Tentang 30 Hari Cerita Cinta

Showing posts with label Bayangan ke Lima. Show all posts
Showing posts with label Bayangan ke Lima. Show all posts

25 September 2011

Elang Pulang

“Iya, aku hamil dan ini bukan anak kamu” akhirnya aku memberanikan diri membalas BBM Elang.

“Siapa yang menghamili kamu Sinar? Apa yang terjadi” Elang membalas BBMku.

Aku menangis makin jadi, aku membiarkan BBM Elang tetap tak terjawab. Aku memukul perutku, kenapa harus Bayang?! Kenapa anak ini harus anak Bayang?! Aku terisak mengatakan kalimat tersebut sambil terus memukul perutku.

--

Jakarta, 6 Juli 2011

Jam 12 siang, kuliahku selesai, aku memutuskan untuk duduk-duduk sebentar di bangku depan kelasku. Aku tidak berani melihat isi BBM Elang, aku membuka SMS dari Bayang.

-SMS-

“Sinar, aku mau bicara sama kamu”

Bayang sedari tadi meneleponku namun tidak satupun aku jawab, SMS inipun tidak aku balas. Aku masih belum tau apa yang harus aku katakan, baik ke Elang, Bayang atau Ricardo. Aku masih belum tau apa yang harus aku lakukan dengan bayi yang sekarang hidup di rahimku. Apa yang harus aku katakan kepada Ibuku? Aku menangis di dalam hati. Tetiba di depan pandanganku yang mengadap ke lantai aku melihat sepasang sepatu berwarna putih dengan tinggi hak kira-kira 7 senti. Aku mengangkat wajahku, melihat pemilik sepatu tersebut.

“Sinar, aku mau bicara sama kamu” ternyata Dini.

Aku mengajak Dini ke sudut kampusku yang lumayan sepi dan jarang ada yang lewat. Aku memandang wanita ini, ada yang salah di raut wajahnya, dia tidak seceria biasanya.

“Aku dapat kabar dari mas Elang, kamu hamil? Benar, Sinar?” dia membuka pembicaraan.

Aku mengangguk. “Ya, Tuhaan..” dia menutup mulutnya dan mulai mengeluarkan air mata.

“Bayi itu anak tunanganku?” Dini melanjutkan ucapannya, kali ini dengan mata berkaca-kaca.

Aku terkaget mendengar pertanyaannya kali ini, ah, tentu saja dia berfikir anak Radit, karena yang dia tau selama ini aku berhubungan dengan Radit.

“Bukan, ini bukan bayi Radit. Ini bayiku” aku menjawabnya dengan nada tegas dan menatap matanya yang makin berkaca-kaca.

Dia menjatuhkan tubuhnya, posisinya sekarang jongkok sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya, terisak menahan tangis yang tidak terbendung. Aku tidak bisa mengatakan bayi ini milik Bayang sekarang, sampai aku siap aku akan terus mengatakan ini bayiku.

--

Aku berjalan setelah turun dari bus menuju rumahku, di tengah jalan langkahku terhenti oleh bayangan tinggi yang berada di depanku, Radit. Dia langsung memegang pundakku dan memelukku. Mengelus rambutku dengan terisak dia mengeluarkan suara, “Sinar, itu bayiku? Yang ada di rahimmu saat ini adalah pasti bayiku” ucapnya. Ah, ternyata Dini telah memberi tahu Radit. Aku terdiam dalam pelukannya.

Dari pandangku aku melihat mobil Ricardo, dia menepi, no..no...jangan sekarang Ricardo, Ricardo tidak boleh melihat ini.

Terlambat, Ricardo keluar dari mobilnya, berlari ke arahku, sontak aku melepaskan pelukan Radit, Radit menyadari kehadiran Ricardo yang seketika langsung menarik baju dan memukulnya dengan keras.

Radit terjatuh, “Mau ngapain lagi lo? Gak puas kemarin lo udah nyakitin Sinar?” ucap Ricardo sambil menari Radit berdiri.

“Gue udah bilang, jangan sampe gue liat muka lo lagi, lo malah berani dateng ke mari nganterin nyawa lo” Ricardo menghajar Radit kembali, wajah, perut, entah setan apa yang merasuki Ricardo kali ini, dia terlihat begitu kuat, hingga tiap pukulan yang mengenai Radit membuat Radit tidak sempat mengelak apalagi melawan.

“Do! CUKUP! Berhenti!” ucapku dengan nada kencang dan terisak.

“Hentikan, Do..” aku mencoba memisahkan mereka, aku menghampiri Radit yang dibuat tidak berdaya oleh pukulan-pukulan Ricardo. Aku lihat bibirnya mengeluarkan darah, mata kanannya memerah. Kali ini Radit berdiri, menyuruhku menyingkir. Membuang darah yang ada di dalam mulutnya.

“Jadi gini cara lo? Nyerang orang dengan tiba-tiba pas orang itu belum siap?” Radit memberikan tendangan ke perut Ricardo, Ricardo terjatuh, lalu langsung berdiri lagi.

“Lo tau? Sekarang Sinar hamil! Dan itu anak gue. Lo masih mau jauhin gue dari Sinar?” ucapan Radit ke Ricardo membuat Ricardo langsung melihatku dengan raut wajah tidak percaya, dan Radit langsung menghajar wajah Ricardo disaat aku tau kali ini Ricardo pasti sedang bingung dan tidak percaya dengan kalimat yang baru saja Radit katakan.

Kali ini gantian Ricardo yang menjadi bual-bualan Radit, aku berlari kearah mereka memisahkan mereka, dan..

BUUK!

Pipiku terasa panas, penglihatanku menjadi samar, atu hantaman keras mengenai wajahku, . Pukulan Radit mengenai wajahku saat aku mencoba melindungi Ricardo dari pukulannya. Aku merasakan hangat darah mengalir dari pinggir bibir sebelah kiriku. Sakit. Penglihatanku makin buyar. Pukulannya keras sekali.

“Nar, Sinar” Ricardo memegang pundakku.

Radit terlihat panik dan mencoba memegang tubuhku, namun Ricardo menepis tangannya. Ricardo meninggalkanku terduduk dipinggir jalan dan kembali menghajar Radit.

“BANGSAT LO!” teriak Ricardo sambil memukuli Radit, pandanganku makin samar, dan gelap kembali menutup penglihatanku.

--

Aku membuka mataku, langit-langit ini, bukan langit-langit kamarku, bau obat, tanganku hangat, seseorang menggenggam tangan kananku di sisi tempat tidur.

“Nar, lo sadar, Nar?” suara Ricardo terdengar, ah sepertinya aku disebuah klinik. Ruangan kecil berwarna putih dengan lampu yang terang dan bau obat.

“Dok, temen saya sudah sadar, Dok” teriak Ricardo, pandanganku masih sedikit samar, kepalaku sakit sekali.

Seseorang memasuki ruangan tempatku berada, memeriksa denyut nadiku, dadaku, perutku, luka-luka di wajahku. Memberikan aku suntikan.

“Keadaannya sudah stabil, luka-lukanya hanya dibagian luar, bayinya tidak apa-apa. Tapi jangan sampai kejadian seperti ini, kandungan adek ini lemah sekali, jika sampai dia kena shock lagi bisa-bisa keguguran, kandungannya masih sangat muda” ucap pria paruh baya yang baru saja memeriksa kondisiku kepada Ricardo.

“Iya, Dok. Saya akan jagain dia dengan nyawa saya” Ricardo menjawab ucapan pria tadi.

