sampai satu jam mobilku sudah terparkir manis di Jerami. Senyumku mengembang melihat parkiran Jerami dipenuhi mobil dan motor para pengunjung. Dan aku lebih senang duduk di sini, di satu sudut di mana aku bisa mengedarkan pandangaku keseluruh penjuru Jerami.
Ahmad bergabung sebentar di mejaku. Kami berbincang soal laporan keuangan bulan ini dan perkembangan Jerami sampai saat ini. Laporan yang pasti akan membuat suamiku Nalen tersenyum lebar. Pasalnya semakin banyak saja pengunjung yang nyaman duduk berlama-lama disini.

"Sepertinya kita harus melebarkan sayap mbak.. Lahannya makin sempit aja kalau pengunjungnya bertambah terus." Kata Ahmad berseri-seri.

"Hahaha amiin Mad. Nanti dipikirkan lagi lahan di sekitar sini kan ga murah Mad. Yang penting jaga kualitas pelayanan sama cita rasa hidangan Mad. Kalau captain menu special setiap bulannya Mad." Jelasku tak kalah berseri-seri.

Ahmad sempat juga menanyakan kabar Nalen sebelum dia menghilang ke dapur, ikut membantu awak Jerami yang lain melayani pengunjung yang datang.

Kuhirup aroma wangi segelas teh tarik panas, pelan-pelan ku tiup sebelum akhirnya lidahku menikmati pesona rasa minuman kegemaranku ini.

Ku tekan tombol power notebookku. Kuamati layar notebook yang sedang asik berproses, loading.
Baru akan ku ketik kalimat pertamaku konsentrasiku terpecah pada riuh pengunjung yang datang. Sebagian di sisi kanan sekumpulan tiga atau empat meja bersorak memaksa salah satu dari mereka untuk bernyanyi di panggung kecil baru milik Jerami. Ku hembuskan nafas lega, ku kira apa ternyata hanya pengunjung yang ingin ikut serta meramaikan suasana Jerami malam ini. Untuk kedua kalinya ku coba mengembalikan kosentrasiku pada pekerjaanku. Sia-sia. Petikan gitar dan suara yang berwarna tak biasa datang dari sudut panggung kecil kami. Always be my baby mengalun dan menghipnotis pengunjung termasuk aku yang turut hanyut terbawa alunan iramanya.

You'll always be a part of me
I'm a part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling cause you'll always be my baby
And we'll linger on
Time can't erase a feeling this strong
No way you're never gonna shake me
Ooh darling cause you'll always be my baby
Always be my baby – David Cook

Dan malam inipun aku terhipnotis alunannya.
September di Jerami.
-Naya Jaleswara-


~ (oleh @ukakuiki)

Rekam Imaji #13

Dua wajah, dua pasang mata, dua rupa dalam satu akar berupa rindu.  Tak lagi terombang-ambing dalam
lajur waktu dan sekelumit aksara ambigu atau saling adu bias abstrak. Selisih temu oleh waktu, bukan maksud mempermainkan rindu, tapi waktu tengah meramu masa, menguji nyali hingga tiba temu.

Jogja, Februari

Pelangi memandangi sepanjang jalan sementara bapak pengayuh becak asyik bercerita tentang tiap sudut Jogja yang katanya menjadi saksi atas pertemuannya dengan sang istri, bagaimana mereka meramu rasa hingga akhirnya menghasilkan buah hati yang kini beranjak dewasa. Juga bagaimana kecintaannya dengan becak hingga ketika si anak memintanya diam beristirahat di rumah, ia tetap mengayuhkan pedal becak.
Sampai pada persimpangan jalan, si bapak menghentikan laju becak mengikuti semua kendaraan yang juga menghentikan laju lantaran lampu lalu lintas memerah. Cuaca memang panas kala itu, tapi Pelangi menyukainya, bahkan ia menyebut dirinya wanita musim panas. Tanpa atap becak ia membiarkan paas
matahari perlahan semakin menggelapkan kulitnya yang berwarna kuning, tapi kini sudah berubah menjadi kecoklatan.
Sebuah becak juga ikut berhenti disebelah Pelangi. Suara ramai bapak pengayuh becak saling sapa. Pelangi menoleh...lama terdiam sampai akhirnya di bibirnya terlukis senyum.

