Tentang 30 Hari Cerita Cinta

22 September 2011

Bayang Samuderana

“Baik” ucap Ricardo menyambut tangan Bayang.

Ada yang aneh kurasakan saat ini, entah kenapa aku takut, takut melihat raut wajah Ricardo yang tidak seperti biasanya.

“Sudah pulang, Nak? Loh, ini adalah?” ucap Ibuku yang baru saja keluar dari arah kamarnya.

“Ini Bayang, bu. Teman Sinar” ucapku memperkenalkan Bayang ke Ibu.

“Selamat sore, Tante...?” Bayang mengulurkan tangannya.

“Tante Ida” ucap Ibuku menyambut tangan Bayang.

“..Saya Bayang, tante Ida. Teman Sinar. Maaf, baru bisa mampir hari ini, sebelumnya hanya sering mengantar sampai depan pintu saja” lanjut Bayang.

“Silahkan duduk, nak Bayang” Ibuku mengajak Bayang untuk duduk, aku tersenyum melihat Ibuku begitu ramah dengan Bayang.

Namun tidak saat aku melihat Ricardo, dia malah masuk ke ruang makan tanpa berpamitan. Menyebalkan.

“Terima kasih, Tante. Saya pamit dulu, masih ada yang harus dikerjakan. Lain kali saya pasti mampir lagi” Bayang menolak ajakan Ibuku, aku sedkit kecewa.

“Loh, kok buru-buru amat, minum dulu aja” ucap Ibuku lagi.

“Iya, duduk aja dulu, minum. Kenapa? Karena rumah gue kecil?” ucapku dengan nada ketus.

Bayang langsung menatapku dari tempat dia berdiri, tersenyum kepadaku lalu berjalan mendekati sofa hitam tua yang berada di ruang tamu kami, dia duduk.

“Baik jika itu mau tante Ida” dia tersenyum ke arah Ibuku, dan ibuku memberikan tatapan ‘isyarat’-ayo-Sinar-siapkan-minum-untuk-temanmu-ini. Akupun pergi ke dapur membuatkan minum untuk Bayang. Ricardo menghampiriku.

“Ini Bayang siapa lagi?” nada bicaranya kurang ramah.

“Temen, kan udah gue kenalin sebelumnya” jawabku.

“Cuma temen?” lanjutnya lagi.

“Iya” jawabku singkat sambil mengaduk sirup markisa yang baru saja kutuangkan ke dalam gelas bersama es batu dan air dingin.

“Cuma temen cowok pertama yang lo kenalin ke nyokap lo? Yayayaya..” diapun meninggalkan dapur dan terdengar sepertinya dia berpamitan dengan Ibu untuk pulang.

“Hhhhh..dasar aneh” ucapku mengomentari tingkah Ricardo sore itu.

Kami berbincang mengenai hal ringan, Ibuku pandai soal ini, dia mengorek banyak hal tentang Bayang yang aku saja baru mendengarnya saat ini. Mulai dari sekolahnya, kuliahnya, orang tuanya, hobinya, makanan kesukaannya dan banyak banget deh. Tidak sadar sudah jam 9 malam, percakapan tadi sungguh tidak terasa, Bayang yang ramah membuat Ibuku terlihat nyaman mengobrol dengannya.

Ibu berpamitan untuk tidur dan tinggal kami berdua di ruang tamu, aku mengajak Bayang untuk pindah tempat mengobrol di teras rumahku, agar aku bisa merokok. Ah, iya, satu hal dari Bayang yang beda dari Elang, Radit atau Ricardo, dia tidak merokok, hidupnya sangat sehat.

Saat aku ingin menyalakan rokok, Bayang mengambil rokok yang sudah di bibirku, dia membuang rokokku dan mencium bibirku dengan lembut, hangat sekali. Aku menutup kedua mataku, tidak memperdulikan di dalam rumah ada Ibuku yang bisa saja keluar tiba-tiba dan mendapati kami sedang berciuman. Setelah mencium bibirku Bayang mengecup kelopak mata kananku. Aku membuka kedua mataku dan tersenyum menatapnya.

“Aku pulang ya.. sudah malam. Kamu juga istirahat. Jangan ngerokok lagi, biar sehat” dia mengambil sebungkus rokok dari tangan kiriku dan dimasukkan ke dalam saku celananya.

“Iya, kamu hati-hati ya..” ucapku dengan penuh senyum.

Bayang tersenyum berbalik memberikan punggungnya, keluar pagar rumahku dan tidak lama setelah itu terdengar bunyi mesin mobil menyala. Aku tersenyum dengan sangat lepas merasakan hangat yang tidak jua pergi dari dalam dada tiap kali Bayang menatapku. Aku masuk ke kamar, mejatuhkan tubuhku ke atas tempat tidur dan membayangkan wajah Bayang.

Aku tidak henti-hentinya tersenyum, menutup wajahku dengan bantal karena malu sendiri.

Jakarta, 5 Juli 2011

Pagi ini aku terbangun dengan penuh senyum, tadi malam aku memimpikan Bayang.

“Uweeek” lagi-lagi mual ini, ah aku masih saja lupa membeli test pack untuk menyudahi segala prasangkaku atas apa yang aku takuti. Hari ini aku harus membelinya, harus ku pastikan bahwa ketakutanku selama ini salah.

--

Aku memutuskan untuk mampir ke tempat Bayang sebelum berangkat ke kampus, masih jam setengah tujuh pagi, dengan taxi tiga puluh menit saja aku pasti sampai ke apartementnya. Aku ingin melihatnya pagi ini, semua hal yang dimiliki Bayang membuatku rindu.

Dengan semangat aku menuruni taxi yang telah mengantarku dengan cepat sampai ke tempat di mana Bayang tinggal. Lift berhenti di lantai 22, aku tersenyum, tidak sabar ingin bertemu dengan Bayang lagi.

Aku ingin memberi kejutan untuk Bayang, ku ambil kunci duplikat apartementnya yang dia pernah berikan, kubuka perlahan pintu, menutupnya dengan perlahan lagi. Berjalan dengan pelan menuju kamarnya yang masih dalam keadaan tertutup. Ku buka dengan perlahan pintu kamarnya, kunci yang kupegang sontak terjatuh. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat.

Bayang tertidur pulas dipeluk seorang pria. Pria yang waktu itu aku lihat memakai mobilnya di parkiran mall. Tetiba pria itu membuka matanya, dan melepas pelukannya dari Bayang.

“Heh! siapa kamu?” ucapnya membangunkan Bayang yang tadi tertidur lelap di sampingnya.

Aku tidak menjawab pertanyaan pria itu, membalikkan badan dan berlari menuju pintu keluar apartement ini.

“Sinar.. Sinar.. tunggu Sinar” terdengar suara Bayang dari dalam kamarnya, dia mengejarku. Namun aku keburu masuk lift dengan kondisi hati yang kacau balau, Bayang berhenti mengejarku sepertinya, dia hanya mengenakan celana pendek dan telanjang dada, tidak mungkin dia mengejarku lebih jauh.