Aku masih sangat pusing, penglihatanku mulai jelas, aku menengok ke arah Ricardo, dia menangis sambil menggenggam tanganku. Dia tidak mengatakan apa-apa, aku melihat wajahnya yang memar tadi diberi perban, sisi bibirnya masih terlihat jelas bekas luka pukulan Radit.

Aku menyentuh wajahnya. Menghapus air mata yang keluar dari sudut mata kirinya.

“Do, jangan nangis” ucapku sambil memberikan senyum dan berusaha untuk ikut menangis.

“Nar, maafin gue Nar.. maafin gue gak bisa jagain lo” Ricardo membuka mulutnya, menahan tangis yang tidak bisa dia sembunyikan di depanku.

Aku bangun dari posisi tidurku, Ricardo segera membantuku duduk di atas tempat tidurku.

“Gue yang seharusnya minta maaf ke elo, gue udah ngecewain lo, gue yang gak bisa jaga diri, gak bisa jaga hati. Liat, sekarang elo yang babak belur” ucapku.

Ricardo langsung memeluknya. Aku merasakan jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari milikku, dia tersisak memelukku dengan erat.

“Ini balesan Tuhan atas perbuatan yang gue bikin sendiri, Do. Tuhan marah sama gue, Dia benci gue” ucapku di dalam pelukannya.

Ricardo melepas pelukannya dengan perlahan, memegang bahuku, menatapku dengan erat.

“Sinar, God can do anything. Only one thing that He can’t do; Stop loving you. Therefore I’m here. Dia ngirim gue ada di sisi lo untuk buktiin bahwa Dia sayang sama lo” ucapnya memecahkan tangisku. Aku menangis di dalam peluknya. Di dalam ruangan kecil berwarna putih dan berbau obat ini aku merasa hangat di dalam peluknya.

--

Ricardo membersihkan lukaku, aku menutupinya dengan make up. Aku dan Ricardo sepakat untuk menyembunyikan hal ini dari Ibuku untuk sementara waktu hingga aku mendapatkan solusinya, setelah aku bisa mengatakan kepada Bayang bahwa aku mengandung anaknya.

Ricardo telah aku ceritakan semuanya, tentang Bayang, kenyataan siapa Bayang sebenarnya Aku tau dia geram tiap kali aku menyebut nama Bayang, namun dia menutupinya.

Kami memutuskan untuk pulang, jam 9 malam. Ricardo mengantarku pulang. Saat membuka pagar rumahku dia terdiam sejenak, aku mengintip apa yang dia lihat hingga dia terdiam seperti itu.

Seorang lelaki yang sedang ditemani Ibuku mengobrol, di sampingnya ada sebuah tas besar yang biasa dipakai untuk berpergian jauh. Elang. Dia sekarang berada lima meter di depanku, di sampingnya Ibuku.

“Nah itu Sinar, kamu kemana aja, Nak.. ditelepon kok mati hpnya. Ini temen kamu udah nunggu 3 jam” ucap Ibuku saat melihatku di depan pagar bersama Ricardo.

Elang melihat Ricardo menggenggam tanganku, berdiri dan menghampiri kami. Aku melepaskan genggaman tanganku dari Ricardo.

“Do, itu kenapa muka kamu luka-luka gitu?” tanya Ibuku ke Ricardo saat kami memasuki teras.

“Biasa tante, anak laki” ucap Ricardo sambil sedikit tertawa.

“Kamu ini yah, masih aja brantem-berantem udah gede juga, sampe luka-luka gitu mukanya” Ibuku melanjutkan ucapannya.

“Bu, Do, bisa tinggalin aku dan Elang sebentar?” ucapku memotong ucapan Ibuku kepadanya dan Ricardo.

Ricardo tersenyum dan mengajak Ibuku masuk ke dalam rumah, menutup pintu rumahku, membiarkan aku dan Elang tersisa di teras.

Aku duduk di bangku sebelah tempat Elang tadi duduk bersama Ibuku, Elang menghampiriku. Dia tidak duduk, dia bersimpuh di depan dudukku, menatap mataku dengan erat, kedua tangannya menggenggam kedua tanganku.

“Benar semua yang dikatakan Dini?” ucapnya seolah aku sudah mengetahui apa yang sedang dia bahas.

“Kapan kamu sampai di Jakarta? Kenapa tiba-tiba?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya.

“Tadi siang Dini menelponku sambil menangis dan menceritakan semuanya. Aku langsung memesan tiket dan langsung terbang ke Jakarta, ke rumah kamu karena kamu tidak bisa dihubungi. Nunggu kamu, agar aku bisa tau apa yang terjadi sebenarnya dari mulut kamu sendiri. Selain itu memang hari ini aku sudah cuti untuk menghadiri pernikahan Dini besok. Sinar, apa semuanya benar? Anak yang ada di rahimmu adalah anak Radit tunangan sepupuku?” tanyanya sekali lagi.

Aku menggelengkan kepalaku, menunduk dan mulai terisak.

“Sinar, jawab aku, apa yang terjadi sebenarnya? Benar selama ini kamu membohongi aku dan berhubungan dengan pria lain saat aku jauh dari kamu?” Elang terus bertanya.

Aku masih menunduk dan menangis.

“Maafin aku, Lang.. maafin aku..” hanya kata maaf yang bisa kukeluarkan dari mulutku.

Elang mulai melemahkan genggaman tangannya, dia melepas kedua tanganku, dia berdiri lalu membalikkan badannya. Memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Aku menatap punggungnya dan kemudian kembali menundukkan kepalaku.

Elang mengambil tasnya dan menghampiriku, dia memelukku dan mencium keningku cukup lama, lalu dia beranjak meninggalkanku, “Ini bukan anak Radit” ucapku menghentikan langkahnya, dia membalikkan badan dan menatapku.

“Ini bukan milik Radit, ini milik aku, bukan Radit ayahnya” lanjutku.

Elang menatapku dengan matanya yang mulai berkaca-kaca, dia menutup kedua matanya sebentar, lalu kembali melanjutkan langkahnya, aku melihat punggungnya, dia membuka pintu pagar rumahku dan menutupnya kembali. “Ini bukan milik Radit” ucapku pelan dan mulai menangis lagi.

“Sulit ku kira kehilangannya, sakit terasa memikirkannya. Hancur warasku kau tlah berlalu, tinggalkan aku begitu, rapuh hidupku, remuk jantungku. Semua salahku tak jaga dirimu, untuk hatiku sungguh ku tak sanggup, semua terjadi seperti mimpi, mimpi burukku kehilanganmu. Karena kamu nyawaku, karena kamu nafasku, karena kamu jantungku, karena kamu.. rapuh hidupku, remuk jantungku..”

-Geisha Remuk Jantungku-

Ricardo keluar dari rumahku, menghampiriku lalu memelukku, “Ibu di mana, Do?” tanyaku lirih.

“Ibu lo udah di kamarnya, aman. Dia kayaknya udah tidur. Gue denger semuanya, maafin, Nar. Tadi gue nguping” ucap Ricardo.

Aku masih menangis di dalam peluknya. Dia tidak mengatakan apa-apa, membiarkan aku menangis melepas penat atas apa yang baru saja terjadi hari ini.

--

Jakarta, 7 Juli 2011

Hari ini seharusnya hari pernikahan Radit. Apa aku harus datang? Tidak, sepertinya aku tidak perlu datang. Aku menggelengkan kepalaku.

