Tentang 30 Hari Cerita Cinta

04 October 2011

Mantan Terindah

4 Tahun kemudian
"Selamat 4 tahun sayang" sebuah ucapan dari Randi kepadaku sambil menyodorkan sebuah cincin.
"Sayang….." hanya kata itu yang keluar dari mulut aku.
"Tasya Kinanti Putri, maukah kau menikah denganku" sebuah kalimat yang akan mengubah hidupku keluar dari mulut Randi, pria yang telah 4 tahun ini menemani aku dan memberiku kebahagiaan.
"Randi Putra Alamsyah….aku mau" jawabku sambil memeluk Randi dan sebuah cincin cantik dipasang Randi di jari manis sebelah kiriku.
"Terima kasih sayang kamu terima lamaran aku. Malam minggu ini aku ngomong ke papa kamu ya Sya" Randi melanjutkan omongannya dengan kalimat-kalimat yang membahagiakan aku.
Malam minggu ini Randi bertemu dengan papaku, kemudian dilangsungkan pertemuan keluarga dan tanggal pernikahan aku dan Randi diputuskan akan di laksanakan pada bulan Maret tahun depan. Tinggal lima bulan lagi berarti aku resmi menjadi nyonya Randi.
***
Entah mengapa saat hubunganku dengan seseorang sudah berjalan lama, Galang seolah-olah kembali muncul ke dunia ini tepatnya dunia ku. Seperti saat ini, disaat aku sedang mempersiapkan pernikahan aku, Galang kembali muncul kembali.
"Tasya, aku mau minta maaf ya  buat semuanya dan aku janji akan berubah." Galang menelpon aku malam ini, memohon minta maaf dengan suaranya yang  sejujurnya selalu membuat aku meleleh.
"Galang, aku udah maafin kamu dari 4 tahun yang lalu kok" jawabku sambil mencoba menetralisir perasaan.
"Tasya, Aku mau kita coba buat bareng-bareng lagi. Aku tahu kok kamu masih sayang sama aku juga kan?" Galang berbicara dengan penuh percaya diri.
"Galang…kamu PeDe banget sih ngomong kayak gitu!" jawabku secara tegas tapi entah mengapa aku tidak marah Galang berbicara seperti itu.
"Aku punya keyakinan itu Sya" kembali menjawab dengan kalimat yang percaya diri.
" Galang, bersama kamu, menjadi pacar kamu memang menyenangkan, aku senang kamu datang lagi. Aku ma'kasih buat semuanya, tapi Galang bersahabat dengan kamu pasti akan jauh lebih menyenangkan."
"Aku ngga mau jadi sahabat kamu, aku maunya jadi pacar kamu Tasya"
Semua kenangan aku dan Galang seperti diputar dihadapanku, semua kenangan indah terpampang disana, semua kesenangan bersama Galang membuat hatiku kembali bergentar, semua hal manis yang Galang lakukan kepadaku hadir kembali. Aku terdiam dan menjawab Galang:
" Maaf  Galang, kita sudah coba dua kali dan selalu gagal dan aku sudah punya Randi yang akan menjadi pria terakhirku" jawabku dengan nada yang lebih tegas.
"Kamu mau nikah ya sya?" suara Galang melemah.
"Iya Galang, sebentar lagi tepatnta. Jadi kamu ngertikan. Kita tetap bisa berteman kok toh awalnya kita juga berteman" aku mencoba memberi penjelasan kepadanya.
Bukan Galang namanya kalau menyerah begitu saja, walaupun dia tahu aku akan menikah dan bulan depan akan tunangan. Intensitas Galang menghubungi aku semakin meningkat, bbm dan telpon. Aku bertahan untuk tidak merespon itu semua karena aku menjaga hubungan aku dengan Randi.
Semakin aku tidak merespon, Galang semakin membuka semua memori yang pernah aku dan Galang lalui dan terkadang aku ikut terbuai dalam memori-memori itu. Terakhir, Galang mengajak aku untuk bertemu. Kembali bertemu sejak hampir 4 tahun tidak pernah bertemu.
To Be Continue


Mau dikatakan apa lagi, kita tak akan pernah Satu
Engkau disana, aku disini meski hatiku memilihmu
Yang telah kau buat sungguhlah indah, buat diriku susah lupa
(Mantan Terindah-Kahitna)


~ ( oleh @nongdamay)

#22: Retrace (pt 2)

