Tentang 30 Hari Cerita Cinta

01 October 2011

#17 Gadis Jerami


Gadis Jerami #17

You'll always be a part of me
I'm a part of you indefinitelyGirl don't you know you can't escape meOoh darling cause you'll always be my babyAnd we'll linger onTime can't erase a feeling this strongNo way you're never gonna shake meOoh darling cause you'll always be my baby
Always be my baby
"Wah wah terimakasih lho tepukan tangannya, pada suka sama lagunya ya atau cuma suka sama David Cook nya aja? Hahahaha... yaa terserah lah ya, mau sukanya sama saya juga saya ngga nolak ko.. hahah.."
"lagu selanjutnya ada yang mau request ngga nih?" belum sempat ada yang jawab saya sudah memotong, maklum memang kebiasaan saya suka iseng, hehe..
"oke ngga ada ya, kalian nikmatin aja ya yang satu ini, lagu terakhir ini dari saya... enjoy"                     
I'll drown my beliefs to have you be in peace
I'll dress like you wish and wash your swollen feet
Just don't leave
And true love waits in haunted attics
And true love lives on lollipops and crisps
Just don't leave
Don't leave
.......................
"Terimakasih semuanya, mudah-mudahan kawan-kawan semua bisa menikmati apa yang saya suguhkan barusan atau mungkin yang punya Jerami mau ngontrak saya secara profesional? Hahah.. nama saya Arya dan itu barusan True Love Waits – nya Radiohead.... selamat malam semuanya"
Begitulah kira-kira pengalaman saya menyanyi di kota Bogor, sungguh menyenangkan, menemukan sebuah tempat kongkow sederhana ditengah perjalanan saya dan teman-teman mengisi air ke dalam gelas diri masing-masing yang entah kenapa tempat ini menaikkan semangat saya... aaaaaah.. Bogor... Di tempat ini, udara, suasana, orang-orangnya....

Saya menyapu seluruh ruangan di tempat ini, dari plang nama diluar tempat ini tertulis bernama "Jerami". Unik dan hidup sekali jiwa tempat ini, benar-benar sangat kuat menarikku untuk ingin berlama-lama disini. Nah, akhirnya kutemukan juga toilet tempat ini, ternyata dipojok ruangan dan aku segera bergegas masuk kedalamnya.

"Terima Kasih ya buat performnya, Saya Naya, saya yang punya tempat ini", tiba-tiba suara bernada lembut itu menghentikan sejenak langkahku yang ingin kembali ke meja teman-temanku. Seketika itu juga aku menyalurkan tangan untuk berkenalan.

"Oh iya mbak sama-sama.. Mbak pemilik Jerami?? Ahh Gadis Jeramii..", jawabku langsung menggoda.

Sejenak saya perhatikan wanita ini, sungguh magis, setiap pembawaannya benar-benar menarik perhatianku.
"Saya Arya mba, cukup Arya...", Aku pun memperkenalkan namaku.
Saya selalu merasa kurang nyaman ketika harus berkenalan dengan meyebutkan nama panjang saya, selalu 'Arya' saja dan cukup 'Arya' disertai dengan jabatan tangan yang mantap... hmmm sebenarnya nama saya terdiri dari 4 suku kata, diawali dengan sebuah gelar... ya kira-kira begitulah, jadi pasti mengerti kenapa saya lebih memilih 'Arya' sebagai sebuah nama sederhana.

"hmm Naya tempat ini bagus lho, saya sangat suka, sepanjang perjalanan saya, saya rasa tempat ini yang pada akhirnya akan menghentikan perjalanan saya"
"perjalanan?"

"hmm iya mbak, perjalanan.."

"Kayaknya panggil Naya cukup deh gak usah pake mba.. Dan saya jangan panggil saya Gadis Jerami.", Potongnya sambil terkekeh. Okelah jika itu maunya, Naya.

Saya percaya, tiap manusia diciptakan atau kalaupun ada yang meyakini bahwa manusia tidak ada yang menciptakan, setidaknya dia hadir di dunia adalah memiliki maksud atau tugas tertentu untuk diselesaikan dan untuk mengetahui apa tugasnya itu butuh proses... atau paling sederhana adalah yaaa dijalankan... nah, saya sebut itu perjalanan. Eh tapi berhubung saya baru kenal sama ini wanita, ngga mungkin saya kasih penjelasan itu kan.. heheh.. lagian sepertinya saya masih akan kesini lagi..
"kamu pasti mau nawarin saya main disini ya Nay?"

"hahahah.. kepedean kamu....."

Sejenak saya ikut tertawa, kemudian saya pandangi Naya dengan tatapan tajam ala detektif-detektif terkenal yang sedang menginterogasi penjahat
"saya ko suka ya denger suara kamu dan kebetulan orang-orang disini keliatannya suka juga, jadi..."

"iya Nay, saya mau.."
Hahaha ini lucu, karena Naya bengong, raut wajahnya nampak heran.
"hmm lagian saya juga suka ko Nay sama tempat ini, siapa tau saya jadi punya fans-fans baru.. hahah..."
Saya melihat Naya tertawa, dan sepertinya masa depan saya di Bogor mulai terlihat cerah
"kebetulan saya bisa jadi ada alesan buat lebih lama di Bogor sembari nyari tempat tinggal sementara untuk saya dan anak-anak.."

"tempat tinggal? Maksudnya?"

"hmmmm dalam rangka menimbulkan inspirasi buat bikin album berikutnya Nay"

"hahahaha album?" nada Naya meremehkan

"iya Nay, album..."
Sejenak Naya terdiam, entah mungkin masih ngga percaya dengan alasan saya atau merasa bersalah atas ketidakpercayaannya...

"eh tadi kamu bilang tempat tinggal ya?"
Saya mengerti dia bermaksud mengalihkan, yasudahlah, entah apapun alasan yang membuat dia terdiam tadi, yang penting saya dapet tempat tinggal..

"iya, tenang, damai, sejuk, kebun" saya langsung memberikan syarat-syarat tempat tinggal yang saya inginkan.. haha terdengar gila sih, gimana caranya coba belum apa-apa syaratnya aja banyak dan ribet..

"hahahahahaha.."
Naya tertawa, dan sepertinya senang sekali..

"ko malah ketawa Nay? Saya pikir kamu malah mau marahin saya karena ngasih syarat-syarat yang susah"

"siapa bilang susah...."

"Jadi kamu mau nemenin saya cari tempat kayak gtu?", Pancingku.