Bumi menyandarkan punggungnya, ia merapatkan topi ala Cowboy-nya juga membenahkan kaca mata hitamnya, menghalau terik matahari.
Kulitnya menjadi semakin legam selama ia singgah di Jogja. Sesekali ia menimpali celoteh bapak pengayuh becak mengenai sejarah nama-nama jalan di Jogja, sesekali juga terkekeh mendengar gurauan si bapak.
Becak kemudian berhenti ketika lampu lalu lintas berpindah ke merah, berhenti tepat di sebelah sebuah becak yang ditumpangi seorang perempuan.
Bumi sibuk menata hatinya ketika perempuan itu menoleh, kemudian mengukir senyum...
Keduanya saling tatap, bahkan ketika kedua becak yang mereka tumpangi melaju beda arah. Keduanya menikmati temu yang hanya sebatas senyum itu. Temu yang walau hanya beberapa menit mampu menyalakan percik rasa yang tengah mereka telusuri kebenarannya. Sampai ketika dua pasang mata sudah tidak
bisa lagi saling tatap, keduanya tertawa kecil, membuat sipu memerah di pipi. Bumi mengeluarkan kotak kayu dari dalam sakunya, membuka kotak kemudian memperhatikan dua pasang cincin kayu di dalamnya.
"Wah, mas...sampean mau melamar kekasih?" Tanya bapak pengayuh becak.
Bumi menoleh, "mungkin...saya menunggu waktu menciptakan temu."
"Walah mas....kalau menunggu waktu sih keburu disamber orang! Harusnya temu itu kita ciptakan sendiri!" Seru si bapak jujur.
Ucapan jujur dan polos dari seorang pria tua yang pastinya sudah paham betul tentang rasa, waktu, temu dan nyali. Ucapan yang sepertinya menyadarkannya, anak muda yang terlalu bergantung dengan banyak hal,
sampai-sampai untuk membuktikan nyali dan rasa saja harus bergantung dengan waktu dan temu.
"Mau mengikuti pepatah 'mengalir seperti air sungai?'"
Bumi hanya tersenyum malu, "mana kita tahu ke mana air sungai akan bermuara mas?"
Bumi terdiam, ia kembali memandang sepasang cincin kayu. 

Sudah ku bilang, aku adalah ratu yang menguncup di antara ilalang,
jelang senja yang menjadikanku kekasih...
kemudian ketika jingga memerah layang-layang singgah di antara bumi dan langit,
terombang-ambing semilir...
seperti rindu yang selalu ku pintal atas namamu...

Jajaran ilalang menari-nari lantaran tiupan semilir angin menyerukan nyanyian jelang senja. Jemari Pelangi menjelajah bersamanya, sambil sesekali ilalang merayu memintanya tinggal dan ikut menari bersama.
Di sudut lain Bumi tengah menikmati sisa letupan setelah pertemuan tak terduga barusan. Bibirnya terus mengukir senyum. Kakinya terus melangkah tanpa tahu tujuan. Padang ilalang...ini menjadi tempat di mana tiap sudut seperti mengingatkannya pada sosok Pelangi. Ah...saat ini saja ia serasa tengah mencumbu aroma manis dari tubuh Pelangi, sesekali mencumbui ingatan lalu.
Jarak yang begitu sempit di antara keduanya tapi tak seorangpun yang menuruti nafsu yang menggebu. Mencicipi tiap remah dalam temu yang hanya sesekali, tanpa kata ataupun aksara, hanya saling tatap mata. Rasa itu, biar bisa dinikmati keduanya saja. Temu itu nantinya akan membawa Bumi dan Pelangi kembali pada pilihan, menentukan apakah rasa akan terus membawa pada kebersamaan? Apa nantinya kebersamaan akan tetap diiringi rindu? Apa dengan bersama dengan rasa akan memupuk nyali di antara keduanya?
Bumi menarik napas panjang, langkahnya sedikit dipercepat.
Kemudian ia berdehem pelan, membuat sosok perempuan di sampingnya terkejut.
Kemudian keduanya saling tatap dan melempar senyum.
"Ketika waktu sudah mempersempit jarak, sekarang bagaimana caranya agar waktu menciptakan temu?"
Keduanya menyusuri ilalang, seolah temu tak tercipta dengan hamparan ilalang menguning sebagai jarak, ketika senja menciptakan masa. Di ujung sana, akan ada dua persimpangan...
"Bukan waktu, tapi kamu...".
"Lalu, kamu mau berapa banyak temu?"
"Bagaimana kalau tiap rindu? Tiap aksara yang mengakar pada namamu, tiap resah yang ku dendang untukmu, tiap jarak yang mengekori lajur waktumu, tiap detik yang ku sepuh dalam imaji atasmu?"
Bumi diam kemudian terkekeh, "bagaimana kalau kita pinang saja waktu?"
Kini giliran Pelangi yang tersipu. Semoga Bumi tidak menemukan wajah malunya, "boleh...siapkan saja nyalimu, maka akan ku matangkan rasaku".
"Baiklah, ku tunggu kamu di ruang rindu, bisakah kamu temukan aku?"
"Aku sedang ingin ditemukan...".
"Aku sudah hapal aromamu!"
"Benarkah?"
"Beraroma ilalang kala basah mengembun, ketika senja merona jingga...".
Mereka berada tanpa jarak, kalau saja ingin segera, mereka sudah menikmati temu yang diciptakan waktu. Keduanya saling berhadapan, kemudian sama-sama menatap jalan bercabang di hadapan mereka. Jalanmu atau jalanku? Begitu tanya keduanya melalui tatapan mata...Bagaimana bisa kita tahu rasa kita ingin temu atau tidak dalam jalan 'aku' dan 'kamu'?
Bagaimana kalau jalan 'kita' masing-masing, dan lihatlah apa akan ada 'aku' dan 'kamu' dalam 'kita'?
"Ikhlas...".

