Tentang 30 Hari Cerita Cinta

Showing posts with label Kebun Bunga untuk Akane. Show all posts
Showing posts with label Kebun Bunga untuk Akane. Show all posts

15 September 2011

Kebun Bunga untuk Akane #3

Jenis Tulisan: Puisi
Judul: Tangisan jiwa pencari cinta
oleh:  Akane Artemissia, XII IPA 1
(diambil dari buku tugas Bahasa Indonesia yang bersangkutan, yang tak sengaja terbaca oleh Agea).

Dum
Satu dentuman perkusi membahana ke seluruh aula
Bergetar keseluruh cakra
Barat, timur, selatan dan utara
Menebarkan percikan ilahi ke seluruh jiwa
Membuka mata hati yang tertutup bara

Dum dum
Dua dentuman perkusi telah tertabuh
Membangkitkan gerak yang mengundang peluh
Membuka jalan menuju alam ruh
Yang senantiasa berteriak dalam suasana gemuruh
Berseru kepada yang Satu yang telah menyuruh

Teriakan mereka membahana
Membakar seluruh sukma
Mereka, Para jiwa yang telah kehilangan cinta
Cinta yang mereka perjuangkan dengan seluruh harta

Dengarkan mereka, hai manusia pencari cinta
Mereka telah menjual diri mereka
Demi sekeping cinta yang tak nyata
Yang berkhianat pada mereka yang percaya
Dan mengambil seluruh apa yang mereka punya

Dengarlah hai para pencari cinta
Tak kan mudah menemukan cinta
Cinta yang tak lekang dimakan usia
Tapi tak berarti mereka tak kasat mata
Hanya saja mereka hanya terbuka
Pada orang yang telah melihat sinar cahaya

Tak perlu mencari cinta sampai ke padang stepa
Atau sampai ke negeri cina
Cukuplah kau menengok ke arah jiwa
Dan kau akan menemukan jawabnya


- (oleh @hardashian - http://fromsciencetosocial.blogspot.com; http://penari-jalan-layang.blogspot.com)