"Nemenin?? Duh.." gadis di hadapanku ini melirik notebooknya.

"Kenapa sibuk ya? kan ga harus sekarang besok atau lusa mungkin?" berawal dari iseng minta tolong sekarang saya malah pengen banget minta ditemenin. Lagipula bukannya akan lebih mudah kalau saya cari tempat sama orang yang lebih mengerti daerah di sekitar sini.

"Hmmm.." pikir Naya.

"Ayolah.. Besok lagi saya nyanyi di sini deh biar Jerami-mu rame hehe.. Ya?" pintaku sedikit memaksa.

"Lusa?"

"Siip! Ga masalah.. Kita ketemu di Jerami ya?" kataku menyembunnyikan kegirangan.

"Okay.. Jam 11.00-an"

"Siap! Saya balik ke temen-temen dulu ya?!" pamitku sambil menunjuk ke bangku kawananku yang sedari tadi berisik sendiri.

"Eh tunggu.." panggil Naya ragu.

"Ya??" Arya membalikkan badan memandang Naya sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Hmm.. Maaf bukannya apa-apa tapi kalau saya bersedia nemenin kamu besok, anggap saja itu ucapan terimakasih saya untuk kamu yang sudah menghidupkan Jerami malam ini.", Naya menjelaskan sedikit takut menyinggung perasaanku. Ku rasa begitu, dari raut wajahnya dia tidak ingin aku ke-geer-an dengan kebaikannya.

"Never mind.. Kalau begitu saya yang kembali kasih sebelumnya." kataku menghadirkan senyum kelegaan di wajah Naya.
Eureka!! Obrolan saya dengan Naya seperti akan berujung pada titik terang...........
Aaaah!!! Saya lupa, seharusnya saya bikin lirik nih! Kasihan kopi ini kehilangan panasnya dengan cara yang kurang tepat... maklum, susah kalau jadi seorang yang multi-tasking.. Dasar Jerami.. hahaha...
#nowlistening Bogor Biru – Sore
Bogor, September 2011
01:20 am

~ (oleh @omradit (Raditya Rachman)

#5: Hola Absurdia!

Absurd dan pertanda. Entah kenapa dua kata itu begitu menarik perhatianku. Oknum yang disinyalir memiliki keganjilan dalam batas kewajaranku selalu berhasil memasuki ruang imajinerku, berkomplot dengan spektrum-spektrum cahaya untuk menembus alam bawah sadar seorang Mirabilly Shialava. Tak terkecuali Rianda, pria ajaib yang kutemui di gerbong satu kereta Subuh Bandung - Jakarta.

"Wah, Mbak Mirabilly udah dateng dong, pagi banget." Pria berkumis berperut agak tambun itu membuyarkan lamunanku. Aku biasa memanggilnya Mas Udin. Ia selalu menjadi teman berbincangku bila kawan-kawan sekelasku belum datang.

Mas Udin adalah seorang tata usaha di gedung ini alias karyawan sibuk. Gedung berinterior serba putih ini merupakan tempat tujuanku setiap hari Sabtu tiba. Sebuah sekolah di bawah naungan kantor berita pertama di Indonesia, tempat para jurnalis handal lahir. Mochtar Lubis salah satunya. Bahkan namanya pun diabadikan dalam sebuah nama penghargaan, Mochtar Lubis Award, seperti Pulitzer Prize – sebuah penghargaan internasional tertinggi dalam bidang jurnalistik, bahasa dan seni. I do want it so bad!

"Hari ini materinya apa Mas Udin? Gurunya Kang Dadan ya?"

"Iya Mbak Billy, hari ini materinya apresiasi seni dan budaya Mbak, liputan keluar sih kata Kang Dadan,"

"Wah, kemana emang liputannya?"

"Ke Galeri Nasional kayanya, lagi ada pameran seni-seni gitu tuh."

"Oh ya? GalNas? Lukisan? Karya seniman senior gitu kah?"

"Bukan, katanya sih campuran gitu, karya seorang seniman muda, judul pamerannya : Absurdia."

Nice. Sekali lagi kosa kata itu menghantui hariku. Menyedot setengah dari penglihatanku, menuju bayang-bayang spektrum yang bergumul, berkomplot untuk membentuk sosok-sosok absurd yang pernah bernaung di pikiranku. Salah satunya Rianda. Hebat, pria gerbong satu itu sudah mulai menetap dalam otak kecilku. Absurd, ya, pria itu sudah mulai sedikit-sedikit mengalahkan posisi Rega dalam benakku. Rianda. Kamu absurd dan luar biasa.

***
Aksara Sunda kuno setinggi bahu di depan gerbang masuk GalNas ini begitu mengusik perhatianku. Terbuat dari bahan suede (sejenis material penutup sofa atau untuk bahan membuat sepatu), artwork ini menciptakan sebuah kombinasi antara sifat kasar, halus dan terlihat gagah. Seni instalasi, sebuah bentuk artwork yang sangat aku kagumi. Seperti jatuh cinta pada pandangan pertama, mataku berbinar-binar menatap sebentuk unik yang berdiri kokoh di depanku. 

"Kamu suka yang kaya gini Bill?" ujar Virsa, salah satu teman sekelasku dalam sekolah jurnalistik ternama di Indonesia ini.

"Gimana lagi, Vir, empat setengah tahun saya hidup dalam rasa cinta sama seni instalasi, gimana nggak bakalan kagum parah coba?" Mulutku menjawab, pandanganku masih menerawang, menelusuri instalasi-instalasi cantik yang tersebar di gerbang area galeri.

"Ini aksara Sunda lho, kemarin saya udah nanya ke senimannya, dia bilang artinya janggal," ungkap Kang Dadan sembari membidikkan kamera SLR kesayangannya ke arah artwork unik itu.

"Pantes deh nama pamerannya Absurdia."

"Jadi penasaran deh, siapa sih seniman di balik pameran ini?"

Ya, suara-suara itu seakan berkumpul dan bergerombol, menggema dalam dimensi dunia psychedelic milikku, yang mulai melayang-layang, menjadi backsound untuk ruang batas antara mimpi dan kenyataan. Karya-karya manusia tak dikenal ini telah membuatku memasuki blackhole kembali. Membangkitkan kenangan dan perasaan terpendamku pada seni instalasi yang seakan terlupakan. I love this kind of art!

Lamunanku sedikit terbuyarkan, saat Ganes – salah satu teman sekelasku – menepuk pelan bahuku, dan berkata, "Nama senimannya R. Pranata, Bill, tuh camkan, siapa tau cocok sama kamu, daripada bermuram durja mulu!"

