Tentang 30 Hari Cerita Cinta

Showing posts with label Suatu Ketika Di Suatu Hari. Show all posts
Showing posts with label Suatu Ketika Di Suatu Hari. Show all posts

23 September 2011

Maaf, Sari

"Kok diem? Jawab dong…"
Wildan sepertinya ga tau berapa banyak keberanian dan harga diri yang sedang kupertaruhkan disini. Karena pertanyaan-pertanyaan mudah tidak pernah menjadi benar-benar mudah ketika dipertanyakan pada cowok yang menciptakan perlombaan kura-kura dan kancil di dalam kepala seorang cewek hanya dengan kehadirannya. Di kepalaku.
Mungkin kalau pertanyaan "Mau nonton Captain America dengan aku ga?" ditujukan pada Wening, aku tidak merasa mempertaruhkan apa-apa kecuali isi dompetku. Tapi Wildan… dia terlihat kaget dan salah tingkah saat pertanyaan itu keluar dari mulutku. Lalu kemudian diam dan menunduk, bersikap tidak seperti biasanya. Membuatku merasa bersalah dan bodoh karena telah menanyakan hal itu.
Dan mungkin saat aku pulang nanti, aku akan mengunci seluruh pintu dan jendela rumah agar Aans, si pencetus ide "Ajak-Dia-Nonton-Aja-Haps", tidak bisa masuk ke rumah. Dendamku membara pada Aans yang tidak menyapu di hari minggu itu.
"Sari…"
Wildan akhirnya mengakhiri siksaannya padaku. Dia mulai mengangkat wajahnya dan menatapku dengan tatapan serius, "Maaf, aku ga bisa… Maaf, Sari…"
Aku tertawa. Hanya itu yang bisa aku pikirkan untuk memperbaiki situasi aneh dan harga diriku yang terluka karena penolakan Wildan, yang jujur tidak aku sangka ini, "Halah, wajah kamu segitu seriusnya, Wil… Ga apa-apa kooookkkkk… Ga usah minta maaf… Kata Wening itu film rame, tapi dia udah nonton sama pacarnya jadi ya… Aku ajak kamu…"
Wildan tersenyum kaku, "Aku ada kelas… Duluan ya…"
Aku mengangguk. Tersenyum.
Wildan menepuk pundakku, mengingatkan aku akan kejadian di kamar mandi beberapa bulan yang lalu, "Maaf, Sari..." lalu dia berjalan menjauh dariku. 
Di dalam kepalaku, perlombaan dihentikan karena cuaca mendung. Awan-awan hitam tidak memperbolehkan kura-kura dan kancil berlomba karena hujan badai akan datang. Dan kemungkinan bisa terjadi banjir, yang mengalir sampai ke mataku yang sudah mulai berkaca-kaca.


***




~ (oleh @melillynda)

