Tentang 30 Hari Cerita Cinta

10 October 2011

#28: Enchanted

So, I've been thinking lately
That I should grow up, maybe start to show up on time
But, let's be real, baby
It's not the way that we work, so why waste the sunshine?
(Starlight – Tonight Alive)

Pesan yang Adrian sampaikan hanya jadwal keberangkatannya di JFK Airport pukul sepuluh lewat 12 menit. Namun, saat aku menelepon, ponselnya malah tidak diaktifkan. Wow, kami ternyata orang-orang yang senang bersikap dramatis!
Cuaca mulai hangat hari ini, jadi kuputuskan untuk memakai blazer, kemeja, dan scarf. Oh, plus beanie ungu pemberian Eris yang Ares berikan kemarin. Oke, ini menumbuhkan saru ide; pergi ke Branhworth Coffee mungkin bukan ide yang buruk sebelum menemui Adrian di bandara.
"Oh, hai," sapaku canggung begitu melihat Ares dan Eris mengobrol di konter.
"Eh, maaf kalau ganggu."
"No, it's surprising instead. Kita baru aja ngobrolin tentang kamu dan Adrian," sanggah Ares; tangannya mengisyaratkanku untuk duduk di sampingnya.
"Kamu mau pergi ke bandara?"
"Iya, umh. Bisa pesen hazelnut coffee? Tapi, dikemas ke kap kopi," pintaku yang langsung disambut anggukan Eris. Dia terlihat senang mengetahui aku memakai beanie pemberiannya. Aku lalu teringat sesuatu, kemudian membuka tas untuk mengeluarkan kemeja bersejarahku.
Dahi Ares merengut dan saat Eris menyerahkan kap kopi, aku memberikan kemeja itu padanya. "Ini seharusnya disimpan seseorang yang lebih tepat."
Eris melirik ke samping dan Ares tersenyum padanya. "That's yours."
"Trims, Dita," katanya, lalu mengambil kemeja itu. "Umh, ngomong-ngomong, kopinya nggak usah dibayar."
"Eh?"
"We wish you luck," Ares menambahkan. "Tolong bawa kabar gembira setelah kamu bertemu dengan Adrian."
Aku menatap mereka bergantian. "Pasti, dan... terima kasih."
Karena tidak bisa berlama-lama di sana, aku pamit, dan naik taksi yang melintas di depan kedai. Lima menit pertama, jalanan masih lancar sampai, tanpa kuduga, kami malah terjebak dalam kemacetan luar biasa di New York.
Apa ada kecelakaan? Aku sudah pasrah begitu menatap arloji; menarik perhatian sang supir.
"Ada pertemuan penting?" tanyanya dengan aksen Spanyol yang kental.
"Emh, iya." Aku meringis was-was. "Nggak bisa nembus, ya?"
"Begitulah. Tapi, kalau jalan alternatif, saya tahu."
Supir itu kemudian membawaku dalam sebuah perjalanan seperti yang kulihat di film-film action ­– di mana polisi kota New York mengejar penjahat melewati jalan-jalan rahasia di kota ini. Aku berusaha menjaga kap kopi agar tetap aman dan isinya tidak tumpah. Sampai sepuluh menit kemudian, taksi secara mengejutkan berjenti tepat di depan JFK Airport.
"Sudah sampai," kata si supir santai.
Aku langsung memberinya uang – dengan sedikit bonus atas petualangan tadi. "Muchas gracias..." mataku membaca nama di kartu identitasnya "... Pedro."
Dia tersenyum padaku. "De nada, bella."
Selanjutnya, aku berlari masuk ke bandara dengan tangan kanan memegangi kap kopi dan tangan kiri memegangi ponsel. AH, SIAL! KENAPA AKU HARUS LUPA MENGISI BATERAINYA DULU?!! Baterainya low dan mati dalam waktu yang singkat.
Jadi, aku harus memeriksa di mana Adrian berada dalam waktu kurang dari 15 menit! Belum lagi, bandara ini terlalu ramai dan sibuk, menyulitkan tubuh mungilku untuk melihat setiap terminal keberangkatan.
"ADRIAN CHOIIII!!!!" Aku berteriak dan frustasi memanggil-manggil namanya di tengah kerumunan orang yang lalu lalang. Kenapa dia jadi mempersulit keadaan saat aku akan memberinya jawaban? "ADRIAAAN!!! K—"
Seseorang menyambar tangan kananku. Kepalaku langsung menoleh.
Senyum itu...
"Jangan malu-maluin!" Alisnya terangkat begitu menghirup aroma dari kap kopi yang kubawa. "Hazelnut coffee?"
"Kamu pikir?" sahutku dengan suara bergetar.
Dengan waktu sesingkat ini, aku berusaha untuk mengabaikan basa-basi ala drama Korea atau film romance. Ini realitanya – aku kehilangan semua kata dalam kepalaku begitu menatap Adrian. Seperti dibekukan.
Aku mendesah frustasi. "In the past two days, I retraced my past. Sebuah kejutan bagiku untuk mendapati mereka sudah menemukan pasangan yang tepat. Jujur, rasanya aneh ditinggal sendirian seperti ini. Aku juga sudah terlalu lelah menghadapi drama-drama yang melibatkan banyak perasaan."
Adrian berdiri di hadapanku. "Well, then, have you found the answer?"
Aku bisa saja menangis kesal begitu mendengar penerbangan menuju Ohio akan segera berangkat. Tapi, begitu Adrian meraih dan menggengam tanganku, waktu tiba-tiba melambat. Waktu seolah memberiku kesempatan untuk menyelesaikan semuanya.
"Adrian," ujarku dengan mata memanas, lalu susah payah mengangkat tangan dan menempelkan telapak tanganku di dada kirinya, "is there any place for me?"*
Perlahan, senyumnya mengembang. "It always belongs to you, Dita."
"So, there's no hesitate." Aku membalas senyumnya. "I belong to you."
Detak jantungnya berpacu semakin cepat ketika Adrian menundukan kepalanya dengan salah satu tangannya memeluk pinggangku. Tanganku mencengkram pundaknya dan, dalam satu detik, aku merasakan bibirnya mencium bibirku. Manis dan hangat.
Keriuhan di bandara seolah menghilang – meninggalkanku dan Adrian bersama aroma hazelnut coffee yang menguar di sekitar kami. I fill that empty glass. I rely on his heart.
Tapi, sayangnya, aku tidak bisa membiarkannya terlalu lama. Namun, Adrian mengakhirinya dengan lembut. Telapak tangannya yang besar dan kokoh menangkup wajahku.
"I love you," katanya dengan sorot mata yang hangat – sehangat hazelnut coffee yang kubawa untuknya. "Will always do."
"I love you too," sahutku, "and, please, come back soon."
Adrian tertawa sejenak, kemudian memberiku ciuman di kening sebelum pergi.
Rasanya berat, berat sekali. Tapi, aku tahu perpisahan ini adalah sebuah permulaan yang baru. Dan ketika jemari kami yang bertaut akhirnya saling melepas, kami tahu, ada dua hati yang baru saja bersatu.

I could make you happy, make your dreams come true
No, there's nothing that I wouldn't do
Go to the ends of the earth for you
To make you feel my love
(To Make You Feel My Love – Kris Allen)

***

~ (oleh @erlinberlin13)

No comments:

Post a Comment