Tentang 30 Hari Cerita Cinta

Showing posts with label Delapan. Show all posts
Showing posts with label Delapan. Show all posts

06 October 2011

Delapan #14

Semua perasaan dan persepsi teraduk-aduk dalam diriku. Apa yang harus aku lakukan dalam waktu dekat ini? Detik ini? Tiba-tiba hujan menggenang di pipiku dan tak seorangpun menyekanya. Jangankan Milan, aku sendiri saja rasanya tak mampu.

"Piiim!! Piiimm!!", klakson khas mobil ayah memecah udara. Sesegera mungkin aku mengambil tas ke dalam kelas seraya meremukkan kertas yang sedari tadi aku tulis. Lalu berlari secepat yang aku mampu menuju parkiran. Aku ingin sekali segera sampai di jok empuk mobil kesayangan ayah. Entah kenapa, jok itu menenangkan. Ayah bingung melihatku masuk mobil dengan raut muka abstrak. Tapi tak sepatah kata pun keluar dari lisannya. Ayah menyetir dengan santai lalu sesekali mengikuti alunan lagu masa kini yang diputar radio. Suara ayah makin menenangkan, sampai akhirnya aku tertidur sepanjang perjalanan.


8 Agustus 2009.
Kelas Olimpiade-ku berakhir lebih awal. Aku masih tak percaya dengan kata-kata yang meluncur dari Karin kemarin sore. Aku juga tidak tau apakah mereka sedang dekat, atau hanya menganggap 'sahabat' satu sama lain, atau satu hal lain yang sama sekali belum siap aku untuk mengetahuinya. Sekarang, aku sedang duduk bersamanya, Karin. Kami sama-sama menunggu seseorang keluar dari Kelas Olimpiade Matematika. Orang itu adalah Dini. Mendapat ide, kuputuskan meminjam ponsel Karin sebagai alat pencari informasi. "Rin, boleh pinjam handphone ngga? Mau liat-liat lagu, siapa tau ada yang cocok sama seleraku". Tanpa pikir panjang, ia berikan benda bercorak putih-hijau terang padaku dengan sangat lembut. Awalnya aku lupa dengan niat 'mencari informasi' dari sana. Aku serius sekali melihat-lihat daftar lagu yang ia punya. Kebanyakan memang lagu dalam negri yang easy-listening. Aku kirim melalui bluetooth setelah itu.


"Nggi, aku titip handphone sebentar ya. Itu Dini udah keluar. Aku juga pinjam Dini duluan ya? Soalnya kayanya aku cepat dijemput deh"


"Serius nih sama aku aja handphone-nya?"


"He eh. Oiya mending mainnya di kelas aja deh. Dingin tuh dari pada di luar panasnya Na'udzubillah"


Kami berdua tertawa. Sebelum ia pergi-entah-akan-kemana dengan Dini, dia memberikanku charger ponsel dan memintaku untuk menge-charge ponselnya itu. Karin menutup pintu kelas.


Aku ragu untuk membuka aplikasi yang paling menarik hat. Pesan. Sepuluh detik aku berpikir, lalu membukanya dengan basmalah.


Bentar ya Rin. Pulsa saya habis. Saya pinjam handphone bapak dulu. Nanti saya telepon lagi deh.
Terima: Farera Ib :)


Cepat-cepat "Catatan Panggilan" aku tuju. Dan ya, "Panggilan masuk: Farera Ib :) - 07/08/09" pertama kali aku jatuh cinta se-jatuhnya, pertama kali aku dijatuhkan cinta se-jatuhnya. Seperti kalimat telenovela yang pernah bunda tonton, "Hatiku hancur berkeping-keping, Ros", seperti itu rasanya. Entah apa yang mereka bicarakan sampai-sampai pulsa Milan habis lalu rela meminjam ponsel orang tuanya untuk menelepon Karin. Aku sudahi sampai situ penelusuran lebih dalam ponsel Karin. Semakin banyak kartu yang aku buka, semakin besar kekalahan yang kudapatkan. Semakin banyak yang aku tau tentang mereka berdua, semakin menusuk-nusuk jantungku.


Kukembalikan ponsel putih-hijau terang tadi setelah urusan empunya dengan Dini selesai. Sejak itulah aku yakin bahwa Milan sudah benar-benar tak milikku sepenuhnya. Aku dan dia lost contact begitu saja. Putus begitu saja tanpa ada yang mengatakan kata pemutusan. Oke, anggap saja aku ataupun dia masih labil.


~ (oleh @captaindaa)

05 October 2011

Delapan #13

"Ehm. Permisi Pak.. Bapak lihat guru kimia tidak?", sedang asyik aku menulis-nuliskan nama Milan dengan sembarangan di selembar kertas, tetiba saja suaranya datang secepat kilat. Sekejap mata. Pulpen di genggamanku berhenti. Aku balikkan kertasnya. Milan sekarang berdiri tepat disampingku. Aku membeku. Wajah Milan tak sedikitpun menyiratkan rasa bersalah. Tersenyum padaku juga tidak. Aku tetap diam dan membentang kuping dengan lebarnya. Memokuskan pendengaran pada nada suara yang sengaja dikeluarkan Milan. Sampai saat ini logat Padangnya masih saja lekat.

Setahuku, guru yang Milan tanyakan sudah pulang sedari tadi. Setelah menyelesaikan ketikan daftar siswa/siswi tadi. Setelah menanyakan dimana Milan tadi. Segalanya tadi. Aku ingin sekali memberitahu Milan. Tapi hatiku menciut melihat rautnya yang tak bersahabat. Lumayan lama ia mondar-mandir dalam ruang guru, aku beranikan bertanya dengan nada selembut mungkin pada akhirnya..


"Handphone Milan dimana?"


"Hmm kenapa?"


"Kok di sms dari tadi ngga dibales?"


"Ehm. HP lagi sama cewe baru"


"Milan kenapa?"


"Apanya?"


"Jangan bercanda dong.."


"Iya lagi sama cewe baru, makanya ngga kebalas"


Deg. Aku menunduk. Aku tau persis itu hanya sebuah canda meski sorot matanya terlihat sungguhan. Milan bercanda. Pasti. Dan ketika aku tegakkan kepala, Milan raib. Menghilang dari peredarannya. Aku berkejar-kejar ke lapangan parkir melihat apakah ia masih ada. Setidaknya jika masih, aku akan benar-benar meminta penjelasan darinya.


Napasku setengah-setengah, kerudungku berantakan dan aku tak kuat mengejarnya sampai gerbang. Aku mendapat satu info, kalau dia tak sendiri datang dan pergi dari PKL hari ini. Ditemani Ahmad, teman sekelasku. Hanya itu.


Jum'at, 7 Agustus 2009.
Aku menunggu jemputan di koridor sambil menulis-nulis nama Milan di selembar kertas. Sudah lebih kurang seminggu kami tak menyapa satu sama lain. Aku lelah selalu mencoba menghubunginya dengan tak satupun ia membalasnya. Apa benar yang dikatakannya tentang "cewek baru" waktu itu? Meski hati kecilku percaya bahwa Milan tak mungkin melakukannya. Yang aku tau dia baik. Titik.


