"Ini mungkin terdengar berlebihan, but, there's a possibility he's your Mr.Right, Dita," Ares melanjutkan. "Dua tahun menunggu, kamu berpikir perasaannya akan terkikis. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya – tumbuh semakin besar dan kuat. Apalagi begitu melihat kesakitan kamu saat itu, aku yakin hal pertama yang muncul dalam pikirannya adalah melindungi kamu. And he offers you something: happiness."
Jeda sejenak; Ares beranjak dari kursinya untuk membuat segelas susu cokelat yang baru. setelah pemaparan panjangnya tadi, pikiran dan hatiku terbuka. Tapi, juga ada sesuatu yang ganjil terasa. Bukan, ini bukan hanya tentang Adrian. Ini tentang psikolog yang baru bicara tadi dan kembali dengan menyodorkan segelas susu cokelat padaku.
"Ar..." kepalaku tercondong ke arahnya "... kamu... kenapa bisa sepeka itu? I mean, you've changed. You suddenly care to someone else's feeling."
Dia sempat bergeming, sebelum kemudian tertawa sambil menggaruk kepalanya.
Salah tingkah. "Well, have I? Kalau kamu pikir begitu, well, aku berhasil. I mean, someone has just unlocked my heart."
"Someone?" Mataku memicing semakin curiga. "Eris?"
"Ah!" Ares tergelak semakin keras dan aku sempat melihat pipinya bersemu. Dia memalingkan wajah ke samping, terbatuk-batuk kecil, sebelum kembali menatapku. "Kurang lebih."
"KALIAN KENCAN, KAN?!" todongku tanpa basa-basi. Dia hanya menjawab dengan sebuah senyuman yang berarti ya. "Arghh!!! Kalian jahat! My boys from past are dating and leaving me alooooooone!!!*"
"Woo, tunggu, tunggu," potong Ares cepat. "Kita, maksudku aku dan ex massive crush kamu itu, justru berharap dengan ini bisa membuat kamu lebih mudah untuk maju dan mendapatkan seseoarang yang lebih pantas. Tapi, ya,ternyata kamu melangkah selam—AW!"
Aku menyentil lengannya. "Kenapa kamu yakin Yudika berpikir seperti itu? Karena dia pacaran sama Momo, huh?"
"Hei, meski aku dan dia nggak punya hubungan yang baik, tapi kita memutuskan hal yang terbaik untuk kamu. Dia termotivasi dariku untuk merespon orang yang lebih peduli dengannya, sementara aku melepas kamu karena tidak bisa mencintai kamu sepenuhnya." Ares mengambil jeda dan menatapku lebih serius.
"Tapi, kita punya satu tujuan: to see you happy with the right person."
Kepalaku tertunduk. Semua yang terjadi di antara kami berputar dan aku seolah-olah menjadi porosnya. I met them, I feel for them, then I separated. Tapi, mereka malah belajar dari perjuanganku dan akhirnya menemukan seseorang yang tepat.
"Seharusnya, ini jauh lebih mudah untuk kamu, Dita. tapi, ya, aku tahu hati seorang wanita itu mudah pecah seperti gelas," paparnya. "Dan kamu tidak bisa menggunakan gelas yang sudah retak, nanti airnya merembes. Kamu butuh gelas baru untuk menampung air itu. You need a new heart for your love."
Mata kami beradu dan Ares memberiku satu tatapan akhir yang semakin membuatku yakin dengan keputusanku.
"Uh, ini kotak apa?" Ares beranjak dari kursi dapur dan mengambil sebuah kotak yang terletak di atas TV. Aku hanya bisa menelan ludah saat dia membukanya. "Wow, wait, ini foto-foto kamu, ya? Hadiah ulang tahun?"
"Umh, menurut kamu?" Aku memalingkan wajah saat dia menaruh kotak itu di atas meja dan membongkarnya. Ares terkekeh dan senyuman gelinya mengembang.
"Apanya yang lucu?"
Kepalanya mengangguk beberapa kali. "Adrian, huh?! Seriously, Dita, don't let this guy go away from your life."
"Who—" Bola mataku berputar. "Terserah."
"Iya, iya, aku maklum kamu terlalu gengsi untuk mengakuinya," goda Ares sambil menata kembali foto-foto itu ke dalam kotak. "But, I can see you will come to him. Filling his empty heart."
"Kamu..."
Kami saling bertatapan, sebelum tertawa lepas. Mengawali hubungan kami yang baru sebagai teman. Iya, akhirnya aku memanggil Ares sebagai seorang teman.
***
~ (oleherlinberlin13)
09 October 2011
Chemistry: 16
You should marry him part 3
L E A H
Ibu tidak setuju dengan hubunganku. Hubungan kasih antara aku dan Adrian. Bukan tidak setuju. Belum setuju.
"Aku akan ikut kemanapun kamu pergi." Begitu kataku pada Adrian pagi itu.
"Will you do that?"
Aku mengangguk. Aku yakin.
"Aku gak terburu-buru. Kita pasti bisa melewati ini semua. Dan mendapatkan restu ibumu."
Senyum. Dan genggaman tanganmu. Aku akan merindukannya. Akan sangat merindukannya.
A D R I A N
Leah pergi. Bukan untuk meninggalkanku. Dia ingin mengejar mimpinya. Melanjutkan kuliah. Travelling.
"Cuma setahun atau dua tahun ini kok, sayang. Boleh kan?" Begitu pintanya padaku. Aku tak bisa menolak. Akan kuikuti kemauannya selama dia bahagia.
"Iya. Pergilah." Aku menguatkan pelukanku. "Aku takkan melarangmu. Nikmati waktumu. Beri aku waktu untuk menjemputmu. Waktu untuk ibumu dan restu dari beliau." Kurasakan baju di bagian bahuku basah. Leah-ku menangis. Aku memeluknya semakin erat.
"Lakukan satu hal untukku. Mau?"
"Apa itu?"
