Tentang 30 Hari Cerita Cinta

14 September 2011

Secangkir Kopi, Secangkir Coklat, Satu Cinta: Takdir


II. Keping Takdir

Royal Botanic Garden di bulan April masih diterpa hawa dingin yang lumayan membekukan. Setidaknya untuk ukuran Fadil yang terbiasa dengan hawa panas Jakarta hampir seumur hidupnya. Tapi, Fadil senang berada di taman ini walaupun harus mengenakan jaket. Suhu 14 derajat Celcius di sore yang berawan di Melbourne membuatnya sesekali menggigil.
Rombongan angsa hitam di tengah danau berbaris rapi. Salah satunya mengepakkan sayap. Fadil tersenyum. Kebebasan adalah salah satu hal yang paling berharga. Dan dia bersyukur bisa mengecap kebebasan itu, walaupun garis hidupnya tak terlalu hebat. Bagi Fadil, setiap detik adalah perayaan kehidupan.

Riak kecil yang ditimbulkan para angsa hitam membuyarkan pantulan dari pepohonan berusia ratusan tahun yang berjajar di pinggiran danau. Fadil selalu suka dengan suasana taman ini. Menenangkan. Di Jakarta, menemukan taman seluas ini di tengah kota, dengan danau di tengah-tengah taman yang dipenuhi dengan berbagai flora dan fauna adalah satu kemustahilan. Kota metropolitan lain berlomba membuat taman kota, Jakarta berlomba menggusur lahan hijau dan membuat mal-mal besar. Suasana tenang, udara segar, dedaunan yang terjatuh dari pohon, kepak sayap angsa dan burung, suara langkah kaki kijang dan rusa dan kicau riang dari balik pepohonan adalah hal yang wajar di taman ini, tapi mencari hal yang serupa di Jakarta adalah sia-sia, kecuali kalau berkunjung ke Kebun Binatang Ragunan.

Sepertinya jajaran orang-orang di pemerintahan kota Jakarta lebih peduli pada pembangunan hutan beton, mal, gedung bertingkat daripada membuat taman kota yang sejuk. Uang adalah salah satu faktornya. Taman versus Mal. Mana yang lebih menguntungkan?
Ah, sudahlah. Tak ada gunanya membahas paru-paru kota penyuplai oksigen versus pencakar langit penyuplai uang kas kota. Sudah jelas mana yang akan menang. Fadil tertawa miris, lalu duduk di bangku yang menghadap danau. Dia memenuhi paru-parunya dengan oksigen yang menyegarkan, yang masih tak tercemar oleh polusi.

Alam memberikan begitu banyak hal untuk dinikmati manusia secara gratis. Anehnya, kita malah lebih suka menghamburkan uang untuk udara dingin yang dihembuskan dari mal-mal yang berserakan. Padahal kita semua tahu, alam tetap akan menang melawan kecanggihan apapun.
Bangku yang menghadap ke arah danau adalah spot favorit Fadil dari dulu. Apalagi kalau sedang penat dan merasa sumpek dengan kerjaan, taman ini adalah pelariannya. Pernahkah mendengarkan bunyi jantung sendiri dan suara akal yang berlomba menghadirkan inspirasi? Taman ini lah tempat yang paling sempurna. Fadil sangat berterimakasih kepada Adil yang sudah mengenalkannya pada Royal Botanic Garden ini. Sebenarnya, Fadil berterimakasih ke Adil untuk hampir semua hal-hal indah yang terjadi dalam hidupnya. Bisa dibilang, dia berhutang nyawa pada sahabat sekaligus orang yang menjadi bos dan juga sudah dia anggap sebagai saudara. Fadil tersenyum lagi. Memikirkan, apa yang sedang Adil lakukan? Meeting di pusat kota dan memukau peserta tender, atau malah sedang berkelana sendiri?

Satu titik di langit mendung terlihat semakin jelas. Fadil memicingkan matanya, berusaha mengenali titik itu. Sesaat kemudian, warna merah, kuning, hijau terang dan orange menjelma. Parasut! Siapa yang segila ini main terjun payung pada suhu 14 derajat Celcius? Makin lama, parasut itu melayang makin dekat. Kelihatannya akan mendarat di salah satu bagian di taman ini. Tiba-tiba Fadil teringat, Adil kan juga suka main terjun payung? Kalau Adil sudah menginginkan sesuatu, dia nggak kenal waktu. Apa yang dia inginkan harus dia dapatkan saat itu juga. Jangan-jangan…

Fadil terus memperhatikan parasut yang kini melayang makin rendah. Tapi, dia masih belum bisa melihat wajah orang yang terikat pada tali temali parasut itu. Kalau orang itu tak segera melakukan manuver, pasti dia akan mendarat di tengah danau. Dan benar saja dugaan Fadil. Diiringi dengan bunyi ceburan keras yang mengagetkan angsa-angsa di danau, satu sosok terjatuh, diikuti dengan parasut besar yang menutupi danau dengan aneka warna cerah. Burung-burung yang hinggap di pohon di sekitar danau mengangkasa dengan suara berisik karena terganggu dengan kehadiran mahkluk asing di tengah danau.

Fadil terus menunggu. Tapi tak ada orang yang berenang ke tepian. Parasut warna warni kini perlahan mengempis. Air danau mulai membasahi parasut itu, dan perlahan bentuknya mengecil, seolah terhisap masuk ke dalam danau. Fadil tambah khawatir. Siapa orang gila di tengah danau? Kenapa dia nggak segera berenang ke tepi? Karena tak melihat gerakan apapun, Fadil membuka shawl ungu tuanya, melepas sepatunya dan jaket tebalnya, lalu tanpa ragu terjun ke danau!

Air danau yang dingin seketika membakar kulit Fadil. Dia berenang secepat yang dia bisa, menuju parasut yang kini mulai terisi air dan perlahan tenggelam. Dalam hati, Fadil mengutuki dirinya sendiri yang mau-maunya menderita begini untuk menyelamatkan orang yang mungkin tak dia kenal. Sesaat Fadil menyesali keputusan impulsifnya terjun ke danau. Ribuan jarum serasa menusuki kulitnya. Dingin yang begitu mencucuk sampai membakar. Dia terus bergerak, berhenti sebentar untuk menarik napas dalam-dalam dan akhirnya menyelam di satu titik yang dia perkirakan tempat manusia berparasut tadi tenggelam.

Fadil tak bisa melihat dengan jelas. Sinar matahari yang terhalang mendung tak bisa menembus air danau yang gelap. Tapi samar-samar, Fadil masih bisa melihat satu gerakan kecil. Dia menyelam lebih dalam lagi. Dinginnya air mulai tak tertahankan. Fadil memaksakan dirinya terus bergerak. Satu sosok manusia terkulai lemah terbelit tali parasutnya sendiri, melayang di tengah danau. Tak bergerak, kedua lengannya terkulai di samping badannya. Fadil berenang lebih cepat lagi dan dengan susah payah berusaha membebaskan manusia itu dari tali parasutnya. Udara terdesak keluar dari paru-paru Fadil saat dia menyadari orang itu adalah Adil!

Fadil bekerja lebih cepat. Persediaan oksigen di paru-parunya mulai menipis. Seluruh tubuhnya mulai menjeritkan protes karena kekurangan oksigen. Fadil menyentakkan tali terakhir yang membungkus Adil dan segera menariknya ke atas. Paru-paru Fadil mulai membakar, seluruh tubuhnya menuntut udara segar.

Kembali memandang langit mendung dan merasakan terjangan oksigen yang berlomba memasuki paru-parunya barangkali akan menjadi satu hal yang terus Fadil ingat. Dia masih harus berjuang membawa tubuh Adil yang lemas ke pinggir danau.

"Dasar tolol. Kalo lo sampe kenapa-kenapa, gue akan kulitin elo dulu sebelum gue kubur, Dil!" Fadil merutuki Adil sambil berenang dengan napas yang terengah-engah. Adil masih terkulai lemas, tak bergerak sama sekali.