Brooklyn adalah salah satu kota terpadat selain New York dan Manhattan. Letaknya yang berada di kawasan Long Island memungkinkanku melewati Brooklyn Bridge yang menjadi penyambung kawasan Manhattan dan Brooklyn. Pemandangan Sungai East juga menghibur mataku. Rumah Adrian yang sudah direnovasi terletak tidak jauh dari Sungai East dan jalan raya. Meski masuk sebagai salah satu wilayah terpadat, aku tidak melihat banyak kendaraan dan orang-orang melintas di sini.
"Home sweet home!" seru Adrian begitu membuka pintunya. "Gimana? Bagus, kan?"
Mataku terpaku memandang wallpaper berwarna biru laut dengan corak abstrak. Beberapa perabotannya masih ditutupi plastik, hanya dapur saja yang perabotannya sudah siap untuk dipakai.
"Ada berapa kamar di sini?" tanyaku penasaran. Rumah ini tidak seluas rumah Ares di Norfolk dan terhimpit dengan rumah-rumah lainnya.
"Baru dua. Appa rencananya mau renovasi lagi rumah ini jadi dua lantai," jawab Adrian. "Tapi, kurasa, begitu menikah nanti, aku nggak mau tinggal di sini."
Alisku terangkat. "Kenapa?"
Matanya melirik padaku. "Kamu mau tinggal di sini?"
Aku diam termenung dan mengolah maksud dari pertanyaannya itu. "EH? APA? You want to marry me?* HAH!"
Kami tergelak selama beberapa detik, sebelum Adrian mempersiapkan makan malam. Aku tahu, ada sebagian dari diri Adrian yang menganggap pertanyaan tadi serius. Tapi, aku belum bisa menjawabnya. Aku masih butuh waktu.
"Dita," katanya setelah kami selesai makan, "I wanna ask you something."
"Apa?"
"How much Ares means a lot to you?"
Such a deep question, with a deep answer too. Bibirku mengulum; memikirkan jawaban apa yang tidak panjang, tapi cukup mengena. "He means a lot to me. Maksudku, Ares... dia adalah orang pertama yang tanpa banyak basa-basi ingin menjalin hubungan denganku. Bagi wanita, tidak ada perasaan yang lebih menyentuh dibanding dengan dicintai seseorang yang berarti baginya. Meski pada akhirnya, aku tahu dia tidak mencintaiku sepenuhnya. Tapi, tetap, dia pernah berada di hatiku."
"With all the imperfections he has?"
Aku mengangguk mantap.
Adrian menghela nafas panjang; jari-jarinya mengetuk meja dengan gelisah.
"Bagaimana kalau seandainya dia menawarkan kesempatan kedua?"
Déjà vu. Aku ingat Adrian pernah menanyakan hal ini dua tahun yang lalu.
Jawabannya jelas berbeda. Mataku menatapnya lebih lama dan membuat Adrian salah tingkah.
"Tolong, Dita, jangan jawab pertanyaan ini karena ada aku," pintanya dengan senyum getir. Tapi, menurutku, ada atau tanpa Adrian, jawabannya memang akan selalu berubah.
Tapi, aku juga bukan Yudika – aku bukan orang yang seobsesif itu. Hatiku memang meronta-ronta saat bertemu Ares dua tahun yang lalu di Wal-Mart. Aku masih berpikir kami bisa kembali setelah bertemu di apartemen Ares. Namun, aku tetap tidak bisa mencintai orang yang pernah menyakiti perasaanku dua kali.
Ponselku berdering; memecah keheningan. Dari Ares.
Mataku mengerling pada Adrian sejenak. "H-Halo?"
"Dita? Kamu ada dimana sekarang?"
Telingaku menangkap keriuhan di belakangnya. Bukan suara hujan, tapi orang-orang yang sedang berteriak. Mataku membelalak. Crowd konser?
Kamu nggak tahu hari ini dia pergi ke Norfolk?
Apa dia sedang berada di The NorVa?
"Dita?" ulangnya lagi.
"Ar, aku ada di Brooklyn, kenapa?" Adrian beranjak dari kursi dan pergi ke ruang tamu untuk memberi privasi. Atau mungkin merasa terintimidasi. "K-Kamu di mana?"
Tidak ada jawaban sejenak selain koor panjang dari orang-orang di sana.
"Jangan tutup teleponnya."
Keriuhan itu melemah ketika seseorang mengetuk-ngetuk mic dan dugaanku bahwa Ares sedang berada di tengah konser semakin kuat saat suara gitar dan drum terdengar di sana. Kemudian, orang tadi – laki-laki – bicara, "I hope you all now aren't in a broken hearted feeling. Because, this song will, yeah, probably kill you in a second."
Ada beberapa orang yang tertawa dan orang itu melanjutkan, "We're gonna play it in acoustic. This song is called Retrace."
Dahiku mengerut. Retrace? Anberlin? Ares di konser Anberlin?
Orang tadi pasti Stephen Christian.
Intro lagu mulai dimainkan. Jariku mati rasa.
*Oh how I've tried to get you out of my head
*And I lied, the broken words I said
*Never thought I'd walk on this street again
*Standing where it all began*
Rintik hujan mereda dan sayup-sayup, aku bisa mendengarkan Stephen menyanyikan lagunya. Well, aku sebenarnya bukan penggemar Anberlin, tapi ada beberapa lagu mereka yang aku sukai. Salah satunya Retrace dan entah kenapa, aku merasa Ares sengaja memintaku untuk mendengarkan lagu ini.
Seperti yang dia lakukan di konser We Are the in Crowd.
Oke, should I notice something on the lyrics?
*Oh how now I find, every subtle thing screams your name
*It reminds me of places and times we shared
*Couldn't I've locked in these memories
* Now I'm chained to my thoughts again
Rasanya ada panah tak terlihat yang menembus jantungku dari belakang.
Air mataku meleleh dan punggungku merosot di kursi seperti lemas kehabisan tenaga. Tanganku hampir saja melepas ponsel, tapi kemudian aku menggenggamnya semakin kuat. Ares memang sengaja pergi ke Norfolk. A place where we met. A place where we shared our love. A place where we separated.
Did he retrace our memories? For what?
Ares belum mengatakan sepatah kata pun – padahal aku yakin dia bisa mendengar isakanku yang semakin keras. Sementara Stephen terus bernyanyi bersama para penonton.
Di paruh terakhir lagu, aku hampir seperti orang yang kehabisan oksigen.
*And nowhere else has ever felt like home
*And I can't fall asleep when I'm lying here alone
*I replay your voice, it's like you're here
*You moved the earth, but now the sky is falling...
*Retrace the place we took on that lost summer night
*In my mind, I'm back by your side
*Retrace the steps we took when we met
*worlds away, counting backwards while the stars are falling...
Tepuk tangan bergemuruh – menyaingi suara isakanku.
"Still there, Aphrodite?" tanyanya khawatir.
Dengan susah payah, aku menjawab, "M-Maksud kamu apa, Ar?"
"Tunggu sebentar."
Sambil menunggu Ares bicara lagi, tanganku menarik tisu dari kotaknya di atas meja untuk menghapus air mataku. Saat Ares kembali, keriuhan konser tadi sudah hilang. Aku rasa, dia sengaja pergi ke luar dari venue agar bisa mendengar suaraku dengan jelas.
"Kamu udah buka paket yang aku kasih?"
"I-Iya. Kenapa?" Uh, kok malah nanyain paket, sih?
Ares menggumam sejenak. "What did you get?"
"Mug, kacang giling... itu aja." Sekarang aku jadi penasaran. "Emang ada apa lagi?"
"Cuma itu?" Dari suaranya, Ares terdengar sangat kaget. "Well, in case you din't find or notice, there was a blue envelope. *Di dalamnya... ada tiket konser Anberlin malam ini di The NorVa."*
Seketika itu juga, punggungku tegak kembali. "A-Aku nggak nemu, Ar."
Dia menarik nafas panjang dan menciptakan keheningan yang panjang selama satu menit. "Seharian ini, aku nunggu telepon dari kamu. Berharap kamu nanya maksud aku ngasih tiket itu. Tapi, sampai aku di Norfolk... I didn't get you message or call. Aku pikir, kamu memang sudah melupakan semuanya,
terlebih lagi waktu liat kamu dengan dia di apartemen."