Terdengar suara bunda samar di telinga keduanya.
Pelangi bersiap melangkah ketika Bumi bersuara, "tunggu!"
"Ya?"
"Berjaga-jaga kalau...kamu tahulah," Bumi menatap Pelangi, "mencintaimu adalah sebuah rasa yang ku tanam ketika pertama kali mata bertemu mata, Februari...yang kemudian tanpa temu, tumbuh, dalam memori tentang kamu yang samar. Apa aku nyata Pelangi?"
"Senyata rindu, semenyakitkan temu yang hanya sebatas imaji."
Lambat laun sosok Pelangi hilang, tenggelam bersama lautan ilalang. Bumi merogoh saku celananya, sekali lagi memandangi kotak kayu. Apapun yang terjadi, ia harus berterima kasih pada sosok bunda. Digenggamnya erat kotak kayu, langkahnya mantap sudah.Menjajal nyali...toh, tanpa temu ia telah bertekad akan  menciptakan temu. Berdiam atau mundur tidak akan membawanya pada temu, juga tidak akan menguji
nyali.


Jogja, awal November
Bumi mempercepat langkahnya begitu melihat dua sosok yang dikenalnya tengah bermesraan, ya, itu yang ada di sudut matanya. BERMESRAAN. Keduanya terdiam begitu sosok Bumi mendekat. Bumi meletakkan
dengan agak kasar tas ransel besarnya di sebelah Langit, kemudian ia duduk di sebelah Pelangi yang tampak cuek dengan kehadirannya. Bagi Pelangi, selama beberapa bulan ia telah cukup terbiasa dengan perilaku Bumi yang grasak-grusuk, semaunya, datang tanpa diundang, tiba-tiba marah, tiba-tiba menjadi begitu
romantis. Begitulah...
Langit-pun apalagi. Mengenal sosok Bumi yang sudah seperti saudara tapi juga rivalnya. Jangan anggap ia telah melepas Pelangi sepenuhnya. "Pertemuan diam-diam...hebat lo Ngit!"
"Dari mana lo tau gwe bakal dateng ke Jogja?"
"Insting."
"Cih!" Langit kemudian terkekeh.

Pelangi hanya memperhatikan saja dua pria yang ada di dekatnya. Hubungan yang kalau dipikir agak aneh. Langit, sosok yang pernah hampir menjadi suaminya. Dan Bumi...sahabat Langit, sosok yang membuat Pelangi menumpahkan siksa rindu dalam Rekam Imaji, sosok pria yang juga telah melingkarkan cincin kayu di jari manisnya. Sebelumnya, Bumi adalah imaji dan Langit adalah nyata. Dua sosok hampir serupa tapi sesungguhnya sangat berbeda. Langit yang manis, sedangkan sosok Bumi kadang begitu menyebalkan. Hingga kini ia masih belum memahami betul sosok Bumi sebenarnya, ia hanya meyakini rasanya untuk Bumi.

"Apa sebaiknya kita menikah saja?"
Pelangi dan Langit memandang Bumi bersamaan dengan tatapan terkejut.
"Apa? Setidaknya pernikahan bisa membuat sahabatku ini berhenti memupuk rasanya untukmu."
Langit tertawa. "Selalu saja semaunya! Hahahaha...".
"Bagaimana kalau aku tidak ingin menikah?" Ujar Pelangi tiba-tiba, membuat wajah Bumi kemudian menjadi serius. "Maksudmu?"
"Aku tidak ingin dinikahi oleh pria yang datang dan pergi seenaknya saja. Tiba-tiba menghilang lalu pulang minta dicumbu...".
Langit semakin tergelak menyaksikan pemandangan di depannya. "Aku tidak ingin dinikahi oleh pria rumit yang lebih sering hidup di dunianya sendiri."
"Lalu dengan siapa kamu akan menikah?"
"Entahlah...mungkin aku harus menikahi pria bule itu?"
Pelangi melirik pria berambut kecoklatan dengan mata biru yang tajam, pria yang tengah memperhatikannya diam-diam.
"Tidak bisakah kamu tidak menarik perhatian banyak orang?"
Bumi mendaratkan bibirnya pada bibir Pelangi. Membiarkan berpasang mata menjadikan mereka tontonan kemesraan. Langit hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menikmati bir dingin dalam genggamannya.
Jelang senja...Pelangi, Langit dan Bumi...