Emosi Fadil makin memuncak saat Adil dia seret ke pinggir danau, tergeletak di rumput yang kini basah. Wajah Adil sepucat hantu, tak ada napas sama sekali. Fadil segera berjongkok di sampingnya, berusaha mengabaikan dingin yang kini makin menjadi karena hembusan angin. 
Fadil mengigil, lalu menekankan kedua tangannya kencang-kencang ke arah dada Adil.

"Ayo, bangun, Dil! Gue gak mau liat elo mati konyol begini. Pengusaha muda mati terlilit tali parasutnya dan kehabisan napas karena tenggelam di danau nggak akan membuat headline news yang bagus. Lo akan dicemooh dan ditertawakan! Bangun!"

Fadil terus menekankan tangannya, berulang-ulang, berharap pada satu keajaiban bahwa Adil akan bernapas lagi. Tapi usahanya sia-sia. Adil tetap lemas tak berdaya. Matanya tetap terpejam. Fadil dilanda ketakutan.... 


Bersambung.



- (oleh @aMrazing)

Seperempat Senja: Hujan

Tepat jam 5 sore alarm Karin berbunyi. Sebenarnya alarm itu sudah diset 30 menit sebelumnya. Salahkan orang yang menciptakan tombol snooze, karena hobinya memencet tombol itu Karin selalu menset alarm 30 menit sebelum waktu sebenarnya. Untuk apa Karin bangun sore hari sampai harus menyetel alarm?
Ini dimulai minggu lalu saat dia memutuskan melakukan rutinitas baru yaitu jalan sore. Sayangnya seminggu ini aktivitas dan tugas kuliah tiba-tiba membludak, sehingga Karin terpaksa mengesampingkan rutinitas barunya itu untuk beberapa saat. Maka sore ini Karin memulai kembali membangun niat untuk kembali melakukan jalan sore- percayalah rutinitas yang sempat ditinggal lama membutuhkan usaha dari nol lagi untuk menciptakan kedisiplinan. Seperti orang yang berusaha berhenti merokok, atau dalam kasus Karin memulai kebiasaan gosok gigi malam hari saja membutuhkan waktu lama sampai terbiasa.
Untuk sore ini Karin mempunyai rute baru, yaitu taman besar yang sering disebut 'the gladiator'. Taman ini terletak di dekat kantor utama kampusnya, mempunyai air mancur di tengahnya. Pada kiri dan kanan terdapat bangku-bangku taman di bawah canopi yang dililiti alamanda sampai menjuntai. Tapi yang paling menarik dari taman yang berbentuk memanjang ini adalah kedua sisinya tepat mengikuti orientasi barat dan timur. Sehingga saat pagi dapat terlihat matahari menyembul dari salah satu ujung taman, dan saat sore matahari seperti terlihat tenggelam pada ujung taman satu lagi!
Jadi saat sekarang Karin melakukan jalan sore menyusur alur jalan sepanjang taman, akan terlihat seakan-akan Karin mengejar matahari yang akan terbenam. Setiap mengingat hal ini Karin tersenyum. Mengejar matahari.. Ah seperti judul film saja.

Saat menemui air mancur-yang berarti sudah setengah taman dilewati, Karin memutuskan untuk beristirahat. Setelah meminum air dari tempat minum favoritnya, ia melepaskan buluk dari kakinya untuk beristirahat. 'buluk'? Oh itu nama sepatu olahraga putih dengan aksen biru di kiri dan kanannya. Karin memang terbiasa memberi nama pada barang-barang yang sering digunakannya untuk membangun kesehatian dengan benda tersebut. Hpnya bernama Erika, laptopnya Aci, kameranya bernama Oli, dan biolanya diberi nama Ola. Karena dirasa sepatu ini akan sering dipakainya Karin memberi nama buluk pada sepatu olahraga. Tak ada kriteria khusus pada pemberian nama bagi Karin, hanya supaya mudah diingat saja.
Karin memperhatikan bayangan pada jalan yang semakin memanjang sampai menutupi bagian kiri dan kanannya. Menandakan bahwa matahari sebentar lagi terkapar diujung bumi sana. hmm udara sore hari memang terasa lebih segar... "masih aja ngeliatin matahari?"
"YYAAAAA" Karin kaget dan spontan berdiri, memasang kuda-kuda seperti yang sering dilihatnya pada film Jackie chan. Bangku taman itu memang dua sisi, dan sedari tadi ada seseorang yang duduk disisi sebelahnya memperhatikan gerak-gerik Karin. Seseorang yang membuat Karin hampir malas melakukan jalan sore ini. Seseorang yang membuatnya mengubah rute jalan sorenya. Dan sekarang seseorang itu melompati bangku dan duduk disisi berlawanan, disisi Karin duduk tadi.
"Gabriel, masih ingat kan?" cowok itu nenunjuk dirinya sendiri. "atau jangan-jangan selama ini mba ngikutin saya ya ternyata?"jawabnya sambil tersenyum. Dan mengertilah Karin sekarang, kenapa dulu ia sempat ingin melayangkan si buluk ke arah muka cowok ini(sekarang juga masih ingin sih). Senyum cowok didepannya ini lebih cocok disebut seriangai, senyumnya angkuh dan sombong dan jahil. Senyum ini menampilkan taring kecil giginya, juga lesung pipit. Senyum ini terasa familiar entah kenapa.
Dengan was-was Karin meperhatikan sekitarnya. Ada anak-anak kecil bermain disekitar air mancur, beberapa orang jogging sambil membawa anjing peliharaannya, lalu ada pasangan lansia yang sedang bercengkrama di canopi seberang. Bagus, setidaknya kalau orang ini macam-macam tinggal berteriak saja, batin karin. Kemudian dia mengambil tempat duduk tepat disebelah orang itu dan memakai si buluk.
Gabriel masih santai mencoreti sesuatu dengan pada kertasnya, sedangkan disebelahnya Karin merutuk dalam hati kenapa acara jalan sore selalu terganggu oleh mahkluk satu ini. Setelah selesai memakai buluk Karin bangkit bersiap pergi. "Mba punya payung?"
"punya di kosan, kenapa?"
"sekarang nggak bawa ya?"
"nggaklah, kenapa?" Karin mengulangi pertanyaannya perlahan, penasaran.
"bentar lagi bakalan hujan" Gabriel menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari kertasnya. Refleks Karin melongok ke arah langit yang adem ayem saja dari tadi.
"mba ga percaya?"
"darimana lo tau bentar lagi bakalan hujan?"
"mau taruhan?" Karin diam. "kalau benar hujan nanti traktir gue makan ya?" dan sekali lagi dia mengeluarkan cengiran congkak itu, membuat karin tertantang untuk mengalahkannya. maka dia duduk kembali.
Sayangnya tak lama setelah itu mulai gerimis turun rintik-rintik tanpa disangka. Karin langsung teringat cucian yang dijemurnya pagi tadi. Cucian yang telah ditumpuknya selama seminggu, Karin tak mau mencuci ulang semua itu lagi hanya gara-gara hujan. Segera ia mengsms teman di depan kamarnya untuk meminta tolong mengangkat jemuran. Tanpa Karin sadari hujan sudah semakin deras bukan rintika lagi. Baru setelah Gabriel menarinya ia mukai beranjak, mereka berteduh dibawah pohon Ki Hujan.
Untuk pulang ke kosannya masih cukup jauh, tetapi Karin tidak tahu harus kemana lagi. Sedangkan pohon Ki Hujan ini tak cukup ampuh untuk melindungi, mereka mulai basah kuyup. "kesana saja yuk mba" Gabriel menunjuk sebuah warung soto seberang jalan. "itu langganan saya" katanya meyakinkan. Maka mereka mulai menyebrang menuju warung tersebut.


- (oleh @oryzanikita - http://selimutbirutua.tumblr.com)

Little Magdalena: Fallen Angel

Aku selalu menyukai permainan sulap.

