Tentang 30 Hari Cerita Cinta

15 September 2011

Angin dan Bidadari Cantik: Pria bernama Otto


Bagian Ketiga: Pria bernama Otto


Aku menatap bingkisan headphone itu sambil tersenyum senyum sendiri. Aku segera mencobanya dan memasangnya ke mp3 murahku. Segera aku mendengarkan lagu-lagu favorit ku langsung ke telingaku. Aku menyenderkan bahuku di dinding kamarku. Aku begitu menikmati alunan nada-nada itu.
Sebuah ketukan di pintu kontrakanku memecahkan lamunan singkatku. Seorang pria telah berdiri di depan pintu membawa bungkusan berlapis koran.
"Hai." Sapanya kaku.
Aku mengenalinya. Pria pengirim cd. Wajahnya seperti bertambah pucat dibandingkan ketika pertama kali bertemu dengannya.
Pria itu berdiri kaku dan menyodorkan bungkusan itu kepadaku. Aku menerima bungkusan itu. Bungkusan itu aneh, berbunyi dengan ketukan yang sama, seperti bunyi detik jam.
Aku melotot menatap pria itu. Senyum diwajahnya mengembang. Ia tertawa dan…..
"KRINNNNGGGGGGGGGG!!"
Aku terlonjak kaget. Ah, aku bermimpi pria itu lagi!
***
Toko buku sedang sangat ramai hari ini. Akan ada peluncuran buku novel terbaru dari seorang sastrawan muda. Buku pertama penulis muda ini telah terjual lebih dari tiga juta kopi, bahkan buku tersebut sudah dialihbahasakan ke lima bahasa asing. Maka tidak heran jika acara launching ini sudah dipenuhi orang, meski acaranya baru dimulai dua jam lagi.
Dan pria itu disana, pria yang mengirimkan cd lagu dan headphone untukku. Ia sedang sibuk mengecek sound system yang digunakan untuk acara launching. Pria itu begitu sibuk hingga tidak melihat diriku telah berdiri dibelakangnya.
"Hai." Sapaku serak.
Ia menoleh. Wajahnya tampak kaget menatapku.
"Hai. Kerja disini?" Matanya mengamati seragam yang kupakai.
Aku mengangguk. Ada jeda kecanggungan diantara kami. Kami sama-sama terdiam selama beberapa saat.
"Terima kasih, mas." ucapku akhirnya. "Terima kasih atas semua kiriman mas kepadaku."
Pria itu menghela nafas panjang dan menutup mata kanannya. Bahunya berguncang. Ia tertawa tanpa suara. Aku semakin salah tingkah berdiri dihadapannya.
Seorang pria menepuk bahu pria itu. Ia berhenti tertawa dan mereka membicarakan hal teknis sound sytem yang tidak kumengerti. Perlahan aku berbalik badan meninggalkan pria itu.
Entah apa perasaanku. Malu? Mungkin. Lega akhirnya bisa mengucapkan terima kasih? Mungkin. Bahagia karena bertemu pria itu lagi? Mungkin. Jatuh cinta?
Aku menoleh kearah pria itu setelah jauh dari area launching. Pria itu masih sibuk berbicara dengan temannya. Lama sekali aku menatapnya kosong. Seperti bisa menyadari aku mengamatinya, pria itu menoleh sekilas dan tersenyum sangat lebar.
***
Aku dibesarkan oleh ibuku dengan cerita dongeng. Baik itu dongeng lokal, juga dongeng asing yang berkisah tentang puri dan putri. Ketika kecil aku selalu punya mimpi yang sama, mimpi menjadi seorang putri dan hidup bahagia selamanya dengan pangeran berkuda putih.
Tentu saja itulah mimpi seorang anak kecil yang masih polos. Ketika beranjak besar aku menyadari satu hal, there's no such thing as prince with white horse. Tapi jika pria ganteng dengan mobil build-up berwarna putih? Itu pasaran.
Seperti pemandangan yang kulihat saat ini. Pria misterius dibalik sebutan kurir cinta, kembali kulihat di pelataran parkir toko buku tempatku bekerja. Ia melambaikan tangannya ketika melihatku keluar dari pintu karyawan. Pria itu bersandar ke sebuah mobil putih mewah yang belum pernah kulihat sebelumnya di Jakarta.
"Hai, April. " Sapanya kaku ketika aku mendekatinya.
Aku tersenyum dan membalas sapaannya. "Hai."
"Baru mau pulang?"
Aku mengangguk. Tiba-tiba aku seperti dikerubuti ribuan semut yang kaki-kaki kecilnya menggelitiki leherku.
"Itu tampak bagus di kepalamu." ucapnya sambil menunjuk ke headphone yang melingkari leherku.
Aku menunduk dan menatap benda itu sekilas. "Thanks. Ini kan pemberian dari mas."
Pria itu tersenyum lebar. "Oya, kita belum berkenalan secara resmi. Namaku Otto."
"April." Aku menerima jabat tangannya. "Senang berkenalan denganmu, Mas Otto."
Ia tertawa lepas. Tangannya masih tetap menjabat tanganku. Lalu seperti tersihir, ia menarikku pelan untuk masuk kedalam mobil putih itu. Antara deg-deg an, bingung dan sungkan, aku menurutinya.
"Maaf. Kita mau kemana?" tanyaku gugup ketika Otto sudah berada di depan kemudi.
Otto menoleh menatapku. "Saya mau mengantarkan cinta"
"Apa?"
Otto mengedipkan sebelah matanya. "Itulah mengapa aku menyebut diriku, Kurir Cinta. Aku mengantarkan cinta khusus untuk orang yang paling kucinta."
Aku hanya bisa duduk terdiam tanpa kata mendengar hal itu.
***

No comments:

Post a Comment