Imaji adalah kamu yang ketika ku baringkan di sampingku malah asyik memainkan jarum jam...
Sederet angka dan jarum yang memekik seolah mengingatkan tidak pernah ada cukup waktu,
Maka ku dekap erat kamu agar tidak lagi menghilang ketika pagi,
Kalau perlu aku tidak
perlu memejam...
                                                                                                        Bumi untuk Pelangi


**
Untuk kamu bernama aksara Amezta. Aku mencumbuimu melalui
imaji, menjadikan rindu serasa dosa. Untuk tiap aksara yang ku retas dalam
setumpuk rindu, Rekam Imaji..untukmu...

Sedikit remah,
-End-
Imaji..untukmu...


~ (oleh @NadiaAgustina)

Hatiku Menemukan Cintanya (lagi)

 
Berlanjut ke sebuah messenger, Aku membantu Winda dalam pembenahan naskah narasi kepunyaannya. Cukup banyak pembenahan yang aku berikan terhadap naskah narasi Winda. Saat itu Aku semakin merasakan cinta yang bergetar di hatiku. Siapa sih pria yang tidak mempunyai rasa suka kepada Winda akan kecantikannya? Sulit untuk di ungkapkan karena Aku masih terlalu pesimis karena Winda adalah wanita yang bisa dibilang high-class. Tapi yang jelas Aku tidak menyerah begitu saja karena benih-benih cinta sudah terlanjur tertanam di hatiku untuk Winda. Ku coba mendekatinya pelan-pelan, dengan tenang sejalan dengan arus yang mengalir di antara waktu-waktu yang berlalu. Aku tidak tau apakah Winda menyadari bahwa Aku mempunyai rasa kepadanya, yang jelas suatu saat Aku akan mengungkapkannya.

Saat H-2 sebelum kontes menulis di kampusku di mulai. Aku bertemu dengan Winda di perpustakan kampusku untuk melakukan pembenahan kembali dan memastikan apakah naskah narasi Winda yang di berikan sedikit pembenahan olehku layak untuk menjadi yang terbaik di antara peserta-peserta lomba lainnya. Jam 15.00 Aku bertemu dengan Winda. Kemudian Winda memberikan naskahnya kepadaku untuk melakukan pembenahan kembali. Saat Aku berada di dekatnya, jantungku berdetak lebih kencang, debit darah yang mengalir di jantungku semakin banyak, sungguh Aku merasa nervous berada di dekatnnya. Melihat Aku nervous berada di dekat Winda, Winda bertanya bingung denganku karena melihat sikapku yang nervous di dekat Winda. Kemudian Aku menjawab pertanyaan Winda dengan alasan yang berbeda dengan apa yang Aku rasakan. Lalu Aku memecah suasana dengan mengajaknya berbincang-bincang kecil. Responnya baik dari Windanya sendiri, terkadang dia tertawa kecil saat Aku melakukan perbincangan Absurd. Memang beginilah sikap bicaraku. Saat Aku melihat tatapan matanya, Aku rasa dia wanita yang baik. Pembenahan terhadap naskah Winda selesai di lakukan, Aku menawarkan Winda untuk pulang bersamaku. Jantungku makin bergenderang kencang saat dia menerima ajakanku untuk pulang bersamaku. Sungguh tak disangka, Aku bisa menemani seorang yang begitu cantik jelita untuk pulang ke rumahnya. Seperti yang dilakukan di perpustakan tadi, Aku memecah suasana dengan berbincang-bincang kecil dengannya. Sesampainya di rumahnya, Winda mengucapkan terima kasih kepadaku karena sudah mengantarnya pulang dan membantunya saat melakukan pembenahan terhadap naskah narasinya yang akan di ikutsertakan dalam sebuah kontes menulis di kampusku.

Hari H pun tiba di mana kontes menulis di kampusku. Sebelum lomba di mulai Aku bertemu dengan Winda dan memberikan ucapan yang membangkitkan semangat Winda. Saat lomba di mulai Aku memantau Winda dan berharap semoga Winda bisa meraih juara dalam kontes ini. Selesai kontes ini dia mengatakan bahwa pengumuman pemenangnya akan di umumkan besok. Dengan senyumku Aku mengatakan kepadanya untuk selalu optimis dan berdoa agar bisa memenangkan kontes ini.

Tiba hari esok saat pengumuman akan di umumkan. Winda merasa gugup tapi Aku selalu memberikan semangat kecil kepadanya. Pengumuman juara pun di umumkan. Winda meraih juara 1 dalam kontes tersebut, betapa senangnya Winda mendengar itu. Penghargaan juara diberikan oleh panitia kepada Winda. Lalu dia menghampiriku dengan senyuman manis di wajahnya sambil mengenggam tanganku dengan erat karena senang bisa menang kontes menulis di kampusku. Tak henti-hentinya dia mengucapkan terima kasih kepadaku karena sudah banyak membantunya. Jelas kesenangan yang dirasakan Winda ikut Aku rasakan. Kesenangan Winda terus di tunjukan Winda kepadaku. Moment-moment itu akan Aku gunakan sebaik-baiknya untuk melakukan pendekatan lebih lanjut dengan Winda.