Aku melihat hpku, ada BBM dari Elang.

“Siap-siap, jam 5 sore aku jemput kamu, kita kepernikahan Dini” isi BBM Elang.

Aku tidak menjawabnya, tidak, aku tidak boleh ke pernikahan mereka. Aku tidak mau. Setelah apa yang aku lakukan terhadap hubungan mereka, aku tidak pantas berada di sana.

Aku ingin pergi kesuatu tempat sendirian. Kulihat jam di hpku, masih jam 9 pagi. Aku merapikan diri, aku ingin menulis ditempat yang tenang, sudah lama aku tidak melakukan hobi menulisku belakangan ini, dengan perasaan seperti ini sepertinya menulis akan menjadi sebuah pelarian yang tepat untuk menuangkan isi hatiku.

--

Aku membuka pintu pagarku, dan kulihat di depanku sebuah mobil sedan hitam milik Bayang parkir di sana. Pemilik mobil itu keluar dari mobilnya, membuka kacamata hitam yang dia kenakan, Bayang.

Dia menghampiriku, memegang tangan kananku.

“Aku mau bicara sama kamu, ijinkan aku mengungkapkan apa yang aku rasakan” ucapnya.


Bersambung...


Oleh: @ekaotto di http://ekaotto.tumblr.com

22 September 2011

Bayang Samuderana

“Baik” ucap Ricardo menyambut tangan Bayang.

Ada yang aneh kurasakan saat ini, entah kenapa aku takut, takut melihat raut wajah Ricardo yang tidak seperti biasanya.

“Sudah pulang, Nak? Loh, ini adalah?” ucap Ibuku yang baru saja keluar dari arah kamarnya.

“Ini Bayang, bu. Teman Sinar” ucapku memperkenalkan Bayang ke Ibu.

“Selamat sore, Tante...?” Bayang mengulurkan tangannya.

“Tante Ida” ucap Ibuku menyambut tangan Bayang.

“..Saya Bayang, tante Ida. Teman Sinar. Maaf, baru bisa mampir hari ini, sebelumnya hanya sering mengantar sampai depan pintu saja” lanjut Bayang.

“Silahkan duduk, nak Bayang” Ibuku mengajak Bayang untuk duduk, aku tersenyum melihat Ibuku begitu ramah dengan Bayang.

Namun tidak saat aku melihat Ricardo, dia malah masuk ke ruang makan tanpa berpamitan. Menyebalkan.

“Terima kasih, Tante. Saya pamit dulu, masih ada yang harus dikerjakan. Lain kali saya pasti mampir lagi” Bayang menolak ajakan Ibuku, aku sedkit kecewa.

“Loh, kok buru-buru amat, minum dulu aja” ucap Ibuku lagi.

“Iya, duduk aja dulu, minum. Kenapa? Karena rumah gue kecil?” ucapku dengan nada ketus.

Bayang langsung menatapku dari tempat dia berdiri, tersenyum kepadaku lalu berjalan mendekati sofa hitam tua yang berada di ruang tamu kami, dia duduk.

“Baik jika itu mau tante Ida” dia tersenyum ke arah Ibuku, dan ibuku memberikan tatapan ‘isyarat’-ayo-Sinar-siapkan-minum-untuk-temanmu-ini. Akupun pergi ke dapur membuatkan minum untuk Bayang. Ricardo menghampiriku.

“Ini Bayang siapa lagi?” nada bicaranya kurang ramah.

“Temen, kan udah gue kenalin sebelumnya” jawabku.

“Cuma temen?” lanjutnya lagi.

“Iya” jawabku singkat sambil mengaduk sirup markisa yang baru saja kutuangkan ke dalam gelas bersama es batu dan air dingin.

“Cuma temen cowok pertama yang lo kenalin ke nyokap lo? Yayayaya..” diapun meninggalkan dapur dan terdengar sepertinya dia berpamitan dengan Ibu untuk pulang.

“Hhhhh..dasar aneh” ucapku mengomentari tingkah Ricardo sore itu.

Kami berbincang mengenai hal ringan, Ibuku pandai soal ini, dia mengorek banyak hal tentang Bayang yang aku saja baru mendengarnya saat ini. Mulai dari sekolahnya, kuliahnya, orang tuanya, hobinya, makanan kesukaannya dan banyak banget deh. Tidak sadar sudah jam 9 malam, percakapan tadi sungguh tidak terasa, Bayang yang ramah membuat Ibuku terlihat nyaman mengobrol dengannya.

Ibu berpamitan untuk tidur dan tinggal kami berdua di ruang tamu, aku mengajak Bayang untuk pindah tempat mengobrol di teras rumahku, agar aku bisa merokok. Ah, iya, satu hal dari Bayang yang beda dari Elang, Radit atau Ricardo, dia tidak merokok, hidupnya sangat sehat.

Saat aku ingin menyalakan rokok, Bayang mengambil rokok yang sudah di bibirku, dia membuang rokokku dan mencium bibirku dengan lembut, hangat sekali. Aku menutup kedua mataku, tidak memperdulikan di dalam rumah ada Ibuku yang bisa saja keluar tiba-tiba dan mendapati kami sedang berciuman. Setelah mencium bibirku Bayang mengecup kelopak mata kananku. Aku membuka kedua mataku dan tersenyum menatapnya.

“Aku pulang ya.. sudah malam. Kamu juga istirahat. Jangan ngerokok lagi, biar sehat” dia mengambil sebungkus rokok dari tangan kiriku dan dimasukkan ke dalam saku celananya.

“Iya, kamu hati-hati ya..” ucapku dengan penuh senyum.

Bayang tersenyum berbalik memberikan punggungnya, keluar pagar rumahku dan tidak lama setelah itu terdengar bunyi mesin mobil menyala. Aku tersenyum dengan sangat lepas merasakan hangat yang tidak jua pergi dari dalam dada tiap kali Bayang menatapku. Aku masuk ke kamar, mejatuhkan tubuhku ke atas tempat tidur dan membayangkan wajah Bayang.

Aku tidak henti-hentinya tersenyum, menutup wajahku dengan bantal karena malu sendiri.

Jakarta, 5 Juli 2011

Pagi ini aku terbangun dengan penuh senyum, tadi malam aku memimpikan Bayang.

“Uweeek” lagi-lagi mual ini, ah aku masih saja lupa membeli test pack untuk menyudahi segala prasangkaku atas apa yang aku takuti. Hari ini aku harus membelinya, harus ku pastikan bahwa ketakutanku selama ini salah.

--

Aku memutuskan untuk mampir ke tempat Bayang sebelum berangkat ke kampus, masih jam setengah tujuh pagi, dengan taxi tiga puluh menit saja aku pasti sampai ke apartementnya. Aku ingin melihatnya pagi ini, semua hal yang dimiliki Bayang membuatku rindu.

Dengan semangat aku menuruni taxi yang telah mengantarku dengan cepat sampai ke tempat di mana Bayang tinggal. Lift berhenti di lantai 22, aku tersenyum, tidak sabar ingin bertemu dengan Bayang lagi.

Aku ingin memberi kejutan untuk Bayang, ku ambil kunci duplikat apartementnya yang dia pernah berikan, kubuka perlahan pintu, menutupnya dengan perlahan lagi. Berjalan dengan pelan menuju kamarnya yang masih dalam keadaan tertutup. Ku buka dengan perlahan pintu kamarnya, kunci yang kupegang sontak terjatuh. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat.