Kepalaku menoleh ke belakang. Mana Adrian?
"I just wanted to retrace it all. Memastikan apa yang kita putuskan dua tahun yang lalu itu... memang benar."
Tenggorokanku tiba-tiba seperti tercekik saat akan menyanggahnya. Aku ingin menjelaskan apa yang Ares lihat di apartemen siang itu hanya salah paham belaka! Tapi, tidak bisa. Ada sesuatu yang menahanku untuk terus diam.
"Aku pikir," katanya lagi, "itu memang keputusan yang tepat."
Kepalaku menggeleng lemah – tapi aku tahu dia tidak bisa melihatnya.
"Tapi, aku senang bisa melihat kamu sebahagai sekarang, Dita. It seems like that guy could give you everything you want and need."
"Ares—"
"I loved you," interupsinya cepat, "glad to know I once told you this."
"Ar..."
"See you there!"
Telepon terputus dan aku kembali bergeming bersama hujan. Perlahan, aku membaringkan kepalaku di atas meja. Kehabisan tenaga karena terlalu lama menangis.
Amplop? Amplop apa yang Ares maksud?
"I'm such a devil."
Kepalaku terangkat kembali. Adrian keluar dari kamarnya dengan wajah pucat dan menghampiriku. Di tangannya, aku melihat ada sesuatu yang—OH! Aku langsung berdiri dan melangkah mundur; menjauhinya.
"Ad?" desisku tajam. "Was it YOU?"
Dia meletakkan amplop berwarna biru itu di atas meja. "It was me who stole it while you ch—"
PLAK!
Adrian tertegun saat aku menamparnya keras sampai kacamatanya terjatuh dan retak di lantai. Matanya terarah padaku, tapi aku tidak peduli dengan apa yang dia rasakan sekarang. Tanganku meraup amplop itu dan membuka untuk mengetahui apa isinya – ada tiket konser Anberlin dan... satu tiket pesawat
ke Norfolk!!!
"Dita—"
"Adrian Choi yang aku kenal adalah pria baik yang sopan, bertanggung jawab..." potongku cepat dan terus berusaha menjauh saat dia mendekat.
"Kamu... kamu bukan dia! Kamu bukan Adrian Choi. KAMU PENGECUT!!!"
"Let me explain—"
"NO!" *hardikku keras. "JANGAN PERNAH DATANG APALAGI BICARA DENGANKU!"
Tanpa banyak bicara lagi, aku meraih tas dan scarf*, kemudian berlari keluar dari rumah Adrian. Aku mengenyahkan hujan yang masih turun maupun teriakannya di belakangku.
Karena, yang ada di pikiranku hanya satu: Ares.


