Tentang 30 Hari Cerita Cinta

30 September 2011

#18: Greatest Sin

Ketakutan adalah hal pertama yang menyergapku begitu sampai di apartemen Ares.
Ini secara harfiah. Aku baru menyadari apartemennya yang terletak di kawasan 5th Ave ini adalah tempat dimana Fi ona dibunuh. The most shockingly thing: Ares tinggal di ruangan nomor 1456 – tempat dimana ibu Fiona tinggal dan tewas, lalu di salah satu koridornya... Fiona tewas terbunuh.
Glek.
Aku sempat berhenti dan mengawasi tempat kejadiannya. Hawa di sini memang berbeda – tengkukku langsung menegang. Pintu dengan nomor 1456 tidak jauh dari tempatku berdiri, aku ingin cepat berjalan ke sana— Handle pintu berputar; aku refleks bersembunyi di balik dinding. Seorang wanita muda berambut pirang kecokelatan keluar dengan tas besar di tangannya. Dia tersenyum pada Ares yang berdiri di depan pintu dan melambaikan tangan sebelum pergi ke dalam lift. Dahiku mengerut penasaran.
Tanpa membuang waktu, aku keluar dari tempat persembunyian dan kepala Ares menoleh padaku. Senyumnya seperti peluru yang menembus lututku.
"You know what? Belokan tadi..." Tangannya menunjuk ke belakang. "Itu tempat aku sembunyi sebelum Fiona—"
Aku mendesis ketakutan. "Boleh aku masuk sekarang?"
Ares mempersilakanku masuk. Untuk ukuran sebuah apartemen, ini terlalu mewah untuk Ares. Hampir dua kali lipat lebih luas dari apartemenku, tapi... tetap, Ares yang minimalis. Emh, dan hawa di sini tidak sehoror di luar tadi.
"Ares..." aku mengekornya ke ruang santai "...if I'm not mistaken, ini tempat pembunuhan itu, kan?"
"Iya, ini apartemen ibu Fiona dulu," sahutnya sambil mematikan oven dan mengeluarkan seloyang lasagna dari sana. "Dua tahun sejak pembunuhan itu, nggak ada yang bersedia nyewa tempat ini. Baru satu tahun yang lalu, ada dua-tiga orang yang nyoba, tapi nggak bertahan lama. Sampai akhirnya, aku datang dan pemilik apartemen ini menawarkan harga yang sangat miring untukku."
Aku melongo tidak percaya. Ares bertahan di sini selama dua tahun! "Hebat." 
"Not really. Selama lima bulan pertama, aku juga sempat merasakan kehororan itu. Bahkan dua kali lipat dari penyewa-penyewa sebelumnya. Mulai dari suara tangisan, derap langkah kaki misterius, benda jatuh—"
"AREEEES!!!"
"Oke, maaf, maaf!" Ares terkekeh melihatku ketakutan. Kemudian, dia menaruh lasagna tadi di atas meja. "Seharusnya, aku nggak nakut-nakutin orang yang lagi ulang tahun hari ini."
Mataku mengerjap. Ares ingat. DIA INGAT ULANG TAHUNKU!
"Kamu ulang tahun, kan hari ini?" tanyanya lagi sambil memotong lasagna sebagai pengganti kue. "Emh, maaf kalau aku terkesan dingin di New York Times tempo hari. *I was shocked, really. I thought you wouldn't wanna meet me*."
Dugaan Adrian benar. "It's okay, Ar dan, ya, hari ini ulang tahunku yang ke-23."
"Hronia polla!" serunya yang membuatku bingung. "Oh, that means 'a wish to live many years' in Greek. Aku baru tahu kalau orang-orang Yunani jarang mengatakan happy birthday. Arty told me."
"Tapi... aku kan bukan orang Yunani."
Kami tergelak dan suasana mulai mencair. Seketika itu juga, aku lupa tujuanku ke sini adalah untuk interview. Aku terlalu larut dengan memori-memori itu. Aku sangat merindukannya, lebih dari yang pernah kuduga selama ini.
.
"Kemeja itu mengundang kontroversi," ujar Ares yang sekarang duduk di sampingku. "Karena, aku sering memakainya sekitar tiga bulan pertama saat bekerja. Jadi, begitu teman-teman jurnalisku lihat kamu yang pakai kemeja itu..."
Aku nyaris tersedak mendengarnya. "Mereka nyangka macem-macem?"
"Sort of dan aku tidak bisa berbohong karena gaya kemeja seperti itu sudah jarang ditemukan zaman sekarang. Rumor mulai berkembang." Ares menyeringai.
"Di sisi lain, ternyata rumor itu malah menyelamatkanku. Karena gagal mewawancarai kamu, aku sempat kena teguran. Tapi, begitu editor in chief mendengar rumor kemejaku, dia malah menawarkan sebuah kesempatan."
"Apa yang dia tawarkan?"
"Sebenarnya, aku merasa keberatan untuk menerima tawaran itu dan takut kalau kamu akan menolaknya juga," Ares meringis, lalu menatapku hati-hati. "Dia ingin aku menulis artikel tentang... kita. Bagaimana kita bisa saling mengenal. Kamu tahu sendiri, kan, dunia jurnalis sangat mengekang kepalsuan. Sementara aku juga nggak bisa mengumbar privasi hubungan kita dulu."