Bayang tertidur pulas dipeluk seorang pria. Pria yang waktu itu aku lihat memakai mobilnya di parkiran mall. Tetiba pria itu membuka matanya, dan melepas pelukannya dari Bayang.

“Heh! siapa kamu?” ucapnya membangunkan Bayang yang tadi tertidur lelap di sampingnya.

Aku tidak menjawab pertanyaan pria itu, membalikkan badan dan berlari menuju pintu keluar apartement ini.

“Sinar.. Sinar.. tunggu Sinar” terdengar suara Bayang dari dalam kamarnya, dia mengejarku. Namun aku keburu masuk lift dengan kondisi hati yang kacau balau, Bayang berhenti mengejarku sepertinya, dia hanya mengenakan celana pendek dan telanjang dada, tidak mungkin dia mengejarku lebih jauh.

Aku masih belum percaya dengan apa yang baru saja aku lihat, aku ingat pria itu, dia pria yang memakai parfum beraroma sama dengan Bayang yang kutemui di toko buku. Siapa dia? Kenapa mereka tidur dengan telanjang dada dan saling berpelukan seperti sepasang kekasih seperti itu? Bayang? Gak.. ini gak mungkin.. Bayang terlalu sempurna..

Aku keluar apartement tempat Bayang tinggal, aku ke kampus dengan perasaan acak-acakan. Memikirkan Bayang dan pria itu.

--

Kuliah hari ini baru mulai jam 10, aku harus menungguuu satu jam lagi. Ricardo tidak kelihatan di kampus, seharusnya dia juga ada kelas jam segini. Kuhelakan nafas panjang dan memutuskan untuk duduk di kantin sendirian.

Sepi sekali kampus sepagi ini, aku tidak mengenali siapapun yang ada di kantin. Aku memang benar-benar tidak gaul. Sepertinya mereka semua seniorku, dan sepertinya mereka sedari tadi memandangku dengan tatapan aneh. Hmmm, ah biarlah.

Aku hanya memesan secangkir kopi dan merokok sampai kelasku mulai, sambil mengobrol dengan Elang untuk mengalihkan perhatianku dari kejadian tadi di apartemen Bayang yang membuatku kaget dan masih bertanya-tanya.

--

Kelasku dimulai, aku masuk, di dalam sudah ada Ricardo, aku memilih untuk duduk di sampingnya.

“Yeeee... udah sampe gak bilang-bilang. Tau gitukan gue tadi gak sendirian di kantin” ucapku ke Ricardo dengan sedikit kesal.

“Hmmm” ucapnya.

“Udah makan, Do?” tanyaku.

“Hmmm” jawabnya lagi.

“Kenapa sih? Gue buat salah lagi?” aku bertanya kepadanya, kali ini dengan nada sedikit lebih serius.

“Kalau gue tanya bisa jawabnya serius dan gak pake ditutup-tutupin?” ucap Ricardo.

“Apa sih ini? Kok serius banget?” tanyaku.

“Oke, gue gak tanya-tanya” nada bicara Ricardo kali ini sepertinya serius. Aku terdiam sebentar dan menghelakan nafas panjang.

“Mau nanya apa?” ucapku menurunkan nada suara.

“Ada apa lo sama Bayang?” pertanyaan Ricardo membuatku terdiam dan berfikir, iya..ada apa sebenarnya antara aku dan Bayang, sepertinya diantara kami tidak pernah tercetus kalimat sayang, suka apalagi cinta. Kenapa aku harus bersedih dan marah seperti ini saat melihat Bayang dan pria tadi?

“Jawab, Nar..” Ricardo membuyarkan diamku.

“Gak ada apa-apa. Benar, gue dan Bayang tidak pernah ada apa-apa” jawabku ke Ricardo.

“Bener?” dia bertanya lagi kepadaku, aku hanya mengganggukkan kepala dan tersenyum, diapun ikut tersenyum.

“Jadi gini, Nar.. gue belom ngerjain tugas.......” ah, Ricardo kembali lagi menunjukkan raut wajah dengan nada suara seperti Ricardo yang biasa aku kenal. Aku tersenyum mendengarkan cerita dia sampai kelas dimulai.

--

Selesai kuliah, aku memisahkan diri dari Ricardo, aku harus membeli test pack, dan Ricardo tidak boleh tau. Aku keluar kampus dan di situ Bayang berdiri sambil memperhatikan hpnya. Aku berjalan melewatinya, dia terlalu sibuk dengan hpnya hingga tidak melihatku melewatinya, namun tidak sampai tiga meter aku melewatinya, dia memanggilku.

“Sinar” dia berjalan menghampiriku, terdengar suara langkahnya yang sedikit berlari. Aku mengacuhkannya. Dia berhasil mengejar langkahku, menghentikanya dengan menggengam tangan kiriku. Dia menatapku dengan raut wajah cemas tanpa senyum. Aku diam, tidak beraksi apa-apa.

Dia menarik tanganku menuju mobilnya yang diparkir tidak terlalu jauh dari pintu keluar kampusku. Dia membukakan pintu mobil untuku, aku memandangnya, “masuk” ucapnya pelan. Aku masih tidak mengeluarkan sepatah katapun. Namun menuruti permintaannya untuk masuk ke dalam mobil.

Dia menutup pintu mobil dan berputar untuk masuk ke dalam mobil juga, dia menyalakan mesin. Di sepanjang jalan kami sama-sama diam, dia tidak sekalipun melihatku, aku sesekali melihat raut wajahnya, dia terlihat cemas dan tegang. Dia tidak seperti Bayang yang kemarin.

--

Akhirnya dia memberhentikan mobil di parkiran depan taman tempat dulu dia pernah menjemputku tengah malam. Dia tidak keluar mobil, dan tidak pula menunjukkan akan keluar mobil. Sudah dua puluh menit kami saling diam dan tidak saling menatap. Aku memutuskan untuk membuka suara duluan.

“Siapa dia?” ucapku.

Bayang menatapku, kali ini tidak ada senyuman seperti biasanya.

“Dia mantan pacarku” akhirnya dia mengeluarkan suara, kalimat pertama yang dia ucapkan sangat membuatku dadaku sesak tidak karuan. ‘mantan pacar?’ pria tadi mantan pacar Bayang. Aku diam dengan tatapan mata sangat dalam ke matanya.

Dia menganggukkan kepala.

“Iya, aku gay. Dulu.. sebelum aku ketemu kamu Sinar..” ucapnya lagi.

Aku masih diam, seluruh bulu kudukku berdiri, semacam angin merasuki pori-pori kulitku sampai menembus jantung. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Bayang gay?

“Sinar, kamu perempuan pertama yang bikin aku jatuh cinta. Dan sekarang aku benar-benar bingung. Bingung dengan orientasi sexualku sendiri. Tapi satu yang aku yakin saat ini, aku gak mau kehilangan kamu, Sinar. Aku mencintai kamu” dia memegang tanganku, berusaha meyakiniku yang mematung tidak tau harus berkata apa.

Aku masih diam, tidak mengeluarkan sepatah katapun, aku melepaskan genggaman tangannya, membuka pintu mobil, dan memutuskan untuk keluar. Bayang memanggil namaku, aku terus berjalan mejauhinya. Dengan pikiran kosong kutelusuri jalanan, dia tidak mengejarku.

--

Aku berhenti disebuah apotik, membeli alat pengetes kehamilan, lalu menaiki sebuah bus menuju rumahku. Di sepanjang perjalanan aku diam, air mata menetes dengan sendiri dari kedua mataku, aku tetap tidak mengeluarkan sepatah katapun.