***


~ (oleh @erlinberlin13)

Delapan #12

Happy eighth month-sarry Anggi dan teman sekelasku yang ganteng sangat!
Tetap jadi The Lawak Couple ya Peh! Jangan kecewain si Milmil loh! Haha :D
Terima: Dinee

Terimakasih ya temanku yang baik sangat! Yang ada elo mestinya ngirim gitu ke Milmil woooo :P
Terkirim: Dinee


Milan mendiamkanku lagi. Masih seperti sebelumnya, aku tidak tau salahku apa. Seakan amnesia, ia lupakan kejadian di barisan pagi itu sama sekali. Berubah total. Aku hanya bisa mengembus napas berat saat tau pesan-pesanku tak mendapat balasan. Satupun.


Ini hari Sabtu. Mestinya PKL lengang karena tak ada jadwal belajar di hari itu. Tapi aku agak bingung dengan lumayan banyaknya siswa/siswi yang berseliweran di koridor, ketika aku keluar kelas. Aku baru ingat, ternyata tak hanya Kelas Olimpiade Bahasa Inggris yang mengambil jadwal hari Sabtu. Matematika dan Sains pun mengambil jadwal di hari yang sama.


"Muka kusut nih, Neng. Kenapa sih Milan hobi diamin kamu Nggi?", pertanyaan Dini langsung menghujam. Ia membereskan diktat-diktat yang berantakan sambil berjalan bersisian denganku. Tergagap aku ingin menjawab. Langkahku terhenti. Bingung memilih kata yang tepat, aku menaikkan kedua bahu isyarat tidak tau. Dini membalas dengan tatapan bercanda seraya berkata, "Halah paling nanti malam damai lagi" dan tersenyum sinis penuh makna yang aku sendiripun tak mengerti maknanya apa.


Lama aku duduk di ruang majelis guru PKL. Entah apa lagi yang harus aku lakukan. Rasanya pekerjaan bermanfaat sudah aku laksanakan dengan baik, dua jam belakangan. Mulai dari memperbaiki pengeras suara dan mikrofon PKL yang bila digunakan berbunyi 'kresek-kresek-kresek'. Membersihkan kelasku yang sebenarnya sudah tak ada sampah sejauh mata memandang. Menghapal artikel bahasa Inggris yang akan aku bawakan Sabtu depan di depan semua anggota Kelas Olimpiade Bahasa Inggris. Sampai pada membantu guru kimia yang killer itu mengetik daftar nama anak-anak yang masuk kategori tidak disiplin seminggu ini. Nama kami diantaranya, aku dan Milan.


"Mana pacar kamu?"


"Maksud ibu, siapa Bu?"


"Jangan pura-pura ngga tau Nggi. Saya tau kok. Waktu ngajar di kelasnya saya tanya, dan dia ngaku. Temannya yang kecil itu juga bilang begitu"


"Bilang apa Bu?"


"Ya nanya dimana pacar kamu, Anggiiiii.. Kok ngga ngerti sih.. Atau cuma pura-pura ngga ngerti?"