14 September 2011

Kebun Bunga Untuk Akane #2

“Air. Tanah. Api. Udara. Logam. Semua adalah unsur yang saling mendukung satu sama lain. Semua  bergabung membentuk satu kesatuan yang harmonis. Saling mengisi saling melengkapi. Ketidakseimbangan antara kelimanya akan menimbulkan kekacauan......”  Agea terkantuk-kantuk mendengarkan ceramah dari guru yoga ini. Benar-benar ceramah yang tak ada makna. Memangnya kenapa kalau tidak seimbang? Toh nanti alam juga akan menyeimbangkan dirinya sendiri. Dengan cara yang tak terduga. Cara yang tak pernah dibayangkan manusia.
“Mungkin maksud si guru ini adalah agar alam menyeimbangkan dengan cara yang nguntungin manusia kali ya?” Agea tak mengerti kenapa ia terdampar di tempat seperti ini. Ia hanya sekedar lewat lalu masuk dan bergabung. Mungkin ia tertarik pada tulisan di depan tempat ini. Disana tertulis: “Carilah kebahagiaanmu sendiri!” tulisan yang cukup menggelitik hati Agea. Ia memang ingin menemukan kebahagiaannya sendiri.
“apaan sih yang dimaksud bahagia? Kenapa sih semua orang pada nyari itu?” Agea memperhatikan banyak orang yang mencari kebahagiaan. Mereka bekerja keras siang dan malam hanya untuk selembar kertas bernama “uang” yang katanya merupakan tiket menuju kebahagiaan. Tapi sepertinya, mereka menjadi lebih menderita daripada sebelum mereka berusaha mendapatkannya.
“Tapi mereka gak keliatan protes. Mereka kayaknya  ‘menikmati’ penderitaan mereka. Apa ada yang salah dengan mereka? Atau dengan gw? Oh ini gumaman yang benar-benar berat!” Agea lalu memperhatikan sekeliling. Ia melihat ada gadis cantik yang sangat serius memperhatikan ceramah si guru.
“cantik juga nih cewek. Pahanya juga mulus dan kencang. Kayaknya ahli di ranjang.” Agea memperhatikan dengan penuh konsentrasi. Dan nafsu. Agea sudah beberapa kali “beradu keringat” perempuan. Dengan tubuhnya yang atletis  dan wajahnya yang cukup tampan (Agea cukup rajin fitness dan perawatan di salon), ia bisa mendapatkan teman kencan dengan mudah.  Dan ia lumayan menikmatinya. Tapi kemudian ia menjadi linglung sendiri. Sehabis mencapai puncaknya, perasaannya akan kosong namun bersisa. Persis bak sampah yang baru dipindahkan isinya. Kosong. Tapi ada jejak bau yang menempel. Ia jadi agak jengah dengan kegiatan itu. tapi yah, namanya juga lelaki, begitu si urat panjang keisi darah, semua jadi serba gelap. Pengennya ya nyoba lagi dan lagi.
“Apa ini kutukan buat para cowok ya? Biar kita terperangkap dalam kesesatan duniawi.” Ia jadi ingat dengan uwaknya yang menjanda bertahun-tahun. Tak pernah terlihat ia menggandeng pria setelah suaminya meninggal.
“kayaknya cewek lebih bisa menahan nafsu. Apa gw operasi kelamin aja ya? Biar gak pusing kalo si tumang ini bangun mendadak?” ia memikirkan sesuatu yang sangat aneh. Ia kemudian bergidik.
“ih, ogah ah, ntar gw disangka maho lagi! Kagak dah!” Agea cepat-cepat menepis pikiran itu. setelah itu ia segera bangkit dan bersiap meninggalkan kelas yoga yang membosankan itu.
*****
“What are you lookin at?” seorang turis asing memaki dengan suara yang cukup nyaring saat melihat Agea sedang menatap dirinya. Agea, yang sedang melamun menjadi tersentak kaget. Ia lalu buru-buru meminta maaf.
“I’m Sorry sir. I don’t meant to annoy you.” Agea lantas pergi meninggalkan taman kota tempat ia melamun itu.
Saat bergegas meninggalkan tempat itulah, ia melihat seorang gadis cantik bermata biru yang telah lama ia kenal. Dulu, gadis itu mempunyai  mata biru yang secerah langit,  tapi sekarang mata itu telah berubah. Warna birunya menjadi dalam dan misterius seperti lautan pasifik yang luas. Dingin dan menusuk seperti permukaan es di danau di musim dingin. ia juga melihat, langkah gadis itu seperti terikat bola besi besar. Langkah yang sedih dan berberbeban berat. Seolah ia sedang menampung kesedihan dunia. Agea ingin sekali menghiburnya, tapi apa daya gadis itu sepertinya tidak tertarik padanya (Agea sudah pernah mencoba mendekatinya, dan berakhir dengan kegagalan total, satu-satunya gadis yang  pernah menolak Agea).
Agea berusaha untuk menghindari tatapan gadis itu, tapi sepertinya terlambat. Gadis itu sempat meantap Agea selama beberapa detik, kemudian berlalu. Tatapan yang sangat singkat, tapi sanggup menyayat-nyayat hati Agea.
“Ngapain juga gw mikirin dia sih? Cewek gak tau diri. Dideketin cowok sekeren gw nolak. Cuih!” Agea bersungut-sungut. Ia melangkah pulang dengan hati yang semakin kesal.
*****
Pulang kerumah membuat Agea makin uring-uringan. Ia terus saja memikirkan pertemuannya dengan gadis bermata biru siang tadi.
“Kenapa gw jadi kepikiran terus sih? Apa karena ada yang lain di matanya? Itu kayak mata orang yang memikirkan sesuatu yang  berat banget. Apa iya dia galau juga kayak gw? Etapi mana mungkin? Dia kan cantik, pinter, Bapaknya kaya raya lagi. Apa yang perlu dilamunin?” Agea bergumam dalam hati. Walaupun ia menyangkal, tetapi ia tahu, ada sesuatu di dunia ini yang tak bisa diukur oleh fisik. Sesuatu yang membuat hatinya juga diterpa angin badai tak berkesudahan. Saat memikirkan tentnag gadis itu, ia lalu teringat pada nasihat neneknya, seorang tabib tradisional di desanya, saat Agea bertanya kenapa neneknya tak pernah meminta bayaran atas jasanya mengobati orang,
“menolong orang itu nak, harus dengan hati yang bersih. Tak ada niat yang lain kecuali membantu.”
“hmm gw tulis surat aja deh ke dia, siapa tau dia butuh bantuan.” Agea lalu menulis surat yang isinya ingin menolong gadis itu. dengan semangat ia meraih pulpen dan kertas, lalu memulai menulis.
tapi ya, namanya juga anak muda, menyurati gadis cantik yang pernah disuka, pasti ujung-ujungnya rayuan gombal juga isinya. Alih-alih menulis surat yang serius, dia malah menulis puisi untuk gadis itu. pakai kata-kata pujian segala. Agea baru menyadarinya ketika dia telah selesai. Tepat ketika jam berdentang dua belas kali.
“Lah kenapa gua malah nulis puisi cinta sih? Mana picisan abis lagi!” gerutu Agea ketika ia membaca ulang suratnya.
“Ah tapi gak apa-apa lah, yang penting niat awalnya tercapai. Kalau kecantol ya berarti emang rejeki gw! Hahaha”. Agea lalu berniat memasukkannya kedalam amplop. Tapi ia segera sadar ia tak punya amplop. Jangankan amplop, pulpen aja dia cuma punya sebatang. Bukan karena gak mampu beli, tapi ia merasa percuma. Buat apa pulpen banyak kalau mencatat di sekolah aja jarang?
“ah, gampang, entar beli dikantin aja dah!” ia lalu memasukkannya dalam tas dan segera tidur.
*****
        “nah, sekarang udah beres, tinggal nunggu respon dari si dia. Abis ini gw solat duha aja kali ya biar lebih lancar? Hahaha” Agea tersenyum sendiri di depan kelas. Ia telah selesai menuntaskan “misinya” mengirim surat kepada si gadis bermata biru. Sekarang tinggal menunggu respon dari si gadis. Agea lalu bersiul-siul berjalan menuju ke kantin ketika tiba-tiba dia teringat,
        “goblok! Gw gak nulis nama gw di situ, gimana si Akane tau itu surat dari gw?” ia lalu berlari kembali menuju kelas Akane. Namun ia terlambat, teman-teman sekelasnya sudah mulai berdatangan. Bisa gawat kalau teman-temannya tahu ia menulis surat untuk Akane. Gengsi dong. Masa udah ditolak mau nembak lagi? Agea sekarang cuma bisa pasrah rencananya gagal total.
(bersambung)