"Ahaha, sial! Ga kali Nes, tega banget sih, kayanya orang ini udah banyak makan asam garam deh. Kamu nyuruh saya pacaran sama om-om ya?"

"Ya kali, Bill, kamu kan sukanya yang aneh-aneh."

Sial, Ganes sialan! Memang sih, rasa penasaran sang seniman di balik pameran Absurdia ini cukup menghantui pikiranku, kembali membuat tubuh dalam dimensi bayanganku seringan kapas, terbang menyusuri lautan masa lalu yang sudah lama tersimpan, tertutupi program-program berjudul Microsoft Office dan kertas berhamburan. Sepertinya aku memang harus berterimakasih langsung pada Mas Pranata yang entah wujudnya seperti apa. Setidaknya, ia telah menghadirkan kembali kata-kata absurd dan seni yang telah kulupakan bertahun-tahun lalu. 


***

Galeri itu dipenuhi artwork cantik yang diletakkan dengan sangat apik. Mas Pranata sangat pintar menatanya, sehingga ambience berbeda didapat saat melangkahkan kaki di ruangan ini. Kutelusuri satu per satu. Pria absurd ini selalu menyuntikkan unsur luar angkasa ke dalam karya-karyanya.

Astronot, alien yang dibentuk seperti salah satu tokoh perwayangan bahkan istana cuaca pun ada di sana. Ah, istana cuaca, salah satunya adalah kerajaan hujan. Dan, terpampang rapi, sebuah kaleidoskop raksasa di sana. Damn, Mas atau Om atau Pak Pranata, seolah-olah isi dari pameran ini mencerminkan isi otakku. Hujan, kaleidoskop, absurd. I owe you so much, dear Mysterious artist!

"BIODATA". Entah karena tulisan itu begitu besar, ataukah warnanya terlalu cerah, atau juga memang kosa kata itulah yang sedang aku cari di seantero ruangan galeri ini. Biodata, data pribadi. Pastinya, di sana akan terpampang, siapakah sebenarnya Mas Pranata yang absurd ini.

Nama : R. Pranata Priya

Nama yang cukup aneh. Jelas-jelas Mas Pranata berjenis kelamin pria. Untuk apa masih ada kata "Priya" di belakangnya. Huruf R yang bertengger di depannya pun masih misteri. Mungkinkah sebenarnya dia memiliki turunan Raden alias darah bangsawan?

Tempat / Tanggal Lahir : Bandung, 15 Oktober 1985

Wow, Bandung? Dia jelas-jelas lahir di Bandung, orang mengagumkan ini memiliki tanah kelahiran yang sama denganku, seorang Mirabilly.

Prestasi :
-    Pameran Seni Kontemporer di London
-    Pameran Seniman Kontemporer Asia Pasifik di Singapura


Masih berderet panjang kolom prestasi yang ia miliki, sungguh, Mas Pranata ini memang mengagumkan. Mataku seakan tercengang melihat deretan penghargaan dan pameran yang pernah ia ikuti. He's awesome!


Baiklah, Absurdia! Pameran ini sukses sekali membuatku penasaran dengan Mas Pranata, seorang seniman yang gemar memasukkan nilai-nilai absurd ke dalam mahakaryanya. Tentunya, rasa penasaran ini kembali menjangkitiku, setelah rasa sesak yang terjadi saat aku kehilangan sang pria gerbong satu, Rianda.

Aneh. Kenapa aku bisa mendadak penasaran dengan dua sosok berbeda, dalam waktu yang cukup bersamaan. Apakah ini sebuah bentuk melarikan diri dari bayangan kutukan gerimis milik Rega? Tadi Rianda, sekarang Mas Pranata. What's wrong with me?


***

"Maaf Mas, kalo Mas Pranatanya ada?" tanyaku pada salah seorang panitia yang berjaga di sana.

"Mas Pranata masih di jalan, Mbak. Maaf, kalau boleh tahu, Mbak darimana ya?"

"Oh, saya Mirabilly, ada tugas dari sekolah jurnalistik saya, untuk berbincang sedikit dengan Mas Pranata."

"Oke, Mbak, nanti saya sampaikan ya, sebentar lagi sampai kok."

Ah, baiklah, Mas Pranata. Kembali aku harus menunggu dan meredam rasa penasaranku ini. Aku tak tahu, seperti apakah bentuk dari Mas Pranata ini. Karya demi karya kuperhatikan hingga mendetail. Masih tentang luar angkasa, bumi, hujan, matahari. Tak ada satupun bentuk-bentuk kenarsisan dalam karya Mas Pranata ini. Bayangan tentang wajahnya pun sungguh abstrak.

Tiba-tiba, kulihat sorotan cahaya menuju arah sebuah lukisan. Aneh. Janggal. Ini seperti sebuah potret dirinya, dalam aliran lukisan kubisme, sebuah gerakan seni abad ke-20, menyerupai karya Pablo Picasso dan Georges Braque. Aku masih tak bisa menangkap sosoknya. Hanya tampak sedikit rupa kacamata, rambut panjang, dan yang pasti, ia lelaki.

Eh! Tunggu dulu! Guratan tanda tangan nyaris tak terlihat menghiasi kanvas setinggi badanku ini. Goresan milik Mas Pranata yang pasti. "Coretan ini begitu familiar, Mirabilly!" sepertinya pupil mataku berbisik demikian. Ya, tanda tangan ini terasa tak asing. Sangat tak asing.

Raden. Rindu. Ronda. Ah, déjà vu! Aku pernah mengalami hal ini beberapa jam yang lalu. Menatap lama sebuah guratan tangan bertuliskan nama. Ya, sekali lagi, mataku meyakinkan otakku, bahwa ini tanda tangan RIANDA.

I found love, didn't even know I needed it
But I found love, never even crossed my mind
#nowplaying Free Design - I Found Love



-bersambung-




~ (oleh @heykandela)

Chemistry: 13

Him or Him part 4




A D R I A N


Sesorean ini aku bersantai. Bergulingan di atas tempat tidur. Membuka androidku. Iseng-iseng berkelana di dunia maya. Lalu, kuketikkan nama Leah di window dan menekan tombol 'search'. Namanya ada di urutan no.1 bookmark ku. Aku meng-klik salah satu tab. Dan kutemukan celotehannya di linimasa. Aku sungguh menikmatinya. Leah adalah salah satu perempuan terjujur yang pernah aku tahu. Itu fakta yang kutemukan dalam linimasanya.