"Aw!", pekikku. Seseorang menyenggol lengan kananku cukup keras. Ternyata teman sekelas Milan yang sempat aku lihat beberapa waktu lalu bermain 'truth or dare' bersama Milan. Jelas bukan Dini. Perempuan yang sekarang berjongkok di depanku ini memiliki paras rupawan. Cantik sekali. Senyumnya manis, kulitnya putih bersih, berkacamata dan bertutur lembut pula. Siswa PKL mana yang tak ingin menjadi pacarnya. Termasuk Milan. Mereka pernah pacaran, dulu. Jauh sebelum aku kenal Milan. Namanya Karina. Karin teman Milan sejak kelas 1 bangku Sekolah Dasar. Ayah mereka satu bidang pekerjaan dan perusahaan. Mungkin karena itulah apabila satu dari mereka mutasi, maka yang lain mengikut. Aku tau semuanya dari siswi-siswi yang senang bergosip dengan Dini. Mereka iri pada Karin yang punya segalanya. Oh ya, aku juga sebenarnya.


"Maaf ya Nggi, ngga sengaja bener deh.."


"Hahahaha santai aja Rin, ngga apa apa kok"


"Aduh maaf sekali lagi ya, habisnya buru-buru nih Nggi"


"Kemana emangnya Rin? Eh itu muka kenapa putih-putih semua? Habis main tepung-tepungan?"


"Nah iya ini nih mau bersihin muka ke toilet. Tadi habis kejar-kejaran main bedak sama Milan di kelas. Duluan ya Nggi! Maaf sekali lagi.."


Deg. Kejar-kejaran? Main bedak? Karin? Milan? Mereka pernah saling punya rasa. Itu di pipi kan? Tadi? Dan Milan sedang dalam diam sempat begitu? Oh selama ini aku kira, paling tidak, dia memikirkan aku. Ternyata. "Shit", kataku perlahan.



~ (oleh @captaindaa)

04 October 2011

Delapan #12

Happy eighth month-sarry Anggi dan teman sekelasku yang ganteng sangat!
Tetap jadi The Lawak Couple ya Peh! Jangan kecewain si Milmil loh! Haha :D
Terima: Dinee

Terimakasih ya temanku yang baik sangat! Yang ada elo mestinya ngirim gitu ke Milmil woooo :P
Terkirim: Dinee


Milan mendiamkanku lagi. Masih seperti sebelumnya, aku tidak tau salahku apa. Seakan amnesia, ia lupakan kejadian di barisan pagi itu sama sekali. Berubah total. Aku hanya bisa mengembus napas berat saat tau pesan-pesanku tak mendapat balasan. Satupun.


Ini hari Sabtu. Mestinya PKL lengang karena tak ada jadwal belajar di hari itu. Tapi aku agak bingung dengan lumayan banyaknya siswa/siswi yang berseliweran di koridor, ketika aku keluar kelas. Aku baru ingat, ternyata tak hanya Kelas Olimpiade Bahasa Inggris yang mengambil jadwal hari Sabtu. Matematika dan Sains pun mengambil jadwal di hari yang sama.


"Muka kusut nih, Neng. Kenapa sih Milan hobi diamin kamu Nggi?", pertanyaan Dini langsung menghujam. Ia membereskan diktat-diktat yang berantakan sambil berjalan bersisian denganku. Tergagap aku ingin menjawab. Langkahku terhenti. Bingung memilih kata yang tepat, aku menaikkan kedua bahu isyarat tidak tau. Dini membalas dengan tatapan bercanda seraya berkata, "Halah paling nanti malam damai lagi" dan tersenyum sinis penuh makna yang aku sendiripun tak mengerti maknanya apa.


Lama aku duduk di ruang majelis guru PKL. Entah apa lagi yang harus aku lakukan. Rasanya pekerjaan bermanfaat sudah aku laksanakan dengan baik, dua jam belakangan. Mulai dari memperbaiki pengeras suara dan mikrofon PKL yang bila digunakan berbunyi 'kresek-kresek-kresek'. Membersihkan kelasku yang sebenarnya sudah tak ada sampah sejauh mata memandang. Menghapal artikel bahasa Inggris yang akan aku bawakan Sabtu depan di depan semua anggota Kelas Olimpiade Bahasa Inggris. Sampai pada membantu guru kimia yang killer itu mengetik daftar nama anak-anak yang masuk kategori tidak disiplin seminggu ini. Nama kami diantaranya, aku dan Milan.


"Mana pacar kamu?"


"Maksud ibu, siapa Bu?"


"Jangan pura-pura ngga tau Nggi. Saya tau kok. Waktu ngajar di kelasnya saya tanya, dan dia ngaku. Temannya yang kecil itu juga bilang begitu"


"Bilang apa Bu?"


"Ya nanya dimana pacar kamu, Anggiiiii.. Kok ngga ngerti sih.. Atau cuma pura-pura ngga ngerti?"


"Saya ngga tau dia dimana sekarang Bu"


"Yaudah kalau begitu jangan galau sekarang ya Nak. Kamu galau, nanti pekerjaan saya lama selesainya. Ngga dibantu sama kamu, bisa sampai ba'da sholat isya saya disini hehehe"


Dini sedari tadi dijemput. Anak-anak seangkatanku sepertinya cuma aku yang masih berada di sekolah. Hari hampir siang dan matahari mulai terik. Ruang yang aku tempati mulai panas sekalipun sudah menggunakan jasa dua buah pendingin ruangan. Aku gerah dan mulai mengipas-ngipas muka dengan sebuah buku Paperline yang sudah tipis. "Kepanasan ya Nggi?", tanya bapak yang mengajar Pendidikan Jasmani dengan sedikit tawa dari seberang posisiku. "Ha? Ah eh.. Iya Pak. Panas sekali ya Pekanbaru ini..", jawabku setengah sungguh-sungguh, lalu dibalasnya lagi dengan tawa.


Aku bingung apa yang sedang aku tunggu disana. Aku berkeyakinan akan ada yang menunjukkan titik terang antara aku dan Milan. Walaupun sedikit. Hatiku tetap galau bertanya dimana Milan, apakah ia tadi hadir di Kelas Olimpiade Sains, dan kenapa sampai jam segini belum ada balasan pesan darinya.



~ (oleh @captaindaa)

02 October 2011

Delapan #11

Hubunganku dengan Milan masih baik-baik saja, sampai akhir Juli tahun itu. Malah ketika English Day hari Kamis dilaksanakan, ia katakan sesuatu padaku, dari barisan kelasnya. Sebenarnya bukan mengatakan dalam konteks berbicara. Di ujung mata, aku melihatnya mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku celana pramuka yang berwarna coklat.

Itulah seragam PKL tiap Kamis. Aku selalu menunggu-nunggu hari Kamis. Milan terlihat sangat charming dengan balutan seragamnya. Kemeja coklat muda yang terkadang bagian bawahnya masuk setengah ke celana dengan label namanya di dada kanan, celana kain coklat tua yang buat dia cool, ditambah kacu merah putih dilingkar di kerah seperti scarf PMR yang waktu itu ia kenakan.