"Saya ngga tau dia dimana sekarang Bu"


"Yaudah kalau begitu jangan galau sekarang ya Nak. Kamu galau, nanti pekerjaan saya lama selesainya. Ngga dibantu sama kamu, bisa sampai ba'da sholat isya saya disini hehehe"


Dini sedari tadi dijemput. Anak-anak seangkatanku sepertinya cuma aku yang masih berada di sekolah. Hari hampir siang dan matahari mulai terik. Ruang yang aku tempati mulai panas sekalipun sudah menggunakan jasa dua buah pendingin ruangan. Aku gerah dan mulai mengipas-ngipas muka dengan sebuah buku Paperline yang sudah tipis. "Kepanasan ya Nggi?", tanya bapak yang mengajar Pendidikan Jasmani dengan sedikit tawa dari seberang posisiku. "Ha? Ah eh.. Iya Pak. Panas sekali ya Pekanbaru ini..", jawabku setengah sungguh-sungguh, lalu dibalasnya lagi dengan tawa.


Aku bingung apa yang sedang aku tunggu disana. Aku berkeyakinan akan ada yang menunjukkan titik terang antara aku dan Milan. Walaupun sedikit. Hatiku tetap galau bertanya dimana Milan, apakah ia tadi hadir di Kelas Olimpiade Sains, dan kenapa sampai jam segini belum ada balasan pesan darinya.



~ (oleh @captaindaa)

Sex Abuse

Pagi ini kau ada siaran dengan Ramon jam 7, menggantikan Iben. Namun tiga puluh menit sebelumnya kau sudah datang karena sedang ber-mood baik. Berita baiknya, Andra sudah pulang dari rumah sakit kemarin, namun hari ini ia masih belum masuk kerja. Padahal kalian semua penasaran sekali dengan keadaannya. Terutama motif sebenarnya dibalik percobaan menguruskan badan dengan cara ilegal itu. Andra bukan tipe orang yang terlalu mempermasalahkan berat badan selama kau mengenalnya. Hal ini tentu sangat menimbulkan tanda tanya besar di benakmu.

Studio begitu terasa lengang saat kau datang. Kau orang kedua yang tiba di lantai dua ini, berdua dengan Renata, dia siaran sejak pukul 5 sampai 7 pagi ini. Dan dia terlihat senang sekali menyambutmu.

"Tumben dateng awal," sapanya ramah saat kau membuka pintu bilik kaca tempat Renata siaran. Kau tersenyum simpul ke arahnya.

"Kepengen aja," jawabmu santai sambil mengecek handphonemu. Renata memandangmu dengan evil eyesnya.

"Bukan gara-gara nona LA itu kan?" tebaknya telak. Kau tertawa dipaksakan.

"Iya dan tidak. Pertama, nona Renata yang baik hati akan ngomel panjang lebar lagi kalau saya telat, kedua, saya nggka mau berurusan dengan tuan puteri itu," jawabmu santai. Renata tertawa ngakak mendengarnya. Entahlah, sejak kejadian beberapa hari silam kau jadi lebih akrab dengan Renata. Kalian berbagi jadwal siaran bersama, beberapa kali saling mengirim SMS, dan tertawa bersama seperti sekarang.

"Kenapa sih elo kok sewot banget sama si bule itu? Ada masalah?" tanya Renata serius. Wajahnya seperti ditarik membentuk sebuah garis lurus.

Kau diam, memilah kata-kata pembelaan untukmu. "Bukan sewot dan sedang bermasalah, hanya saja..."

"Apa?" potong Renata tidak sabaran.

"Entahlah, aku hanya merasa dia adalah cerminan diriku di masa lampau dan aku tidak suka mengingatnya."

"Kenapa?"

Kau menghela nafas panjang, kemudian memandang langit-langit. "Aku tidak suka memiliki masa lalu yang suram, tapi itu kenyataannya. Aku hanya ingin cepat-cepat melupakannya."

Renata terdiam, memandangmu penuh simpatik. Kau tidak suka dikasihani. Bagimu, apapun yang pernah kau alami entah menyedihkan, menyenangkan, memalukan, adalah hak prerogatifmu dan kau tidak ingin orang lain tahu. Itu prinsip.

"Gue nggak tahu jalan pikiran elo, Ra. Buat gue, elo orang terunik dan terintrovert yang pernah gue kenal. Tapi itu hak elo sih, setiap orang bebas menentukan dirinya sendiri-sendiri."