@Leah_Isla : Cowok jaman sekarang emang susah dimengerti yah.


Twit dari Leah ini membuatku tersenyum simpul.


@Leah_Isla : Pas aku jomblo, gak ada cowok yang nempel. Kalo pas udah punya pacar kayak sekarang, blaahh.. Pada ngedeketin.


Aku kaget. Berdiri.






L E A H




From : Adrian (+62811xxxxxx)
Denger2 kamu udah punya pacar yah?


Lah, kok tahu sih nih anak? Gimana bisa?




~ (oleh @WangiMS)

#6 Rage of The Beast




            Dia menemukan dirinya basah kuyup oleh guyuran hujan yang ditumpahkan dari langit tanpa kenal ampun. Beberapa kali langit terlihat berkilat terang oleh kilas cahaya halilintar yang menyambar disertai dengan bunyi ledakan yang memekakkan telinga. Selama beberapa lama dia mencoba memahami apa yang terjadi dengan dirinya. Kemudian dia samar-samar mulai mengenali jalanan gelap tempatnya berada sekarang.
Oh tidak... Tidak lagi...
Pandangannya kabur karena kacamatanya telah basah oleh air, tetapi dia masih dapat melihat cukup jelas saat perlahan-lahan mengangkat kedua tangannya. Darah kecoklatan itu masih melekat kuat membungkus tangannya.

Ariyo terbangun secara kasar dari tempat tidurnya. Meskipun AC kamarnya saat ini sudah terpasang pada suhu delapan belas derajat celcius, tetapi entah mengapa saat ini udara di sekitarnya terasa panas dan menyesakkan. Dia harus mengeluarkan usaha ekstra untuk kembali mengatur napasnya secara normal. Tangannya perlahan menyeka butir-butir keringat sebesar biji jagung di dahinya.
Mimpi itu datang kembali.
Ariyo perlahan-lahan tersenyum. Senyuman kepasrahan.
Seberapa jauh pun kau mencoba berlari, kau tetap tidak akan bisa terlepas dari dosa masa lalu...
 

            Lagi-lagi, seperti biasanya, Adiana menemukan dirinya terlambat pada jam kuliah pertama. Setengah berlari dia menyusuri koridor yang menuju ke Ruang Kuliah Anatomi. Meskipun hari ini masih pagi, tetapi sudah terdapat titik-titik keringat di dahinya. Tetapi tidak ada waktu bahkan untuk menyekanya. Tiba-tiba, entah kakinya sendiri atau memang terdapat benda asing di sana, kakinya terasa terantuk sesuatu dan dia merasakan adanya sentakan hebat yang mendorongnya ke depan.
Adiana tahu dia akan terjatuh. Tetapi tidak ada rasa takut dalam dirinya karena akan ada yang menjaganya.
            BUK!
            Gadis itu tersungkur di atas lantai dengan cukup keras. Untuk beberapa saat waktu terasa berhenti baginya. Dia mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Tidak ada seorang pun di sana. Dia berdiri sambil menepuk-nepuk tubuhnya. Matanya melirik pasrah ke beberapa noda cokelat yang melekat di pakaiannya.
            Dia masih dapat bersyukur bahwa dia tidak terluka. Setidaknya tidak di tubuhnya.
            Adiana lupa. Penjaga yang diharapkannya sudah pergi.