Aku masih belum percaya dengan apa yang baru saja aku lihat, aku ingat pria itu, dia pria yang memakai parfum beraroma sama dengan Bayang yang kutemui di toko buku. Siapa dia? Kenapa mereka tidur dengan telanjang dada dan saling berpelukan seperti sepasang kekasih seperti itu? Bayang? Gak.. ini gak mungkin.. Bayang terlalu sempurna..

Aku keluar apartement tempat Bayang tinggal, aku ke kampus dengan perasaan acak-acakan. Memikirkan Bayang dan pria itu.

--

Kuliah hari ini baru mulai jam 10, aku harus menungguuu satu jam lagi. Ricardo tidak kelihatan di kampus, seharusnya dia juga ada kelas jam segini. Kuhelakan nafas panjang dan memutuskan untuk duduk di kantin sendirian.

Sepi sekali kampus sepagi ini, aku tidak mengenali siapapun yang ada di kantin. Aku memang benar-benar tidak gaul. Sepertinya mereka semua seniorku, dan sepertinya mereka sedari tadi memandangku dengan tatapan aneh. Hmmm, ah biarlah.

Aku hanya memesan secangkir kopi dan merokok sampai kelasku mulai, sambil mengobrol dengan Elang untuk mengalihkan perhatianku dari kejadian tadi di apartemen Bayang yang membuatku kaget dan masih bertanya-tanya.

--

Kelasku dimulai, aku masuk, di dalam sudah ada Ricardo, aku memilih untuk duduk di sampingnya.

“Yeeee... udah sampe gak bilang-bilang. Tau gitukan gue tadi gak sendirian di kantin” ucapku ke Ricardo dengan sedikit kesal.

“Hmmm” ucapnya.

“Udah makan, Do?” tanyaku.

“Hmmm” jawabnya lagi.

“Kenapa sih? Gue buat salah lagi?” aku bertanya kepadanya, kali ini dengan nada sedikit lebih serius.

“Kalau gue tanya bisa jawabnya serius dan gak pake ditutup-tutupin?” ucap Ricardo.

“Apa sih ini? Kok serius banget?” tanyaku.

“Oke, gue gak tanya-tanya” nada bicara Ricardo kali ini sepertinya serius. Aku terdiam sebentar dan menghelakan nafas panjang.

“Mau nanya apa?” ucapku menurunkan nada suara.

“Ada apa lo sama Bayang?” pertanyaan Ricardo membuatku terdiam dan berfikir, iya..ada apa sebenarnya antara aku dan Bayang, sepertinya diantara kami tidak pernah tercetus kalimat sayang, suka apalagi cinta. Kenapa aku harus bersedih dan marah seperti ini saat melihat Bayang dan pria tadi?

“Jawab, Nar..” Ricardo membuyarkan diamku.

“Gak ada apa-apa. Benar, gue dan Bayang tidak pernah ada apa-apa” jawabku ke Ricardo.

“Bener?” dia bertanya lagi kepadaku, aku hanya mengganggukkan kepala dan tersenyum, diapun ikut tersenyum.

“Jadi gini, Nar.. gue belom ngerjain tugas.......” ah, Ricardo kembali lagi menunjukkan raut wajah dengan nada suara seperti Ricardo yang biasa aku kenal. Aku tersenyum mendengarkan cerita dia sampai kelas dimulai.

--

Selesai kuliah, aku memisahkan diri dari Ricardo, aku harus membeli test pack, dan Ricardo tidak boleh tau. Aku keluar kampus dan di situ Bayang berdiri sambil memperhatikan hpnya. Aku berjalan melewatinya, dia terlalu sibuk dengan hpnya hingga tidak melihatku melewatinya, namun tidak sampai tiga meter aku melewatinya, dia memanggilku.

“Sinar” dia berjalan menghampiriku, terdengar suara langkahnya yang sedikit berlari. Aku mengacuhkannya. Dia berhasil mengejar langkahku, menghentikanya dengan menggengam tangan kiriku. Dia menatapku dengan raut wajah cemas tanpa senyum. Aku diam, tidak beraksi apa-apa.

Dia menarik tanganku menuju mobilnya yang diparkir tidak terlalu jauh dari pintu keluar kampusku. Dia membukakan pintu mobil untuku, aku memandangnya, “masuk” ucapnya pelan. Aku masih tidak mengeluarkan sepatah katapun. Namun menuruti permintaannya untuk masuk ke dalam mobil.

Dia menutup pintu mobil dan berputar untuk masuk ke dalam mobil juga, dia menyalakan mesin. Di sepanjang jalan kami sama-sama diam, dia tidak sekalipun melihatku, aku sesekali melihat raut wajahnya, dia terlihat cemas dan tegang. Dia tidak seperti Bayang yang kemarin.

--

Akhirnya dia memberhentikan mobil di parkiran depan taman tempat dulu dia pernah menjemputku tengah malam. Dia tidak keluar mobil, dan tidak pula menunjukkan akan keluar mobil. Sudah dua puluh menit kami saling diam dan tidak saling menatap. Aku memutuskan untuk membuka suara duluan.

“Siapa dia?” ucapku.

Bayang menatapku, kali ini tidak ada senyuman seperti biasanya.

“Dia mantan pacarku” akhirnya dia mengeluarkan suara, kalimat pertama yang dia ucapkan sangat membuatku dadaku sesak tidak karuan. ‘mantan pacar?’ pria tadi mantan pacar Bayang. Aku diam dengan tatapan mata sangat dalam ke matanya.

Dia menganggukkan kepala.

“Iya, aku gay. Dulu.. sebelum aku ketemu kamu Sinar..” ucapnya lagi.

Aku masih diam, seluruh bulu kudukku berdiri, semacam angin merasuki pori-pori kulitku sampai menembus jantung. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Bayang gay?

“Sinar, kamu perempuan pertama yang bikin aku jatuh cinta. Dan sekarang aku benar-benar bingung. Bingung dengan orientasi sexualku sendiri. Tapi satu yang aku yakin saat ini, aku gak mau kehilangan kamu, Sinar. Aku mencintai kamu” dia memegang tanganku, berusaha meyakiniku yang mematung tidak tau harus berkata apa.

Aku masih diam, tidak mengeluarkan sepatah katapun, aku melepaskan genggaman tangannya, membuka pintu mobil, dan memutuskan untuk keluar. Bayang memanggil namaku, aku terus berjalan mejauhinya. Dengan pikiran kosong kutelusuri jalanan, dia tidak mengejarku.

--

Aku berhenti disebuah apotik, membeli alat pengetes kehamilan, lalu menaiki sebuah bus menuju rumahku. Di sepanjang perjalanan aku diam, air mata menetes dengan sendiri dari kedua mataku, aku tetap tidak mengeluarkan sepatah katapun.

Aku sampai di dekat komplek rumahku, menghelakan nafas panjang, memutuskan untuk ke rumah Ricardo dulu, masih sore, dia pasti ada di rumahnya.