Kemudian pendekatanku kepada Winda berlanjut lewat messenger…

~ (oleh @Damas_kecil)

Aku Benci Dia #2

Aku benar-benar dijauhi teman-temanku, mereka nggak pernah menghubungiku lagi. Mungkin Vania sudah cerita ke Raya, Ajeng dan Lia. Aku sering sekali melihat timeline twitter mereka yang pergi kemana-kemana, atau hanya sekedar makan siang bareng. bercanda. Terkadang aku ingin menghubungi mereka, tapi aku belum siap sakit hati ditolak mereka.
Sampai pada suatu siang, aku lagi makan siang sama Arya, lalu Ajeng melintas dan dengan langsung saja aku panggil, "Jeng!"
Orang yang aku panggil, hanya menengok sebentar lalu melengos pergi lagi. Aku jadi bingung kenapa. Sampai segitunya yah nggak mau aku sapa. Dan dari situ aku sadar kalau pertemanan aku memang hancur, gara-gara Arya. Siapa lagi, cobak?
"eh kenapa tuh si Ajeng? Gitu banget?" tanya Arya yang juga ikutan bingung.
Aku melirik orang yang ada disebelahku ini seakan nggak percaya. "Serius kamu nggak tau kenapa temen-temenku jadi kaya gitu? Bukan cuman AJeng doang, Ya.."
"emang kenapa?" tanyanya lagi, sambil menyantap siomaynya.
Toge goreng yang ada dihadapanku yang masih tersisa 1/2 piring ini padahal menggiurkan, tetapi aku udah keburu nggak nafsu makan lagi. Mual! ngeliat kelakuan sahabatku, ngedenger kata-kata Arya. "Mereka ngejauhin aku, tau! Gara-gara kamu waku itu nggak ngijinin aku nginep di rumah Ajeng." 
Arya membakar rokoknya, "Ohh.. tuh kan. Berarti mereka emang nggak worthy temenan sama kamu."
Lah? Ingin rasanya aku teriak, YANG NGGAK WORTHY TUH ELO!
Tapi, saat itu aku belum punya keberanian untuk putus dari Arya, dan mungkin sampai kapanpun aku memang nggak akan punya keberanian putus dari Arya.
***
"Ya… nonton yuukk…" ajakku yang sore itu lagi pengen banget nonton Avatar yang sedang digembar-gemborkan.
"gak punya uang. Traktir yah?" pintanya.
Fiuh! Aku tau Arya memang nggak kerja, hidupnya hanya tergantung dari Ibunya. Tapi… ahh sudahlah.
"yaudah.. tapi ntar makan kamu yang bayarin yah?" Aku memberikan kesepakatan.
"Ok!" 
Akhirnya kamipun pergi nonton. Ditengah jalan aku mendapat telepon dari adikku. Dia baru saja kecelakaan, nggak besar sih. Cuman dia harus tanggung jawab karena udah ngebaret mobil orang. Dia harus ke bengkel, bawa mobil ayahku supaya nggak dimarahin plus mengganti orang yang udah dia tabrak. 
Aku keluarkan semua tabunganku. 
Sore itu aku dan Arya akhirnya nggak jadi nonton, akhirnya kami menyusul adikku. Bersama-sama ke Rumah Sakit terdekat lalu ke bengkel ketok magic. Muka adikku sudah pucat, dia ketakutan. 
Kasian dia, baru belajar nyetir mobil. Udah nabrak motor orang, sampai orang itu luka-luka, untung orangnya nggak nuntut ke polisi. Untung dia hanya minta ganti biaya Rumah Sakit dan servis motornya. Kalau sampai ke tangan polisi bisa panjang urusannya.
"Udah, Nda.. nggak usah nangis. Gue ada tabungan kok.. Yang penting lo nggak apa-apa. Terus mobilnya kita masukin bengkel aja. Daripada si Ayah keburu tau dan marah. yuk?" Aku berusaha menenangkan adik perempuanku ini, saudaraku satu-satunya.
AKu menggenggam tangan Arya, akupun butuh tempat bertumpu. "Ya.. masukin bengkel mana yah?"
"kok jadi kamu yang repot sih? suruh aja dia sendiri! atau suruh dia minta anter pacarnya. Mana pacarnya?" Arya malah memakiku.
Hah? Ini orang kesurupan apa yah? -batinku "Nanda ini adikku… yah masa nggak aku tolong? kamu yang bener aja dong?"
"kamu kan tadi udah nolong tuh, udah bayarin biaya rumah sakit orang yang dia tabrak. Biar dia ngerjain sisanya sendiri. jangan disuapin terus."
Ahh! Udah gila kali yah ini orang? Sinting?
Apalagi sekarang? Setelah ngancurin hubungan aku dengan teman-temanku, sekarang mau ngancurin hubungan aku dengan keluargaku?