"Tetaplah disitu. Jangan jauh-jauh dariku." Leah-ku meminta sesuatu yang mustahil.
"Aku takkan kemana-mana. Kamu tahu dimana mencari aku. Di hatimu." Kukecup keningnya. Dia suka sekali. Lalu, punggungnya menjauh. Tapi aku tahu takkan pernah lama. Dia takkan pernah jauh dariku. Dia akan selalu untukku.
"Tunggu aku disitu, Leah. Genggam hatiku erat-erat." Kutitipkan pesan lewat angin yang bertiup lewat.
~ (oleh @WangiMS)
L E A H
Ibu tidak setuju dengan hubunganku. Hubungan kasih antara aku dan Adrian. Bukan tidak setuju. Belum setuju.
"Aku akan ikut kemanapun kamu pergi." Begitu kataku pada Adrian pagi itu.
"Will you do that?"
Aku mengangguk. Aku yakin.
"Aku gak terburu-buru. Kita pasti bisa melewati ini semua. Dan mendapatkan restu ibumu."
Senyum. Dan genggaman tanganmu. Aku akan merindukannya. Akan sangat merindukannya.
A D R I A N
Leah pergi. Bukan untuk meninggalkanku. Dia ingin mengejar mimpinya. Melanjutkan kuliah. Travelling.
"Cuma setahun atau dua tahun ini kok, sayang. Boleh kan?" Begitu pintanya padaku. Aku tak bisa menolak. Akan kuikuti kemauannya selama dia bahagia.
"Iya. Pergilah." Aku menguatkan pelukanku. "Aku takkan melarangmu. Nikmati waktumu. Beri aku waktu untuk menjemputmu. Waktu untuk ibumu dan restu dari beliau." Kurasakan baju di bagian bahuku basah. Leah-ku menangis. Aku memeluknya semakin erat.
"Lakukan satu hal untukku. Mau?"
"Apa itu?"
"Tetaplah disitu. Jangan jauh-jauh dariku." Leah-ku meminta sesuatu yang mustahil.
"Aku takkan kemana-mana. Kamu tahu dimana mencari aku. Di hatimu." Kukecup keningnya. Dia suka sekali. Lalu, punggungnya menjauh. Tapi aku tahu takkan pernah lama. Dia takkan pernah jauh dariku. Dia akan selalu untukku.
"Tunggu aku disitu, Leah. Genggam hatiku erat-erat." Kutitipkan pesan lewat angin yang bertiup lewat.
~ (oleh @WangiMS)
07 October 2011
#25: Untouched
I feel so untouched
And I want you so much
That I just can't resist you
It's not enough to say that I miss you
(Untouched – The Veronicas)
Sepuluh hari berlalu.
OKE! AKU HARUS BERTEMU DENGAN ADRIAN!
Begitu selesai memakai mantel dan scarf, aku – dengan semangat yang bercampur dengan was-was – berlari ke arah pintu. Namun, begitu aku membukanya...
"HAH!" Mataku membelalak kaget begitu melihat Adrian berdiri di sana dengan posisi tangan terangkat – siap untuk mengetuk pintu. Kami terdiam sejenak, sampai akhirnya dia menurunkan tangannya dan menatapku penuh curiga. Tunggu, ke mana kacamatanya? Apa dia ke sini untuk meminta ganti rugi?
"Kamu mau pergi, ya?" tanyanya.
"Emh, iya, tadinya..." tanganku mematut-matut ujung mantel. Uh, kenapa tiba-tiba jadi secanggung ini? "Eh, ayo masuk. Aku nggak jadi pergi."
Adrian menungguku di ruang tengah, sementara aku kembali mengganti baju dengan sweater dan celana panjang di kamar. Cuaca sedang sangat dingin dan membuatku agak mengantuk. Kalau jadi pergi tadi, mungkin aku akan tertidur di subway.
"Mau kopi?" tawarku yang disambut anggukan darinya. Bukan hal yang sulit untuk membuat secangkir kopi hitam dengan taburan hazelnut giling untuk Adrian. Tapi, kemudian aku dikejutkan oleh perban yang melilit lengan kirinya saat menaruh cangkir di atas meja.
"Ya ampun!" Aku terkesiap kaget dan nampaknya Adrian risi ketika aku menyingkap lengan kemejanya. Perban itu ternyata menutupi lengannya sampai ke sikut. "Kamu kenapa? Jatuh? Ketabrak?"
"Ini..." Dia berusaha melepaskan tanganku. "Nggak parah, kok!"
Kemudian, aku ingat berita-berita kriminal yang akhir-akhir ini terjadi di Brooklyn. Apa Adrian adalah salah satu korbannya?
"Aku cuma keserempet mobil, Dita," katanya, berusaha menenangkanku. "Kegores aja, nggak sampai patah tulang atau apa yang lebih parah."
"CUMA? Gimana bisa kamu hilang ini CUMA?!" hardikku yang membuatnya terdiam.
"Siapa yang nyerempet? Mobil apa?"
Adrian tidak menjawab dan dia malah menyesap kopi racikanku. "Mmh, you could be a good wif—*"
"ADRIAN!"
"Dita, really, I'm okay!" katanya, kali ini dengan serius meyakinkanku.
"Jangan jadi secemas itu, karena mungkin berita yang akan aku sampaikan selanjutnya malah bikin kamu makin down. It doesn't sound good."
Aku merasa bersalah sekarang. "Maaf..."
"Oke, first of all, it should be who ask for the apologize," katanya semakin serius dan mengintimidasi. "I mean, tentang tiket itu. Apa kamu... mau memaafkanku? I admit that was... such a big mistake."
Aku termenung sejenak. Seharusnya aku masih merasa sangat kesal, tapi ucapan Ares di apartemenku beberapa hari yang lalu merngubah segalanya. "Aku sudah memaafkannya, Ad. I didn't tell Ares and so far, it's okay."
Adrian meringis – ada dilema yang tergambar jelas dalam sorot matanya. Ini sangat jauh berbeda dari obrolan-obrolan kami yang biasanya penuh tawa dan canda. Ini terlalu kaku dan membuatku tegang.