--

Di depan rumahnya terdengar suara dentingan piano yang terledak di ruang keluarga Ricardo, aku mengucapkan salam, tidak ada yang menjawab, aku melihat ternyata Ricardo sedang memainkan piano tersebut. Musik dari lagu Damien Rice Unplayed Piano.

Dia tersenyum melihatku memasuki rumahnya, melanjutkan permainan pianonya. Aku duduk di sampingnya, mengeluarkan suara, bernyanyi lirih mengikuti iringan piano yang dia mainkan. Lagu ini dinyanyikan oleh dua orang, perempuan dan lelaki, aku mengisi suara perempuan dan Ricardo mengisi suara lelakinya.

“Come and see me, sing me to sleep . Come and free me , or hold me if i need to weep, or maybe it's not the season, or maybe it's not the year, or maybe there's no good reason, why i'm locked up inside, just cause they wanna hide me. The moon goes bright , the darker they make my night. Unplayed pianos, are often by a window. In a room where nobody loved goes, she sits alone with her silent song. Somebody bring her home..”

-Damien Rice Unplayed Piano-

Sampai pada bait terakhir, aku melihat wajahnya dan tersenyum, dia tetap menyelesaikan musiknya sampai dentingan terakhir. Lalu membalas senyumku saat lagu tersebut selesai dimainkan dengan baik dengannya.

Ricardo bisa memainkan hampir semua alat musik, di sela-sela waktunya dia juga menerima les privat piano untuk anak-anak kenalananya yang tinggal masih di daerah komplek ini.

--

Kami pindah tempat mengobrol, sekarang kami di kamarnya, aku meletakkan tasku di atas tempat tidurnya, menyalakan rokok dan duduk di depan teras kamarnya. Dia mengambil buku not balok, lalu ikut duduk di sampingku.

“Gile bener, masa murid gue ada yang minta diajarin lagu Unplayed Piano yang tadi tuh, lagu menye-menye mana gue tau, seharian gue ngulik biar pas moodnya, akhirnya dapet juga” ucap Ricardo yang kubalas dengan senyum.

“Do, liat langit senjanya deh, merah banget ya, cantik” ucapku sambil menunjuk ke arah langit yang sore ini terlihat sangat indah.

“Langit sore kan emang cakep mulu, Nar. Eiya, udah lama yak kita gak poto-potoin langit sore Jakarta. Terakhir kalau gak salah sebelum lo sibuk pacaran sama si Elang” dia menimpali ucapanku.

Aku kembeli tersenyum, menutup kedua mataku dan merasakan hembusan angin yang menyentuh wajahku dengan damai.

“Gue balikan, Nar sama Alyssa. Dia kemarenkan datengin gue ke kampus, dia mohon-mohon sampe nangis, mana tega gue liat cewek nangis, ya udah, coba lagi dah” Ricardo memulai curhatannya. Aku mendengarkannya dengan sesekali memberikan pendapat.

--

Langit sudah mulai gelap, nyamuk mulai berdatangan, aku dan dia masuk ke dalam kamarnya. Aku mengambil hpku yang ada di dalam tas, lalu melihat test pack yang tadi sempat aku beli. Aku mengambilnya dan meminjam kamar mandi yang berada di dalam kamar Ricardo.

Di dalam kamar mandi jantungku berdetak dengan sangat cepat, bagaimana jika hasilnya positif? Bagaimana jika ini adalah anak Bayang. Bayang yang baru saja memberikan pengakuan bahwa dia adalah seorang Gay.

Aku menampung air seniku di sebuah wadah yang sudah tersedia di dalam tes pack tersebut, mencelupkan alat pengetes kehamilan itu dengan perlahan. Ku angkat kembali setelah beberapa detik aku celupkan, ku tunggu selama dua menit seperti yang tertera di kemasannya. Satu garis muncul, jantungku masih sangat kencang berdetak, lalu.. garis kedua muncul. Jantungku seolah berhenti.

“ini gak mungkin, ini gak mungkin, ini gak bisa, ini gak boleh terjadi..” Sambil terisak kugenggam benda kecil berstrip dua di tangan kananku.

“GAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAK............!!” ku lempar benda itu ke salah satu sisi tembok kamar mandi berwarna hijau muda milik sahabatku.

“Nar.. Naaar.. kenapa lo? Nar..” suara Ricardo, teman baik ku mengetuk pintu kamar mandi karena mendengar teriakkan ku.

“Gak apa-apa, Do. Gue gak kenapa-kenapa..” jawabku.

“Heh, lo kenapa dah, ngapain di kamar mandi lama bener, sembelit lagi?” tanyanya.

“Kecoa, Do. Jorok banget sih lo, kecoa sampe banyak gini di kamar mandi” jawabku sambil memflush toilet duduk berwarna putih, dan ku ambil kembali benda yang baru saja ku lempar, ku cuci wajahku, membersikan maskara yang luntur dan menyimpan benda tadi di dalam dompetku.

“Mane kecoa, biar laki gini, sori demori ye kalau sampe kamar mandi gue kotor, kaya baru kenal gue aje lo. Beneran lo kaga kenapa-kenapa? Susah buang air lagi ya?” kalimat pertama Ricardo saat melihat ku keluar dari kamar mandinya.

“Makanya, sayur tuh dimakan, makannya McD mulu sih lu, seretkan pencernaan lo” lanjutnya sambil mengambil gitar yang berada di sisi lemari.

“Do, kalau gue buat masalah...la..gi..lo bakal ninggalin gue gak? Tanyaku spontan, tanpa memikirkan bagaimana reaksi dia.

“Sinar.....” jawabnya sambil tersenyum dan menghentikan permainan gitarnya.

“....kapan sih gue ninggalin lo?” lanjutnya.

Aku menghelakan nafas, “Tapi kali ini kayanya gue bakal bikin lo juga kecewa, Do” ucapku.

“Emang lo ngapain sih, Nar?”

Tetiba terdengar intro musik lagu Perfect dari Smashing Pumkins, ringtone khusus buat telepon masuk dari Alyssa.

“Bentar, Nar. Cewek gue telepon”

“Hallo Beib... ini lagi di rumah, ada Sinar, biasa..” ucapnya di telepon.

--

“Do, gue balik, udah malem” ucapku sambil mengambil tas merah yang tergeletak di atas kasur.

“..eh, bentar Beib.. Nar, jangan lupa makan sayur, besok gue jemput lo jam 9 ke kampus..” Ricardo mengejar ku sampai pintu kamarnya.

Aku turun, pamit ke Tena adik Ricardo yang sedang asik menonton dvd di ruang keluarga. Keluar rumahnya, menghela nafas panjang lalu berjalan kaki menuju rumahku yang hanya berjarak 2 kilo meter dari rumah Ricardo.

Malam ini tidak ada bintang yang terlihat, bulanpun sepertinya tertutup awan, hanya ada aku dan bayangan yang sedikit redup. Sambil tersenyum aku berkata pelan “Oke, kalau ada Sinar aja lo, muncul, kemana lo pas gelap?” pertanyaan bodoh yang kuucap ke bayangan diriku sendiri.