22 September 2011

Suatu Ketika Di Suatu Hari: #6

"APA!? Dia menolakmu!?"
"Sssttt, Aans… Udah malem, jangan keras-keras…"
"Rumit sekali…" kata Aans mengecilkan volume suaranya, "Reaksinya ga biasa hanya karena ajakan nonton yang merupakan hal biasa. Tapi yah, sebagai sesama cowok, biasanya kita baik sama seorang cewek atau memperlakukan seorang cewek dengan special adalah karena kita nyaman dengannya… Nah, nyamannya ini bisa berarti nyaman sebagai seorang sahabat atau sebagai calon pacar."
"Apapun itu, A… Aans sudah membuat harga diriku jatuh di depan Wildan! Tau ga seberapa malunya aku kalo nanti ketemu Wildan lagi!?"
"Sssttt, Haps… Tengah malem loh ini… Jangan keras-keras…"
Aku terdiam menatap Aans dengan tatapan berkaca-kaca, "Wajah Wildan, A… Saat aku mengajaknya nonton… Aku merasa sudah merusak hubunganku dan dia walau kami hanya berteman…"
Aans terdiam, wajahnya terlihat bersalah, "Um… Kamu tau, Haps… Kalo dia menganggapmu sahabatnya, seharusnya dia ga salah tingkah saat kamu mengajaknya…" katanya mencoba menenangkanku dengan analisisnya, "Tapi, karena dia salah tingkah… Aa pikir dia menganggapmu lebih dari sekedar sahabat…"
Aku menatap Aans bingung, "Hah?"
"Yah… Aa pikir dia punya perasaan sama kamu… Suka sama kamu, Haps…"
"Kalo dia suka sama aku, kenapa dia nolak ajakan nonton aku?"
"Nah… Itu dia… Makanya tadi Aa bilang rumit sekali…"
Aku menaikkan alis kananku dan menatap Aans dengan tatapan membara. Atau menusuk. Yang mana saja boleh, asal Aans bisa merasakan dendamku.
Aans terlihat putus asa, "Hampura atuh, Haps… Aa pikir ngajak nonton itu bisa menjadi salah satu alat buat tau perasaan Wildan…"
Aku menggeleng, alis kananku masih naik.
"Terus Aa harus gimana, Haps? Biar kamu bukain pintu? Banyak nyamuk diluar nih…"
Aku diam dan terus menatap Aans dengan tatapan membara. Atau menusuk. Hanya saja kali ini aku mengangkat kunci yang sedari tadi kupegang di tangan kananku dan melambaikannya dibalik jendela rumah, agar Aans yang berada di luar jendela bisa melihat kunci yang daritadi dia inginkan setelah setengah jam sejak dia pulang. Ya, aku tidak membukakannya pintu sebagai tanda kemarahanku.
"Besok Aa traktir ya?"
"Aku patah hati, Aa!!"
"Sssttt… Cep cep cep… Iya iya… Aa traktir ya besok…" Aans menempelkan kedua tangannya di kaca jendela dan mukanya memelas, "Mau apa, Haps? Nonton? Makan? Baju?"
Sebenarnya aku tahu, bukan salah Aans sepenuhnya… Hanya saja, aku pikir aku memang butuh seseorang untuk disalahkan atas patah hati yang aku rasakan. Dan sialnya, Aans yang kena hanya karena dia menyarankan aku untuk mengajaknya jalan atau nonton di bioskop. Aku mulai menurunkan alis kananku, lalu menghela nafas panjang.
"Besok aku pulang kuliah jam tiga sore. Jemput di kampus. Aku mau nonton, mau makan, sama mau baju…" kataku sambil mulai memasukkan kunci ke lubang kunci pintu rumah. "Dan jangan lupa, Aa harus nyapu tiap pagi selama seminggu!"
"Yah, Haps… Masa semuanya Aa harus…"
Aku menatap Aans dengan tajam dibalik jendela, menahan gerakan memutar kunci di lubang kunci.
"Nonton sama makan aja ya, Haps? Nyapunya tiga hari aja ya? Ya? Ya? Ya?"
"Empat hari! Kalo ga, ga dibukain nih!"
Aans terlihat berpikir sejenak lalu akhirnya mengangguk, "Iya iyaa…"
Aku tersenyum lalu memutar kunci sehingga pintu rumah terbuka. Aans berjalan masuk dengan langkah lemas. Aku memeluk tangan kanan Aans, "Sayang deh sama Aans…" kataku mesra. "Besok jam tiga di kampus aku…"
"Rumit sekali…" Aans menghela nafas, "Tau gini tadi ga ikut maen biliar deh…"
Aku melepaskan pelukanku, tidak peduli dengan perkataan Aans, lalu menutup pintu dan menguncinya, "Met bobo, Aans…" kataku ngeloyor masuk ke kamarku.
***


~ (oleh @melillynda)

16 September 2011

Wildan (Lagi)