And I sense so called farewell thing.
"Ini terlalu cepat dari rencana, tapi, aku akan pulang ke Ohio lusa besok untuk mengurus surat pengunduran diri dari Ohio Newspaper,"* paparnya sendu yang langsung membuatku terhenyak kaget. "Itu karena aku baru menerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah S2 dan universitas itu menawarkan sebuah pekerjaan. Sayangnya, itu membuatku harus melepas pekerjaan di sini—"
"K-Kenapa?" tanyaku dengan suara bergetar. "KAMU UDAH SUSAH PAYAH BUAT JADI
JURNALIS, AD! Itu cita-cita kamu, kan? ITU MIMPI KAMU, KAN?"
"But, now, it's nothing without you," sambarnya cepat. "Sebelum bertemu kamu, yang ada di pikiranku hanya bagaimana meraih mimpi itu. I was an obsessive robot. I was careless with my heart. And then YOU came into my life! Kamu memperkenalkan semuanya. Tentang hati yang rapuh. Tentang hati
yang yang sewaktu-waktu bisa membeku jika tidak pernah disentuh oleh sebuah perasaan."
Adrian malah menarik tanganku saat aku akan melepaskannya. Mata kami bertemu dan tanpa kacamatanya, aku bisa membaca setiap sorot yang dia berikan dengan jelas.
"Aku belum pernah seperhatian ini dengan seseorang," katanya lebih lembut.
"Dan aku belum pernah setakut ini untuk kehilangan seseorang."
"Terus, kenapa kamu malah mutusin buat ninggalin aku?" tanyaku kemudian.
"Kalau kamu takut untuk kehilangan, kenapa kamu malah menjauh dariku?"
Dia menghela nafas panjang. "Aku nggak akan ninggalin kamu sepenuhnya. Tapi, kalau kamu mau, aku akan melakukannya. It's you who will decide."
"A-Apa?"
"Dengar, ini mungkin akan seperti tekanan klasik." Adrian menatapku semakin dalam. "Selama dua hari ke depan, pikirkanlah keputusan yang ingin kamu ambil. Kamu tahu sendiri aku selama ini nggak pernah bercanda dengan perasaan ini." Kemudian, dia kembali menempelkan telapak tanganku pada dada
kirinya. "Di sini masih kosong. Aku hanya akan pergi dari kehidupan kamu sepenuhnya kalau kamu yang memintanya. Then, I'll stop to love you."
Terdengar mengerikan. Aku tahu bagaimana rasanya menunggu seperti yang Adrian lakukan. Tapi, tentu saja dia tidak menunggu dalam diam. Selama dua tahun, dia tidak pernah berhenti mencurahkan perhatiannya padaku dan aku tahu, dia melakukannya karena berharap... aku bisa bisa membalasnya.
Semakin lama, aku tidak menyangkal perasaannya bukan main-main. Tapi, aku juga tidak bisa memberikan harapan palsu.
"Dengar, jangan kasihani aku untuk masalah ini," pinta Adrian sungguh-sungguh. "You really mean a lot to me. Seandainya aku bisa menunjukannya dengan sesuatu, Dita, but nothing compares it. Nothing
compares you."
Aku mendesah frustasi begitu merasakan debar jantungnya yang semakin cepat. Ini sudah lebih cukup bagiku.
"Stop talking," pintaku lirih. "Kamu benar-benar memberikan tekanan."
Adrian mengangguk patuh, kemudian melepaskan tanganku. Hah, aku tidak habis pikir, kenapa wanita selalu butuh waktu untuk memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan perasaan?
"Aku akan menunggu," bisiknya lembut. "Lusa, Dita, dan selama dua hari ini,
aku nggak akan ngeganggu kamu."
"Tunggu!" cegahku sebelum dia berdiri. "Kacamata kamu ke mana? Was it... really broken?"
"Ya dan aku memutuskan untuk memakai lensa kontak," jawab Adrian sekenanya.
"It also helps me to see your beautiful eyes."
Kemudian, Adrian beranjak dari sofa – kembali menutup lukanya dan memakai mantel. Aku melangkah lambat-lambat di belakang. Sebuah pertanyaan muncul dalam pikiranku; kenapa dia tidak memutuskannya sendiri? Kenapa harus... aku?
"Karena aku peduli dengan kamu, Dita," katanya tiba-tiba – seolah-olah baru membaca pikiranku. "Aku nggak mau membuat kedua belah pihak menyesal nantinya."
Setelah itu, Adrian pergi tanpa menatapku sama sekali. Sempat tergoda untuk berlari dan menahannya dengan pelukan dari belakang. Tapi, kakiku terpaku erat dan aku hanya bisa menatap kepergiannya dari ambang pintu.
Hanya ada dua orang yang bisa membantuku saat ini...
***
~ (oleh @erlinberlin13)
And I want you so much
That I just can't resist you
It's not enough to say that I miss you
(Untouched – The Veronicas)
Sepuluh hari berlalu.
OKE! AKU HARUS BERTEMU DENGAN ADRIAN!
Begitu selesai memakai mantel dan scarf, aku – dengan semangat yang bercampur dengan was-was – berlari ke arah pintu. Namun, begitu aku membukanya...
"HAH!" Mataku membelalak kaget begitu melihat Adrian berdiri di sana dengan posisi tangan terangkat – siap untuk mengetuk pintu. Kami terdiam sejenak, sampai akhirnya dia menurunkan tangannya dan menatapku penuh curiga. Tunggu, ke mana kacamatanya? Apa dia ke sini untuk meminta ganti rugi?
"Kamu mau pergi, ya?" tanyanya.
"Emh, iya, tadinya..." tanganku mematut-matut ujung mantel. Uh, kenapa tiba-tiba jadi secanggung ini? "Eh, ayo masuk. Aku nggak jadi pergi."