Aku sampai di dekat komplek rumahku, menghelakan nafas panjang, memutuskan untuk ke rumah Ricardo dulu, masih sore, dia pasti ada di rumahnya.

--

Di depan rumahnya terdengar suara dentingan piano yang terledak di ruang keluarga Ricardo, aku mengucapkan salam, tidak ada yang menjawab, aku melihat ternyata Ricardo sedang memainkan piano tersebut. Musik dari lagu Damien Rice Unplayed Piano.

Dia tersenyum melihatku memasuki rumahnya, melanjutkan permainan pianonya. Aku duduk di sampingnya, mengeluarkan suara, bernyanyi lirih mengikuti iringan piano yang dia mainkan. Lagu ini dinyanyikan oleh dua orang, perempuan dan lelaki, aku mengisi suara perempuan dan Ricardo mengisi suara lelakinya.

“Come and see me, sing me to sleep . Come and free me , or hold me if i need to weep, or maybe it's not the season, or maybe it's not the year, or maybe there's no good reason, why i'm locked up inside, just cause they wanna hide me. The moon goes bright , the darker they make my night. Unplayed pianos, are often by a window. In a room where nobody loved goes, she sits alone with her silent song. Somebody bring her home..”

-Damien Rice Unplayed Piano-

Sampai pada bait terakhir, aku melihat wajahnya dan tersenyum, dia tetap menyelesaikan musiknya sampai dentingan terakhir. Lalu membalas senyumku saat lagu tersebut selesai dimainkan dengan baik dengannya.

Ricardo bisa memainkan hampir semua alat musik, di sela-sela waktunya dia juga menerima les privat piano untuk anak-anak kenalananya yang tinggal masih di daerah komplek ini.

--

Kami pindah tempat mengobrol, sekarang kami di kamarnya, aku meletakkan tasku di atas tempat tidurnya, menyalakan rokok dan duduk di depan teras kamarnya. Dia mengambil buku not balok, lalu ikut duduk di sampingku.

“Gile bener, masa murid gue ada yang minta diajarin lagu Unplayed Piano yang tadi tuh, lagu menye-menye mana gue tau, seharian gue ngulik biar pas moodnya, akhirnya dapet juga” ucap Ricardo yang kubalas dengan senyum.

“Do, liat langit senjanya deh, merah banget ya, cantik” ucapku sambil menunjuk ke arah langit yang sore ini terlihat sangat indah.

“Langit sore kan emang cakep mulu, Nar. Eiya, udah lama yak kita gak poto-potoin langit sore Jakarta. Terakhir kalau gak salah sebelum lo sibuk pacaran sama si Elang” dia menimpali ucapanku.

Aku kembeli tersenyum, menutup kedua mataku dan merasakan hembusan angin yang menyentuh wajahku dengan damai.

“Gue balikan, Nar sama Alyssa. Dia kemarenkan datengin gue ke kampus, dia mohon-mohon sampe nangis, mana tega gue liat cewek nangis, ya udah, coba lagi dah” Ricardo memulai curhatannya. Aku mendengarkannya dengan sesekali memberikan pendapat.

--

Langit sudah mulai gelap, nyamuk mulai berdatangan, aku dan dia masuk ke dalam kamarnya. Aku mengambil hpku yang ada di dalam tas, lalu melihat test pack yang tadi sempat aku beli. Aku mengambilnya dan meminjam kamar mandi yang berada di dalam kamar Ricardo.

Di dalam kamar mandi jantungku berdetak dengan sangat cepat, bagaimana jika hasilnya positif? Bagaimana jika ini adalah anak Bayang. Bayang yang baru saja memberikan pengakuan bahwa dia adalah seorang Gay.

Aku menampung air seniku di sebuah wadah yang sudah tersedia di dalam tes pack tersebut, mencelupkan alat pengetes kehamilan itu dengan perlahan. Ku angkat kembali setelah beberapa detik aku celupkan, ku tunggu selama dua menit seperti yang tertera di kemasannya. Satu garis muncul, jantungku masih sangat kencang berdetak, lalu.. garis kedua muncul. Jantungku seolah berhenti.

“ini gak mungkin, ini gak mungkin, ini gak bisa, ini gak boleh terjadi..” Sambil terisak kugenggam benda kecil berstrip dua di tangan kananku.

“GAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAK............!!” ku lempar benda itu ke salah satu sisi tembok kamar mandi berwarna hijau muda milik sahabatku.

“Nar.. Naaar.. kenapa lo? Nar..” suara Ricardo, teman baik ku mengetuk pintu kamar mandi karena mendengar teriakkan ku.

“Gak apa-apa, Do. Gue gak kenapa-kenapa..” jawabku.

“Heh, lo kenapa dah, ngapain di kamar mandi lama bener, sembelit lagi?” tanyanya.

“Kecoa, Do. Jorok banget sih lo, kecoa sampe banyak gini di kamar mandi” jawabku sambil memflush toilet duduk berwarna putih, dan ku ambil kembali benda yang baru saja ku lempar, ku cuci wajahku, membersikan maskara yang luntur dan menyimpan benda tadi di dalam dompetku.

“Mane kecoa, biar laki gini, sori demori ye kalau sampe kamar mandi gue kotor, kaya baru kenal gue aje lo. Beneran lo kaga kenapa-kenapa? Susah buang air lagi ya?” kalimat pertama Ricardo saat melihat ku keluar dari kamar mandinya.

“Makanya, sayur tuh dimakan, makannya McD mulu sih lu, seretkan pencernaan lo” lanjutnya sambil mengambil gitar yang berada di sisi lemari.

“Do, kalau gue buat masalah...la..gi..lo bakal ninggalin gue gak? Tanyaku spontan, tanpa memikirkan bagaimana reaksi dia.

“Sinar.....” jawabnya sambil tersenyum dan menghentikan permainan gitarnya.

“....kapan sih gue ninggalin lo?” lanjutnya.

Aku menghelakan nafas, “Tapi kali ini kayanya gue bakal bikin lo juga kecewa, Do” ucapku.

“Emang lo ngapain sih, Nar?”

Tetiba terdengar intro musik lagu Perfect dari Smashing Pumkins, ringtone khusus buat telepon masuk dari Alyssa.

“Bentar, Nar. Cewek gue telepon”

“Hallo Beib... ini lagi di rumah, ada Sinar, biasa..” ucapnya di telepon.

--

“Do, gue balik, udah malem” ucapku sambil mengambil tas merah yang tergeletak di atas kasur.

“..eh, bentar Beib.. Nar, jangan lupa makan sayur, besok gue jemput lo jam 9 ke kampus..” Ricardo mengejar ku sampai pintu kamarnya.

Aku turun, pamit ke Tena adik Ricardo yang sedang asik menonton dvd di ruang keluarga. Keluar rumahnya, menghela nafas panjang lalu berjalan kaki menuju rumahku yang hanya berjarak 2 kilo meter dari rumah Ricardo.

Malam ini tidak ada bintang yang terlihat, bulanpun sepertinya tertutup awan, hanya ada aku dan bayangan yang sedikit redup. Sambil tersenyum aku berkata pelan “Oke, kalau ada Sinar aja lo, muncul, kemana lo pas gelap?” pertanyaan bodoh yang kuucap ke bayangan diriku sendiri.

--

Aku berjalan hingga akhirnya sampai ke rumahku.