--

Aku berjalan hingga akhirnya sampai ke rumahku.

“Assalamualaikum, Bu. Tadi ke rumah Ricardo dulu, maaf gak ngabarin” salamku ke Ibu.

“Wa’alaikumsalam.. sudah makan kamu? Tadi Ricardo telepon Ibu, katanya pencernaan kamu mulai gak beres lagi?” tanya Ibu.

“Nggak kok, kaya gak tau dia aja, sok tau” jawabku.

“Bu, aku mau mandi trus langsung tidur, pintu pager udah aku kunci. Ibu jangan lama-lama nonton tv-nya, tidur, besokkan kerja. Aku ke kamar ya, Bu”

“Eh, makan dulu kamu, badan udah kurus gitu” sahut ibuku melihat aku mulai berjalan ke kamar.

“Sengaja bu, lagi diet” jawabku singkat beberapa detik sebelum menutup pintu kamar.

“Hhhhh..anak jaman sekarang itu maunya sekurus apa sih? Kayaknya jaman dulu makin berisi itu makin sexy deh” terdengar ucapan ibuku pelan dari dalam kamar.

Selesai mandi, ku keringkan rambut ikalku yang sudah hampir menyentuh pinggang, lalu ku ambil pulpen dan buku kecil berwarna merah bertuliskan “Hope” di depannya. Ku rebahkan sejenak badanku di tempat tidur sekitar 5 menit pikiranku kosong, menatap langit-langit kamar dengan hampa. Kemudian kuatur posisi tidurku senyaman mungkin untuk bisa membuat badanku santai, namun tetap bisa menulis.

Kubuka buku kecil itu, di halaman pertama seperti biasa ada fotoku, Ibu dan almarhum Ayah, dan seketika itu pula air mataku mengalir. Kubuka hingga ku temukan halaman yang belum terisi, mulai kucoretkan dua kata dengan huruf kapital “AKU HAMIL”. Tanganku masih bergetar setelah selesai menuliskan dua kata tersebut, kulanjutkan menulis sambil sesekali menghapus air mata yang tak jua mau berhenti membasahi kedua pipiku.

“AKU HAMIL

Apa lagi yang menungguku di cerita kali ini, Tuhan?

Seorang bayi? Apa yang harus ku katakan ke Ibu? Apa Ayah sudah tau masalah ini? Apa sekarang dia sedang menangis melihat putri satu-satunya seperti ini?

Ini gak boleh terjadi, aku gak boleh hamil. Ya, aku tidak boleh hamil.”

--

Ku tutup buku merah tersebut, ku ambil hpku, menjawab beberapa pesan yang masuk sedari sore tadi, salah satunya dari Elang.

“Kamu sudah di rumah? How’s your day today, darl?”

“Hay, where are you?”

“Hellooo..”

“Sayaaaaaang..”

Baru saja ku baca BBM dari Elang, dan ku balas:

“Aku hamil.” Jawabku

“Are you joking? But, we never had sex. Kenapa bisa begini?” Elang membalas BBM-ku, butuh 10 menit untuk aku membalas pertanyaan tersebut.


Bersambung....



Oleh: @ekaotto

Annica #10

#10

Even If I have to choose it once again, I will still choose you. I love you, too…

- Annica -


"Kamu ada keperluan apa sih Ed?" tanya Nadira kesal
"Apa ada yang salah dengan aku nelpon kamu?"
"Ngga, ngga ada yang salah kok. Cuma aku bingung aja, ada apa lagi sih?" suara Nadira mulai emosi
"Aku cuma mau denger suara kamu kok" jawab Edrick pelan
"Ed, kita udah putus. Untuk apa lagi semua ini?" Nadira mulai menurunkan nada bicaranya, terdengar hampir putus asa.
"Nad, I can't stop thinking of you"
"Kita tahu alasan kita putus kemarin kenapa, aku ngga bisa…"
"Nad, yang mengambil keputusan itu kamu. Kamu yang nantang kita buat putus" Edrick mulai terdengar emosional ketika Nadira mengungkit kejadian putus mereka hampir 2 bulan yang lalu itu "Kamu berteriak putus di telpon dengan aku Nad" sambung Edrick
"Tapi kamu juga setuju dengan hal itu"
"It's not our first time"
"Iya, dan bukan yang pertama kalinya juga kamu bohong sama aku. Apa sih susahnya bilang sama aku kalau kamu mau pergi ke Bali sama anak-anak? Seandainya Revan ngga bilang ke aku saat itu kalau dia mau ke Bali dan ada kamu, mungkin aku ngga akan pernah tahu."
"Nad, aku cuma ke Bali dan bareng sama temen-temen kita. That's not a big deal"
"See? Kamu bilang itu bukan masalah besar, persepsi kita beda Edrick. Buat aku itu sebuah kebohongan dan kita sama-sama tahu, aku ngga suka dibohongin Edrick"
"Nadira, aku ngga ada maksud buat bohong, waktu itu…"
"You promise me to come here at that time Edrick. Tapi bukannya kamu datang dan nengok aku disini, kamu malah pergi ke Bali sama anak-anak tanpa bilang sama aku"
"Kita kan udah bahas soal itu Nadira. Kamu tahu posisinya kenapa aku ngga bisa pindah ke China saat itu. Dan aku bukan ngga bilang ya, I told you that I want to go to Bali with Revan"
"Kamu bilang mau ke Bali pas udah di airport Edrick. Dan ya memang kita udah bahas, kamu udah jelasin ke aku alasannya apa sampai akhirnya kamu ngga bisa pindah kesini, tapi itu bukan jadi alasan kamu bisa pergi seenaknya ngga ijin sama aku Ed"
Edrick menarik napasnya pelan, sekali lagi mendengarkan semburan emosional Nadira, with the same reasons, seperti yang selalu terjadi dalam percakapan mereka dua bulan terakhir ini.
"Kenapa ngga kamu aja sih yang pulang ke Indonesia?" tanya Edrick putus asa
"Aku ngga mau, aku masih mau disini, aku baru kerja disini. Aku masih mau cari pengalaman disini, aku masih…"
"Iya iya Nad, kamu udah sering bilang alasan kamu ke aku soal itu. Dan kita juga udah tahu kan alasan aku ngga bisa pindah ke China kenapa, aku saat itu butuh refreshing Nad dan kebetulan anak-anak ngajakin ke Bali makanya aku ikut. Aku ngga bisa ke tempat kamu saat itu, karena kalau aku pergi maka keinginan aku buat stay disana dan deket sama kamu akan semakin kuat. Padahal aku ngga bisa ninggalin kerjaan disini Nad, Papa sakit dan hubungan aku sama Papa juga baru mulai membaik akhir-akhir ini. Please understand me Nadira…"
"Aku bisa mengerti kamu asal kamu jujur sama aku Edrick"
"Aku udah jujur sama kamu Nadira, aku uda jelasin ke kamu alasannya apa tapi kamu…"
"Stop it Edrick, we are going nowhere. Aku capek, aku ngantuk. It's late night here. Bye"
Nadira menutup telpon itu tanpa mendengarkan lagi jika masih ada argument atau alasan apapun dari Edrick.
Edrick melempar telpon genggamnya ke atas meja. Kesal. Edrick menghela napasnya dan merasa mendadak lelah dengan pertengkarannya barusan dengan Nadira.
Always end up like this.