Adrian menungguku di ruang tengah, sementara aku kembali mengganti baju dengan sweater dan celana panjang di kamar. Cuaca sedang sangat dingin dan membuatku agak mengantuk. Kalau jadi pergi tadi, mungkin aku akan tertidur di subway.
"Mau kopi?" tawarku yang disambut anggukan darinya. Bukan hal yang sulit untuk membuat secangkir kopi hitam dengan taburan hazelnut giling untuk Adrian. Tapi, kemudian aku dikejutkan oleh perban yang melilit lengan kirinya saat menaruh cangkir di atas meja.
"Ya ampun!" Aku terkesiap kaget dan nampaknya Adrian risi ketika aku menyingkap lengan kemejanya. Perban itu ternyata menutupi lengannya sampai ke sikut. "Kamu kenapa? Jatuh? Ketabrak?"
"Ini..." Dia berusaha melepaskan tanganku. "Nggak parah, kok!"
Kemudian, aku ingat berita-berita kriminal yang akhir-akhir ini terjadi di Brooklyn. Apa Adrian adalah salah satu korbannya?
"Aku cuma keserempet mobil, Dita," katanya, berusaha menenangkanku. "Kegores aja, nggak sampai patah tulang atau apa yang lebih parah."
"CUMA? Gimana bisa kamu hilang ini CUMA?!" hardikku yang membuatnya terdiam.
"Siapa yang nyerempet? Mobil apa?"
Adrian tidak menjawab dan dia malah menyesap kopi racikanku. "Mmh, you could be a good wif—*"
"ADRIAN!"
"Dita, really, I'm okay!" katanya, kali ini dengan serius meyakinkanku.
"Jangan jadi secemas itu, karena mungkin berita yang akan aku sampaikan selanjutnya malah bikin kamu makin down. It doesn't sound good."
Aku merasa bersalah sekarang. "Maaf..."
"Oke, first of all, it should be who ask for the apologize," katanya semakin serius dan mengintimidasi. "I mean, tentang tiket itu. Apa kamu... mau memaafkanku? I admit that was... such a big mistake."
Aku termenung sejenak. Seharusnya aku masih merasa sangat kesal, tapi ucapan Ares di apartemenku beberapa hari yang lalu merngubah segalanya. "Aku sudah memaafkannya, Ad. I didn't tell Ares and so far, it's okay."
Adrian meringis – ada dilema yang tergambar jelas dalam sorot matanya. Ini sangat jauh berbeda dari obrolan-obrolan kami yang biasanya penuh tawa dan canda. Ini terlalu kaku dan membuatku tegang.
And I sense so called farewell thing.
"Ini terlalu cepat dari rencana, tapi, aku akan pulang ke Ohio lusa besok untuk mengurus surat pengunduran diri dari Ohio Newspaper,"* paparnya sendu yang langsung membuatku terhenyak kaget. "Itu karena aku baru menerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah S2 dan universitas itu menawarkan sebuah pekerjaan. Sayangnya, itu membuatku harus melepas pekerjaan di sini—"
"K-Kenapa?" tanyaku dengan suara bergetar. "KAMU UDAH SUSAH PAYAH BUAT JADI
JURNALIS, AD! Itu cita-cita kamu, kan? ITU MIMPI KAMU, KAN?"
"But, now, it's nothing without you," sambarnya cepat. "Sebelum bertemu kamu, yang ada di pikiranku hanya bagaimana meraih mimpi itu. I was an obsessive robot. I was careless with my heart. And then YOU came into my life! Kamu memperkenalkan semuanya. Tentang hati yang rapuh. Tentang hati
yang yang sewaktu-waktu bisa membeku jika tidak pernah disentuh oleh sebuah perasaan."
Adrian malah menarik tanganku saat aku akan melepaskannya. Mata kami bertemu dan tanpa kacamatanya, aku bisa membaca setiap sorot yang dia berikan dengan jelas.
"Aku belum pernah seperhatian ini dengan seseorang," katanya lebih lembut.
"Dan aku belum pernah setakut ini untuk kehilangan seseorang."
"Terus, kenapa kamu malah mutusin buat ninggalin aku?" tanyaku kemudian.
"Kalau kamu takut untuk kehilangan, kenapa kamu malah menjauh dariku?"
Dia menghela nafas panjang. "Aku nggak akan ninggalin kamu sepenuhnya. Tapi, kalau kamu mau, aku akan melakukannya. It's you who will decide."
"A-Apa?"
"Dengar, ini mungkin akan seperti tekanan klasik." Adrian menatapku semakin dalam. "Selama dua hari ke depan, pikirkanlah keputusan yang ingin kamu ambil. Kamu tahu sendiri aku selama ini nggak pernah bercanda dengan perasaan ini." Kemudian, dia kembali menempelkan telapak tanganku pada dada
kirinya. "Di sini masih kosong. Aku hanya akan pergi dari kehidupan kamu sepenuhnya kalau kamu yang memintanya. Then, I'll stop to love you."
Terdengar mengerikan. Aku tahu bagaimana rasanya menunggu seperti yang Adrian lakukan. Tapi, tentu saja dia tidak menunggu dalam diam. Selama dua tahun, dia tidak pernah berhenti mencurahkan perhatiannya padaku dan aku tahu, dia melakukannya karena berharap... aku bisa bisa membalasnya.
Semakin lama, aku tidak menyangkal perasaannya bukan main-main. Tapi, aku juga tidak bisa memberikan harapan palsu.
"Dengar, jangan kasihani aku untuk masalah ini," pinta Adrian sungguh-sungguh. "You really mean a lot to me. Seandainya aku bisa menunjukannya dengan sesuatu, Dita, but nothing compares it. Nothing
compares you."
Aku mendesah frustasi begitu merasakan debar jantungnya yang semakin cepat. Ini sudah lebih cukup bagiku.
"Stop talking," pintaku lirih. "Kamu benar-benar memberikan tekanan."