- (oleh @hardashian - http://fromsciencetosocial.blogspot.com; http://penari-jalan-layang.blogspot.com)

13 September 2011

Kebun Bunga untuk Akane #1

Pelembab. Foundation. Alas Bedak. Bedak. Blush on. Eye liner. Eye shadow. Maskara. Lotion. Kuteks. Cologne. Parfum. Semua sudah dipasang pada tubuhnya.
            Pita rambut.anting. gelang. Cicin. Soft lense. Semua sudah tertempel pada badannya.  Semua sudah tertata sempurna. Tersusun pada tempatnya. Seperti mozaik kaca di gereja. Berwarna-warni terpadu indah menghias jendela.
            Semua harus cocok. Berharmoni seperti alunan musik mozart. Dengan tetanda yang membelalak mata. Channel. Balenciaga. Bottega Venneta.  
Anak perempuan itu menghela napas. Semua tampak palsu. Tak pernah ia ingin tampil seperti ini. Tapi inilah hidup.
Siapa bilang hidup ini indah? hidup adalah sebuah kutukan. Semua orang melakukan apa  yang orang lain harapkan. Hidup bebas seperti burung hanya ada dalam puisi penyair. Atau novel indah para penulis. Indah. Hangat. Mesra.
Ketika kita selesai membacanya, kita akan kembali pada dunia nyata. Kejam. Egois. Munafik. Hidup adalah perjuangan. Seperti kata iklan batang tembakau di televisi.
Televisi? Ah, kotak kaca itu. penghapus kesedihan semu. Tempat kita menertawakan hal yang tidak lucu. Membuat kita memiliki mimpi yang tak sejati. Tempat tangan-tangan hitam menyeleksi informasi.
Semua kepalsuan ini membuat anak perempuan itu terhenyak. Ia melakukan semua ini untuk orang lain.teman temannya, orang tuanya, saudaranya. Yang akan melirik sinis bila ia berpakaian “salah” satu hari saja. Tak pernah ia memikirkan diri sendiri. Itu semua membuat ia muak.
Tapi, ah, sudahlah, hidup adalah untuk dijalani, bukan ditangisi. Ia keluar dari kamarnya dengan cepat. Waktunya sempit. Ia akan terlambat bila tak bergegas.
Ia memakan sarapannya dengan cepat. Lalu dengan sigap menyambar tas sekolahnya. Tak lupa paper untuk ibu gurunya yang galak. Yang nenyalak dengan hebat bila tugas yang diberikannya tak diselesaikan.
“Akane! Ayo! Cepat masuk! Pintunya mau ditutup!”
Para sahabat-sahabatnya memanggilnya. Sahabat? Well, sepertinya itu tak cocok. Teman penghibur lebih tepat. Yang hanya akan ada saat ia bahagia. Persahabatan yang tak sehat, tapi cukup layak untuk dinikmati.
Orang bilang ia memiliki paras seorang dewi. Rambut hitam mengkilap. Kulit seputih salju. Pipi semerah darah. Persis tokoh kartun barbie di salah satu filmya. Anak salah seorang penguasa lama di indonesia. Dari orde baru sampai orde reformasi.
Orde? Perubahan? Itu hanya yang terlihat diluar. Hanya ular yang berganti kulit. Semua tetap sama. Orang-orang yang sama. Undang-undang yang sama. Birokrasi yang sama.
Yah, seperti dikatakan sebelumnya, hidup adalah untuk dijalani. Jadi ya jalani saja.
Mereka berjalan bergerombol menuju ruang kelas. Sebuah ruangan persegi panjang yang diisi meja dan kursi. Dan LCD proyektor serta meja PC.
Baru satu jam pelajaran dan akane sudah mengantuk. Pelajaran yang sangat membosankan bagi dirinya. Fisika klasik. Di depan, gurunya sedang menjelaskan tentang mekanika fluida. Tentang laju alir yang sama antara yang keluar dan yang masuk. Membosankan. Ia sudah hafal rumusnya diluar kepala. Dari berbulan-bulan yang lalu ketika ia mengikuti oimpiade sains. Tak tanggung-tanggung, ia berhasil meraih juara tiga tingkat nasional. Tetapi ia tak pernah merasa bahagia.
Ia mencari-cari sesuatu yang menarik. Menengok ke kanan dan kiri. Tak ada yang menarik. Hanya anak-anak yang terkantuk-kantuk juga seperti dirinya. Ia lalu merogoh laci meja. Sepertinya ia meninggalkan sebungkus permen kemarin. Mungkin masih ada disana. Lumayan untuk mengisi waktu. Saat ia mencari, ia malah menemukan sepucuk surat. Tanpa ada pengirim.
“ah palingan surat cinta picisan lagi. Bosan ah. Gak bisa apa bikin sesuatu yang lebih menarik? Udah gitu pake amplop yang dibeli di kantin lagi!” ia bergumam dalam hati. Tapi ia tak sampai hati menbuangnya langsung. Setidaknya dibaca sekali, baru dibuang, supaya tidak membuat kecewa. Kecewa si ibu penjaga kantin.
Ternyata isinya sebuah puisi.
            Kebun Bunga