            "Jadi kalau menurut gue lebih baik kalau kita semua membagi tema penelitiannya berdasarkan insidensi penyakit yang terjadi di masing-masing Rumah Sakit." ujar Matahari sambil menatap teman-temannya satu persatu.
            Ketiga temannya mengangguk-angguk tanda setuju, tetapi Matahari merasa ada yang kurang. Tepat di seberangnya Adiana sedang melihat ke arahnya, tetapi sinar matanya menunjukkan bahwa pikirannya sedang berada di tempat lain.
            "Ana? Loe dengerin gue atau nggak, sih?" tanya Matahari sedikit kesal.
            Adiana tersentak. Di hadapannya keempat temannya sedang memandangnya dengan tatapan bertanya-tanya.
            "Ah, sorry... Iya, gue juga setuju kok dengan loe semua." jawab Adiana dengan nada tidak yakin.
            "Ana, ada apa sebenarnya? Sedari tadi gue lihat loe sama sekali tidak fokus ke riset kita. Apa yang loe pikirkan?" tanya Ima penasaran.
            "Ah, tidak kok... Tidak apa-apa..." Adiana terdiam sejenak. "Gue cuma sedikit lelah. Itu saja. Tadi malam gue sedikit terlalu larut tidurnya."
            "Tumben? Biasanya loe yang paling cepat tidur di antara kita semua." komentar Ima.
            "Well... Mungkin saja kalau dia bukan menggunakan waktunya untuk tidur dan justru telepon-teleponan sama cowok." ujar Yenny sambil tersenyum nakal.
            "Hoo... Benarkah? Dengan Adit?" tanya Ima sambil tertawa kecil.
            Yenny mengangkat bahu. "Yah, gue rasa itu salah satu keuntungan berada dalam satu tempat kos dan memiliki dinding tipis. Atau justru kesialan ya?" kali Yenny tidak dapat menahan tawanya.
            Adiana hanya menjawabnya dengan senyuman malu.
            "Oh iya, ngomong-ngomong soal cowok... Gue jadi ingat sesuatu. Tadi gue sempat bertemu Ariyo di Kafetaria, meskipun tidak menyapa sih, seperti biasa. Jadi? Ada apa dengan kalian berdua?" tanya Yenny ringan tanpa sungkan-sungkan.
            Adiana terbatuk kecil. Seperti ada yang menusuk hatinya dan terasa sangat menyakitkan. Keempat temannya sekali lagi memandangnya, tetapi kali ini pandangan mereka penuh penilaian dan jelas-jelas sangat menuntut jawaban darinya. Dia tidak habis pikir darimana teman-temannya tahu mengenai apa yang terjadi antara dirinya dengan Ariyo. Tetapi apapun itu, Adiana tahu dia tidak bisa kabur dari ini.
            "Well... Semuanya tidak berjalan dengan baik. Itu saja. Gue sih sebenarnya mengharapkan kita berdua bisa tetap dekat atau setidaknya membicarakannya terlebih dahulu, tetapi tampaknya memang sulit untuk..."
            Adiana berhenti saat menyadari ada yang aneh dari tatapan teman-temannya. Kening mereka semua berkerut dan raut wajah mereka justru terlihat semakin bertambah bingung setelah penjelasannya.
Ada apa ini? Kenapa mereka...
            "Ehm... Ana, jujur saja gue tidak mengerti... Maksud gue tadi adalah soal ada hubungan apa antara loe dan Ariyo. Karena jujur saja, seminggu lalu itu kita semua cukup kaget melihat loe bisa jalan berdua dengan Ariyo. Dan loe belum pernah cerita apapun soal itu kan." kata Yenny berhati-hati.
Adiana merasa ingin memukul kepalanya sendiri—atau setidaknya bersembunyi dari tempat itu.
            Bodohnya gue! Tentu saja bukan itu pertanyaannya, Adiana! Bagaimana mungkin mereka tahu tentang masalah gue dan Ryo? Jangankan itu, gue bahkan tidak pernah menceritakan ini pada siapa pun kalau kami berdua cukup dekat satu sama lain.
"Ngg... Jadi maksud loe, loe dan Ariyo dekat satu sama lain....? Atau...?" tanya Ima hati-hati.
            Adiana merasa harus mengerahkan seluruh kemampuan bahasanya untuk menanggapi pertanyaan ini, sekaligus mencoba untuk tidak berbicara terlalu terbuka.
            "Mmm... Maksud gue adalah memang iya gue dan Ryo akhir-akhir ini sempat beberapa kali berinteraksi lebih daripada yang dulu-dulu. Yah, gue cuma berpikir, masa sih gue tidak mengenal teman seangkatan gue sendiri. Hanya saja... Yah, kalian semua juga tahu kan tentang Ryo dan sikapnya. Ternyata memang tidak mudah berteman dengan dia." Adiana memaksakan tersenyum.
            "Ooohh... Jadi kalian berdua memang berteman, ya? Wah, gue harus mengakui kalau gue sama sekali tidak menyangka loe bisa berteman dengan Ariyo. Loe mungkin cewek pertama, Na, yang gue tahu bisa mendekati cowok dingin itu." kata Ima masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya.
            "Ah, ini tidak seaneh kelihatannya kok. Ryo juga tidak seburuk yang kalian duga!" Adiana sedikit berteriak saat mengatakannya. "Maksud gue, dia masih bisa diajak mengobrol hal-hal yang menarik kalau mau." Adiana buru-buru menambahkan saat melihat teman-temannya sedikit terkejut medengar teriakannya.
            "Hoo... Benar kalian hanya berteman? Lalu bagaimana dengan kencan kalian seminggu yang lalu itu?" tanya Yenny menggoda Adiana.
            "Itu... Itu sama sekali bukan kencan! Waktu itu gue memang sudah ada rencana pergi ke Grand Indonesia, dan kebetulan Ryo juga ingin kesana, jadi ya gue sekalian bareng sama dia. Hanya itu saja. Biasa saja, kan? Gue dan Ryo tidak lebih dari teman biasa. Benar, deh, Percayalah." Adiana terlihat salah tingkah.
            "Iya, iya, tenang Ana... Kita percaya kok. Tidak perlu panik begitu, dong." ujar Yenny mengangka tangannya seraya tertawa.
            "Tapi gue sedikit kecewa sama loe lho, Na, karena loe sama sekali pernah cerita soal hubungan loe sama Ariyo ke kita semua." ujar Ima pura-pura kesal.
            "Ah... Soalnya menurut gue tidak ada yang istimewa.dari itu semua. Maksud gue... Wajar saja kan kalau gue berteman dengan anak angkatan kita sendiri. Sama saja seperti gue berteman dengan loe semua. Jadi ya... Begitulah." Adiana mengangkat bahu seraya tersenyum.
            "Tapi kalian berdua sekarang sudah tidak berteman lagi, kan?"
            Adiana menoleh ke pemilik pertanyaan tersebut, diikuti oleh teman-temannya yang lain. Matahari sedang menatapnya tajam.     
"A... Apa maksud loe, Tar?" tanya Adiana sedikit gugup.
            "Iya... Tadi loe sempat mengatakan bahwa tidak mudah berteman dengan dia. Gue menebak dari situ bahwa pertemanan kalian tidak berjalan dengan baik? Berarti kalian tidak berteman lagi, kan?"
            Adiana berusaha meyakinkan dirinya salah, tetapi—entah mengapa—dia dapat merasakan ada sesuatu yang tidak baik di balik pertanyaan sahabatnya tersebut. Seolah-olah dia memang mengharapkan jawaban "iya" dari Adiana.
            "Oh... Well... Yah, mungkin bisa dikatakan seperti itu." jawab Adiana singkat.
            Matahari mendengus. "Yah, gue rasa memang itu yang terbaik. Untuk apa loe menghabiskan waktu loe bersama cowok jahat seperti itu. Dia memang tidak pantas untuk bisa berteman dengan siapa pun." Matahari menyeringai penuh kepuasan.
            Adiana menatap heran ke arah Matahari. "Tar, kenapa sih loe harus bicara seperti itu? Tolong, jangan terlalu memojokkan Ryo. Seperti yang gue bilang, dia juga tidak seburuk itu.
            "Tidak seburuk itu?! Loe masih ingat kan apa yang sudah dia lakukan ke gue? Apa menurut loe perbuatan yang dia lakukan itu bukan sesuatu yang keterlaluan? Dia tidak bersikapnya layaknya seorang cowok baik-baik!" ujar Matahari geram.
            "Tar, loe menilai dia hanya dari kesan pertama. Gue mengakui bahwa itu memang bukan sikap yang menyenangkan, apalagi untuk loe. Tapi gue rasa itu hanya salah paham atau Ryo memiliki alasannya sendiri."
Adiana terdiam sejenak mengingat saat laki-laki itu menolongnya dari pelecehan di dekat tempat kos-nya, mengantarkannya pulang, menemaninya membeli hadiah, dan banyak lagi peristiwa yang berkelebat di pikirannya.
"Ryo memang bukan tipe cowok yang akan selalu bersikap ksatria kepada cewek. Justru dia adalah cowok paling sinis, menyebalkan, dan dingin yang pernah gue kenal. Tapi..." Adiana tidak dapat menahan diri untuk tersenyum tipis. "Seandainya loe memberikan waktu untuk mengenalnya, loe akan bisa melihat bahwa dia memiliki banyak sisi baik."
"Hah! Memberikan waktu? Jangankan mengenalnya, bahkan untuk menyapanya pun gue malas."
"Well... Kalau begitu loe tidak akan pernah melihat kebaikan dia." komentar Adiana sedikit dingin.
Matahari menatap Adiana dengan sinis. "Hmm... Lalu kalau memang Ariyo sebaik itu, kenapa loe menghentikan pertemanan loe dengan dia?"
Adiana merasa ada yang meninju perutnya. Mulutnya terlihat bergerak-gerak, tetapi tidak ada satu pun kata yang keluar. Seperti dia membutuhkan segala kekuatannya untuk dapat berbicara.
"Well, itu... Yah... Ada sedikit masalah. Tidak begitu penting. Biasa kan yang namanya berteman kalau ada masalah." Adiana berusaha mengelak. "Lagipula, bukan berarti gue tidak berteman lagi dengan Ryo, hanya sedikit setback... Tidak akan nyaman rasanya kalau bermusuhan dengan teman seangkatan sendiri, kan."
             Matahari tertawa kecil dengan dingin. "Oh ya? Bukannya memang itu yang diinginkan oleh Adit? Apa loe sengaja menentang permintaan cowok loe itu?"
            Adiana menahan napas seraya membelalakkan kedua matanya. Raut wajahnya benar-benar menunjukkan bahwa dia baru saja menerima kejutan yang sangat tidak terduga.
            "Ehm... Sorry... Tapi ada apa ini sebenarnya? Kenapa kalian berdua?" tanya Yenny dengan wajah khawatir.
            "Tari, bagaimana loe bisa tahu soal itu?" tanya Adiana dengan nada dingin.
            Matahari terlihat sedikit menarik dirinya. "Well... Itu tidak penting bukan? Yang penting sekarang adalah loe..."
            "Loe sama sekali tidak punya hak untuk melakukan itu!" Adiana berteriak secara tiba-tiba, mengejutkan ketiga temannya. "Ini adalah masalah pribadi gue, kenapa loe harus ikut campur?!"
            "Gue tidak ikut campur apapun. Gue hanya menceritakan apa yang gue lihat tepat di depan mata gue. Kenyataannya benar kan loe pergi berdua dengan Ariyo?!" balas Matahari tidak kalah berteriak.
            "Kalaupun itu benar, untuk apa loe cerita-cerita ke Adit? Gue bisa bercerita kepadanya sendiri. Karena loe harus cerita macam-macam, dia juga jadi berpikir macam-macam, dan membuat masalah yang tidak perlu."
            "Cerita macam-macam, hah?" Matahari mendengus sinis. "Sudah gue bilang, gue hanya bercerita apa adanya ke cowok loe itu. Apa yang terjadi setelah itu, bagaimana gue bisa tahu?!"
            "Hei, hei... Kalian berdua, tenanglah..." seru Yenny seraya menahan Matahari yang setengah menyorongkan tubuh ke arah Adiana.
            "Apapun itu, kita bisa bicarakan secara baik-baik..." kata Ima sambil meletakkan tangan di bahu Adiana.
            "Lagipula pada akhirnya loe sendiri yang menentukan pilihan, kan?" kata Matahari sinis.
            Adiana mengerutkan dahi. "Apa maksud loe?"
            "Maksud gue seperti apa yang gue katakan. Meskipun Adit mungkin memang yang menyuruh loe melakukan itu semua, tetapi pada akhirnya semua terserah kepada loe, kan? Kalau memang loe tidak berhubungan lagi dengan Ariyo..." Matahari berhenti dan tersenyum dingin. "Artinya loe yang memutuskan seperti itu. Lalu kenapa loe sekarang marah-marah?"
            Adiana berdiri secara tiba-tiba dengan kasar, menyentakkan tangan Ima hingga gadis itu sedikit terpental ke belakang. Selama sesaat, Ima ingin mengatakan sesuatu kepada Adiana, tetapi seketika dirinya terasa membeku saat melihat wajah gadis tersebut. Seingat Ima, Adiana belum pernah memunculkan ekspresi seperti ini. Dia selalu menjadi gadis yang paling pemalu dan lembut di antara mereka berempat. Seorang gadis yang selalu berusaha tersenyum dalam keadaan apapun. Tetapi kali ini di wajahnya terlukis ekspresi penuh kemarahan yang dapat menggetarkan siapapun yang melihatnya.
            Tanpa mengatakan apapun, Adiana memasukkan barang-barang miliknya ke dalam tasnya kemudian menariknya ke atas bahu.
"Sorry... Gue duluan." ujar Adiana singkat sambil melangkah meninggalkan kelompok itu. Dia sama sekali tidak menoleh ke belakang lagi.
"Tari... Sebenarnya ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Ima dan Yenny hampir serempak.
Matahari tidak menjawab. Dia terus memandangi Adiana yang melangkah semakin jauh dengan tatapan dingin.