"Kamu lagi apa, Haps?"
Aans berdiri di depan pintu kamarku yang tidak kututup. Tangan kanannya memegang benda keramat sejuta umat, blekberi, sedang tangan kirinya menganggur. Duh itu tangan kiri, bisa dipake buat pegang gagang sapu tuh, biar ga nganggur… Nyapu-nyapuuuu gitu…
"Woi, lagi apa? Ditanya malah ngelamun…" katanya sambil nyelonong dan merebahkan dirinya di kasurku. Dari setelannya yang cuma pakai celana pendek kotak-kotak warna biru dan hitam serta kaos warna putih dengan tulisan "Radiohead" warna merah di tengah-tengahnya, dia tidak berencana keluyuran. Tumben. Padahal hari Minggu pagi begini biasanya udah berenang di lautan manusia di Car Free Day Dago sama temen-temennya.
Lalu dia mulai mengotak-atik blekberinya. Aku kembali menatap laptopku setelah tadi sempat teralih oleh kehadiran Aans yang ga jelas maunya apa. Padahal kalau nganggur gitu kan bisa sambil nyapu-nyapu gitu…
"Nulis ya? Baca dong, Haps… Bosen nih gue…"
Nyapu aja sih! Daripada bosen!
Aans lalu bangkit dan ikut duduk leseh di sampingku, seolah tidak bisa mendengar jeritan batinku. Tanpa basa-basi, dia memberi isyarat padaku untuk menyingkir dari depan laptop supaya dia bisa puas dan nyaman saat membaca tulisanku. Aku menurutinya, menyingkir, berdiri, dan merebahkan diri di kasur sambil memikirkan rumah yang belum kusapu.
"Apa nih? 'Suatu Ketika Di Suatu Hari'? Judul yang aneh.." komentar Aans saat membaca judul tulisanku. Begitulah Aans, walau dia kalong, eh cowok, tapi dia tidak pernah menertawakan hobiku yang suka menulis-nulis. Malah dia suka membacanya, walau tulisanku masih amatir, tapi dia tidak pernah memperlihatkan wajah bosan saat membaca ceritaku. Romantis sih... Tapi lebih romantis lagi kalau dia nyapu… Ah susah deh punya mental babu kaya aku.
FYI, tulisanku memang sudah menumpuk di suatu folder di laptop sejak lama dan tidak pernah kupublikasikan di dunia maya. Aku menyimpannya untuk diri sendiri, dan kubagi hanya untuk orang-orang yang benar-benar dekat denganku, karena aku tidak siap mendengar komentar atau tawa meremehkan orang lain setelah membaca tulisanku. Aku bukan orang yang percaya diri, singkatnya. Aku benar-benar bukan orang yang memiliki sifat percaya diri, panjangnya.
"Haps…" panggil Aans, menandakan dia sudah selesai membaca tulisanku yang masih belum selesai itu. Dari wajahnya, terlihat Aans sudah gatel ingin mengomentari tulisanku. Aku mendudukkan diriku di kasurku, "Kata Wening sih cerita itu kaya cerita cinta yang ga romantis dan cerita komedi yang ga lucu…" kataku sambil memeluk gulingku.
Aans terlihat tidak peduli dengan komentar Wening yang barusan kuucapkan, "Suka banget ya kamu sama si Wildan-Wildan ini?"
Aku bengong. Tulisanku yang berakhir di 'Untuk pulang?' itu sama sekali tidak dikomentari si Aans. Aans malah terlihat lebih tertarik dengan perasaan dibalik tulisanku itu.