Milan mengode, "Woi! St!" Dengan langsung aku menoleh. Ia pegang kertas tadi tepat di dada. Kertas itu bertuliskan satu kalimat bahasa Inggris dengan huruf besar-besar memenuhi tiap sisi kertas yang ada, yang membuat pagiku seketika berpelangi. ANGGI, I TRUST ON YOU♡


Aku tidak bisa memberikan respon yang sama spesialnya dalam beberapa detik, selain melancarkan sebuah senyum. Lalu ia menaikkan sebelah alis matanya sambil tertawa yang aku isyaratkan sebagai pertanyaan dari Milan, "Bagaimana Nggi?". Aku naikkan dua jempol tanganku, mengarahkan mereka pada Milan. Melihat aku seperti itu, Milan membungkukkan tubuhnya seraya menangkupkan kedua tangan di dada dan cukup terdengar olehku ia berkata, "Arigatou gozaimasu, Anggi". Lalu kujawab saja sembarangan dengan bahasa Inggris lagi. Ternyata guru killer kesayanganku sedang piket. Ibu itu berjalan diantara barisan anak PKL. Aku tau setelah namaku dan Milan dihardiknya dengan terlalu. Oke, kami ketahuan melakukan aktivitas selain yang biasa dilakukan di barisan.


"Pertama, masih ingat dalam ingatan saya, tentang apa yang saya lihat di kantin sebulan lalu. Kamu gerogi kan Anggita?"


"Gerogi apa, Bu?"


"Sudahlah, jangan pura-pura ngga tau atau ngga ingat. Saya yakin kamu ingat"


"Saya ingat, Bu", Milan menimpali.


"Terserah ananda berdua mau ingat atau ngga kejadian waktu itu. Menurut saya, yang jelas I Trust on You barusan adalah bentuk ketidakdisiplinan. Dengan berat hati, saya menugaskan ananda untuk membuat esai tentang konsentrasi sebanyak dua lembar sebagai ganti tidak konsentrasi dalam barisan"


"Sekarang, Bu?"


"Iya, dan kerjakan di meja piket"


"Berdua, Bu?"


"Hmm...... Boleh, tapi tugasnya untuk dikumpulkan per individu. Killer gini tapi saya juga pernah muda lho!"


"CIYYEEEEEEE!!!!!!!!!!!!!!", seru aku dan Milan serempak.


Setelah itu kami langsung diberikan dua kertas HVS untuk masing-masing. Ini adalah pertama kalinya aku duduk semeja dengan Milan, mengerjakan sebuah tugas. Pertama kali. Seperti yang aku katakan sebelumnya, kami jarang ber-blablabla panjang lebar di sekolah. Kecuali jika ada Dini yang menjembatani.


Butuh waktu hampir satu jam untuk aku menyelesaikan esai itu. Aku menutup pulpen dan bersiap mengantarnya ke tempat yang sudah kami janjikan dengan guru killer kesayanganku. "Sebentar Nggi. Tunggu saya sebentar lagi. Sama-sama aja kesana", pinta Milan dengan tak sedikitpun aura wajah bercanda. Aku hanya mengangguk lalu tersenyum. Aku fokuskan penglihatan pada yang Milan tulis. Ia sudah sampai pada bagian ujung bawah kertas. Keningku berkerut. Ia menulis beberapa kalimat disana dengan sungguh-sungguh,


"Terimakasih untuk kesempatan yang telah ibu berikan. Jujur saja, saya senang sekali bisa mengerjakan esai dengan'nya'. Kalau lain kali ibu melihat saya bermain-main di barisan, tolong hukum saya lagi dengan persis seperti pagi ini ya, Bu. Dari saya,
Siswa ter-ganteng se-PKL,
Milan Farera Ibda"


Aku beranikan diri menepuk pundaknya, "Milan! Gombal sumpah" Ia tertawa sekencang-kencangnya lalu mengejekku dengan lidahnya. Aku tak habis pikir dia melakukan itu. Walaupun malu, sebenarnya aku senang. Sangat senang dengan rentetan kejadian pagi ini, 30 Juli 2009.


~ (oleh @captaindaa)

26 September 2011

Delapan #10

Seperti biasa di pagi-pagi sebelumnya, aku bisa dikatakan sebagai siswi tercepat sampai di sekolah. Ini semua karena ayahku adalah tipe manusia disiplin yang punya pendirian bahwa lebih baik menunggu satu jam dari pada terlambat satu menit. Jadi dari jadwal masuk sekolah yang sebenarnya adalah 6.45 pagi, maka 6.10 aku sudah duduk dalam kelas. Malah kadang pukul 6 teng, aku yang membuka pagar terlebih dahulu barulah bapak yang biasa membuka pagar datang.

Hari itu Senin. Rutinitas Senin pagi sampai saat ini belum pernah ditinggalkan PKL. Upacara bendera. "Kalau upacara bendera yang tinggal berdiri sebentar saja ananda sekalian tidak mau ikut atau malas-malasan, bagaimana bisa ananda hidup saat Belanda dan Jepang menjajah negara ini?" Begitu lah pertanyaan Kepala Sekolah saat diamanahkan menjadi pembina upacara setahun lalu, yang bahkan aku masih ingat betul raut mukanya ketika menyampaikan.


Dini datang dan langsung menghambur ke tempatku duduk dengan sebelumnya meletakkan tas terlebih dahulu di kelasnya. Aku sedang duduk di pelataran pinggir lapangan basket sambil membaca sebuah novel. Masih novel yang sama ketika Milan meminjam remot AC waktu itu. Bacaanku terhenti saat mendengar suara nyaring Dini.


"Woi! Sendirian aja? Milan mana?"

"Mungkin masih dijalan Din. Ngga tau juga"
"Hmmmmmmmmmmm gituuu"
"Emang di kelas ngga ada gitu, Din?"
"Seingat otak dan penglihatan saya, alis matanya sama sekali tak berkibar-kibar di kelas, Nona Anggi"
"Sok puitis sekali anda, Nona Andini"
"Apa bedanya dengan anda barusan?"

Lama aku dan Dini bercerita sampai-sampai aku lupa untuk meneruskan novel tadi. Dini katakan kalau Milan itu sangat lucu. Lawak, tepatnya. Milan pernah selebrasi di kelasnya dengan menari mengelilingi bangku dan meja yang ada. Aku ingin sekali melihat itu. Milan pernah marah dengan muka serius tapi logatnya seperti main-main. Urat lehernya kelihatan. Matanya membesar. Tangannya memukul-mukul meja. Aku juga ingin melihat Milan melakukan itu. Sedang asyiknya kami berdua tertawa terbahak-bahak, tetiba saja suara objek yang sedang kami ceritakan terdengar.. Sejurus kemudian aku terdiam. Pipiku memerah. Sisa tawa Dini masih ada, menggantung di udara.


"Deneee! PR Kimia udah selesai? Tolong bantu plis plis plis"

"Milaaan! Minta bantu sama master Kimia aja nih plis plis plis"
"Master Kimia? Siapa?"
"Siapa lageeee. Anggita Syifa Prameswari Farera Ibda dooooonggg"
Pipiku bertambah panas. Alis mata Milan naik sebelah dan mulutnya sedikit menganga, menatapku sekilas seolah tak percaya. Ia lalu tertawa memperlihatkan behel-behelnya. Tawa Milan barusan seperti menghipnotis bibirku untuk membalasnya.