Tentu saja itu akan menekan Ares karena dia sangat menjunjung tinggi privasi. Namun, di sisi lain, aku juga bertanggung jawab untuk menyelamatkan pekerjaannya.
Mataku terpejam sejenak. "Kita berada di dunia yang sama, Ar. Menulis fiksi dan non-fiksi pada dasarnya harus mempunyai pegangan dulu. I write a semi-fantasy fiction novel and you write an article – both of us need to have the main point. Aku pikir, untuk artikel ini, kita harus punya  satu pegangan supaya nggak meleber ke mana-mana. Our love life or my passion to write that you'll want to write?!"
Senyumnya merekah dan membuat pipiku memanas. Tenang, Dita, tenang. "Hmm, I got the point. Mungkin aku bisa menceritakan garis besar hubungan kita dan setelah itu masuk ke bagian di mana kamu mendapat ide untuk menulis Athena's Diary. Umh, kamu nanti bisa, kan, kirim email tentang inspirasi yang membuat kamu terdorong untuk nulis novel itu?"
Kepalaku mengangguk mantap. "Deadline-nya kapan?"
"Lusa. Jadi, aku mohon, secepatnya."
Selanjutnya, kami menikmati lasagna dalam diam sampai habis. Telingaku menangkap rintik air hujan yang mengetuk-ngetuk jendela. Kepanikanku muncul begitu hujan turun semakin deras.
"Kenapa?" tanya Ares dengan mata tertuju ke luar. "Hujan? Kamu bawa payung, nggak?"
Mampus! "Ng-Nggak. Biar aku minta jemput aja..."
"Biar aku yang anterin kamu pulang, 'kay?" potongnya cepat. "Tapi, kita tunggu sampai hujannya reda dulu. Well, mau kopi?"
Kami pindah ke dapur untuk meracik kopi. Ares menceritakan pertemuannya dengan Eris, gadis berambut pirang yang kulihat keluar dari apartemen tadi, yang ternyata adalah sahabat Fiona. Semua bungkus kopi yang berada di konter dapur adalah pemberian dari Eris yang mempunyai coffee shop yang dibangun atas 'wasiat' Fiona sebelum tewas.
"It reminds me with your season's circle theory," ujar Ares sambil mengaduk kopinya. "Sebagai tambahan, mungkin kita juga tidak akan pernah menduga dengan siapa kita membuat lingkaran itu."
Pelan-pelan, tanganku menuangkan latte syrup ke dalam kopi hitam. "By the way, Ar, kenapa kamu mutusin buat ngasih undangan itu ke Adrian?"
"Nah!" Ares lagi-lagi meringis. "Itu benar-benar di luar dugaanku. Waktu dia bilang kalau kalian berteman, aku bukan hanya sekedar kaget, tapi... dari sorot matanya..."
Aku menelan ludah – baru ingat kalau Ares juga psikolog. 
Salah satu alisnya terangkat dan menatapku penuh selidik. "Kalian pernah kencan?"
"NGGAK, nggak! Kita..." Kepalaku menggeleng cepat. Aku jadi semakin gelisah karena Ares masih menatapku lekat-lekat. "Adrian itu... orang yang membantuku untuk bangkit setelah kita... putus."
"Ah, cukup jelas!" Dia menyesap kopinya. "Pantas kamu terlihat semakin baik setelah itu."
Bibirku mengerucut. Kamu salah, Ar! "Kamu sendiri gimana?"
"Memang sulit untuk bangkit sendirian, tapi aku sudah pernah ada dalam posisi itu. I let myself busy with college and jobs. So far... it helps me," jawabnya, meski agak ragu. Kami tidak bicara lagi, lalu menikmati kopi sampai habis.
Kepala Ares melongok ke arah jendela untuk memastikan hujan sudah cukup reda. Lalu, dia mengambil kunci mobilnya di atas Mister Coffee. "Ayo! Nanti keburu deras lagi!"
Aku mendesah dan turun dari kursi. Secepat ini?
"Hei!" Tangan Ares tiba-tiba mengacak-acak rambutku. "Kamu baru roll rambut, ya?"
Cepat-cepat, tanganku mengangkat tudung jaket – menutupi kepala. "Umh, emang kenapa?"
"Hmm, kenapa aku juga hari ini cukuran, ya?" gumamnya.
Aku hanya tersenyum samar, lalu berjalan menuju pintu. Namun, saat tanganku baru terulur ke handle, tangan Ares meraihnya lebih cepat, menarikku ke belakang, dan mendorongku ke dinding.
Hatiku membuncah – seperti ada kembang api yang tersulut di sana dan meluncur ke atas saat Ares mencium bibirku. Dekapannya semakin erat, meski dia mengakhirinya tak lama kemudian. Nafas kami memburu seperti dua ekor naga di tengah keremangan malam dan derasnya hujan. Dahinya menempel pada dahiku – khas Ares yang paling kusukai.
Dia mencium rahangku dan berbisik, "Happy birthday, sweetheart."
Dan aku tidak bisa menahan diri untuk membalas ciumannya.


*Was there over before, before it ever began
*Your kiss, your calls, your crutch
*Like the devil's got your hand
*This was over before, before it ever began
*Your lips, your lies, your lust
*Like the devils in your hands
(The Feel Good Drag – Anberlin)


***


~ (oleh @erlinberlin13)

No comments:

Post a Comment