Saat masih SD, sepulang sekolah di lapangan dekat rumah biasanya ada penjual obat yang menggelar dagangannya di lapangan dekat rumah. Sulap yang ditampilkan biasanya macam-macam. Dari permainan kecepatan tangan ringan seperti menghilangkan rokok dan bola pingpong dari tangan, sampai yang agak ekstrim dan menjurus ke debus amatir macam mengiris leher dengan pisau atau menyilet-nyilet lidah. Semua pertunjukan itu terasa sangat menarik buatku. Setelah pertunjukan selesai, biasanya si pemain sulap akan menawarkan obat, - barang dagangan yang sesungguhnya. Kadang obat kuat, - yang seringnya tidak terdaftar di Departemen Kesehatan, minyak ajaib untuk 1001 penyakit, - itu yang dikatakan penjualnya, kadang juga obat-obat kecantikan yang diklaim bisa menyembuhkan bopeng-bopeng bekas luka di wajah, jerawat, flek-flek hitam, sekaligus berkhasiat pemutih instan. Terdengar luar biasa? Tapi aku tetap tidak percaya dan tidak tertarik sedikitpun. Aku dan anak-anak lain seusiaku yang ikut menonton hanya menikmati pertunjukan sulapnya. Membeli obat adalah urusan penonton dewasa. Bapak-bapak, ibu-ibu, kadang juga anak-anak muda dan perempuan-perempuan yang beranjak ABG dan mulai kecentilan.

 

 

*

 

"Barusan kamu main sulap atau debus?"

"....."

"Itu kenapa kelelawar bisa keluar dari mulut kamu?"

"...."

"Kamu pikir dengan mainan seperti ini kamu bisa jadi juara?"

"...."

"Lain kali jangan main yang norak kayak gini."

"...."

"Saya ulang. Lain kali pilih permainan yang lebih cerdas. Panggung ini perlu atraksi yang lebih keren."

"...."

 

Baik. Sekarang akan kuceritakan pelaku percakapan di atas.

Si penanya adalah Deddy Courbuzier, lawan bicaranya adalah salah satu peserta The Master, - ajang pencarian bakat magician yang pernah diadakan RCTI. Malam itu Master Deddy, - itu julukannya, sangat gusar dengan aksi berbahaya yang dilakukan kontestan berambut gondrong dan brewokan itu. Begini aksinya, peserta yang tak-pernah-mau-bicara-barang-sedikitpun ini berdiri di atas papan berpaku, lalu menjatuhkan diri di atasnya. Sebenarnya cuma itu, tapi gayanya didramatisir sedemikian rupa hingga penonton benar-benar menghela nafas dan sedikit tercengang. Ditambah dengan iringan musik horor dari studio membuat pertunjukannya setingkat lebih spektakuler. Dan ini puncaknya, setelah bangkit dari papan berpaku itu, si peserta yang masih-tak-mau-bicara-barang-sedikitpun ini berdiri mendekat ke penonton, memasang ekspresi seram, lalu membuka mulutnya, dan entah darimana datangnya tiba-tiba muncul seekor kelelawar. Tepatnya anak kelelawar, atau 'kampret' kalau dalam bahasa Jawa. Yeah! Kampret! Itu juga kalimat yang kuteriakkan saat kontestan bernama Limbad ini  menunduk hormat lalu meninggalkan panggung.

 

*

 

"Cuma seperti itu?" tanya Indi.

"....."

"Lalu bagaimana aku memilih nama cupcake kalau ceritanya cuma seperti itu?"

"...."

"Ah, masih cerita pertama. Semoga yang berikutnya jauh lebih baik."

"....."

"Cesa?"

"...."

"Jangan nyebelin ah," kata Indi sambil menampar pipiku pelan. "Kamu mau ikut-ikutan tak mau bicara seperti peserta.. Siapa tadi namanya? Limbung?"

"...."

 

PLAK!

Kali ini tamparannya satu tingkat lebih keras. Bukan dengan tangan, tapi dengan sebuah buku kecil yang ada di atas meja.

 

PLAK! PLAK!

Tamparan ketiga dan keempat. Satu tingkat lebih keras lagi. Masih dengan buku kecil itu. Tapi aku tetap bergeming dan memasang tampang datar.

 

"Terserah kamu deh," kata Indi merajuk. Tangannya merobek satu halaman kertas dari buku kecil itu. Dari sudut mataku kulihat Indi mulai sibuk menulis.

 

PLAK!

Tamparan kesekian. Aku tetap bergeming, tapi setengah mati menahan tawa. Tangan Indi lalu menyodorkan kertas berisi beberapa baris tulisan itu kepadaku. "Sudah. Jangan bertindak konyol lagi," katanya. "Semoga nama dan resep ini cocok. Jangan dikomentari," tambahnya.

 

Aku mengangguk, lalu mulai membaca tulisan di atas kertas itu;

 

Fallen Angel

• 1 1/4 cups all purpose flour
• 1 1/2 cups sugar
• 12 egg whites from large eggs ( enough for 1 1/2 cups)
• 1 1/2 teaspoon cream of tartar
• 1/4 teaspoon salt
• 1 1/2 teaspoons vanilla extract
 

Preheat oven to 350 degrees.  Line cupcake pans with paper liners.

Place egg whites in a large mixing bowl and beat at high speed until egg whites are frothy, approximately 1 minute.

Add cream of tartar, salt and vanilla to egg whites.  Mix at high speed until egg whites are almost stiff, approximately 4 minutes.

Add 1 cup of sugar gradually while mixing on low speed.  Scrape bowl.

Mix flour and remaining 1/2 cup sugar together and spoon 1/4 of mixture over egg whites, folding gently between each addition.

Pour batter into cupcake liners until they are 2/3 full.  Bake for 20 to 25 minutes or until tops are golden brown and cracks are very dry.

Cool cupcakes completely before removing from pan.

 

***




--
(oleh @monstreza)

Berhenti Di 13 : Please, Don't Go!

“Hey”

“Hey :)

“Apa kabar?”

“Baik. Aku lagi di kelas. Sedang ada dosen. Nanti lanjut lagi ya”

“Tunggu”

“Ada apa?”

“Sebentarlah dulu”

Aira berusaha keras agar orang itu tidak pergi begitu saja dari room chatnya. Walaupun ia tau, orang itu enggan mengobrol dengannya.

“Aku hanya ingin menyapamu”

“Sudah kan? Ada apa lagi?”

“Kau tidak mau tau kabarku?”

“Aku sudah tau dari Gita”

“Aku mau ketemu”

“Aku sibuk”

“Tolonglah..”

“Tolonglah, Aira.. Penyakitmu itu bukan tanggung jawabku. Aku gak akan kembali padamu hanya karna sakitmu ini!”

“Aku akan terus memohon. Aku masih sayang kamu. Dan akan terus begitu.”

emily_ef has singned out.




Kamar itu kemudian mulai terasa sunyi. 

Kemudian.. 


"BRAAAK!!" Aira membanting HP –nya. Dia mulai tertunduk lemas. Menggeram. Kedua tangannya mencekram seprai tempat tidur yang ia duduki.



“ANJ**************NG!”



Teriakan itu memecah sunyi siang itu. Aira mengamuk, dibantingnya apapun yang berada dekat dari jangkauannya.



Tiba-tiba radio di atas meja kecil di ujung ruangan itu menyala dengan sendirinya. Dan terdengar pelan suara penyiar.



“Yak. HardRockers, 12 hari lagi menuju acara puncak kita. Udah pada tau kan acaranya. So, siapin diri kalian, datang ke kantor kita buat tau gimana caranya untuk ngedapetin tiket grati. Tunggu apa lagi?!!”



“12 HARI LAGI!!”



“12 HARI LAGI!!”



“12 HARI LAGI!!”






(bersambung)

Peri Bersayap Merah Muda

"Semua hal bisa saja terjadi, bila kamu memang bersungguh-sungguh ingin melakukannya."
 