-- 


~ (oleh @_citz)

#17: Deer in the Headlights


Aku tidak pernah menyangka pertemuan dengan Ares akan membuatku lupa dengan ulang tahun sendiri. Memalukan.
Sejak Sabtu dini hari, sudah banyak pesan yang masuk – entah itu lewat email, ponsel, atau social network. Aku jadi tidak bisa tidur dari pukul tiga pagi karena terlalu senang dan merasa bersyukur masih bisa diberi kesempatan untuk hidup.
Hujan di pagi hari tidak menyurutkan kebahagiaanku. Untuk selebrasi, aku memasak nasi goreng dengan sambal terasi sebagai 'hadiah' untuk diri sendiri. Lalu, menyeduh kopi Luwak dari paket yang dikirimkan Nerva dan Deo yang baru tiba beberapa menit yang lalu.
Ada pesan di atasnya;
Happy birthday, dear, Wish you always be the great.
From me and my hubby
(and perhaps your new niece soon =D)
Aku terkesiap, lalu memekik girang. NERVA!!!
"*Congrats, darl!!!*" seruku begitu kami terhubung lewat telepon. "Berapa bulan sekarang? *Wish I were there!*"
*"Kemarin baru cek, sekarang mau masuk delapan minggu, dear. I wish it would be a cute baby girl, tapi Deo maunya cowok. Tapi, ya, karena ini kehamilan pertama, we expect nothing but give a birth safely." Nerva tertawa di ujung sana. "*Kamu cepet pulang, ya? Bantu-bantu di pernikahan Helen, kan?*"
"Iya, itu sih jangan ditanya. Geez, I'll become a young aunt for twice!"
Aku resmi jadi bibi muda saat Mitha melahirkan anaknya empat tahun yang lalu.
Nerva berdehem beberapa kali. "Dan, please, kamu harus bawa cowok sekarang.*"
"Shut. Up."
Selesai bergosip, aku mandi dan memutuskan untuk melakukan face treatment sendiri.
Ada lima roll rambut di kepala, sementara aku sedang berusaha untuk melepas masker  bengkoang di wajah. Tentu saja, ini karena aku juga harus terlihat baik saat interview nanti!
Ketika aku baru selesai membereskan baju-baju di lemari, seseorang mengetuk pintu. Alisku terangkat penasaran dan, tanpa melepas dulu roll di rambut, aku berlari ke arah pintu untuk membukakannya.
Aku terkesiap kaget. "Ad?"
"Hei, you, birthday girl!" Adrian, tanpa kusangka, berdiri di depan pintu dengan tas di samping kakinya dan gitar akustik di tangannya. "Sssh, tadinya aku mau kasih surprise tengah malam. Tapi, karena telat bangun, aku baru bisa datang sekarang. I have no idea what song that you like to hear on your birthday, so..."
Sebelum aku membuka mulut, jari-jarinya mulai lincah memainkan senar gitar.
Intronya agak asing, karena aslinya, lagu ini tidak dibawakan dalam format akustik. Aku semakin tercengang begitu Adrian menyanyikan bait pertamanya; ini Deer in the Headlights! Owl City!
Tatapannya tertuju padaku saat menyanyikan chorus-nya;
*Tell me again was it love at first sight?
*When I walked by and you caught my eyes
*Didn't you know love could shine this bright!
*Well, smile, because you're the deer in the headlights 
Jujur, ini di luar ekspetasiku – terlebih lagi begitu tahu Adrian lihai memainkan gitar akustik. Selama ini, yang aku tahu dia jago bermain drum saja. Bahkan saking terpesonanya, aku hampir lupa kalau delapan tahun yang lalu, ada cowok yang berhasil menjungkirbalikan hatiku dengan menyanyikan sebuah lagu sambil bermain gitar. It seems like what Adrian's doing is he first!
Setelah chorus kedua, dia memutar gitarnya ke belakang, tapi terus bernyanyi sambil mengeluarkan sebuah kado dan tiramissu dengan lilin angka 23 di atasnya.
*It's suffocating to say, 
*but the female mystique takes my breath away
*So, give me a smile or give me a sneer
*Cause, I'm trying to guess here...
Adrian menyalakan lilinnya dengan pematik api dan menyodorkan *tiramissu *itu padaku. "Make a wish, dear." Duh, jadi salah tingkah, deh!
Mataku terpejam sejenak, menggumakan sebuah permintaan dalam hati, lalu meniup lilinnya. Aku memegang tiramissu dan kadonya, sementara Adrian menyanyikan paruh terakhir lagunya;
*Tell me again was it love at first sight?
*When I walked by and you caught my eyes
*Didn't you know love could shine this bright!
*If life was a game you would never play nice
*If love was a boom you'd be blind in both eyes
*Put your sunglasses on cause you're the deer in the headlights
*You're the deer in the headlights!