Aku membuka-buka album photo milik Edrick di facebook. Aku meminjam ID Sherry untuk melihatnya karena sejak awal kenal Edrick tidak pernah meminta aku menjadi temannya di facebook padahal dia sudah menanyakannya ketika awal-awal kenal.
Masih ada banyak foto-foto Edrick bersama Nadira yang tersimpan di facebooknya dan status Edrick pun masih 'in a relationship' meskipun tidak tertulis dengan siapa. Tapi satu hal, Edrick dan Nadira tidak berteman lagi di Facebook meskipun masih ada beberapa foto di album milik Nadira. Kemungkinan besar Nadira yang men-delete Edrick.
Aku keluar dari account Sherry dan menutup window itu. Dan aku semakin gelisah.
Aku tahu aku mulai nyaman dengan semua perhatian Edrick. Dan aku senang menerima itu semua. Apalagi keluargaku juga tidak keberatan dengan kedekatan kami berdua, itu sudah seperti lampu hijau untuk aku.
Pengalaman pertamaku tidak berjalan baik karena memang keluargaku pun tidak setuju dan sejak saat itu aku memutuskan untuk hanya akan menjalani hubungan dengan seseorang yang disetujui oleh keluargaku.
Aku memang egois tapi aku tidak ingin ada di posisi yang berjuang membela hubunganku dan pacarku didepan keluargaku lagi, karena aku lelah. Hanya mengingat semua kejadian itu saja rasanya aku kembali merasakan beban berat itu lagi.
Setiap orang pasti akan merasakan kelelahan ketika kamu berjuang untuk seseorang, mempertahankan sebuah hubungan tapi ternyata yang kamu dapatkan hanya pengkhianatan di akhir ceritanya.

"Aku udah ngga mungkin main-main. Umur aku udah ngga muda lagi dan apalagi aku satu-satunya yang belum menikah di keluarga aku, jelas semua orang udah menanyakan kapan aku menyusul adikku, iya kan?" ucap Edrick dengan tegas
"Aku salut sama adik kamu, buat aku itu hebat lho. Mengambil keputusan buat married di usia yang masih muda, di usia yang justru sebenernya lagi memikirkan kesenangan diri sendiri."
Aku dan Edrick saat ini sedang makan malam, menghabiskan malam bersama lagi untuk kesekian kalinya. Obrolan diantara kami selalu mengalir dengan sendirinya. Edrick yang memang supel dan mampu membuat aku benar-benar nyaman membuat kami tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Dan entah siapa yang memulai, kami ada di pembicaraan seperti ini…
"Kamu siap kalo diajak married sekarang?"
"Hmm…it's difficult to answer it" jawabku setelah berpikir sejenak
"Kenapa?"
"Aku mau menikah tapi aku ngga pernah membayangkan kalau aku mau menikah sekarang ini."
"Mungkin karena kamu sendiri ngga ada bayangan kamu mau menikah dengan siapa iya kan?"
"Iya mungkin juga"
"Kapan target kamu mau menikah?"
"Mungkin sekitar 2 atau 3 tahun lagi ya"
"Dua tahun lagi aja ya…"
Aku menatap Edrick kaget dan lelaki yang sedang aku pandangi itu justru hanya tersenyum-senyum.
"Aku ngga akan disini dan melakukan semua hal itu kalau aku ngga ada rasa apapun sama kamu. Aku sayang sama kamu" Aku mendengarkan kata-kata yang terucap dari mulut Edrick dengan setengah takjub.
Iya, aku tahu kalau dia sangat perhatian.
Saat aku sakit, dia yang tiba-tiba datang ke depan rumahku dan mengantarkan sarapan, selama tiga hari berturut-turut tanpa diminta dan meski aku larang, dia tetap melakukannya.
Dia juga yang tiba-tiba muncul didepan pintu rumahku dan mau mengantarku ke dokter kemarin, dan dia juga yang dengan senang hati mengantarkan aku ke kantor dan menjemputku sepulang kantor.
Aku tahu seorang lelaki ngga akan dengan sukarela melakukan semua itu jika dia ngga ada maksud apapun. Tapi aku sendiri tetap masih merasa ngga percaya ketika mendengarnya berbicara seperti itu.
"Aku ngga tahu dari kapan tapi mungkin dari sejak kamu sakit, aku cuma merasa aku takut kehilangan kamu. Aku selalu merasa khawatir dengan keadaan kamu. Dan tambah hari semua perasaan itu semakin kuat. So, here I am telling you that I love you"
Aku speechless. Aku benar-benar kehilangan kata-kata.
Aku ngga mau bohong dengan perasaan aku sendiri. Aku pun merasa nyaman dengan semua waktu yang aku lewati bersama Edrick.
Dia perhatian, dia baik, dia sopan. Dan aku menikmati semua perasaan yang muncul ketika aku bersama dia.
"Apa yang kamu rasain Ann?" tanya Edrick ketika melihat aku terdiam dan hanya melamun sambil memainkan kentang goreng yang ada diatas piring didepanku.
Aku menatap wajahnya lama, memperhatikan wajahnya seusai dia mengucapkan semua kata-kata itu.
He looks blushing in this time.
"Aku ngga akan menemani kamu mengobrol sampai tengah malam ataupun berulang kali menerima ajakan kamu pergi, kalau seandainya aku pun ngga ada rasa apapun sama kamu"
Edrick tersenyum mendengar jawaban aku dan hanya menganggukkan kepalanya.
Hari ini, 16 April 2011, aku dan dia sama-sama mengakui perasaan yang kami simpan selama ini didalam hati kami.
Bukan lega yang kami rasakan tapi lebih kepada suatu kebahagiaan karena apa yang kami rasakan tidak salah.
"Aku bisa bilang kalau aku uda menyatakan perasaan aku sama kamu Ann"
"Well, kita bukan lagi abg yang harus pakai ritual pertanyaan mau ngga jadi pacar saya, iya kan?"