Benar kata kurcaci itu, akhirnya aku bisa keluar dari hutan cemara setelah mengikuti matahari terbenam. Lalu, sekarang di depanku ada sebuah danau yang cukup besar, apakah aku harus menyebranginya, tapi bagaimana caranya? Ini sudah malam dan tidak ada siapa-siapa di sini, aku harus bagaimana sekarang? Apakah aku harus menunggu sampai pagi dan bermalam di tepi danau ini? Hmm.. Sepertinya memang tak banyak pilihan, baiklah.
Setelah membuat api unggun, akupun teringat akan bola kristal pemberian Merlin, dan sesuai petunjuk cara pemakaiannya, aku pun mulai menggosok bola kristal itu perlahan-lahan sambil membayangkan kenangan-kenangan indah dalam hidupku... Benar saja, tak lama kemudian bola kristal itu bersinar, dan samar-samar aku melihat sosok wanita cantik di sana, seorang puteri yang sedang berada di taman bunga, kulitnya putih, rambutnya hitam dan panjang, dia sedang menari dan bernyanyi diantara taman bunga, siapa gerangan wanita itu? wajahnya masih samar-samar.
"Tuan? Tuan Ksatria?" tiba-tiba suara seorang wanita mengagetkanku
"Waaaaa!! Siapa kamu?" aku dengan sigapnya langsung mengeluarkan pedangku
"Tenang, Tuan, tenang.. Aku hanya kebetulan lewat" ucap wanita itu
Aku terdiam sesaat melihat sosok wanita kecil bersayap merah muda dengan tubuh bersinar berada di hadapanku, dia terlihat seperti seorang peri, tapi peri itu hanya mitos setahuku, dan apakah benar wanita di hadapanku ini peri?
"Jadi, siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu tampak seperti seorang peri?" tanyaku
"Aku memang benar seorang peri, Tuan Ksatria" jawabnya sambil tersenyum
"Lalu, apa yang kau mau dariku?"
"Tidak ada, aku hanya kebetulan lewat sini dan melihatmu sedang menggunakan bola kristal.. Apa kamu sedang mencari sesuatu?"
"Ya, kamu benar peri.. Aku sedang dalam perjalanan mencari teropong ajaib"
"Ooh teropong ajaib.. Kamu bukan orang pertama yang mencarinya, sudah banyak sekali yang mencari teropong itu dan gagal"
"Benarkah? Jadi kamu tau mengenai teropong itu?"
"Ya, tapi tidak terlalu banyak"
"Bisa jelaskan padaku?"
"Hmm.. Apa kamu sungguh-sungguh? Kamu sudah tau akan mencarinya kemana?"
"Ya, aku sungguh-sungguh.. Menurut orang bijak di negaraku, aku harus berjalan menuju barat"
"Baiklah, Tuan Ksatria. Aku jelaskan satu hal padamu.. Kamu akan menempuh perjalanan yang sangat sulit untuk menemukan teropong itu, kamu akan menemui banyak orang-orang hebat, ini adalah suatu petualangan yang akan mengubah hidupmu.."
"Aku sudah siap dengan semua itu"
Peri itu terdiam.. wajahnya tampak kebingungan, seperti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku.
"Kamu tau tuan Ksatria, ini sangat berbeda dengan peperangan yang sering kamu hadapi, ini jauh lebih sulit" kata Peri itu
"Aku tidak takut, aku adalah prajurit terhebat di negaraku"
"Benarkah? Kita lihat saja nanti, apa benar kamu sekuat itu"
"Silakan saja, lalu apa yang harus kulakukan saat ini? Apakah kamu punya petunjuk?"
"Tak banyak yang bisa aku sampaikan padamu.. Tunggulah di tepi danau ini, besok pagi akan ada ada seorang laki-laki tua yang singgah di sini, mintalah padanya untuk membawamu ke seberang danau ini, dia akan memberi tau banyak hal padamu"
Aku terdiam, apakah benar sesulit itu perjalanan menemukan teropong ajaib.. Apakah ini akan benar-benar mengubah hidupku seperti kata sang Peri? Ah, apapun yang terjadi aku harus siap, tekadku sudah bulat.
"Baiklah Peri, aku akan menunggu laki-laki tua itu di sini sampai esok pagi"
"Tuan ksatria, aku melihat kesungguhan di matamu, semoga kamu bisa menemukan teropong itu, ingat kata-kataku ini, gunakanlah hatimu untuk melihatnya, jangan sekali-kali kamu melihat dengan matamu, karena hanya itulah cara untuk menemukan teropong ajaib itu"
"Baiklah Peri, akan kuingat kata-katamu.."
"Semoga semesta membantumu, Tuan Ksatria.."
"Tunggu sebentar, Peri... Aiapa kamu sebenarnya?"
"Aku hanyalah seorang Peri, Tuan Ksatria.. Kadang cinta itu butuh petunjuk, anggap saja jika aku adalah pemberi petunjuk bagi mereka yang ingin jatuh cinta..Dan seperti yang kamu tau, teropong ajaib itu bernama cinta"
Kemudian Peri itu pun terbang melanjutkan perjalanannya kembali, dan aku masih terdiam di tepi danau..
Aku memandang bola kristalku, sedikit kebimbangan muncul dibenakku, apakah aku sanggup? Bagaimana jika aku gagal nanti? Orang-orang seperti apa yang akan aku temui nanti, dan siapakah wanita dalam bola kristal ini? Apakah dia yang aku cari? Jika memang benar dia, ada dimanakah dia? Dan mungkinkah dia adalah tujuan terakhirku dalam perjalanan ini.
"There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure." -Paulo Coelho-




~ Oleh @wira_panda

Cerita Cinta Tujuh Kahyangan : Now You Can Believe on an Angel (Ahava’s Circumstances)


Di suatu pagi hari yang cerah, di atas awan, lapis ke tujuh,

"Pagi Ahava, Tuhan beserta kita!"
"Pagi kak Ava! Tuhan beserta kita!"
"Hey Ava, selamat pagi, Tuhan beserta kita!"
*********************************************************
"Halo Shaloom,  halo Abana, pagi Abel, Tuhan beserta kita semua!" aku berjalan penuh senyum melewati tetangga-tetanggaku yang ramah.
           
             Pagi yang cerah adalah ketika kita beranjak keluar rumah dan menerima sapaan penuh senyuman pagi dari tetangga di kanan dan kiri. Halo semua, Aku Ahava. Pekerjaanku mengawasi manusia dan menjaga mereka dari segala hal yang buruk, agar mereka tahu bahwa Tuhan itu baik.

Aneh? Ya, aku memang bukan manusia. Aku malaikat.

Hey, jangan kaget seperti itu. Tidak pernah dengar? Malaikat? Peri kahyangan? Atau bagaimanapun kau menyebutku. Makhluk suci, messenger, apapun itu. Sosok yang terlihat seperti manusia dengan jubah putih dan punya sayap dari bulu-bulu yang harus. Entah harus berapa kali aku dan teman-temanku tertawa ketika kami menjaga seorang anak yang menggambar malaikat dengan sayap rajawali atau elang. Kadang kami terpingkal karena ada yang menggambar setan berwarna merah berbuntut panahan dan gigi taring yang tajam. Bumi benar-benar sudah kehilangan informasi mengenai kami. Mengenai Tuhan, malaikat, dan setan.

Gambaran sayap kami memang tak sepenuhnya salah, hanya saja ada yang berbeda. Yah, ini hanya komentar dari malaikat yang benar-benar 'memiliki sayap' bukan manusia yang berpikir 'semua sayap itu sayap burung'.

Tolong jangan bertanya mengenai jenis kelamin. Sesungguhnya ini adalah pertanyaan paling sulit yang harus kami jawab. Kami, malaikat, tidak benar-benar memiliki sayap. Kami hanya tampil dengan rambut dan muka. Interpretasi orang bisa berbeda. Kau bisa anggap aku wanita karena wajahku tapi entahlah, aku merasa seperti manusia laki-laki.