"Dan… Kamu ngasih judul 'Suatu Ketika Di Suatu Hari' ini karena ini harapan kamu ya? Kamu ga bisa nentuin waktu yang tepat karena kamu sendiri sebenernya ga tau bakal kejadian atau ga, kan? Bener ga?" tambah Aans, akhirnya mengomentari tulisanku.
Duh. Isi komentar tentang tulisanku sih kurang lebih sama dengan komentar Wening. Apa segitu jelasnya ya? Harapanku pada Wildan di tulisanku itu. Harapan untuk menjadi kekasihnya? Tapi tidak berani benar-benar berharap karena Wildan itu temanku. Dan yah… Wildan pun memandangku hanya sebagai temannya juga.
Aku menaruh gulingku di kasur lalu duduk bersila di depan Aans, "Aku sama Wildan itu kenalnya sudah 6 bulan, A… Tapi aku ngeceng dia baru 2 bulan terakhir…"
"Kenapa bisa ngeceng tiba-tiba hayoh?"
"Aans yakin mau denger cerita aku? Ga ada acara?"
"Halah, santei, Haps… Kamu aja bersedia nunggu Aa pulang malem-malem, masa Aa ga bisa ngeluangin waktu buat denger cerita kamu?"
Sebenernya lebih tepat "terpaksa" sih daripada "bersedia".
"Jadi kenapa kamu bisa tiba-tiba ngeceng Haps?" tanya Aans terlihat tertarik, "Eh bentar ada BBM masuk, bentar dibales dulu bentar… Bentar, Haps…" kemudian dia sibuk memencet keypadnya sambil menggumankan apa yang dia ketikkan, "Ka… leum… bray…  Keur… ri… weuh…" lalu dia menaruh blekberinya dan kembali menatapku dan masih memperlihatkan wajah yang tertarik dan siap mendengar ceritaku.
"Aans inget Herdi?"
"Herdi? Mantan kamu yang punya mantan yang udah pacaran dengannya selama lima tahun terus putus gara-gara mantannya selingkuh terus ketemu kamu dan jadian sama kamu selama beberapa bulan yang akhirnya dia mutusin kamu gara-gara masih sayang sama mantannya dan pengen balikan itu? Ga… Ga inget. Kenapa?"
Aku memasang muka males, "Aans…"
Aans tersenyum cengos, "Ingetlah inget… Kenapa?"
"Dua bulan yang lalu, pas baru diputusin banget sama Herdi lewat BBM, aku baru selesei kuliah. Wening lagi ga masuk waktu itu, soalnya ada saudaranya nikah di Padang. Yah, namanya juga diputusin, A… Pengen nangis tapi ditahan-tahan dan ga ada temen yang bisa nemenin nangis. Dan sama temen-temen sekelas yang lainnya sih aku kan ga begitu akrab…"
"Mau nangis kok milih-milih? Dasar cewe…" lalu Aans melihat muka yang kembali terlihat males, "Lanjut, Haps!"
"Intinya waktu itu aku ga langsung pulang, tapi diem di toilet cewek. Kebetulan emang kelas seleseinya sore-sore dan gedung kuliah udah mulai sepi. Jadi nangis deh aku, A… Di toilet… Persis kaya Myrtle Merananya Harry Potter deh kerasanya… Nangisnya ga ditahan-tahan, bunyi gitu, kan mikirnya udah ga ada orang… Eh tau-tau, si Wildan nyelonong masuk, A! Toilet cewek loh itu! Toilet cewek!"
"Iya… Iya…"
"Terus udah gitu, A…"
***
Aku bengong.
Kamu bengong.