@annicasudj 11:11 thank you for loving me :)


~  (oleh @luillciousmey)

#10 Moment yang kesepuluh

    Tuuuut tuuut.. Ada pesan yang masuk ke HP ku. Nomer tak dikenal +0811xxxxxx.
Dengan mata yang masih terpejam aku membaca menu "Message"
"Hi Ruth, ni gue Grcase temennya Bram yang ketemu tempo hari, boleh ketemu?"
    Seketika mataku melek melihat ada tertulis nama Bram. Eh ini Grace yang waktu itu kan? Grace yang mandang aneh sama aku? Kok sekarang dia ngajak ketemu? Tunggu ini hari Senin dan jadwal orang kerja jadi tidak mungkin hanya untuk sekedar basa basi. Tapi kan Grace ke Batam buat liburan jadi ya gak ada jam kerja dong?? GIMANA KALO BRAM KENAPA KENAPA??? kenapa aku gak kepikiran dari tadi sih? Begooooo Begooo...... Tidak membalas SMS tapi langsung kutelepon orangnya dan sebelum terdengar sahutan dari seberang sana aku membombandir Grace dengan todongan pertanyaan.
"Grace, Bram gak kenapa kenapa kan?" Nada tinggi dan khawatir 300%
"Hallo, ini siapa??????"
"Maaf Maaf Grace, ini gue Ruth.."
"Hooh Maaf, gue gak lihat nomer lu, pas angkat lu udah tereak aja.."
"Iya, habisanya lu sms gue ngajak ketemuan, gue mikirnya penting banged pasti"
"Iya emang PENTING..!! eh kok lu khawatir banged sama si Bram??"
"Ya iyalah gue khawatir, scara dia pacar gue"
"Pacar????"
"Iyaaaa...."
"Oh?? sejak kapan???Ok terus kapan kita bisa ketemu Ruth, ada yang mau gue sampein gak bisa via telp?"
"Kenapa sih?"
"Nanti juga lu tahu..."
........................................................................................................................
"BILANG LU BERCANDA GRACE....."
"Ruth, gue gak akan bercanda untuk hal serius seperti ini!!"
"Tapi kenapa Bram lakuin semua ini ke gue? kenapa? salah gue apa Grace???"
"Untuk itu lu tanya sendiri orangnya!! Tidak seharusnya gue yang nyampein ini ke elu, kalau memang Bram laki laki dia yang harusnya bicara langsung pada lu. Tapi denger Ruth gue juga gak rela sahabat terbaik gue dikhianati seperti ini, pengen rasanya gue gampar elu. Tapi gue juga wanita dan setelah gue tahu, lu gak tahu apa apa tentang Bram, gue gak bisa ngomong apa apa lagi.."
    Hanya suara isak tangis kami yang terdengar. Aku menangis karena merasa Bram sangat jahat padaku dan Grace menangis untuk sahabatnya. Tuhan, kenapa semua cerita cintaku KAU putar dalam hitungan jam? Kenapa Grace yang tadinya hanya liburan ke Batam KAU pakai sebagai messanger. Kenapa Tuhan? Kenapa? Ini ada apa?
Semakin aku bertanya, semakin terasa hatiku sakit..!!!!! BRAM JAHAT!!!!!
Menahan gejolak amarah, kuberanikan diri bertanya pada Grace.
"Lu sudah lama kenal sama Bram?"
"8 Tahun yang lalu saat kami bertiga masih kuliah di Singapore?"
"Sejak kapan mereka pacaran?"
"Ruth, sebaiknya lu minta penjelasan sama Bram, bukan tempatnya gue untuk jelasin ini semua.
Satu hal yang harus lu tahu, tolong tempatkan posisi lu seandainya Lu adalah Natalia.."
    Grace memelukku, tidak ada marah dipelukannya hanya kekuatan yang diberikan kepadaku. Apakah karena aku sebenarnya korban? Korban dari keserakahan Bram? Yang merasa tidak cukup akan satu perempuan!! Ingin rasanya kucekik Bram sampai matanya mendelik.
"Ruth, gue cabut dulu ya. Gue percaya lu bisa bijaksana ngadepin ini semua. Lu dan Natalia sama sama wanita dan lu pasti tahu rasanya jadi dia. Bukan salah lu juga, pakai hati dan kepala dingin Ruth. Take care dear, kalo butuh apa apa telpon gue aja... see you later!"
"Thanks Grace, take care juga ya"
    Tak sanggup aku berkata banyak pada Grace dan aku hanya memperhatikan punggungnya menghilang meninggalkan ruang tamuku. kembali aku terisak dan kuseret badan ke kamar berharap dengan memejamkan mata ini semua hanya MIMPI BURUK...
    Berapa jam aku tertidur? Yang kuingat aku hanya menangis, menangis dan dalam mimpi pun aku menangis. Semakin aku meringkukkan badan, semakin aku merasa lelah. Banyak yang ingin kupertanyakan dan Bram berhutang penjelasan padaku. Permainan apa ini? Aku merasa tidak pernah ikut casting?
Tolol.... cinta memang membuat manusia jadi tolol..
Sedikit kuputar memori tentang aku dan Bram. Bram yang kenapa sering ke Bandung, Bram yang kenapa kalau di Bandung bagaikan diculik alien, tentang telpon aku yang selalu di reject kalau di Bandung, Bram yang tidak pernah mengizinkan aku ikut ke Bandung, Bram dengan semua kerja tapi disana ada calon istrinya yang harus dikunjungi dan sekarang mereka sedang mempersiapkan acara pernikahan 3 bulan lagi!!!
    SEE.... bagaimana aku ditipu mentah mentah sama Bram yang brengsek itu?
Rasanya ingin semua kata makian aku keluarkan untuk mengumpat Bram, tapi mengingat moment-moment dan hari hari yang kami lewati aku menangis lagi dan yang paling menyakitkan sebenarnya adalah karena
AKU MENCINTAI BRAM!!
    Sudah tiga hari aku tidak keluar rumah, tidak juga menjawab telpon, SMS dan BBm dari Bram Riri dan Bernard. Masih menangis dan hatiku masih berkabung. SMS dan BBM terakhir yang aku terima :
"Ruth Lu kemana aja sik??? HP Matii... Woiiiii, are you OK???"
"Sayang, kema aja????"
"Hun aku sedih, kamu tidak pernah ngasih aku kabar berarti kamu benar benar tidak butuh aku lagi ya? Are you Ok my Nadya? Feelingku gak enak.." 
Riri, Bram dan Bernard... Aku menangis lagi..
- - - - - - - - - - - - - -- - - - - - - - - - - - - - - - -
"Bram kapan kita bisa ketemu" tanpa tedeng aling aling aku langsung bertanya saat Bram baru angkat telpon dariku.
"Ruth, kemana aja sudah 3hari kamu gak bisa dihubungi...!!"
"Aku tunggu di rumah  2jam lagi.."
"Ruth kenapa sih??"
"Jangan telat Bram.. Bye!!"
Judes bercampur marah aku mengundang Bram datang kerumah, ini harus diselesaikan.
- - - - - - - - - - - - - - - -- - - - - - --- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - - - - --- - - - - - -
"BRAAAMMMMMMM.. denger ya, aku sudah muak dengar kata kata maaf kamu 3jam terakhir ini, gak ada kalimat lain lagi apa? dan selama itu aku gak nemuin alesan tuh KENAPA KAMU LAKUIN ini sama AKU.
Kenapa Bram???? Jawab dong...."
"Ruth, tenang dong sayang..."
"Sayang???? Sayang lu bullshit tahu gak..!!"
"Ruth boleh aku berbicara?"
"Silahkan,karena ini terkhir kalinya gue mau berurusan sama Lu.."
"Ruth, aku sayang sama kamu... Oke lelaki seperti gue pantes dibilang gak punya hati.
Tapi kamu harus tahu dong  kenapa aku lakuin ini?"
"Kenapa????"
"Karena aku gak mau kehilangan kamu Ruth!!"
"Bram 3 bulan lagi Lu sudah mau nikah! Permainan gila macam apa ini? dan kenapa aku harus terlibat? Gimana perasaanku Bram? kamu tahu gak dan sakitnya gimana dengan Natalia calon istri kamu?"
"Ruth, awalnya aku hanya ingin menawarkan kamu persahabatan, tapi semakin hari aku semakin tidak bisa lepas dari kamu. Kamu yang sudah masuk ke hari hariku, kamu yang sudah masuk ke daftar orang penting buatku dan kamu sudah masuk kedalam hatiku..."
"Bram, kamu pria yang sudah mau menikah, sadar gak sih? Satu lagi alesan kamu ke Bandung selama ini bukan buat kerja kan? Mau ketemu calon istri kamu kan? dan tentunya persiapan pernikahan kalian?"
Semakin tinggi nada suaraku, semakin deras airmataku dan hatiku semakin sakit!!
"Aku dan Natalia sudah kenal dari kecil dan kita juga kuliah bareng di Singapore.
Kami dijodohkan Ruth. Hubunganku dengan Natalia juga sudah terlalu biasa, sudah dekat dari kecil tidak ada lagi yang istimewa. Setahun terakhir ini kami LDR, dulu aku berharap dengan jauhnya jarak, bisa menambahkan sedikit rasa dihatiku untuk menghalau rasa jenuh. Tapi tidak.. Natalia anaknya lurus dan tidak neko neko, apapun yang aku katakan akan diiyakan sama dia"
Bram berhenti, menhela napas. Kutatap matanya, mata yang lelah dan ada penyesalan disana.
Tidak aku tidak mau ditipu lagi.
"Lanjutin Bram, aku berhak tahu tentang wanita yang tunangannya hampir kurebut.."
"Aku bosan menjalani hubungan dengan dia yang sudah 29 tahun kukenal, bosan Ruth.."
"Tapi itu bukan alesan untuk berkianat Bram.. bukan.."
"Siapa yang sanggup menolak pesona kamu Ruth, saat aku merasa paling jenuh, bosan dan kosong tepat kamu datang. menawarkan senyuman, menawarkan cerita dan kita sama sama kesepian, iya kan?"
"Tapi kamu bohong sama aku?"
"Aku bohong soal apa, statusku? kamu tidak pernah bertanya!! semua yang kita jalani, tejadi begitu saja Ruth.."
Aku membenarkan kata kata Bram, tidak pernah ada komitment diantara kami..
"Terus PUAS kamu sekarang?"
"Ruth, Maaf jangan nangis lagi, please... Aku akan pergi asal kamu berhenti nangis!"
"Dengan kamu pergi, semuanya akan baik baik saja gitu?? Enak banged"
"So, what should I do Ruth??"
"KAMU PILIH AKU ATAU DIA BRAM....??"