"Bentar ya Nggi. Kita kasih pertolongan pertama dulu nih si ganteng satu. Ntar cerita lagi deh"


Mereka berdua berlalu. Aku balik badan, dan tertawa sendiri sampai sepertinya mataku tampak tinggal segaris. Aku senang sekali. Pagi-pagi sudah bertemu 'mood booster'. Bayangkan nilai berapa yang aku dapat di ulangan harian Kimia setelah upacara nanti. Belum selesai aku mengimajinasikannya, suara cempreng Dini terdengar lagi, "Tangkap Nggi!" Bersamaan dengan melempar sebelah sepatu Milan. Sebagai respon yang sangat mendadak, aku terima sepatu yang sempat mengenai perutku. Sedikit sakit.


"Astaga Diiin. Apaalah ini.. Ambil lagi sepatunya sana"

"Ambil sendiri kalau emang ngaku laki-laki hayoo"
"Mohon ini Din.. Serius.."
"Bhahahahahahak! Sama Anggi aja ngga berani"

Dengan muka setengah terpaksa setengah kesenangan, Milan melompat-lompat dengan kaki kanan diangkat. Iya, dia melompat dengan hanya sebelah kaki untuk mengambil pasangan sepatunya padaku. Aku berikan sepatu itu lalu Milan mengucap kalimat terimakasih. Hatiku melompat-lompat seperti dia barusan. Hari itu, 18 Mei 2009.



~ (oleh @captaindaa)

25 September 2011

Delapan #9

Pernah juga suatu siang, aku dan Milan bertemu di kantin sekolah. Ketika itu hari Jum'at, dan jadwal pemulangan siswa PKL memang lebih cepat dari biasanya. Namun aku pribadi, suka berlama-lama di sekolah. Ada magnet besar yang selalu menarikku dan membuat aku sangat betah di sekolah. Sangat aman dan nyaman. Lalu di hari itu aku berada di sekolah hingga senja tiba. Niatku adalah ingin melihat Milan melakukan ekskul mingguannya. Sepak bola.
Lama ku tunggu Milan keluar dari kelasnya. Sebenarnya aku tidak benar-benar seperti menunggunya di depan pintu kelas. Aku hanya melihatnya dari jauh. Batang hidungnya tak kunjung tampak. Sempat ingin menyerah saja, namun aku selalu membujuk diri, "Lima menit lagi, Nggi.. Sabar.." Sampai akhirnya lima menit yang ku lalui berada pada lima menit ke delapan. Sudah sebegitu lama aku menunggu, laparku terasa. Perut sudah berteriak meminta sesuap nasi. Langsung saja tanpa pikir lagi aku ke kantin membeli dua bungkus roti sisir kecil dan satu kaleng minuman kesukaanku, juga Milan. Fruit Tea Fusion.
Aku membayar belanjaanku pada ibu kantin yang biasa kami panggil 'Tante'. Keluarlah uang yang nominalnya paling kecil aku miliki saat itu, lima puluh ribu. Aku letakkan uang itu dengan lemah diatas meja kantin, "Ini Tante" Dalam selang waktu nol koma sekian detik, seseorang juga meletakkan benda yang sama, "Ada tukar uang lima puluh, Tante?", katanya. Aku benar terkejut mendengar suara familiar itu. Sontak roti yang sedang ku pegang terjatuh. Rotinya mengenai gelas plastik yang posisinya di depan Tante. Gelas itu berisi sedotan warna-warni untuk minuman. Dan tentu saja sedotan-sedotannya terserak ke lantai. Semuanya. Aku tidak sadar jika kejadian demi kejadian itu dilihat tidak hanya oleh Tante tapi juga oleh 3 orang adik kelasku dan ada seorang guru disana. Guru Kimia yang killer itu.
"Ha gerogi tu Anggi", kata Milan secara tetiba. Tanpa bisa aku kontrol, ku rasakan pipi bersemu. Terasa panas. Padahal sekuat tenaga aku mencoba untuk tetap 'cool'.
"Ciyeeeeeeee Anggi, kenapa sama Milan? Ada apa?", kata guru Kimiaku menimpali. Sekarang entah semerah apa pipiku kelihatannya.
"Ciyeeeeeeee kak Anggiiii!!!", ejek adik-adik kelasku. Ya Tuhan.. Kenapa aku ceroboh? Kenapa harus di depan mereka? Aku tarik napas dan keluarkan perlahan sekali. Aku hanya tersenyum pada mereka semua lalu barulah memberanikan diri untuk melihat Milan yang berdiri di sisi kananku. Aku mengeluarkan lidah (gaya melet) seolah mengejeknya. Aku pikir ia akan membalas mengejekku. Namun yang dilakukannya adalah menaikkan sebelah alis mata, tersenyum setipis mungkin dan memandangku lewat samping wajahnya. He's face is really adorable. Hari itu, 8 Mei 2009.

 
~ (oleh @captaindaa)

24 September 2011

Delapan #8

Kenapa sekolah di Pekanbaru Mil? Dan kenapa milih Pekerti Luhur?
Terkirim: Milan
Kalau masalah kota atau tempat tinggal, ya karena papa saya mutasi ke kota ini. Kalau masalah sekolah, saya juga ngga tau kenapa milih Pekerti Luhur. Serius deh..
Terima: Milan
Itulah pesan favoritku. Karena ia pilih PKL lah, kami bisa bertemu. Ia sebenarnya anak pindahan.
***
Uforia yang selama ini aku rasakan sendiri, ternyata dirasakan juga olehnya, dan menjadi sangat jelas di hari itu. Sabtu, 1 November 2008.
Seperti biasa, aku dan Milan sms-an. Layaknya remaja masa puber, dia bertanya siapa lelaki yang menarik hatiku saat itu. Aku hanya menjawab, "Nanti Milan sendiri juga bakal tau". Ia tak menyerah, hingga sempat memberikan nama teman-teman lelakinya. Nama dia sendiri juga terselip disana. Pada akhirnya aku jujur, mengatakan bahwa aku tertarik padanya. Tertarik pada sifat dan kepribadiannya yang amat sederhana. Dan dimalam itu, ia katakan bahwa juga tertarik padaku. Kami jadian.
Energi 'jadian' itu cukup membubungkan semangat kesekolahku sampai maksimal. Aku jadi semangat belajar, tambah mencintai pelajaran Kimia yang sangat aku benci, jarang mendapat hukuman karena hatiku selalu berucap lirih, "Hei, malu kalau dilihat Milan kena hukum!", dan masih banyak hal-hal lain yang mengubahku. Dalam sekejap.
Meski ini yang orang lain katakan dengan cinta monyet, tapi aku merasa hariku penuh karena Milan. Karena pesan-pesan singkatnya yang membuat kesal sekaligus senyum-senyum sendiri, karena perhatiannya yang makin menjadi, dan karena tingkahnya yang aneh di sekolah. Dan aku atau dia, jika bertemu hanya menyapa. Jarang mengobrol. Itu juga salah satu yang aku suka dari Milan. Dia beda. Ketika (mungkin) teman-teman lelaki yang biasa kulihat disekolah apabila sedang melakukan ritual pacaran, mengajak pacar-pacar mereka ke kantin, lalu duduk berdua dan berpegangan tangan atau sekedar saling menyuapkan makanan kecil kantin. Jujur saja, aku geli melihatnya. Bukannya malah kenyang ketika di kantin, tapi malah ingin keluar semua isi perutku bila melihat yang seperti itu. Tapi Milan tidak. Seperti yang kukatakan tadi, ia sederhana. Dini yang tau tentang ini-pun ikut-ikutan 'backstreet' bersama kami.
***
Suatu hari diadakanlah PKL Expo. Acara ini adalah acara tahunan PKL yang mewadahi bakat dan minat siswa SMP se-kota. Sekolahku mengundang sekolah-sekolah lain untuk mengikuti banyak pertandingan. Dari yang akademik hingga non akademik. Maka ditunjuklah panitia yang mengurus acara tersebut. Aku, Dini dan Milan menjadi tiga dari seluruh anggota panitia.
Saat pertandingan sepak bola antar SMP berlangsung, Milan bertugas sebagai panitia kesehatan atau yang sering dikenal dengan anggota PMR. Padahal yang aku tau, hari itu ia sedang sakit. Badannya panas, seperti itu ia memberitahuku dalam pesan. Sudah ku sarankan untuk tak usah ikut mengontrol jalannya pertandingan, tapi berkeras. Milan duduk di salah satu sudut lapangan memakai scarf khusus PMR yang berwarna hijau. Dini dan aku (khususnya) memperhatikan Milan dari lantai dua bagian sekolah. Rambut acak-acakan, wajah setengah pucat dan scarf yang melingkar di lehernya membuat Milan tampak lebih tampan dari biasanya. Seakan ada kontak batin, saat itu juga Milan langsung berdiri, dan berjalan ke arah sisi aku berdiri. Ternyata dia melihatku. Rautnya seperti ingin menanyakan sesuatu. Diwaktu yang bersamaan, Dini masuk ke ruang kelas. Aku gugup sendirian.
"Nggi, ada minum?"
"APAH?"
"MINUM NGGI. AIR"
"Bentar ya.."
Aku masuk ke dalam kelas dan mencari apakah persediaan air minumku masih ada. Tapi seingatku memang sudah habis tadi. Teguk terakhir sebelum keluar kelas..
"Yah, abis.."
"Yaudah deh ngga apa apa"
"Mau dibeliin?"
"Ngga usah Nggi, saya beli sendiri aja"
Milan berlalu dengan meninggalkan sebuah senyuman terlebih dahulu. "Aaaaaaaaa!! Diniiiiiiiiiii", teriakku memenuhi koridor. Dini hanya tersenyum geli melihat tingkahku yang sudah mirip korban kejiwaan. Itulah pertama kali Milan dan aku mengobrol, setelah berstatus 'pacaran'. Hari itu, 8 Januari 2009.