Tapi aku merasa menjadi orang bengong terjelek sekamar mandi di dunia. Mataku merah, maskaraku luntur oleh air mataku, membuat daerah sekitar mata bawahku hitam-hitam. Hidungku merah dan beringus. Rambutku abstrak karena sempat kuacak-acak sebagai cerminan hatiku yang sedang ga karuan. Dan aku sempat berpikir untuk mengirim surat protes pada siapapun yang menciptakan kalimat, "Cewek yang menangis itu cantik…" karena aku tidak merasa cantik saat menangis!
Dan sekarang dihadapanku berdiri kamu, seorang cowok yang kukenal selewat saja. Kamu, teman sekelasnya teman SDku yang kebetulan masuk fakultas yang sama denganku tapi berbeda jurusan. Kamu, yang kadang kusapa saat berpapasan juga yang pura-pura tidak aku kenal saat malas menyapamu. Kamu, yang tidak terlalu kuingat namanya. Kamu, yang ternyata menjadi kecengan banyak cewek-cewek. Kamu, cowok cakep yang sama sekali bukan tipeku.
Dan ya, kamu adalah orang bengong tercakep sekamar mandi di dunia. Berdiri mematung dan yang kamu lakukan hanya menatapku. Perlahan wajah bengong memudar dan digantikan oleh senyuman. Senyuman yang rasanya tidak pernah kulihat sejak teman SDku mengenalkanmu.
Senyumanmu membuatku tersadar dan dengan refleks menutup mukaku dengan kedua tanganku dan membalikkan badanku sambil berteriak, "Ini toilet cewek!!!!"
Kamu diam saja. Tidak menanggapi teriakanku yang bersifat mengusir. Lalu tiba-tiba aku merasakan tanganmu di pundakku, seolah memintaku tidak memunggungimu. Tapi aku tidak bergeming, aku tidak mau wajahku yang abstrak ini dilihat oleh siapapun, apalagi dilihat cowok yang tidak terlalu  kukenal. Dan tanganmu, sama keras kepalanya dengan aku, tidak mau menyingkir dari pundakku. Tidak ada yang mau mengalah.
Membuatku berpikir bahwa mungkin kalau aku berbalik dan kamu melihatku, kamu akan puas dan pergi. Puas menertawakanku lalu pergi menceritakannya pada teman-temanmu juga teman SDku. Dan rasanya dengan kondisi patah hati ini, aku sudah tidak peduli lagi. Jadi aku berbalik sambil membuka tanganku yang menutupi wajah abstrakku, lalu disaat aku membuka mulut hendak memaki dan mengusirmu, kamu menepuk-nepuk kepalaku dengan sangat lembut, seolah berkata, "Tidak apa-apa… Keluarkan saja..." Tidak ada tatapan mengejek di matamu melihat wajah abstrakku, justru tatapanmu sangat lembut dan ramah, selembut tepukanmu di kepalaku.
Aku mencoba menganalisis apa yang sedang terjadi disini, di toilet cewek ini. Tapi sakit hatiku akibat diputuskan pacarku membuatku terlalu lelah untuk menganalis. Yang ingin aku lakukan sekarang hanyalah menangis. Menangis dihadapan seseorang yang tidak terlalu kukenal. Yang masih tidak bisa kuingat namanya. Yang memergokiku sedang menangis dan berwajah jelek. Yang tidak berkata atau bertanya apa-apa. Yang menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut.
Dan aku menangis…
***


