Tentang 30 Hari Cerita Cinta

30 September 2011

#9 I am a Next-level Phobic

Sejak kejadian republik curcol, apa yang terjadi antara gue dan Ian makin ngalir dengan natural. We both like two open books. Apapun yang kita pikirin dan rasain, gampang banget dishare satu sama lainnya. Gue tahu semua bab dalam hidup Ian.

Dibesarkan dalam lingkungan single parent, sejak Mamanya meninggal dunia setelah melahirkan adik laki-laki Ian yang berbeda 3 tahun di bawahnya. Ian si anak tengah, tumbuh jadi anak yang menggantikan peran Mama. Jago urusan rumah tangga, pembawaan ceria, dan tenang menghadapi setiap konflik yang datang. Papa dan Kak John (kakak Ian yang kini sudah berusia 32 tahun), sejak dulu bekerja keras menopang ekonomi keluarga. Kebayang aja, Ian bercelemek dan menggoyang-goyangkan wajan memasak makan malam keluarga. Meet the Domestic God himself!

Kehadiran Mawar yang nyaris nggak terganti sebagai cewek terdekat dalam hidup Ian, didukung juga sama karakter Ambu, ibu Mawar yang begitu dihormati Ian sebagai pengganti Mamanya. Mawar yang awalnya seperti adik perempuan yang begitu manja, lama kelamaan menguasai isi hati Ian saat mereka beranjak remaja. Hingga satu menit yang lalu, Ian menyinggung Mawar yang sekarang menjalin hubungan dengan Kris, teman SMA Ian yang sekarang menetap di Inggris dan sekampus dengan Mayang, ada rindu terbersit dari nada suaranya.

Tantangan besar buat naklukin satu paket cowok yang ada di sisi seberang cerminan diri gue sendiri. Bayang-bayang mantan bukan seekor kecoa yang bisa ilang dengan satu tepokan maut dari sandal jepit. Membuat Ian melupakan Mawar bakal bikin kepala gue botak seketika dan Shampo Metal pun belom tentu bisa numbuhin balik. Mendorongnya mengikhlaskan Mawar sebagai satu titik di garis kehidupannya, mungkin bisa jadi pilihan yang lebih bijak. Peluang berhasilnya ?

Tak ada hil yang mustahal.

Kata-kata khas dari alm. Timbul, punggawa Srimulat favorit gue sepanjang masa. Sebuah keyakinan yang gue bawa sejak gue bisa pake otak gue dengan bener. Jadi alasan kenapa gue bikin kaos bertuliskan itu, yang sekarang gue pake buat nyemangatin diri hari ini. Yup, today is THE DAY. Tepat sebulan sejak pertemuan gue dan Ian di Perky Park. 30 hari kita masing-masing tahu bahwa Ria Jenaka dan Euforiano Semesta hidup di dimensi yang sama.

Resmi pula minggu lalu, atasan gue jadiin hal yang selama ini gue karang sebagai alasan semu biar bisa ketemu Ian beneran jadi nyata. Now, I have my own column. 8 hari setelah pertemuan pertama gue dan Ian, partikel tentang jajanan anak SD masuk ke proses pembuatan. Kita berdua berburu jajanan sambil jalan-jalan dari satu SD ke SD lainnya. Satu hari agendanya makan, makan, dan makan. Lucunya, Ian mutusin nggak bawa mobilnya dan ngajak gue naik sepeda lipet. Jadilah kita dua makhluk berkeringet, kelaperan, pecicilan, pokoknya nggak kalah rusuh sama bocah-bocah nakal berseragam putih-merah. Sebagai penutup, Ian ngajak gue ke salah satu toko milik temen kecilnya yang ternyata ngejual berbagai cemilan jadul, dengan merk-merk favorit gue masa kecil dulu. Referensi jempolan untuk artikel yang dibuat dari hati, tsaaaah!

Hasilnya? Artikel gue mengalir natural bagai anak kecil ceriwis bercerita. Rubrik tambahan yang pada peluncuran uji coba, mendapat sambutan bagus dari clickers. Seminggu sekali gue harus nyetor satu cerita perjalanan kuliner yang dikemas dengan penuh humor, boleh ditemenin sama orang-orang pilihan gue. Syaratnya, pendamping gue itu harus orang yang bisa bikin cerita makin menarik buat diikuti. Finally, I get the chances to explore my creative/wacky ideas.

Siapa yang harus gue kasih ucapan terima kasih? Ya, cowok beruntung yang hari ini gue janjiin bakal gue traktir makan sampai melotot kekenyangan. Dia yang menerbitkan pelangi di langit hidup gue akhir-akhir ini. Hari ini gue pengen tahu, berapa fakta baru lagi tentang Ian yang bisa kasih kejutan di memori gue?

Yan, gue udah di OISHII nih. Where r u?