~ (oleh @fredricanatasi)

Suatu Ketika Di Suatu Hari: #6

"APA!? Dia menolakmu!?"
"Sssttt, Aans… Udah malem, jangan keras-keras…"
"Rumit sekali…" kata Aans mengecilkan volume suaranya, "Reaksinya ga biasa hanya karena ajakan nonton yang merupakan hal biasa. Tapi yah, sebagai sesama cowok, biasanya kita baik sama seorang cewek atau memperlakukan seorang cewek dengan special adalah karena kita nyaman dengannya… Nah, nyamannya ini bisa berarti nyaman sebagai seorang sahabat atau sebagai calon pacar."
"Apapun itu, A… Aans sudah membuat harga diriku jatuh di depan Wildan! Tau ga seberapa malunya aku kalo nanti ketemu Wildan lagi!?"
"Sssttt, Haps… Tengah malem loh ini… Jangan keras-keras…"
Aku terdiam menatap Aans dengan tatapan berkaca-kaca, "Wajah Wildan, A… Saat aku mengajaknya nonton… Aku merasa sudah merusak hubunganku dan dia walau kami hanya berteman…"
Aans terdiam, wajahnya terlihat bersalah, "Um… Kamu tau, Haps… Kalo dia menganggapmu sahabatnya, seharusnya dia ga salah tingkah saat kamu mengajaknya…" katanya mencoba menenangkanku dengan analisisnya, "Tapi, karena dia salah tingkah… Aa pikir dia menganggapmu lebih dari sekedar sahabat…"
Aku menatap Aans bingung, "Hah?"
"Yah… Aa pikir dia punya perasaan sama kamu… Suka sama kamu, Haps…"
"Kalo dia suka sama aku, kenapa dia nolak ajakan nonton aku?"
"Nah… Itu dia… Makanya tadi Aa bilang rumit sekali…"
Aku menaikkan alis kananku dan menatap Aans dengan tatapan membara. Atau menusuk. Yang mana saja boleh, asal Aans bisa merasakan dendamku.
Aans terlihat putus asa, "Hampura atuh, Haps… Aa pikir ngajak nonton itu bisa menjadi salah satu alat buat tau perasaan Wildan…"
Aku menggeleng, alis kananku masih naik.
"Terus Aa harus gimana, Haps? Biar kamu bukain pintu? Banyak nyamuk diluar nih…"
Aku diam dan terus menatap Aans dengan tatapan membara. Atau menusuk. Hanya saja kali ini aku mengangkat kunci yang sedari tadi kupegang di tangan kananku dan melambaikannya dibalik jendela rumah, agar Aans yang berada di luar jendela bisa melihat kunci yang daritadi dia inginkan setelah setengah jam sejak dia pulang. Ya, aku tidak membukakannya pintu sebagai tanda kemarahanku.
"Besok Aa traktir ya?"
"Aku patah hati, Aa!!"
"Sssttt… Cep cep cep… Iya iya… Aa traktir ya besok…" Aans menempelkan kedua tangannya di kaca jendela dan mukanya memelas, "Mau apa, Haps? Nonton? Makan? Baju?"
Sebenarnya aku tahu, bukan salah Aans sepenuhnya… Hanya saja, aku pikir aku memang butuh seseorang untuk disalahkan atas patah hati yang aku rasakan. Dan sialnya, Aans yang kena hanya karena dia menyarankan aku untuk mengajaknya jalan atau nonton di bioskop. Aku mulai menurunkan alis kananku, lalu menghela nafas panjang.
"Besok aku pulang kuliah jam tiga sore. Jemput di kampus. Aku mau nonton, mau makan, sama mau baju…" kataku sambil mulai memasukkan kunci ke lubang kunci pintu rumah. "Dan jangan lupa, Aa harus nyapu tiap pagi selama seminggu!"
"Yah, Haps… Masa semuanya Aa harus…"
Aku menatap Aans dengan tajam dibalik jendela, menahan gerakan memutar kunci di lubang kunci.
"Nonton sama makan aja ya, Haps? Nyapunya tiga hari aja ya? Ya? Ya? Ya?"
"Empat hari! Kalo ga, ga dibukain nih!"
Aans terlihat berpikir sejenak lalu akhirnya mengangguk, "Iya iyaa…"
Aku tersenyum lalu memutar kunci sehingga pintu rumah terbuka. Aans berjalan masuk dengan langkah lemas. Aku memeluk tangan kanan Aans, "Sayang deh sama Aans…" kataku mesra. "Besok jam tiga di kampus aku…"
"Rumit sekali…" Aans menghela nafas, "Tau gini tadi ga ikut maen biliar deh…"
Aku melepaskan pelukanku, tidak peduli dengan perkataan Aans, lalu menutup pintu dan menguncinya, "Met bobo, Aans…" kataku ngeloyor masuk ke kamarku.
***