"Thanks," balasmu. Renata tersenyum tulus. Ada saat dimana kendali seseorang atas keingintahuannya menyelamatkanmu dari serbuan pertanyaan, seperti saat ini. Kau mengambil kursi di sebelah Renata yang sedang bercuap-cuap, lalu memilah-milah daftar lagu untuk playlist pagi ini. Kemudian kau mendapati sepucuk surat elektronik masuk ke inbox official radio kalian. Surat untukmu, tentu saja yang berkaitan dengan acara Love Potionmu. Awalnya kau tidak ingin membacanya, namun alih-alih meng-klik tanda silang pada sudut kanan kotak dialog email, kau malah salah pencet hingga emailnya terbuka. Sialnya lagi, kau terlanjur membaca sebaris kalimat pertama yang membuatmu tergoda untuk membaca lebih lanjut.

Dear Lova,
Perkenalkan nama aku Mawar. Sebut aja begitu. Aku punya pengalaman miris yang mungkin tidak akan aku lupakan. Dan semoga pengalaman ini tidak dialami oleh pendengar lainnya ya.

Waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 6. Kelasku punya wali murid laki-laki, sebut saja namanya pak M. Sebetulnya sejak aku masih kelas 5 di kalangan kakak kelasku sudah beredar desas-desus bahwa pak M ini genit dan suka meraba-raba. Tapi karena tidak ada bukti dan tidak ada korban yang mengaku, jadi berita ini dianggap angin lalu saja.

"Baca apa sih, serius banget?" tanya Renata. Kau tidak menjawabnya, namun mengarahkan pandanganmu untuk mengajaknya membaca bersama-sama.

Nah, kebetulan di sekolahku kantinnya berada setelah ruang guru. Jadi setiap kami akan ke kantin selalu melewati ruang guru yang pastinya ada pak M disana. Waktu itu, aku dan temanku bernama Ika hendak ke kantin. Waktu kami melewati ruang guru, pintunya terbuka cukup lebar dan kami bisa melihat dengan jelas (meskipun tidak ingin melihat) pak M sedang merayu sambil meraba-raba paha seorang guru perempuan. Hanya mereka berdua di ruangan itu, sepertinya guru perempuan yang sudah menikah itupun juga tidak suka dengan perlakuan pak M. Sialnya lagi, pak M menyadari kalau aksinya ketahuan oleh kami. Aku dan Ika langsung berlari ke kantin dan enggan memperpanjang masalah tentang apa yang kami lihat. Kami merasa kami adalah orang yang tidak tepat disaat tidak tepat pula. Seharusnya ibu kepala sekolah yang memergoki ulah pak M, bukannya kami.

Sewaktu pelajaran di kelas setelahnya, saya dan Ika cenderung pasif, padahal Ika yang selalu dapat peringkat satu di kelas biasanya aktif menjawab pertanyaan dari pak M. Kami takut pak M akan melakukan sesuatu pada kami. Dan feeling kami benar, tempat duduk saya dan Ika yang semula bersebelahan, dipindah oleh pak M karena menurut beliau kami tidak memperhatikan pelajaran dan sibuk mengobrol. Padahal sejak hari itu dan hari-hari kemarinnya saya dan Ika jarang sekali mengobrol waktu pelajaran. Saya dipindah dengan Wibi, dan Ika dengan Fian. Rasanya sedih sekali Va harus dipisahkan dengan sahabat saya, padahal kami berdua juga korban secara tidak langsung. Tapi mau bagaimana lagi? kami tidak berani membantah, karena takut dimarahi.

Tidak lama kemudian, guru perempuan itu akhirnya pindah dari sekolah kami. Alasannya karena ada tawaran kerja di sekolah yang lain, walaupun kami berdua tahu itu bukan alasan sebenarnya. Tapi permasalahannya tidak berhenti sampai sini. Pak M sepertinya hendak membalas dendam pada kami, entahlah, itu yang bisa kami pikirkan setiap kali pak M mendekat.

Pernah beliau menyuruh Wibi mengerjakan soal didepan, kemudian beliau duduk di sebelahku sambil tangannya menggerayangi betisku hingga lipatan lutut. Sangat menjijikkan! Hatiku terasa panas ingin melawan, namun tidak cukup berani merealisasikan. Kau tahu Va, aku memendam berbagai kata umpatan untuk pak M namun tidak ada satupun yang keluar. Dan hal itu bukan hanya aku atau Ika yang mengalami. Setelah aku kroscek dengan beberapa teman perempuan, terutama yang berwajah cantik, mereka mengaku pernah mengalaminya juga, bahkan lebih sering dari kami. Diantara kami tidak ada yang berani bercerita pada guru lain maupun orang tua. Kami takut, karena pak M mengancam kami untuk tidak cerita pada siapapun. Beliau berkata bahwa itu adalah bentuk kasih sayang beliau terhadap muridnya. Entah, setan apa yang menguasai dirinya hingga tega melakukan hal semacam itu pada kami.