Tolong juga, jangan kalian tanyakan umurku. Aku sudah berhenti menghitungnya sejak 3 tugas pertamaku di bumi. Aku sekarang sedang dalam perjalanan menemui partnerku untuk tugas ke ...err. Aku lupa.
Sepertinya ribuan. Entahlah.
Ahh itu dia!
"Eliuuudd ! !" teriakku sambil melambaikan tangan.
"Pagi Ahava, Tuhan memberkati," ujarnya sambil bangkit dari duduknya. "Siap dengan tugas baru kita? Gadis yang menarik kemarin itu?"
"Ahahaha, aku siap sekali!" seruku sambil tertawa-tawa riang.
Aku dan Eliud kemarin memang pergi ke Beth-Carthe atau dalam bahasa yang populer di bumi itu disebut House of the Lamb. Itu adalah  tempat kami melihat siapa yang akan kami awasi selanjutnya.
Anak yang kami bilang menarik itu bernama, Joanna Carmel Iphal. Menarik, kan? Joanna itu artinya grace atau kemurahan Tuhan. Carmel Iphal itu dari berasal dari dua kata. Carmel dan Eliphal. Carmel artinya domba yg dicobai dan Eliphal yang artinya miracle of God. Well, bagi kami itu menarik. Jarang sekali ada manusia yang memberi anaknya nama yang begitu unik dan penuh arti.
Aku dan Eliud sudah setengah perjalanan menuju ke rumah Joanna. Aku masih harus memberi tahu kalian banyak hal mengenai kami. Kami, para malaikat, mempunyai beragam tempat asal. Memangnya hanya manusia yang punya kampung halaman. Kami punya tempat yang disebut kampung halaman yaitu tempat kami muncul dan diciptakan Tuhan. Biasanya kami mengambil tugas di tempat yang dekat dengan kampung halaman kami, tapi tidak memungkinkan seorang malaikat dari lapis ke tujuh bisa naik ke lapis ke enam, atau lima. Atau mungkin lapis ke satu, tempat Allah berada.
Ahh, kami sudah sampai. Itu dia gadis yang akan kami awasi, sedang berbaring santai di atas tempat tidurnya sambil membaca novel.  Lalu tak lama, ia beranjak keluar kamar, dan kembali dengan membawa air putih. Meminum seteguk dan melanjutkan kegiatannya tadi, baca.
1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, jam demi jam terus berlalu.
Tugas kami? Hanya mengawasi.  Itulah tugas kami, malaikat.
Nah, sekarang kau tahu kan kalau malaikat itu ada? Dan mungkin kau mau coba melihat sekelilingmu, di mana malaikat penjagamu berdiri?

-To Be Continue-


- (oleh @kasihelia - http://kasihelia.tumblr.com)

Air(LOVE)plane #2

Malaika tersentak dari tidurnya ketika bahunya ditepuk seseorang. Buyar sudah mimpi sesaatnya tadi. Diliriknya ibu-ibu separuh baya disebelahnya. Ibu itu tersenyum.
"Kenapa Bu?"Tanyanya dengan sopan.
"Maap ya,nak,kalau ibu bangunkan. Ini kue punyamu,"jawabnya sambil menyodorkan sekotak kue dari maskapai penerbangan ini.
"Oh..hmm..makasih,Bu."
Malaika yang memang lapar segera menyantap kue itu dengan lahap.
MALAIKA
Siaal..sayangnya aku ketiduran. Kalau gak kan bisa tebar senyum pada saat pramugara ganteng itu bagiin kue. Ah..kenapa aku jadi sebegini kepikiran si pramugara ya? Kalau dipikir-pikir ini bukan kali pertama naek pesawat dan lihat pramugara ganteng. Tapi lelaki ini berbeda. Ada sesuatu pada dirinya yang membuatku tertarik. Makin dipikir jadi makin gregetan. Kalau pesawat ini mendarat,kami pun berpisah. Kenapa ya perjalanan Batam-Medan ini cuma 1 jam 20 menit? Seandainya saja ada cara untuk kenalan dengannya..
"Namamu siapa,nak?"Ibu di sebelah Malaika memulai obrolan.
"Mala,Bu,Malaika."
"Nama yang bagus,pas untuk gadis cantik,"pujinya.
Malaika tersenyum. Senang rasanya dipuji walaupun hanya sekedar basa-basi.
"Kamu tau,nak,ada salah satu pramugara yang berkali-kali lewat tadi,dan selalu melirikmu,"ujarnya.
"Hahaha..mungkin buat mastiin bangku pesawat ini kena iler ku atau gak,Bu,"Malaika mencoba bercanda. Padahal dalam hati geer setengah mati mendengar pernyataan ibu tadi. Ibu tadi ikut tertawa.
"Asli orang Medan,nak?"
"Bukan,Bu,orang tua saya di Batam. Saya kuliah di Medan,doakan beberapa bulan lagi saya tamat ya,Bu. Hehehehe,"jawab Malaika sambil cengengesan. "Kalau Ibu?"
"Iya,Ibu orang Medan nak. Ini alamat ibu,nanti kapan-kapan mampir ya,"dia menuliskan alamatnya. Dan sepanjang sisa perjalanan dihabiskan mereka berdua dengan mengobrol.
LANGIT
Oh..how I envy that woman,can talk to her and laugh together. I even don't know her name. Kalau harus menjabarkan perempuan itu dalam 3 kata saya akan pilih cantik, sederhana, pintar. Itu memang penilaian subjektif. Betapa seorang perempuan sederhana telah menarik perhatian saya begitu kuat. Sebentar lagi pesawat akan mendarat. Dan akan sulit sekali bertemu lagi dengannya bila saya tidak tau apa-apa tentangnya. Kali ini saya harus nekat. Lupakan profesionalitas. Ada perempuan yang harus saya dapat.
"Selamat datang di Medan..."
"Akhirnya sampai,nak. Sampai ketemu lagi."
"Sama2 Bu. Hati-hati ya,"sahut Malaika.
Malaika membuka pintu kabin atas dan mengambil tas nya. Dua pramugari sudah bersiap di depan pintu keluar. Malaika mendesah kecewa karena sepanjang sisa perjalanan sang pramugara tidak terlihat sama sekali. Pupus sudah harapan. Mungkin ini jadi rasa selingan yang tidak ada awal dan akhirnya.
"Terima kasih,sampai bertemu kembali,"kata salah satu pramugari ketika Malaika lewat. Malaika tersenyum manis. Kakinya melangkah keluar pesawat dan mulai menuruni tangga. Ketika tiba di ujung tangga terbawah,seseorang menepuk bahunya.
"Permisi mbak,ada yang ketinggalan,"tiba-tiba suara lelaki menganggetkannya. Malaika menoleh ke belakang. Deg! Si pramugara tepat dihadapannya. Penumpang lain yang lewat menatap mereka dengan heran,tetapi terlalu sibuk untuk peduli. Pramugara tersebut menyodorkan tangannya mengajak Malaika bersalaman. Ada kertas yang diselipkannya. Pramugara itu tersenyum dan segera berlalu. Malaika tertegun sesaat memandangi kertas di tangannya.
LANGIT
Akhirnya saya punya keberanian. Apa yang akan terjadi,terjadilah..
MALAIKA
Ini baru surprise. Seorang pramugara tidak seharusnya bertindak begitu bukan? Aku membaca isi kertas itu. Aku terdiam. Ingin berteriak sekencang-kencangnya. Mendadak cuaca Medan yang panas begitu kunikmati. My lucky day..
My name is Langit.
If u don't mind, would u call me?
089748xxxxx
NB: nice smile :)
Yes..dude, I'll call u! Ingin rasanya aku teriak..




- (oleh @nuriafazrina - www.princess-unyiel.blogspot.com)

Halo, Kaleidoskop Hujan!: Kursi F Gerbong Satu

Mimpi menyebalkan datang lagi. Rega, gerimis, hujan, taman. Menyebalkan. Rasanya lelah untuk terbangun dalam keadaan mata sembab dan seperti panda. Air mata juga sepertinya bosan terus-terusan berlinang di permukaan pipiku. 



"Kami pengen istirahat, Nona Mirabilly, udah dong jangan paksa kami kerja dulu," bisik para tetesan air mata ini ke telingaku. 


"KUKURUUUYUUUK! Bangun,bangun,bangun!" 


Sial, suara Pinkayam membuatku kaget, lamunan dan spektrum mimpi tentang Rega terhapus sudah. Wajah Pinkayam - sang weker berbentuk ayam merah muda - seakan berkata, "Bangun, Mirabilly, ini kan hari Sabtu!"