~ (oleh @captaindaa)

22 September 2011

Delapan #7

Dengan sangat tidak aku sangka, seminggu setelah percakapan aku dan Dini tadi berlalu, ternyata sampai juga ke telinga Milan. Entah bagaimana caranya. Aku tak tau apakah Dini sendiri yang mengakatan padanya, atau ketika itu ada seseorang disana yang mendengar kami. Aku juga tak tau mengapa 'my heart is beating like a drum' semakin menjadi. Aku berpikir bahwa, ini jalanNya yang memberikan padaku kesempatan untuk me-rasa dan mencinta.


Waktu tak pernah meninggalkan sedetikpun miliknya. Lama-lama aku makin dekat saja dengan Milan. Lebih dan lebih dalam pesan. Seperti sudah tak sepasang teman biasa yang menanyakan setiap kegiatan, segudang perhatian, setoples canda dan tawa, dan yang aneh terasa, disana ada............setangkai harapan. Hingga aku menulis-nulis namanya di halaman paling belakang setiap buku catatan. Tak hanya itu, kini nama dia di kontak ponselku, sudah kuganti. "Milan♥" begitu yang tertera. Dan tiap kali benda itu bergetar, aku selalu memejamkan mata lalu berdoa pada Tuhan. "Semoga dari Milan.."




~ (oleh @captaindaa)

20 September 2011

Delapan #6

Anggi. Anak kelas 8.2 temennya Dini. Ini Milan kan?
Terkirim: Milan
Yup.
Terima: Milan

Hatiku kesal. Yang namanya Milan ini ternyata sangat sombong. Beda sekali dari kesehariannya yang pernah aku lihat di sekolah, dan yang diceritakan Dini. Tapi aku benar penasaran dengannya. Kuteruskan saja untuk tetap mengirimnya pesan meski percaya hanya akan menerima jawaban singkat. Sampai pada akhirnya aku dan Milan menjadi dua orang teman yang sering saling bertukar pendapat lewat pesan-pesan itu. Di sekolah? Tentu saja aku ataupun dia, masih belum ada yang berani menyapa duluan. Ketika berpapasan-pun, aku sontak menunduk.
Suatu pagi cuaca di luar gelap sebab hujan turun semalaman. Udara menjadi lebih dingin dan menusuk dari biasanya hingga aku harus memakai jaket tebal ke sekolah. Sampai di kelas, aku langsung mengeluarkan sebuah novel yang belum selesai kubaca. Sedang tenggelam dalam kisah yang ada di novel itu, tiba-tiba suara asing menggema dalam kelasku yang setengah kosong. "Hei, ada remot AC ngga? Boleh pinjam?", katanya. Hampir saja aku terjatuh dari kursi yang aku duduki. Posisi dudukku memang sedang tak sempurna saat itu. Aku lihat siapa empu suara. Milan. Pipiku terasa memanas. Tanpa sepatah kata, aku ambil benda yang dimintanya dari dalam laci meja, lalu kuberikan dengan bonus senyum manis dari bibirku. "Pinjam dulu ya. Nanti dikembalikan", katanya lagi juga sambil tersenyum, tak kalah manis.. Aku hanya mengangguk.
Aku teringat pada sebuah kalimat dari majalah yang mengatakan, "My heart is beating like a drum, everytime you call my name". Dan sepertinya kalimat itu berlaku untukku, barusan. Komitmenku seakan pergi, raib entah kemana. Komitmen yang selama ini sudah aku bangun dengan sekeras tenaga dan pikiran yang aku bisa, ternyata pada pagi itu berputar 360 derajat. Komitmen tak ingin jatuh cinta, apa lagi yang pacaran. "Eh, Anggi kan?", tetiba untuk yang kedua kali suara tadi membuatku terkejut. Masih Milan. "Iya, kenapa?", jawabku agak gugup. "Milan", ujarnya padaku. Kali ini ia tak hanya menebar sulas senyum, tapi juga mengajak berjabat tangan. "Anggi. Anggi Syifa Prameswari", aku membalas perkenalan yang padahal kami sudah tau satu sama lain. Yang terjadi tadi berujung pada makin dekatnya kami di pesan, namun tetap tak pernah mengobrol di sekolah. Aku ataupun dia, tak lagi sesama menunduk seperti hari-hari sebelumnya, tapi hanya saling berbalas senyum. Dan aku pikir itu sangat membuatku bersemangat mengerjakan tugas-tugas Kimia dari si Killer of The Classroom, guru tergalak di sekolah. Komitmenku benar aku kubur dahulu sejenak. Aku ingin mengecap cinta. Benarkah bisa mengubah rasa tai kucing menjadi rasa coklat?
***
"Hoi ternyata diam-diam udah smsan panjang lebar sama si Mil Mil! Ngga ceritaaaa!! Aaaa Anggiii!!!"
"Masa sih aku ngga cerita? Sama sekali?"
"Demi apa deh, Nggi. Adanya cuma tanya, 'Din, Milan gimana di kelas? Pintar ngga? Nakal ngga? Pendiam ngga?'. Kirain emang naksir tai ayam doang. Anget-angetan. Ternyata udah dekat di sms heeeeeh!!"
"Demi apa Din, aku ngga pernah cerita sekalipun?"
"DEMI CINTA KALIAAAAAN"
"Dini apa siiiihhhhh!!!!!"
"Damai, Nggi.. Damai.. Sekarang ayo cerita apa kapan siapa dimana kenapa dan bagaimana kronologi cinta anak Jawa dan Padang ini bisa bersatu seperti air dan gula.."
"Cinta cinta nenek moyang lo! Ngga ada cinta Din.."
"Ngga ada, atau belum ada tepatnya mbak Anggi?"
"Belum ada sih"
"HUAHAHAHAHAHA! BELUM ADA NENEK MOYANG LO! DASAR IPEH MAIN TUNGGAL!! Gue yang temen deket ngga dapet kabar, gue yang temen sekelas pemeran pendamping utama juga ngga dapet gosip. Hebat banget ini backstreetnyaaaa"
"DASAR IJAL! Ngga tau apa-apa tuh ngga usah komen wooooi hahahahahahaha"
"Ngga tau apa-apa? Tuh kan ada yang disembunyiin............"
"Yaudah deh Din sini aku jujur dulu sama kamu. Awalnya aku emang ngga ada rasa apa-apa sama Milan. Suer, dan itu AWALNYA.........."
"Awalnya kan?"
"Bentar Ijal sayang.. Ini mau diceritain makanya.. Jadi setelah dekat di sms gitu sama Mil Mil, dianya ternyata nyambung-nyambung aja diajak ngalor ngidul. Sampai seminggu yang lalu kita ketemu di kelasku.."
"Trus? Ngobrol?"
"Cuma sempat kenalan. Oh Diiiiiin.. He's adorable, seriously.."
"Yaiyalah anak cewek sekelas pada naksir Nggi. Kecuali aku lah tentunya"
"Au ah. The point is he's really really charming"