Begitu lagu selesai dinyanyikan, kami bertatapan, lalu tergelak lepas. "Trims, that was the sweetest one," kataku kemudian dengan pipi memanas. "Wait, I'm a DEER?"
Adrian tersenyum geli. "No, you're a DEAR."
Aku kemudian mempersilakannya masuk. Adrian menaruh gitar akustiknya di samping meja dan mengekorku ke dapur. Memalukan sebenarnya, karena masih ada banyak barang yang berserakan di sudut ruangan.
"Damn, you, Choi!" Mataku terbelalak kaget begitu melihat isi kadonya – foto-foto. Maksudku, semua foto itu adalah fotoKU yang diambil oleh Adrian; entah yang sembunyi-sembunyi atau yang sepengetahuanku. Jumlahnya ada 23 – dari semenjak aku masuk kuliah sampai interview di CafĂ© Lalo. Di bawah tumpukan foto itu, ada cetakan terbaru dari buku Mitch Albom, Have a Little Faith. Adrian memintaku untuk membukanya.
Mulutku terbuka lebar – ada tanda tangan, maksudku TANDA TANGAN ASLI MITCH ALBOM, dengan, Happy birthday, Ms. Syirafani. Glad to know a bestseller author like you are inspired to write after reading my books. Need to meet up with you, soon. Mitch.
Aku menatap Adrian dengan mata berkaca-kaca.
"In case you didn't know, I met Mitch last summer for an interview. Awalnya, iseng nanya apa dia tahu tentang Athena's Diary dan, surprisingly, dia tahu. Dia juga baca novel kamu. Jadi, begitu aku minta untuk tanda tangan bukunya buat kamu, he was so pleased to do that," paparnya.
Mataku kembali menatap buku itu dan Adrian bergantian. Dia nampaknya tahu aku terlalu gembira untuk mengatakan sesuatu sampai sulit untuk mengucapkan terima kasih.
"Hug?" tawarnya dengan tangan terulur. Tanpa basa-basi, aku langsung menyambutnya. Semoga dia tidak terganggu dengan roll rambutku yang belum dilepas.
"Hei." Adrian kemudian melepaskan pelukannya. Agak ganjil begitu ekspresi wajahnya berubah menjadi keheranan. "Kamu... jadi ketemu Ares hari ini, ya?"
"Umh, iya." Tanganku buru-buru melepaskan *roll *itu dari rambut.
Tanpa kuduga, dia mengedikkan bahu. "Good luck then. But, if you need a help—"
"Nggak, Ad, aku nggak mau tergantung terus sama kamu," potongku cepat. "Aku nggak mau seolah-olah memperalat kamu."
"Memperalat?" Dia tersenyum sinis. "Ingat apa yang kita bicarakan di farewell party Tuan Ryjeka?"
Pipiku kontan memanas lagi begitu mengingat apa yang kami bicarakan di tepi Sungai Hocking. Adrian menyatakan perasaannya padaku, namun sampai saat ini, aku belum bisa membalasnya. Bahkan, aku ragu dia masih menyimpan perasaan itu karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
"Kemarin malam aku nonton Home Alone 2," Adrian memulai topik baru, lalu tertawa sejenak. "Ya, mungkin usia filmnya sama dengan kita, tapi aku selalu menyukai tokoh utamanya, Kevin. Dia punya kutipan-kutipan sederhana yang, ya, entah kenapa punya makna yang dalam."
Aku menatapnya penasaran. "Bagian mana?"
"Ingat bagian saat dia bertemu wanita tua yang menghabiskan hidupnya di atas loteng dengan kawanan merpati?" Kepalaku mengangguk, dia melanjutkan. "Kevin said, 'If you won't use your heart, who cares if it gets broken? If you just keep it for yourself, maybe it'll be like my Rollerblades. When you do decide to try it, it won't be any good. You should take a chance. Get nothing to lose.'"
"Ah, ya, ya, aku tahu," gumamku. "Terus?"
Matanya menerawang ke arah jendela. "Wanita tua itu mengingatkanku dengan diriku sendiri. I've been obsessive to chase my dreams. Aku tentunya bangga karena akhirnya bisa meraih impianku. Tapi, entah kenapa ada yang kurang... dan itu ada di sini."
Lalu, tangannya meraih pergelangan tanganku dan menempelkannya tepat di dada bagian kiri. Aku sempat gemetaran begitu merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Matanya menatapku dalam. "Kosong."
"Apanya... yang kosong?" tanyaku polos.
"Hatiku yang kosong," ujarnya dengan sorot mata yang berubah sendu. "Aku punya keluarga yang bahagia, pekerjaan dari hasil perjuangan sejak kecil, tapi, tidak ada seseorang yang bisa kutemui di *sini *untuk membagi semuanya. Aku takut, kalau hati ini tidak 'dipakai', akan membeku dan mengubahku jadi robot."
Saat itulah aku tahu, dugaanku salah.
"Maaf." Adrian melepaskan tanganku. "Once again, I remind you, Dita. Jangan ragu untuk berlari padaku. I'll always be there when you're alone."
Adrian...