Gue kirim BBM ke Ian secepat kilat. Rakusaurus, dino garang yang hidup di dalem perut gue udah meronta-ronta super liar. Ian pun belum tampak secuil batang pun (nggak cuma batang hidung maksudnya). Sementara, aroma ramen dan udon yang menggoda sibuk bersliweran di depan indera penciuman gue. Tuh kan, bentar lagi gue perlu manggil mobil sedot iler buat ngilangin bukti-bukti ke-mupeng-an gue ke hidangan tamu-tamu di meja sebelah.

TRING!

Ada pesan baru masuk ke BBM gue. Kali ini sebuah foto. Gue bertopang dagu sambil melihat mangkok ramen di meja sebelah dengan ekspresi, "Pak, kasian Pak. Dari pagi belum makan." Diperbuas dengan sebuah judul, "Menunggu : Ternyata Melaparkan". Pengirimnya sekarang udah berdiri di depan gue sambil nyengir jahil. "Makanya Ri, gendong selalu blek kerupuk. Biar kalo kelaperan pas nunggu, lo bisa sambil kriuk-kriuk. Garingnya ada bentuknya. Bulet, putih, bolong-bolong," celetuk Ian asal-asalan. Gue bales dengan sama ngaconya, "Sekalian, Yan. Gue bawa juga tali rafia. Bikin balap makan kerupuk, kriuk-kriuk itu asyiknya rame-rame. Pemenang dapet cium mesra plus sapuan kumis baplang dari Pak Kades!"

Haduh. Laper malah bikin kita berdua garingnya diabisin sendiri. Nggak dibagi sama si kerupuk. Sabar ya, puk.

OISHII ini salah satu tempat makan yang lagi hip karena menu ramen dan udon yang pas dengan lidah orang Indonesia. Belum lagi ada keistimewaan, bisa dibikin pedes sesuka hati. Bukan pake cabe bubuk, tapi ramuan sambal cabe rawit merah yang dimasukin langsung ke kuahnya. Biasanya, kalo gue lagi pusing berat pasti pergi ke sini. Tendangan kuah cabe bisa ngelancarin otak, itu teori ala dokter Puyeng bin Mumet. And it works.

Pengecualian pada hari ini, gue nggak lagi pusing sama masalah. Well, mungkin pusing sama perasaan di hati gue, ya. Semakin gue deket sama Ian, semakin gue kenal sama hal-hal di hidupnya, ada perasaan takut tiba-tiba tumbuh. Takut nggak nemuin Ian yang bahagia di deket gue. Takut ngeliat Ian tiba-tiba mellow lagi kalo main hati salah strategi. Takut kalo di antara semua yang seems too good to be true, satu kejadian bisa mengubahnya 180 derajat. Darn! I become a next-level-phobic.

Kita berdua sebenernya udah jadi diri kita sendiri saat berhadapan satu sama lain. Masalahnya, apa satu bulan itu cukup buat naik ke level selanjutnya? Atau kenyamanan di posisi kita sekarang udah cukup baman? Yah, paling nggak meminimalkan konflik berbau asmara dan resiko patah hati, deh. Man, I should have that risk-counter software like Ben Stiller's character had on Along Came Polly movie. Apa perasaan bisa dihitung probabilitasnya bak bursa taruhan William Hill? Voor setengah, menang di atas kertas, empat berbanding satu? Ah, ini seperti memprediksi kapan Indonesia masuk Piala Dunia sepakbola, buram!

 "Ri! Mau pesen apa? Kok malah bengong?" sahut Ian membuyarkan pikiran gue yang malah window shopping kemana-mana. "Udah, gue makan apa aja pesenan lo, Yan. Hari ini berhubung gue yang traktir, you can choose whatever you like. Gue kan omnivora, semua juga ditelen," ujar gue cepat. "Your wish is my command, Sugar Momma!" seru Ian dengan muka berseri-seri seperti anak kecil yang baru dibeliin Anak Mas dan Coklat Jago.

Tidak sampai 10 menit, gue dan Ian sudah mulai menikmati makanan dan minuman kita masing-masing. Ian pun bercerita tentang apa yang terjadi pada hidupnya beberapa hari terakhir ini. Ternyata ada penerbit yang menawarkannya untuk menulis novel komedi dan temen-temen stand up comedy­-nya pun mengajaknya keliling beberapa kota untuk mencari fresh comedian talent sebagai penggerak komunitas komtung alias komedi tunggal di kota-kota tersebut.

"Gue lagi ngebut di jalan tol, nih. Rasanya mulussss!" seru Ian mengungkapkan kegembiraan akan kejutan-kejutan manis di hidupnya saat ini. "Sekalian, Yan. Mampir ke Indah Perkasa, trus elus-elus tegel keramik di sana. Pas mulusnya," celetuk gue sambil nyebut salah satu toko bangunan di deket kos. "Siaul lo, Ri! Diem-diem jadi sales-nya Koh Ahin buat jualin ubin?" tanggap Ian ke omongan asal gue. Gue cekikikan, nyadar kalo obrolan kita berdua udah ngelantur dari Sabang sampai Merauke. Sarap kronis!