Adrian mengangguk patuh, kemudian melepaskan tanganku. Hah, aku tidak habis pikir, kenapa wanita selalu butuh waktu untuk memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan perasaan?
"Aku akan menunggu," bisiknya lembut. "Lusa, Dita, dan selama dua hari ini,
aku nggak akan ngeganggu kamu."
"Tunggu!" cegahku sebelum dia berdiri. "Kacamata kamu ke mana? Was it... really broken?"
"Ya dan aku memutuskan untuk memakai lensa kontak," jawab Adrian sekenanya.
"It also helps me to see your beautiful eyes."
Kemudian, Adrian beranjak dari sofa – kembali menutup lukanya dan memakai mantel. Aku melangkah lambat-lambat di belakang. Sebuah pertanyaan muncul dalam pikiranku; kenapa dia tidak memutuskannya sendiri? Kenapa harus... aku?
"Karena aku peduli dengan kamu, Dita," katanya tiba-tiba – seolah-olah baru membaca pikiranku. "Aku nggak mau membuat kedua belah pihak menyesal nantinya."
Setelah itu, Adrian pergi tanpa menatapku sama sekali. Sempat tergoda untuk berlari dan menahannya dengan pelukan dari belakang. Tapi, kakiku terpaku erat dan aku hanya bisa menatap kepergiannya dari ambang pintu.
Hanya ada dua orang yang bisa membantuku saat ini...
***
~ (oleh @erlinberlin13)
Kisah Yang Salah
"Tasya, sebenernya aku lagi deket sama cewek nih" akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Galang setelah aku terus menanyakan tentang keadaan dia saat ini. Malam ini, Galang kembali menelpon aku lagi untuk kesekian kalinya.
~ (oleh @nongdamay)
"Wah, bagus dong…terus,gimana ceritanya?" spontan aku merespon pernyataan Galang tentang kedekatannya.
"Ya gitu deh Sya, baru banget ngedeketinnya. Nanti aku bbm-in ke kamu deh fotonya" lanjut Galang.
"Iya..iya…pasti cantik deh. Semoga segera jadi ya" aku senang mendengar berita ini.
"Kok kamu malah seneng sih?" nada suara Galang berubah.
Aku yang tidak menyadari perubahan nada suara Galang, tetap menjawab dengan nada senang "iya dong senang, kan akunya mau nikah terus kamunya bentar lagi mau punya cewek. Jadi nanti kita akan bahagia sama-sama deh."
"Tasya….bahagia aku itu ya sama kamu…." Satu kalimat Galang yang membuat keadaan menjadi hening.
"Galang, kamu kok gitu sih? Kamu kan tahu aku punya Randy dan kami sebentar lagi akan menikah" akhirnya aku membuka suara memecah keheningan ini.
"Seandainya 4 tahun yang lalu kamu bisa lebih sabar nunggu aku, pasti jalan ceritanya ngga kayak gini." Jawaban Galang cukup mengejutkan aku.
Galang kembali mengungkit apa yang aku kira sudah selesai. Galang menyalahkan diriku yang tidak sabar menunggu dirinya yang hilang untuk kembali lagi dan membuka hatiku untuk Randy. Kejadian 4 tahun yang lalu itu ternyata masih dipermasalahkan oleh dia.
Berarti masih ada hal yang belum terselesaikan antara aku dan Galang kalau begini keadaannya. Ini harus diselesaikan sebelum hari pernikahan aku tiba. Aku mengkomunikasikan hal ini kepada Randy. Randy sepakat dengan diriku bahwa aku harus menyelesaikan dan meluruskan keadaan ini. Atas izin Randy aku menemui Galang.
***
Jumat sore di sebuah mall daerah Senayan. Aku yang memilih tempat, aku memilih di sebuah sudut café yang suasanannya kondusif untuk berbicara serius.
"Tasya…." Satu kata yang keluar dari mulut Galang saat bertemu dengan aku. Kemudian Galang menuju diriku yang sudah lebih dulu sampai. Aku berdiri, mengulurkan tanganku. Galang menyambut uluran tanganku dan… mengecup keningku.
"Galang….!!!!" Aku terkejut dengan kecupan itu tapi entah mengapa hatiku merasa ada sesuatu, tampaknya suatu kerinduan.
"Eh iya maaf Tasya…maaf ya..aku lupa. Soalnya biasanya kan kalau ketemu kamu aku kecup kening"
Seharusnya aku marah terhadap apa yang Galang lakukan tapi seperti ada yang menahan aku untuk tidak marah.
Akhirnya aku dan Galang larut dalam obrolan, obrolan yang berbahaya yaitu mengenang kembali apa yang dulu pernah kita berdua lalui. Hal yang sudah aku siapkan untuk aku bicarakan pun menguap begitu saja, aku tidak jadi menyelesaikan hal yang harus aku selesaikan.
Kami menghabiskan waktu hampir 3 jam di café ini dan aku pulang tanpa membawa hasil. Hasil untuk meluruskan hal yang dipermasalahkan oleh Galang. Malamnya kami melanjutkan obrolan di telpon , dan malam-malam selanjutnya pun kita lewati dengan ngobrol di telpon.
***
Hari demi hari, aku dan Galang semakin dekat. Aku sadar bahwa hari pertunangan aku semakin dekat, sahabat-sahabat aku juga sudah mengingatkan agar aku tidak melakukan hal bodoh. Tapi yang ada aku terus berhubungan dengan Galang.
Kedekatan yang membuat kita merasa saling memiliki satu sama lain, kedekatan yang menurut aku sudah tidak wajar namun aku menikmati keadaan ini. Walaupun aku tahu semua yang aku lakukan ini salah. Sampai disuatu obrolan yang mengubah keadaan.
"Kalau aku yang ngelamar kamu duluan gimana Sya" satu kalimat lagi dari Galang yang sangat mengejutkan aku.
"Galang…aneh-aneh deh. Eh, gimana sama cewe yang kamu deketin? Kok ngga ada kabar lagi?" aku coba mengalihkan pembicaraan.