Sabtu. Pukul 4 pagi. Mandi air hangat. Rutinitas akhir pekan menantiku. Stasiun bernuansa biru peluh pun telah menungguku dengan sabar. Ya, kesibukan yang tak berarti seakan wanita karir yang hobi wara-wiri ini, dapat membantuku melupakan sang oknum pria gerimis itu. 


***


"Argo Parahyangan, gerbong satu di lajur empat, Mbak, lima menit lagi berangkat," sahut pria berkostum hitam-putih ala penjaga keamanan suatu bangunan.


Luar biasa, jarum jamku terdiam membeku tak bergerak barang satu mili pun. Lima menit atau tidak sama sekali. Langkah seribu pun aku ambil, tak pandang area di sekitarku. Semua seakan blur dan samar, seperti menggunakan aperture rendah di kamera SLR. Fokusku hanya diarahkan pada pintu masuk gerbong kereta bertuliskan angka satu. 


Walau undakan menuju gerbong kereta nan tinggi itu sudah dilepas, tak ada salahnya memanfaatkan hobiku di masa kecil, memanjat. Semen yang menempel pada tiang-tiang pondasi pun kunaiki. "Masa gini doang gua gabisa," ujarku dalam hati.


Dan...hap! Lompatanku cukup mengguncang gerbong bernuansa eksterior abu-abu. Maaf ya kereta, jangan salahin saya kenapa saya bertambah berat. Salahin mama saya aja gimana yang rajin banget ngasih saya makan sampai saya selebar ini?


Aku pernah mengalami berada di gerbong kedua, ataupun gerbong tiga. Menapaki kaki di gerbong satu kelas eksekutif menuju Jakarta merupakan salah satu pengalaman baru. Aku ingin mencoba satu per satu kursinya, mendudukinya perlahan bahkan ikut berjam-jam mengenalnya. 


Sepi. Gerbong ini seakan hanya diisi oleh beberapa penghuni. Luar biasa sempurna. Perfecto! Bukankah ini yang aku dambakan? Sebuah tempat melamun yang hening dan bebas gangguan?


Kursi mana ya, kursi J, kursi I. Hmm.. Oh, kursi F, baiklah. Tempat duduk dan jendela yang raksasa seakan memanggilku dengan manisnya. Aku memang sangat suka menebar dan melambungkan awan-awan lamunanku di spot cantik seperti ini. Kereta Subuh, jendela kaca, embun pagi dan titik-titik gerimis lagi. Baiklah, gerimis lagi, gerimis lagi.


Rega, pagi, dan gerimis. Please Rega please. 


Still everyday I think about you 
I know for a fact it's not your problem.

But if you change your mind you’ll find me
Hanging on to the place
Where the big blue sky collapse
~ Adhitya Sofyan - Blue Sky Collapse


***
Spektrum warna-warni, kepingan demi kepingannya melayang ke arahku. Memecah gelap yang menguasai pandanganku. Sekali lagi, cantik sekali, seperti sedang mengintip lubang kaleidoskop. 


Di antara soundtrack dunia kaleidoskop "Hoppipolla" yang dilantunkan suara emas Jonsi bersama  Sigur Ros, samar-samar terdengar suara, "Maaf Mbak, tiketnya mana ya?"


Tingtong! Spektrum-spektrum tadi seakan buyar. Kepingan kristal kaleidoskop terhisap memasuki blackhole dalam pikiranku, kemudian berganti menjadi pemandangan seorang pria berkumis lebat berkostum biru tua, dengan bentuk seragam mirip tentara.


Oh! Ternyata dia kepala masinis yang berkeliling untuk mengecek tiket milik penumpang, satu per satu. Dan aku tertidur pulas, selepas kereta berangkat dan headset mencolok telinga.


Langsung saja aku panik. Mencari kemanakah tiketku berada. Di saku, di tas, di dompet, alamakjang! Masa iya hilang? Pucat pasi berkolaborasi dengan kaget mendominasi ekspresi wajahku. Kumis sang masinis seakan mau mengusirku perlahan. Wajahnya tampak galak, mirip dengan salah satu tokoh di serial kartun Crayon 
Sinchan. Mirip sekali. 


"Pak, ini tiketnya Si Mbak yang itu, tadi jatuh di jalan," ada suara cukup berat menyahut di balik kursi depanku. Kemudian Pak Masinis mengambil lembaran kertas keras tersebut, lalu memberikannya padaku. Aku terdiam seketika. 


Aku hanya melihat tangannya yang sekilas memakai jam tangan hitam dan jaket berwarna hitam pula. Sudah. Itulah yang aku tangkap dari penyelamatku kali ini.


"Mmm, Mas, makasih ya," ujarku sambil mengintip dari sela-sela kursi kereta. Terlihat sedikit perawakan yang ia miliki. Jaket hitam serta rambut terikat. 


"Sama-sama ya Mbak," pemilik suara itu kemudian menoleh melalui sela-sela kursi yang berbatasan dengan kaca. Senyumnya sedikit terlihat. He has a very nice smile, eventhough I don't see it clearly, aku cuma melihat sepertiga wajahnya saja. 


Titik-titik gerimis manis menghiasi kaca kereta lagi. Hujan, cantik sekali. Seperti kaleidoskop. Kaleidoskop hujan. 


Di antara sela-sela perhimpitan kursi sang pria misterius dan kaca, tiba-tiba tertempel kertas bergambar senyum di tengah-tengah kaca kaleidoskop ini. Si pria yang tampak sepertiga, sekali lagi, menoleh sedikit dan tersenyum ke arahku.


Buru-buru kucari kertas dalam tas, menuliskan sesuatu, dan bubuhkan selotip seadanya. 


"THANK YOU" dengan tinta spidol warna merah kutaruh apik di bawah tanda senyum.  Bersama bersanding di balik kaleidoskop yang Tuhan ciptakan dari kaca dan hujan. Halo pria gerbong satu, salam kenal. 


#NowPlaying Cranberries - Dreams. 


-bersambung-




- (oleh @heykandela - http://ceritahujancandella.blogspot.com)

Selarik Rindu: Desir Angin Pohon Mahoni

      Malam akhir pekan tiba, ada rindu sedikit menyayat di dada. Tepat semalam sebelum malam ini tiba ada wanita yang mampu membuat aku menitik air mata.
"Aku mungkin ada sedikit rasa sama kamu.." katanya setelah beberapa saat ku dengar helaan nafas yang panjang beberapa kali. "Aku sayang kamu" Ada jeda sejenak, kami sama-sama diam.
Aku memang sempat mengatakan kesukaan ku pada nya beberapa malam kemarin, dan pernyataannya malam ini sungguh membuat aku sedikit terkejut. Mmm, aku belum pernah berpacaran sama sekali. Hampir, namun tidak jadi dengan alasan yang aku sendiri lupa mengapa. Tapi dengan wanita bersuara seteduh pohon mahoni yang berbaris rapi di sisi kanan dan kiri jalan, hatiku berdesir lemah. Tapi apa benar ini cinta? Apa benar rasa suka yang kemarin sempat aku ucapkan dengan peluh keringat dingin sama dengan rasa yang ia sebut sayang barusan saja.
     Kami sempat menarik nafas berbarengan sebelum akhirnya aku berkata "Hmm, aku harus bilang apa ya? Aku..."
     "Kamu gak harus bilang apa-apa kok..Aku kan gak nanya apa-apa" ia memotong perkataan ku yang belum selesai.
     Kami diam kembali beberapa saat. Mengetahui ada getar berbeda yang tak pernah ku rasakan sebelumnya, aku semakin takut untuk mengaku. Indah. Namun sayang tak tepat waktu. Sampai kemudian ia mencoba untuk mengalihkan perhatianku. Aku tahu dia tahu aku sedang sibuk mencari sejumput kata, dan memang iya.  Apa yang harus ku katakan padanya ya kalau aku ini sebenarnya... sebenarnya sudah berprinsip untuk tidak berpacaran sebelum menikah.
     Ada sesal. Mengapa ku biarkan rasa ini tumbuh di masing-masing hati kami berdua. Sementara janji pada diri sendiri ini sudah membawa-bawa nama Tuhan, yang tidak mungkin aku langgar setelah sekian lama mencoba menasbihkan diri pada jalan yang kupilih sendiri. Rumit menjelaskan padanya tentang...ah, aku sendiri bingung tentang apa.
     Mata memang sudah terpejam, namun suara  yang mirip desir angin pohon mahoni masih bersarang di hati, kalau terus ku diamkan mungkin akan membuat badai dan mungkin bisa jadi tsunami. Gelisah yang tak berarah. Hanya satu yang aku mau,  mendengar kata-kata itu lagi dan lagi. Candu.