~ (oleh @melillynda)

15 September 2011

Suatu Ketika Di Suatu Hari: Wildan

"Sar…"
Tetiba genggamanku pada sendok makanku menjadi sedikit lebih kencang. Suara yang akhir-akhir ini menjadi pistol yang ditembakkan ke udara, tanda kura-kura dan kancil harus segera berlomba lagi. Wildan sudah berdiri saja di samping mejaku tanpa aku sadari. Tidak memberiku waktu untuk mempersiapkan mental. Membuatku harus merasa sibuk dengan batagor yang lagi tenang berendam di kuah panas.
"Sama siapa?" tanyanya sambil melepaskan tas punggung warna hitam atau biru dongker itu dari punggungnya dan menaruhnya di kursi seberang kursi tempatku duduk.
"Sama Wening. Tuh! Dia lagi sibuk ngeprint tugas buat kuliah nanti jam 1…" kataku sambil menunjuk tempat rental computer yang letaknya bersebelahan dengan kantin. "Kamu? Kok tumben sendirian?"
"Emang biasanya aku sama siapa?"
"Sama siapa aja boleh… Yang penting soleh…"
Wildan terkekeh. Dia selalu terkekeh mendengar aku yang garing dan asal bicara. Yang kalau kulakukan pada Wening, muka Wening akan terlihat seperti jangkrik yang ga punya sayap. Aku juga belum pernah liat sih muka jangkrik yang ga punya sayap kaya apa, tapi kurang lebih begitu deh. Nusuk.
Lalu Wildan pun akhirnya memutuskan untuk duduk di tempat dia menaruh tas punggungnya sementara tas punggungnya ditaruh di kursi sebelah kursinya duduk. Tak sampai 5 detik, dia berdiri lagi sambil berkata, "Lupa kan? Tadi sengaja ga langsung duduk soalnya mau mesen dulu… Bentar ya, Sar!"
Aku mengikuti gerakan Wildan yang berjalan menjauhiku menuju kasir kantin. Memperhatikannya. Hari ini dia menggunakan jaket warna coklat kopi dengan bahan cardigan dan modelnya menyerupai mantel musim dingin seperti di film-film Barat. Membuat tubuhnya yang cukup tinggi dan cukup kurus itu menjadi semakin terlihat jelas. Aku suka kalau dia menggunakan jaket itu, warna coklat kopi cocok dengan kulitnya yang cukup putih itu. Cakep.
Ah, dan perlombaan kura-kura dan kancil yang cukup seru tadi mulai membosankan kalau Wildan tidak ada disini. Keduanya tidak bersemangat. Mungkin butuh asupan batagor kuah lagi. Sedikit merasa bersalah juga mengganggu ketenangan batagor-batagor yang sedang berendam di kuah panas ini, tapi yah mau bagaimana lagi… Takdir.
BRUK!
Wildan menaruh tas punggungnya di meja. Sebenarnya lebih tepatnya membanting sih daripada menaruh. Batagor-batagor di mangkuk sampe kaget. Jangankan batagor, aku saja kaget.
"Eh, maaf… Kaget ya? Ga maksud, Sar…" katanya kalem. Lalu kura-kura dan kancil di dalam kepalaku mulai berlomba lagi. Hap hap hap!
"Iya, aku juga ga maksud buat kaget kok, Wil…" sahutku tersenyum (sok) manis. "Mesen apa kamu?"
"Mie goreng dua porsi…"
Aku tak menyahut lagi. Aku membiarkan diriku sibuk menyelesaikan takdir batagor-batagor yang sedang berendam ini di mulutku. Aku memang tak suka menatap Wildan lama-lama. Rasanya seperti menatap matahari, menghangatkan tapi juga membakar kalau terlalu lama. Wildan itu cakep bukan karena dia kecenganku, tapi memang wajahnya cakep. Sifatnya yang pendiam dan tenang menambah daya tariknya pada cewek-cewek di jurusan dan fakultasnya sendiri maupun jurusan dan fakultas lain.
Aku pikir, mungkin karena aku bukan satu-satunya cewek yang berdoa meminta Wildan pada Tuhan lah, yang membuat Tuhan bingung doa siapa yang akan dikabulkan. Duh…
"Hun, punya dua ratus? Kurang dua ratus nih buat  bayar print! Eh, halo Wildan! Udahan kuliahnya?"
Iya, itu Wening. Multi-tasker sejati. Saat telapak tangan kirinya terbuka menunggu aku memberinya dua koin seratus, mata dan tangan kanannya sibuk dengan blekberinya, dia sempat menyapa Wildan sambil tersenyum sekilas, lalu sibuk kembali dengan blekberinya, dan ngeloyor pergi begitu mendapat dua koin seratus dariku.
"Padahal aku mau jawab pertanyaan dia loh…" kata Wildan pura-pura terlihat sedih. Aku memasukkan batagor terakhir ke dalam mulutku, "Ngejawab pertanyaan dia sih termasuk salah satu perbuatan yang merugi, Wil…" sahutku sambil mengunyah dan tanpa sengaja menatap matanya. Mata coklat itu sedang menatap lurus ke mataku. Mengunci mataku di dalam tatapannya.
Lalu Wildan tersenyum manis.
Tidak seperti biasanya.
***
Acara TV malam ini tidak berhasil membuat aku merasa menunggu kakakku, Aans, pulang itu menyenangkan. Abah dan Ibu sudah pamit duluan buat tidur dan menyerahkan masalah menunggu Aans pulang ini padaku. FYI, Aans itu singkatan dari Aa Anshar. Aans pun membalas panggilanku dengan memanggilku, "Haps" yang kemudian diikuti oleh Abah dan Ibu. Nama asli kakakku sih sebenarnya Anshari Suhendra. Jarak usia kami hanya berbeda 2 tahun. Dia memang sering pulang malem. Keluyuran.
Namanya juga laki-laki, kata Ibu.
Namanya juga kalong, kata Abah.
Karena kebiasaannya yang sering pulang malem, dulu dia memegang duplikat kunci rumah sehingga tidak ada yang perlu repot-repot menunggu dia. Dan karena sifatnya yang sembarangan dan berujung pada hilangnya duplikat kunci rumah lah yang membuatku jadi si penunggu kalong. Eh kakak.
Aku membuka timeline dan Wildan ada di paling atas. Dia baru saja ngetweet beberapa detik yang lalu. Kubaca.