"Udah deh, ngga usaha bahas itu ya Sya, Kayaknya itu cewe ngga mau sama aku." Galang enggan membahas tentang hal tersebut, dia lebih senang membahas dia dan aku.
"Udahlah Galang, ngga usah gitu… akunya udah mau tunangan loh"
"Tapi kan belum nikah…." Galang terus berusaha menggoyangkan keyakinan aku kepada Randy.
Aku yang selama ini terbawa oleh keadaan, aku yang mencoba membuka kesempatan kepada Galang untuk berteman lagi dengan aku tidak bisa terima kalimat Galang tadi, apalagi saat dia mengucapkan "aku bakal terus nunggu kamu ya Sya".
Aku marah karena Galang sudah tidak menghargai aku dan hubungan aku dengan Randy. Aku ngga suka Galang ngomong seperti itu. "Kalau kamu masih belum bisa terima keadaan ini dan belum bisa ngehargain aku dan Randy, kita ngga usah temenan aja ya." Itu kalimat terakhir aku kepada Galang.
Mulai malam itu perlahan aku dan Galang mulai menjauh, dimulai saat aku mengganti foto bbm aku berdua dengan Randy, Galang ikut mengganti dengan foto berdua cewe yang waktu itu enggan dia bahas. Tidak ada lagi bbm atau telpon di malam hari.
Semua berakhir, kedekatan aku dan Galang beberapa waktu kemaren merupakan kisah yang salah. Agak sedikit menyakitkan saat kita dekat berusaha untuk menjadi teman namun ada kesalahan dalam prosesnya dan sekarang harus kembali menjauh. Saat semuanya selesai harusnya aku senang, tenang dan bahagia karena tidak ada lagi krikil penghambat persiapan pernikahan aku. Tapi…ah sudahlah, ini kisah yang salah yang harus diakhir.
To be continue
akhirnya kita ada
di akhir yang menyakitkan
kusadar kita telah melangkah
terlalu dalam...
(Kisah Yang Salah – Glenn Fredly)
~ (oleh @nongdamay)
06 October 2011
#24: Denial (pt 2)
Delapan hari berlalu. Adrian belum menemuiku.
Sebenarnya, aku bisa saja pergi ke Brooklyn dan datang ke apartemennya untuk memastikan dia baik-baik saja. Tapi, akhir-akhir ini, ada banyak berita yang mengabarkan tindak kriminalitas sedang meningkat di sana dan membuatku parno. Menelepon? Jangan tanya sebesar apa gengsiku untuk melakukannya!
Jadi, aku hanya berkutat di apartemen atau jalan-jalan di Central Park. Aku memutuskan untuk membalas beberapa email penggemar – juga membalas postcard Yudika. Kami bertukar kabar lewat email dan aku senang membacanya – he's truly happy now with her. Iya, Yudika akhirnya berkencan dengan Tomomi.
Tapi, hari ini, aku memintanya untuk ngobrol via Skype. Aku tidak tahan untuk menceritakan hubunganku dengan Ares yang kurang menyenangkan setelah putus.
"Kayaknya aku kena karma, deh," keluhku sambil bertopang dagu. Yudika, yang terlihat berbeda dengan kulit cokelat terbakar matahari, menyimak dengan tatapan penasaran. "I mean, ya, ngejar-ngejar masa lalu."
Dia tiba-tiba tergelak lepas. "Aku malah mikir kamu nggak kena karma sama sekali. Kasusnya jelas beda, Dit. Aku dulu ngejar-ngejar kamu tapi kita nggak pernah pacaran sebelumnya. Sementara dengan Ares... kalian berdua kan pacaran dulu. It's about the relationship!"
Bola mataku berputar. "Tapi, temanya tetep ngejar masa lalu!"
"Damn you, author!" *Yudika berdecak tidak setuju. "Oke, just ask what you want to, Cupid."
"Umh..." Kepalaku tertunduk sejenak. "Setelah open mic itu, apa yang kamu rasakan? How could you move on after that?"
Sebuah senyuman tipis melengkung di wajahnya. "Awalnya memang sulit. aku nggak bisa ngelepas kamu semudah itu, but you loved him so much, I could feel that. Lalu, meski aku nggak suka sama Ares, ada satu ucapannya yang malah memotivasiku untuk cepat bangkit."
Alisku terangkat. "Apa?"
"Untuk apa terus mengejar Dita sementara di sekitar kamu, atau malah di samping kamu, ada orang yang lebih peduli!" Kami tertawa sejenak. Ini pasti bagian pertengkaran mereka yang tidak kusaksikan. "Orang yang lebih peduli– that person is Momo. Aku sempat beranggapan rasanya sulit untuk mencintai orang lain. Tapi, dia nggak menyerah begitu saja. Bahkan waktu dia diutus ke Afrika dan diperbolehkan untuk membawa satu rekan kerja, she chose me, because she knew I'd really want to go. Aku mulai membuka hati dari sana."
"Nice story." Aku membayangkan mereka berdua kencan di tengah padang rumput Afrika – di bawah sinar mataharinya yang panas. "She finally set you free from love blindness."
Alisnya bertaut. "Hmm, aku malah berpikir kalau selama ini, sebenarnya bukan cinta yang membuat kita 'buta' – ini kan hanya sebuah perasaan. Mungkin faktor sebenarnya adalah karena kita tertekan dalam sebuah kondisi. Hei, seseorang bisa jadi baik atau jahat dalam situasi yang terdesak, kan?"
Kepalaku mengangguk setuju. "Jadi, apa menurut kamu aku harus membuka hati untuk orang lain?"
"Well, Dita, Athena's Diary sempat ditolak empat penerbit sebelum akhirnya diterima dengan penerbit yang tepat dan mengantarkan kamu dalam kesuksesan ini, kan?" katanya dengan mata berbinar. "*hat's also the way you'll meet your Mr.Right. Kamu akan gagal dulu, belajar memperbaikinya, sampai menemukan dia yang membuat kamu merasakan takut akan kehilangan yang sangat. He's the one who makes you feel that a half of your life is owned by him. Soulmate*."