     Tak biasa, aku sudah menyaksikan tiap gerak matahari menuju terbit di timur. Aku juga mendengar bunyi kokok pertama ayam jago milik tetangga samping rumah. Sudah dua jam aku duduk di balkon kecil lantai atas rumahku, bersimbah airmata. Apa kusudahi saja janji hati ini, dan memeluknya yang terasa nyata. Apa kusudah saja kesendirian ini, sehingga aku dapat tersenyum seri dengan ia sebagai tambatan hati. Atau ku buang jauh mimpi, untuk memetik cinta sang wanita pohon mahoni dan kembali mengukuhkan diri pada illahi. Atau aku bakar rasa ini secepat api membakar hutan hijau yang sering terjadi belakangan ini.
     Harus apa aku Tuhan...harus apaa...
     Rasa sayang nya pada ku sudah tiba di hatiku tepat ketika ia menyelesaikan kalimatnya semalam tadi. Rasa di hatiku adalah api, dan rasa nya serupa angin yang mengibarkan api ku ke tingkat paling besar. Hampir   hangus.
     Aku mau ia menunggu ku....



- (oleh @PenaAwan - penandilaga.tumblr.com)

Obrolan Iseng Tentang Cinta, #2 Yang Dadakan Bikin Deg-Degan.

 Jatus masih nungguin Mama ngejelasin syarat apa yang bisa dia penuhi buat bisa dapetin duit buat benerin motor.

     Sambil nyicip sayur asem Mama. "Ma, ayo! Apa syaratnya?"

     "Kamu mau ga ikutan jadi model untuk WEDDING EXPO? jadi modelnya Mama. Nanti ada cewe bahenol jadi pasangan kamu, ga rugi deh, udah dapet duit dapet kecengan." Mama akhirnya ngasih tau niat yang menurut Mama bisa jadi simbiosis mutualisme karena Mama ga perlu jauh-jauh nyari model cowo, terus jadinya kaya ngasih uang jajan aja ke Jatus.

      "Oke oke, ternyata Mama ga meragukan kegantengan anaknya, tawaran diterima! yang penting fee lancarrrr." Langsung dijawab Jatus dengan jumawa plus semangat tau mau ada duit

       Mana mungkin Jatus nolak permintaan Mama. Apalagi yang dia butuhin sekarang cuma duit, buat permak motor CB 100. Itung-itung juga bisa cuci-cuci mata, kali aja ada model cewe yang tomboy. (Tetep aja!)

      "Acaranya dimana? Terus hari apa Ma?" Tanya jatus yang sekarang sambil ngebuka kulkas nyari jus botolan.

      "Hari sabtu, udah kamu siap pasang badan aja, tinggal datang terus di make up, ganti baju 2 kali, soalnya ada kontes pakaian adat sama pakaian resmi, biasa lah baju penganten gitu. Acaranya di gedung PKK" Lanjut mama.

      "Oh, oke oke! Hari sabtu.., naik ke kamar dulu ya Ma". __

       Sambil rebahan, Jatus mikir siapa ya yang bakal jadi pengantin cewe boongan buat WEDDING EXPO? Ah, paling juga Nola anaknya Tante Leni temennya Mama. Dari kecil kalo arisan si Nola suka diajakin Tante Leni ke rumah. Jadi udah lumayan kenal.

---------------------------

         Hari Jum'at, Mama nyuruh Jatus pulang cepet tanpa kelayapan. Soalnya mau uji coba dandanan buat pengantin ecek-ecek di WEDDING EXPO besok.

        "Tus, jangan lupa pulang jam 3. Mama mau ngetes make up in kalian." Isi sms dari Mama.

        "Oke ma, jam 3 kan? Soalnya habis Sholat Jum'at mau ke rumah Renal, ngerjain tugas kelompok.". Balas Jatus.

        "Ya ya! Jangan telat!" __

        Hari Jum'at biasanya Renal sama Jatus pulang kuliah jam 12, baru lanjut Sholat Jum'at di Mesjid deket kampus. Abis itu biasanya Jatus balik lagi ke basecamp mapala. Tapi itu ga berlaku untuk hari ini, tugas kuliah numpuk soalnya kelompok mereka terkenal paling malas sama Pak Todi dosen Pengantar Kewirausahaan. Minggu kemaren disuruh bikin ide usaha ga selesai-selesai. Dan minggu ini lanjutan dari tugas kemaren. Realisasi Dari Sebuah Ide Usaha. Gara-gara Jatus Renal sama Doni yang satu kelompok sukanya leha-leha apalagi sama si Juleha pembantu tetangganya Renal. Akhirnya numpuk lah itu tugas Kewirausahaan.

     "Don, Nal, gue pulangnya rada cepet boleh ya? Maksud gue, bentar lagi. Ada bisnis penting". Baru juga mulai selesai nyari ide usaha buat tugas Jatus langsung ga betah.

      "Lo tau kan Tus, ni tugas lebih penting daripada bisnis antah berantah lo!" Doni mencibir.

      "Ntar gue kasih kejutan buat lo bedua, bingkisan asoi deh pokoknya!". Jatus langsung pergi sambil nyulik cemilan dari toples.

---------------------------

       Mama lagi nyiapin kotak perhiasan di ruang tamu, sambil ngeliat ke arah jam yang jarum pendeknya ke angka 3. Dan jarum panjang ke angka 3. Sudah lebih 15 menit Jatus belum datang juga.

       "Mungkin anak tante lagi kena macet di jalan." Mama meminta maaf pada cewe yang lagi duduk di ruang tamu.

        "Ga papa kok Tante, lagian aku juga ga ada janji lain kok". Si cewe membalas.

         Dan di jam 3 hampir lewat 20 menit, Jatus akhirnya datang.

         "Maaa, I'm coming!! Jadi uji coba model ganteng ga nih?" Jatus menyahut semangat.

         Waktu Jatus masuk dan manggil mama, tiba-tiba kaget ngeliat di depan sudah ada sosok cewe. Dan cewe itupun kaget ngeliat Jatus.

          -bersambung




- (oleh @rizkymamat - rizky-muhammad.blogspot.com)

Delapan #2

"Lha? Jadhi apa masalahnya, Ndhok, sampai kamu dibikin nangis gitu?", tembak bunda seraya merapikan perlengkapan ibadah yang terlihat kusam. Seingatku, benda itu belum dicuci sudah hampir dua minggu. "Masukin mesin cuci dulu ah, Bun, mukenanya. Udah banyak debu nempel gitu..", ajakku mengalihkan percakapan. Percakapan yang sangat aku hindari dari bunda. Dari raut wajah yang terbentuk, sepertinya bunda kesal karena baru saja ia memancing berita paling hot seputar anak gadisnya, malah aku alihkan dengan sembarangan. Dan benar saja, bunda sadar bahwa aku mengalihkan pembicaraan kami tadi. "Mau cerita eh malah disuruh cuci mukena nih, sama Princess.. Sebentar ya bunda masukin mesin cuci dulu. Habis itu janji cerita loh yo, Ndhok?" Lalu aku berikan satu anggukan tanda setuju. Namun setelah bunda berlalu, aku lekas naik ke atas ranjang merah dengan alas Manchester United, melakukan ritual yang sangat aku suka ketika sedang tak 'mood' bercerita dengan siapapun, termasuk ayah, bunda dan Dini; tidur.