@willandknight My name is Wildan. And I'm not a terrorist.

Baiklah. Mari bersenang-senang. Kutekan pilihan "Retweet".

@haphapsarsar My name is Hapsari. And I'm a masochist. RT @willandknight: My name is Wildan. And I'm not a terrorist.

Dan dimulailah percakapan 140 karakter kami. Yiihhaaaa!

@willandknight Masochist apa, Sar? RT @haphapsarsar: My name is Hapsari. And I'm a masochist. RT @willandknight: My name is Wildan. And I'm not a terrorist

Lalu…

@haphapsarsar Itu loh.. Saos yang biasa dipake di salad atau masakan barat gitu.. RT @willandknight: Masochist apa, Sar? RT @haphapsarsar: My name is Haps

Kemudian…

@willandknight Itu mayonnaise! :)) RT @haphapsarsar: Itu loh.. Saos yang biasa dipake di salad atau masakan barat gitu.. RT @willandknight: Masochist apa,

Terus…

@haphapsarsar Iya, dibacanya mayonnaise. Ditulisnya masochist. #kemudianhening RT @willandknight: Itu mayonnaise! :)) RT @haphapsarsar: Itu loh.. Saos yan

Dan…

@weningnangnung ditulisnya narsis. Dibacanya NAJIS. RT @haphapsarsar: Iya, dibacanya mayonnaise. Ditulisnya masochist. #kemudianhening RT @willandknight: Itu ma

Sekian.
Ingatkan aku untuk menusuk si Wening pake bambu runcing besok pas ketemu. Grr...


- (oleh @melillynda - http://anakdewasa.tumblr.com)

14 September 2011

Suatu Ketika Di Suatu Hari: Duh. Wening. Aw.

“Aku pikir kamu sedang menulis kisah cinta, hun…” komentar sahabatku yang sedang mampir ke rumahku sehabis membaca tulisanku yang masih belum selesai di laptopku. “Ceritamu yang berjudul ‘Suatu Ketika Di Suatu Hari’ ini lebih seperti kisah cinta yang ga romantis dan kisah komedi yang ga lucu…”
Duh. Sahabatku yang satu ini, Wening Permata Sari, walau telah bersahabat selama kurang lebih 7 tahun serta memiliki unsur nama yang sama denganku, tidak membuat komentarnya padaku menjadi lunak. Panggilan sayang dia padaku adalah “Hun”, sayangnya “Hun” itu bukan kependekan dari kata “Hunih” (yang berasal dari kata “Honey”), melainkan kependekan dari “Huntu” (bahasa Sunda yang berarti “Gigi”). Tiap aku tanya kenapa “huntu”, Wening malah memberiku kiat-kiat memilih pupuk yang baik. Dan begitu aku tanya kenapa nyambung ke pupuk, dia akan memberiku pengetahuan bagaimana gerhana matahari terjadi. Kurang lebih begitu.
Kalau aku sih tidak punya panggilan sayang pada Wening, tapi aku sayang dia kok. Saking sayangnya, kadang aku berkhayal ingin menusuk-nusuk dia dengan apapun yang aku punya. Sebab Wening itu selalu…
“NUSUK!”
Tuh kan. Baru juga mau dibahas. Duh, sahabatku yang satu ini.
“Nusuk banget deh cerita kamu ini, Sar…”
“Nusuk apanya? Ada juga kamu mau aku tusuk pake sikat gigi!”
“Kok sikat gigi?”
“Yah…” aku menghentikan aktivitas twitteranku, “Yang kepikiran itu…”
“Daripada sikat gigi mending tusuk gigi deh, Sar…”
“Jadi itu kenapa tulisan aku NUSUK kamu?” tanyaku penasaran. Lebih penasaran daripada kenapa Wening lebih memilih ditusuk sama tusuk gigi daripada sikat gigi. Sikat gigi yang tumpul jelas ga akan sakit. Tapi kalau sama tusuk gigi kan sakit. Aw.
“Nusuk karna cerita kamu dan Wildan di café suatu ketika di suatu hari nanti itu cuma bayangan kamu aja! Nusuk juga karena sudah beribu-ribu kali kamu menunggu momen itu, momen dimana Wildan sedang berusaha nembak kamu tapi bahkan sudah kamu tuliskan pun, kamu ga bisa nulis pernyataan nembak Wildan ke kamu karena kamu dan Wildan cuma temenan!” jawab Wening menggebu-gebu.
Duh. Yang barusan dia bilang sih beneran nusuk semua. Wening menatapku dengan tatapan menantang, “Apa? Salah?” tanyanya dengan nada yang tak kalah menantang dari tatapannya.
Duh. Sial.
Ketusuk deh. Aw.