~ (oleh @captaindaa)

18 September 2011

Delapan #5

Setelah aku paparkan detail kejadian itu pada bunda, ia merespon dengan sebuah napas berat. Aku menunduk. Mensugestikan pada bunda dalam hati, "Ayolah Bun, kasih Anggi satu kalimat paling engga. Satu aja Bun..", berkali-kali. Lama kutunggu sesuatu meluncur dari lisannya, namun tak kunjung terdengar. Pada akhirnya aku menyerah dan bertanya, "Jadi menurut bunda, Anggi yang salah atau engga sih?". Ia tersenyum sepersekian detik. Senyum yang sama sekali tak menyalahkan. "Engga, Ndhok. Kamu ngga salah. Hmm cintaaa cinta..", bunda mendecakkan lidahnya, lalu tersenyum lagi dan pergi. Lega menyelimuti perasaanku. Walau aku tau karena aku adalah anaknya, makanya bunda tak menyalahkanku, tapi dengan itu, cukup menghibur dan membuatku senang.


Milan adalah apa yang disebut Dini dengan pacar. Pacarku, tentu saja. Aku mengirimnya pesan seminggu setelah mendapat nomor cantik itu.


Halo, putra ranah Minang-kah?
Terkirim: Milan


Lama kutunggu jawabnya. Aku gelisah selama itu. Barulah dua hari setelahnya ia membalas pesanku, yang bahkan sudah tak ingat bahwa aku pernah mengirimnya.


Batua (benar). Siapa ni?
Terima: Milan


Aku bingung ingin membalas apa. Aku tak punya ide untuk meneruskan percakapannya. Yang tergambah olehku, hanya ingin tau mengapa dia memilih sekolah di kota ini.




~ (oleh @captaindaa)

16 September 2011

Delapan #4

"Nggi!", langkahku terhenti. Teriakannya membahana, langsung di proses secepat kilat oleh otakku. Suara yang raib entah kemana, sejak dua hari lalu. Suara yang amat sangat aku nantikan kehadirannya. Suara yang lembut meski dalam teriakan. Suaranya. Itu memang suara dia. Suara Milan. "Milan?", kataku pelan pada diri sendiri. Enggan terlalu girang, karena Milan tak terlalu suka itu.
"Bentar, Nggi! Tunggu disitu sebentar ya. Saya mau ngomong", katanya lagi sambil perlihatkan behel-behelnya, lalu masuk ke dalam sebuah ruang kelas. Laboratorium Fisika. Kemudian keluar, dan ia tertawa padaku. Secara tetiba ia menghangat. Mencairkan seluruh tanda tanya yang tersimpan dalam benakku, juga kalbuku. Masih setengah tak percaya dengan yang terjadi barusan, Milan berlari kecil ke arahku sambil membawa dua lembar kertas yang semakin dan semakin membuatku terdiam di tempat.
"Belum dijemput kan, Nggi?"
"Belum, dan kayanya ngga akan dijemput.."
"Loh kenapa?"
"Ngga tau tuh tadi udah nelepon ayah bunda, tapi malah bilang ngga mau jemput. Kayanya lagi pada ngga 'mood' deh.."
"Saya antar pulang aja ya?"
"Emangnya Milan mau?"
"Kenapa engga? Dan ada yang mau saya ceritakan ke Anggi hehehe"
Aku dan Milan berjalan menuju parkiran sepeda motor tanpa aba-aba. Angin sepoi sore menerpa wajahku, menambah semburat kehangatan dalam dada. Belum selesai aku menikmati semuanya.. "Anggi, maafin saya selama beberapa hari ini udah diemin Anggi, ya?", ucap Milan lirih sambil menatap balok-balok batu yang tersusun rapi di tanah. Mungkin ia tak cukup berani memandangku langsung. Aku terkesiap. Berusaha mengumpul dan mencari-cari kata yang tepat untuk merespon kalimatnya tadi.
"Iya, Mil.. Anggi minta maaf juga ya. Anggi toh ngga kasih kabar balik ke Milan kan.."
"Udah maaf-maafannya, Nggi. Lebaran kan masih lama.. Jadi gini Nggi.. Langsung aja ya? Saya juga ngga tau kenapa beberapa hari ini bisa lost contact sama Anggi. Tapi selama itu, benar rasanya ada yang kurang. Dua hari yang lalu saya ulangan Fisika. Saya kepikiran Anggi terus. Sampai-sampai saya ngga bisa konsentrasi belajar malamnya.."
"Kemana perginya itu? Hubungannya apa Mil? Anggi kurang ngerti"
"Nah itu dia. Saya sendiri juga ngga tau hubungannya apa dan kemana. Coba tanya Armada Band deh, Nggi.."
"Milan seriuuuusssss!!!", paksaku sambil meninju-ninju kecil lengan kirinya. Ia terbahak sampai rahangnya bisa aku lihat. Setelah puas tertawa, barulah ia ceritakan padaku, apa yang menimpanya selama kami tak saling bicara.
Katanya, ia tak henti menyertakan aku dalam benakknya. Katanya, karena itulah ia tak bisa fokus belajar. Katanya, ulangan Fisika dua hari yang lalu adalah ulangan dengan soal tersulit. Katanya, Dini mengalahkannya, meraih nilai tertinggi di ulangan itu. Katanya, mendapat nilai Fisika terendah adalah hal paling memalukan. "Saya dapat lima puluh, Nggi", katanya menambahkan keterangan terakhir. Dan kesimpulanku, ini semua karena aku? Milan diam. Aku juga. Aku tak bisa menahan bulir-bulir air mata yang segera membanjiri pipi. Jujur saja, aku merasa sangat bersalah. Apa salahnya jika aku yang berinisiatif memberinya kabar.
"Ini bukan salah Anggi kok. Saya aja yang terlalu membesarkan masalah kayanya ya. Tadinya saya pikir kalau curhat tentang ini sama Anggi, kita bisa kaya biasa lagi. Tapi saya salah besar. Malah seakan-akan saya nyalahin Anggi"
"Iya Mil. Maafin Anggi ya, buat ulangan itu. Anggi emang salah. Milan mau antar Anggi pulang, kan? Sekarang aja kalau gitu"
"Nggi, jangan gitulah! Ambo ndak nio manengok Anggi bantuak iko. Usah maraso basalah bana. Kan ndak salah Anggi kasadonyo. Ambo yang salah, Nggi.. (Saya ngga mau lihat Anggi kaya gini. Jangan terlalu ngerasa bersalah. Kan semuanya bukan salah Anggi. Saya yang salah, Nggi..)"
Hatiku tertawa sekencang yang ia mampu. Milan lagi-lagi berbahasa Padang, dan sangat lucu. Namun air mataku tak kunjung reda. Milan mulai menghidupkan mesin motor. Deru keras dari benda itu sepertinya menimbun isakanku yang kian keluar. Dan entah siapa yang menyuruh Milan menarik tanganku untuk naik ke motornya. Ia mengantarku pulang.