Adiana baru saja akan mencapai gerbang keluar yang berada di dekat lapangan basket, saat sebuah suara memanggil namanya dan menghentikannya. Dia mengatur napasnya sejenak sebelum membalikkan badan.
Matahari berdiri sekitar dua meter di hadapannya.
"Ana, apa yang sebenarnya loe harapkan? Sebuah keadaan utopis? Dimana loe bisa mendapatkan semuanya dan semua orang senang? Dunia tidak berjalan seperti itu, Ana. Loe harus memilih salah satu di antara mereka berdua dan mengorbankan yang lain. Gue hanya ingin membantu loe menyadari hal itu."
Adiana sempat tersentak. Dia ingat seseorang yang juga pernah mengatakannya. Tetapi kemudian dia berhasil menguasai dirinya kembali dan menatap sinis.
"Tari, gue bukan anak kecil lagi. Gue tidak butuh diberi tahu apa yang seharusnya gue lakukan. Jadi terima kasih untuk perhatian loe, tapi lebih baik kita mengurus urusan kita masing-masing." Adiana mengatakannya sambil beranjak pergi dari tempat itu.
"Jadi apa yang akan loe lakukan sekarang? Ingin mencoba berhubungan lagi dengan Ariyo? Ingin mencoba mengatakan pada Adit bahwa kalian hanya teman biasa dan tidak apa-apa? Ingin mencoba mendapatkan keduanya?"
Adiana tidak menoleh dan hanya berkata singkat. "Sekali lagi... Ini bukan urusan loe."
Setelah mengatakan itu, gadis tersebut melangkah pergi meninggalkan Matahari yang masih berdiri mematung di situ.
 