Kadang kulihat kau cerah merona
Seperti bunga lili yang mekar di musim semi
Kadang kulihat kau kuat dan tegar
Seperti akar dandelion di musim dingin
Tapi sekaran kau telah berubah

Oh akane!
Kenapa ku melihat banyak kabut dimatamu
Tersimpan bagai polutan di danau rindu
Hitam. Pekat. Berbahaya
Menjatuhkan aku ke dasar neraka terdalam

Maukah kau, dengan segenap hatimu
Menjadikan aku penawar bagi jiwamu yang teracun
Yang tak pernah bisa kubiarkan walau hanya sekejap

Walau aku tak bisa menemukan sumber kegelisahanmu
Tapi aku kan terus bersamamu
Bersama kita mencari
Apa yang tercabik dari jiwa kita

Aku tahu karena akupun merasakannya
Rasa kosong yang tak pernah kosong
Yang mencerabut seluruh daya hidupmu
Membuat segalanya tampak semu dan asing

Aku tahu ini adalah perjalanan yang sangat berbahaya
Yang akan memangsa nyawa dan kewarasan kita dalam prosesnya
Namun aku tak perduli
Bila aku melakukannya bersamamu

Bersama kita akan menjelajah
Kebun bunga kehidupan
Yang tak hanya mempunyai bunga yang cantik
Tapi juga cacing dan kumbang yang terpendam

Maukah kau?

“Ini puisi apa sih? Mau ngajak gw kemana? Dan mau ngapain? Emang gw keong racun diajak kemana aja oke??”
 Akane menggerutu dalam hati. Namun, walaupun agak kesal, ia juga mengakui penulisnya benar. Ia memang agak resah belakangan ini. Keresahan yang tak terdefinisi. Bahkan oleh persamaan kalkulus sekalipun. Mempertanyakan pertanyaan yang paling muskil di dunia: apa itu cinta? Untuk apa ada cinta di dunia ini?
Pertanyaan ini terus menggema dalam hatinya. Membuatnya buta dan kehilangan arah. Akankah ia menemukan jawabnya?
                        -Bersambung......
 



- (oleh @hardashian - http://fromsciencetosocial.blogspot.com; http://penari-jalan-layang.blogspot.com)