- (oleh @melillynda - http://anakdewasa.tumblr.com)

13 September 2011

Suatu Ketika Di Suatu Hari: Kura-kura, Kancil, dan Wildan

Suatu ketika di suatu hari, ada tanganku di dalam genggamanmu di suatu café di suatu jalan daerah Bandung. Dinginnya udara Bandung malam itu, membuat tanganku merasa lebih nyaman di dalam genggamanmu. Seolah tanganku sudah menemukan rumah yang selama ini tidak ditemukannya di genggaman pria lain. Membuatku merasa waktu adalah seekor kura-kura. Lambat tanpa khawatir terlambat. Berbeda dengan debar jantungku. Debar jantungku persis seperti kancil yang selalu tergesa-gesa. Cepat dan tak beraturan.
Dan disanalah, di suatu café di suatu jalan daerah Bandung. Seekor kura-kura berlomba dengan seekor kancil didalam kepalaku. Perlombaan yang cukup seru sampai akhirnya berhenti di tengah jalan karena kamu berdeham. Membuatku ingin menatap wajahmu tapi tidak cukup berani untuk melakukannya. Genggamanmu bertambah erat. Membuatku mau tidak mau menatap wajahmu. Menatap matamu yang menatap lurus kepadaku.
"Hari ini senang sekali…" katamu sambil tersenyum. "Seharian bersamamu, Sari…"
"Aku juga senang kok, Wil…"
Lalu kamu mendekatkan wajahmu kepada wajahku. Membuat kura-kura dan kancil didalam kepalaku mulai berlomba lagi. Tanganku masih berada dalam genggamanmu, untungnya. Lalu kamu berkata dengan suara sedikit berbisik, "Rasanya sudah waktunya, Sari…"
"Untuk pulang?" sahutku sembarangan walau dengan muka serius.
Kamu terkekeh. Wajahmu sedikit menjauh dari wajahku dan genggamanmu sedikit melonggar. Diam-diam aku memarahi diri sendiri karena telah merusak suasana manis menjadi segar. Seperti rujak. Selain segar juga kecut. Duh.
"Hapsari Suhendra…" katanya menyebut nama lengkapku.
"Iya Wildan Satria Putra?" aku tak mau kalah.
"Kita sudah saling mengenal diri masing-masing cukup lama dan…"
"6 bulan…" kataku memotong. "Sudah 6 bulan kita kenal…"
Kamu menatapku dengan alis berkerut. Tidak suka kupotong kalimatmu. Membuatku membuat gerakan menutup resleting di mulutku. Kamu menatapku cukup lama sampai akhirnya kerutan di tengah alis-alismu hilang dan kembali melanjutkan kata-katamu, "Kita sudah saling mengenal diri masing-masing cukup lama dan…"
Lalu kamu menghentikan kalimatmu tanpa harus aku potong. Mendekatkan wajahmu kembali ke wajahku dan genggamanmu bertambah erat membuat kura-kura dan kancil semakin kencang berlomba di kepalaku, "Dan, Sari, aku rasa sudah waktunya…" 
"Untuk pulang?"




- (oleh @melillynda - http://anakdewasa.tumblr.com)