Ariyo mengangkat tangan dan melihat ke arah arlojinya. Pukul 18.30. Laki-laki itu meletakkan tas ranselnya di atas salah satu sofa cokelat di teras luar Perpustakaan FKUI dan menghempaskan badan di sebelahnya. Pada saat hari sudah gelap seperti ini, ini adalah satu-satunya tempat dia dapat mendapatkan sofa empuk bagi tubuhnya. Saat dia mengedarkan pandangan ke sekitarnya, dilihatnya tidak ada seorang pun di tempat itu selain dirinya. Bahkan tidak juga di lapangan basket yang berada di depan Perpustakaan.
Sedikit mengherankan karena sangatlah jarang area FKUI menjadi sesepi ini. Walaupun memang sudah tidak ada lagi kegiatan resmi yang dilakukan pada jam-jam seperti ini, tetapi biasanya tetap ada beberapa orang yang masih tetap tinggal, berkutat dengan urusannya masing-masing. Tidak seperti biasanya, tetapi dia toh tidak berniat memikirkannya lebih lanjut.
Ariyo tidak mengira bahwa diskusi kelompok praktikumnya dengan dokter pembimbing mereka akan berlangsung hingga selarut ini. Sebenarnya dia sudah selesai sekitar lima belas menit yang lalu, tetapi dia tidak berniat untuk segera pulang. Pada hari biasa seperti ini, lalu lintas di Jakarta dapat dipastikan akan seperti neraka. Apalagi bila dia tidak dapat melewati Jalan Sudirman karena peraturan Three in One. Dia memilih hingga peraturan tersebut berakhir sekitar setengah jam lagi karena dia merasa tidak memiliki cukup tenaga—dan kemauan—setelah melalui diskusi yang sulit tadi.
Ditambah dia memang tidak pernah datang ke kampus dengan energi penuh.
Ariyo menyandarkan tubuhnya sambil menghela napas. Pandangan matanya menunjukkan bahwa pikirannya berkelana jauh.
Mimpi-mimpi itu masih juga datang tiap malam di setiap tidurnya. Bukanlah sesuatu yang luar biasa baginya sebenarnya. Dia toh sudah memiliki mimpi tersebut selama yang tidak mampu lagi dia ingat. Baginya mimpi tersebut sudah menjadi bagian dari hidupnya. Tidak setiap bagian dalam hidup itu manis, tetapi apapun itulah yang harus kita terima. Dan dia menerimanya.
Tetapi sudah beberapa lama ini mimpi-mimpi tersebut tidak hadir kembali kepadanya. Dia tidak lagi terbangun dini hari dengan jantung berdebar-debar, napas memburu, dan keringat yang bertetesan. Dan dia dapat bangun pagi dan memulai aktivitas dengan kekuatan penuh. Dia sempat berpikir bahwa mimpi-mimpi tersebut sudah meninggalkannya. Hingga beberapa hari terakhir ini mimpi tersebut kembali menghantuinya.
Sejak gadis itu sudah tidak bersamanya.
            Ariyo sekali lagi melihat arlojinya.
            Baiklah. Sepuluh menit lagi Three in One selesai. Saatnya pulang...
            Ariyo baru hendak beranjak berdiri saat lift di dekat Perpustakaan tersebut berdenting. Secara refleks dia melihat ke arah tersebut dan memperhatikan orang-orang yang keluar dari lift tersebut. Ternyata memang masih ada orang di FKUI malam ini. Dia merasa tidak ingin bertemu dengan siapapun karena itu dia tetap duduk di sofa itu. Menunggu hingga semuanya sepi kembali.
            Lampu bohlam di depan teras Perpustakaan sudah lama rusak, sehingga tempat itu saat ini terlihat gelap. Cukup gelap untuk menyembunyikan keberadaanya secara utuh. Tepat seperti apa yang diharapkannya.