Dini adalah temanku sejak Masa Orientasi Siswa dimulai, sampai sekarang. Perawakannya yang lebih rendah dan sedikit kekanak-kanakan, membuat kami seperti adik-kakak bila jalan berdua. Kami sesama Capricorn-ers yang dikenal dengan sangat ambisius terhadap sesuatu hal yang ingin dicapai. Salah satunya adalah juara kelas. Aku dan Dini beda kelas, memang. Meski begitu, di sekolah, kami selalu berdua. Anytime and anywhere. Bukan berarti kami tak saling punya teman lain. Hanya saja entah bagaimana caranya, kami selalu menempel seperti magnet. Aku menemukan kutub positif, dan dia menemukan yang lainnya.

Dini itu baik. Sangat baik terutama padaku dan bunda. Menurut akta kelahirannya yang sempat aku baca, nama lengkap gadis itu adalah Andini Hasywa Feizal. Kerap kali aku bercerita tentang Milan padanya. Sebut saja kalau Dini adalah kunci kisah-kisahku, dengan Milan. Oh ya, dia teman sekelas Milan.



- (oleh @captaindaa - http://afrohsahenda.blogspot.com)

Ternyata cinta: Tania

Walaupun liburan akhir semester sudah mulai, jadwal lesku di E-one tetap berjalan seperti biasa. Mungkin buat sebagian besar anak sekolah, les kalau lagi libur itu kerajinan banget tapi buatku tidak. Malah nyenengin banget! Suasana kelas e-one sekarang jadi bersahabat banget, selain karna Devara yang lucu, ada juga Boby gendut yang sekalipun udah diledekin tetep aja ngga marah, trus ada Aisha yang super duper ribut, Anton yang narsisnya ampun ampunan, Yanni si jago nyanyi, dan pastinya aku yang mendadak jadi doyan bercanda semenjak akrab sama Devara. Ngomong-ngomong soal Devara, anak itu sekarang udah jadi makin ribut dibanding hari pertama kami kenal, ngga kaya temen-temen lain yang manggil aku dengan panggilan Rara, Devara malah ngotot mau panggil aku ‘Clar’ “Loh, nama kamu kan memang Clara. Udah bagus namanya Clara malah diganti-ganti Rara. Udah deh Clar, nurut aja kalau di panggil pake nama sendiri atau kamu mau aku panggil ‘nyet’?” begitu katanya waktu aku tanya kenapa dia ngotot banget manggil ‘Clar’.
Berbeda dari hari pertama waktu aku males banget pergi les, sekarang-sekarang ini aku malah semangat. Rasanya aku punya keluarga baru disana, nyaman.  Hari ini seperti biasa, aku ngga bisa berhenti ketawa di kelas. Begitu bel pulang, ngga disangka-sangka ternyata hujan turun lebat dan aku terpaksa kedinginan sambil nungguin papi jemput karna aku ngga bawa jaket, “Kok tumben belum pulang, Clar?” aku kaget banget karna Devara tiba-tiba muncul dari belakang
“Eh, Devara. Iya papi telat jemput kayanya. Kamu kok belum pulang? Nunggu di jemput juga?”
“Hahaha kamu ini, aku ini cowok lho Clar. Udah punya SIM masa masih dianter jemput sih. Itu mobil aku disana.” Devara nunjuk mobil jazz abu-abu di parkiran seberang. Aduh cowok satu ini lucu banget. Eh, kenapa aku jadi mikir gini ya? Aku kan udah punya Gio. Ugh!
“Hehe yang jazz abu-abu itu?”
“Iya Claraaaa. Mmm eh Clar, kamu kenal sama yang namanya Tania Khafila ngga sih?”
“Tania Khafila? Alumni sekolahku ya?”
“Iya! Kamu kenal?”
“Kenal sih, Dev. Emang kenapa? kamu naksir?”
“Ehe, dia temen sekampus sih. Lucu anaknya, imut.”
“Ya emang. Kak Tania tuh baik sama aku, cantik, udah gitu pinter lagi. Idaman banget deh”
“Iya aku juga ngeliatnya gitu sih. Aku lagi deket sama dia, cuma yah gitu. Rada ngga mulus. Eh kamu masih belum di jemput? Udah telfon belom sih?”
“belum, batrai HP abis mana bisa nelfon”
“hahaha yaudah, pulang sama aku aja yuk? Hujan nih”
“ntar kalau papi jemput gimana?”
“yaudah telfon aja dulu pake hp aku”
“ngga ah, hehe gpp kok aku. Kamu kalau mau pulang duluan aja, Dev”
“beneran ngga mau aku anter? Aku duluan deh ya” aku mengangguk, sedikit ngga yakin sih sebenernya. Lagian Devara kok tega banget ninggalin aku sendiri.
“Iya, hati-hati ya” duh Devara, nanya lagi dong. Nyesel tadi nolak, mana udah sepi lagi nih E-one.
“Claraaa! Pulang sama aku aja udah, ntar telfon papinya kamu pake hp aku!” hah? Itu Devara..? Asiiikkk!
“Iya deh! Tunggu!” langsung saja aku lari ke mobil Devara.
Di mobil Devara cerita banyak soal dia sama Tania. Ternyata Devara udah lama ngincer Tania tapi Tanianya suka ngga jelas, kadang respon kadang ngga, dan sekarang Tania lagi marah sama Dev gara-gara Dev smsan sama temen SMAnya yang cewek padahal Tania bukan pacarnya, tapi Dev tetep aja jadi pusing sendiri. Belum selesai aku nanggepin ceritanya Devara, kami udah sampai duluan dirumah.
“Thanks ya Dev, ntar sms aja kalau mau cerita lagi.”
“Sama-sama, Clar. Eh tapi aku ngga punya nomer kamu, minta dong”
“Oiya, sini hp kamu biar aku masukin”
“nih.” Devara ngasih HP keluaran terbarunya
“Oke, sip. Ntar kamu sms aku aja ya Dev”
Begitu masuk rumah mama udah nunggu aja di ruang tamu “Pulang sama siapa tadi, Nak?”
“Sama Devara ma.”
“Devara yang mana?”
“Temen les aku ma. Anaknya baik deh, suka bercanda.”
“Yaudah kapan-kapan kalau kesini lagi disuruh masuk aja dulu kak”
“ehe iya ma iya, yaudah kakak ke kamar ya ma.” Aku langsung jalan masuk kamar dan menghamburkan badan diatas kasur setelah sebelumnya aku nge-charge hp. Begitu hp-ku aktif, aku langsung dapet sms dari Gio dan satunya lagi nomor ngga aku kenal. Devara. Ntah kenapa sms-an sama Devara bikin aku lupa balesin sms Gio. Devara masih cerita soal Tania dan minta tanggepan aku.
To: Devara :)
Kalo aku bilang ya, Dev. Tania tuh ada rasa sm km
hrsnya km sadar itu, lgian km jg si pake acara smsan
g ptg sama cewe itu pdhl km lg ngjr tania. Km mesti
jaga prasaan dia. kl kmnya gt si jls aja dia g mau trm
km. dev kalo km udh syg sm org yaudah ke org itu aj
cb deh ya km ada di posisi dia, apa km mau dia sms
cowo lain? km nyantai kl dia g jaga prasaan km?
ngga kan? mndgn km minta maaf deh sama tania,
dia pasti mau maafin kokJ

From: Devara :)
Trnyt km dewasa jg ya Clar, aku ngga nyangka hhe
mksh ya Clar udah dgrn crt aku, km jg kl ada yg pgn
di critain, crt aja ke aku. Oke?

To: Devara :)
Huehehe emg km kira aku msh ank2 bgt ya? Dsr!
ya sm2 ya, km bs crt ke aku trs kok, ntr aku kl ada
crt jg bkln crt ke km

From: Devara :)
Yaudah skrg km tidur deh, udh malem. Ank kcl
g blh tdr kemaleman. Hahaha

To: Devara :)
Iyaaa, aku jg udh mau tdr nih. Tapi bkn karna aku
ank kecil yg g blh tdr kemaleman, ini murni krn
aku ngntk! Weee :p aku tdr yahhh

From: Devara :)
Yayaya tdr sana km, sleep well ya ;)





- (oleh @rahcara - http://davisautumn.tumblr.com)