Tentang 30 Hari Cerita Cinta

06 October 2011

#24: Denial (pt 2)



Delapan hari berlalu. Adrian belum menemuiku.
Sebenarnya, aku bisa saja pergi ke Brooklyn dan datang ke apartemennya untuk memastikan dia baik-baik saja. Tapi, akhir-akhir ini, ada banyak berita yang mengabarkan tindak kriminalitas sedang meningkat di sana dan membuatku parno. Menelepon? Jangan tanya sebesar apa gengsiku untuk melakukannya!
Jadi, aku hanya berkutat di apartemen atau jalan-jalan di Central Park. Aku memutuskan untuk membalas beberapa email penggemar – juga membalas postcard Yudika. Kami bertukar kabar lewat  email  dan aku senang membacanya – he's truly happy now with her. Iya, Yudika akhirnya berkencan dengan Tomomi.
Tapi, hari ini, aku memintanya untuk ngobrol via Skype. Aku tidak tahan untuk menceritakan hubunganku dengan Ares yang kurang menyenangkan setelah putus.
"Kayaknya aku kena karma, deh," keluhku sambil bertopang dagu. Yudika, yang terlihat berbeda dengan kulit cokelat terbakar matahari, menyimak dengan tatapan penasaran. "I mean, ya, ngejar-ngejar masa lalu."
Dia tiba-tiba tergelak lepas. "Aku malah mikir kamu nggak kena karma sama sekali. Kasusnya jelas beda, Dit. Aku dulu ngejar-ngejar kamu tapi kita nggak pernah pacaran sebelumnya. Sementara dengan Ares... kalian berdua kan pacaran dulu. It's about the relationship!"
Bola mataku berputar. "Tapi, temanya tetep ngejar masa lalu!"
"Damn you, author!" *Yudika berdecak tidak setuju. "Oke, just ask what you want to, Cupid."
"Umh..." Kepalaku tertunduk sejenak. "Setelah open mic itu, apa yang kamu rasakan? How could you move on after that?"
Sebuah senyuman tipis melengkung di wajahnya. "Awalnya memang sulit. aku nggak bisa ngelepas kamu semudah itu, but you loved him so much, I could feel that. Lalu, meski aku nggak suka sama Ares, ada satu ucapannya yang malah memotivasiku untuk cepat bangkit."
Alisku terangkat. "Apa?"
"Untuk apa terus mengejar Dita sementara di sekitar kamu, atau malah di samping kamu, ada orang yang lebih peduli!" Kami tertawa sejenak. Ini pasti bagian pertengkaran mereka yang tidak kusaksikan. "Orang yang lebih peduli– that person is Momo. Aku sempat beranggapan rasanya sulit untuk mencintai orang lain. Tapi, dia nggak menyerah begitu saja. Bahkan waktu dia diutus ke Afrika dan diperbolehkan untuk membawa satu rekan kerja, she chose me, because she knew I'd really want to go. Aku mulai membuka hati dari sana."
"Nice story." Aku membayangkan mereka berdua kencan di tengah padang rumput Afrika – di bawah sinar mataharinya yang panas. "She finally set you free from love blindness."
Alisnya bertaut. "Hmm, aku malah berpikir kalau selama ini, sebenarnya bukan cinta yang membuat kita 'buta' – ini kan hanya sebuah perasaan. Mungkin faktor sebenarnya adalah karena kita tertekan dalam sebuah kondisi. Hei, seseorang bisa jadi baik atau jahat dalam situasi yang terdesak, kan?"
Kepalaku mengangguk setuju. "Jadi, apa menurut kamu aku harus membuka hati untuk orang lain?"
"Well, Dita, Athena's Diary sempat ditolak empat penerbit sebelum akhirnya diterima dengan penerbit yang tepat dan mengantarkan kamu dalam kesuksesan ini, kan?" katanya dengan mata berbinar. "*hat's also the way you'll meet your Mr.Right. Kamu akan gagal dulu, belajar memperbaikinya, sampai menemukan dia yang membuat kamu merasakan takut akan kehilangan yang sangat. He's the one who makes you feel that a half of your life is owned by him. Soulmate*."
Oke. Wow. Yudika ini sebenarnya dokter spesialis perasaan, ya?
"Such a deep 'speech'," komentarku yang disambut tawa ringan khasnya. "Thanks, Yudika."
"No, thanks, Dita," potongnya cepat, "* learnt from you."
Aku diam mematung. Emh, ini aneh. Kenapa cowok-cowok ini, yang pernah mengisi masa laluku, mengucapkan terima kasih setelah belajar dari perjuanganku melepaskan mereka?


***




~ (oleh @erlinberlin13)

Delapan #14

Semua perasaan dan persepsi teraduk-aduk dalam diriku. Apa yang harus aku lakukan dalam waktu dekat ini? Detik ini? Tiba-tiba hujan menggenang di pipiku dan tak seorangpun menyekanya. Jangankan Milan, aku sendiri saja rasanya tak mampu.