            Aditya bergegas menuruni tangga yang menuju ke Lobi Utama FKUI. Dia baru saja menyerahkan makalah praktikum kelompoknya kepada dokter pembimbing mereka di Departemen Faal dan sekarang pikirannya tertuju kepada Adiana yang berniat disambanginya di Ruang Senat FKUI. Seharusnya saat ini rapat Senat yang diikuti gadis itu sudah selesai dan mereka dapat pulang bersama ke tempat kos.
            Dia berbelok menuju ke arah lapangan basket. Dilihatnya area di sekitar lapangan basket tersebut masih cukup ramai oleh para mahasiswa/mahasiswi, meskipun tidak ada yang sedang berlatih basket saat ini. Dia berjalan semakin cepat melintasi lapangan basket tersebut, dan berada tepat di tengah-tengahnya, saat ada yang memanggilnya dari belakang.
            Aditya baru menoleh sekilas saat sebuah hantaman keras menghujam telak ke wajahnya. Seketika rasa sakit yang menyengat mendera kepalanya. Laki-laki itu terhuyung ke samping. Susah payah dia berusaha mempertahankan keseimbangannya. Dia tidak melihat apa yang terjadi. Tetapi dia tidak sempat untuk memikirkannya lebih lanjut karena sebuah hantaman keras kembali mendarat di samping rahangnya.
            Kali ini dia tidak dapat mencegah dirinya terjatuh dengan keras ke atas lapangan basket. Permukaan lapangan yang keras itu serasa meremukkan tulang punggungnya. Rasa pusing yang teramat sangat membuat pandangannya kabur sesaat sebelum memunculkan bayangan hitam besar yang menutupi lapang pandangnya. Sesosok wajah yang dikenalnya samar-samar tergambar di retinanya.
             Ariyo?!
            Ariyo menjepit tubuh Aditya dengan lututnya dan terus melayangkan tinjunya tanpa ampun ke arah wajah laki-laki itu. Ekspresi wajahnya menunjukkan kegarangan yang teramat mengerikan. Saat ini Ariyo terlihat bagaikan hewan buas yang sedang mencabik-cabik mangsanya.
            Aditya sebenarnya bertubuh sedikit lebih besar dibandingkan dengan Ariyo dan seharusnya dia dapat lebih memberikan perlawanan, tetapi dua pukulan awal yang dilancarkan oleh Ariyo tampaknya efektif untuk melumpuhkannya. Ditambah dengan tekanan lutut di atas ulu hatinya yang semakin menusuknya dengan tajam. Dia hanya dapat mengangkat tangannya berusaha melindungi wajahnya sebisa mungkin dari pukulan demi pukulan Ariyo. Usaha yang tidak begitu berhasil. Makin lama mulutnya semakin terasa asin. Rasa asin darah.
            Mulai terdengar keriuhan di sekitar kedua laki-laki tersebut. Orang-orang yang kebanyakan para mahasiswa/mahasiswi Kedokteran terlihat berlarian ke arah mereka. Suara-suara teriakan dan makian terdengar silih berganti. Keadaan yang tidak begitu berbeda dengan saat adanya tawuran. Kacau.
            Beberapa orang mencoba melerai dan menghentikan Ariyo, tetapi laki-laki itu seperti kesetanan dan berhasil meneruskan menghajar Aditya. Perkelahian—atau mungkin pembantaian—tersebut baru benar-benar berakhir saat beberapa orang laki-laki dari angkatan Ariyo berhasil menariknya menjauhi Aditya, meninggalkan laki-laki tersebut terkapar tidak berdaya di atas lapangan dengan wajah bersimbah darah.
            "Ariyo, berhenti! Tenanglah! Tenang!" teman-teman prianya saling berteriak mencoba menenangkan Ariyo yang masih menggeliat-geliat mencoba melepaskan diri dari cengkeraman teman-teman seangkatannya.
            "HENTIKAN!!!"
            Semua orang menoleh ke arah teriakan tersebut. Adiana terlihat berlari diikuti dengan beberapa teman perempuannya mengekor di belakangnya. Dia menerobos kerumunan di lapangan itu dan langsung menghampiri tubuh Aditya.
            Adiana menahan napasnya saat melihat keadaan laki-laki tersebut. Luka menganga di beberapa tempat di wajahnya. Darah mengalir dari kedua lubang hidungnya dan tiap sudut bibirnya. Perasaan ngeri tergambar jelas di wajah gadis itu.
            "Adit! Adit?! Ada apa ini? Apa yang terjadi?" teriaknya sambil memeluk tubuh laki-laki itu. Yang ditanya tidak menjawab apapun. Tidak bisa lebih tepatnya. Yang dapat dilakukannya hanya membuang ludah bercampur darah ke atas lapangan.
Adiana mengalihkan pandangan ke arah Ariyo. "Ryo, apa yang loe lakukan?! Kenapa loe melakukan hal ini?" ekspresi wajah gadis itu menunjukkan kemarahan yang bercampur dengan ketakutan yang mendalam.
Ariyo sudah berhenti mencoba melepaskan diri dari teman-temannya dan membiarkan kedua tangannya dipegangi dengan erat. Dia tidak berkata sepatah kata pun. Dia hanya berdiri diam sambil terus menatap dingin ke arah Aditya. Tatapannya seperti dia sungguh-sungguh ingin membunuh laki-laki itu.
Adiana berdiri dan menghampiri Ariyo dengan tubuh bergetar. "Ryo! Jawab pertanyaan gue! Ada apa ini?! Kenapa loe melakukan ini?!"
Masih tidak ada suara.
"Ryo! Jangan diam saja! Jawab!" Adiana semakin mendekati Ariyo. Jaraknya sekarang tidak ada lima puluh senti di hadapan laki-laki itu.
Ariyo mengalihkan tatapannya kepada Adiana. Dia mengangkat alisnya. Wajah gadis itu terlihat tidak kalah garangnya dengan dirinya tadi. Tetapi ada yang berbeda. Kedua mata gadis itu mengalirkan air mata yang terlihat berkilau bening. Seketika serasa ada sesuatu yang menyedot segala emosinya. Kebuasaan yang terpancar dari wajahnya lenyap.
Ariyo memalingkan pandangan dari wajah gadis itu. Dia tidak mampu melihat eskpresi wajah gadis itu.
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ariyo.
"Ryo! Ada apa ini!"
Laki-laki itu masih tidak menjawab Adiana. Dan gadis itu mengulang pertanyaannya dengan sekali lagi didahului oleh tamparan di tempat yang sama. Pipi kanan Ariyo terlihat berwarna merah. Jelas sekali itu menyakitkan. Tetapi laki-laki tersebut sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun. Dia bahkan tidak mengeluarkan suara apapun. Dia terus memalingkan wajahnya ke samping. Seolah-olah dia memang menyediakan dirinya untuk kembali ditampar.
Adiana sudah mengangkat tangannya dan jelas akan melakukan tamparannya yang ketiga, bila teman-teman perempuannya dari Senat tidak menahan dirinya.
"Ana, sudahlah! Ayo Ana, tenanglah..." ujar teman-temannya seraya menariknya menjauhi Ariyo
Gadis itu tidak melawan tarikan teman-temannya. Dia terus menatap Ariyo dengan penuh amarah. Air mata yang menghiasi kedua matanya terlihat semakin deras mengalir. Gadis itu tidak berkata apapun lagi dan berlutut di samping Aditya. Dia mencoba membantunya berdiri dengan bantuan dari teman-temannya yang lain. Sedikit terhuyung karena berat badan laki-laki tersebut, tetapi akhirnya dia mulai memapah Aditya menjauhi tempat itu.
Setelah beberapa meter, Adiana tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia menarik napas dan menoleh ke belakang.
Adiana menatap Ariyo lekat-lekat selama beberapa saat. Tatapannya menunjukkan perasaannya yang terluka. "Setelah gue mengatakan akan berhenti berhubungan dengan loe, gue selalu mempertanyakan keputusan gue itu. Detik demi detik, gue selalu menganggap bahwa gue sudah melakukan kesalahan yang besar. Gue bahkan merasa kehilangan karena menurut gue, loe adalah seseorang yang sangat baik."
Gadis itu menghapus air matanya dengan sebelah tangan.
"Tetapi apa yang gue lihat hari ini... Apa yang dapat loe lakukan..." Adiana menatap Ariyo penuh kebencian. "Tampaknya gue salah."
Gadis itu membalikkan badannya dan kembali berjalan pergi.
Ariyo menunduk melihat bekas-bekas percikan darah di atas lapangan. Kemudian dia mengangkat wajahnya dan menatap punggung Adiana yang semakin menjauh. Kerumunan di sekitarnya masih memunculkan suara-suara ribut, sesekali namanya terdengar diucapkan dengan keras. Tetapi dia tidak mempedulikannya.
Memang tidak perlu. Semua keriuhan yang ada di sekitarnya, baginya di dalam pikirannya, hanyalah keheningan kosong belaka. Bagaikan berdiri seorang diri di tengah-tengah lapangan luas tanpa batas.
Tangannya terangkat dan menyentuh sekejap bagian pipinya yang masih tampak merah.
Dia tidak perlu mengerti...
Ariyo menghela napas dan tersenyum.
Senyuman getir.


~ (oleh @Satrio_MD)