~ (oleh @melillynda)

Elegi Purnama #10

"Lo gak minum Run?" tanya Abi.
"Nih", ujarku sambil mengangkat gelas orange juice.
"Ah lo sih dari dulu gak doyan bir, sukanya susu coklat" ia terkekeh.
Aku mengunyah kentang goreng, menghindari percakapan personal di tengah keramaian.

"Kita pada mau ke X2 Run, ikut ya!".
"Ah gila lo, besok baru Rabu".
"Ahahaha, gak papa sekali-kali dugem di tengah minggu".
"Nggak deh, gw skip dulu" kutolak ajakan Agnes.


Aku bergegas.
"Have fun ya guys, besok harus masuk semua. Jangan ada yang ngantuk,ngantuk gw cubit pake printer nanti".
Mereka kompak mengiyakan.


Aku turun dan menuju pintu selatan, security mal membukakan pintu taksi yang segera melesat membelah macet Jakarta yang tak kenal waktu, di pukul 10 malam sekalipun.


Kubuka laptop di tengah perjalanan, membuka beberapa email dan membalas pertanyaan editor yang terus-terusan menagih naskah. Tak puas lewat BBM, ia menulis panjang lebar di badan email lengkap dengan penjabaran berbagai hal. "Iya,editor cerewwwwweeeet", kubalas pesannya lewat BBM. Tak ada reply sampai setengah jam kemudian. Sampai kemudian nama lain muncul. Rengga.

"Sedang apa?"
"Masih di jalan".
"Kutemenin yah, kutelepon".
"Silakan".

Semenit kemudian aku sibuk bicara dengan sosok dari kejauhan. Suaranya bagus, pernah menjadi penyanyi kafe ternyata. Anak kedua dari tiga bersaudara. Bekerja part time menjadi guru bahasa Inggris. Berumur 25 tahun dan humoris. Kuakhiri teleponnya setelah lima belas menit kemudian. Kurang menarik.

***


Rabu, Kamis, Jumat. Hari melesat bak roket. Waktu sebanyak 24 jam selalu kurang. Berjalan terlalu datar, akan kembali ke minggu berikutnya juga akan sama datarnya.

"Lo itu harus punya pacar Run, paling nggak kecengan gitu", Agnes mulai ceramah.
"Emang kenapa sih, kesannya idup gw kesepian banget".
"Ya nggak, tapi paling nggak lo punya orang yang bisa dijadiin semangat tiap harinya".
"Iya ntar gw cari".
"Yakin lo mau cari? Bukannya ada banyak, tapi lo-nya aja banyak maunya".
"Au ah Nes", jawabku cuek sambil mengulik bahan presentasi untuk Senin.


Rengga menelepon.
Seminggu ini walaupun jarang kubalas, ia rajin menanyakan kabar. Mengingatkan solat, makan, hati-hati di jalan atau bahkan menjadi yang paling pagi membangunkan. Aku risih, jawaban kubalas atas dasar basa-basi.


"Lo tuh sibuk ya kalo Sabtu-Minggu?". Sebuah pesan kuterima di Sabtu pagi. Di Lido ketika akan memulai kelas menulis seperti biasa. Kubaca, kemudian close. Beberapa jam lagi nanti akan kubalas.


Pak Jandri datang bersama seorang laki-laki botak, berwajah ramah dan sedikit 'ndut'. Ini dia rupanya murid baru di kelasku. Kami bersalaman. Kusebut namaku. Ia terkesiap. Pun aku, ia bernama Rengga Julian. Sepanjang kelas, ia antusias belajar. Aku senang menatap matanya, mata yang sama waktu malam api unggun itu. Kerlipnya tak juga memudar, siang sekalipun.


Pukul satu siang diskusi tentang menulis selesai, aku off untuk jadwal selanjutnya. Konseling dilanjutkan oleh orang lain. Kubereskan beberapa kertas yang berceceran di meja, memungut pulpen yang jatuh tepat di bawah kaki sampai kemudian,.. "Jadi kita ketemu di sini Runny Anandita Senja?".




~ (oleh @IedaTeddy)

Chemistry: 8

The Butterfly Effect part 4




L E A H


"Le, cowok itu dibedain jadi 2. Cowok aman dan gak aman." Kak Lila tiba-tiba datang dari kantor dan menyodorkan segelas cold Hazelnut kepunyaan starbucks kesukaanku.
Aku sedang bergelung di sofa kesayanganku di kamarku.
"Adrian?" Aku menyebutkan satu nama pada Kak Lila.
"Aman. Banget.". Kak Lila bener-bener mantap ketika menjawab pertanyaanku.
"So? Yes or no?" Aku iseng bertanya pada Kak Lila. Benar-benar iseng. Kak Lila tersenyum simpul.
"Kamu sendiri gimana,Le?"
"Biasa aja. Cuman dikenalin aja. Belum tentu juga ada apa-apa. Cuma. Sekedar. Dikenalin." Aku menjelaskan dengan penekanan pada masing-masing kata.
"Kok gitu, dek?"
"Justru karena dia cowok aman, makanya gak mungkin banget dia maju duluan. Pasti dia bakal mikir beribu kali. Deketin. Nggak. Deketin. Nggak. Deketin. Nggak". Aku dan Kak Lila berbagi suara tawa. Ini benar-benar lucu.
"Kalo cowok gak aman kak?" Aku bertanya setelah ledakan tawa kami reda.
"Gak aman? Eehhmm.. Yang bisa diajak fun tapi gak bisa diajak serius. Maen-maen aja doang." Penjelasan Kak Lila benar-benar menohok.




A D R I A N


"Deketin. Enggak. Deketin. Enggak. Deketin.." Yaelah, kenapa aku jadi labil begini sih? Tiap kali aku memikirkan Leah, berkecamuk banyak hal dalam otakku. Ada perasaan on off begitu. Apabila mengingat kepribadian gandanya. Di satu sisi, dia bisa jadi ramah. Di lain waktu, dia adalah sosok paling arogan yang pernah aku tahu.


"Gimana? Udah kenalan ama Leah?" Satu waktu Ferdi bertanya ketika kami dalam meeting kantor. Aku mengangguk, "Udah."
"Asik kan orangnya? Enak diajak ngobrol." Aku setuju dengan statement Ferdi yang satu ini




~ (oleh @WangiMS)