"Piiim!! Piiimm!!", klakson khas mobil ayah memecah udara. Sesegera mungkin aku mengambil tas ke dalam kelas seraya meremukkan kertas yang sedari tadi aku tulis. Lalu berlari secepat yang aku mampu menuju parkiran. Aku ingin sekali segera sampai di jok empuk mobil kesayangan ayah. Entah kenapa, jok itu menenangkan. Ayah bingung melihatku masuk mobil dengan raut muka abstrak. Tapi tak sepatah kata pun keluar dari lisannya. Ayah menyetir dengan santai lalu sesekali mengikuti alunan lagu masa kini yang diputar radio. Suara ayah makin menenangkan, sampai akhirnya aku tertidur sepanjang perjalanan.


8 Agustus 2009.
Kelas Olimpiade-ku berakhir lebih awal. Aku masih tak percaya dengan kata-kata yang meluncur dari Karin kemarin sore. Aku juga tidak tau apakah mereka sedang dekat, atau hanya menganggap 'sahabat' satu sama lain, atau satu hal lain yang sama sekali belum siap aku untuk mengetahuinya. Sekarang, aku sedang duduk bersamanya, Karin. Kami sama-sama menunggu seseorang keluar dari Kelas Olimpiade Matematika. Orang itu adalah Dini. Mendapat ide, kuputuskan meminjam ponsel Karin sebagai alat pencari informasi. "Rin, boleh pinjam handphone ngga? Mau liat-liat lagu, siapa tau ada yang cocok sama seleraku". Tanpa pikir panjang, ia berikan benda bercorak putih-hijau terang padaku dengan sangat lembut. Awalnya aku lupa dengan niat 'mencari informasi' dari sana. Aku serius sekali melihat-lihat daftar lagu yang ia punya. Kebanyakan memang lagu dalam negri yang easy-listening. Aku kirim melalui bluetooth setelah itu.


"Nggi, aku titip handphone sebentar ya. Itu Dini udah keluar. Aku juga pinjam Dini duluan ya? Soalnya kayanya aku cepat dijemput deh"


"Serius nih sama aku aja handphone-nya?"


"He eh. Oiya mending mainnya di kelas aja deh. Dingin tuh dari pada di luar panasnya Na'udzubillah"


Kami berdua tertawa. Sebelum ia pergi-entah-akan-kemana dengan Dini, dia memberikanku charger ponsel dan memintaku untuk menge-charge ponselnya itu. Karin menutup pintu kelas.


Aku ragu untuk membuka aplikasi yang paling menarik hat. Pesan. Sepuluh detik aku berpikir, lalu membukanya dengan basmalah.


Bentar ya Rin. Pulsa saya habis. Saya pinjam handphone bapak dulu. Nanti saya telepon lagi deh.
Terima: Farera Ib :)


Cepat-cepat "Catatan Panggilan" aku tuju. Dan ya, "Panggilan masuk: Farera Ib :) - 07/08/09" pertama kali aku jatuh cinta se-jatuhnya, pertama kali aku dijatuhkan cinta se-jatuhnya. Seperti kalimat telenovela yang pernah bunda tonton, "Hatiku hancur berkeping-keping, Ros", seperti itu rasanya. Entah apa yang mereka bicarakan sampai-sampai pulsa Milan habis lalu rela meminjam ponsel orang tuanya untuk menelepon Karin. Aku sudahi sampai situ penelusuran lebih dalam ponsel Karin. Semakin banyak kartu yang aku buka, semakin besar kekalahan yang kudapatkan. Semakin banyak yang aku tau tentang mereka berdua, semakin menusuk-nusuk jantungku.


Kukembalikan ponsel putih-hijau terang tadi setelah urusan empunya dengan Dini selesai. Sejak itulah aku yakin bahwa Milan sudah benar-benar tak milikku sepenuhnya. Aku dan dia lost contact begitu saja. Putus begitu saja tanpa ada yang mengatakan kata pemutusan. Oke, anggap saja aku ataupun dia masih labil.


~ (oleh @captaindaa)

Chemistry: 15

You should marry him part 2


J A M E S


"Why are you avoiding me? You're ignoring my texts, emails, rejecting my phone calls. What's wrong?" Aku memborbardir Leah dengan pertanyaan yang menurutku penting. Aku menuntut jawaban.
"We can't do this anymore. Not if i want someone to be serious with me."
"What?? Why?"
"You know the answer already. We're different."
"Give me time,please."


"I don't know." Itu jawaban Leah. Kalimat terakhir yang kudengar keluar dari mulutnya. Dia tidak tahu.


F E R D I


"Jadi, intinya kamu sekarang ama Rizqi?" Aku memberikan interogasi di pagi hari.
" Adrian maksudmu?"
"Heem. Siapa deh kamu manggilnya." Berdecak tak sabar.
"Aku kasih dia kesempatan. Aku mau mempertimbangkan dia untuk serius sama aku."
"Trus si bule?" Aku masih penasaran dengan jawaban Leah yang sepotong-sepotong.
"Eh bocah, elo bawel banget deh yah! Ama yang lokal aja emak gue mencak-mencak, apalagi ama yang bule udah 2 kali kawin cerai? Coba elo pikir deh!" Kalau Leah udah ber-elo gue, errr tanda dunia bakal tercerai berai.
"Eyaolo, Le, elo lagi dapet ye?"
"Ferdi boy, shut the hell up, and get out of my room." Nah kan beneran diusir ama Leah.




~ (oleh @WangiMS)