Lama kelamaan aku nggak tahan diperlakukan seperti itu. Kemudian aku memberanikan diri bercerita kepada Wibi. Namun bukannya membela atau minimal menghiburku,Wibi malah menertawakanku dan menyebarkan berita tentangku kepada teman-teman laki-laki yang lain. Wibi sama sekali tidak membantu. Aku semakin sedih, Lova. Oke, mungkin pada saat itu dia masih anak laki-laki ingusan yang tidak bisa berbuat banyak untuk membantuku. Tapi please, apa dengan menertawakan dan menyebarkan berita memalukan seperti itu menurutnya lucu? aku benar-benar tidak bisa menerima perlakuannya. Sampai sekarang aku belum bisa memaafkan sikap pengecut Wibi.

Akhirnya aku lulus dari sekolah itu dan berjanji dalam hati tidak akan kembali kesana. Sampai kapanpun. Meski suatu saat nanti pak M sudah tidak disana lagi. Yang terakhir aku dengar pak M menderita stroke dan sebagian badannya lumpuh. Tuhan mungkin membalas doa kami semua yang teraniaya, tapi menurutku itu belum sebanding dengan trauma yang beliau timbulkan pada kami hingga kami dewasa. Entahlah Va. Apa yang adil bagi kami belum tentu adil bagi Tuhan. Terima kasih sudah membaca suratku. Tertanda, Mawar.

Kau dan Renata menghela nafas panjang bersamaan. Cerita ini membuat dadamu terasa sesak. Entah marah pada guru itu, entah iba, entah... bagaimana bisa ia membiarkan dirinya memendam hal seberat ini seorang diri?

"Gila, guru ini!" Geram Renata. Ia mengepalkan tangannya gemas, seolah ingin meninju monitor kalian. "Kok ada sih orang yang kayak gitu?"

Kau menggeleng, sibuk menyeka sudut matamu yang terasa berair karena luapan emosimu. Kau tidak hentinya menyayangkan, bagaimana bisa sesosok pahlawan tanpa tanda jasa tega memberikan citra buruk dimata anak didiknya sendiri? "Nah, banyak hal tidak terduga yang bisa aku dapat dari Love potion. Kadang, aku merasa bersyukur, aku bukan satu-satunya orang yang bermasalah di dunia ini. Kadang, aku menjumpai banyak orang yang menanggung beban hidup lebih dari aku, namun mereka punya keberanian lebih untuk bercerita."

"Jadi maksud lo, elo orang yang nggak berani cerita masalah elo ke orang lain?" todong Renata.

Kau menggeleng lagi. "Aku bukannya nggak berani, aku cuma merasa beruntung bisa mendengar cerita-cerita yang emosional dari pembaca." Kau tersenyum sangat manis ke arah Renata, dan ia lantas memelukmu.

"Gue pengen nemenin elo di Love potion. Sekali aja. Boleh kan?"

Kau mengangguk, lalu balas memeluknya. Saat yang bersamaan, Ramon baru saja datang dan ia tengah berdiri di depan pintu kaca yang setengah terbuka memandangi kalian berdua dengan wajah cengo.

"Kak Re, Lova, kalian nggak apa-apa kan?"


~ (oleh @nadhiasunhee)