“Assalamualaikum, Bu. Tadi ke rumah Ricardo dulu, maaf gak ngabarin” salamku ke Ibu.

“Wa’alaikumsalam.. sudah makan kamu? Tadi Ricardo telepon Ibu, katanya pencernaan kamu mulai gak beres lagi?” tanya Ibu.

“Nggak kok, kaya gak tau dia aja, sok tau” jawabku.

“Bu, aku mau mandi trus langsung tidur, pintu pager udah aku kunci. Ibu jangan lama-lama nonton tv-nya, tidur, besokkan kerja. Aku ke kamar ya, Bu”

“Eh, makan dulu kamu, badan udah kurus gitu” sahut ibuku melihat aku mulai berjalan ke kamar.

“Sengaja bu, lagi diet” jawabku singkat beberapa detik sebelum menutup pintu kamar.

“Hhhhh..anak jaman sekarang itu maunya sekurus apa sih? Kayaknya jaman dulu makin berisi itu makin sexy deh” terdengar ucapan ibuku pelan dari dalam kamar.

Selesai mandi, ku keringkan rambut ikalku yang sudah hampir menyentuh pinggang, lalu ku ambil pulpen dan buku kecil berwarna merah bertuliskan “Hope” di depannya. Ku rebahkan sejenak badanku di tempat tidur sekitar 5 menit pikiranku kosong, menatap langit-langit kamar dengan hampa. Kemudian kuatur posisi tidurku senyaman mungkin untuk bisa membuat badanku santai, namun tetap bisa menulis.

Kubuka buku kecil itu, di halaman pertama seperti biasa ada fotoku, Ibu dan almarhum Ayah, dan seketika itu pula air mataku mengalir. Kubuka hingga ku temukan halaman yang belum terisi, mulai kucoretkan dua kata dengan huruf kapital “AKU HAMIL”. Tanganku masih bergetar setelah selesai menuliskan dua kata tersebut, kulanjutkan menulis sambil sesekali menghapus air mata yang tak jua mau berhenti membasahi kedua pipiku.

“AKU HAMIL

Apa lagi yang menungguku di cerita kali ini, Tuhan?

Seorang bayi? Apa yang harus ku katakan ke Ibu? Apa Ayah sudah tau masalah ini? Apa sekarang dia sedang menangis melihat putri satu-satunya seperti ini?

Ini gak boleh terjadi, aku gak boleh hamil. Ya, aku tidak boleh hamil.”

--

Ku tutup buku merah tersebut, ku ambil hpku, menjawab beberapa pesan yang masuk sedari sore tadi, salah satunya dari Elang.

“Kamu sudah di rumah? How’s your day today, darl?”

“Hay, where are you?”

“Hellooo..”

“Sayaaaaaang..”

Baru saja ku baca BBM dari Elang, dan ku balas:

“Aku hamil.” Jawabku

“Are you joking? But, we never had sex. Kenapa bisa begini?” Elang membalas BBM-ku, butuh 10 menit untuk aku membalas pertanyaan tersebut.


Bersambung....



