Tentang 30 Hari Cerita Cinta

29 September 2011

#15 Dingin, malam, tanpa kamu. Sepi.



Sendiri.

Sendiri saja aku duduk di balik kemudi. Terjebak hiruk pikuk lalu lintas ibukota sore ini. Belum ada separuh perjalanan pulangku. Ku nyalakan saluran radio --yang sebenarnya aku sendiri tak terlalu menyimak dibicarakan di udara.
Ini hari Rabu, berarti sudah tiga malam aku bermalam di rumah Papi. Tadi pagi Papi sempat memintaku untuk tinggal lebih lama lagi. Mau Papi aku disana sampai Nalen pulang atau setidaknya sampai weekend datang lagi, agar Papi bisa menemani perjalanan pulangku ke Bogor bersama estillo hijau toska pemberiannya. Inginku pun sama dengan Papi, tapi jadi urung kalau ingat satu-satunya alasanku pulang ke Bogor adalah deadline-deadline pekerjaan dan mengurus Jerami tentunya. Dan sore ini ku putuskan untuk pulang mengendarai mobil ini sendiri.

Banyak sekali yang ku lakukan bersama Papi tiga hari ini. Kami belanja, memasak sampai pergi bersepeda keliling Kota Tua di Jakarta. Kami seperti sepasang kekasih ya?haha.. iya kami Ayah dan anak perempuan yang kompak. Suka Papi dan Duka Papi ada aku di sana. Mungkin karena kesamaan nasib, sama-sama ditinggalkan orang yang kita cintai. Orang yang sama, Mami.

Tiga hari yang pasti sangat menyenangkan bagiku dank u kira juga untuk Papi. Terbukti beberapa kali kami makan bersama, Papi makan dengan lahap bahkan sampai tambah-tambah haha.. mudah saja mengetahui bagaimana suasana hati Papiku ini, tinggal lihat selera makannya sedang baik atau buruk. Sebab selera makannya berbanding lurus dengan suasana hatinya.

Kami bisa berbincang sampai larut kalau sudah keasyikan. Menemani Papi main game sampai malam atau kalau ada tinju aku suka tidur di sofa dan Papi duduk menonton tak jauh dariku. Sore ini kalau aku memutuskan untuk pulang bukan berarti karena aku tak sayang, tapi terpaksa aku harus cukup dengan merindukannya selama beberapa minggu untuk nanti bertemu lagi karena di rumah ini masih banyak ruang yang ingin kami penuhi dengan tawa dan canda kita.
Aku mulai mencoba fokus pada perjalanan. Mengatur apa saja yang harus ku kerjakan sesampainya di rumah nanti. Di rumah sendiri, tanpa Nalen dan baru saja jauh dari tawa Papi rasanya pasti benar-benar sepi.

***

Dan benar saja terjadi apa yang terlintas dalam benakku tadi di sepanjang perjalanan. Aku kesepian. Sendiri. Tanpa Nalen dan tawa Papi di sini.

Pukul 18.34 lewat magrib aku baru sampai rumah. Sepi sekali, ku nyalakan seluruh lampu yang perlu ku nyalakan bila malam tiba. Aku segera mandi dan bertukar pakaian. Rencanaku malam ini aku akan mengunjungi Jerami, karena sudah tiga hari aku hanya mengawasi via telfon dengan Ahmad.

Aku sudah mendengar dari Nalen tentang ide Ahmad yang akan membuat ramai suasana Jerami dengan menampilkan live music acoustic. Tidak setiap malam tapi hanya malam-malam tertentu dan weekend saja. Sementara live music akan di isi oleh beberapa personil yang setahuku salah satu personilnya adalah adik kandung Ahmad. Pikirku tak apalah asal professional. Dan malam ini rencananya aku akan menonton perform perdana mereka. Belum pukul setengah delapan aku sudah meraih notebook dan beberapa barang yang perlu ku bawa. Rencananya aku juga akan menyicil pekerjaan tulisanku untuk majalah di Jerami nanti. Siapa tahu suasana akustikan mendukung datangnya ide-ide segar untuk tulisanku.
Notebook, charger, pena, kertas dan hmm..handphone.

Ku tengok lagi ponselku. Tak ada kabar lagi dari yang ku tunggu. Pesan terakhir ku terima dari Papi, menanyakan keadaanku sudah sampai rumah atau belum selebihnya tak ada.

Nalendra, suamiku apa kabarnya dia tiga hari ini?