- (oleh @captaindaa - http://afrohsahenda.blogspot.com)

15 September 2011

Delapan #3

"OALAAAH! Katanya mau cerita kok malah turu (tidur) toh, Ndhoooook?", teriakan bunda sepertinya berhasil menarikku kembali ke dunia nyata. Tak hanya itu, bunda mengguncang-guncang tubuhku sekenanya, sampai aku benar-benar telah datang ke bukan lagi alam bawah sadar. Masih tanpa suara, aku duduk di depan bunda yang sedari tadi melempar tatapan bingung dan sepertinya ingin tau. "Anggi kenapa, Sayang? Ayolah cerita sedikit sama bunda. Delapan mutusin kamu?", suara bunda memenuhi sel-sel otakku. Dan kalimat terakhir entah mengapa terdengar paling jelas. Aku menggeleng. Seketika itu juga bunda meraba kening, pipi dan leherku dengan gerakan cepat. Aku tak dapat mengelak karena memang belum siap melakukan apapun, kecuali duduk dan menatap bunda. "Anggi sakit?", tanya bunda dengan amat lembut. Aku menggeleng, untuk kedua kali. "Bunda bingung sama Anggi. Bener-bener nih bunda bingungnya. Pulang sekolah pipi udah basah, mata merah, muka kusut, ditekuk pula, diajak ngobrol malah marah-marah sendiri.. Anggi ada masalah apa? Cerita sama bunda ayo.. Siapa tau saya bisa bantu mbak Anggi menyelesaikan masalah ini?", lagi-lagi hanya kalimat terakhir yang bisa aku dengar dengan jelas. Disana jugalah bunda memasang gaya paling oke ala psikolog terkenal seraya memperbaiki letak kacamata yang sedikit turun dari singgahsananya. Aku hanya jawab dengan dengan sebuah gelengan, untuk yang ketiga kali. "Fine kalau mbak Anggi ngga mau cerita dan berbagi kisah sama bunda. Makan malam dulu yuk, Ndhok? Kalau nggeleng lagi.. Dendeng balado-nya buat kucing aja loh ya?", kali ini aku mengangguk.

Bunda yang keturunan Jawa, sangat lihai bila memasak masakan Padang. Apalagi yang tadi bunda sebutkan, dendeng balado. Aku pernah dengar bahwa nama sebenarnya dari makanan itu adalah dendeng batokok. Aku tidak mengerti apa perbedaan antara keduanya. Dan aku juga tak tau kalau nanti ternyata dendeng balado dan batokok adalah sebutan untuk makanan yang sama. Tapi, aku benar suka yang namanya dendeng balado. Rasanya asam manis, kalau yang dibuat oleh bunda. Dagingnya empuk dan tetap renyah. Satu lagi yang aku tidak mengerti, apakah makanan ini memang seenak yang aku cicip, atau bunda yang amat pandai mengolahnya.

Ini benar-benar ajaib! Suapan pertama mampu mengubah rasa-rasa dalam tubuh, otak dan perasaanku. 'Mood'ku membaik. Ingin aku ceritakan apa yang saat itu aku rasakan, apa yang terjadi di sekolah tadi pagi, apa yang telah aku perbuat pada Milan dan apa akibatnya. Bunda adalah malaikat dunia yang maha tau tentangku. "Mau cerita sekarang Ndhok? Habiskan aja dulu makannya, baru cerita.."

Aku bingung harus mulai dari kalimat apa. Dan mungkin saja masalahku ini dianggap angin lalu oleh bunda karena terlalu sepele. Ini tentang aku dan Milan. Tentang yang bunda katakan, cinta monyet. Bagiku bukan. Maklumlah, aku masih belum bisa berpikir seperti orang dewasa pada umumnya. Tidak sepikiran dengan bunda. Belum bisa memandang sesuatu yang berhubungan dengan Milan itu hal yang biasa-biasa saja. Namun aku tetap mencoba membukanya untuk bunda.

"Gini loh, Bun.. Eh tapi janji jangan ketawain Anggi ya, Bun?"

"Apa masalahnya sampai bunda ketawain Anggi?"

"Ya kan siapa tau ini masalah kecil yang Anggi besar-besarkan aja, menurut bunda.."

"Hmm sekarang mending cerita dulu deh. Urusan ketawain atau apalah itu, belakangan aja"

"Ngga bisa, Bun.. Bunda janji dulu sama Anggi.. Ya, Bun?"

"Iyadeh, Princess.. Bunda janji ngga akan ketawain, selawak apapun cerita Anggi. Hehehe"

"Ah Bundaaaa!!"

Jadi juga aku bercerita. Bunda mendengarkan dengan penuh perhatian dan tak ada komentar sampai aku menyelesaikan kisahku itu.

Dua hari yang lalu ia hadapi ulangan harian Fisika. Dan di hari-hari sebelumnya aku juga dia, tak saling sapa bak tak pernah kenal. Jujur saja, aku tidak tau apa masalahnya. Aneh, kan? Namun itulah yang terjadi. Menurutnya, saat malam sebelum hari H ulangan Fisika itu lah ia bertanya-tanya, mengapa bisa sampai hati mendiamkan aku, hingga ia tak bisa fokuskan pikirannya pada buku setebal Seri Harry Potter and The Half Blood Prince, yang satu persepuluhnya harus ia baca untuk diujikan esoknya. Dia tetap belajar sampai larut, dengan berusaha menepikan pikiran dari sosokku. Tapi menurutnya, tak bisa. Lalu ulangan Fisika dimulai dan rasa dalam dadanya harap cemas. Badannya panas dingin. Tak satupun bacaan sebanyak 40 halaman, bisa ia cerna dengan baik dan benar. Ia: Milan Farera Ibda.