Oke. Wow. Yudika ini sebenarnya dokter spesialis perasaan, ya?
"Such a deep 'speech'," komentarku yang disambut tawa ringan khasnya. "Thanks, Yudika."
"No, thanks, Dita," potongnya cepat, "* learnt from you."
Aku diam mematung. Emh, ini aneh. Kenapa cowok-cowok ini, yang pernah mengisi masa laluku, mengucapkan terima kasih setelah belajar dari perjuanganku melepaskan mereka?
***
~ (oleh @erlinberlin13)
Delapan #14
Semua perasaan dan persepsi teraduk-aduk dalam diriku. Apa yang harus aku lakukan dalam waktu dekat ini? Detik ini? Tiba-tiba hujan menggenang di pipiku dan tak seorangpun menyekanya. Jangankan Milan, aku sendiri saja rasanya tak mampu.
"Piiim!! Piiimm!!", klakson khas mobil ayah memecah udara. Sesegera mungkin aku mengambil tas ke dalam kelas seraya meremukkan kertas yang sedari tadi aku tulis. Lalu berlari secepat yang aku mampu menuju parkiran. Aku ingin sekali segera sampai di jok empuk mobil kesayangan ayah. Entah kenapa, jok itu menenangkan. Ayah bingung melihatku masuk mobil dengan raut muka abstrak. Tapi tak sepatah kata pun keluar dari lisannya. Ayah menyetir dengan santai lalu sesekali mengikuti alunan lagu masa kini yang diputar radio. Suara ayah makin menenangkan, sampai akhirnya aku tertidur sepanjang perjalanan.
8 Agustus 2009.
Kelas Olimpiade-ku berakhir lebih awal. Aku masih tak percaya dengan kata-kata yang meluncur dari Karin kemarin sore. Aku juga tidak tau apakah mereka sedang dekat, atau hanya menganggap 'sahabat' satu sama lain, atau satu hal lain yang sama sekali belum siap aku untuk mengetahuinya. Sekarang, aku sedang duduk bersamanya, Karin. Kami sama-sama menunggu seseorang keluar dari Kelas Olimpiade Matematika. Orang itu adalah Dini. Mendapat ide, kuputuskan meminjam ponsel Karin sebagai alat pencari informasi. "Rin, boleh pinjam handphone ngga? Mau liat-liat lagu, siapa tau ada yang cocok sama seleraku". Tanpa pikir panjang, ia berikan benda bercorak putih-hijau terang padaku dengan sangat lembut. Awalnya aku lupa dengan niat 'mencari informasi' dari sana. Aku serius sekali melihat-lihat daftar lagu yang ia punya. Kebanyakan memang lagu dalam negri yang easy-listening. Aku kirim melalui bluetooth setelah itu.
"Nggi, aku titip handphone sebentar ya. Itu Dini udah keluar. Aku juga pinjam Dini duluan ya? Soalnya kayanya aku cepat dijemput deh"
"Serius nih sama aku aja handphone-nya?"
"He eh. Oiya mending mainnya di kelas aja deh. Dingin tuh dari pada di luar panasnya Na'udzubillah"
Kami berdua tertawa. Sebelum ia pergi-entah-akan-kemana dengan Dini, dia memberikanku charger ponsel dan memintaku untuk menge-charge ponselnya itu. Karin menutup pintu kelas.
Aku ragu untuk membuka aplikasi yang paling menarik hat. Pesan. Sepuluh detik aku berpikir, lalu membukanya dengan basmalah.
Bentar ya Rin. Pulsa saya habis. Saya pinjam handphone bapak dulu. Nanti saya telepon lagi deh.
Terima: Farera Ib :)
Cepat-cepat "Catatan Panggilan" aku tuju. Dan ya, "Panggilan masuk: Farera Ib :) - 07/08/09" pertama kali aku jatuh cinta se-jatuhnya, pertama kali aku dijatuhkan cinta se-jatuhnya. Seperti kalimat telenovela yang pernah bunda tonton, "Hatiku hancur berkeping-keping, Ros", seperti itu rasanya. Entah apa yang mereka bicarakan sampai-sampai pulsa Milan habis lalu rela meminjam ponsel orang tuanya untuk menelepon Karin. Aku sudahi sampai situ penelusuran lebih dalam ponsel Karin. Semakin banyak kartu yang aku buka, semakin besar kekalahan yang kudapatkan. Semakin banyak yang aku tau tentang mereka berdua, semakin menusuk-nusuk jantungku.
Kukembalikan ponsel putih-hijau terang tadi setelah urusan empunya dengan Dini selesai. Sejak itulah aku yakin bahwa Milan sudah benar-benar tak milikku sepenuhnya. Aku dan dia lost contact begitu saja. Putus begitu saja tanpa ada yang mengatakan kata pemutusan. Oke, anggap saja aku ataupun dia masih labil.
~ (oleh @captaindaa)
"Piiim!! Piiimm!!", klakson khas mobil ayah memecah udara. Sesegera mungkin aku mengambil tas ke dalam kelas seraya meremukkan kertas yang sedari tadi aku tulis. Lalu berlari secepat yang aku mampu menuju parkiran. Aku ingin sekali segera sampai di jok empuk mobil kesayangan ayah. Entah kenapa, jok itu menenangkan. Ayah bingung melihatku masuk mobil dengan raut muka abstrak. Tapi tak sepatah kata pun keluar dari lisannya. Ayah menyetir dengan santai lalu sesekali mengikuti alunan lagu masa kini yang diputar radio. Suara ayah makin menenangkan, sampai akhirnya aku tertidur sepanjang perjalanan.