Terlintas wajah cemasnya ketika di bandara kemarin. Aku tersenyum merindukan pelukan badan beruangnya. Suara terakhirnya yang ku dengar kemarin terasa berat, pasalnya dia sedang kelelahan sekali. "Aku ngantuk berat nih sayang.." begitu keluhnya sebelum akhirnya ku dengar dengkurnya di seberang pulau nun jauh disana haha Nalen kalau dengar dengkurmu rasanya ingin ku pukul dia dengan bantal. Berisiknya ampuuun..

Kemarin sempat ku cerna kabar dari Nalen kalau ternyata penerbangannya menuju Tobelo mengalami keterlambatan. Delay karena cuaca penjelasan klasik dari pihak penerbangan kalau ada keterlambatan jadwal. Kabar buruknya Nalen terpaksa harus menginap semalam di Manado sebab penerbangan ke Tobelo baru ada keesokan paginya. Sementara baru itu saja kabar yang ku terima. Harapanku di esok harinya pupus karena ternyata Nalen tak kembali menghubungiku. Doaku sih semoga Nalen sudah sampai dan memulai pekerjaannya dengan lancer biar cepat pulang hehe..

Semua keperluanku sudah ke masukan ke dalam tas longchamp abu-abu ukuran XL. Kuperiksa kembali setelah mengunci pintu rumah, memastikan semua aman saat ku tinggal nanti. Refleks ku rapatkan cardigan hitamku ketika berjalan menuju pintu mobil. Perpaduan yang pas bogor-malam-dingin dan tanpa kamu. Sepi.

Mobilku mulai meluncur menuju jalanan Bogor yang agak ramai malam ini. Tak sampai satu jam mobilku sudah terparkir manis di Jerami. Senyumku mengembang melihat parkiran Jerami dipenuhi mobil dan motor para pengunjung. Dan aku lebih senang duduk di sini, di satu sudut di mana aku bisa mengedarkan pandangaku keseluruh penjuru Jerami.
Ahmad bergabung sebentar di mejaku. Kami berbincang soal laporan keuangan bulan ini dan perkembangan Jerami sampai saat ini. Laporan yang pasti akan membuat suamiku Nalen tersenyum lebar. Pasalnya semakin banyak saja pengunjung yang nyaman duduk berlama-lama disini.

"Sepertinya kita harus melebarkan sayap mbak.. Lahannya makin sempit aja kalau pengunjungnya bertambah terus." Kata Ahmad berseri-seri.

"Hahaha amiin Mad. Nanti dipikirkan lagi lahan di sekitar sini kan ga murah Mad. Yang penting jaga kualitas pelayanan sama cita rasa hidangan Mad. Kalau captain menu special setiap bulannya Mad." Jelasku tak kalah berseri-seri.

Ahmad sempat juga menanyakan kabar Nalen sebelum dia menghilang ke dapur, ikut membantu awak Jerami yang lain melayani pengunjung yang datang.

Kuhirup aroma wangi segelas teh tarik panas, pelan-pelan ku tiup sebelum akhirnya lidahku menikmati pesona rasa minuman kegemaranku ini.

Ku tekan tombol power notebookku. Kuamati layar notebook yang sedang asik berproses, loading.
Baru akan ku ketik kalimat pertamaku konsentrasiku terpecah pada riuh pengunjung yang datang. Sebagian di sisi kanan sekumpulan tiga atau empat meja bersorak memaksa salah satu dari mereka untuk bernyanyi di panggung kecil baru milik Jerami. Ku hembuskan nafas lega, ku kira apa ternyata hanya pengunjung yang ingin ikut serta meramaikan suasana Jerami malam ini. Untuk kedua kalinya ku coba mengembalikan kosentrasiku pada pekerjaanku. Sia-sia. Petikan gitar dan suara yang berwarna tak biasa datang dari sudut panggung kecil kami. Always be my baby mengalun dan menghipnotis pengunjung termasuk aku yang turut hanyut terbawa alunan iramanya.

You'll always be a part of me
I'm a part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling cause you'll always be my baby
And we'll linger on
Time can't erase a feeling this strong
No way you're never gonna shake me
Ooh darling cause you'll always be my baby
Always be my baby – David Cook

Dan malam inipun aku terhipnotis alunannya.
September di Jerami.
-Naya Jaleswara-


~ (oleh @ukakuiki)

No comments:

Post a Comment