- (oleh @captaindaa - http://afrohsahenda.blogspot.com)

14 September 2011

Delapan #2

"Lha? Jadhi apa masalahnya, Ndhok, sampai kamu dibikin nangis gitu?", tembak bunda seraya merapikan perlengkapan ibadah yang terlihat kusam. Seingatku, benda itu belum dicuci sudah hampir dua minggu. "Masukin mesin cuci dulu ah, Bun, mukenanya. Udah banyak debu nempel gitu..", ajakku mengalihkan percakapan. Percakapan yang sangat aku hindari dari bunda. Dari raut wajah yang terbentuk, sepertinya bunda kesal karena baru saja ia memancing berita paling hot seputar anak gadisnya, malah aku alihkan dengan sembarangan. Dan benar saja, bunda sadar bahwa aku mengalihkan pembicaraan kami tadi. "Mau cerita eh malah disuruh cuci mukena nih, sama Princess.. Sebentar ya bunda masukin mesin cuci dulu. Habis itu janji cerita loh yo, Ndhok?" Lalu aku berikan satu anggukan tanda setuju. Namun setelah bunda berlalu, aku lekas naik ke atas ranjang merah dengan alas Manchester United, melakukan ritual yang sangat aku suka ketika sedang tak 'mood' bercerita dengan siapapun, termasuk ayah, bunda dan Dini; tidur.

Dini adalah temanku sejak Masa Orientasi Siswa dimulai, sampai sekarang. Perawakannya yang lebih rendah dan sedikit kekanak-kanakan, membuat kami seperti adik-kakak bila jalan berdua. Kami sesama Capricorn-ers yang dikenal dengan sangat ambisius terhadap sesuatu hal yang ingin dicapai. Salah satunya adalah juara kelas. Aku dan Dini beda kelas, memang. Meski begitu, di sekolah, kami selalu berdua. Anytime and anywhere. Bukan berarti kami tak saling punya teman lain. Hanya saja entah bagaimana caranya, kami selalu menempel seperti magnet. Aku menemukan kutub positif, dan dia menemukan yang lainnya.

Dini itu baik. Sangat baik terutama padaku dan bunda. Menurut akta kelahirannya yang sempat aku baca, nama lengkap gadis itu adalah Andini Hasywa Feizal. Kerap kali aku bercerita tentang Milan padanya. Sebut saja kalau Dini adalah kunci kisah-kisahku, dengan Milan. Oh ya, dia teman sekelas Milan.



- (oleh @captaindaa - http://afrohsahenda.blogspot.com)

13 September 2011

Delapan #1

Senja yang amat lelah. Aktivitas sekolah yang full-day membuat raut wajahku tampak seperti benang dipilin-pilin tak teratur. Ditambah air mata bercucuran, yang aku pikir takkan ada habisnya sampai penyebabnya sendiri memerintahkan untuk berhenti. "Namanya juga cinta monyet, Yah. Paling sejam dua jam, sedihnya selesai. Udahlah, dibiarin aja nangis sampai puas. Masih mudha kok yo udah patah hati toh, Ndhok, Ndhook.. Jhas let it flow ajha githu loh!" Sayup-sayup ku dengar cibiran bunda, sambil terus berjalan secepat yang aku mampu. Memangnya mereka tak pernah seumuranku? Memangnya kalbu mereka tak pernah disinggah cinta? Apa yang salah dengan mencinta sesiapa? Bahkan aku tak peduli ini cinta monyet atau bukan. Aku cinta. Itu saja. Tuhan biarkan aku tenggelam dalam alam pikiran sendiri hingga tak lagi dengar omelan bunda yang sepertinya sudah padat merayap. Namanya Milan. Orang Sumatera Barat asli. Ayahnya orang Padang dan ibunya yang lembut bila bertutur, dahulunya adalah kembang dari sebuah desa di Batu Sangkar. Aku tidak tau persis dimana letak daerah-daerah itu. Libur yang lalu, aku memang sempat diajak ayah bunda ke Sumatera Barat. Tapi hanya mengunjungi Jam Gadang karena letaknya di ibukota, Bukittinggi. Dan aku hanya boleh mengelilingi kota itu. Omong-omong tentang Milan, dia adalah teman-beda-kelasku. Aku senang bermain dengannya. Dia akrab dengan siapa saja, termasuk tukang pel sekolah yang tiap pagi rangkap menjadi tukang buka gerbang. Malah aku pernah melihat Milan membantu membawa pel dari lantai 3 ke gudang di lantai 1. Dia, baik. Aku suka tiap kali angin antarkan suaranya masuk gendang telingaku. Logat Minangnya amat susah ditinggalkan.
Pernah saking marahnya pada adik kelas karena telah memecahkan jendela kelas dengan tak sengaja, ia berteriak-teriak di koridor menggunakan bahasa Padang, "Waang kalau ndak pandai main bola, usah dibuek ndak? (Kalau kamu ngga bisa main bola, jangan main ya?)" Aku sampai terkekeh-kekeh melihat laki-laki yang belum aku kenal saat itu. Mukanya memerah seperti kepiting rebus, mulutnya komat-kamit, sewot, apalagi menggunakan bahasa daerah. Aku penasaran siapa dia sebenarnya. Tak banyak ide yang hinggap, kupilih saja untuk mencari identitasnya di Google. 'Milan Farera Ibda' begitulah aku mengeja, lalu mengetiknya. Nama yang amat sangat unik untuk rata-rata orang Padang. Biasanya kalau bukan Erizal, Syaiful, Randai, Faishal, Syafrizal, Bujang, adalah Buyuang yang paling terkenal. Milan? Sangat berkelas. Mataku berbinar.
Tak memakan waktu lama untuk kutemukan Facebooknya. Foto profil yang terpampang, persis seperti yang kulihat di sekolah. Rambut gondrong, hidung mancung, mata sipit jika tertawa, dan yang paling membuat aku terpesona dari dia adalah, alis mata yang tebal. Seakan mendapat durian runtuh, tertera nomor ponselnya disana. Aku tidak tau harus berbuat apa dengan yang aku dapat. Aku tidak tau mengapa aku begitu bersemangat mencari identitasnya. Sebelumnya aku tak pernah seperti ini, sungguh. Untuk berpikiran bahwa ini yang teman-temanku sebut dengan 'jatuh cinta'pun, tidak. Aku, Anggita Syifa Prameswari, masih berkomitmen, tidak ada yang namanya jatuh cinta di jenjang Sekolah Menengah Pertama yang baru saja menyandang predikat 'Kelas Delapan'. Tidak untuk saat ini. Aku masih seumur jagung, kalau kata bunda.
Gedoran pintu kamar yang membabi-buta membuyarkan segala hal tentang Milan. "Bunda ganggu aja!", keluhku. Kuusap sisa-sisa air mata yang menempel di pipi. Lalu ikuti perintah bunda untuk segera berwudhu dan tunaikan ibadah. Aku, ayah dan bunda sholat maghrib berjamaah di kamarku. Sebelum ayah angkat takbir, bunda berbisik, "Nanti ceritakan pada bunda kenapa kamu bisa sampai nangis gitu ya Ndhok? Ah paling karena Delapan lagi. Ya toh?", lalu memalingkan bola matanya.


- (oleh @captaindaa - http://afrohsahenda.blogspot.com)