Tak Mampu Mendua

"Tasya, nanti kamu yang dateng ke rapat BEM ya di kampus Trisakti, mau ada rapat aksi." Kata ketua senat fakultasku dan itu berarti perintah.
"Terus aku ke kampus itu sama siapa?"
"Kamu pergi sama ketua senat fakultas lain ya sya" jawab ketua senatku.
Ada empat fakultas di kampusku, aku hanya kenal dengan ketua senat fakultas HI yaitu Randi. Aku yang tidak terlalu mengerti tentang rapat ini, hanya duduk disamping Randi dan mencatat jalannya rapat untuk laporkan kepada ketua senatku.
Aku memutuskan untuk terlibat dibanyak kegiatan kampus, mulai dari kegiatan majalah kampus sampai ke organisasi fakultas pun aku terlibat. Buat apa? Buat mengalihkan pikiran aku dari Galang, Galang yang aku pikir sudah benar-benar berubah kini kembali menghilang.
Aku datang ke kampus dari pagi karena jadwal kuliah aku pagi dan pulang malam setelah selesai mengurus majalah kampus dan organisasi. Kesibukkan dan teman-teman baru membuatku bisa terus melangkah.
***
"Tasya…Tasya…." Sebuah suara terdengar dari dalam ruangan, aku membalikkan badan dan mencari suara siapa itu. Sudah seminggu ini setiap aku lewat ruangan di fakultas HI , ada yang selalu memanggil nama aku. Tetapi sampai sekarang aku tidak pernah tahu siapa yang memanggilnya.
Memasuki minggu kedua, akhirnya aku tahu siapa pemilih suara yang selalu memanggil aku, ternyata itu suara Randi sang ketua senat HI. Sejak saat itu aku dan Randi menjadi dekat. Setiap malam Randi menelpon aku,berbagi cerita, menemani aku melewati malam sampai aku tertidur baru dia akan mematikan telponnya.
Hingga saat ini Randi belum tahu status aku yang sebenarnya, aku sebenarnya sudah memiliki kekasih hati, ya kekasih hati yang sudah hampir sebulan dia menghilang tak memberi kabar berita, Galang yang sesuka hati pergi dan kembali tapi aku tetap berusaha bertahan dengannya.
***
Malam ini aku harus mengatakan kepada Randi kalau aku sudah memiliki kekasih, aku ngga mau memberikan harapan ke Randi walaupun sebenarnya aku suka dengan dia.
"Randi, aku mau kasih tau sesuatu ke kamu" Aku terdiam,lalu.. "Aku sebenernya sudah punya pacar" satu tarikkan nafas aku ucapkan
Sunyi…sunyi….tak ada jawaban dari seberang sana, aku ingin berbicara lagi tapi biarlah aku tunggu sampai Randi bereaksi.
"Tasya, kenapa kamu bilang itu ke aku?"
"Karena kalau kamu emang suka dengan aku, aku ngga mau kamu berpikir kalau aku itu masih sendiri"
"Ya,mungkin aku terlalu PeDe berpikir kamu masih sendiri, tapi kamu terlihat seperti single Tasya. Kamu ada di kampus dari pagi sampai malam, kamu bisa aku telpon sampe kamu tidur, terus kalau kamu punya pacar kapan kamu ketemu pacarmu dan telponan dengan pacarmu"  kata-kata Randi yang panjang itu sekarang berbalik menohok aku, Randi punya alasan untuk menyimpulkan kalau aku itu sendiri.
"Udahlah, pokoknya pacarku ada" jawabku sambil menahan rasa sakit ini.
" Tasya, kita sudah deket aku mau kamu cerita sama aku. Kenalkan aku sama cowo kamu ya Sya" Kembali aku dikejutkan kata-katanya.
" Aku ngga tau Randi, aku ngga tau cowoku ada dimana,lagi ngapain…aku ngga tau. Dia ngga menghubungi aku hampir sebulan ini" jawabku sambil terisak.
" Kamu digantungin sama cowo kamu Sya? Tasya, denger aku ya disini aku berbicara sebagai pria. Kamu itu perempuan luar biasa menurut aku karena kamu cantik, pinter, baik jadi ngga semestinya kamu diginii."
Belum sempat aku menjawab Randi melanjutkan omongannya " Aku mau ketemu sama cowo kamu Tasya, aku mau bilang ke dia kalau dia udah ngga sanggup buat jagain kamu, biar cowo lain yang jagain kamu"
***
Dua minggu kemudian aku baru berhasil bisa menghubungi Galang dan hari ini kami akan bertemu. Aku sudah membulatkan hati untuk keputusan ini, apa pun alasan Galang kemaren dia menghilang, aku akan tetap pada keputusan ini.
"Akhirnya aku bisa ketemu kamu lagi…….'
Galang memotong kalimat aku dengan alasannya seperti biasa "Aku sibuk sya"
"Udahlah Galang, aku ketemu karena aku mau bikin semuanya jelas. Kamu ngejalanin hubungan ini sesuka hati kamu. Kamu menghilang, ninggalin aku terus nanti tiba-tiba muncul. Kita udah coba untuk kedua kalinya dan kamu masih kayak begini" aku berbicara panjang lebar mengeluarkan keluh kesah aku.
"Sudahlah Galang, kita udahin aja hubungan kita. Kayaknya ada yang salah sama kita kalau kita berhubungan sebagai sepasang kekasih. Kamu jauh lebih menyenangkan saat bukan jadi pacar aku." Lanjutku.
Sama..sama seperti dulu, hubungan ini berakhir dengan aku sebagai pengambil keputusan dan tanpa pembelaan apapun dari Galang. Yang berbeda, sudah ada Randi yang siap menemani aku dan memberikan aku kebahagiaan.
To Be Continue
Namun kau hilang 'tuk menjauh
Pergi dan meninggalkan cerita
Mendua aku tak mampu
Mengikat cinta bersama denganmu
Maaf jika kau terluka
Saat aku memilih dirinya
(Tak Mampu Mendua- Kahitna)


~ (oleh @nongdamay)