8 Agustus 2009.
Kelas Olimpiade-ku berakhir lebih awal. Aku masih tak percaya dengan kata-kata yang meluncur dari Karin kemarin sore. Aku juga tidak tau apakah mereka sedang dekat, atau hanya menganggap 'sahabat' satu sama lain, atau satu hal lain yang sama sekali belum siap aku untuk mengetahuinya. Sekarang, aku sedang duduk bersamanya, Karin. Kami sama-sama menunggu seseorang keluar dari Kelas Olimpiade Matematika. Orang itu adalah Dini. Mendapat ide, kuputuskan meminjam ponsel Karin sebagai alat pencari informasi. "Rin, boleh pinjam handphone ngga? Mau liat-liat lagu, siapa tau ada yang cocok sama seleraku". Tanpa pikir panjang, ia berikan benda bercorak putih-hijau terang padaku dengan sangat lembut. Awalnya aku lupa dengan niat 'mencari informasi' dari sana. Aku serius sekali melihat-lihat daftar lagu yang ia punya. Kebanyakan memang lagu dalam negri yang easy-listening. Aku kirim melalui bluetooth setelah itu.
"Nggi, aku titip handphone sebentar ya. Itu Dini udah keluar. Aku juga pinjam Dini duluan ya? Soalnya kayanya aku cepat dijemput deh"
"Serius nih sama aku aja handphone-nya?"
"He eh. Oiya mending mainnya di kelas aja deh. Dingin tuh dari pada di luar panasnya Na'udzubillah"
Kami berdua tertawa. Sebelum ia pergi-entah-akan-kemana dengan Dini, dia memberikanku charger ponsel dan memintaku untuk menge-charge ponselnya itu. Karin menutup pintu kelas.
Aku ragu untuk membuka aplikasi yang paling menarik hat. Pesan. Sepuluh detik aku berpikir, lalu membukanya dengan basmalah.
Bentar ya Rin. Pulsa saya habis. Saya pinjam handphone bapak dulu. Nanti saya telepon lagi deh.
Terima: Farera Ib :)
Cepat-cepat "Catatan Panggilan" aku tuju. Dan ya, "Panggilan masuk: Farera Ib :) - 07/08/09" pertama kali aku jatuh cinta se-jatuhnya, pertama kali aku dijatuhkan cinta se-jatuhnya. Seperti kalimat telenovela yang pernah bunda tonton, "Hatiku hancur berkeping-keping, Ros", seperti itu rasanya. Entah apa yang mereka bicarakan sampai-sampai pulsa Milan habis lalu rela meminjam ponsel orang tuanya untuk menelepon Karin. Aku sudahi sampai situ penelusuran lebih dalam ponsel Karin. Semakin banyak kartu yang aku buka, semakin besar kekalahan yang kudapatkan. Semakin banyak yang aku tau tentang mereka berdua, semakin menusuk-nusuk jantungku.
Kukembalikan ponsel putih-hijau terang tadi setelah urusan empunya dengan Dini selesai. Sejak itulah aku yakin bahwa Milan sudah benar-benar tak milikku sepenuhnya. Aku dan dia lost contact begitu saja. Putus begitu saja tanpa ada yang mengatakan kata pemutusan. Oke, anggap saja aku ataupun dia masih labil.
~ (oleh @captaindaa)
Chemistry: 15
You should marry him part 2
J A M E S
"Why are you avoiding me? You're ignoring my texts, emails, rejecting my phone calls. What's wrong?" Aku memborbardir Leah dengan pertanyaan yang menurutku penting. Aku menuntut jawaban.
"We can't do this anymore. Not if i want someone to be serious with me."
"What?? Why?"
"You know the answer already. We're different."
"Give me time,please."
"I don't know." Itu jawaban Leah. Kalimat terakhir yang kudengar keluar dari mulutnya. Dia tidak tahu.
F E R D I
"Jadi, intinya kamu sekarang ama Rizqi?" Aku memberikan interogasi di pagi hari.
" Adrian maksudmu?"
"Heem. Siapa deh kamu manggilnya." Berdecak tak sabar.
"Aku kasih dia kesempatan. Aku mau mempertimbangkan dia untuk serius sama aku."
"Trus si bule?" Aku masih penasaran dengan jawaban Leah yang sepotong-sepotong.
"Eh bocah, elo bawel banget deh yah! Ama yang lokal aja emak gue mencak-mencak, apalagi ama yang bule udah 2 kali kawin cerai? Coba elo pikir deh!" Kalau Leah udah ber-elo gue, errr tanda dunia bakal tercerai berai.
"Eyaolo, Le, elo lagi dapet ye?"
"Ferdi boy, shut the hell up, and get out of my room." Nah kan beneran diusir ama Leah.
~ (oleh @WangiMS)
J A M E S
"Why are you avoiding me? You're ignoring my texts, emails, rejecting my phone calls. What's wrong?" Aku memborbardir Leah dengan pertanyaan yang menurutku penting. Aku menuntut jawaban.
"We can't do this anymore. Not if i want someone to be serious with me."
"What?? Why?"
"You know the answer already. We're different."
"Give me time,please."
"I don't know." Itu jawaban Leah. Kalimat terakhir yang kudengar keluar dari mulutnya. Dia tidak tahu.
F E R D I
"Jadi, intinya kamu sekarang ama Rizqi?" Aku memberikan interogasi di pagi hari.
" Adrian maksudmu?"
"Heem. Siapa deh kamu manggilnya." Berdecak tak sabar.
"Aku kasih dia kesempatan. Aku mau mempertimbangkan dia untuk serius sama aku."
"Trus si bule?" Aku masih penasaran dengan jawaban Leah yang sepotong-sepotong.
"Eh bocah, elo bawel banget deh yah! Ama yang lokal aja emak gue mencak-mencak, apalagi ama yang bule udah 2 kali kawin cerai? Coba elo pikir deh!" Kalau Leah udah ber-elo gue, errr tanda dunia bakal tercerai berai.
"Eyaolo, Le, elo lagi dapet ye?"
"Ferdi boy, shut the hell up, and get out of my room." Nah kan beneran diusir ama Leah.
~ (oleh @WangiMS)
Subscribe to:
Posts (Atom)