***


~ (oleh @erlinberlin13)

Salah Paham

"Lil, ngapain sih ngajak aku ikut acara kayak ini, mending nonton AFI di rumah? Aduh, suara musiknya kenceng banget, bisa budeg aku," protes Rea sambil menutupi telinganya yang pekak dengan suara musik yang kelewat keras. Malam minggu itu, Lila mengajak Rea ke pesta ulang tahun salah satu temen cyber-nya di salah satu diskotik terkenal di Malang.
"Ih kayak ibu-ibu ama anak kecil aja nontonnya AFI, Mbok ya yang mboys dikit." Lila berteriak menyahut meningkahi suara musik yang keras. Lila terus maju sampai ke lantai dansa menyeret Rea di belakangnya. Lila mulai menggoyangkan badannya seirama musik yang betalu-talu.
"Ayo dong, Rea goyang, goyang.....!"
"Lil, aku duduk aja deh tar kamu kesana yah. Ku pesenin minum apa nih?" Rea yang jengah, mencari alasan untuk pergi dari lantai dansa yang penuh sesak itu.
"Apa aja deh boleh." Rea segera berlalu ke bar dan memesan minuman, tak lama kemudian nampak Rea duduk manis di meja paling atas yang menghadap lantai dansa.
Alunan musik yang tadi keras berubah menjadi lembut dan acara pun dimulai. Pada saat pembagian kue kepada orang terkasih, Rina yang malam itu berulang tahun memberikannya pada seorang cowok yang Rea kenal betul siapa dia, yaitu "Dino". Hampir lepas gelas di genggeman Rea, kini ia tau bahwa benar semua yang dikatakan Ferry. Ia berusaha menenangkan diri dan menahan airmata yang siap bergulir.
"Makasih ya cinta, selamat ulang tahun, semoga lo makin cinta gue." Suara cowok yang Rea sangka "Dino". Namun ada keganjilan pada cara "Dino" berbahasa, setahu Rea, Dino tak pernah memakai "lu-gue".
"Makasih yah, Don!" Rea menangkap keganjilan lain saat Rina memangil "Dino" dengan Don bukan Din, tapi ia tetap tak peduli.
"Sebenarnya apa yang gue dapat malam ini, baik kue dan si cantik yang ada disamping gue ini, semua berkat kembaran gue yang rela malam minggu kemarin gak ngapelin pacarnya karna mobilnya gue pake untuk ngerayu doi, so wajar kalo kue ini buat kembaran gue yaitu Dino." Sesosok yang bak pinang berbelah dua dengan "Dino" yang baru saja berbicara, naik keatas panggung dan kali ini gelas yang Rea pegang jatuh begitu saja setelah melihat kenyataan itu. Tiba-tiba Rea teringat kata-kata Dino sebulan yang lalu, "Re, kembaranku mau datang biasanya dia paling anti ke Malang tapi karna mama sakit so dia ngalah datang kesini."
"Emangnya tinggal dimana? Namanya sapa?" tanya Rea waktu itu.
"Doni. Ia di Jakarta, dari bayi udah ikut tanteku yang gak punya anak dan Doni gak pernah mau ke Malang katanya Malang sepi, bahkan Ferry gak tau kalo aku punya kembaran. Jangan sampe kamu salah ngenalin kami loh, abis kami berdua mirip banget kecuali cara ngomong Doni yang sok jakarta banget." Terlintas dibenak Rea, mungkin yang dilihat Ferry malam minggu kemarin adalah Doni.
Rea yang tidak memperhatikan panggung yang heboh, kaget mendengar namanya disebutkan. "Nah buat Rea yang malam ini, gue yakin ada disini tolong naik ke panggung sebelum Dino di mangsa cewek lain," teriak Doni yang disambut tawa histeris cewek-cewek.
Rea pun turun dari tempatnya duduk dan berjalan menuju panggung diiringi sorot lampu, ini bukti cinta yang terindah dalam hidupnya, disambutnya uluran tangan Dino yang menariknya keatas panggung. Ia meraih tubuh jangkung dan tegap itu dalam derai tangis, tak peduli mereka yang melihat. Di kejauhan Ferry dan Lila manatap haru.


~ (oleh @non_maya)