Oleh: @ekaotto

20 September 2011

Ricardo dan Rahasia

Ku buka mataku, aku melihat langit-langit ruangan yang tidak asing lagi, ini kamarku. Ku rasakan seseorang menggenggam tanganku. Aku melihat sosok Ricardo menundukkan kepala, mungkin tertidur, aku menggerakkan tanganku yang sedang dia genggam. Dia mengangkat kepalanya. Sudut bibirnya berdarah, pipinya sedikit lebam.
“Nar, lo udah sadar? Lo baik-baik aja?” ucapnya saat pertama kali melihatku, aku menyentuh wajahnya, luka-luka yang dia dapat karena membelaku, aku menangis dan meminta maaf kepadanya.
“Maafin gue, Do.. maafin, lo jadi kayak gini..” ucapku sambil menangis melihat luka-luka di wajah Ricardo.
“Nar, sebenarnya ada apa? Ngapain Radit kayak gitu ke lo? Gue gak akan ngampunin dia. Jangan sampe gue ngeliat dia lagi” ucapnya dengan nada emosi.
“Kenapa lo bisa di sana, Do? apa aja yang lo denger dari pembicaraan kami?” tanyaku.
“Gue jemput dan nungguin lo di parkiran biasa, lo gak dateng-dateng, gue telepon hp lo mati, gue inget lo ada kuliah di ruang C, gue samperin dan gue liat Radit lagi nyiumin lo dengan paksa dan elo berontak, tanpa fikir panjang gue hajar tu orang. Lalu lo pingsan, pas itu juga banyak yang dateng ke kelas mungkin karena denger suara gue berantem sama tu bajingan. Kita dipisahin, gue langsung gendong lo, pas tau lo gak sadarin diri, dan bawa lo ke mobil...” jelasnya.
Aku tersenyum sambil masih menggenggam tangannya.
“..gue bingung, Nar. Gue juga takut lo bakal kenapa-kenapa, sangking paniknya gue malah gak bawa lo ke RS, gue bawa lo pulang, tapi rumah lo kosong. Gue cari kunci rumah lo di tas lo, dan yaudah, gue tidurin lo di tempat tidur, ngasih lo minyak kayu putih di hidung biar sadar. Gue bilang ke diri gue sendiri, kalau sampe 10 menit lagi lo gak sadar gue bawa lo ke RS” lanjutnya.
Aku memegang sudut mata kanannya dengan tangan kananku, “Lo nangis, Do?” tanyaku sambil tersenyum.
“Hah? Kagak, apaan nangis. Lo tuh nangis” kelaknya sambil membalikkan wajahnya, menyapu wajahnya dan kembali melihat wajahku.
“Sekarang cerita, kenapa tu bangsat bisa kaya gitu ke elo?” tanya Ricardo dengan nada serius.
Kuhelakan nafas, melepas genggaman tangan kami, memalingkan wajah dan mulai bercerita dari awal hubunganku dengan Radit. Bagaimana kami bisa menjadi sepasang selingkuhan yang saling menyelingkuhi pasangan masing-masing. Apa saja yang telah aku lakukan dengan Radit di belakang pasangan kami, dan siapa Dini. Ricardo tidak menyelak perkataanku, dia mendengarkan dengan raut wajah seakan tidak percaya. Tidak percaya bahwa aku, teman yang paling dia sayangi dan selama ini dia jaga bisa melakukan hal seperti apa yang aku ceritakan.
Ku selesaikan ceritaku, aku menatap Ricardo. Dia masih terdiam, aku memaklumi reaksinya.
“Kali ini gue udah kelewatan ya, Do..” aku tidak bertanya, aku membuat pernyataan.
“Sinting lo, Nar..” ucap Ricardo.
“..kenapa masalah begini ribetnya lo simpen sendiri? Lo gak nganggep gue? Kenapa lo gak cerita ke gue?” lanjutnya.
“Itu bukan hal membanggakan yang bisa gue bagi-bagi ceritanya ke elo, gue malu, Do.. takut juga, takut lo marah, takut lo ninggalin gue..” jawabku sambil menitikkan air mata dan menatap matanya.
“Gue kecolongan.. Radit bangsat!” ucap Ricardo kali ini.
“Maafin gue, Do..” ucapku lagi karena merasa bersalah menyembunyikan hal besar dari dia yang selalu menjagaku.
“Semua akan baik-baik aja, Nar.. Lo laper? Gue beliin makanan ya?” Ricardo beranjak dari tempat dudukku dan mengecup keningku, lalu meninggalkan kamarku. Aku melihat matanya berkaca-kaca saat meninggalkan kamarku.
Aku menangis selepas Ricardo meninggalkanku. Rumahku sunyi, tidak ada suara apapun yang terdengar kecuali suara pagar yang dibuka dan ditutup Ricardo untuk keluar dan membelikanku makanan. Aku mengenang apa yang baru saja terjadi antara aku dan Radit di kelas tadi, aku memegang bibirku, robekan baju yang Radit sebabkan. Aku marah, namun terlalu sedih untuk bisa melampiaskannya.
Ibuku malam ini menginap di rumah nenek karena tadi pagi katanya nenek sakit, entah kenapa aku merasa itu sebuah keuntungan, apa jadinya jika ibuku melihat keadaanku dan Ricardo saat ini? Dia pasti akan cemas. Entah alasan apa yang akan Ricardo pakai untuk menjelaskan luka di wajahnya kepada orang rumahnya nanti.
Aku mengecas hpku yang sedari siang mati, menyalakannya dan mendapati ada pesan dari Elang dan Dini masuk secara bersamaan.
-BBM masuk-
“Sayang, lagi-lagi lupa ngecas ya? Kalau kamu sudah bisa baca BBMku balas yah” dari Elang.
Elang masih belum menunjukkan sikap bahwa dia sudah mengetahui tentang aku dan Radit. Mungkin benar ucapan Radit tadi, dia mengancam Dini untuk menutupi apa yang Dini dengar dari pembicaraan kami di toko buku waktu itu.
“Maaf, aku baru nyalain hpku. Kamu lagi apa?” jawab BBMku ke Elang.
Aku membuka BBM dari Dini.
“Sinar, aku gak nyangka kamu tega gini sama aku? Sama mas Elang, sekarang sama Radit? Kamu ngapain dia sampai dia luka-luka kayak gini? Aku sembunyikan hubungan kalian selama ini dari mas Elang bukan karena kamu, semua semata demi mas Elang yang sangat mencintai kamu. Aku gak mau melihat mas ku terluka melihat kenyataan perempuan macam apa yang dia cintai. Ditambah dengan ucapanmu di toko buku siang itu, kamu bilang mau menyudahi hubunganmu dengan tunanganku. Aku anggap itu sebagai bukti penyesalanmu dan kamu mau berubah. Tapi apa? Malam ini aku mendapati tunanganku babak belur dihajar sahabatmu. Sampai kapan kamu mau berhenti menyakitiku, Sinar?” BBM yang sangat panjang dari Dini. Aku menghelakan nafas panjang selesai membacanya, dan aku tidak membalas sepatah katapun kalimat-kalimatnya. Aku masih penat.
--
Jakarta, 3 Juli 2011
Aku memutuskan tidak masuk kuliah dua hari ini, aku dan Ricardo sama-sama membolos. Kami berdua pergi ke salah satu mall dekat kampus, makan siang di sebuah restoran cepat saji. Saat kami ingin pulang, di parkiran aku melihat sedan hitam yang mirip dengan milik Bayang, aku lihat plat mobilnya, benar itu milik Bayang, Bayang ada di dalam mall ini. Aku ingin bertemu dengannya, sudah hampir tiga minggu aku tidak mendapatkan kabar tentang dia.
“Do, lo balik duluan yah, gue ada perlu sebentar” ucapku sambil membuka pintu mobil yang sedang berjalan pelan.
“Eh, sinting lo ya, buka pintu tiba-tiba gitu?! Mau kemana lo?” ucap Ricardo menghentikan mobil dan menurunkan kacanya.
“Ada yang harus gue beli, Do.. Lo balik aja” ucapku meninggalkan dia dengan sedikit berlari menuju pintu masuk mall lagi.
“Nar, Sinar..” Ricardo memanggilku, namun aku menghiraukannya. Aku harus ketemu Bayang!
Siasatku kembali ke pintu masuk mall berhasil, mobil Ricardo sudah menjauh. Aku kembali ke tempat parkir, menunggu Bayang kembali ke mobilnya, aku bersembunyi di balik mobil yang parkir di samping mobil Bayang.
Ada suara kunci mobil menyala, aku mengintip, benar lampu mobil Bayang yang menyala. Aku menanti sosok Bayang muncul, suara langkah semakin mendekat dan aku mencium parfum yang biasa Bayang kenakan, tapi.. eh? Bukan Bayang? Siapa lelaki itu? Lelaki dengan tinggi sepantaran Bayang dengan kulit lebih putih. Sepertinya aku pernah melihat lelaki ini. Di mana ya? Dan kenapa dia menaiki mobil Bayang?
Terlalu banyak memikirkan ini itu, lelaki tadi masuk ke dalam mobil, keluar dari parkiran dengan mulus. Sedan hitam itu mulai meninggalkan tempat tadi dia parkir. Aku terdiam dan merasa kecewa karena tidak berhasil menemui Bayang.
Hhhhh... Aku berjalan ke dalam mall lagi, menaiki lift untuk bisa keluar dari pintu utama mall ini.
“Udah beli barangnya?” tetiba sosok Ricardo ada di depanku, sepertinya dia menungguku di pintu utama, karena tau aku akan melalui pintu ini untuk keluar dari mall.
“Gak ada, yang gue cari gak ketemu..” ucapku ke Ricardo dengan nada kecewa.
Ricardo mengajakku ke parkiran yang berada di depan mall ini, benar ternyata setelah dia keluar parkiran basement tadi, dia kembali memarkirkan mobilnya dan menungguku di pintu keluar utama mall ini. Dan kamipun kembali ke rumah dengan isi kepalaku yang masih mengingat-ingat di mana aku pernah melihat lelaki yang tadi menaiki mobil Bayang.
--
Sore ini aku berenang dengan Ricardo untuk memenuhi jadwal olah raga berat minggu ini. Baru satu kali putaran berenang, aku keluar dari kolam renang, lagi-lagi aku mual. Aku segera lari ke kamar mandi, ya Tuhan.. ada apa dengan tubuhku, belum pernah aku merasakan mual seperti ini. Aku pun lupa untuk mengecek tubuhku ke dokter, tidak..aku tidak boleh ke dokter, aku akan memeriksanya sendiri.
“Nar, lo gemukan bener deh, apalagi pake baju renang gitu. Masih sembelit?” tanya Ricardo saat kami duduk di tepi kolam renang sambil memainkan air dengan kaki kami masing-masing.
“Iya, gemukan” jawabku singkat.
“Eh, Nar, tau gak..masa yah tadi temen sekelas kita ada yang didamprat senior, buset dah, udah kaya jaman SMA” Ricardo memulai gosip sore yang biasanya kami lakukan di malam hari di teras rumahku.
“Oh ya? Siapa? Terus-terus?” aku menanggapi Ricardo karena saat ini aku butuh percakapan baru yang bisa mengalihkan perhatianku terhadap masalah yang sedang aku hadapi.
Kami banyak tertawa sore ini, dan malampun kami lanjutkan dengan obrolan di teras rumahku, sambil mengerjakan tugas kuliah yang sudah mulai menumpuk.
--
Jakarta, 4 Juli 2011
Hari ini aku ada kuliah pagi, Ricardo tidak ada kuliah, aku berangkat ke kampus dengan menaiki taxi, jalanan Jakarta pagi ini sangat macet.
“Mbak, kita potong jalan lewat belakang Kuningan ya? Biar gak macet banget, stuck nih kalau lewat sini, gak tau bisa sampai jam berapa” ucap supir taxi kepadaku.
Aku melewati jalur yang biasanya tidak aku lewati, jalanan kecil yang hanya cukup dilewati pas dua mobil, tidak macet, namun jalanannya sedikit rusak. Hingga akhirnya kami keluar ke jalan raya lagi, kami keluar tepat di suatu tempat yang mengingatkanku dengan seseorang, apartement Bayang, taxi ini memotong jalan hingga tembus ke jalanan di samping apartement Bayang.
Aku memeriksa isi tasku, kunci apartement Bayang, iya, aku ingat Bayang menyuruhku membawanya saja. Kenapa aku baru ingat hal ini, tapi.. jangankan ke apartement Bayang, sekedar menelepon atau SMS dia saja aku takut, nyaliku terlalu kecil kali ini. Hhhhhh...ku urungkan niatku untuk mendatangi Bayang. Taxi terus berjalan menjauhi apartement yang menyimpan kenangan semalamku dengan Bayang. Aku membuang pandanganku dari apartement Bayang, kembali melihat jalan raya yang terlihat dari kaca depan taxi. Menyalakan earphoneku, mendengarkan lagu untuk sekedar mengistirahatkan otakku.
“I need another story, something to get off my chest. My life gets kinda boring, need something that I can confess. ‘Till all my sleeves are stained red, from all the truth that I’ve said, come by it honestly I swear. Thought you saw me wink, no I’ve been on the brink, so tell me what you want to hear , something that were like those years. I’m sick of all the insincere. So, I’m gonna give all my secrets away.. This time don’t need another perfect line, I’m gonna give you all my secrets away..”
-One Republic Secret-