Sambil nikmatin dessert es serut dengan sirup merah, hidangan  khas Jepang di musim panas, topik pembicaraan mendadak jadi serius. "Ri, lo fobia sama kebaya nggak?" tanya Ian dengan tatapan menyelidik. Nah lho, mau disuruh apaan lagi nih gue. "Nggak sih, asal pas kondean kepala gue jangan dikupas aja sama periasnya. Nyasaknya yang manusiawi," jawab gue mantap. Sempet terlintas di otak gue, jangan-jangan gue mau diajak stand up sambil pake kostum mbok jamu model Juminten-nya Lika Liku Laki-laki gitu. Gokil bener.

Ian pun melanjutkan, "Bulan depan, sepupu gue mau nikah. Gue kebagian jadi pager bagus. Gue sih mau-mau aja, cuma ternyata buat pasangan pager ayu-nya gue harus cari sendiri. Gue kepikiran lo aja yang temenin gue. Gimana? Bisa, Ri?"

ASTAGAULARNAGAPANJANGNYABUKANKEPALANG!

Lengkap sudah fobia next-level gue. Takut ngelangkah "lebih dari temen", ini malah muncul berpasangan di tempat yang justru bikin kita jadi sorotan, pesta kawinan keluarga. Perfecto. I am totally doomed. Siap-siap denger dua kata paling menyebalkan di dunia, "Kapan kawin?"

But, I have no other choice. Gue tersenyum sambil mengiyakan. Padahal ada tetes keringet segede biji duren nangkring di ujung dahi gue, mirip seperti di komik-komik Jepang.

Mendadak, Ian seperti bisa baca kekhawatiran gue. Tangannya yang kokoh, memegang tangan gue, sambil berkata penuh keyakinan, "Lo boleh kok bagi grogi lo ke gue. We'll find a way to get through that day. Nggak usah peduliin kalo ada keluarga gue yang iseng nanya-nanya. Anggep aja itu pertanda mereka welcome sama lo. Justru gue ajak lo karena lo pasti bisa bikin suasana asyik, seboring apapun acaranya nanti."

"Lo yakin nggak takut gue bakal ngerebut mike dan mulai ngebor sambil nyanyi lagu Inul di panggung?" tanya gue iseng. "Nggak, Neng. Ntar Abang ikut naik juga jadi Satria Bergitar. Ter-la-lu!" sahut Ian sambil tertawa. "Kalo perlu, kita duet aja, jadi Benyamin S sama Ida Royani. Eh ujan gerimis aje, ikan teri diasinin..." sambung Ian sambil mulai berdendang lucu.

"Oya, Ri. Gue lupa mau kasih lo ini," Ian menyodorkan sebuah tas kain. Gue merogoh isinya. Ternyata beberapa foto yang diambil saat kita berpetualang jalan-jajan waktu itu. Ian mengeditnya dan menaruhnya di dalam frame berukuran 4R serta 6R. Ada foto gue menikmati permen kapas sambil tertawa, foto Ian main gamewatch di abang tukang mainan dengan muka (sok) serius, dan foto kita berdua bermain ayunan di salah satu sekolah yang kita datengin. Untuk foto yang terakhir, Ian meminta salah satu temannya memotret. Kebetulan kita bertemu di SD itu dimana temen Ian yang bernama Rudi, sedang menjemput keponakannya pulang sekolah.

"Simpen ya, Ri. Biar lo nggak takut  lagi," ucap Ian sambil mengedipkan mata. Gue tersentak. Apa Ian tahu keparnoan gue sekarang ini? "Takut?" tanya gue hati-hati. "Iya, biar lo nggak takut lagi sama tikus-tikus nakal di kos. Kan sekarang udah ada pengusir yang lebih mantep dari ikan asin beracun," jawabnya sambil tertawa berderai. Ah, rupanya Ian nggak sadar. Baru aja dia sempet bikin jantung gue berhenti berdetak.

Sejenak, fobia gue mulai terkikis oleh kehangatan dan support Ian. Cinta platonis, cinta diam-diam, cinta bertepuk sebelah tangan, gue mau mulai nggak peduliin dan stop menerka-nerka "masuk ke mana hubungan gue dan Ian saat ini".

We're happy together and it's all that matters.

Oke, besok harus mulai belajar pake high heels. Nggak mungkin gue pake sneakers Converse merah andalan di balik lilitan kain itu. Pelatnas jalan jinjit dibuka besok!




-sambunglagiesokhari-




~ (oleh @retro_neko)

No comments:

Post a Comment