Menceritakan sebagian rahasiaku ke Ricardo kemarin sedikit melegakan hatiku. Hhhhhhh..
Hari ini hari pertama aku ke kampus setelah kejadian dengan Radit yang lalu, semoga kali ini akan baik-baik saja, semoga tidak akan ketemu radit lagi. Aku berjalan memasuki kelasku, kelas yang sama dengan kejadian dua hari lalu, di mana Radit dan Ricardo saling pukul di depan mataku. Seram, aku gak mau kejadian seperti itu terulang lagi. Aku tidak mau keduanya terluka, apa lagi sampai saling menyakiti hanya karena aku.
Aku mengecek hpku, membaca SMS terakhir dari Bayang. Apa aku coba SMS dia saja, ya? Rasa ragu dan takut menggerogoti perasaanku saat ini, aku harus ketemu dia, entah kenapa aku merasa membutuhkan dia saat ini.
Lamunanku buyar karena dosen memasuki kelas dengan menyapa semua mahasiswa. Lagi-lagi kuurungkan niatku untuk menyapa Bayang. Hhhhh..
--
Jam tiga sore, kelas akhirnya selesai, pulang sediri deh. Sepi juga kalau gak ada Ricardo di kampus, aku melihat sekelilingku, ramai, aku mengenal mereka, tapi entah mengapa tak ada satupun diantara mereka yang bisa masuk ke hatiku untuk berbagi cerita tentang apa yang aku rasakan selain dengan Ricardo.
Aku berjalan menuju tempatku biasa menunggu bus.
Sekitar 30 menit sudah aku menunggu, namun tidak ada bus jurusan menuju rumahku lewat, tetiba ada mobil sedan hitam berhenti di depanku, Bayang! Ya Tuhan, ini Bayang? Kaca mobil perlahan diturunkan, pria berkulit cokelat, berlengan besar itu membuka kacamata yang dia kenakan dan tersenyum kepadaku, aku tersenyum dengan lepas dan segera menghampirinya, dia memberi isyarat mengajakku masuk ke dalam mobilnya, akupun langsung masuk.
Aku duduk dan langsung tersenyum kepadanya, diapun tersenyum kepadaku.
“Apa kabar, non?” ucapnya.
“Baik. Kamu apa kabar?”
“Aku juga baik-baik saja” dia mengenakan kembali menjalankan mobilnya, namun kali ini tidak mengenakan kacamata hitam yang biasanya selalu dia pakai.
Dia banyak tersenyum hari ini, banyak menatapku sesekali saat jalanan tidak ramai, aku ikut tersenyum tiap kali melihat wajahnya. Sudah tiga minggu kami tidak berjumpa. Sekitar sepuluh menit tidak ada percakapan diantara kami, sampai akhirnya aku memutuskan untuk memulai percakapan.
“Kamu kemana aja? Kenapa menghilang?” tanyaku.
Dia tersenyum dan menatapku, “Aku gak kemana-mana, kamu juga pegang kunci apartementku, tapi gak pernah dateng berkunjung sekalipun. Eh, sebentar deh.. “kamu”? kamu sekarang ngobrol sama aku pakai “aku-kamu” nih?” ucapnya dengan nada meledek.
“Ih, ditanya serius juga. Kenapa gak sekalipun kamu hubungin aku?” tanyaku lagi.
“Aku nunggu kamu nyapa aku duluan, aku pegin ngerasain dikangenin sama kamu”
“Hah? Maksudnya?”
“Iya, kadang untuk mendapatkan perhatian dari seseorang, kita harus berhenti memberi perhatian ke orang tersebutkan?...” dia kembali tersenyum.
“...Tapi kayaknya caraku gak berhasil, kamu gak ngubungin aku duluan, aku gak berhasil bikin kangen aku” lanjutnya.
“Jahat! Aku kangen tau, Cuma aku takut buat hubungin kamu duluan. Setelah kejadian malam itu, aku terus-terusan menebak-nebak apa yang sekarang kamu pikirkan tentang aku..” ucapku.
Dia tersenyum dan mengelus rambutku, “Sinar, jangan suka menebak-nebak apa isi kepala seseorang, tanya langsung” ucapnya.
Aku menunjukkan raut wajah kesal, kesal dengan sikapnya yang tenang-tenang saja atas perlakuannya selama ini yang mendiamkanku.
“Setiap hari aku lewat kampus kamu, kadang aku suka lihat kamu sama temen kamu yang waktu itu kamu kenalin di rumah kamu, aku yang terlalu tidak punya nyali untuk menghampiri kamu...” ucapnya lagi.
“...kamu mau maafin aku?” dia mengulurkan jari kelingkingnya. Aku yang tadinya ingin marah-marah karena dia yang lama menghilang jadi ikut tersenym mendengar penjelasan dan melihatnya langsung seperti sekarang.
Di sepanjang jalan kami banyak berbincang, tidak seperti biasanya, sore ini Bayang begitu lepas tertawa dan banyak bicara. Aku nyaman berada di sisinya, dadaku selalu hangat tiap kali melihat matanya.
Bayang membukakan pintu mobil saat sampai di depan rumahku, aku mengajaknya masuk ke rumah, entah kegilaan apa yang ada di dalam pikiranku saat ini, aku tau di dalam rumahku ada Ibuku, sebagai apa Bayang akan ku kenalkan kepada Ibu? Bayang menggandeng tanganku saat kami memasuki rumah.
“Assalamualaikum, Bu” ucapku, dan suara yang pertama menjawab salamku adalah suara Ricardo yang sedang duduk membaca koran di ruang tamu rumahku.
“Walaikumsalam..” Ricardo menatapku dengan pandangan penuh tanya, spontan aku melepaskan gandengan tanganku dengan Bayang.
Bayang mengulurkan tangan ke Ricardo, “Apa kabar? Lama tidak berjumpa” lalu dia tersenyum seperti biasa.

Bersambung....